Anda di halaman 1dari 34

BAB 2

TINJAUAN TEORI

Pada bab tinjauan pustaka ini akan dikemukakan beberapa konsep dan teori yang
terkait tentang konsep kepatuhan, konsep cuci tangan, konsep kepatuhan cuci
tangan, dan konsep perawat.

2.1 Konsep Kepatuhan


2.1.1 Definisi kepatuhan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwodarminto, 2008),
kepatuhan didefinisikan sebagai kesetiaan, ketaatan atau loyalitas.
Kepatuhan yang dimaksud disini adalah ketaatan dalam pelaksanaan
prosedur tetap yang telah dibuat. Menurut Smet (1994) yang dikutip
oleh Emaliyawati (2010), kepatuhan adalah tingkat seseorang
melaksanakan suatu cara atau perilaku sesuai dengan apa yang
disarankan atau dibebankan kepadanya. Kepatuhan pelaksanaan
prosedur tetap (protap) adalah untuk selalu memenuhi petunjuk atau
peraturan-peraturan atau memahami etika keperawatan ditempat
perawat tersebut bekerja.

Kepatuhan merupakan modal dasar seseorang berperilaku menurut


Kelman dalam Emaliyawati (2010) dijelaskan bahwa perubahan sikap
dan perilaku individu diawali dengan proses patuh. Kepatuhan
merupakan perilaku individu melakukan kesetian, ketaatan untuk

melakukan apa yang di perintahkan kepadanya untuk melaksanakan


prosedur tetap yang sudah dibuat. Kepatuhan pada awalnya individu
mematuhi dan sering kali kepatuhan dilakukan karena ingin
menghindari hukuman atau sangsi jika tidak patuh (Niven,2008).

Sarfino (1990) di kutip oleh Smet B. (1994) mendefinisikan kepatuhan


(ketaatan) sebagai tingkat penderita melaksanakan cara pengobatan
dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau yang lain.
Kepatuhan adalah perilaku positif penderita dalam mencapai tujuan
terapi (Degrest et al, 1998). Menurut Decision theory (1985) penderita
adalah pengambil keputusan dan kepatuhan sebagai hasil pengambilan
keputusan. Perilaku ketat sering diartikan sebagai usaha penderita
untuk mengendalikan perilakunya bahkan jika hal tersebut bisa
menimbulkan resiko mengenal kesehatanya (Taylor, 1991). Patuh
adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan.
Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin.
Seseorang dikatakan patuh berobat bila mau datang ke petugas
kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas
(Lukman Ali et al, 1999).

2.1.2 Klasifikasi kepatuhan


Menurut Ghana Syakira (2009), kepatuhan dapat diklasifikasi menjadi
2, yaitu : Patuh dan tidak patuh

a.

Patuh. Seseorang dapat dikatakan patuh apabila melaksanakan


tindakan sesuai dengan ketentuan.

b.

Tidak Patuh. Seseorang dapat dikatakan tidak patuh apabila


melaksanakan tindakan tidak sesuai tindakan.

Menurut Depkes RI (2004) kriteria kepatuhan dibagi menjadi tiga


yaitu:
a. Patuh adalah suatu tindakan yang taat baik terhadap perintah
ataupun aturan dan semua aturan maupun perintah tersebut
dilakukan dan semuanya benar.
b. Kurang patuh adalah suatu tindakan yang melaksanakan perintah
dan aturan hanya sebagian dari yang ditetapkan, dan dengan
sepenuhnya namun tidak sempurna.
c. Tidak patuh adalah suatu tindakan mengabaikan atau tidak
melaksanakan perintah atau aturan sama sekali.

Untuk mendapatkan nilai kepatuhan yang lebih akurat atau terukur


maka perlu ditentukan angka atau nilai dari tingkat kepatuhan
tersebut, sehingga bisa dibuatkan rangking tingkat kepatuhan
seseorang. Menurut Yayasan Spiritia (2006) tingkat kepatuhan dapat
dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu :
a. Patuh : 75% 100%
b. Kurang patuh: 50% - < 75%
c. Tidak patuh : < 50%

2.1.3 Faktor kepatuhan


2.1.3.1 Faktor yang mempengaruhi kepatuhan
Menurut Carpenito (2009), kepatuhan bergantung pada banyak
faktor,

termasuk

motivasi

individu,

persepsi

tentang

kerentanan dan keyakinan terhadap upaya pengontrolan dan


pencegahan penyakit, variabel lingkungan, kualitas instruksi
kesehatan dan kemampuan mengakses sumber yang ada
(biaya, keterjangkauan).

Menurut Muchlas (2005), tingkat kepatuhan dipengaruhi oleh


beberapa faktor diantaranya:
a.

Faktor internal yaitu karakter demografi meliputi: umur,


jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, dan karakter
kepribadian, sikap, kemampuan, persepsi, dan motivasi.

b.

Faktor eksternal yaitu karakteristik organisasi, karakteristik


kelompok,

karakteristik

pekerjaan,

dan

karakteristik

lingkungan.

Menurut Niven (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi


tingkat kepatuhan adalah :
a. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terancana untuk
mewujudkan suasan belajar dan proses pembelajaran agar
perserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengadilan

diri,

kepribadian,

kecerdasan,

akhlak

mulia,

serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa


dan negara. Hasil penelitian judul gambaran tingkat
kepatuhan perawat akan cuci tangan dalam terapi oksigen
dan tingkat kejadian pneumonia periode tahun 2012 dan
tahun 2013 di RSUD Dr. Rubini Mempawah hasil
karateristik responden perawat dengan pendidikan diploma
3 dengan tingkat kepatuhan 85%, sarjana

tingakat

kepatuhan 12,10%. Dari hasil penelitian yang didapat


bahwa tingkat pendidikan mempegaruhi tingkat kepatuhan
seseorang (Ruci, 2013)
b. Akomodasi
Suatu cara harus dilakukan

untuk

memahami

ciri

kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan.


c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial
Hal ini berati membangun dukungan sosial dari keluarga
dan teman-teman, kelompok-kelompok pendukung dapat
dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap program
pengobatan seperti pengurangan berat badan, berhenti
merokok dan menurunkan konsumsi alkohol.

d. Perubahan model terapi


Program-program pengobatan dapat dibuat sederhana
mungkin dan pasien terlihat aktif dalam pembuatan
progaram pengobatan tersebut.
e. Meningkatkan interaksi pofisional kesehatan dengan klien
Meningkatkan interaksi profisional kesehatan dengan klien
adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik

kepada klien setelah memperoleh informasi tentang


diagnosis.
f. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah
orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu,
dari pengalam dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langsung dari pada
perilaku

yang

tidak

didasari

oleh

pengetahuan

(Notoatmodjo, 2007).
g. Usia
Usia merupakan umur yang terhitung mulai saat dilahirkan
sampai saat akan berulang tahun. Semakin cukup umur,
tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih
matang dalam berpikir dan berkerja, dari segi kepercayaan,
masyarakat lebih dewasa akan lebih dipercaya dari pada
orang yang belum cukup tinggi tingkat kedewasaannya.
Akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya. Semakin
dewasa seseorang maka cara berfikir semakin matang dan
patuh dalam pemberian diet (Notoatmodjo, 2007). Hasil
penelitian dengan judul gambaran tingkat kepatuhan
perawat akan cuci tangan dalam terapi oksigen dan tingkat
kejadian pneumonia periode tahun 2012 dan tahun 2013 di
RSUD dr. Rubini Mempawah hail karateristik umur perawat
25 sampai 30 tahun tingakt kepatuhan 48,1%, umur 31
sampai 35 tahun tingkat kepatuhan 47%, umur 36 sampai
40 tahun tingkat kepatuhan 4,8% (Ruci, 2013). Dari hasil

yang didapat tingkat kepatuhan yang paling tinggi adalah


perawat yang berusia 31 sampai 35 yang lebih patuh dari
pada umur yang lebih muda.

Penelitian Yang Dilakukan Oleh Siska K, Sri P.K, S. Eko C.P,


(2013) mengatakan Karakteristik responden berdasarkan usia
menunjukkan sebanyak 44 responden (62,9%). jenis kelamin
menunjukkan bahwa semua responden berjenis kelamin
perempuan sebanyak 70 responden (100%). Pendidikan S1
keperawatan sebanyak 50 responden (71,4%). Lama kerja >10
tahun sebanyak 40 (57,1%).fasilitas lengkap 11 ruangan
(84,6%).ada hubungan antara usia dengan kepatuhan cuci
tangan dengan p=0.000. ada hubungan antara pendidika
dengan kepatuhan cuci tangan dengan p=0.000. ada hubungan
antara lama kerja dengan kepatuhan cuci tangan dengan
p=0.000. tidak ada hubungan antara fasiitas dengan kepatuhan
cuci tanga dengan p=0,715.
2.1.3.2 Variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan
Variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut
Suddart dan Brunner dalam Syakira (2009) adalah:
a. Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa,
status sosial ekonomi dan pendidikan.
b. Variabel penyakit seperti keparahan
kehilangnya gejala akibat terapi.

penyakit

dan

c. Variabel program terapeutik seperti kompleksitas program


dan efek samping yang tidak menyenangkan.
d. Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap
tenaga kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap
pennyakit, keyakinan agama atau budaya dan biaya finasial
dan lainnya yang termasuk dalam mengikuti regimen.
(Syakira, 2009).

2.1.4 Faktor ketidakpatuhan


2.1.4.1 Faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan
Menurut Niven (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi
ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian:
a. Pemahaman tentang intruksi.
Seseorang tidak dapat mematuhi intruksi jika terjadi salah
paham tentang intruksi yang diberikan kepadanya.
b. Kualitas Interaksi
Kualitas interaksi merupakan bagian yang terpenting dalam
menentukan derajat kepatuhan.
c. Isosialisasi social dan keluarga
Derajat dimana seseorang terisolasi dari pendampingan
orang lain, isolasi sosial, secara negatif berhubungan
dengan

kepatuhan.

Dukungan

sosial

dalam

bentuk

dukungan emosional dari anggota keluarga, teman, waktu


merupakan faktor-faktor penting dalam kepatuhan terhadap
program-program medis. Keluarga dapat menjadi faktor
yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan
nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan
tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.

d. Keyakinan, sikap dan kepribadian


Keyakinan tentang kesehatan dan kepribadian seseorang
berperan dalam menentukan respon terhadap anjuran
trsebut. Perilaku sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, oleh
karena itu perlu dikembangkan suatu strategi yang bukan
hanya untuk mengubah perilaku tetapi juga untuk
mempertahankan perubahan tersebut. Becker et al dalam
Niven (2008), telah membuat suatu usulan bahwa model
keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya
ketidakpatuhan.

2.1.5 Strategi untuk meningkatkan kepatuhan


2.1.5.1 Menurut Syakira (2009), berbagai strategi untuk meningkatkan
kepatuhan diantaranya adalah :
a. Dukungan profesional kesehatan
Dukungan kepatuhan kesehatan sangat diperlukan untuk
meningkatkan kepatuhan.
b. Dukungan sosial
Dukungan yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional
kesehatan yang dapat menyakinkan keluarga pasien untuk
menunjang

peningkatan

kesehatan

ketidakpatuhan dapat dikurangi.

pasien

maka

c. Pemberian informasi
Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga
mengenai

penyakit

yang

dideritanya

serta

cara

pengobatannya.
2.1.5.2 Menurut Feuer-Stein yang dikutip Niven (2002), faktor yang
mendukung kepatuhan antara lain:
a. Pendidikan
Pendidikan dapat meningkatkan kepatuhan.
b. Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri
kepribadian yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Jika
tingkat ansietas

terlalu tinggi atau terlalu rendah, maka

kepatuhan akan berkurang.


c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial
Hal ini membangun dukungan sosial dari keluarga dan
teman-teman.

Kelompok-kelompok

pendukung

dapat

dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap programprogram yang ditentukan.

2.1.6 Tahap kepatuhan


Menurut Kelman dalam Sarwono (2004), perubahan sikap perilaku
individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi kemudian baru
menjadi internalisasi.
2.1.6.1 Tahap kepatuhan
Menurut Krench dalam Sarwono (2004), kepatuhan /
konformitas adalah membeloknya/berubahnya pandangan atau
tindakan seorang individu sebagai akibat dari tekanan

kelompok yang muncul karena adanya pertentengan antara


pendapat si individu dengan pendapat kelompok. Dari segi
intensitasnya konformitas dapat dibedakan dalam:
a Compliance (patuh karena terpaksa)
Yaitu di luar mengatakan setuju namun di dalam hatinya
tetap menolak. Biasanya perubahan yang terjadi dalam
tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu
dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi
begitu pengawasan itu mengendur / hilang, perilaku itupun
b

ditinggalkan.
True Conformity
Artinya benar benar setuju dengan pendapat kelompok.

2.1.6.2 Tahap identifikasi


Yaitu kepatuhan demi menjaga hubngan baik dengan petugas
kesehatan atau tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut
(cange agent). Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu
merasa tertarik atau mengagumi tokoh tersebut, sehingga ingin
menirukan tindakannya tanpa memahami sepenuhnya arti dan
manfaat dari tindakan tersebut. Tahap ini belum dapat
menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat
mengaitkan perilaku tersebut dengan nilai nilai dalam
hidupnya
2.1.6.3 Tahap internalisasi
Artinya perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi
diri individu itu sendiri dan diintegrasikan dengan nilai nilai
lain dari hidupnya.

2.1.7

Rumus Penghitungan Kepatuhan

N = Sp 100%
Sm
Keterangan :
N = Nilai
Sp = Skor yang didapat
Sm = Skor maksimal
(Evy,2006)
2.2 Konsep Cuci Tangan
2.2.1.

Pengertian cuci tangan

Departemen

Kesehatan

menyatakan

mencuci

tangan

adalah

membersihkan tangan dari segala kotoran, dimulai dari ujung jari


sampai siku dan lengan dengan cara tertentu sesuai dengan kebutuhan,
kebersihan tangan adalah cara yang paling efektif untuk mencegah
infeksi nosokomial (Hammer, 2013). Mencuci tangan adalah proses
yang secara mekanik melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan
dengan menggunakan sabun biasa dan air (PERDALIN, 2008).

Organisasi kesehatan dunia (WHO) menegaskan kembali rekomendasi


untuk mencuci tangan dengan sabun dan air ketika terlihat kotor, kotor
dengan darah atau cairan tubuh lain, atau terkena potensi membentuk
spora pathogen (WHO, 2009). Hand hygiene penting karena tangan
adalah cara yang efektif mentransfer mikroorganisme, memberikan
professional kesehatan yang sering datang kedalam kontak dengan

pasien untuk menyebarkan mikroorganisme yang umum menyebabkan


infeksi nosokomial (Zone, 2014). Mencuci tangan merupakan syarat
utama yang harus dipenuhi sebelum melakukan tindakan keperawatan
misalnya : memasang infus, mengambil spesimen, infeksi yang di
akibatkan dari pemberian pelayanan kesehatan atau terjadi pada
fasilitas pelayanan kesehatan, infeksi ini berhubungan dengan
prosedur

diagnostik

atau

terapeutik

dan

sering

termasuk

memanjangnya waktu tinggal di rumah sakit.

Kebersihan tangan pilar utama dalam menurunkan insiden infeksi di


rumah sakit dan pelayanan kesehatan lain. Mencuci tangan merupakan
tindakan yang paling efektif untuk mengontrol infeksi nosokomial
(infeksi yang berasal dari rumah sakit) dengan cara menggosok
seluruh permukaan kedua tangan yang bersabun atau berbusa dengan
kuat secara bersamaan (Kozier, 2009). Mencuci tangan adalah proses
yang secara mekanis melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan
dengan menggunakan sabun biasa dan air yang mengalir (Depkes RI,
2007).

Menurut PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)-UNPAD


(Universitas Padjajaran) Cuci tangan pakai sabun (CTPS) merupakan
suatu kebiasaan membersihkan tangan dari kotoran dan berfungsi
untuk membunuh kuman penyebab penyakit yang merugikan

kesehatan. Mencuci tangan yang baik membutuhkan peralatan seperti


sabun, air mengalir yang bersih, dan handuk yang bersih (Wati, 2011).

Membersihkan tangan yang paling efektif untuk mencegah infeksi


nosokomial dari petugas kesehatan ke pasien maupun pasien ke
petugas kesehatan dimulai membersihkan tangan dari ujung jari
sampai siku dan legan dengan cara tertentu sesuai dengan kebutuhan.
Mencuci tangan merupakan hal yang paling penting pada setiap
lingkungan tempat klien dirawat, termasuk rumah sakit. Cara yang
paling umum infeksi menyebar adalah dengan anggota staf menyentuh
pasien atau bagian peralatan yang terkontaminasi dengan tangan
mereka, kemudian menyentuh pasien lain tanpa mencuci tangan
mereka (Hammer 2013).

Flora Mikroba yang ada di tangan merupakan flora transien yang


tinggal di lapisan superficial kulit dapat diperoleh melalui kontak
dengan area permukaan yang terkontaminasi (misalnya meja periksa,
tempat tidur dan lain-lain) hilang bila melakukan kebersihan tangan
dan flora residen merupakan flora yang ditemukan dilapisan kulit
yang lebih dalam dari sel-sel superfisial dan dipermukan kulit brfungsi
sebagai protective tapi dapat menyebabkan kontaminasi pada rongga
badan steril, flora ini selalu ada di tangan untuk menghilangkan bila
mencuci tangan dengan sabun pada air yang menggalir (Sumiarty,
2014).

2.2.2.

Tujuan Cuci Tangan

Tujuan dilakukan cuci tangan yaitu :


a
b
c
d
e

Mengangkat mikroorganisme yang ada di tangan


Mencegah infeksi silang (cross infection)
Menjaga kondisi steril
Melindungi diri dan pasien dan infeksi
Memberikan perasaan segar dan bersih
(Susiati,2008).

2.2.3. Indikator cuci tangan (Five Moment Hand Hygiene)


Lima petunjuk melakukan kebersihan tangan pada saat perawatan
menurut WHO (2006 dalam Saputra 2011) yaitu:
2.2.3.1. Sebelum kontak pasien.
Besihkan tangan sebelum menyentuh seseorang pasien ketika
mendekatinya, untuk melindungi pasien terhadap kuman
yang berbahaya pada tangan perawat.
2.2.3.2. Sebelum tindakan aseptik
Bersihkan tangan anda segera sebelum melakukan tindakan
aseptik, untuk melindungi pasien terhadap kuman yang
berbahaya, termasuk pasien, mencegah masuk ke dalam
tubuhnya.
2.2.3.3. Setelah risiko paparan cairan tubuh
Bersihkan tangan segera setelah risiko terpapar cairan tubuh
dan setelah melepaskan sarung tangan, untuk melindungi diri
anda dan kesehatan lingkungan dari kuman pasien yang
berbahaya
2.2.3.4. Setelah kontak pasien
Bersihkan tangan setelah menyentuh seorang pasien dan
sekeliling pasien segera ketika meninggalkan daerah pasien,
untuk melindungi anda dan kesehatan lingkungan dari kuman
pasien yang berbahaya.

2.2.3.5. Setelah kontak dengan sekeliling pasien


Bersihkan tangan setelah menyentuh barang atau perabotan
pada sekeliling pasien ketika meninggalkannya, bahkan jika
pasien tidak disentuh, untuk melindungi perawat dan
lingkungan kesehatan dari kuman pasien yang berbahaya
(Saputra, 2011).

Gambar 2.1 Five Moment for Hand Hygiene


sumber: www.belanjaalkes.com
2.2.4.

Keuntungan mencuci tangan

Menurut Puruhito (1995 dalam Niven, 2008), cuci tangan akan


memberikan keuntungan sebagai berikut :
a
b

Dapat mengurangi infeksi nosokomial


Jumlah kuman yang terbasmi lebih banyak sehingga tangan lebih

bersih dibandingkan dengan tidak mencuci tangan


Dari segi praktis, ternyata lebih murah dari pada tidak mencuci
tangan sehingga tidak dapat menyebabkan infeksi nosokomial
(Niven, 2008).

2.2.5.

Prinsip dari 6 langkah cuci tangan antara lain :

Dilakukan dengan menggosokkan tangan menggunakan cairan


antiseptik (handrub) atau dengan air mengalir dan sabun antiseptik
(handwash). Rumah sakit akan menyediakan kedua ini di sekitar
ruangan pelayanan pasien secara merata.
Handrub dilakukan selama 20-30 detik sedangkan handwash 40-60
detik (https://4.bp.blogspot.com)

2.2.6. Macam- macam cuci tangan dan cara cuci tangan


Cuci tangan dalam bidang medis dibedakan menjadi beberapa tipe,
yaitu cuci tangan medical (medical hand washing), cuci tangan
surgical (surgical hand washing) dan cuci tangan operasi (operating
theatre hand washing). Adapun cara untuk melakukan cuci tangan
tersebut dapat dibedakan berbagai cara :
2.2.6.1 Tehnik mencuci tangan biasa
Teknik mencuci tangan biasa adalah membersihkan tangan
dengan sabun dan air bersih yang mengalir atau yang
disiramkan,

biasanya

digunakan

sebelum

dan

sesudah

melakukan tindakan yang tidak mempunyai resiko penularan


penyakit. Peralatan yang dibutuhkan untuk mencuci tangan
biasa adalah setiap wastafel dilengkapi dengan peralatan cuci
tangan sesuai standar rumah sakit (misalnya kran air
bertangkai panjang untuk mengalirkan air bersih, tempat
sampah injak tertutup yang dilapisi kantung sampah medis atau

kantung plastik berwarna kuning untuk sampah yang


terkontaminasi atau terinfeksi), alat pengering seperti tisu, lap
tangan (hand towel), sarung tangan (gloves), sabun cair atau
cairan pembersih tangan yang berfungsi sebagai antiseptik,
lotion tangan, serta di bawah wastefel terdapat alas kaki dari
bahan handuk.
a. Prosedur kerja cara mencuci tangan biasa adalah:
1) Melepaskan semua benda yang melekat pada daerah
tangan, seperti cincin atau jam tangan.
2) Mengatur posisi berdiri terhadap kran air agar
memperoleh posisi yang nyaman.
3) Membuka kran air dengan mengatur temperatur airnya.
4) Menuangkan sabun cair ke telapak tangan.
5) Melakukan gerakan tangan, dimulai dari meratakan
sabun dengan kedua telapak tangan, kemudian kedua
punggung telapak tangan saling menumpuk, bergantian,
untuk membersihkan sela-sela jari.
6) Membersihkan ujung-ujung kuku bergantian pada
telapak tangan.
7) Membersihkan kuku dan daerah sekitarnya dengan ibu
jari secara bergantian kemudian membersihkan ibu jari
dan lengan secara bergantian.
8) Membersihkan (membilas) tangan dengan air yang
mengalir sampai bersih sehingga tidak ada cairan sabun
dengan ujung tangan menghadap ke bawah.
9) Menutup kran air menggunakan siku, bukan dengan
jari, karena jari yang telah selesai kita cuci pada
prinsipnya bersih.

10) Pada saat meninggalkan tempat cuci tangan, tempat


tersebut dalam keadaan rapi dan bersih. Hal yang perlu
diingat

setelah

melakukan

cuci

tangan

yaitu

mengeringkan tangan dengan hand towel.


b. Tehnik mencuci tangan aseptic
Mencuci tangan aseptik yaitu cuci tangan yang dilakukan
sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan menggunakan
antiseptik. Mencuci tangan dengan larutan disinfektan,
khususnya bagi petugas yang berhubungan dengan pasien
yang

mempunyai

penyakit

menular

atau

sebelum

melakukan tindakan bedah aseptik dengan antiseptik dan


sikat steril. Prosedur mencuci tangan aseptik sama dengan
persiapan dan prosedur pada cuci tangan higienis atau cuci
tangan biasa, hanya saja bahan deterjen atau sabun diganti
dengan antiseptik dan setelah mencuci tangan tidak boleh
menyentuh bahan yang tidak steril.
c. Tehnik mencuci tangan steril
Teknik mencuci tangan steril adalah mencuci tangan secara
steril (suci hama), khususnya bila akan membantu tindakan
pembedahan atau operasi. Peralatan yang dibutuhkan untuk
mencuci tangan steril adalah menyediakan bak cuci tangan
dengan

pedal

kaki

atau

pengontrol

lutut,

sabun

antimikrobial (non-iritasi, spektrum luas, kerja cepat), sikat


scrub bedah dengan pembersih kuku dari plastik, masker
kertas dan topi atau penutup kepala, handuk steril, pakaian
di ruang scrub dan pelindung mata, penutup sepatu.

Prosedur kerja cara mencuci tangan steril adalah sebagai


berikut:
1) Terlebih dahulu memeriksa adanya luka terpotong
atauabrasi pada tangan dan jari, kemudian melepaskan
semua perhiasanmisalnya cincin atau jam tangan.
2) Menggunakan pakaian bedah sebagai proteksi
perawatyaitu: penutup sepatu, penutup kepala atau topi,
masker wajah,pastikan masker menutup hidung dan
mulut anda dengan kencang.Selain itu juga memakai
pelindung mata.
3) Menyalakan air dengan menggunakan lutut atau
controldengan kaki dan sesuaikan air untuk suhu yang
nyaman.
4) Membasahi tangan dan lengan bawah secara bebas,
mempertahankankan tangan atas berada setinggi siku
selama seluruh prosedur.
5) Menuangkan sejumlah sabun (2 sampai 5 ml) ke tangan
dan menggosok tangan serta lengan sampai dengan 5
cm di atas siku.
6) Membersihkan kuku di bawah air mengalir dengan
tongkat oranye atau pengikir. Membuang pengikir
setelah selesai digunakan.
7) Membasahi
sikat
dan

menggunakan

sabun

antimikrobial.
8) Menyikat ujung jari, tangan, dan lengan. Menyikat
kuku tangan sebanyak 15 kali gerakan. Dengan gerakan
sirkular, menyikat telapak tangan dan permukaan
anterior jari 10 kali gerakan. Menyikat sisi ibu jari 10

kali gerakan dan bagian posterior ibu jari 10 gerakan.


Menyikat samping dan belakang tiap jari 10 kali
gerakan tiap area, kemudian sikat punggung tangan
sebanyak 10 kali gerakan. Seluruh penyikatan harus
selesai sedikitnya 2 sampai 3 menit (AORN, 1999
sebagaimana dikutip oleh Perry& Potter, 2000).
9) kemudian bilas sikat secara seksama. Dengan tepat
mengingat, bagi lengan dalam tiga bagian. Kemudian
mulai menyikat setiap permukaan lengan bawah lebih
bawah dengan gerakan sirkular selama 10 kali gerakan;
menyikat bagian tengah dan atas lengan bawah dengan
cara yang samasetelah selesai menyikat buang sikat
yang telah dipakai. Dengan tangan fleksi, mencuci
keseluruhan dari ujung jari sampai siku satu kali
gerakan, biarkan air mengalir pada siku.
10) Mengulangi langkah 8 sampai 10 untuk lengan yang
lain.
11) Mempertahankan lengan tetap fleksi, buang sikat kedua
dan mematikan air dengan pedal kaki. Kemudian
mengeringkan dengan handuk steril untuk satu tangan
secara seksama, menggerakan dari jari ke siku dan
mengeringkan dengan gerakan melingkar.
12) Mengulangi metode pengeringan untuk tangan yang
lain dengan menggunakan area handuk yang lain atau
handuk steril baru.

13) Mempertahankan tangan lebih tinggi dari siku dan jauh


dari tubuh anda. Perawat memasuki ruang operasi dan
melindungi tangan dari kontak dengan objek apa pun.

2.2.7.

Persiapan membersihkan tangan

2.2.6.1 Air mengalir


Sarana utama untuk cuci tangan adalah air mengalir dengan
saluran pembuangan atau bak penampung yang memadai.
Dengan guyuran air mengalir tersebut maka mikroorganisme
yang terlepas karena gesekan mekanis atau kimiawi saat cuci
tangan akan terhalau dan tidak menempel lagi dipermukaan
kulit.
2.2.6.2 Sabun
Bahan tersebut tidak membunuh mikroorganisme tetapi
menghambat dan mengurangi jumlah mikroorganisme dengan
jalan

mengurangi

tegangan

permukaan

sehingga

mikroorganisme terlepas dari permukaan kulit dan mudah


terbawa oleh air. Jumalah mikroorganisme semakin berkurang
dengan meningkatnya frekwensi cuci tangan, namun dilain
pihak dengan seringnya menggunakan sabun atau detergen
maka lapisan lemak kulit menjadi kering dan pecah-pecah.
2.2.6.3 Larutan antiseptik

Larutan antiseptik atau disebut juga antimikroba topikal,


dipakai pada kulit atau jaringan hidup lainnya untuk
menghambat aktifitas atau membunuh mikroorganisme pada
kulit. Antiseptik memiliki bahan kimia yang memungkinkan
untuk digunakan pada kulit dan selaput mukosa. Antiseptik
memiliki keragaman dalam hal efektivitas, aktifitas, akibat dan
rasa pada kulit setelah dipakai sesuai dengan keragaman jenis
antiseptik tersebut dan reaksi kulit masing-masing individu.
Menurut Departemen Kesehatan RI dalam buku Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya (2008) menyebutkan
bahwa kulit manusia tidak dapat di sterilkan. Tujuan yang
ingin dicapai adalah penurunan jumlah mikroorganisme pada
kulit secara maksimal terutama

kuman transien. Kriteria

memilih antiseptik adalah sebagai berikut :


a Memiliki efek yang luas, menghambat atau merusak
mikroorganisme secara luas (gram positif dan gram
negatif, virus lipofilik, bacillus dan tuberkulosis, fungi,
b
c
d

endospora).
Efektivitas
Kecepatan aktivitas awal
Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk

merendam pertumbuhan.
e Tidak mengakibatkan iritasi kulit
f Tidak menyebabkan alergi
g Efektif sekali pakai, tidak perlu diulang-ulang
h Dapat diterima secara visual maupun estetik.
2.2.6.4 Lap tangan yang bersih dan kering

2.2.8. Prosedur mencuci tangan


2.2.7.1 Prosedur Cuci Tangan Menurut WHO
Persedur enam langkah cuci tangan sesuai standart World
Health Organization (WHO, 2013), yaitu :
a. Tuang cairan handrub pada telapak tangan kemudian usap
dan gosok kedua telapak tangan secara lembut dengan
arah memutar

Gambar 2.2 Cuci Tangan Step 1


b. Usap dan gosok juga kedua punggung tangan secara
bergantian

Gambar 2.3 Cuci Tangan Step 2


c. Gosok sela sela jari tangan hingga bersih

Gambar 2.4 Cuci Tangan Step 3


d. Bersihkan ujung jari secara bergantian dengan posisi
saling mengunci

Gambar 2.5 Cuci Tangan Step 4


e. Gosok dan putar ibu jari secara bergantian

Gambar 2.6 Cuci Tangan Step 5


f. Letakkan ibu jari ke telapak tangan kemudian gosok
perlahan

Gambar 2.7 Cuci Tangan Step 6


sumber: abahrayyan.blogspot.co.id

2.2.7.2 Prosedur Cuci Tangan Menurut Dinas Kesehatan


Prosedur cuci tangan menurut Dinas Kesehatan (2012) yaitu :
a

Basahi tangan setinggi pertegahan lengan bawah dengan

b
c

air mengalir
Gunakan sabun dibagian telapak yang telah basah
Menggosok telapak tangan sehingga menghasilkan busa
secukupnya selama 15.20 detik dengan cara menggosok
punggung tangan, menggosok telapak tangan dengan selasela jemari kedua tangan, menggosok jemari dengan
bagian

telapak

jari

dengan

posisi

saling

menggunci,sekeliling ibu jari dengan menggegam tangan


secara bergantian, bersihkan ujung-ujung kuku bergantian
d
e
f
g

pada telapak tangan


Bilas kembali dengan air bersih
Tutup kran dengan siku atau tisu
Keringkan tangan dengan handuk atau tisu
Hindari setelah menyentuh benda disekitarnya setelah
mencuci tangan.

2.3

Konsep Kepatuhan Cuci Tangan


2.3.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Cuci Tangan
a
b
c
d
e
f
g
h

Kurang pengetahuan petugas / kurang informasi


Dukungan
Beban kerja
Sarana / fasilitas kebersihan tangan
Lokasi cuci tangan
Efek bahan cuci tangan
Kontroling / motoring
Peraturan dan poster

(Sumiarty, 2014).
Lankford, Zembover, Trick, Hacek, Noskin, & Peterson (2003)
bahwa faktor yang berpengaruh pada tindakan cuci tangan adalah
tidak tersedianya tempat cuci tangan, waktu yang digunakan untuk
cuci tangan, kondisi pasien, efek bahan cuci tangan terhadap kulit
dan kurangnya pengetahuan terhada standar. Sementara itu Tohamik
(2003) menemukan dalam penelitiannya bahwa kurang kesadaran
perawat dan fasilitas menyebabkan kurang patuhnya perawat untuk
cuci tangan.Kepatuhan cuci tangan juga dipengaruhi oleh tempat
tugas.

Menurut Saefudin, et.al. (2006), tingkat kepatuhan untuk melakukan


KU (Kewaspadaan Universal), khususnya berkaitan dengan HIV /
AIDS, dipengaruhi oleh faktor individu (jenis kelamin, jenis
pekerjaan, profesi, lama kerja dan tingkat pendidikan), faktor
psikososial (sikap terhadap HIV dan virus hepatitis B, ketegangan
dalam suasana kerja, rasa takut dan persepsi terhadap resiko), dan
faktor organisasi manajemen (adanya kesepakatan untuk membuat
suasana lingkungan kerja yang aman, adanya dukungan dari rekan
kerja dan adanya pelatihan).

Beberapa ahli sebagaimana dikemukakan oleh Smet (1994),


mengatakan bahwa kepatuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan
factor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan

dapat berupa tidak lain merupakan karakteristik perawat itu sendiri.


Karakteristik perawat merupakan ciri-ciri pribadi yang dimiliki
seseorang yang memiliki pekerjaan merawat klien sehat maupun
sakit (Adiwimarta, et.al. 1999 dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia).Karakteristik perawat meliputi variabel demografi (umur,
jenis

kelamin,

ras,

suku

bangsa

dan

tingkat

pendidikan),

kemampuan, persepsi dan motivasi.


2.3.2 Penyebab Ketidakpatuhan Cuci Tangan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Beban kerja berlebihan


Tidak tersedia sarana/ fasilitas kebersihan tangan
Lokasi cuci tangan terlalu jauh
Bila sering cuci tangan, tangan akan rusak
Tidak peduli
Petugas berpikir pasien membawa kuman dibadannya
Kurang penegtahuan petugas/ kurang informasi
Tidak ada dukungan
Tidak ada kontroling/motoring
Tidak ada peraturan dan poster

(Sumiarty, 2014)

2.3.3 Kewaspadaan untuk perawat dalam melakukan cuci tangan steril


Pakaian atau seragam scub perawat harus tetap kering. Air mengalir
berdasarkan gravitasi dari ujung jari ke siku. Jadi mempertahankan
tangan tetap tinggi sehingga memungkinkan air mengalirdari area
yang kurang ke yang paling terkontaminasi. Bila perawat ingin
menggunakan sarung tangan steril di areareguler, perawat tidak perlu
menyikat atau mengeringkan tangan dengan handuk steril. Dengan
penyabunan dan penggosokan yang dilakukan duakali sesuai
prosedur akan menjamin tangan bersih. Pada situasi ini perawat
dapat menggunakan handuk kertas untuk pengeringan. Pengeringan
dimulai dari area yang paling bersih ke area yang kurang bersih.
Pengeringan mencegah kulit kering dan memudahkan penggunaan
sarung tangan (perry & potter, 2005).

2.3.4 Pengukuran Kepatuhan Cuci Tangan


Pengukuran kepatuhan dikatagorikan menjadi :
a.

Patuh
Bila perilaku perawat sesuai dengan ketentuan yang diberikan
oleh profesional kesehatan.

b.

Tidak patuh
Bila perawat menunjukkan ketidak taatan terhadap intruksi yang
diberikan
(Niven, 2008).

Menurut Hamzah (2008), kepatuhan adalah jenis pekerjaan yang


dilaksanakan oleh perawat yang menggunakan kriteria adekuasi upaya, yaitu
sampai berapa jauh aktifitas dan tugas perawat yang secara aktual
dilaksanakan dibandingkan jumlah kategori pekerjaan (protap) secara
normatif yang telah ditentukan. Bila skor hasil kerja perawat diatas 50%
maka dikategorikan patuh, sedangkan dibawah 50% dikategorikan tidak
patuh. Namun karena tindakan invasif dan rentang terjadi infeksi
nosokomial maka kategori patuh ditingkatkan diatas 80%, sedangkan
dibawah 80% dikategorikan tidak patuh. Penilaian skor dengan cara:
menjumlahkan skor yang didapat dibagi skor maksimal dikalikan 100%.

Penelitian yang dilakukan oleh Joko J, Sriyono S, Ika W, Merry S (2012),


setelah peneliti memberikan edukasi dan mengingatkan untuk cuci tangan
selama sosialisasi, sedangkan setelah sosialisasi tidak diingatkan kembali.
Rata-rata kepatuhan cuci tangan 5 momen adalah 48,14% selama sosialisasi
dan setelah sosialisasi adalah 60,74% disini peningkatannya cukup
bermakna. Peningkatan kepatuhan cuci tangan ini sesuai dengan
peningkatan pengetahuan, yaitu sebelum sosialisasi hanya sekitar 80%
perawat yang mengetahui kepentingan dan prosedur cuci tangan dan setelah
sosialisasi meningkat menjadi 100%. Hal ini menunjukankan bahwa proses
sosialisasi berdampak positif terhadap kepatuhan cuci tangan. Peningkatan
kepatuhan cuci tangan ini sesuai dengan peningkatan pengetahuan, yaitu
sebelum sosialisasi hanya sekitar 80% perawat yang mengetahui
kepentingan dan prosedur cuci tangan dan setelah sosialisasi meningkat

menjadi 100%. Secara umum alasan kurangnya kesadaran mencuci tangan


adalah tingginya mobilitas perawat dan dokter sehingga secara praktis lebih
mudah menggunakan sarung tangan, hal tersebut memicu tingginya
penggunaan sarung tangan yang didukung kelalaian untuk cuci tangan
sebelum dan setelah menggunakannya serta program sosialisasi dapat
meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan cuci tangan 5 momen pada para
perawat yang bekerja

2.4

Konsep Perawat
2.4.1 Definisi Perawat
Perawat

atau Nurse berasal

dari

bahasa

latin

yaitu

dari

kata Nutrix yang berarti merawat atau memelihara.


Perawat adalah seseorang yang telah mampu menempuh serta lulus
pendidikan formal dalam bidang keperawatan yang program
pendidikannya telah disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia,
sedangkan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional
yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, yang
didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan berbentuk pelayanan
biopsiko, sosiokultural dan spiritual yang komprehensif, baik sehat
maupun sakit mencakup seluruh siklus kehidupan manusia.
Keperawatan berupa bantuan yang diberikan karena adanya
kelemahan fisik dan atau mental, keterbatasan pengetahuan, serta
kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara
mandiri (Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga PPNI, 2008).

Perawat Profesional adalah perawat yang bertanggung jawab dan


berwewenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri
dan atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan
kewenagannya (Depkes RI, 2002 dalam Aisiyah 2004). Menurut UU
RI NO 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, mendefinisikan Perawat
adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan
melakukan

tindakkan

keperawatan

berdasarkan

ilmu

yang

dimilikinya, yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan


(www.pustakaindonesia.or.id).
2.4.2 Peran Perawat
Aktifitas keperawatan meliputi peran dan fungsi pemberi asuhan
keperawatan, praktik keperawatan, pengelola institusi keperawatan,
pendidikan klien serta kegiatan penelitian dibidang keperawatan
(Nursalam, 2007).
a Peran Pelaksana
Peran ini dikenal dengan peran perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan secara langsung atau tidak langsung kepda
klien sebagai individu, keluarga dan masyarakat dengan metode
pendekatan

pemecahan

masalah

yang

disebut

proses

keperawatan. Dalam melaksanakan peran ini, perawat bertindak


sebagai Comforter, Protector, Advocate, Communicator dan
Rehabilitator.
b

Sebagai comforter,
Perawat berusaha memberi kenyamanan dan rasa aman pada
klien. Peran protector dan advocate lebih berfokus pada
kemampuan perawat melindungi dan menjamin hak dan

kewajiban klien agar terlaksana dengan seinbang dalam


memperoleh pelayanan kesehatan. Peran sebagai communicator,
perawat bertindak sebagai penghubung antara klien dengan
anggota kesehatan lainnya, sedangkan rehabilitator berhubungan
c

erat dengan tujuan pemberi asuhan keperawatan.


Peran Sebagai Pendidik
Perawat berperan dalam mendidik individu, keluarga, kelompok,
dan masyarakat serta tenaga kesehatan yang berada di bwah

tanggung jawabnya.
Peran Sebagai Pengelola
Sebagai pengelola, perawat melakukan pemantauan dan
menjamin kualitas asuhan atau pelayanan keperawatan serta
mengorganisasikan

dan

mengendalikan

sistem

pelayanan

keperawatan.
Peran Sebagai Peneliti
Sebagai peneliti dibidang keperawatan, perawat diharapkan
mampu mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan
prinsip dan metode penelitian, serta memanfaatkan hasil
penelitian untuk meningkatkan mutu asuhan atau pelayanan dan
pendidikan keperawatan.

2.4.3 Fungsi Perawat


Dalam praktiknya, fungsi perawat terdiri atas 3 fungsi yaitu
independen, interdependen dan dependen (Praptianingsih, 2007).
a

Fungsi Independen
Dalam fungsi ini, tindakan perawat tidak memerlukan perintah
dokter. Tindakan perawat bersifat mandiri, berdasarkan pada
ilmu dan kiat keperawatan. Oleh karena itu, perawat
bertanggungjawab terhadap akibat yang timbul dari tindakan

yang diambil. Contoh tindakan perawat dalam menjalankan


fungsi independen adalah:
1) Pengkajian seluruh sejarah kesehatan pasien / keluarganya
dan menguji secara fisik untuk menentukan status
kesehatan.
2) Mengidentifikasi tindakan keperawatan yang mungkin

dilakukan untuk memelihara atau memperbaiki kesehatan.


3) Membantu pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
4) Mendorong untuk berperilaku secara wajar.
Fungsi Interdependen
Tindakan perawatan berdasarkan pada kerjasama dengan tim
kesehatan. Fungsi ini tampak ketika perawat bersama tenaga
kesehatan lainnya berkolaborasi mengupayakan kesembuhan
pasien. Mereka biasanya tergabung dalam sebuah tim yang
dipimpin oleh seorang dokter. Sebagai sesama tenaga kesehatan
mempunyai kewajiban unuk memberikan pelayanan kesehatan

kepada pasien sesuai dengan bidang ilmunya.


Fungsi Dependen
Dalam fungsi ini, perawat bertindak membantu dokter dalam
memberikan peayanan medik. Perawat membantu dokter
memberikan pelayanan pengobatan dan tindakan khusus yang
menjadi wewenang dokter, seperti pemasangan infus, pemberian
obat dan melakukan suntikan. Oleh karena itu, setiap kegagalan
tindakan medis menjadi tanggungjawab dokter. Setiap tindakan
perawat yang berdasarkan perintah dokter. Setiap tindakan
perawat yang berdasarkan perintah dokter, dengan menghormati
hak pasien tidak termasuk dalam tanggung jawab perawat.

Anda mungkin juga menyukai