Anda di halaman 1dari 11

I-1

BAB I
PENGOLAHAN DENGAN SUHU TINGGI
(PROSES TERMAL)

Proses termal dalam pengolahan pangan adalah proses pengolahan


menggunakan panas yang dilakukan terhadap bahan pangan dengan tujuan untuk
mengawetkan bahan pangan yang bersangkutan. Proses ini sudah dilakukan manusia
sejak jaman purbakala. Dengan proses pemanasan, makanan menjadi bertambah
lezat dan mudah dikunyah serta mudah dicerna di dalam tubuh. Meskipun praktek-
praktek penggunaan panas untuk memasak makanan telah berlangsung lama,
pemanfaatannya untuk pengawetan pangan baru dimulai pada tahun 1810. Pada
waktu itu Nicholas Appert dari Perancis memenangkan hadiah sebanyak 12.000 frank
atas keberhasilannya mengawetkan makanan yang mudah rusak dalam botol atau
wadah gelas dengan menggunakan proses termal atau pemanasan untuk pertama
kalinya. Sejak penemuan ini, penggunaan proses termal dalam pengolahan dan
pengawetan pangan berkembang dengan cepat.
Pada awalnya penggunaan proses termal dalam pengolahan dan pengawetan
pangan dimaksudkan untuk memusnahkan aktivitas biologis yang tidak diinginkan
dalam bahan pangan, seperti misalnya mikroba dan enzim. Ternyata bahwa selama
proses termal itu juga terjadi kerusakan zat-zat gizi seperti vitamin serta senyawa-
senyawa yang mempengaruhi mutu pangan termasuk warna, tekstur dan cita rasa.
Adanya kenyataan ini, menyebabkan proses termal berkembang menjadi suatu proses
optimasi yang bertujuan bukan hanya untuk memperpanjang masa simpan bahan
pangan dalam wadah tertutup, tetapi juga sedapat mungkin berusaha agar proses ini
masih dapat mempertahankan zat-zat gizi serta mutu organoleptik semaksimal
mungkin. Berikut ini dibahas secara umum proses termal di dalam industri pangan
serta beberapa hal yang dianggap kritis dalam penerapannya.
I-2

BEBERAPA JENIS PROSES TERMAL DALAM INDUSTRI PANGAN


Ada tiga jenis proses termal yang penting dalam pengolahan dan pengawetan
pangan, yaitu blanching, pasteurisasi dan sterilisasi komersial.

1. Blanching
Blanching adalah proses pemanasan yang diberikan pada bahan pangan
dengan menggunakan air panas atau uap air secara langsung pada suhu kurang dari
100 oC selama kurang dari 10 menit. Proses termal ini tidak ditujukan untuk
pengawetan, melainkan sebagai tahap awal proses sebelum bahan pangan yang
bersangkutan dikeringkan, dibekukan atau dikalengkan. Tergantung proses
selanjutnya, tujuan blanching dapat berbeda-beda.
Di dalam proses pengeringan dan pembekuan, tujuan blanching adalah untuk
menginaktifkan enzim yang tidak diinginkan yang mungkin dapat merubah warna,
tekstur, citarasa atau nilai gizinya selama penyimpanan. Selama blanching mungkin
muatan mikroba berkurang, tetapi hal ini bukan merupakan tujuan utama proses
termal ini.
Di dalam pengalengan pangan, fungsi blanching selain daripada meng-
inaktifkan enzim adalah juga untuk melayukan jaringan tanaman agar bahan pangan
ini mudah dimasukkan ke dalam kaleng, menghilangkan gas dari jaringan tanaman,
menghilangkan bau dan lendir serta meningkatkan suhu awal bahan pangan sebelum
diproses.
Proses blanching dapat dioptimasi dengan memperhatikan faktor-faktor diluar
waktu dan suhu proses. Faktor yang harus diperhatikan tersebut misalnya kehilangan
karena terlarut dalam medium dan kerusakan karena oksidasi. Berdasarkan hal ini,
proses blanching yang optimum adalah dengan proses HTST (High Temperature
Short Time) dalam uap karena dengan cara ini pelarutan zat nutrisi khususnya
vitamin yang larut dalam air yang berlebihan dan oksidasi dapat dikurangi.
I-3

2. Pasteurisasi
Seperti halnya blanching, pasteurisasi adalah proses termal yang dilakukan
pada suhu kurang dari 100 oC, akan tetapi waktunya sangat beragam. Mulai dari
beberapa detik sampai beberapa menit tergantung pada tinggi rendahnya suhu yang
digunakan. Makin tinggi suhu pasteurisasi, makin singkat proses pemanasannya.
Umumnya dalam penerapannya, pasteurisasi sering dikombinasikan dengan proses
pengawetan lainnya, misalnya proses fermentasi atau penyimpanan pada suhu rendah.
Tujuan utama proses termal pada pasteurisasi adalah untuk menginaktifkan
sel-sel vegetatif dari mikroba-mikroba patogen, pembentuk toksin atau pembusuk dan
menginaktifkan enzim. Beberapa mikroba yang dianggap perlu untuk diinaktifkan
dengan proses pasteurisasi adalah sebagai berikut:
- Mycobacterium tuberculosis penyebab penyakit tuberkulosa (TBC)
- Brucella termasuk B. abortus, B. melitensis, B. suis penyebab bruselosis
- Coxiella burnetii penyebab penyakit demam Q
- Salmonella termasuk S. cholerae, S.typhi, S. enteritidis penyebab
salmonelosis seperti kolera dan tifus
- Shigella dysentriae penyebab disentri
- Micrococcus pyogenes var aureus dan Clostridium botulinum tipe E
pembentuk toksin dan
- Bakteri pembusuk yang tidak berspora seperti Pseudomonas, Achromobacter,
Lactobacillus, Leuconostoc, Proteus, Micrococcus dan Aerobacter serta
kapang dan khamir.

3. Sterilisasi Komersial
Sterilisasi komersial adalah proses termal yang dilakukan pada suhu lebih
tinggi dari 100 oC, bertujuan untuk menginaktifkan spora bakteri patogen dan
pembusuk. Dikatakan sterilisasi komersial karena bahan pangan yang diproses tidak
betul-betul steril dalam arti kata yang sebenarnya, melainkan proses termal hanya
ditujukan untuk memusnahkan mikroba yang dianggap merugikan secara komersial
I-4

yaitu mikroba patogen dan pembusuk yang dapat tumbuh pada kondisi penyimpanan
yang normal. Jadi dengan sterilisasi komersial sebagian spora bakteri, khususnya
yang sifatnya sangat tahan panas masih mungkin terdapat dalam makanan kaleng,
tetapi pada kondisi penyimpanan yang normal spora bakteri ini tidak dapat tumbuh
dan berkembang biak. Spora ini baru akan tumbuh dan berkembang biak jika suhu
penyimpanannya optimum untuk bakteri yang bersifat termofil, yaitu antara 40 oC
sampai 55 oC. Umumnya bahan pangan yang diproses dengan sterilisasi komersial
akan dikemas dalam kondisi anaerobik.
Optimasi pada sterilisasi komersil tidak sesederhana optimasi pada proses
blanching dan pasteurisasi. Untuk produk yang sifat perambatan panasnya konveksi,
optimasinya cukup sederhana. Hal ini disebabkan karena perambatan secara
konveksi terjadi secara cepat, di samping pencampuran produk yang cukup selama
pemanasan. Dengan kenyataan ini kita dapat mengasumsi bahwa setiap unsur
volume dalam kaleng kira-kira mendapat perlakuan panas yang sama. Dengan situasi
semacam ini proses HTST (High Temperature Short Time) akan menghasilkan
retensi zat nutrisi dan faktor mutu yang maksimum.
Optimasi proses termal untuk bahan pangan yang bersifat konduksi jauh lebih
sukar daripada optimasi untuk bahan pangan konveksi. Hal ini disebabakan karena
setiap titik dalam kaleng menerima proses termal yang berbeda dan pada titik-titik ini
mungkin dektruksi mikroba dan zat nutrisi tidak sama. Umumnya untuk bahan
pangan yang bersifat konduksi, ternyata proses termal dengan suhu uap yang tetap
dalam kisaran 250-265 oF menghasilkan retensi yang optimum bagi zat nutrisi.
Disamping itu kelihatannya penggunaan kantong plastik yang tahan suhu retort
berkembang ke arah perbaikan yang nyata.
Dalam menentukan atau memilih proses termal untuk suatu pengolahan atau
pengawetan, perlu dilihat jenis bahan pangan yang akan diolah khususnya pH dan
sifat perambatan panasnya. Selanjutnya untuk mengkalkulasi suatu proses termal
perlu dilakukan suatu percobaan untuk data penting yang menunjang perhitungan
diantaranya kurva TDT (Thermal Death Time) dan kurva penetrasi panas. Dengan
I-5

kedua data tersebut kalkulasi proses termal dapat dilakukan dengan berbagai metode
demikian pula optimasi proses termal dapat ditentukan. Di dalam memilih dan
menetapkan proses termal yang akan digunakan untuk mengawetkan bahan pangan,
faktor dan jenis bahan pangan yang akan diproses sangat memegang peranan penting,
khususnya dalam mempengaruhi ketahanan panas bakteri.
Tabel 1.1. Ketahanan panas beberapa bakteri yang penting dalam sterilisasi komersil

Golongan Bakteri Nilai D Nilai Z


Bahan pangan berasam rendah (pH > 5)
Termofilik (spora)
- Golongan flat-sour
(B. stearothermophilus) 4,0 – 5,0 14 – 22
- Golongan pembusuk/produksi gas
(C. thermosaccharolyticum) 3,0 – 4,0 16 – 22
- Golongan pembentuk bau sulfida
(C. nigrificans) 2,0 – 3,0 16 – 22

Mesofilik (spora)
- PA (Putrefactive anaerob)
C. botulinum (Tipe A dan B) 0,10 – 0,20 14 – 18
C. sporogenes (termasuk PA. 367a) 0,10 – 0,15 14 – 18

Bahan pangan asam (pH 4,0-4,5)


Termofilik (spora)
- B. coagulans 0,01 – 0,07 14 – 18
Mesofilik
- B. plymyxa dan B. macerans 0,10 – 0,50 12 – 16
- Anaerob butirat (C. pasteurianum) 0,10 – 0,50 12 – 16
Bahan pangan berasam tinggi (pH < 4,0)
Lactobacillus sp, Leuconoctoc sp dan 0,50 – 1,00 8 – 10
Kapang serta khamir
Sumber: Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010)
D = waktu dalam menit yang dibutuhkan pada suhu tertentu untuk memusnahkan 90
% dari spora atau sel vegetatif mikroba tertentu
Z = jumlah derajat F yang dibutuhkan untuk menurunkan satu siklus log dari kurva
dekstruksi panas
I-6

Meskipun ada beberapa faktor bahan pangan yang mempengaruhi ketahanan


panas dan pertumbuhan bakteri, barangkali satu faktor yang paling penting adalah
sifat keasamannya yang dinyatakan dengan pH. Pada Tabel 1.1 diperlihatkan
ketahanan panas beberapa bakteri yang penting dalam sterilisasi komersil.
Sedangkan pada Tabel 1.2 diperlihatkan ketahanan panas beberapa komponen bahan
pangan.
Contoh bahan pangan berasam rendah adalah jagung, daging, ikan, ayam,
susu, asparagus, wortel dan bit; bahan pangan asam antara lain tomat, nanas dan buag
pear. Sedangkan bahan pangan berasam tinggi (pH < 4,0) antara lain jeruk nipis,
jeruk manis, arbei dan sauerkraut.

Tabel 1.2. Ketahanan panas beberapa komponen bahan pangan


Komponen Z (oF) D (menit)
Vitamin 45 – 55 100 – 1000
Warna, tekstur, citarasa 45 – 80 5 – 500
Enzim 12 – 100 1 – 10
Sel Vegetatif 8 – 12 0,002 – 0,02
Spora bakteri 12 – 22 0,1 – 5,0
Sumber: Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010)

Proses termal dapat dilakukan dengan berbagai teknik misalnya:


1. Penggunaan air panas atau uap air pada proses pemasakan, blanching,
pasteurissi, sterilisasi, evaporasi dan ekstruksi
2. Penggunaan udara panas seperti pemanggangan, penyangraian, dan
pengeringan
3. Penggunaan minyak panas seperti pada penggorengan
4. Penggunaan energi radiasi seperti gelombang mikro (mikrowave), radiasi
infra merah dan radiasi ionisasi.
I-7

A. Pemasakan
Pemasakan merupakan proses termal dengan tujuan utama untuk meningkatkan
citarasa produk pangan. Proses pemasakan meliputi berbagai proses termal yang
umum dilakukan dalam skala rumah tangga seperti perebusan, pemanggangan,
penggorengan, penyangraian dan metode yang menggunakan panas lainnya.
Pemasakan dapat mendekstruksi atau menurunkan jumlah mikroba dan
menginaktifkan enzim-enzimyang tidak diinginkan. Selain itu toksin tertentu yang
secara alami terdapat dalam bahan pangan atau dari mikroba kontaminan dapat
didekstruksi. Daya cerna meningkat karena proses pemasakan. Perubahan lainnya
adalah perubahan tekstur, warna dan citarasa sesuai yang diinginkan. Kerugian
proses pemasakan adalah kerusakan zat-zat gizi yang tidak tahan panas.

B. Blanching
Definisi blanching dan tujuannya telah diuraikan sebelumnya. Biasanya
blanching digunakan pada buah dan sayuran.

C. Pasteurisasi
Tujuan pasteurisasi telah diuraikan sebelumnya. Berhubung proses pasteurisasi
tidak mematikan semua mikroba vegetatif dan hampir semua bakteri pembentuk
spora, produk hasil pasteurisasi harus dikemas atau disimpan pada suhu rendah
dengan penambahan pengawet, pengemasan atmosfer termodifikasi, pengaturan pH
atau pengaturan aktivitas air untuk meminimumkan pertumbuhan mikroba. Contoh
produk pasteurisasi misalnya pada susu, jus buah.

D. Sterilisasi
Penjelasan tentang sterilisasi komersil ini dapat dilihat pada uraian sebelumnya.

E. Penggorengan
Penggorengan merupakan proses dehidrasi (pengambilan air) dari produk pangan
baik dari bagian luar maupun keseluruhan bagian produk. Proses penggorengan
menggunakan minyak atau lemak sebagi media pindah panas. Tujuan dari proses
I-8

penggorengan adalah untuk melakukan (1) pemanasan pada nahan pangan, (2)
pemasakan, dan (3) pengeringan bahan pangan yang digoreng.
Selain mengakibatkan inaktivasi enzim dan mikroba, pemanasan akibat
penggorengan akan menurunkan aktivitas air (Aw) bahan pangan baik pada
permukaan maupun seluruh bagian produk pangan. Aktivitas air yang menurun akan
mengurangi ketersediaan air pada bahan pangan tersebut untuk digunakan oleh
mikroba perusak dan pembusuk, sehingga umur simpan produk lebih panjang.
Waktu penggorengan yang dibutuhkan oleh bahan pangan tergantung pada jenis
bahan pangan, suhu minyak goreng, metode penggorengan (penggorengan shallow
atau deep-fat), ketebalan bahan pangan dan tingkat perubahan sesuai dengan mutu
makan yang diinginkan.
Berdasarkan metode pindah panas yang terjadi selama penggorengan, terdapat 2
metode penggorengan yang telah diterapkan secara komersil, yaitu shallow/ pan
frying atau penggorengan dangkal dan deep-fat frying. Shallow/ pan frying adalah
proses penggorengan dengan menggunakan sedikit minyak sehingga proses
penggorengan terjadi pada minyak yang dangkal (shallow). Panas dipindahkan ke
bahan pangan terutama melalui mekanisme pindah panas konduksi dari permukaan
wajan yang panas, melalui lapisan tipis minyak. Metode ini sesuai untuk produk
pangan yang mempunyai rasio luas permukaan terhadap volume yang besar.
Contohnya, telur dadar, martabak telur, irisan daging dan sebagainya.
Metode deep-fat frying adalah metode penggorengan dengan menggunakan
minyak goreng yang banyak sehingga bahan pangan yang digoreng akan terendam
seluruhnya di dalam minyak goreng tersebut. Proses pindah panas yang terjadi
merupakan kombinasi antara pindah panas secara konveksi melalui media pindah
panas minyak goreng dan pindah panas secara konduksi melalui bagian dalam bahan
pangan. Proses penggorengan cara ini sesuai untuk digunakan menggoreng berbagai
bentuk bahan pangan.
Berdasar kondisi prosesnya, penggorengan juga dapat dilakukan pada tekanan
atmosfir, bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfir dan pada kondisi vakum.
I-9

Penggorengan pada kondisi tekanan atmosfir terjadi pada penggorengan konvensional


dimana proses penggorengan dilakukan secara terbuka pada tekanan normal atmosfir.
Penggorengan dengan kondisi bertekanan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfir
membutuhkan alat khusus yang mampu menahan tekanan tinggi dan proses
penggorengan dengan cara ini terjadi pada suhu yang lebih tinggi. Penggorengan
pada kondisi vakum adalah proses yang terjadi pada tekanan yang lebih rendah dari
tekanan vakum. Pada kondisi ini akan menyebabkan titik didih minyak goreng
menjadi lebih rendah. Buah- buahan dan sayuran cocok digoreng dengan cara ini
karena akan menghasilkan warna yang lebih baik serta tekstur yang renyah.
F. Penyangraian
Penyangraian merupakan proses pindah panas, batanpa media maupun
menggunakan media seperti pasir. Pasir digunakan pada pengolahan beberapa
produk makanan tradisional seperti krupuk. Penyangraian digunakan pada
pengolahan kopi, coklat, kacang-kacangan dan lain-lain.
Tujuan penyangraian adalah mempermudah pengupasan kulit dan membentuk
aroma seperti pada penyangraian kacang-kacangan, membentuk citarasa dan bau
seperti pada penyangraian kopi dan coklat atau membentuk tekstur yang diinginkan
seperti pada penyangraian krupuk pasir.

G. Pemanggangan
Pemanggangan merupakan proses pemanasan kering terhadap bahan pangan
yang dilakukan untuk mengubah karakteristik sensorik sehingga produknya dapat
lebih diterima konsumen. Pada proses pemanggangan terjadi perpindahan panasdan
perpindahan massa secara simultan. Perpindahan panas terjadi dari sumber pemanas
ke media pemanas ke bahan yang dipanggang. Perpindahan massa yang terjadi
adalah pergerakan air dari bahan ke udara dalam bentuk uap.
Proses pemanggangan menyebabkan perubahan warna, tekstur, aroma dan rasa
dari bahan yang dipanggang. Disampingn itu akan menyebabkan kerusakan vitamin
yang tidak tahan panas misalnya vitamin C dan tiamin. Perubahan yang terjadi akibat
pemanggangan adalah pengembangan volume, pembentukan kulit (crust), inaktivasi
I-10

enzim dan mikroba, koagulasi protein dan gelatinisasi sebagian pati. Perubahan
tersebut disertai dengan pembentukan senyawa-senyawa citarasa dari gula yang
mengalami karamelisasi, membentuk pirodekstrin dan melanoidin, serta
pembentukan aroma dari senyawa-senyawa aromatik yang terdiri dari aldehid, keton,
berbagai ester, asam dan lain-lain.

H. Evaporasi
Evaporasi merupakan proses pemanasan dimana air diuapkan dari bahan pangan
yang bersifat cair pada kondisi vakum atau tekanan dibawah 1 atmosfir. Contoh
produk pangan yang menggunaka proses evaporasi dalam pengolahannya adalah
susu kental manis, gula pasir dan permen. Tujuan evaporasi adalah (a) mengentalkan
produk untuk mempermudah pengeringan, penyimpanan dan transportasi, (b)
meningkatkan total padatan dan mengurangi aktivitas air, dan (c) meningkatkan
perubahan warna dan flavor seperti pada proses pembuatan permen.

I. Pengeringan
Pengeringan merupakan metode pengawetan dengan cara pengurangan kadar air
dari bahan pangan sehingga daya simpan menjadi lebih panjang. Perpanjangan daya
simpan terjadi karena aktivitas mikroorganisme dan enzim menurun sebagai akibat
dari air yang dibutuhkan untuk aktivitas hidupnya tidak cukup.
Keuntungan proses pengeringan adalah bahan menjadi lebih tahan lama
disimpan, volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat
ruang pengangkutan dan pengepakan. Berat bahan menjadi berkurang sehingga
memudahkan transportasi. Disamping itu banyak bahan pangan yang hanya dapat
dikonsumsi setelah dikeringkan misalnya teh dan kopi.
Disamping keuntungannya, pengeringan mempunyai beberapa kerugian yaitu,
sifat asal bahan yang dikeringkan berubah misalnya bentuk dan penampakannya, sifat
fisik dan kimianya, penurunan mutu dan lain-lain. Kerugian lainnya, karena beberapa
bahan kering perlu pekerjaan tambahan sebelum digunakan misalnya harus
dibasahkan kembali.
I-11

Pengeringan bahan pangan dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu,


penjemuran, pengeringan buatan (menggunakan alat pengering misalnya, cabinet
dryer, spray dryer, dll) dan pengeringan secara pembekuan (freeze drying).

J. Ekstrusi
Proses ekstrusi adalah suatu proses yang mengkombinasikan beberapa unit
pengoperasian yang meliputi pencampuran, pemanasan dan pencetakan untuk
membentuk hasil ekstrusi yang bervariasi. Ekstruder, yaitu alat yang digunakan
untuk proses ekstrusi merupakan tempat berlangsungnya proses yang kompleks
dimana bahan diberi tekanan pada suhu tertentu melalui pergerakan ulir. Bahan
kemudian didorong malalui lubang yang disebut die (cetakan) pada ujung alat
ekstruder. Proses ekstrusi dapat mengubah tekstur dan flavor bahan pangan dan
prosesnya tidak menghasilkan limbah. Contoh produk ekstrusi cornflake, snack dll.
Teknik ekstrusi dapat berupa pengolahan suhu rendah seperti pada pasta, atau
pengolahan pada suhu tinggi seperti pada pengolahan makanan ringan. Tujuan utama
ekstrusi adalah untuk meningkatkan keragaman jenis produk pangan dalam berbagai
bentuk, tekstur, warna dan cita rasa. Proses ekstrusi dengan cara HTST dapat
mencegah kontaminasi mikroba dan inaktivasi enzim.

DAFTAR PUSTAKA

Estiasih, T. Dan Ahmadi, K. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. PT. Bumi


Aksara, Jakarta.

Muchtadi, T.R dan Ayustaningwarno, F. 2010. Teknologi Proses Pengolahan


Pangan. Alfabeta, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai