Anda di halaman 1dari 4

RINGKASAN MATERI KELOMPOK 1

PENGARUH PROSES TERMAL PADA MAKANAN

Proses pengolahan pangan yang paling umum adalah dengan menggunakan


panas, salah satunya adalah proses termal yang ditujukan untuk metode pengawetan
dengan membunuh mikroba menggunakan panas. Perhitungan proses termal yang
termasuk didalamnya adalah waktu dan suhu proses dihitung untuk mencapai pada
tingkat inaktivasi mikroba (letal) yang dilakukan secara hati-hati untuk menjamin
keamanan kesehatan publik. Proses termal yang berlebihan harus dihindari karena
proses termal memiliki efek yang merugikan pada kualitas (faktor dan nutrisi dan
sensori) pangan (Sandeep, 2011).

Adapun beberapa pengaruh proses termal terhadap makanan, antara lain :

1. Aktivitas Mikroba
Proses termal sebagai salah satu metode pengawetan yang memanfaatkan
energi panas bertujuan untuk mematikan mikroorganisme yang dapat
menyebabkan penyakit dan menimbulkan kerusakan pada produk yang
dikemas. Proses termal dirancang untuk menurunkan aktivitas mikroba sampai
kadar yang dapat diterima dan menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan
pembusuk. Beberapa proses pengolahan yang menerapkan prinsip termal,
yaitu:
a. Blanching, dapat dilakukan dengan cara steaming (pengukusan) atau
boiling (perebusan) bahan pangan yang diolah. Tujuan dari blanching
diantaranya untuk meginaktivasi mikroba dan enzim serta memperbaiki
tekstur untuk memudahkan memasukkan bahan ke dalam wadah,
umumnya sayur dan buah yang akan dikalengkan.
b. Pasteurisasi, dilakukan dengan suhu kurang dari 100oC, yakni berkisar
antara 70-80oC. Tujuan pasteurisasi dapat untuk membunuh semua
mikroba patogen ataupun hanya untuk mengurangi sejumlah populasi
mikroba. Penggunaan suhu yang kurang dari 100oC, memungkinkan spora
dari jamur atau bakteri tidak mengalami kerusakan/destruksi, sehingga
perlu dilakukan penyimpanan pada suhu dingin.
c. Sterilisasi, menggunakan suhu di atas 100˚C (biasanya 115–130˚C
selama 15 menit) dan merupakan tahap akhir dari suatu pengolahan
pangan, seperti pada pengalengan makanan. Sterilisasi dilakukan untuk
membunuh semua mikrobia baik yang patogen/merusak yang bentuk
spora sel vegetatif.
2. Aktivitas Enzim
Penggunaan panas pada penerapan proses termal akan mempengaruhi aktivitas
enzim. Pada proses termal enzim inaktif pada suhu minimum 30oC. Enzim pada
bahan pangan perlu diinaktivasi karena biasanya akan mengganggu selama
proses penyimpanan produk, seperti lipoksigenase, polifenolase,
poligalakturonase dan peroksidase yang dapat menurunkan mutu sensoris serta
gizi produk. Proses termal selain untuk menginaktivasi enzim juga
mempermudah mengeluarkan udara yang terperangkap pada jaringan buah dan
sayuran sehingga mengurangi kerusakan oksidasi dan membantu proses
pengalengan dengan membentuk head space yang baik.
3. Nilai Nutrisi/Zat Gizi pada Makanan
Proses termal selama proses pengolahan juga akan mempengaruhi beberapa
aspek terkait kandungan gizi serta organoleptik dari bahan pangan tersebut,
seperti :
a. Warna
Suhu dan waktu yang digunakan dalam pengalengan mempengaruhi
pigmen dalam produk pangan, contohnya pada sayur dan buah. Klorofil
akan diubah menjadi faeofitin, karotenoid berisisomerisasi dari 5,6
etoksida menjadi 5,8 etoksida yang mempunyai intensitas warna lebih
rendah serta antosianin didegradasi menjadi berwarna cokelat. Semakin
tinggi suhu yang digunakan dan semakin lama pemasakan maka nilai
kecerahan semakin rendah atau semakin gelap karena dapat terjadi
pencoklatan non-enzimatis seperti reaksi Maillard dan karamelisasi.
b. Rasa dan Tekstur
Proses termal juga dapat mempengaruhi cita rasa serta tekstur bahan
pangan. Semakin tinggi suhu akan menyebabkan penguapan air semakin
besar dan merubah tekstur dari bahan, dan semakin lama waktu akan
menyebabkan kenaikan viskositas dikarenakan semakin banyak air
menguap dan total padatan terlarut semakin meningkat.
c. Protein
Pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak dikontrol dengan baik
dapat menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizinya. Pada pengolahan
dan penggunaan panas yang tinggi, protein akan mengalami beberapa
perubahan. Perubahan–perubahan ini termasuk rasemisasi yang
menyebabkan penurunan daya cerna protein oleh tubuh, hidrolisis,
desulfurasi dan deamidasi. Kebanyakan perubahan ini bersifat irreversibel
dan beberapa reaksi dapat menghasilkan senyawa toksik.
d. Minyak dan Lemak
Umumnya, setelah proses pengolahan pangan akan terjadi kerusakan
lemak yang terkandung di dalam bahan tergantung pada suhu dan waktu
yang digunakan. Semakin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan
lemak akan semakin intens. Asam lemak esensial terisomerasi ketika
dipanasakan dalam larutan alkali dan sensitif terhadap sinar, suhu, dan
oksigen. Pemanasan dapat menyebabkan penurunan kadar lemak karena
terbentuknya senyawa-senyawa volatil karbonil, asam-asam keton, asam
eksposi dan lain sebagainya.
e. Karbohidrat
Proses termal dengan suhu tinggi menyebabkan terjadinya depolimerisasi
molekul pati. Hal tersebut menyebabkan molekul amilosa yang dihasilkan
lebih sederhana, yaitu terdapat rantai lurus yang pendek sehingga sangat
mudah larut dalam air. Menurut Haryanti (2014), semakin lama
pemanasan maka kadar amilosa pada pati akan semakin menurun. Selain
itu, swelling power pati akan meningkat akibat pemanasan suspensi pati
pada suhu yang semakin tinggi disebabkan kadar amilosa yang semakin
rendah atau amilopektin dalam pati lebih tinggi.
f. Vitamin
Pada penelitian Hok dkk (2007) yang meneliti pengaruh suhu dan waktu
pemanasan terhadap kandungan vitamin A dan C menyatakan bahwa
semakin tinggi suhu, maka kadar vitamin C semakin banyak yang
terdegradasi karena panas dan pada suhu tinggi molekul-molekul
penyusun vitamin C terputus ikatannya sehingga vitamin C menjadi terurai
atau rusak. Sedangkan pada vitamin A, semakin tinggi suhu maka
penurunan kadar vitamin A semakin besar karena terdegradasi oleh panas
sensibel kenaikan suhu.

Anda mungkin juga menyukai