Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH MIKROBIOLOGI PANGAN

PENGARUH SUH RENDAH

Dosen Pengampu:

Dr. drh. Ratna Yulistiani, MP.

Disusun Oleh:

1. Achmad Wahyu Hidayat (19033010048 / Ketua)


2. Faizatul Lailiah (19033010044 / Wakil 1)
3. Faishal Hakim S. (19033010051 / Wakil 2)
4. Alfiya Dewi Novanda (19033010026 / Sekretaris 1)
5. Nadia Rahma Putri (19033010022 / Sekretaris 2)
6. Dea Dinda Sendy N. (19033010017 / Anggota)
7. R. Addo Athallasyah (19033010033 / Anggota)
8. Intan Putri Cindy L. (19033010035 / Anggota)
9. Sania Khoiri Rahma (19033010043 / Anggota)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNIK

UPN “VETERAN” JAWA TIMUR

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sudah sejak lama, manusia sudah dapat memanfaatkan panasnya api


untuk memasak bahan pangan. Dengan pemanasan, makanan menjadi bertambah
lezat ,mudah dikunyah, dan mudah dicerna. Manfaat pemanasan dalam
mengawetkan pemanasan sudah sejak 1810. Sejak saat itu, pengawetan makanan
dengan suhutermal berkembang dengan pesat.

Pengolahan suhu tinggi adalah pengolahan pangan dengan suhu tinggi


terhadap pangan menggunakan panas diatas normal (suhu ruang), yang
dimaksud dengan suhu ruang adalah suhu dalam keaadaan ruang berkisar 27 –
30 C. Pengolahan pangan dengan suhu tinggi memiliki beberapa macam proses
diantaranya adalah blanching, penggorengan, penyangraian, pasteurisasi,
sterilisasi, dan lain sebagainya

Suhu tinggi diterapkan baik dalam pengawetan maupun dalam


pengolahan pangan.Memasak, menggoreng, memanggang, dan lain-lain adalah
cara-cara pengolahan yang menggunakan panas.Proses-proses tersebut membuat
makanan menjadi lebih lunak, lebih enak, dan lebih awet.Pemberian suhu tinggi
pada pengolahan dan pengawetan pangan didasarkan kepada kenyataan bahwa
pemberian panas yang cukup dapat membunuh sebagian besar mikroba dan
menginaktifkan enzim.Selain itu makanan menjadi lebih aman karena racun-
racun tertentu rusak karena pemanasan, misalnya racun dari bakteri Clostridium
botulinum.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengaruh suhu tinggi terhadap bahan pangan?
2. Bagaimana pengaruh suhu tinggi terhadap mikroba dalam bahan pangan?
3. Mengapa kerusakan karena suhu tinggi dapat terjadi?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh suhu tinggi terhadap bahan pangan.
2. Mengetahui pengaruh suhu tinggi terhadap mikroba dalam bahan pangan.
3. Mengetahui kerusakan karena tinggi rendah dapat terjadi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SUHU TINGGI

Pengolahan suhu tinggi adalah pengolahan pangan dengan suhu tinggi terhadap
pangan menggunakan panas diatas normal (suhu ruang), yang dimaksud dengan suhu
ruang adalah suhu dalam keaadaan ruang berkisar 27 – 30 C. Pengolahan pangan
dengan suhu tinggi memiliki beberapa macam proses diantaranya adalah blanching,
penggorengan, penyangraian, pasteurisasi, sterilisasi, dan lain sebagainya
(Koeswardhani, 2006).

Tujuan utama perlakuan panas adalah untuk mengurangi populasi mikroba, baik
patogen maupun pembusukan, untuk menonaktifkan enzim dan untuk meminimalkan
reaksi kimia dan perubahan fisik (Lewis dan Deeth, 2009)

2.2 PERLAKUAN SUHU TINGGI

2.2.1 Pasteurisasi

Pemanasan membunuh bakteri dan menghentikan aktivitas enzim. Ada beberapa metode
Pemanasan:

• Mendidih, seperti saat membuat selai dan saus. Konsentrasi dengan cara direbus
(misalnya selai dan kembang gula) gunakan suhu yang lebih tinggi (105-120 ° C) dan
waktu pemanasan yang lebih lama untuk menghancurkan hampir semua mikro-
organisme dalam makanan. Ini juga mengurangi kadar air makanan.

• Memucat. Potongan sayuran dimasukkan ke dalam air dengan suhu di atas 90 °


C selama beberapa menit. Ini membunuh bakteri di permukaan sayuran dan
menghentikan aktivitas enzim apa pun.

• Pasteurisasi. Pasteurisasi menggunakan suhu yang lebih rendah dari pada air
mendidih sehingga menjaga rasa, warna dan nilai gizi dari air mendidih produk.
Pasteurisasi memperpanjang umur penyimpanan buah-buahan dalam kemasan dan jus,
serta saus dan haluskan, beberapa bulan.

Proses pasteurisasi dapat menurunkan nutrisi seperti asam folat, vitamin B12,
vitamin C, B6 dan B1 yang terkandung dalam susu hingga 10%. Proses UHT pada suhu
130-140˚C̊, kemungkinan terjadi penurunan kadar vitamin B 10%, asam folat 15%
(Holdsworth, 1992), dan penurunan vitamin C tertinggi sebesar 25% (Gliguem dan
Aragon 2005).

Beberapa vitamin sensitive terhadap panas, vitamin larut lemak seperti vitamin A
(dengan adanya oksigen), D, E, dan beta-karoten serta vitamin yang larut dalam air
seperti Vitamin C, B1, B2 dalam kondisi asam (Awuah dkk.2007).

• Sterilisasi panas (pengalengan dan pembotolan). Sterilisasi adalah proses serupa


untuk pasteurisasi yang digunakan untuk memperpanjang umur penyimpanan botol atau
produk kaleng. Ini membutuhkan peralatan khusus dan oleh karena itu tidak
direkomendasikan untuk digunakan dalam skala kecil. (Ali, 2016)

Suhu proses untuk membunuh spora mikroba patogen yang dapat membentuk
toksin dan dapat meracuni manusia umumnya dilakukan pada 110 - 130 C selama waktu
tertentu, tergantung pada kondisi dari produknya. Sedangkan suhu untuk mereduksi
jumlah C. botulinum dalam makanan kaleng adalah 121,1o C selama 3 menit
(Kusnandar, 2006).

Pasteurisasi adalah proses sterilisasi bahan baku yang tidak tahan panas seperti susu.
Pasteurisasi tidak mematikan semuamikroorganisme tetapi hanya mematikan kuman
yang patogen dan yang tidakmembentuk spora. Proses ini sering diikuti teknik lain
seperti pendinginan ataupemberian gula dengan konsentrasi tinggi.(Herendra, 2009)

Pada pH 6,7 hanya sekitar 30% dari protein whey yang terdenaturasi dikaitkan dengan
permukaan casein micelle. Jumlah sel somatik dan total bakteri sangat dipengaruhi oleh
kesehatan hewan dan kondisi kebersihan untuk memerah susu. Seperti yang diharapkan,
perlakuan panas bertujuan untuk mengurangi jumlah bakteri patogen dan spora patogen
resisten dan peningkatan umur simpan. Dalam penelitian ini, kami mengamati bahwa
perlakuan panas menurunkan sel somatik dan jumlah total bakteri susu. (Anema dan Li,
2003)

Pemanasan memiliki efek kecil pada nilai gizi lemak susu, yang menjelaskan variasi
kecil yang ditemukan dalam profil asam lemak susu yang dianalisis. Selain itu,
perubahan yang diamati dalam kandungan asam lemak susu setelah pemanasan
tampaknya kurang relevan daripada fakta terkenal bahwa komposisi lipid susu
ruminanus dipengaruhi oleh faktor genetik (misalnya, ras) dan lingkungan (misalnya,
diet dan manajemen), seperti yang diusulkan oleh Caroli et al. (2009).

2.3 PENGARUH PEMANASAN PADA BAHAN PANGAN

Semakin lama waktu pemasakan kadar air akan menurun, menyebabkan penguapan air
lebih banyak sehingga kadar air dalam bahan semakin kecil. Penguapan tersebut juga
diakibatkan karena terjadinya perbedaan tekanan uap antara air pada bahan dengan uap
air pada udara. Tekanan uap air pada bahan pada umumnya lebih besar dari tekanan uap
air di udara sehingga terjadi perpindahan massa air dari bahan ke udara (Fitriani, 2008).

Adanya proses pemanasan dapat mempengaruhi kadar gula, hal tersebut dikarenakan
terjadi penurunan kadar air sehingga persentase kadar gula meningkat. (Sutrisno, 2014)

Semakin tinggi suhu dan semakin lama pemasakan maka nilai rerata tekstur lempok
labu kuning semakin tinggi. Hal ini terjadi karena semakin tinggi suhu dan semakin
lama pemasakan akan menyebabkan penguapan air semakin besar sehingga kadar air
dalam bahan rendah yang menyebabkan tekstur yang mudah patah (Nilasari, dkk.,
2017).

Pencoklatan non enzimatis seperti reaksi Maillard dan karamelisasi ini sering terjadi
selama pemanasan. Reaksi Maillard yaitu reaksi antara gugus amino dari suatu asam
amino bebas residu rantai peprida atau protein dengan gugus karbonil dari suatu
karbohidrat apabila keduanya dipanaskan atau penyimpanan dalam waktu lama
(Lakshmi, 2014).
Reaksi Maillard meningkat tajam pada suhu yang tinggi dan menyebabkan pencoklatan
semakin cepat terjadi (Winarno, 2002). Selain itu jika pencoklatan disebabkan oleh
karamelisasi. Karamelisasi merupakan suatu proses pencoklatan karena degradasi gula-
gula tanpa adanya asam amino atau protein pada suhu tinggi. Tingkat kadar air kritis
dalam pencoklatan karamelisasi diduga terletak antara kadar air 1-30% (Cleveland et
al., 2001).

Pengolahan bahan pangan sangat mempengaruhi kerusakan yang terjadi pada protein.
Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pengolahan semakin tinggi kerusakan
protein yang terjadi pada bahan pangan tersebut. Penggunaan suhu 180° C – 300° C
pada penggorengan akan menyebabkan kerusakan yang cukup besar atau bisa
menurunkan nilai gizi protein (Zhang, 2016)

Namun, beberapa efek pemanasan mempengaruhi kualitas dan sifat teknologi susu.
Sakkas et al. (2014) menyarankan bahwa kelompok efek ini termasuk degradasi laktosa
terhadap asam organik dan pembentukan laktulosa, denaturasi protein whey,
penghancuran vitamin dan enzim, hidrolisis protein dan lipid dan gangguan kalsium /
fosfor keseimbangan. Efek lain termasuk rasa yang dimasak dan kehilangan nilai gizi
karena zat baru yang dibentuk oleh reaksi Maillard, yang berlanjut selama penyimpanan
susu yang dipanaskan (Elliott et al., 2005).

Perlakuan panas adalah metode yang paling sering digunakan karena mudah
dikendalikan untuk menghancurkan mikroorganisme dan menonaktifkan enzim.
Kematian akibat pemanasan merupakan fungsi eksponensial dan terjadi lebih cepat
dengan meningkatnya suhu.

Panas lembab, terutama uap, secara efektif membunuh mikroorganisme dengan


denaturasi dan koagulasi protein mikroorganisme. Aplikasi panas lembab adalah
pasteurisasi, tyndallization, blanching, pengeringan / pemekatan, perebusan, dan
sterilisasi.

Mekanisme inaktivasi mikroorganisme atau enzim oleh panas melibatkan


denaturasi protein dan peleburan membran lipid. Suhu mematikan tergantung pada
ketahanan panas mikroorganisme dan jumlah air di lingkungan. Perlakuan panas lembab
mendenaturasi asam nukleat, protein struktural, dan enzim. Situs utama yang terkena
panas dalam sel adalah DNA, membran sitoplasma, dinding sel, dan RNA. Panas
lembab, terutama uap, membunuh sel mikroba jauh lebih efektif daripada panas kering
karena membutuhkan suhu lebih rendah dan periode waktu yang lebih singkat. Ini
karena panas lembab menyebabkan denaturasi dan koagulasi protein (seperti enzim).
Ikatan penstabil (seperti C=O ∙ ∙ ∙ H-N) lebih mudah pecah ketika molekul air tersedia
untuk ikatan hidrogen. Hal tersebut dapat mendenaturasi protein, memecahkan
membran sel, dan menurunkan asam nukleat dan komponen seluler lainnya. Panas
lembab 2500 kali lebih efektif daripada panas kering pada suhu yang sama.

Panas kering melibatkan suhu yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama
untuk menghasilkan tingkat kematian yang sama seperti panas lembab. Hal ini
disebabkan oksidasi senyawa organik seluler sel (misalnya protein) dan
menyebabkannya “membakar” perlahan. Denaturasi protein sel terjadi pada suhu yang
lebih rendah dan waktu pemaparan yang lebih pendek dengan panas lembab daripada
yang diperlukan untuk oksidasi dan pembakaran pada panas kering. Misalnya,
endospora dari Bacillus anthracis dihancurkan dalam 2 - 15 menit dengan panas lembab
pada suhu 100oC, tetapi dengan panas kering dibutuhkan hingga 180 menit pada suhu
140°C untuk mencapai hasil yang sama.
BAB IV
PEMBAHASAN
Salah satu aplikasi suhu tinggi pada makanan yakni dapat berupa proses termal.
Proses termal dalam suatu pengolahan pangan bertujuan untuk memperpanjang
keawetan produk pangan dengan membunuh mikroba pembusuk dan patogen,
memperbaiki mutu sensori, melunakkan produk, meningkatkan daya cerna protein dan
karbohidrat, dan menghancurkan komponen-komponen yang tidak diperlukan. Salah
satu proses termal yang umum digunakan adalah sterilisasi. Sterilisasi ini dilakukan
secara komersial dengan cara menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang
cukup lama, sehingga tidak ada lagi mikroorganisme yang hidup pada suhu
penyimpanan normal. Tujuan utama perlakuan panas adalah untuk mengurangi
populasi mikroba, baik patogen maupun pembusukan, untuk menonaktifkan enzim dan
untuk meminimalkan reaksi kimia dan perubahan fisik (Lewis dan Deeth, 2009)

Proses sterilisasi menggunakan suhu tinggi dapat mengurangi jumlah mikroba


pada bahan pangan, misalnya pada susu. Hasil penelitian pada jurnal “Effects of
Pasteurization and Ultra-High Temperature Processes on Proximate Composition and
Fatty Acid Profile in Bovine Milk” menyatakan bahwa dalam penelitian ini perlakuan
panas dapat menurunkan sel somatik dan jumlah total bakteri susu.

Hasil penelitian ini pada jurnal “Effects of Pasteurization and Ultra-High


Temperature Processes on Proximate Composition and Fatty Acid Profile in Bovine
Milk”, menunjukkan bahwa pasteurisasi dan pengolahan UHT tidak secara substansial
mempengaruhi profil asam lemak susu. Hasil ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh
Claeys et al. (2014) yang menyatakan bahwa degradasi termal lipid susu umumnya
tidak diamati, karena suhu yang diperlukan untuk penguraian asam lemak non-oksidatif
(>200 ° C) jauh di luar kisaran di mana produk susu dipanaskan, mirip dengan apa yang
terjadi dalam penelitian ini ketika susu mentah diserahkan ke suhu ultra-tinggi (140 ° C
selama 3 detik). Dengan demikian dapat diduga bahwa pemanasan memiliki efek kecil
pada nilai gizi lemak susu, yang menjelaskan variasi kecil yang ditemukan dalam profil
asam lemak susu yang dianalisis. Selain itu, perubahan yang diamati dalam kandungan
asam lemak susu setelah pemanasan tampaknya kurang relevan daripada fakta terkenal
bahwa komposisi lipid susu ruminanus dipengaruhi oleh faktor genetik (misalnya, ras)
dan lingkungan (misalnya, diet dan manajemen), seperti yang diusulkan oleh Caroli et
al. (2009).

Pada jurnal yang berjudul “Effects of Pasteurization and Ultra-High Temperature


Processes on Proximate Composition and Fatty Acid Profile in Bovine Milk” memiliki
hasil penelitian yaitu, susu yang dipasteurisasi dan bersuhu sangat tinggi menjaga
kandungan protein dan laktosa mirip dengan susu mentah. Pasteurisasi dan proses suhu
ultra-tinggi mengubah komposisi susu sedikit, mengurangi total lemak dan total padatan
dan meningkatkan urea. Proses ini mengubah esensialitas asam lemak rantai pendek
(4:0, 6:0 dan 8:0). Proporsi asam palmatik yang tinggi (18:0), asam oleat (18:1 n-9),
asam stearat (18:0) dan asam myristik (14:0) ditemukan dalam semua susu yang
dianalisis. Pasteurisasi dan proses suhu ultra-tinggi tidak secara substansial mengubah
komposisi proksimat dan profil asam lemak dalam susu sapi mentah, mengenai sifat
nutrisi potensial dan manfaat akibatnya bagi kesehatan manusia.

Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Dewi, N. F, dkk (2019) berjudul
“Effect of Waiting Time and Process Temperature on the Quality of Commercially
Sterilized Flavored Liquid Milk” bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh lama waktu
tunggu dan suhu sterilisasi terhadap parameter kualitas terpilih produk susu cair rasa
yang disterilkan secara komersial. Sterilisasi pada temperatur yang berbeda berpengaruh
nyata terhadap pH susu cair rasa. Pada penelitian ini didapatkan suhu sterilisasi 121.9 oC
nilai pH 6.73, pada suhu 122.6oC nilai pH-nya 6.7 dan pada suhu 123,9oC nilai pH 6.6.
Chavan dkk. (2011) dan Takeda dkk. (2015) menjelaskan bahwa pemanasan susu pada
suhu di atas 100oC menyebabkan penurunan pH akibat pembentukan gugus organik
akibat laktosa.

Parameter lainnya pada penelitian ini adalah viskositas. Dari penelitian didapatkan
bahwa viskositas susu cair rasa setelah pemanasan lebih tinggi daripada viskositas susu
sebelum pemanasan. Atau dengan kata lain proses pemanasan dapat meningkatkan nilai
viskositas. Hal ini karena stabilizer yang digunakan untuk formulasi susu cair beraroma.
Penstabil tambahan bertujuan untuk menjaga kestabilan emulsi, pengikatan rasa dan air,
serta memperbaiki tekstur, konsistensi, dan kestabilan zat cair dalam suatu produk
pangan (Tuazon 1996). Selain itu penstabil tambahan dapat memperpanjang umur
simpan karena mampu mencegah pemisahan lemak susu dan pengendapan protein susu
(Sidley 2014). Pulkkkinen dkk. (2014) menyebutkan bahwa pemanasan akan
meningkatkan viskositas dan stabilitas produk.

Hasil penelitian menemukan bahwa proses sterilisasi pada 3 kondisi temperatur


yang berbeda berkorelasi signifikan dengan penurunan kadar vitamin B1 dan C. Jumlah
awal Vitamin B1 dan vitamin C adalah 1.15 mg/100mL dan 0.011 mg/100 mL.
Kandungan Vitamin B1 dan vitamin C setelah susu di sterilisasi adalah 1.125 mg/100
mL dan 0.009 mg/100 mL. Hal tersebut berarti kadar Vitamin B1 dan C secara
berurutan berkurang sebanyak 2% dan 18%. Sesuai dengan Asadullah dkk. (2010) dan
Cifelli dkk. (2010) yang menyebutkan bahwa penurunan vitamin B1, B2, B3, B6, B12
dan asam folat yang signifikan selama proses pemanasan bergantung pada jenis
pengolahan susu dan suhu.

Ketahanan panas mikroba atau sensitifitas panas mikroba oleh suhu pemanasan
yang dinyatakan dengan nilai D berbeda-beda untuk setiap mikroba. Nilai D merupakan
waktu dalam menit pada suhu tertentu yang diperlukan untuk menurunkan jumlah spora
atau sel vegetatif tertentu sebesar 90% atau satu logaritmik. Dalam jurnal “Optimasi
Proses Termal untuk Membunuh Clostridium botulinum” oleh Yuswita. E (2014)
dijelaskan bahwa bakteri mesofilik seperti C. botulinum memiliki nilai D sebesar 0,25
menit pada suhu 121,1o C (250o F). Artinya, untuk menurunkan jumlah C.botulinum
sebesar 90% memerlukan waktu 0,25 menit. Semakin besar nilai D suatu mikroba pada
suhu tertentu, maka semakin tinggi ketahanan panas mikroba tersebut pada suhu tertentu
pula. Hal ini sesuai dengan literatur Kusnandar (2006) yang menjelaskan bahwa suhu
proses untuk membunuh spora mikroba patogen yang dapat membentuk toksin dan
dapat meracuni manusia umumnya dilakukan pada 110 - 130 C selama waktu tertentu,
tergantung pada kondisi dari produknya. Sedangkan suhu untuk mereduksi jumlah C.
botulinum dalam makanan kaleng adalah 121,1o C selama 3 menit.

Penyimpanan bahan pangan pada suhu tinggi dapat mempengaruhi kualitas dan
sturktur kimia dalam bahan pangan. Hal ini didukung oleh penelitian berjudul
“Quantitative Comparative Proteomic Analysis of Chicken Egg Vitelline Membrane
Proteins during High-Temperature Storage”, yang menjelaskan bahwa suhu
penyimpanan dapat mempengaruhi kualitas telur lebih dari waktu penyimpanan,
misalnya putih telur dan pH kuning telur meningkat lebih banyak pada suhu yang lebih
tinggi daripada suhu yang lebih rendah selama penyimpanan. Banyak perubahan
kompleks seperti penipisan albumen, oksidasi lipid kuning telur, pelemahan dan
peregangan membran vitelline (VM), dan perubahan konformasi protein diamati di
dalam telur selama penyimpanan suhu tinggi. Kekuatan VM dan deformasi saat pecah
merupakan salah satu faktor kualitas saat mengevaluasi kesegaran telur ayam.

Penelitian yang dilakukan oleh Leviana W dan Vita Paramita (2017) membahas
tentang pengaruh waktu dan suhu pengeringan terhadap kadar air dan kualitas air serta
pengaruhnya terhadap daya simpan dalam bahan pangan kunyit. Pada pengeringan
simplisia kunyit orange dilakukan analisa aktivitas air (Aw) didapatkan range nilai
aktivitas air terhadap pemanasan dan lamanya pengeringan yang berbeda-beda yaitu 0,3
– 0,07 pada suhu 70ºC, 0,2 – 0,045 pada suhu 80ºC, dan 0,2 – 0,04 pada suhu 100ºC.
Berdasarkan data penelitian diatas semakin tinggi suhu dan lama waktu pemanasan akan
semakin kecil pula nilai aktivitas airnya. Hal ini sesuai dengan literatur McCabe et al.,
(1993) bahwa cara menurunkan nilai Aw antara lain dengan menambahkan suatu
senyawa yang dapat mengikat air, umumnya dilakukan pengeringan, baik dengan
penjemuran atau dengan alat pengering buatan. Metode pengeringan merupakan proses
penghilangan kandungan air dalam suatu zat padat (solid) atau campuran gas dengan
menggunakan sumber panas. Proses pengeringan dipengaruhi oleh udara pengering dan
ketebalan bahan yang dikeringkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tipis
bahan maka semakin cepat waktu pengeringannya. Hal ini didukung pula Fitriani (2008)
bahwa dalam proses pemasakan atau pemanasan pada bahan pangan semakin lama
waktu pemasakan maka kadar air akan menurun, menyebabkan penguapan air lebih
banyak sehingga kadar air dalam bahan semakin kecil. Penguapan tersebut juga
diakibatkan karena terjadinya perbedaan tekanan uap antara air pada bahan dengan uap
air pada udara. Tekanan uap air pada bahan pada umumnya lebih besar dari tekanan uap
air di udara sehingga terjadi perpindahan massa air dari bahan ke udara. Range nilai
aktivitas air yaitu 0 – 1. Semakin besar nilai aktivitas air maka semakin kecil daya tahan
bahan makanan begitu pula sebaliknya semakin kecil nilai aktivitas air maka semakin
lama daya simpan bahan makanan tersebut. Kandungan air dalam bahan makanan
mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dapat
digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya.

Nilasari O.W, dkk (2017) melakukan percobaan terhadap pengolahan lempok


akan dilakukan pada suhu pemasakan (70±20C, 80±20C, dan 90±20C) dan lama
pemasakan (90,120, dan 150 menit) untuk memperoleh kualitas terbaik yakni tekstur
yang tidak terlalu lembek dan tidak terlalu keras. Dari percobaan tersebut didapatkan
bahwa ternyata lama waktu pemasakan serta tinggi suhu yang digunakan berpengaruh
terhadap perubahan kimia lempok yang meliputi kadar air, total gula, total karoten dan
perubahan fisik yang berupa tekstur.

Pada perubahan kimia kadar air didapatkan bahwa semakin tinggi suhu
pemasakan dan semakin lama pemasakan maka kadar air pada lempok labu kuning
mengalami penurunan karena proses pemasakan. Proses pemasakan dilakukan untuk
meningkatkan viskositas pada produk lempok labu kuning dan mempercepat penguapan
air dalam bahan. Karena kadar air dalam bahan menurun, maka konsentrasi atau
kandungan gula dalam lempok akan meningkat sehingga rasa lempok menjadi lebih
manis. Hal ini sesuai dengan literatur Sutrisno (2014) bahwa proses pemanasan dapat
menurunkan kadar air sehingga persentase kadar gula meningkat.

Total karoten pada proses pemasakan akan mengalami penurunan karena adanya
pemanasan. Menurut Belitz et al. (2009) stabilitas karoten berkaitan dengan keberadaan
ikatan rangkap dan ikatan tidak jenuh dalam struktur molekul karoten. Ikatan rangkap
pada rantai hidrokarbon karoten berada dalam bentuk trans. Struktur karoten dapat
mengalami isomerisasi termal selama pemasakan menjadi bentuk cis. Senyawa karoten
dalam bentuk cis memiliki stabilitas rendah dari trans yang mengakibatkan senyawa
tersebut mudah teroksidasi pada kondisi perlakuan pamanasan.

Semakin tinggi suhu dan semakin lama pemasakan maka nilai rerata tekstur
lempok labu kuning semakin tinggi. Hal ini terjadi karena semakin tinggi suhu dan
semakin lama pemasakan akan menyebabkan penguapan air semakin besar sehingga
kadar air dalam bahan rendah yang menyebabkan tekstur yang mudah patah.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, S. A. 2016. Principles of post-harvest handling, storage and processing of fruits and
vegetables. Afghanistan: Food and Agriculture Organization of the United Nations

Anema, S.G. and Y. Li, 2003. Effect of pH on the association of denatured whey
proteins with casein micelles in heated reconstituted skim milk. J. Agric. Food
Chem., 51: 1640-1646.

Caroli, A.M., S. Chessa and G.J. Erhardt, 2009. Invited review: Milk protein
polymorphisms in cattle: Effect on animal breeding and human nutrition. J. Dairy
Sci., 92: 5335-5352.
Elliott, A.J., N. Datta, B. Amenu and H.C. Deeth, 2005. Heat-induced and other
chemical changes in commercial UHT milks. J. Dairy Res., 72: 442-446
Herendra. 2009. Pengaruh proses distribusi terhadap peningkatan angka kumanpada susu sapi
segar di peternakan Ram Kecamatan Mojosongo KabupatenBoyolali. Skripsi Fakultas
Kedokteran, Universitas Sebelas Maret.Surakarta.

Koeswardhani M, dkk. 2006. Materi Pokok Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta : Buku Materi
Pokok Universitas Terbuka.

Lakshmi, Chaitanya. 2014. Food Coloring: The Natural Way. Research Journal of
Chemical Sciences 4(2): 87-96Nilasari, O.W., Susanto, W.H., dan Maligan, J.M.
2017. Pengaruh Suhu dan Lama Pemasakan Terhadap Karakteristik Lempok
Labu Kuning (Waluh). Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.5 No.3:15-26

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Zhang, L. L. 2016. Changes of Protein Secondary Structure and Pollock Surimi Gels
under High Temperature. J Food Eng. 171, 159-163

Anda mungkin juga menyukai