Anda di halaman 1dari 23

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN DAN HASIL PERTANIAN

PENGOLAHAN SUHU RENDAH DAN SUHU TINGGI

LAPORAN PRAKTIKUM

Oleh
Sindy Nur Afita
NIM 171710101117
KELOMPOK 2/ THP-B

Asisten : 1. Lilik Krisna M.


2. Ika Wahyuni
3. Seno Dwi Pratama P.
4. Afina Desi Wulandari
5. Livia Wahyuni

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahan pangan hasil pertanian relatif mudah mengalami perubahan yang
mengarah pada kerusakan bahan pangan tersebut, terutama pada bahan pangan
yang sering kita konsumsi setiap harinya yang cenderung bersifat perishable
seperti daging, buah, dan sayur. Jenis kerusakan yang terjadi pada bahan pangan
sangat beragam. Banyak hal yang dapat menjadi pemicu kerusakan tersebut,
diantaranya mikroorganisme, suhu, penyimpanan, pengolahan pasca panen, dan
masih banyak lagi faktor pemicu lainnya.
Ada banyak metoda dan cara untuk mencegah terjdinya kerusakan bahan
pangan tersebut, salah satunya dengan thermal processing. Suhu tinggi
diterapkan baik dalam pengawetan maupun dalam pengolahan pangan.
Memasak, menggoreng, memanggang, dan kegiatan pemanasan lain adalah
cara-cara pengolahan yang menggunakan panas. Pemanasan dapat
menghentikan aktifitas atau metabolisme mikroba. Pada umumnya pengawetan
dengan suhu tinggi tidak mencakup pemasakan, penggorengan, maupun
pemanggangan. Yang dimaksud dengan pengawetan menggunakan suhu tinggi
adalah proses-proses komersial dimana penggunaan panas terkendali dengan
baik, antara lain sterilisasi, pasteurisasi , dan blansing. Selain metode suhu
tinggi, penyimpanan pada suhu rendah (mendekati titik beku air) juga dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk disamping dapat
mengurangi laju respirasi bahan hasil pertanian. Pendingin tidak bisa
membunuh mikroorganisme, tetapi hanya menghambat pertumbuhannya.
Untuk itu, baha hasil pertanian seperti sayur dan buah yang akan disimpan harus
dibersihkan terlebih dahulu. Perubahan yang terjadi selama penyimpanan yaitu
penurunan ketegaran dan kepadatan,warna oksidasi lemak dan
melunaknya jaringan-jaringan serta rasa pada bahan pangan.
Berdasarkan uraian di atas, melalui praktikum ini perlu diketahui proses
pengolahan berbagai bahan hasil pertanian menggunakan suhu rendah dan suhu
tinggi.
1.2 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan dari praktikum adalah sebagia berikut:
1) mendeskripsikan proses pengolahan suhu rendah,
2) mendeskripsikan proses pengolahan suhu tinggi, dan
3) mendeskripsikan perubahan kualitas bahan pangan pasca pengolahan.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Suhu Rendah


2.1.1 Macam-Macam Penyimpanan Suhu Rendah
a) Pendinginan
Pendinginan atau refrigerasi ialah penyimpanan dengan suhu rata-rata yang
digunakan masih di atas titik beku bahan. Kisaran suhu yang digunakan biasanya
antara -100C - 400C. Pada suhu tersebut, pertumbuhan bakteri dan proses biokimia
akan terhambat. Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan pangan selama
beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada jenis bahan pangannya.
Pendinginan yang biasa dilakukan di rumah-rumah tangga adalah dalam lemari es
yang mempunyai suhu -200C sampai 160C (Rusendi, 2010).
b) Pembekuan
Pembekuan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan dengan cara
membekukan bahan pada suhu di bawah titik beku pangan tersebut. Dengan
membekunya sebagian kandungan air bahan atau dengan terbentuknya es
(ketersediaan air menurun), maka kegiatan enzim dan jasad renik dapat dihambat
atau dihentikan sehingga dapat mempertahankan mutu bahan pangan. Mutu hasil
pembekuan masih mendekati buah segar walaupun tidak dapat dibandingkan
dengan mutu hasil pendinginan. Pembekuan dapat mempertahankan rasa dan nilai
gizi bahan pangan yang lebih baik daripada metoda lain, karena pengawetan dengan
suhu rendah (pembekuan) dapat menghambat aktivitas mikroba mencegah
terjadinya reaksireaksi kimia dan aktivitas enzim yang dapat merusak kandungan
gizi bahan pangan. Walaupun pembekuan dapat mereduksi jumlah mikroba yang
sangat nyata tetapi tidak dapat mensterilkan makanan dari mikroba (Frazier, 1977).
Menurut Tambunan (1999), pembekuan berarti pemindahan panas dari
bahan yang disertai dengan perubahan fase dari cair ke padat, dan merupakan salah
satu proses pengawetan yang umum dilakukan untuk penanganan bahan pangan.
Pada proses pembekuan, penurunan suhu akan menurunkan aktifitas
mikroorganisma dan sistem enzim, sehingga mencegah kerusakan bahan pangan.
Selain itu, kristalisasi air akibat pembekuan akan mengurangi kadar air bahan dalam
fase cair di dalam bahan pangan tersebut sehingga menghambat pertumbuhan
mikroba atau aktivitas sekunder enzim.
2.1.2 Pengaruh Suhu Terhadap Penyimpanan Bahan Pangan
a) Pendinginan
Peningkatan suhu antara 00C – 350C akan meningkatkan laju respirasi
buah-buahan dan sayuran, yang memberi petunjuk bahwa baik proses biologi
maupun proses kimiawi dipengaruhi oleh suhu. Asas dasar penyimpanan dingin
adalah penghambatan respirasi oleh suhu tersebut. (Pantastico, l997). Pendinginan
dapat memperlambat kecepatan reaksi-reaksi metabolisme, dimana pada umumnya
setiap penurunan suhu 80C, kecepatan reaksi akan berkurang menjadi kira-kira
setengahnya. Karena itu penyimpanan dapat memperpanjang masa hidup jaringan-
jaringan dalam bahan pangan, karena keaktifan respirasi menurun (Winarno dkk,
l982). Perubahan yang terjadi antara lain kenaikan kandungan gula, disusul
penurunannya. Hal ini terjadi akibat pemecahan polisakarida-polisakarida.
Perubahan keasaman dapat berbeda sesuai tingkat kemasakan dan tingginya suhu
penyimpanan. Pada umumnya turunnya asam askorbat lebih cepat pada suhu
penyimpanan tinggi. Asam-asam amino dengan cepat berkurang selama
penympanan suhu rendah yaitu antara 6-200C tetapi stabil pada suhu 20C. Kegiatan
ezim-enzim katalase, pektinesterase, selulase dan amilase meningkat selama
penyimpanan. Perubahan lain yaitu penurunan ketegaran dan kepadatan, warna
okasidasi lemak dan melunaknya jaringan-jaringan serta rasa pada bahan pangan.
b) Pembekuan
Penyimpanan produk beku merupakan salah satu faktor yang menentukan
kualitas bahan hasil pertanian. Di Eropa, penyimpanan produk beku pada suhu -
20°F (-29°C) dapat mempertahankan mutu produk beku selama penyimpanan.
Namun, secara tradisional penyimpanan beku dilakukan pada suhu 14°F (-10°C)
dan atau 0°F (-18°C). Penyimpanan beku pada suhu sekitar -18°C dan di bawahnya
dapat mencegah kerusakan mikrobiologi, dengan syarat tidak terjadi fluktuasi suhu
yang terlalu besar.
2.1.3 Mekanisme Pembekuan
Proses pembekuan terjadi secara bertahap dari permukaan sampai pusat
bahan. Pada pemukaan bahan, pembekuan berlangsung cepat sedangkan pada
bagian yang lebih dalam, proses pembekuan berlangsung lambat (Brennan, 1981).
Pada awal proses pembekuan, terjadi fase precooling dimana suhu bahan
diturunkan dari suhu awal ke suhu titik beku. Pada tahap ini semua kandungan air
bahan berada pada keadaan cair (Holdworth, 1968). Setelah tahap precooling terjadi
tahap perubahan fase, pada tahap ini terjadi pembentukan kristal es (Heldman dan
Singh, 1981).
2.2 Suhu Tinggi
2.2.1 Definisi Pengolahan Suhu Tinggi
Suhu tinggi diterapkan baik dalam pengawetan maupun dalam pengolahan
pangan. Memasak, menggoreng, membakar dan lain-lain adalah cara-cara
pengolahan pangan yang menggunakan panas. Proses-proses tersebut membuat
makanan menjadi lebih lunak, lebih enak dan lebih awet karena panas juga akan
mematikan sebagian dari mikroorganisme dan menonaktifkan enzim-enzim, serta
dapat membuat makanan menjadi lebih aman karena toksin-toksin tertentu rusak
oleh pengaruh panas.
2.2.2 Definisi Bahan Yang Digunakan
Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan jenis tanaman polong-
polongan yang banyak mengandung protein nabati dan dapat dikonsumsi dalam
berbagai bentuk, antara lain sebagai bahan sayur, saus, dan di goreng atau di rebus.
Sebagai bahan industri dapat dibuat keju, mentega, sabun, dan minyak. Daun
kacang tanah juga dapat digunakan untuk pakan ternak dan pupuk. Sebagai bahan
pangan dan pakan ternak yang bergizi tinggi, kacang tanah mengandung lemak
(40—50%), protein (27%), karbohidrat, serta vitamin (A, B, C, D, E, dan K).
Disamping itu, juga mengandung bahan-bahan mineral, antara lain Ca, Cl, Fe, Mg,
P, K, dan S (Suprapto, 1993).
Menurut Rukmana (2007), taksonomi tanaman kacang tanah adalah
Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Classis:
Dicotyledoneae, Ordo: Rosales, Familia: Leguminoceae, Genus: Arachis, Species:
Arachis hypogaea L. Kacang tanah mempunyai dua tipe pertumbuhan yang berbeda
yaitu tipe tegak dan menjalar. Tipe tegak lebih disenangi oleh petani karena
berumur genjah yaitu 100-120 hari dan saat panen lebih mudah. Sedangkan tipe
menjalar berumur panjang yaitu 5-6 bulan dan ginofornya menyebar menurut arah
menyebarnya cabang tanaman (Somaatmaja, 1990).
Varietas adalah sekelompok spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman,
pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, dan ekspresi karakteristik genotip yang
dapat membedakan dari jenis yang sama dan sekurang-kurangnya terdapat satu sifat
yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan. Sifat
unggul kacang tanah antara lain: potensi hasil tinggi, tipe spanish dan valensia,
umur pendek, tahan terhadap hama/penyakit, respon terhadap pemupukan, toleran
kekeringan, toleran naungan, dan toleran lahan masam (Suhartina, 2005).
2.2.3 Jenis Pengolahan Suhu Tinggi
a) Penggorengan
Penggorengan merupakan salah satu proses olahan pangan yang sangat
popular. Menggoreng merupakan suatu proses untuk memasak bahan pangan
menggunakan lemak atau minyak pangan. Selama proses pemasakan ini terjadi
pindah panas dan pindah massa (Ketaren, 1986; Azkenazi et al, 1984). Sedangkan
menurut Muchtadi (2008), penggorengan adalah suatu proses pemanasan bahan
pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai pengantar panas.
Pindah panas dalam proses penggorengan merupakan pindah panas secara
konduksi, yang terjadi di bagian dalam bahan dan pindah panas secara konveksi
yang banyak terjadi pada minyak dan dari minyak ke bahan. Pindah massa dalam
proses penggorengan ditandai dengan hilangnya sejumlah kandungan air bahan
yang terjadi karena menguapnya air dari bagian renyahan (Hallstrom, 1980 di
Paramita, 1999).
Proses penggorengan terdiri dari 4 tahap. Tahap pertama disebut tahap
pemanasan awal. Pindah panas yang terjadi antara minyak dan bahan adalah
konveksi dan belum ada penguapan dari bahan. Tahap kedua terjadi dimana lapisan
luar bahan pangan mulai mendidih. Pada tahap ini penguapan air bahan mulai
terjadi sehingga terbentuk renyahan.Tahap ketiga disebut Falling Rate, ditandai
dengan lebih 8 banyak air keluar dari bahan pangan, suhu permukaan bahan diatas
1000C, temperatur lapisan inti (Core) mulai mencapai titik didih, lapisan renyahan
terus terbentuk. Tahap keempat disebut Bubble End Point, terjadi jika bahan pangan
digoreng untuk waktu yang lama sehingga laju penguapan air berkurang dan tidak
ada gelembung terlihat di lapisan permukaan bahan. Menurut Rossell (2001), pada
penggorengan sistem celup bahan dikellingi oleh minyak goreng dengan urutan
perilaku sebagai berikut :
1.Air yang terletak di permukaan bahan akan membentuk uap
2. Suhu minyak akan turun
3. Panas yang diberikan menimbulkan reaksi dari komponen bahan dan minyak
4. Pengeringan di permukaan bahan dan penyerapan minyak diikuti pembentukan
aroma dan tekstur.
b) Penyangraian
Penyangraian menurut bahasa berasal dari kata sangrai yang artinya
menggoreng tanpa minyak. Sehingga penyangraian dapat diartikan sebagai proses
menggoreng bahan tanpa menggunakan minyak. Bahan yang biasa diolah
menggunakan metode penyangraian adalah kopi, kakao, dan biji kacang-kacangan.
Menurut Mawaddah (2012), penyangraian adalah proses pindah panas baik tanpa
media maupun menggunakan pasir dengan tujuan mendapatkan cita rasa tertentu.
c) Pasteurisasi
Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang
relatif cukup rendah (umumnya dilakukan pada suhu di bawah 1000C) dengan
tujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme pembusuk, sehingga bahan
pangan yang di-pasteurisasi tersebut akan mempunyai daya awet beberapa hari
(seperti produk susu pasteurisasi) sampai beberapa bulan (seperti produk sari buah
pasteurisasi) (Bejan dan Alan, 2003).
Walaupun proses ini hanya mampu membunuh sebagian populasi
mikroorganisme, namun pasteurisasi ini sering diaplikasikan terutama jika:
1) Dikhawatirkan bahwa penggunaan panas yang lebih tinggi akan menyebabkan
terjadinya kerusakan mutu (misalnya pada susu).
2) Tujuan utama proses pemanasan hanyalah untuk membunuh mikroorganisme
patogen (penyebab penyakit, misalnya pada susu) atau inaktivasi enzimenzim yang
dapat merusak mutu (misalnya pada sari buah).
3) Diketahui bahwa mikroorganisme penyebab kebusukan yang utama adalah
mikroorganisme yang sensitif terhadap panas (misalnya khamir/ragi pada sari
buah).
4) Akan digunakan cara atau metode pengawetan lainnya yang dikombinasikan
dengan proses pasteurisasi, sehingga sisa mikroorganisme yang masih ada setelah
proses pasteurisasi dapat dikendalikan dengan metode pengawetan tersebut
(misalnya pasteurisasi dikombinasikan dengan pendinginan, penambahan gula
dan/atau asam, dan lain-lain). Proses kombinasi pasteurisasi dan pengawetan lain
ini di antaranya diaplikasikan dalam proses hot filling, seperti dalam proses
pengolahan saus dan jem.
d) Sterilisasi
Sterilisasi merupakan suatu proses membunuh semua mikroorganisme atau
jasad renik yang ada di dalam suatu alat atau bahan, sehingga jika alat atau bahan
tersebut digunakan di dalam suatu medium, maka pertumbuhan jasad renik tidak
dapat berkembang biak. Di dalam sterilisasi, sterilisasi harus dapat membunuh
jasad renik yang paling tahan terhadap suhu panas yaitu spora bakteri (Sandjaja,
2002).
Sterilisasi yang dilakukan pada peralatan tidak sepenuhnya dapat
membunuh mikroorganisme, hal itu menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri
tersebut masih berlangsung dan tidak sempurnanya proses sterilisasi. Jika sterilisasi
berlangsung sempurna, maka spora bakteri yang merupakan bentuk paling resisten
dari suatu kehidupan mikroba akan dihilangkan (Suriawira, 2003).
Proses sterilisasi yang biasanya dilakukan adalah sterilisasi yang dilakukan
secara fisik misalnya dengan pemanasan, sterilisasi dengan menggunakan bahan
kimia misalnya dengan menggunakan desinfektan, larutan alkohol, dan formalin
dan sterilisasi secara mekanik seperti dengan menggunakan saringan atau filter
(Suriawira, 2003).
2.2.4 Teknik Enrobing dan Coating
Fellows (1990) menyatakan coating dan enrobing adalah kegiatan
setelah proses yang dilakukan dengan menyalut makanan dengan edible coating.
Tujuan utama coating dan enrobing adalah memperbaiki eating quality dan
menambah variasi jumlah makanan. Selain itu, dapat memperbaiki karakteristik
perlakuan , penampilan, dan sebagai pembawa ingredient yang ditambahkan.
Selain itu dapat menaikkan umur simpan makanan atau mencegah makanan menuju
kemunduran atau deterioration karena bertindak sebagai barrier pergerakan uap
air, gas O2 , gas CO2 , aroma volatile dan senyawa-senyawa lain.

Asideu (1989) mengungkapkan produk coating dan enrobing dapat diubah


sesuai yang dikehendaki karena dapat melindungi dari kerusakan mekanis.
Kenekaragaman penyalut yang digunakan untuk memberikan suatu bahan
appearance yang berbeda dari penampilan sebelumnya, yaitu
berupa gloss dan color dapat menjadi keunggulan dari produk itu sendiri. Setelah
mengalami coating dan enrobing, bahan makanan biasanya akan
mengikuti ingredient yang dibawa oleh penyalutnya. Ketebalan dari coating dan
enrobing ditentukan oleh viscositas bahan. Semakin tinggi viscositas bahan akan
semakin tebal bumbu yang menyelimuti bahan makanan (Warsito, 2003).
Proses coating dan enrobing menghasilkan perubahan pada warna, rasa,
tekstur, dan juga flavor. Menurut Deman (1989) warna penting bagi banyak
makanan. Warna memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia pada makanan,
seperti reaksi browning. Tekstur merupakan faktor penentu mutu makanan daripada
warna dan rasa. Ciri dari tekstur adalah renyah, berminyak, rapuh, empuk, bersari,
menepung, dan mengeripik. Flavor merupakan kombinasi bau, rasa,
dan mouthfeel.
BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
1) Timbangan Analitis
2) Kompor
3) Wajan
4) Spatula
5) Beaker Glass
6) Lemari es
7) Pisau
8) Baskom
3.1.2 Bahan
1) Kacang tanah
2) Nanas
3) Bayam
4) Telur ayam
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Penyangraian

Bahan

Penimbangan

Pengamatan (sebelum disangrai)


(warna, aroma, tekstur)

Penyangraian selama 5 menit

Penirisan

Penimbangan

Pengamatan (setelah disangrai)


(warna, aroma, tekstur, dan rasa)
3.2.2 Pembekuan

Bahan

Penimbangan

Pengamatan (berat/volume, kesegaran,aroma, warna, dan tekstur)

Penyimpanan di dalam refrigerator selama 4 hari

Pengamatan (berat/volume, kesegaran,aroma, warna, dan tekstur


BAB 5. PEMBAHASAN

5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan


5.1.1 Penyangraian
Langkah pertama, bahan yang telah disiapkan kemudian ditimbang sebelum
disangrai untuk diperoleh data berat sebelum disangrai. Langkah kedua, bahan
diamati warna, aroma, dan teksturnya. Langkah ketiga, bahan dimasukkan ke dalam
wajan untuk disangrai sampai terjadi perubahan yang diinginkan selama ± 5 menit.
Jika terlalu lama, akan mempengaruhi sifat fisik bahan. Langkah keempat, bahan
yang telah disangrai ditiriskan untuk menurunkan panas pada bahan, selanjutnya
bahan ditimbang untuk didapatkan data berat setelah disangrai. Langkah kelima,
pengamatan warna, aroma, dan tekstur bahan.
5.1.2 Pembekuan
Langkah awal yang dilakukan dalam praktikum pembekuan ialah
menimbang masing-masing sampel yaitu bayam, nanas, dan telur ayam tanpa
cangkang untuk didapatkan data berat sampel sebelum pembekuan. Langkah
selanjutnya, masing-masing sampel diamati berat, kesegaran bahan, aroma, warna,
dan tekstur yang kemudian dideskripsikan dalam data pengamatan. Berikutnya,
sampel diletakkan dalam baskom, lalu dimasukkan ke dalam freezer selama 4 hari
dengan tujuan mengetahui perubahan yang terjadi pada bahan akibat proses
pembekuan dari segi berat, kesegaran, aroma, warna, dan tekstur.
5.2 Analisis Data
5.2.1 Penyangraian
Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan data berupa berat, dan sifat fisik
kacang tanah sebelum dan setelah penyangraian. Sebelum penyangraian berat
kacang tanah sebesar 39,6699 gram, warna coklat muda, aroma khas kacang tanah
dan tidak tengik, tekstur kacang terdapat beberapa yang keriput, halus, bahkan
rusak. Setelah proses penyangraian, kacang mengalami perubahan perubahan. Berat
kacang setelah proses menjadi 38,2495 gram, warna menjadi coklat tua kehitaman,
aroma khas kacang tanah sangrai lebih kuat, dan tekstur pada kulit kacang menjadi
halus bahkan sampai terkelupas.
Menurut Nugroho dkk (2009), perubahan tekstur pada bahan setelah
penyangraian perubahan kadar berkaitan dengan adanya air dalam biji kopi dan
variasi suhu serta waktu/lama penyangraian. Semakin tinggi suhu maka kekerasan
biji kopi akan semakin kecil. Dimana suhu mempengaruhi laju penguapan kadar air
dalam biji yag selanjutnya kan berpengaruh pula terhadap laju perubahan kekerasan
biji.
Perubahan warna dapat ditimbulkan dari reaksi kimia antara gula dan asam
amino dari protein yang dikenal sebagai reaksi pencoklatan non-enzimatik atau
reaksi Maillard (Sari, 2001). Menurut Joko Nugroho (2009), pada penyangraian
dengan suhu tinggi sekitar 200-2200C menyebabkan terjadinya perubahan warna
biji kopi menjadi kecoklatan dan makin gelap. Hal ini terjadi karena adanya reaksi
Maillard yang mengakibatkan munculnya senyawa bergugus karbonis (gugus
reduksi) dan bergugus amini. Reaksi Maillard adalah reaksi browning non-
enzimatik yang menghasilkan senyawa kompleks dengan berat molekul tinggi.
Ketidakseragaman warna biji kopi sebelum penyangraian warna yang diperoleh
tidak seragam. Hal ini mengakibatkan tingkat pencerahan (lightness) yang
diperoleh tidak stabil.
Berdasarkan teori di atas, perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada biji kopi
juga berlaku pada kacang tanah sebab keduanya termasuk ke dalam komoditas biji-
bijian. Perubahan yang terjadi merupakan dampak dari proses penyangraian yang
mana kadar air pada kacang tanah berkurang menyebabkan tekstur menjadi kering
sehingga berat kacang tanah berkurang pula. Selain itu, dikarenakan proses ini tidak
menggunakan minyak sehingga bahan kontak langsung dengan alat penyangrai,
maka warna kacang tanah yang awalnya coklat muda dan terlihat baik, menjadi
coklat tua kehitaman.
5.2.2 Pembekuan
Dalam praktikum ini, digunakan 3 sampel yaitu bayam segar, buah nanas
potong segar, dan telur ayam tanpa cangkang. Sama halnya seperti acara praktikum
penyangraian, berdasarkan hasil pengamatan didapatkan data berat, warna, dan
aroma sebelum pembekuan dari ketiga sampel tersebut.
Pada sampel bayam, berat sebelum perlakuan sebesar 22,07 gr, warna hijau
muda segar, dan aroma khas bayam segar ; sedangkan setelah dibekukan selama 4
hari berat bayam sebesar13,45 gr, warna hijau tua layu, dan aroma segar khas
bayam tidak tampak. Pada sampel buah nanas, berat awal 31,50 gr, warna kuning
segar, aroma asam segar khas buah nanas; sedangkan berat akhir 28,8 gr, warna
menjadi kuning pucat, dan aroma khas nanas berkurang. Pada sampel telur ayam
tanpa cangkang, berat 56,587 gr, warna kuning telur yaitu kuning keoranyean,
warna putih telur bening, aroma amis khas telur, namun dari segi kekentalan sedikit
encer; sedangakan setelah pembekuan 4 hari berat telur menjadi 55,594 gr, warna
kuning telur yang semakin oranye, namun warna putih telur yang keruh, telur
tampak encer, dan aroma amis, busuk, dan tidak khas telur.
Dalam proses pembekuan yang paling penting ialah laju pembekuan yang
digunakan untuk menghilangkan panas pada produk pangan dalam waktu yang
sesingkat mungkin.Proses pembekuan juga dipengaruhi oleh laju pembekuan bahan
pangan, dimana durasi proses pembekuan tergantung pada laju pembekuan
(⁰C/menit), sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh International Institute of
Refrigeration dalam Thorne (1989), yaitu perbedaan antara suhu awal dan suhu
akhir dibagi dengan waktu pembekuan.
Kadar air yang tinggi pada sayuran dan buah menyebabkannya rentan
terhadap kristal es yang terbentuk dan thawing, dibandingkan dengan bahan pangan
yang lain. Sayuran lebih tahan terhadap pembekuan dibandingkan dengan buah
berdasarkan karakteristik yang dimiliki. Kerusakan yang terjadi pada jaringan
bahan pangan akibat pembekuan dapat menyebabkan hilangnya fungsi membran
sel, gangguan pada sistem metabolisme, denaturasi protein, perpindahan
kandungan air dari intrasel menuju ekstrasel secara tetap, reaksi enzim, dan
kerusakan jaringan yang cukup parah. Terdapat 4 jenis kerusakan yang disebabkan
oleh pembekuan menurut Sun et al. (2002), yaitu :
1. Kerusakan dingin (chilling damage), disebabkan karena jaringan kontak dengan
suhu dingin.
2. Kerusakan akibat konsentrasi larutan (solute-concentration damage), disebabkan
peningkatan konsentrasi larutan pada kandungan air produk segar dan pembentukan
kristal es.
3. Kerusakan dehidrasi (dehydration damage), disebabkan peningkatan konsentrasi
larutan pada kandungan air produk segar dan perpindahan air secara osmosis dari
intrasel.
4. Kerusakan mekanik (mechanical damage), disebabkan karena pembentukan
kristal es yang berukuran besar dan keras.
Berdasarkan teori di atas, maka perubahan fisik oleh ketiga sampel yaitu
bayam, buah nanas, dan telur disebabkan oleh jenis bahan yang dibekukan dengan
suhu dan waktu pembekuan yang tidak berbanding lurus. Kisaran suhu yang dapat
menyebabkan kerusakan permanen berada pada 1⁰C hingga -5⁰C. Bahan pangan
yang melalui proses pembekuan harus melampaui kisaran suhu tersebut dalam
waktu yang relatif cepat. (Evans, 2008). Tidak semua jenis bahan hasil pertanian
dapat diproses dengan cara pembekuan, sebab setiap komoditas bahan hasil
pertanian memiliki karakteristik yang berbeda.
BAB 6. PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari praktikum ini sebagai berikut:
1. pengolahan dengan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat atau
menghentikan metabolisme. Hal ini dilakukan berdasarkan fakta bahwa
respirasi pada buah dan sayuran tetap berlangsung setelah panen, sampai
buah dan sayuran itu membusuk; dan pertumbuhan bakteri di bawah
suhu 100C akan semakin lambat dengan semakin rendahnya suhu.
Proses metabolisme sendiri terganggu apabila terjadi perubahan suhu.
Sehingga penyimpanan suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup
jaringan-jaringan dalam bahan pangan karena penurunan aktivitas
respirasi dan aktivitas mikroorganisme. Lambatnya pertumbuhan
mikroba pada suhu yang lebih rendah ini menjadi dasar dari proses
pendinginan dan pembekuan dalam pengawetan pangan. Proses
pendinginan dan pembekuan tidak mampu membunuh semua mikroba,
sehingga pada saat dicairkan kembali (thawing), sel mikroba yang tahan
terhadap suhu rendah akan mulai aktif kembali dan dapat menimbulkan
masalah kebusukan pada bahan pangan yang bersangkutan,
2. suhu tinggi diterapkan baik dalam pengawetan maupun dalam
pengolahan pangan. Memasak, menggoreng, membakar dan lain-lain
adalah cara-cara pengolahan pangan yang menggunakan panas. Proses-
proses tersebut membuat makanan menjadi lebih lunak, lebih enak dan
lebih awet karena panas juga akan mematikan sebagian dari
mikroorganisme dan menonaktifkan enzim-enzim, serta dapat membuat
makanan menjadi lebih aman karena toksin-toksin tertentu rusak oleh
pengaruh panas. Kelemahan proses yang melibatkan suhu tinggi ini
dapat diatasi dengan proses pengawetan nontermal.
Pada pemakaian suhu tinggi, ada beberapa faktor yang perlu
diperhatikan, yaitu :
a. mikroba penyebab kebusukan dan yang dapat membahayakan
kesehatan manusia harus dimatikan,
b. panas yang digunakan sedikit mungkin menurunkan nilai gizi
makanan,
c. faktor-faktor organoleptik misalnya citarasa juga harus
dipertahankan,
3. pasca pengolahan bahan mengalami perubahan fisik yang cukup nyata
antara lain, warna menjadi coklat kehitaman akibat proses penyangraian,
tekstur buah atau sayur yang tampak lembek, layu, keras tergantung jenis
bahan akibat proses pendinginan, penurunan berat akibat panas selama
proses penyangraian, dan aroma yang berubah dari yag semula segar
menjadi busuk bahkan sampai tak muncul aroma.

6.2 Saran
Adapun saran untuk megoptimalkan praktikum selanjutnya sebagai berikut:
1. penjelasan/pemaparan terkait prosedur kerja dan penggunaan alat-alat
laboratorium agar pelakasaan praktikum lebih cepat, efektif, kondusif, dan
efisien ;
2. selama praktikum berlangsung, dalam penggunaan alat-alat praktikum
diperlukan sikap hati-hati oleh praktikan.
3. pemahaman terkait materi praktikum sehingga pada saat pelaksanaan
praktikum, praktikan bingung mengenai tujuan dari setiap perlakuan yang
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Asideu, J. 1989. Prosessing Tropical Crops; a Technological Approach. Hong


Kong: ELBS.
Azkenazi N, Mizrahi S, and Berk Z. 1984. Heat and mass Transfer in Frying. Di
dalam : Mc Kenna BM, editor. Engineering and Food. Volume ke-1.
London : Elsevier Apllied Science Publisher.

Bejan, Adrian and Alan Kraus. 2003. Heat Transfer Handbook. Canada : John
Wiley and Sons, Inc.

Brennan, J.G., 1981. Food Freezing Operation. London: Applied Science


Publisher,Ltd.

Buckle, K. A., dkk. 1985. Ilmu Pangan. Penerjemah : Hari Purnomo dan Afiono.
Jakarta Universitas Indonesia (UI-Press).

Deman, John.M. 1989. Kimia Makanan Edisi Kedua. Bandung: ITB.

Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta: UI-Press.

Evans, JA. 2008. Frozen Food Science and Technology. United Kingdom:
Blackwell Publishing.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Fellows, P. 1990. Food Processing Technology Principles and Practice.


England: Ellis Horwood.

Frazier, W.C. and P.C. Westhoff, 1977. Food Microbiology. New York: Mc. Graw
Hill Book Co. Inc.

Hallstrom B. 1980. Heat and Mass Transfer in Industrial Cooking di dalam P.


Linko et al (eds) Food Process Enginering vol I. London: Applied Science
Publ.

Helman, D.R. and R.P. Singh. 1981. Rekayasa Proses Pangan (Food Processing
Engeneering ) diterjemahkan oleh M.A. Wirahatakusumah dkk. Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Holdworth, S.D., 1968. Current aspects of Preseruation by Freezing. Food Manuf,


43(7):38.
Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.

Mawaddah, A. 2012. Teknologi Pengolahan Pangan. Yogyakarta.

Muchtadi. 2008, Kerusakan minyak goreng dalam Peningkatan Nilai Tambah


Pangan. Jurnal Agrikultura vol 19 nomor 3 tahun 2008, ISSN 0853- 2885,
Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran.

Nugroho, Joko., Julianty Lumbanbatu., Sri Rahayoe., 2009. Makalah Bidang


Teknik Produk Pertanian: Pengaruh Suhu dan Lama Penyangraian,
Terhadap Sifat Fisik-Mekanis Biji Kopi Robusta. Mataram: Seminar
Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA.

Pantastico E.B. 1997. Fisiologi Pascapanen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-


buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Sub-Tropika. Penerjemah:
Kamariyani, Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Paramita ND. 1999. Pengaruh Suhu dan Waktu Penggorengan Hampa terhadap
Sifat Fisik dan Organoleptik Keripik Sawo (Achras sapota. L.). Skripsi.
Bogor: FATETA, IPB.

Pristianto, Eko Juni. 2008. “Otomatisasi Sistem Mesin Sangrai (Roaster)


Berbasis Smart Relay Zelio Logic SR3 B261BD di Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia”. Jember: Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik
Universitas Jember.

Rossell, J.B. 2001. Frying: Improving Quality. Cambridge: Woodhead Pub. Ltd.

Rukmana. 2007. Budidaya Kacang Tanah. Yogyakarta: Kanisius.


Rusendi, Dadi. dkk. 2010. Penuntun Praktikum MK. Teknik Penanganan Hasil
Pertanian. Universitas Padjajaran.

Sandjaja. 2002. Biologi Umum. Jakarta: Gramedia.

Sari, Lusi Intan., 2001. Skripsi: Mempelajari Proses Pengolahan Biji Kopi Bubuk
Alternatif dengan Menggunakan Suhu dan Tekanan Rendah. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.

Somaatmadja. 1990. Kacang Tanah. Jakarta: Penebar Swadaya.

Suhartina. 2005. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-Kacangan dan Umbi-


Umbian. Malang: Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-
Umbian.
Sun Da-Wen dan Li Bing. 2002. Microstructural Change of Potato Tissues
Frozen by Ultrasound-assisted Immersion Freezing. Journal of Food
Engineering, Volume 57.

Suprapto 1993. Bertanam Kacang Hijau. Jakarta: Penebar Swadaya.

Suriawiria, U. 2003. Mikrobiologi Air dan Dasar-Dasar Pengolahan Buangan


Secara Biologis. Bandung: PT Alumni.

Tambunan AH. 1999. Pengembangan Metoda Pembekuan Vakum untuk Produk


Pangan. Usulan Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi. Institut
Pertanian Bogor.

Thorne,S. 1989. Development in Food Preservation-5. London, United Kingdom:


Elsevier Applied Science.

Warsito, Chandra. 2003. Pembuatan keripik Bengkoang dengan penggorengan


Hampa : Pengaruh Perendaman Larutan CaO dan PenyalutanMalto
dekstrinTerhadap Kualitas produk. Skripsi. Purwokerto: Fakultas
Pertanian, UNSOED.

Winarno, F.G. 1982. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
LAMPIRAN DOKUMENTASI

Bahan Penyangraian Penimbangan


Bahan

Bahan Bahan Bahan

Penimbangan Penimbangan Penimbangan

Pembekuan Penimbangan Penimbangan


setelah pembekuan setelah pembekuan
penimbangan bahan kenampakan bahan kenampakan bahan
setelah pembekuan setelah pembekuan setelah pembekuan

Anda mungkin juga menyukai