Anda di halaman 1dari 8

TEKNOLOGI PENGAWETAN PANGAN

Rahmi Holinesti, STP, M.Si

Staf Pengajar Prodi Tata Boga


Jurusan Ilmu Kesejahteraan Keluarga FPP UNP

Bahan makanan yang tersedia di alam bersifat mudah rusak, oleh sebab itu perlu
dilakukan proses pengolahan dan pengawetan untuk mempertahankan kualitasnya.
Kegiatan pengolahan adalah suatu proses pembuatan suatu bahan dari bahan mentah
atau bahan asal serta kegiatan-kegiatan penanganan dan pengawetan bahan tersebut.
Pengolahan bertujuan untuk menambah macam makanan, sedangkan pengawetan
bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan tersebut dengan
memberikan perlakuan tertentu guna menghambat terjadinya kerusakan.
Bahan makanan yang dianggap rusak bila menunjukkan adanya perubahan rasa,
warna, bentuk, dan aromanya. Perubahan rasa ditunjukkan oleh perubahan yang
menonjol dari rasa aslinya. Misalnya rasa manis berubah menjadi asam. Perubahan
warna ditunjukkan oleh terjadinya perubahan warna dari warna aslinya. Misalnya putih
menjadi kehitam-hitaman. Perubahan aroma ditunjukkan dengan timbulnya aroma lain
dari aroma aslinya. Misalnya bau harum menjadi tengik. Perubahan tekstur terjadi jika
tekstur suatu bahan telah berubah dari tekstur aslinya yang khas. Misalnya tegar
menjadi lembek.
Jenis-jenis kerusakan pada bahan pangan secara umum dapat dikelompokkan
menjadi 3 bagian, yaitu :

1. Kerusakan fisik / mekanis

Kerusakan fisik adalah kerusakan yang terjadi akibat pengaruh perlakuan


fisik terhadap bahan makanan, seperti pemanasan, pendinginan, dan pembekuan.
Sedangkan kerusakan mekanis biasanya terjadi akibat benturan mekanis yang terjadi
antar sesama bahan makanan atau karena benturan alat dengan bahan tersebut.
Benturan biasanya terjadi saat memasukkan bahan ke dalam wadah penyimpanan.
Buah-buahan dan sayuran sering mengalami rusak mekanis. Kerusakan ini
umumnya terjadi akibat kurang hati-hati dalam penanganannya, seperti pada saat
pemasukan, pemindahan, dan penyimpanan serta pengirimannya, atau saat proses
pemanenan. Kerusakan mekanis yang terjadi pada saat pemasukan, pemindahan, dan
penyimpanan umumnya terjadi akibat benturan dan penekanan antar sesama bahan
dan wadah penyimpanan. Kerusakan bahan akibat pengiriman terjadi karena adanya
goncangan kendaraan dan himpitan antar sesama bahan. Kerusakan saat memanen
terjadi akibat terpotong oleh alat pemanen dan benturan dengan benda keras.

2. Kerusakan kimia

Kerusakan kimiawi adalah kerusakan yang terjadi akibat adanya perubahan


sifat zat dari bahan makanan. Perubahan kimiawi ini, saling berhubungan dengan
kerusakan lainnya. Kerusakan fisik biasanya juga merupakan kerusakan kimiawi,
karena reaksi enzimiatis biasanya akan aktif dalam proses kerusakan kimia. Sinar
matahari, oksigen, dan reaksi antara kemasan kaleng dengan bahan dapat
mempercepat kerusakan kimiawi. Kerusakan ini ditandai dengan terjadinya
perubahan warna dan aroma pada bahan makanan. Contoh : perubahan warna apel
yang telah di kupas dari putih menjadi kecoklatan akibat adanya pengaruh oksigen.

3. Kerusakan biologis / mikrobiologis

Kerusakan mikrobiologis merupakan bentuk kerusakan makanan yang


disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme (mikroba). Mikroba dapat menyebabkan
pembusukan bahan makanan. Mikroba dapat di temukan dimana saja, seperti: tanah,
air, udara, bahan yang akan diolah, peralatan untuk megolah, pekerja, dan lain-lain.
Kerusakan ini akan membahayakan kesehatan manusia yaitu terjadinya keracunan
dan infeksi, akibat mengkumsumsi makanan yang telah mengandung mikroba
penyebab penyakit.
Untuk mencegah terjadinya kerusakan-kerusakan di atas, perlu dilakukan upaya
untuk mengawetkannya. Prinsip-prinsip pengawetan yang dapat dilakukan antara lain
dengan suhu tinggi, suhu rendah, pengeringan, fermentasi, dan menggunakan bahan
tambahan pangan.

1. Pengawetan Pangan Dengan Suhu Tinggi

Pengolahan dengan suhu tinggi atau proses termal merupakan proses


pengolahan makanan dengan menggunakan panas untuk menghilangkan atau
mengurangi aktivitas biologis yang tidak diinginkan dalam bahan pangan, sehingga
dapat memperpanjang umur simpan bahan pangan, disamping itu untuk
mempertahankan nilai gizi bahan pangan. Ada tiga jenis proses termal yang penting
dalam pengolahan bahan pangan, yaitu : blanching, pasteurisasi dan sterilisasi.
Blanching adalah proses pemanasan pendahuluan yang dilakukan terhadap
buah-buahan dan sayuran terutama untuk menginaktifkan enzim-enzim dalam
bahan pangan tersebut. Proses blanching ini biasanya dilakukan dengan uap atau air
panas secara langsung pada suhu 82 – 930C selama 3 – 5 menit. Dalam
pengalengan, fungsi blanching untuk melayukan jaringan tanaman agar mudah
dikemas, menghilangkan gas dari dalam jaringan, menginaktifkan enzim dan
menaikkan suhu awal bahan pangan sebelum sterilisasi.
Pasteurisasi adalah proses termal yang dilakukan pada suhu 62,80C selama
30 menit, tetapi kadang-kadang pasteurisasi juga dilakukan secara cepat (HTST =
high temperatur short time) yaitu 720C selama 5 detik. Tujuan utama dari
pasteurisasi adalah menginaktifkan sel-sel vegetatif mikroba patogen.
Sterilisasi berarti membebaskan bahan dari semua mikroba, karena beberapa
spora bakteri relatif lebih tahan terhadap panas, maka sterilisasi biasanya dilakukan
pada suhu tinggi, yaitu 1210C selama 15 menit.
Proses pengolahan yang menggunakan panas biasa dikenal dengan istilah
pengalengan makanan. Pengalengan bahan makanan merupakan suatu proses
pengolahan makanan dengan menggunakan panas kemudian dikemas dalam wadah
yang hermetis. Hermetis artinya kedap terhadap debu, kotoran, uap air, gas, dan
mikroba.
Tahap-tahap proses pengalengan yang umum dilakukan adalah persiapan
bahan mentah meliputi sortasi, grading, pemotongan, dan pencucian. Selanjutnya
blanching, pengisian, penghampaan (exhausting), penutupan, sterilisasi dan
pendinginan.

2. Pengawetan Pangan Dengan Suhu Rendah

Menyimpan bahan pangan pada suhu sekitar -20C sampai 100C dapat
memperpanjang masa simpan bahan pangan. Hal ini disebabkan karena suhu
rendah dapat memperlambat aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan
mikroba. Selain itu juga mencegah reaksi-reaksi kimia dan hilangnya kadar air dari
bahan pangan.
Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku.
Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu -12 sampai -240C, pembekuan
cepat dilakukan pada suhu -24 sampai -400C. Pembekuan cepat ini dapat terjadi
dalam waktu kurang dari 30 menit. Sedangkan pembekuan lambat biasanya
berlangsung selama 30 – 72 jam.
Buah-buahan yang akan disimpan pada suhu rendah haruslah yang bermutu
baik dan tidak memar (cacat). Buah sebelum didinginkan harus dicuci dan
ditiriskan, buah jangan disimpan dalam keadaan basah, sebab akan merangsang
pertumbuhan kapang dan pembusukan cepat terjadi. Untuk mengurangi suatu
kelayuan dan pengeringan, buah dibungkus dalam kantong plastik yang berpori-
pori agar tetap terjadi sirkulasi udara.
Pada umumnya cara pengawetan dengan penurunan suhu yang terbaik untuk
daging, ikan, dan unggas adalah di dalam ruang pembekuan. Sebenarnya ruang
pembekuan pada lemari pendingin digunakan untuk menyimpan bahan pangan
yang sudah dibekukan terlebih dahulu secara cepat. Apabila daging, ikan, dan
unggas yang belum dibekukan disimpan pada tempat tersebut, hanya dapat bertahan
selama dua minggu.

3. Pengawetan Pangan Dengan Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metoda untuk mengeluarkan atau menghilangkan


sebagian air dari suatu bahan pangan dengan menguapkan air tersebut
menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air bahan tersebut dikurangi
sampai suatu batas agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya.
Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering (artificial
drier) atau dengan penjemuran (sun dryer) yaitu pengeringan dengan menggunakan
energi langsung dari matahari. Pengeringan buatan mempunyai keuntungan karena
suhu dan aliran udara dapat diatur sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan
dengan tepat dan kebersihan dapat diawasi dengan baik.
Penjemuran mempunyai keuntungan karena energi panas yang digunakan
bersifat murah, tetapi kerugiannya intensitas panas sinar matahari tidak tetap
sepanjang hari, dan kenaikan suhu yang tidak dapat diatur sehingga waktu
penjemuran dilakukan di tempat terbuka yang langsung berhubungan dengan sinar
matahari, maka kebersihan kebersihannya sukar diawasi.
4. Pengawetan Pangan Dengan Fermentasi

Pada umunya cara-cara pengawetan bahan pangan ditujukan untuk


menghambat atau membunuh mikroba, sebaliknya fermentasi adalah suatu cara
pengawetan yang menggunakan mikroba tertentu untuk menghasilkan asam atau
komponen lainnya yang dapat menghambat mikroba perusak.
Ditinjau dari segi biokimia, fermentasi dapat didefinisikan sebagai suatu
proses biokimia yang menghasilkan energi, komponen organik bertindak sebagai
penerima elektron. Oleh karena itu fermentasi dapat berlangsung tanpa adanya
oksigen. Energi yang dihasilkan oleh proses fermentasi jauh lebih sedikit jika
dibandingkan dengan proses respirasi. Fermentasi dapat diartikan sebagai proses
pemecahan bahan-bahan organik oleh mikroorganisme yang menghasilkan
komponen-komponen yang diinginkan.
Proses fermentasi dapat dibedakan atas tiga kelompok berdasarkan
mikroorganisme yang berperan dan produk-produk yang dihasilkan yaitu : (1)
fermentasi alkohol oleh khamir, pada umumnya dilakukan pada bahan pangan yang
mengandung karbohidrat dalam jumlah tinggi, (2) fermentasi asam, umumnya
dilakukan oleh bakteri dan dibedakan atas 2 kelompok berdasarkan asam yang
terbentuk yaitu asam laktat dan asam asetat, (3) fermentasi menggunakan kapang,
umumnya menggunakan bahan dari kacang-kacangan misalnya pada tempe, kecap
dan tauco.
Yoghurt merupakan produk fermentasi susu. Starter atau bibit yang
digunakan adalah bakteri asam laktat (Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus
thermophillus) dengan perbandingan yang sama. Karena digunakan bakteri asam
laktat yang mampu memproduksi asam laktat maka produk yang terbentuk berupa
susu yang menggumpal dengan rasa asam dan cita rasa yang khas.
Pikel adalah sayuran atau buah yang diperam dalam larutan garam selama 3
– 4 hari. Faktor yang mengontrol berhasil tidaknya pembuatan pikel adalah kadar
garam dan suhu larutan. Kadar larutan garam yang paling umum dipakai dalam
pembuatan pikel adalah 5 – 8 %.
5. Pengawetan Dengan Bahan Tambahan Pangan

Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang
secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan
ke dalam bahan pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk bahan pangan. Jadi
BTP ditambahkan untuk memperbaiki karakter pangan agar memiliki kualitas yang
meningkat. BTP umumnya merupakan bahan kimia yang telah diteliti dan diuji
lama sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang ada. Pemerintah sendiri telah
mengatur pemakaian BTP secara optimal. Mengingat fungsi perbaikan karakter
yang dimilikinya, pemakaian BTP merupakan salah satu langkah teknologi yang
diterapkan oleh industri pangan.
Apabila ditinjau dari asalnya, BTP dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
a. BTP alami, yaitu yang diperoleh dari ekstrak bahan-bahan alam seperti ekstrak
tanaman dan rempah-rempah.
b. BTP sintetis, yaitu yang dibuat dari bahan kimia yang mempunyai sifat yang
mirip dengan bahan alamiahnya. Dibandingkan dengan BTP alami, BTP sintetis
lebih banyak digunakan karena lebih pekat, lebih stabil dan lebih murah.
Kelemahannya adalah sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga
mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan.
Bahan Tambahan Pangan Yang Sering digunakan antara lain :

a. Pewarna

Penambahan bahan pewarna pada makanan dilakukan untuk memberi


kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan warna makanan, menstabilkan
warna, menutupi perubahan warna selama proses pengolahan dan mengatasi
perubahan warna selama penyimpanan.
Pewarna makanan dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu
pewarna alami dan pewarna sintetis. Pewarna alami merupakan ekstrak (pigmen)
dari tanaman dan rempah-rempah. Kekuatan warna pewarna alami lebih rendah
dibandingkan pewarna sintetis, selain itu tidak stabil dan peka terhadap oksidasi.
Pewarna sintetis terdiri dari bermacam-macam jenis serta mempunyai kekuatan
warna yang tinggi, sehingga dalam jumlah sedikti saja dapat mengimbangi
pewarna alami.
Produk yang sering menggunakan zat pewarna adalah minuman, produk
olahan susu, kembang gula, biskuit, roti, es krim, sosis, dan makanan kecil
lainnya. Konsentrasi yang digunakan tiap-tiap bahan berbeda-beda serta
mempunyai batas penggunaannya. Pemerintah telah mengatur penggunaan
pewarna di dalam makanan, serta batas penggunaannya. Beberapa pewarna
sintetis yang diizinkan di Indonesia antara lain : carmoisin, amaranth, erithrosin,
sunset yellow FCF, tartrazin, quineline yellow, fast green FCF, brilliant blue
FCF, indigo carmine dan violet GB. Batas masksimum penggunaan diatur dalam
SNI, sebagai contoh erithrosin maksimum ditambahkan sebesar 300 mg/kg
bahan. Akan tetapi masih banyak produsen makanan, terutama pengusaha kecil,
yang menggunakan bahan-bahan pewarna yang dilarang dan berbahaya bagi
kesehatan, misalnya pewarna untuk tekstil atau cat yang umumnya mempunyai
warna lebih cerah, lebih stabil selama penyimpanan, serta harganya lebih murah
dan produsen pangan belum mengetahui bahaya dari pewarna-pewarna tersebut.
Alternatif lain untuk menggantikan penggunaan pewarna sintetis adalah
dengan menggunakan pewarna alami seperti ekstrak dari kayu secang, daun
pandan atau daun suji, dan kunyit yang pada umumnya lebih aman.

b. Pemanis buatan

Pemanis buatan sering ditambahkan ke dalam makanan dan minuman


sebagai pengganti gula karena memiliki kelebihan dibandingkan pemanis alami
yaitu rasanya lebih manis, membantu mempertajam penerimaan terhadap rasa
manis, tidak mengandung kalori atau mengandung kalori yang jauh lebih rendah
sehingga cocok untuk penderita penyakit gula (diabetes) dan harganya lebih
murah. Pemanis buatan yang paling umum digunakan dalam pengolahan pangan
di Indonesia adalah aspartame, sorbitol, sakarin dan siklamat yang mempunyai
tingkat kemanisan masing-masing 30 – 80 dan 300 kali gula alami, karena itu
sering disebut sebagai “biang gula”. Batas penggunaan maksimum adalah 11
mg/kg bahan.

c. Pengawet

Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang


mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat
proses degradasi bahan pangan terutama yang disebabkan oleh faktor biologi.
Tetapi tidak jarang produsen pangan menggunakannya pada makanan yang
relatif awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau
memperbaiki tekstur. Penggunaan pengawet dalam makanan harus tepat, baik
jenis maupun dosisnya. Suatu bahan mungkin efektif untuk mengawetkan
makanan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan makanan lainnya
karena makanan mempunyai sifat yang berbeda-beda. Beberapa bahan pengawet
yang umum digunakan adalah garam, gula, asam, benzoat, propionat, nitrit,
nitrat, sorbat, dan sulfit.

Anda mungkin juga menyukai