Anda di halaman 1dari 30

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Bahan Pangan setelah dipanen secara fisiologis masih
hidup dan proses ini berlangsung terus sampai terjadi
pembusukan. Dilakukan pengawetan dengan suhu rendah
maupun suhu tinggi bertujuan untuk memperlambat proses
pembusukan.
Pendinginan

dan

pembekuan

adalah

proses

proses

pengambilan panas dari suatu bahan sehingga suhunya akan


menjadi lebih rendah dari sekelilingnya. Penyimpanan pada
suhu rendah dapat menghambat kerusakan makanan, antara
lain

kerusakan

fisiologis,

kerusakan

enzimatis

maupun

kerusakan mikrobiologis (Winarno, 2004). Pada pengawetan


dengan suhu rendah dibedakan antara pendinginan dan
pembekuan. Pendinginan dan pembekuan merupakan salah
satu cara pengawetan yang tertua.
Setiap bahan pangan yang akan didinginkan atau
dibekukan perlu mendapat perlakuan-perlakuan pendahuluan
seperti pembersihan, blansing, atau sterilisasi sehingga
mikroba yang terdapat dalam bahan dapat sedikit berkurang
atau

terganggu

keseimbangan

metabolismenya.

Proses

metabolisme sendiri terganggu apabila terjadi perubahan


suhu.

Sehingga

penyimpanan

suhu

rendah

dapat

memperpanjang masa hidup jaringan-jaringan dalam bahan


pangan karena penurunan aktivitas respirasi dan aktivitas
mikroorganisme. (Tjitrosoepomo, 2000)
Proses

pendinginan

dan

pembekuan

tidak

mampu

membunuh semua mikroba sehingga pada saat dicairkan


kembali (thawing) sel mikroba yang tahan terhadap suhu
rendah akan mulai aktif kembali dan dapat menimbulkan

masalah kebusukan pada bahan pangan yang bersangkutan.


Metode ini sering digunakan sebagai alternative pengawetan
karena bahan pangan tidak akan kehilangan nutrisi yang
terkandung di dalamnya. Selain itu sifat fisik dan sifat kimia
dari bahan pangan tidak akan berubah seperti pengawetan
yang dilakukan melalui proses kimia atau fermentasi. (Hari,
2003)
Suhu tinggi diterapkan baik dalam pengawetan maupun
dalam pengolahan pangan. Proses pengolahan pangan suhu
tinggi membuat makanan menjadi lebih lunak, lebih enak dan
lebih awet karena panas juga akan mematikan sebagian dari
mikroorganisme dan menonaktifkan enzim-enzim, serta dapat
membuat makanan menjadi lebih aman karena toksin-toksin
tertentu rusak oleh pengaruh panas.
Pada umumnya pengawetan dengan suhu tinggi tidak
mencakup

pemasakan,

pemanggangan.

Yang

penggorengan,

dimaksud

dengan

maupun
pengawetan

menggunakan suhu tinggi adalah proses-proses komersial


dimana penggunaan panas terkendali dengan baik, antara
lain

sterilisasi,

pasteurisasi

dan

blansing.

Lamanya

pemberian panas dan tingginya suhu pemanasan ditentukan


oleh sifat dan jenis bahan makanan serta tujuan dari
prosesnya. Setiap jenis pangan memerlukan pemanasan yang
berbeda

untuk

mematikan

mikroba

yang

terdapat

di

dalamnya. (Tranggono dan Sutardi, 1990)


Pengolahan suhu tinggi dan suhu rendah yang tidak
sesuai pada bahan pangan akan menimbulkan kerugian.
Terlebih lagi jika produk pertanian tersebut merupakan
produk hortikultura dimana memiliki sifat yang mudah rusak
atau tidak tahan dalam penyimpanan jika tanpa pengolahan

terlebih dahulu. Oleh karena itu, dilaksanakan pengujian suhu


tinggi

dan

mengetahui

suhu

rendah

pengaruhnya

pada

bahan

terhadap

pangan

proses

untuk

pengawetan

pangan.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk
mengertahui

proses

pengolahan

pangan

dengan

menggunakan proses suhu tinggi yang meliputi pasteurisasi,


strelilisasi, penggorengan, penyangraian, dan enrobing serta
untuk mengetahui perubahan kualitas bahan pangan pasca
pengolahan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Suhu Tinggi
Suhu tinggi di terapkan baik dalam pengawetan maupun
dalam pengolahan pangan. Memasak menggoreng ,
memanggang , dan lain lain adalah cara pengolahan yang
menggunakan panas. Proses proses tersebut membuat
makanan menjadi lunak, lebih enak dan awet. Pemberian
suhu tinggi pada pengolahan dan pengawetan pangan
didasarkan pada kenyataan bahwa pemberian panas yang
cukup dapat membunuh sebagian besar mikroba dan
menginaktifkan enzin. Selain itu makanan menjadi lebih
aman karena racun racu tertentu rusak karena pemanasan,
misalnya racun dari bakteri closridium botulinum.
Adanya mikroba dan kegiatan enzim dapat merusak
bahan makanan , meskipun di simpandalam wadah tertutup.
Lamanya pemberian panas dan tingginya suhu pemanasan
ditentukan oleh sifat dan jenis bahan makanan serta tujuan
dari prosesnya. Setiap jenis pangan memerlukan pemanasan
yang berbeda untuk mematikan mikroba yang terdapat
didalamnya.
Pemanasan mengakibatkan efek mematikan terhadap
mikroba. Efek yang ditimbulkannya tergantung dari intensitas
panas dan lamanya pemanasan. Makin tinggi suhu yang
digunakan, makin singkat waktu pemanasan yang digunakan
mematikan mikroba.
Pada umumnya pengawetan dengan suhu tinggi tidak
mencangkup pemasakan, pengorengan maupun
pemanggangan.yang dimaksuk pengawetan dengan suhu
tinggi adalah proses komersial dimana penggunaan panas

terkendali dengan baik, antara lain sterilisasi,pasteurisasi dan


blansing.
2.2 Deskripsi Bahan
2.1.1 Kacang Tanah
Kacang tanah merupakan tanaman oangan berupa
semak yang berasal dari Amerika Selatan, tepatnya berasal
dari Brazilia. Kedudukan tanaman kacang tanah dalam
sistematika (taksonomi) sebagaimana di kutip dari
Adisarwanto (2007) sebagai berikut:
Kindong: plantae
Divisio:spermatophyta
Subdivisio:angiospermae
Classis:dicotyledonae
Ordo:leguminales
Familia:papilionaceae
Genus:arachis
Species:arachis hypogaea
Kacang dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe tegak dan
tipe menjalar. Daun pertama yang tumbuh dari biji adalah
plunula. Daun pertama tersebut terangkat ke atas permukaan
tanah selagi biji kacang berkecambah.daun berikutnya
berupa daun tunggal dan berbentuk bundar. Selanjutnya
tanaman kacang tanah membentuk daun majemuk bersirip
genap, terdiri dari empat anak daun dengan tangkai daun
agak panjang.
2.2.2 Pisang
Kedudukan tanaman pisang dalam sistematika
(taksonomi) tumbuhan adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta

Sub Devisi : Angiospermae


Kelas : Monocotyledonae
Famili : Musaceae
Genus : Musa
Spesies : Musa paradisiaca L. (Tjitrosoepomo, 2000)
Pisang termasuk famili Musaceae dari ordo Scitaminae
dan terdiri dari dua genus, yaitu genus Musa dan Ensete.
Genus Musa terbagi dalam empat golongan, yaitu
Rhodochlamys, Callimusa,Australimusa dan Eumusa.
Golongan Australimusa dan Eumusa merupakan jenis pisang
yang dapat dikonsumsi, baik segar maupun olahan. Buah
pisang yang dimakan segar sebagian besar berasal dari
golongan Emusa, yaitu Musa acuminata dan Musa
balbisiana. Ukuran buah pisang bervariasi, panjangnya
berkisar antara 10-18 cm dengan diameter sekitar 2,5-4,5
cm. Buah berlingir 3-5 alur, bengkok dengan ujung meruncing
atau membentuk leher botol. Daging buah (mesokarpa) tebal

dan lunak. Kulit buah (epikarpa) yang masih muda berwarna


hijau, namun setelah tua (matang) berubah menjadi kuning
dan strukturnya tebal sampai tipis (Cahyono, 2002 : 16).
Buah pisang termasuk buah buni, bulat memanjang,
membengkok, tersusun seperti sisir dua baris, dengan kulit
berwarna hijau, kuning, atau coklat. Tiap kelompok buah
atau sisir terdiri dari beberapa buah pisang. Berbiji atau
tanpa biji. Bijinya kecil, bulat, dan warna hitam. Buahnya dapat
dipanen setelah 80-90 hari sejak keluarnya jantung pisang.
2.2.3 Susu

Susu adalah cairan dari ambing sapi, kerbau, kuda,


kambing, domba, dan hewan ternak penghasil susu lainnya
baik segar maupun yang dipanaskan melalui proses
pasteurisasi, Ultra High Temperature (UHT) atau sterilisasi
(Standar Nasional Indonesia, 1995). Secara kimia, susu
adalah emulsi lemak dalam air yang mengandung gula,
garam-garam mineral dan protein dalam bentuk suspensi
koloidal. Air susu mengandung unsur-unsur gizi yang sangat
baik bagi pertumbuhan dan kesehatan. Komposisi unsurunsur gizi tersebut sangat beragam tergantung pada
beberapa faktor, seperti faktor keturunan, jenis hewan,
makanan yang meliputi jumlah dan komposisi pakan yang
diberikan, iklim, waktu, lokasi, prosedur pemerahan, serta
umur sapi. Komposisi utama susu adalah air, lemak, protein
(kasein dan albumin), laktosa (gula susu), dan abu
(Muharastri, 2008).
2.2.4 Jus Jambu
Tanaman jambu biji (Psidium guajava L.) termasuk genus
Psidium, famili Myrtaceae. Pada umumnya buah jambu biji
berbau wangi. Rasa buah jambu biji biasanya hambar hingga
manis, asam manis hingga masam apabila sudah cukup
masak. Buah yang masih muda rata-rata sepat rasanya, dan
apabila bijinya yang masih lunak dimakan maka rasa
sepatnya meningkat (Rismunandar, 1989). Bagian yang
paling penting dari jambu biji adalah buahnya. Buah yang
sudah masak atau matang mengandung gizi yang cukup
tinggi.
Buah jambu biji yang matang, biasanya dimakan segar.
Semakin matang, buah tersebut semakin harum baunya.
Pemrosesan daging buah jambu biji yang sudah matang

dilakukan dengan menghilangkan biji-bijinya terlebih dulu.


Daging buah tersebut selanjutnya bisa diproses menjadi
produk olahan seperti jeli, selai, atau minuman segar (Ashari,
2004).
2.3 Jenis Pengolahan Suhu Tinggi
2.3.1 Penggorengan
Penggorengan merupakan proses menghilangkan kelembaban dari
bahan mentah dalam proses ini dan minyak . Minyak merupakan bagian yang
terpenting dalam proses ini dan minyak harus dijaga kualitasnya
(kebersihannya dari degradasi). Degradasi dapat menyebabkan minyak tengik
karena mengandung free fatty acid (asam lemak bebas) yang dapat
menimbulkan bau, warna, dan rasa yang tidak disukai (Gould, 1996).
Penggorengan yang dilakukan dapat menimbulkan berbagai akibat,
antara lain: rasa gurih pada bahan pangan bertambah karena ada minyak yang
berikatan dengan bahan pangan, bahan pangan menjadi lebih kering sehingga
Aw pada bahan pangan menjadi turun dan pertumbuhan mikroorganisme
terhambat, warna pada bahan mengalami perubahan karena terjadi perubahan
komponen kompleks menjadi komponen lebih sederhana yang berwarna
hitam atau gelap, flavor bahan pangan berubah (Winarno et al.,1980).
2.3.2 Penyangraian
Roasting merupakan proses penyangraian biji yang tergantung pada
waktu dan suhu yang ditandai dengan perubahan kimiawi yang signifikan.
Terjadi kehilangan berat kering terutama gas dan produk pirolisis volatil
lainnya. Kebanyakan produk pirolisis ini sangat menentukan citarasa.
Kehilangan berat kering terkait erat dengan suhu penyangraian (Varnam and
Sutherland,1994).
Penyangrai bisa berupa oven yang beroperasi secara batch atau
continous. Pemanasan dilakukan pada tekanan atmosfer dengan media udara
panas atau gas pembakaran. Pemanasan dapat juga dilakukan dengan
melakukan kontak dengan permukaan yang dipanaskan, dan pada beberapa
desain pemanas, hal ini merupakan faktor penentu pada pemanasan. Desain

paling umum yang dapat disesuaikan baik untuk penyangraian secara batch
maupun continuous yaitu berupa drum horizontal yang dapat berputar
(Ciptadi dan Nasution, 1985).
2.3.3 Pasteurisasi
Pasteurisasi adalah suatau proses pemanasan yang dilakukan pada suhu
krang dari 100C, tetapi dengan waktu yang bervariasi dari beberapa detik
sampai beberapa menit tergantung pada tingginya suhu yang digunakan.
Makin tinggi suhu pasteurisasi, makin singkat watu yang dibutuhkan untuk
pemanasannya. Tujuan utama dari proses pasteurisasi adalah untuk
menginaktifkan sel-sel vegetative mikroba pathogen, mikroba pembentuk
toksin maupun mikroba pembusuk. Pemanasan dalam proses pasteurisasi
dapat dilakukan dengan menggunakan uap air, air panas atau udara panas.
Tinggi suhu dan lamanya waktu pemanasan yang dibutuhkan
Dalam proses pasteurisasi tergantung dari ketahanan mikroba terhadap
panas. Namun perlu diperhatikan juga sensivitas bahan pangan yang
bersangkutan terhadap panas. Pada prinsipnya, pasteurisasi memadukan
antara suhu dan lamanya waktu pemanasan yang terbaik untuk suatu bahan
pangan. Pasteurisasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu metode 1) Low
Temperature Long atau disingkat LTLT dan 2) High Temperature Short Time
yang disingkat HTST. Metode LTLT dilakukan pada suhu 62,8C selama 30
menit, sedangkan HTST dilakukan pada suhu 71,7C selama 15 detik
(Koeswardhani, 2006).
2.3.4 Sterilisasi
Sterilisasi merupakan salah satu cara pengolahan bahan pangan yang
bersifat mengawetkan. Sterilisasi juga merupakan istilah untuk setiap proses
yang menghasilkan kondisi steril dalam bahan pangan. Jadi, sterilisasi adalah
cara atau langkah atau usaha yang dilakukan untuk membunuh semua
mikroba yang dapat hidup dalam bahan pangan (Koeswardhani,
2006).
Dalam proses sterilisasi, semakin rendah suhu yang digunakan maka
semakin lama waktu yang dibutuhkan. Namun, waktu pemanasan yang cukup

lama, lebih-lebih pada suhu tinggi, akan berakibat menurunnya nilai gizi.
Sterilisasi tersebut dikenal dengan istilah Ultra High Temperature atau
disingkat UHT, yaitu pemanasan yang dilakukan pada suhu sekitar 135C140C selama 6 - 10 detik atau 140C-150C selama 2 - 4 detik
(Koeswardhani, 2006).
2.4 Teknik enrobing pada produk pangan
Fellows (1990) menyatakan coating dan enrobing adalah kegiatan
setelah proses yang dilakukan dengan menyalut makanan dengan edible
coating. Menurut Krochta (1992) edible coating adalah lapisan tipis yang
terbuat dari bahan yang dapat dimakan, serta dapat berfungsi sebagai penahan
(barrier) perpindahan massa (seperti kelembaban, oksigen, lemak, dan
larutan), atau sebagai pembawa bahan makanan dan tambahan (aditif) juga
untuk meningkatkan kemudahan penanganan makanan. Sedangkan menurut
Gennadios dan Weller (1990), edible coating merupakan lapisan tipis yang
dapat dimakan, yang digunakan pada makanan dengan cara Pembungkusan,
pencelupan, dan penyikatan agar terjadi penahan (barrier) yang selektif untuk
menghambat perpindahan gas, uap air, dan bahan terlarut, sekaligus
memberikan perlindungan mekanis.
Asideu (1989) mengungkapkan produk coating dan enrobing dapat
diubah sesuai yang dikehendaki karena dapat melindungi dari kerusakan
mekanis. Keanekaragaman penyalut yang digunakan untuk memberikan suatu
bahan appearance yang berbeda dari penampilan sebelumnya, yaitu berupa
gloss dan color dapat menjadi keunggulan dari produk itu sendiri. Setelah
mengalami coating dan enrobing, bahan makanan biasanya akan mengikuti
ingredient yang dibawa oleh penyalutnya. Ketebalan dari coating dan
enrobing ditentukan oleh viskositas bahan. Semakin tinggi viskositas bahan
akan semakin tebal bumbu yang menyelimuti bahan makanan (Warsito,
2003). Proses coating dan enrobing menghasilkan perubahan pada warna,
rasa, tekstur, dan juga flavor. Menurut Deman (1989) warna penting bagi
banyak makanan. Warna memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia
pada makanan, seperti reaksi browning.

Tekstur merupakan faktor penentu mutu makanan daripada warna dan


rasa. Ciri dari tekstur adalah renyah, berminyak, rapuh, empuk, bersari,
menepung, dan mengeripik. Flavor merupakan kombinasi bau, rasa, dan
mouthfeel.
2.4 Teknik Enrobing Pada Produk Pangan
Fellows (1990) menyatakan coating dan enrobing adalah kegiatan
setelah proses yang dilakukan dengan menyalut makanan dengan edible
coating. Menurut Krochta (1992) edible coating adalah lapisan tipis yang
terbuat dari bahan yang dapat dimakan, serta dapat berfungsi sebagai
penahan (barrier) perpindahan massa (seperti kelembaban, oksigen, lemak,
dan larutan), atau sebagai pembawa bahan makanan dan tambahan (aditif)
juga untuk meningkatkan kemudahan penanganan makanan. Sedangkan
menurut Gennadios dan Weller (1990), edible coating merupakan lapisan
tipis yang dapat dimakan, yang digunakan pada makanan dengan cara
pembungkusan, pencelupan, dan penyikatan agar terjadi penahan (barrier)
yang selektif untuk menghambat perpindahan gas, uap air, dan bahan
terlarut, sekaligus memberikan perlindungan mekanis.
Asideu (1989) mengungkapkan produk coating dan enrobing dapat
diubah sesuai yang dikehendaki karena dapat melindungi dari kerusakan
mekanis. Keanekaragaman penyalut yang digunakan untuk memberikan
uatu bahan appearance yang berbeda dari penampilan sebelumnya, yaitu
berupa gloss dan color dapat menjadi keunggulan dari produk itu sendiri.
Setelah mengalami coating dan enrobing, bahan makanan biasanya akan
mengikuti ingredient yang dibawa oleh penyalutnya.
Ketebalan dari coating dan enrobing ditentukan oleh viskositas bahan.
Semakin tinggi viskositas bahan akan semakin tebal bumbu yang
menyelimuti bahan makanan (Warsito, 2003). Proses coating dan enrobing
menghasilkan perubahan pada warna, rasa, tekstur, dan juga flavor. Menurut
Deman (1989) warna penting bagi banyak makanan. Warna memberikan
petunjuk mengenai perubahan kimia pada makanan, seperti reaksi browning.
Tekstur merupakan faktor penentu mutu makanan daripada warna dan rasa.

Ciri dari tekstur adalah renyah, berminyak, rapuh, empuk, bersari,


menepung, dan mengeripik. Flavor merupakan kombinasi bau, rasa, dan
mouthfeel.

BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM


3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat

Timnbangan analitik
Wajan
Kompor gas
Panci
Beaker glass
Stopwatch
Autoklaf
Termometer

3.1.2 Bahan

Kacang tanah
Pisang
Susu segar
Jus jambu
Nanas
Bayam
Telur ayam

Baskom sendok
Botol
Lemari es
Gelas plastik
Refrigenator
Freezer
plastik
Tissue

Wortel
Kubis
Minyak goreng
Tepung terigu
Gula
Garam
air

3.2 Skema Kerja

3.2.1 Penggorengan
Sampel

Pengamatan
(warna, rasa, tekstru dan aroma)

Penggorengan (5 menit)

Penirisan

Penimbangan

Pengamatan

3.2.2 Penyangraian
Sampel

Penimbangan
Penyangraian (5 menit)
Penirisan
Penimbangan
Pengamatan
(warna, tekstur, aroma, rasa)

3.2.3 Enrobing
Sampel

Penimbangan

Bahan coating

Sampel 1

Sampel 2

Penggorengan

(5 menit)

Penggorengan
(5 menit)

Penirisan

Penggorengan
(warna, aroma, tekstur, rasa)

3.2.4 Pasteurisasi

Sampel 200 ml

Penuangan dalam Beaker glass

Pengamatan

Pasteurisasi (65C 30 menit dan 88C 15 detik)

Pengamatan
(warna, aroma, kekentalan, rasa)

3.2.5 Sterilisasi

Sampel (100 ml)

Penuangan kedalam botol

Pengamatan

pre heating selama 2-3 menit


Penyimpanan dalam autoklaf
(suhu 121 0C, 15-20 menit,1,5 atm)
Pengamatan
warna, aroma, kekentalan, rasa

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan

5.1.1 Penggorengan
Dalam perlakuan penggorengan disiapkan alat dan bahan yang

akan digunakan. Digunakan sampel Kacang tanah ditimbang sebanyak 20


gram, kemudian diamati warna, aroma, serta tekstur sebelum dilakukan
penggorengan. Tujuan penggorengan ini untuk mengubah eating quality
bahan pangan dan pengawetan karena destruksi mikroorganisme dan enzim,
serta penurunan Aw. Lalu dilakukan penggorengan kacang selama 5 menit.
Perlakuan ini menyebabkan terjadinya perubahan warna yang menunjukkan
bahwa kacang tanah tersebut sudah matang dan siap ditiriskan. Tahap
terakhir, diamati kembali berat, warna, aroma, tekstur dan rasa.
5.1.2 Penyangraian
Perlakuan pertama pada proses penyangraian adalah persiapan alat
dan bahan yang akan digunakan. Digunakan sampel Kacang tanah ditimbang
sebanyak 20 gram, kemudian diamati warna, aroma, serta tekstur sebelum
dilakukan penyangraian. Tujuan penyangraian ini untuk mengubah eating
quality bahan pangan. Lalu dilakukan penggorengan kacang selama 5 menit.
Perlakuan ini menyebabkan terjadinya perubahan warna yang menunjukkan
bahwa kacang tanah tersebut sudah matang dan siap ditiriskan. Tahap
terakhir, diamati kembali berat, warna, aroma, tekstur dan rasa.
5.1.3 Enrobing atau Coating
Perlakuan pertama pada proses enrobing adalah persiapan alat dan
bahan yang akan digunakan. Bahan yang digunakan adalah campuran tepung
terigu, gula, garam dan air. Sedangkan sampel yang akan dicoating adalah 1
buah pisang. Kemudian, diamati berat, warna, aroma dan tekstur sebelum
dilakukan penggorengan dengan enrobing dan tanpa enrobing. Pisang yang
akan digoreng, dienrobing terlebih dahulu. Tujuan enrobing untuk
memperbaiki kenampakan, memodifikasi tekstur, meningkatkan flavor,

meningkatkan kenyamanan, dan meningkatkan variasidan nilai tambah


produk serta dapat menghalangi pergerakan air dan gas atau melindungi
bahan pangan dari kerusakan mekanis. Selanjutnya, pisang yang telah
dienrobing dan tanpa enrobing digoreng selama 5 menit dan ditiriskan untuik
menghilangkan kandungan minyak yang ada pada pisang. Setelah itu, diamati
berat, warna, aroma, tekstur dan rasa.
5.1.4 Pasteurisasi
Proses pengolahan suhu tinggi yang lain yaitu pasteurisasi. Dalam
melakukan pasteurisasi disiapkan terlebih dahulu alat dan bahan yang akan
digunakan. Sampel yang digunakan berupa susu segar dan jus buah jambu
masing-masing sebanyak 100 ml. Sampel yang telah diukur menggunakan
gelas ukur dimasukkan kedalam gelas beker, kemudian diamati warna, aroma
dan kekentalannya. Setelah itu, susu maupun jus buah yang telah diamati,
dipasteurisasi hingga suhu 88C selama 15 detik dan suhu 65C selama 30
menit. Perlakuan pasteurisasi ini dilakukan menggunakan kompor. Bahan
tersebut dilakukan pasteurisasi yang bertujuan untuk menginaktifkan sel-sel
vegetatif mikroba pathogen, mikroba pembentuk toksin maupun mikroba
pembusuk sehingga umur simpan bahan pangan menjadi lebih lama. Setelah
pasteurisasi selesai, diamati kembali warna, aroma, kekentalan dan rasanya.
5.1.5 Sterilisasi

Pertama dilakukan persiapan alat dan bahan yang akan digunakan.

Sampel yang digunakan berupa susu segar dan jus buah jambu masingmasing sebanyak 100 ml. Sampel yang telah diukur menggunakan gelas ukur
dimasukkan kedalam gelas beker, kemudian diamati warna, aroma dan
kekentalannya. Setelah itu, susu maupun jus buah yang telah diamati,
disterilisasi dengan suhu 121C selama 15-20 menit. Perlakuan sterilisasi ini
dilakukan menggunakan autoklaf. Bahan tersebut dilakukan sterilisasi yang
bertujuan untuk membunuh semua mikroba yang dapat hidup dalam bahan
pangan sehingga umur simpan bahan pangan menjadi lebih lama. Setelah
sterilisasi selesai, diamati kembali warna, aroma, kekentalan dan rasanya.

5.2 Analisa Data

5.2.1 Penggorengan

Berdasarkan tabel pengamatan diketahui bahwa terjadi perubahan

fisik dan berat kacang antara sebelum dan sesudah dilakukan penggorengan.
Warna kacang yang sebelumnya adalah coklat menjadi lebih tua setelah
dilakukan penggorengan. Tekstur kacang yang sebelumnya lunak menjadi
lebih keras. Rasa menjadi lebih pahit setelah dilakukan penggorengan, dan
aroma kacang menjadi gosong.

Menurut Winarno (1980), penggorengan dapat menimbulkan

berbagai akibat, antara lain: rasa gurih pada bahan pangan bertambah karena
ada minyak yang berikatan dengan bahan pangan serta warna pada bahan
mengalami perubahan karena terjadi perubahan komponen kompleks menjadi
komponen lebih sederhana yang berwarna hitam atau gelap, flavor bahan
pangan berubah.Perubahan yang terjadi pada kacang sesuai dengan literatur
yang ada. Terdapat reaksi antara kacang dengan bahan lain yang digunakan
seperti minyak ataupun karena pengaruh panas saat perlakuan penggorengan.
Sehingga kacang mengalami perubahan.

Kacang juga mengalami penurunan sebesar 1 gram setelah

mengalami penggorengan.

Berat awal kacang adalah 20 gram. Namun

setelah dilakukan penggorengan berat kacang menjadi 19 gram. Hal itu dapat
diakibatkan karena pada saat penggorengan air yang ada pada bahan menguap
sehingga kacang mengalami penyusutan berat. Penggorengan menyebabkan
kehilangan air sekitar 5% dan kehilangan lemak yang cukup besar, tergantung
metode pemasakan (Abustam dan Ali, 2004).

5.2.2 Penyangraian

Berdasarkan tabel pengamatan diketahui bahwa terjadi perubahan

fisik dan berat kacang antara sebelum dan sesudah dilakukan penyangraian.
Warna kacang yang sebelumnya adalah coklat muda menjadi lebih tua setelah
dilakukan penyangraian. Hal ini terjadi karena terdapat proses browning
akibat panas pada proses penyangraian. Tekstur kacang yang sebelumnya

lunak menjadi lebih keras dan renyah. Rasa menjadi lebih manis namun agak
pahit setelah dilakukan penyangraian. Perubahan rasa terjadi akibat
penguapan komponen volatil yang terdapat kacang tanah karena reaksi panas
saat penyangraian. Volatil merupakan komponen yang mempengaruhi rasa
pada bahn pangan. dan aroma kacang menjadi agak gosong.

Kacang juga mengalami perubahan berat setelah mengalami

penyangraian. Berat awal kacang adalah 20 gram. Namun setelah dilakukan


penggorengan berat kacang menjadi 21 gram. Pada kondisi ini terjadi
penyimpangan perubahan berat. Menurut Widyotomo dan Mulato (2005),
proses pengeringan dilakukan sampai pada kadar air seimbang dengan
keadaan udara normal (Equilibrium Moisture Content) atau pada batas
tertentu sehingga aman disimpan dan tetap memiliki mutu yang baik sampai
ke tahap proses pengolahan berikutnya. Jika disesuaikan dengan literatur,
maka seharusnya kacang mengalami penurunan berat. Hal ini dikarenakan
pada

saat

penyangraian

terjadi

penguapan

air

akibat

pengaruh panas sehingga beratnya mengalami penyusutan.


Namun

sesuai

hasil

pengamatan,

berat

kacang

tidak

mengalami penurunan. Penyimpangan ini terjadi mungkin


karena adanya kesalahan dalam melakukan prosedur kerja.

5.2.3 Enrobing dan Coating

a.Enrobing

Perlakuan penggorengan terhadap pisang dengan enrobing dapat

merubah kenampakan fisik pisang. Proses enrobing menghasilkan perubahan


pada warna, rasa, tekstur, dan juga rasa. Menurut Deman (1989) warna
penting bagi banyak makanan. Warna memberikan petunjuk mengenai
perubahan kimia pada makanan, seperti reaksi browning. Tekstur merupakan
faktor penentu mutu makanan daripada warna dan rasa. Ciri dari tekstur
adalah renyah, berminyak, rapuh, empuk, bersari, menepung, dan mengeripik.
Flavor merupakan kombinasi bau, rasa, dan mouthfeel.

Hasil pengamatan menunjukkan kesesuaian dengan literatur. Warna

pisang coating/enrobing berubah menjadi kuning kecoklatan. Hal itu karena


pada saat penggorengan terjadi reaksi browning yang mengakibatkan pisang
berubah warna menjadi kecoklatan. Aroma pisang juga berubah menjadi
gurih seperti aroma pisang goreng. Hal ini dikarenakan adanya kontak panas
yang menyebabkan penguapan senyawa volatile pada pisang. Tekstur pisang
menjadi lebih kasar, karena terdapat lapisan tepung terigu. Namun di dalam
lebih lembek dan halus. Rasa pisang menjadi lebih manis dan sedikit asam.
Berat pisang mengalamai penurunan sebesar 20 gram. Hal ini terjadi karena
terdapat reaksi penguapan saat proses penggorengan.

b.Tanpa Enrobing

Perlakuan penggorengan terhadap pisang tanpa enrobing dapat

merubah kenampakan fisik pisang. Terjadi perubahan pada warna, rasa,


tekstur, dan juga rasa. Menurut Deman (1989) warna penting bagi banyak
makanan. Warna memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia pada
makanan, seperti reaksi browning. Tekstur merupakan faktor penentu mutu
makanan daripada warna dan rasa. Ciri dari tekstur adalah renyah, berminyak,
rapuh, empuk, bersari, menepung, dan mengeripik. Flavor merupakan
kombinasi bau, rasa, dan mouthfeel.

Hasil pengamatan menunjukkan kesesuaian dengan literatur. Warna

pisang tanpa coating/enrobing berubah menjadi kuning kecoklatan. Hal itu


karena pada saat penggorengan terjadi reaksi browning yang mengakibatkan
pisang berubah warna menjadi kecoklatan. Aroma pisang juga berubah
menjadi gurih seperti aroma pisang goreng. Hal ini dikarenakan adanya
kontak panas yang menyebabkan penguapan senyawa volatile pada pisang.
Tekstur pisang menjadi lebih halus, karena tidak dilakukan pelapisan dengan
tepung terigu. Sehingga pisang kontak langsung dengan minyak panas saat
dilakukan penggorengan. Rasa pisang menjadi lebih manis dan sedikit asam.
Berat pisang mengalamai penurunan sebesar 40 gram. Hal ini terjadi karena
terdapat reaksi penguapan saat proses penggorengan. Selain tu juga, tidak

terdapat perlakuan pelapisan pada pisang yang menyebabkan berat pisang


mengalami penurunan.

5.2.4 Pasteurisasi Pada Susu Dan Jus Buah

Pada setiap bahan pangan yang diamati dari hasil

pasteurisasi, terdapat berbagai perbedaan. Pengamatan kali


ini menggunakan dua bahan pangan yang berbeda, yaitu
susu sapi dan sari jambu. Metode yang digunakan adalah Low
Temperatur Long Time (LTLT) dan metode High Temperatur
Short

Time

(HTST).

Metode

LTLT

menggunakan

suhu

65 dengan waktu 30 menit. Sedangkan metode HTST


menggunakan suhu 88dengan waktu 15 detik.

a.Susu

Perubahan warna pada susu tergantung dari bangsa ternak,

jenis

pakan,

jumlah

lemak,

bahan

padat

dan

bahan

pembentuk warna. Warna air susu berkisar dari putih


kebiruan hingga kuning keemasan. Warna putih dari susu
merupakan hasil dispersi dari refleksi cahaya oleh globula
lemak dan partikel koloidal dari casein dan calsium phosphat.
Warna kuning adalah karena lemak dan caroten yang dapat
larut.

Bila

lemak

diambil

dari

susu

maka

susu

akan

menunjukkan warna kebiruan. Warna pada setiap pasteurisasi


mengalami perubahan, warna pada susu awalnya berwarna
putih kekuningan berubah menjadi lebih kekuningan pada
perlakuan pasteurisasi LTLT, sedangkan pada perlakuan HTST
warna menjadi kekuningan. Hal itu karena karena lemak dan
karoten dalam susu terlarut dan tergumpalkan.

Rasa Air susu terasa sedikit manis disebabkan oleh

laktosa, sedangkan rasa asin berasal dari klorida, sitrat dan


garam-garam

mineral

lainnya.

(Buckle

et

al,1987)

menyatakan bahwa cita rasa yang kurang normal mudah

sekali berkembang di dalam susu dan hal ini mungkin


merupakan akibat dari sebab-sebab fisiologis seperti cita rasa
pakan sapi yang mencemari pakan dan air minum sapi,
sebab-sebab dari enzim yang menghasilkan cita rasa tengik
karena

kegiatan

lipase

pada

lemak

susu,

sebab-sebab

kimiawi oleh oksidasi lemak, sebab-sebab dari bakteri yang


timbul sebagai akibat pencemaran dan pertumbuhan bakteri
yang menyebabkan peragian laktosa menjadi asam laktat
dan hasil samping metabolik lainnya yang mudah menguap,
dan sebab-sebab mekanis. Pada hasil pengamat kami pada
perlakuan

LTLT

rasa

susu

segar

hilang

pada

perlakuan

pasteurisasi HTST Rasa susu segar hilang (tidak enak).

Aroma air susu mudah berubah dari yang sedap

menjadi bau yang tidak sedap. Hal ini dipengaruhi oleh sifat
lemak air susu yang mudah menyerap bau disekitarnya.
Demikian juga bahan pakan ternak sapi dapat merubah
aroma air susu. Tetapi pada hasil pengamatan kali ini aroma
tidak mengalami perubahan.

Tekstur air susu dipengaruhi oleh viskositas air susu.

Seperti BJ maka viskositas air susu lebih tinggi daripada air.


Viskositas air susu biasanya berkisar 1,5 2,0 cP. Pada suhu
20C viskositas whey 1,2 cP, viskositas susu skim 1,5 cP dan
susu segar 2,0 cP. Bahan padat dan lemak air susu
mempengaruhi viskositas. Temperatur ikut juga menentukan
viskositas air susu. Pada pengamatan, tekstur susu pada
perlakuan pasteurisasi LTLT terbentuk gumpalan dan pada
perlakuan pasterisasi HTST tekstur menjadi lebih kental.

Pada volume susu setelah mengalami pasteurisasi

LTLT maupun HTST mengalami penurunan hal isi di sebabkan


proses pasteurisasi yang mengakibatkan penguapan pada

saat proses pasteurisasi. Sehingga volum susu menjadi


berkurang dari 100 ml menjadi 60 ml.

b. Jus Jambu

Jus jambu memperoleh data berat yang semula

100ml menjadi 5 ml dan 54,6 ml.Hal ini dikarenakan terjadi


akibat penguapan saat memperoleh perlakuan suhu
tinggi.Pada perubahan warna jus jambu semula bewarna
merah muda menjadi merah kecoklatan dan merah
muda.Aroma pada jus jambu juga mengalami perubahan
aroma sebelum mendapat perlakuan beraroma jambu merah
agak busuk setelah mendapat perlakuan aroma menjadi
jambu gosong dan aroma jambu.Pada tekstur dan rasa juga
mendapat perubahan, tekstur awal jus jambu kental namun
sedikit encer,setelah mendapat perlakuan tekstur jus jambu
menjadi sangat kental dan lebih encer. Hal ini karena adanya
reaksi penguapan air yang ada pada jus jambu.Rasa jus
jambu sebelum mendapatkan perlakuan jus jambu terasa
manis, sedikit masam namun setelah mendapat perlakuan
rasa menjadi asam gosong dan manis.

5.2.5 Sterilisasi Pada Susu Dan Jus Jambu

Sterilisasi dengan tekanan atau sterilisasi uap

(autoklaf), prinsipnya adalah suhu dan tekanan tinggi yang


diberikan kepada alat dan media yang disterilisas
imemberikan kekuatan yang lebih besar untuk membunuh sel
dibanding dengan udara panas.Pada praktikum ini
menggunakan sampel susu dan jus jambu.Sampel
susumemperoleh data berat pada susu menjadi berkurang
dari 100 ml menjadi 67 ml.Hal ini dikarenakan susu
mengalami reaksi penguapan senyawa senyawa volatil pada

susu tersebut,sehingga berat menjadi berkurang.Warna awal


susu yang semula putih kekuningan menjadi putih sedikit
kekuningan.Tekstur susu sebelum perlakuan agak kental
sesudah mendapat perlakuan menjadi encer. Rasa susu
sebelum mendapat perlakuan enak setelah mendapat
perlakuan rasa norma disertai sedikit ketir.

Pada praktikum yang menggunakan sampel jus

jambu memperoleh data


berat pada jus jambu berkurang,berat awal 100ml menjadi
25ml. Warna jus jambu sebelum mendapat perlakuan mereh
muda setelah mendapat pelkuan menjadi merah muda sedikit
kecoklatan. Aroma juga mengalami perubahan aroma
sebelum mendapat perlakuan lebih segar sedangkan setelah
mendapat perlakuan aroma menyengat. Pada tekstur jus
jambu sebelum mendapat perlakuan kental sedangkan
setelah mendapat perlakuan tekstur jus jambu sangat kental.
Rasa sebelum mendapat perlakuan manis sedikit asam
setelah mendapat perlakuan menjadi lebih manis.

BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Dari hasil praktikun dan hasil pengamatan dapat di

simpulkan bahwa Pemberian suhu tinggi pada pengolahan


dan pengawetan pangan didasarkan kepada kenyataan
bahwa pemberian panas yang cukup dapat membunuh
sebagian besar mikroba dan menginaktifkan enzim. Selain itu
makanan menjadi lebih aman karena racun-racun tertentu
rusak karena pemanasan, misalnya racun dari bakteri
Clostridium botulinum.Pengolahan/pengawetan bahan
pengan dengan mengunakan suhu tinggi dilakukan untuk
memperpanjang daya simpan suatu bahan pangan, ada
beberapa cara dalam proses pengolahan/pengawetan bahan
pangan dengan menggunakan suhu tinggi antara lain yaitu ;
Penggorengan, Penyangraian, enrobing, pasteurisasi dan
sterilisasi.

6.2 Saran
1. Alat-alat praktikum yang ada di laboratorium lebih

diperbanyak lagi sehingga para praktikan tidak buang buang


waktu akibat pengantrian alat untuk praktikum.
2. Sebaiknya praktikan lebih berhati hati dalam
melakukan praktik agar tidak
terjadi kesalahan kesalahan seperti memecahkan
alat atau sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Ashari, S. 2004. Biologi Reproduksi Tanaman Buahbuahan Komersial.Malang: Bayumedia Publishing.

Asideu, J. 1989. Prosessing Tropical Crops; a


Technological Approach. ELBS: Hong Kong

Deman, John.M. 1989. Kimia Makanan Edisi Kedua. Bandung:


ITB.

Fellows,P.J. 1990. Food Procesing Technologi


Principles and Practice. Ellis Howwood : England

Hari, S. 2003. Efek Suhu pada Penyimpanan Produk


Pangan. Bogor: ITB Press.

Krochta, J. M. ,and C. M. ,Johnson. 1997. Edible Film


and Biodegradable Polymer Film Challenger and
Opportunities, Food Tech, 51 ( 2 ); 61-74 ennadios, A.,
and C.L., 1992. Edible Film, Influence of The Main
Process Variable O Properties, Using Response
Surface Methodolg, J. Food Tech, 57 (1): 190 195.

Muchtadi,dkk.2010.Teknologi Proses pengolahan


Pangan.Bandung:Alfabeta
Muharastri, Y. 2008. Analisis Kepuasan Konsumen
Susu

UHT

Skripsi.Bogor:

Merek

Real

Departemen

Good
Ilmu

di

Kota

Sosial

Bogor.
Ekonomi

Pertanian, Fakultas Pertanian IPB.

Rismunandar. 1989. Tanaman Jambu Biji.


Bandung:Sinar Baru

Tjitrosoepomo,G.2000.Morfologi
Tumbuhan.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

Tranggono dan Sutardi, 1990. Biokimia, Teknologi


Pasca Panen dan Gizi. Yogyakarta: PAU Pangan dan
Gizi Universitas Gajah Mada

.Warsito, Chandra. 2003. Pembuatan Keripik


Bengkoang dengan Penggorengan Hampa: Pengaruh
Perendaman Larutan CaO dan Penyalutan Malto
Dekstrin Terhadap Kualitas Produk. Skripsi. Fakultas
Pertanian UNSOED: Purwokerto.

Winarno F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

Widyotomo, S. dan Sri Mulato. 2005. Penentuan Karakteristik


Pengeringan Kopi Robusta Lapis Tebal. Study of Drying
Characteristic Robusta Coffe with Thick Layer Drying Method.
Buletin Ilmiah INSTIPER Vol. 12, No. 1. 29 April 2016. Halaman
15- 37.

Winarno, F. G, Fardiaz, S, & Fardiaz, D. 1980. Pengantar


Teknologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai