Anda di halaman 1dari 10

KERIPIK UBI JALAR UNGU

TUGAS TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN


Oleh Kelompok 34:
Lina Hastuti

12.70.0022

Aloysius Andreanto Rahardjo

12.70.0117

Siti Qolifah

12.70.0167

Rr. Ernadya E. P

12.70.0176

Talentea Cezar

12.70.0191

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2016

1. PENDAHULUAN

Salah satu cara pengolahan ubi jalar ungu adalah dengan digoreng.
Penggorengan merupakan unit operasi yang merubah kualitas bahan
pangan

sehingga

perusakan

enzim

mempunyai
dan

efek

pengawetan

mikroorganisme

secara

karena
thermal,

terjadi
serta

pengurangan Aw pada permukaan makanan. Secara teori bila bahan


pangan digoreng maka suhu permukaan meningkat dengan cepat dan
air teruapkan sehingga permukaan mulai mengering. Laju transfer
panas tergantung dari perbedaan suhu antara minyak dengan bahan
pangan dan juga koefisien transfer bahan pangan tersebut. Lamanya
penggorengan tergantung dari jenis bahan pangan, suhu minyak
goreng, metode penggorengan shallow atau deep fat frying, ketebalan
bahan pangan, dan perubahan bahan pangan yang dikehendaki
(Fellows, 1992). Proses penggorengan tersebut dapat memberi efek
terhadap komponen bioaktif dan aktivitas antioksidan pada bahan
makanan yang digoreng (Azizah et al., 2009).
Metode penggorengan di bagi menjadi dua macam yaitu :

Deep Fat Frying


Penggorengan dengan minyak melimpah dan bahan pangan terbenam
di dalam minyak panas. Perpindahan panas ditransfer secara konveksi
yaitu di dalam minyak goring, kemudian terjadi perpindahan panas
secara konduksi yaitu di dalam bahan pangan itu sendiri. Bahan pangan
yang cocok untuk metode ini adalah pisang, ayam, daging, dan lain
sebagainya. Keuntungannya yaitu lebih sukar terjadi oksidasi pada
bahan pangan serta panas lebih cepat merata, memberikan flavor yang
baik, rasa yang enak, dan tekstur yang disukai,

lapisan kering pada bahan

pangan, memberikan warna cokelat keemasan yang disukai, dan suhu


penggorengan yang tinggi dapat membunuh mikroorgansime (Sharma et al.,

2000). Kelemahannya adalah uap air yang keluar dari bahan tidak bisa
keluar langsung ke udara bebas tapi terjebak di dalam minyak panas
sehingga menunjang terjadinya hidrolisis.

Shallow Contact Frying


Penggorengan bahan pangan dilakukan dengan menggunakan minyak
terbatas dan biasanya digunakan untuk bahan pangan seperti burger
atau pastel. Keuntungannya adalah lebih efisien dan tidak banyak
minyak yang kontak dengan bahan, namun mudah kontak
dengan oksigen, sehingga bahan mudah teroksidasi. Kelemahannya
adalah panas yang kurang merata dan tidak cepat mencapai suhu yang
diinginkan. Panas ditansfer ke bahan secara konduksi dari permukaan
wajan melalui lapisan tipis minyak (Fellows,1990 ; Toledo, 1991)
Minyak merupakan campuran dari ester asam lemak dengan gliserol.
Medium yang digunakan selama penggorengan, yaitu minyak goreng
yang bisa berupa minyak sawi atau minyak kedelai. Minyak goreng jenis
ini mengandung sekitar 80% asam lemak tak jenuh jenis asam oleat dan
linoleat, kecuali minyak kelapa (Sartika, 2009). Minyak di sini berfungsi
sebagai penghantar panas, penambah rasa gurih dan penambah nilai
kalori bahan pangan. Namun dengan adanya minyak yang kontak dan
tertinggal pada bahan pangan, maka bisa memacu terjadinya oksidasi
bila pengemasan tidak dengan kemasan yang kedap oksigen, cahaya
dan panas (Winarno et al., 1980). Penggunaan minyak secara terus
menerus dalam waktu yang lama dan pada suhu tinggi, dapat
menyebabkan

minyak

teroksidasi

menjadi

karbonil

volatil,

asam

hidroksi, asam keton, dan asam epoksi. Senyawa-senyawa di atas dapat


mengakibatkan rasa tengik pada minyak dan warna minyak menjadi
lebih gelap. Polimerisasi molekul-molekul minyak tanpa disertai oksigen
akan menghasilkan senyawa siklik, dan polimer dengan berat molekul
yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan viskositas minyak. Hal ini
berdampak lebih lanjut dengan menurunnya koefisien perpindahan
panas

pada

permukaan

bahan

sewaktu

penggorengan,

serta

meningkatnya kadar minyak yang diserap oleh bahan pangan tersebut


(Fellows, 1990).

Selain itu, ada jenis metode penggorengan yang lain yaitu Vacuum
frying yang merupakan suatu metode penggorengan bahan pangan
dengan kadar air yang tinggi (berair) seperti buah-buahan. Bila bahan
dengan kadar air yang tinggi digoreng dengan cara biasa, maka bisa
terjadi letupan-letupan karena adanya gelembung-gelembung air yang
keluar dari bahan pangan atau karena adanya air dalam bahan pangan
tersebut dan adanya perbedaan tekanan sehingga bahan pangan yang
dihasilkan tidak bisa renyah. Keuntungan atau kelebihan dari vacuum
frying ini adalah mencegah terjadinya letupan-letupan pada saat
pemanasan, proses pemanasannya terjadi secara bertahap sehingga
lebih efektif, dan menghasilkan bahan pangan yang renyah. Sedangkan
kerugian atau kekurangan dari vacuum frying ini adalah harganya
mahal, biaya operasi, dan perawatannya mahal, membutuhkan banyak
energi, dan hanya dapat digunakan untuk bahan pangan dengan kadar
air yang tinggi (Fellows, 1992).
Dalam teknologi penggorengan ada suatu mesin yang disebut mesin
penggoreng vakum. Mesin penggoreng vakum memiliki prinsip utama
melakukan penggorengan pada kondisi vakum, yaitu 700 mmHg
dibawah tekanan atmosfer, normal. Kondisi vakum ini menyebabkan
penurunan titik

didih minyak dari 110-2000C menjadi 80-1000C.

Penurunan suhu penggorengan dapat mencegah terjadinya perubahan


rasa, aroma, warna dari bahan sehingga meminimalkan kerusakan
produk. Selain menurunkan suhu penggorengan, kondisi udara yang
dipertahankan kevakumannya dengan mengeluarkan uap air secara
terus menerus akan mempercepat proses pindah massa. Dengan
adanya perbedaan tekanan inilah dapat dihasilkan produk yang keras
meskipun kadar air awal bahan cukup tinggi. Mesin penggoreng vakum
biasanya diaplikasikan untuk buah, misalnya nangka, durian, pepaya,
nanas, apel, pisang (Rukmana, 1997).
2. SPESIFIKASI BAHAN PANGAN

Klasifikasi ubi ungu menurut Tjitrosoepomo (2004) adalah sebagai berikut:


Kingdom

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Sub divisio

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Ordo/Bangsa : Solanales
Familia/Suku : Convolvulaceae
Genus/Marga : Ipomoea
Species/Jenis : Ipomoea batatas. L.
Ubi ungu merupakan sumber karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi. Kandungan
karbohidrat dalam ubi ungu termasuk dalam karbohidrat kompleks dengan klasifikasi
Indeks Glikemik (IG) 54. Nilai Indeks Glikemik < 55 tergolong dalam kelompok rendah,
IG 55-70 sedag, dan IG >70 tinggi. IG yang rendah lebih lamban dicerna oleh tubuh
sehingga tidak menaikkan kadar glukosa darah secara cepat (Oktavia 2007). Ubi jalar ungu
juga mengandung vitamin (A, B1, B2, C, dan E), mineral (kalsium, kalium, magnesium,
tembaga, dan seng), serat pangan, serta karbohidrat bukan serat (Almatsier 2005). Warna
ungu pada ubi jalar ini disebabkan karena adanya pigmen antosianin yang ada pada bagian
kulit hingga ke daging umbinya (Sarwono,2005). Total kandungan antosianin ubi jalar
bervariasi berkisar antara 20 mg/100 g sampai924 mg/100 g berat basah. Pigmennya lebih
stabil jika dibandingkan antosianin dari sumber lain, seperti kubis merah, bluberi, dan
jagug merah. Kandungan antosianin dalam ubi jalar ungu berfungsi sebagai antioksidan,
antikanker, antibakteri, mencegah penyakit jantung dan stroke) (Apriyanto 2002). Ubi jalar
ungu dapat menjadi antikanker karena mengandung selenium dan iodine (Direktorat Gizi
dan Kesehatan, 1993). Ubi jalar ungu mempunyai kandungan betakaroten yang tinggi yaitu
9900 mkg/100 g. Betakaroten merupakan provitamin A yang di dalam tubuh akan diubah
menjadi vitamin A. Betakaroten juga termasuk antioksidan yang berperan dalam
mengurangi konsentrasi radikal peroksil. Kadar protein ubi jalar ungu berkisar 0,19-1,8%.
Rendahnya kadar gula dapat disebabkan protein yang larut dalam air (Leach 2002).
Tabel 1. Perbandingan Kandungan Gizi Ubi Jalar Ungu, Putih dan Kuning
Kandungan Gizi

Komponen Gizi Ubi Jalar Per 100 gram


Ubi ungu
Ubi putih

Ubi Kuning

Kalori (kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Air (g)
Serat Kasar (g)
Kadar Gula (g)
- karoten (g)
Antosianin (g)

123
1,8
0,7
27,9
68,5
1,2
0,4
30,2
110,15

123
1,8
0,7
27,9
68,5
0,9
0,4
31,2
30,2

136
1,1
0,4
32,3
71,2
1,4
0,3
114
32,2

3. PROSES PRODUKSI
Cara pembuatan keripik ubi jalar ungu yaitu, mula-mula ubi jalar ungu dicuci untuk
menghilangkan tanah yang melekat pada kulit ubi jalar ungu, kemudian ditiriskan yaitu
proses pengeringan ubi yang telah selesai dicuci sebelum tahap penggorengan. Setelah itu,
dilakukan pengupasan, selama pengupasan ubi jalar ungu yang telah dikupas direndam
dalam air sampai pengupasan selesai. Kemudian dipotong tipis-tipis dengan alat perajang
dan direndam larutan natrium bisulfit 0,3-0,5% agar tidak terjadi perubahan warna menjadi
cokelat. Setelah itu, direndam dalam air kapur sirih untuk membrikan tekstur keripik yang
renyah dan dicuci kembali hingga bersih.dilakukan perendaman Tahap selanjutnya,
pembubuan untuk memberikan bumbu pada keripik sesuai dengan rasa yang diinginkan sehingga
bumbu tercampur secara merata pada keripik.

Metode penggorengan yaitu dengan menggunakan vacum frying. Penggorengan vacum


frying dengan suhu 163-196C, apabila proses penggorengan tidak diperhatikan maka akan
menghasilkan produk yang gosong dan tidak layak dipasarkan. Namun apabila
penggorengan kurang matang, akan menyebabkan kerenyahan keripik berkurang. Proses
ini bertujuan untuk mematangkan ubi menjadi keripik. Kualitas minyak akan sangat
berperan dalam menghasilkan produk dengan rasa enak dan berpenampilan yang menarik.
Minyak yang baik akan meresap kedalam pori-pori produk sehingga bagian luar produk
akhir tetap kering. Selama pemasakan sebagian pati dihidrolisis menjadi maltosa dan
dekstrin oleh enzim beta amilase (Estiasih, 2010).
Penirisan bisa dilakukan dengan ayakan atau saringan. Penirisan dilakukan terhadap
keripik yang sudah digoreng untuk memisahkan minyak yang masih menempel pada saat
penggorengan sehingga keripik yang dihasilkan kering. Selain itu penirisan juga dapat
meningkatkan keawetan karena keripik yang kering akan terhindar dari ketengikan yang
biasanya berasal dari minyak. Pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan

kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan, salah satu fungsi pengemasan bahan
pangan yaitu harus dapat mempertahankan produk agar bersih da memberikan
perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran lainnya. Untuk melindungi produk dan
tidak terjadi perubahan warna, rasa, dan aroma maka kemasan yang digunakan harus bisa
melindungi produk dari uap air. Kemasan yang digunakan hendaknya berupa kemasan
dengan permeabilitas air rendah, yaitu kemasan yang sulit ditembus uap air. Proses
pengemasan juga harus sempurna untuk mempertahankan kualitas produk.

4. PERUBAHAN FISIKOKIMIA SELAMA PROSES PENGOLAHAN


5.

Pengolahan bahan pangan melalui pemanasan dapat memberikan

efek hilangnya tekstur pada produk akhir karena gelatinisasi pati,


kristalisasi

selulosa,

serta

keragaman

kandungan

air

selama

pengorengan yang dapat mengakibatkan pengkerutan pada tekstur


(Astawan & Astawan, 1988). Terjadinya penguapan air pada ubi jalar ungu selama
penggorengan yang ditandai dengan adanya gelembung-gelembung udara yang keluar dari
ubi jalar ungu. Penguapan air pada ubi jalar ungu selama penggorengan terjadi karena suhu
minyak sebagai media penggorengan melebihi titik didih air, sehingga air dalam bahan
menguap (Ratnaningsih, 2007). Efek penggorengan terhadap bahan pangan
antara lain yaitu bahan menjadi kering, renyah dan gurih, warna
berubah menjadi agak kuning kecoklatan karena reaksi Maillard yaitu reaksi
antara kardohidrat dengan protein selama penggorengan (Sartika, 2009), reduksi glukosa
akibat pemanasan suhu penggorengan, degradasi protein, serta flavor berubah
menjadi flavor minyak (Astawan & Astawan, 1988). Kandungan lemak di
dalam ubi jalar ungu dan minyak goreng yang terserap di dalamnya saat dipanaskan selama
penggorengan dan terjadi kontak dengan oksigen menyebabkan terjadinya oksidasi
perubahan asam lemak jenuh dari cis menjadi trans (Sartika, 2009).
6.
7.

Suhu dan fenol menyebabkan degradasi warna pada antosianin yang akhirnya

terjadi pencoklatan. Kerusakan akibat panas melalui dua tahap, pertama hidrolisis terjadi
pada ikatan glikosidik antosianin sehingga menghasilkan aglikon-aglikon yang tidak stabil.

Kedua, cincin aglikon terbuka membentuk gugus karbinol dan kalkon. Degradasi ini dapat
terjadi lebih lanjut jika terdapat oksidator sehingga terbentuk senyawa yang berwarna
cokelat (Hayati, 2012). Degradasi betakaroten juga terjadi pada saat penggorengan bahwa
kerotenoid akan mengalami kerusakan pada suhu tinggi yaitu melalui degradasi thermal
sehingga terjadi dekomposisi karotenoid yang mengakibatkan turunnya intensitas warna
karoten atau terjadi pemucatan warna. Hal ini terjadi pada kondisi oksidatif. Selain itu,
oksidasi betakaroten dapat menyebabkan penyimpangan citarasa. Pada suhu 60C belum
mengalami kerusakan, sedangkan pada suhu 180C pada kondisi vakum terjadi sedikit
kerusakan (Erawati, 2006).
8.
9.
10.
11. METODE UNTUK MENJAGA KUALITAS DAN NUTRISI PRODUK
SETELAH PROSES PENGOLAHAN
12.

Metode untuk mempertahankan kualitas setelah proses penggorengan pada ubi jalar

ungu yaitu, keripik ubi jalar ungu setelah digoreng diletakkan dalam wadah dan disekitar
ruangan memiliki kelembaban yang rendah serta suhu ruang 27-32C supaya kerenyahan
keripik tetap terjaga. Selain itu, Keripik ubi ungu diletakkan ditempat yang
tidak kontak langsung dengan cahaya atau apabila ingin dikemas
dengan kemasan yang tidak transparan agar warna stabil. Selanjutnya,
wadah keripik ubi ungu setelah digoreng diusahakan tertutup dan tidak
kontak dengan udara karena keripik ubi ungu yang mengandung minyak
apabila kontak dengan oksigen dapat menyebabkan oksidasi. Disisi lain,
masa simpan dari bahan pangan yang digoreng ditentukan oleh
kelembaban setelah digoreng (Azizah et al., 2009).
13.
14. KESIMPULAN
Warna cokelat dipermukaan keripik dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan serta

waktu dan suhu penggorengan.


Aroma keripik dipengaruhi oleh minyak dan jumlah pengulangan pemakaian minyak.
Rasa keripik dipengaruhi oleh perubahan sifat fisik dan kimia minyak selama
penggorengan.

Kerenyahan selalu dihubungkan dengan kadar air. Semakin rendah kadar air keripik
maka makin renyah. Kerenyahan keripik merupakan salah satu kriteria yang disukai
konsumen.

15.
16. DAFTAR PUSTAKA
17.
Astawan, M.W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan
Pangan Hewani Tepat Guna. Akademika Pressindo. Jakarta.
18. Azizah, A. H; Wee, K. C; Azizah, O; & Azizah, M. (2009). Effect of
boiling and stir frying on total phenolics, carotenoids and radical
scavenging activity of pumpkin (Cucurbita moschato). Malaysia.
19.

Almatsier, S. 2005. Prinsip dasar Ilmu Gizi. PT Garamedia Pustaka Utama


Jakarta.

20.
Apriyantono, A. 2002. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi dan Keamanan
Pangan. Karumo Women dan Education. Jakarta.
21.
Direktorat Gizi Depkes RI (1993).
22.
Erawati, C.M. 2006. Kendali Stabilitas Betakaroten Selama
Proses Produksi Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.). IPB Bogor.
23.

Estiasih, T. 2010. Problematika Industri Makanan Ringan (


Industri Aneka Makanan Keripik) Pelatihan Makanan Olahan
di Kabupaten Mojokerto tanggal 9 Desember 2010.

24.
Fellows, P. (1990). Food Processing Technology Principles and
Practise. Ellis Horwood Limited. New York.
25.
Fellows, P. (1992). Food Processing Technology : Principle
and Practise. Ellis Horwood Limited. New York.
26. Hayati, E.K., Budi, U.S., Hermawan, R. 2012. Konsentrasi Total
Senyawa Antosianin Ekstrak Kelopak Bunga Rosella : Prngaruh
Temperatur dan pH. Malang.
27.
Leach, H.W.2002. Gelatinization of starch. In: Whistler, R.L. and E.F. Paschal
(eds). Starch: Chemistry and Tecnology. Vol.1. Academic Press. New York.
28.
Oktavia, D. 2007. Kajian Makanan Ringan Ekstrudat. Jurnal II Standarisasi SNI 012086. 2000. 9 (4).
29. Rukmana, R. (1997). Budidaya Nangka. Kanisius. Yogyakarta.

30. Ratnaningsih. Rahardjo, B. Suhargo. 2007. Kajian Penguapan Air


dan Penyerapan Minyak Pada Penggorengan Ubi Jalar Dengan Metode
Deep-Fat Frying.Yogyakarta.
31.

Rukmana, R. (1997). Budidaya Nangka. Kanisius. Yogyakarta.

32.
Sartika, R. A. D. (2009). Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng
(Deep Frying) Terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Makara, sains, vol. 13, no. 1.
33.
Sarwono, B. 2005. Ubi Jalar, Cara Budi Daya yang Tepat, Efisien dan Ekonomis.
Seri Agribisnis. Penebar Swadaya. Depok.
34. Sharma, et all. (2000). Food process Enginering : Theory and
Laboratory Experiments. John Wiley & Sons, Inc. New York.
35. Winarno, F. G,; S. Fardiaz.; & D. Fardiaz. (1980). Pengantar
Teknologi Pangan. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

36.

Tjitrosoepomo, Gembong. 2004. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah


Mada University Press: Yogyakarta.
37. Toledo, R. T. (1991). Fundamentals of Foods Process Engineering.
Chapman & Hall, Inc. New York.
38.

Anda mungkin juga menyukai