Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Pengelolaan lingkungan seperti halnya dengan usaha-usaha atau
kegiatan lain tentu memerlukan dana untuk mendanai kegiatan tersebut.
Dalam kehidupan ini tidak ada sesuatu yang sifatnya bebas biaya atau
pengorbanan ; demikian pula dengan pengelolaan lingkungan. Untuk
mengelola lingkungan dengan baik diperlukan sumberdaya tidak hanya
sumberdaya manusia, tapi juga sarana dan prasarana serta dana yang
berkaitan dengan pengelolaan lingkungan tersebut. Yang menjadi pertanyaan
adalah dari mana dan bagaimana mendanai pengelolaan lingkungan itu ?
Darimana sumber yang diperlukan dan bagaimana mengalokasikannya
sewhingga tetap dijamain adanya keadilan dan kesinambungan.
Seperti telah disebutkan dimuka bahwa lingkungan merupakan barang
publik, sehingga kurang menarik bagi para individu untuk secara langsung
bertanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan karna individu yang
mengelola lingkungan sulit menarik bayaran dari orang-orang lain (ingat
non-exclusion principle). Dengan alasan ini, maka pemerintah harus
bertanggung jawab mengelola lingkungan secara keseluruhan dan mengatur
swedemikian rupa dengan berbagai mekanisme sehingga para individu yang
semula kurang berminat mengelola lingkungan akan mau mengelola dan sudi
mendanai perbaikan kualitas lingkungan.
Pasal 42 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada ayat 1 dikatakan bahwa
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam rangka melestarikan fungsi
lingkungan hidup wajib mengembangkan dan menerapkan instrument
ekonomi lingkungan hidup, yang salah satunya berupa pendanaan
lingkungan hidup (Ayat 2b). Selanjutnya dalam pasal 42 ayat 2 disebutkan
bahwa instrument pendanaan lingkungan yang dimaksud dalam Pasal 42 ayat
(2b) meliputi: a) dana jaminan pemulihan lingkungan hidup, b) dana
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan
hidup, serta c) dana amanah atau bantuan untuk konservasi.
1

Dalam penjelasan Undang-undang No. 32 Tahun 2009 itu dinyatakan


bahwa yang dimaksud dengan :
a) Dana jaminan lingkungan hidup adalah dana yang disiapkan olewh
suatu usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan kualitas lingkungan
hidup yang rusak sebagai akibat kegiatan tersebut.
b) Kemudian yang dimaksud dengan Dana penanggulangan adalah
dana yang digunakan untuk menanggulangi pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang timbul sebagai akibat usaha
dan/atau kegiatan;
c) Selanjutnya yang dimaksud dengan c) dana amanah/bantuan adalah
dana yang berasal dari sumber hibah dan donasi untuk kepentingan
konservasi lingkungan hidup.
1.2.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini yaitu :
1. Apa sajakah sumber pendanaan ?
2. Dari mana sajakah pendanaan pengelolaan lingkungan ?
3. Bagaimanakah sistem pendanaan pengelolaan lingkungan ?

1.3.

Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui apa-apa sajakah sumber pendanaan.
2. Untuk mengutahui darimana sajakah pendanaan pengelolaan lingkungan.
3. Unruk mengetahui bagaimana sistem pendanaan pengelolaan lingkungan.

1.4.

Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan untuk memberikan manfaat :
1. Kepada penulis untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
2. Kepada pembaca untuk mengetahui tentang pendanaan pengelolaan
lingkungan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Pengertian dan Tujuan Pendanaan Pengelolaan Lingkungan


Gerakan lingkungan hidup di Indonesia telah dimulai pada tahun 1960an. Sebuah tonggak sejarah gerakan ini ialah diselenggerakannya Seminar
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas
Padjadjaran dalam bulan Mei 1972, sebulan sebelum Konferensi PBB tentang

Lingkungan Hidup di Stokholm. Tonggak sejarah lain adalah diangkatnya


seorang Menteri Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1987.
Dengan pengangkatan ini Lingkungan Hidup merupakan bagian resmi
kebijakan pemerintah. Dengan masuknya lingkungan hidup sebagai bagian
kebijakan pemerintah pembangunan ekonomi diisyaratkan untuk berwawasan
lingkungan dengan tujuan untuk menghasilkan pembangunan berkelanjutan,
yaitu pembangunan berkesinambungan yang tidak mengalami keambrukan
karena rusaknya lingkungan hidup. Pembangunan telah menyebabkan
kerusakan lingkungan yang parah dan luas yang mengancam berlanjutnya
pembangunan. Kerusakan lingkungan hidup dan dampaknya yang parah
menunjukkan bahwa sistem pengelolaan lingkungan hidup kita telah gagal
membuat pembangunan kita berwawasan lingkungan.
Lingkungan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta
(Neolaka;2008;25) adalah berasal dari kata lingkung yaitu sekeliling, sekitar.
Lingkungan adalah bulatan yang melingkupi atau melingkari, sekalian yang
terlingkung disuatu daerah sekitarnya. Menurut ensiklopedia Umum (1977)
lingkungan adalah alam sekitar termasuk orang-orangnya dalam hidup
pergaulan yang mempengaruhi manusia sebagai anggota masyarakat dalam
kehidupan dan kebudayaannya. Dalam Ensiklopedia Indonesia(1983)
lingkungan adalah segala sesuatu yang ada diluar suatu organisme meliputi :
1. Lingkungan mati (abiotik) yaitu lingkungan diluar suatu organisme yang
terdiri atas benda atau faktor alam yang tidak hidup, seperti bahan kimia,
suhu, cahaya, gravitasi, atmosfir dan lainnya.
2. Lingkungan hidup (biotik) yaitu lingkungan diluar suatu organisme yang
terdiri atas organisme hidup seperti tumbuhan, hewan dan manusia.
Menurut Undang Undang RI No. 4 tahun 1982, tentang ketentuanketentuan pokok Pengelolaan lingkungan hidup dan Undang-Undang RI No
23 tahun 1997 tentang Pengolahan Lingkungan Hidup, dikatakan bahwa
Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya
3

keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang


mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
mahluk hidup lainnya.
Pada penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa lingkungan hidup
merupakan sistem yang meliputi lingkungan alam, lingkungan buatan dan
lingkungan sosial yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Oleh sebab itu keberadaan
lingkungan hidup harus turut dipertimbangkan dalam setiap pengelolaan
suatu kegiatan manusia termasuk pengelolaan sampah pemukiman, karena
lingkungan hidup manusia adalah sistem dimana berada perwujudan atau
tempat dimana terdapat kepentingan manusia di dalamnya (Soerjadi;1988).
Masih menurut Soerjadi (1988) bahwa lingkungan hidup manusia
terdiri dari lingkungan alam, sosial dan lingkungan buatan mempunyai
hubungan saling mempengaruhi. Lingkungan hidup manusi terdiri atas
lingkungan hidup sosial yang menentukan seberapa jauh lingkugan hidup
alam mengalami perubahan drastis menjadi lingkungan hidup buatan.
Dalam upaya meningkatkan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan
upaya untuk mengadakan koreksi terhadap lingkungan dengan memodifikasi
lingkungan, agar pengaruh merugikan dapat dijauhkan dan dilaksanakan
pencegahan melalui efisiensi dan pengaturan lingkungan, sehingga bahaya
lingkungan dapat dihindarkan dan keserasian serta keindahan dapat
terpelihara.
Lebih tegasnya Soerjadi (1988), menyatakan ada tiga upaya yang harus
dijalankan secara seimbang yaitu upaya teknologi, upaya tingkah laku atau
sikap dan upaya untuk memahami dan menerima koreksi alami yang terjadi
karena dampak interaksi manusia dan lingkungannya.
Chiras (Neolaka;1991) menyatakan bahwa lingkungan menunjukkan
keluasan segala sesuatu meliputi air, binatang, dan mikro organisme yang
mendiami tanah itu. Jadi lingkungan termasuk segala komponen yang hidup

dan tidak hidup, interaksi antar sesama komponen. Lingkungan hidup adalah
sistem yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan
dan mahluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
mahluk hidup lainnya. Dari pengertian lingkungan yang sama yaitu perlu
disadari bahwa ternyata pengelolaan lingkungan oleh manusia sampai saat ini
tidak sesuai dengan etika lingkungan yaitu manusia bersikap superior
terhadap alam. Manusia beranggapan bahwa dirinya bukan bagian dari alam
semesta sehingga dia boleh bebas mengelolanya bahkan dapat merusak
lingkungan hidupnya.
Antar manusia dengan lingkungan hidupnya selalu terjadi interaksi
timbal balik. Manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya dan manusia
dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Demikian pula manusia membentuk
lingkungan hidupnya dan manusia dibentuk oleh lingkungan hidupnya.
Laporan Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan
Nasional yang diselenggerakan oleh Universitas Padjadjaran pada bulan Mei
1972 menyatakan Hanya dengan lingkungan hidup yang optimal, manusia
dapat berkembang dengan baik, dan hanya dengan manusia yang baik
lingkungan akan berkembang kearah yang optimal. Sepanjang masa
lingkungan hidup memegang peranan penting dalam kebudayaan manusia,
mulai dari manusia primitif sampai pada yang modern.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian
lingkungan hidup (Pasal 1 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997). Lebih lanjut
dikatakan dalam Pasal 3 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Tahun
1997, bahwa pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggerakan dengan
asas tanggungjawab, asas keberlanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan

pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertagwa


kepada Tuhan Yang maha Esa. Dan yang menjadi sasaran pengelolaan
lingkungan hidup ini adalah (Pasal 4 UUPLH No. 23 Tahun 1997) :
1. Tercapainya keselarasan dan keseimbangan antara manuisa dengan
lingkungan hidupnya.
2. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang
memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup.
3. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan
4. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup.
5. Terkendalinya pemanfaatan sumer daya secara bijaksana.
6. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak
usaha dan/atau kegiatan diluar wilayah Negara yang menyeabkan
pencemaran

dan/atau

perusak

lingkungan

hidup.

(dalam

Neolaka,2008;113)
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah
merancang tujuan dari pengelolaan lingkungan hidup yaitu : (tahun 20042009).

1. Mewujudkan perbaikan kualitas fungsi lingkungan hidup dengan :


a. Penurunan beban pencemaran lingkungan meliputi air, udara, atmosfir,
laut dan tanah.
b. Penurunan laju kerusakan lingkungan hidup yang meliputi sumber daya
air, hutan dan lahan, keanekaragaman hayati, energi dan atmosfir, serta
ekosistem pesisir laut.

c. Terintegrasinya dan diterapkannya pertimbangan pelestarian fungsi


lingkungan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta
pengawasan pemanfaatan ruang dan lingkungan.
2. Meningkatnya kepatuhan para pelaku pembangunan untuk menjaga
kualitas fungsi lingkungan hidup.
3. Mewujudkan tata pemerintahan yang baik dibidang pengelolaan
lingkungan hidup. Dengan terwujudnya pengarusutamaan prinsip tata
pemerintahan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup
dipusat dan daerah ( Zoer`aini,2009;25)
Dalam upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup atau untuk
mendapatkan mutu lingkungan yang baik, dilakukan upaya memperbesar
manfaat lingkungan dan memperkecil resiko lingkungan, agar pengaruh yang
merugikan dapat dijauhkan sehingga kawasan lingkungan hidup dapat
terpelihara.
Sujatmoko (1983) mengatakan bahwa Indonesia menghadapi 2 macam
masalah mengenai lingkungan hidup, yaitu pertama kemelaratan dan
kepadatan penduduk. Masalah yang kedua adalah pengrusakan dan
pengotoran lingkungan hidup yang diakibatkan oleh proses pembangunan.
Pembangunan erat kaitanya dengan lingkungan hidup, dimana pembangunan
itu membutuhkan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Menurut
Hardjasumantri

(2002)

bahwa

pembangunan

dapar

berjalan,

tanpa

menganggu lingkungan hidup. Untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup


tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, dibutuhkan swadaya
masyarakat banyak untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sistem
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Selain dengan proses pembangunan, manusia dapat bertindak sebagai
subjek pembangunan yaitu sebagai pengelola, pencemar maupun perusak
lingkungan, tetapi juga manusia dapat juga sebagai objek pembangunan yaitu
menjadi korban pencemaran aiar, udara dan lain-lain. Pencemaran lingkungan
7

hidup tidak hanya dalam bentuk pencemaran fisik, tetapi juga dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan sosial.
Oleh karenanya setiap pengelolaan terhadap lingkungan hidup harus
pula dilakukan secara sadar dan terencana. Hubungan keserasian antara arah
pembangunan kelestarian lingkungan hidup perlu diusahakan dengan
memperhatikan kebutuhan manusia, seperti lapangan kerja, pangan, sandang,
dan pemukiman, kesehatan dan pendidikan (Emil Salim;1991).
Pengelolaan lingkungan seperti halnya dengan usaha-usaha atau
kegiatan lain tentu memerlukan dana untuk membiayai kegiatan tersebut.
Dalam kehidupan ini tidak ada sesuatu yang sifatnya bebas tanpa biaya atau
pengorbanan demikian pula dengan pengelolaan lingkungan. Untuk
mengelola lingkungan dengan baik diperlukan sumber daya yang tidak hanya
sumber daya manusia tetapi juga sarana dan pra sarana yang berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan tersebut. Misalnya untuk mengelola sumber daya air,
tidak hanya diperlukan tenaga manusia untuk pemeliharaan, tetapi juga
diperlukan alat pengolah limbah atau alat pencegah terjadinya pembuangan
limbah padat maupun cair kedalam badan air. Semuanya itu memerlukan
biaya.

Dari

mana

mengalokasikannya

sumber
sehingga

dana
tetap

yang

diperlukan

dijamin

adanya

dan

bagaimana

keadilan

dan

kesinambungan.
Lingkungan merupakan barang public sehingga kurang menarik bagi
para individu untuk secara langsung bertanggungjawab dalam pengelolaan
lingkungan. Hal ini karena tidak semua hasil usahanya akan dinikmati sendiri
berhubung dengan adanya sifat eksternalitas yang terkandung di dalamnya.
Oleh karena itu pemerintah yang harus bertanggung jawab mengelola
lingkungan secara keseluruhan dan mengatur sedemikian rupa dengan
berbagai mekanisme sehingga para individu yang semula kurang berminat
mengelola lingkungan akan mau mengelolangya dengan baik. Memang untuk

itu akan diperlukan suatu alat pengelolaan yang disebut sebagai perintah dan
pengawasan serta sistem insentif ekonomi.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1.

SUMBER-SUMBER PENDANAAN

3.1.1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara


Seperti telah disinggung didepan sebenarnya Pemerintah Pusat sejak
PELITA IV (1983/84 1988/89) telah melaksanakan kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui empat program pokok,
yauitu :

Inventarisasi dan evaluasi sumberdaya alam dan lingkungan,

Penyelamatan hutan, tanah dan air,

Pembinaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup,

Pengembangan meteorologi dan geofisika.

Selama ini pungutan retrebusi lebih dimaksudkan sebagai sumber


penerimaan daerah dan belum berfungsi sepenuhnya sebagai pendorong
untuk pemeliharaan lingkungan yang bersih dan sehat. Sangat penting
diketahui masyarakat bahwa pungutan retrebusi dan pajak yang dikaitkan
dengan objek lingkungan diarahkan untuk menyadarkan mereka tentang
10

pemeliharaan lingkungan yang bersih. Dengan demikian diharapkan agar


pungutan itu bersifat disinsetif dalam mencemari lingkungan.
Beberapa kebijakan dapat berpengaruh langsung pada pihak yang
bersangkutan seperti kebijakan iuran dan retrebusi untuk sampah dan air; dan
yang berpengaruh tidak langsung seperti pajak untuk masukan (input)
maupun luaran (output) yang mencemari lingkungan dan dirasakan oleh
masyarakat banyak. Selanjutnya penentuan harga sumberdaya alam atas dasar
rente ekonomi (economic rents) atau biaya penggantian (replacement costs)
akan mendorong orang atau perusahaan yang mengguanakannya melakukan
penghematan dalam penggunaannya.
Dari uraian diatas diketahui bahwa APBN telah mengalokasikan dana
untuk pengelolaan lingkungan tidak hanya lewat anggaran pada Kementrian
Lingkungan Hidup, tetapi lewat anggaran sector-sektor kementrian lain
terutama yang berkaitan tentang pengelolaan lingkungan hidup. Jeffrey R.
Vincent dkk (2002) menganalisis APBN Indonesia 1994-1998/99 dan
menemukan bahwa :

Sebagian besar pengeluaran pemerintah untuk pengelolaan lingkungan


ditemukan anggaran diluar sector lingkungan.

Pengeluaran pemerintah untuk pengelolaan lingkungan merupakan


bagian yang sangat kecil dalam APBN maupun jika disbanding
dengan Poduk Domestik Bruto;

Dibanding dengan di Malaysia, Thailand, dan Korea, pengeluaran


pemerintah Indonesia untuk pengelolaan lingkungan telah merosot
tajam selama masa krisis ekonomi 1998-2000.

Studi tersebut juka menggolongkan pengeluaran pemerintah kedalam tiga


kategori :

11

Pengeluaran khusus untuk lingkungan. Pengeluaran ini merupakan


alokasi anggaran yang tujuan pokoknya adalah untuk memberikan
jasa lingkungan yang baik kepada masyarakat.

Pengeluaran lingkungan yang dapat mengurangi dampak negatif


eksternalitas. Dampak negatif pada lingkungan timbul sebagai akibat
kegiatan disektor lain; misalnya pada pembangunan pembangunan
pembangkit listrik, emisi yang diciptakan tidak boleh melebihi baku
mutu lingkungan lokal, dan pemerintah memberikan subsidi bebas bea
masuk alat cerobong asap yang diimpor perusahaan.

Pengeluaran pemerintah untuk memelihara lingkungan yang sifatnya


incidental, seperti dalam proyek manajemen lalu lintas untuk
mengurangi kemacetan dan sebagainya.

Berbagai instrument kebijakan untuk pendanaan lingkungan dapat dibedakan


menjadi 4 maacam yaitu: kebijakan pemberian insentif dan subsidi, kebijakan
disentif, pajak dan retribusi, serta kebijakan penentuan harga sumberdaya
alam.
Khusus dikaitkan dengan tujuan pengelolaan lingkungan kebijakan tersebut
bertujuan untuk :
a. Mendorong penggunaan atau pengambilan sumberdaya alam agar lebih
efisien dan tidak terjadi pemborosan,
b. Menerapkan konsep pencemar yang membayar (polluter pays principle),
sehingga eksternalitas negative akibat tindakan seseorang atau perusahaan
terhadap kelompok masyarakat lain dapat dibatasi,
c. Mengambil kembali sebagian atau seluruh biaayaa yang telah dikeluarkan
oleh pemerintah dari masyarakat yang mendapatkan manfaaat dari
pengelolaan lingkungan oleh pemerintah.

12

3.1.2. Pajak dan Retribusi


Pajak dan retribusi merupakan instrument ekonomi yang bersifat
menimbulkan kurang minat

atau disisentif baik

untuk menabung,

menginvestasi, maupun untuk bekerja dalam kaitannya dengan pengelolaan


lingkungan hidup. Oleh karena itu pajak dan retribusi dalam hal pengelolaan
lingkungan lebih diarahkan kepada pengendalian pencemaran, yaitu agar para
individu

atau

pengusaha

mengurahi

pencemar

(pollutant)

yang

ditimbulkannya dan dibuangnya ke lingkungan alami. Sebagai misal


pembuangan limbah cair oleh pabrik, rumah sakit ataupun hotel dan restoran
harus dikurangi agar tidak melebihi ambang batas baku mutu lingkungan
yang telah ditentukan oleh pemerintah setempat. Demikian pula emesi udara
oleh pabrik-pabrik pengelohan juga tidak boleh melebihi ambang batas emisi
udara yang telah diteentukan pemerintah. Untuk mendorong masyarakat atau
pengusaha agar mau berperilaku demikian, maka disamping peraturan yang
berupa perintah dan pengawasan, dapat digunakan instrument pajak dan
retribusi, karena seringkali orang lebih bersedia untuk mendapat hukuman
fisik daripada menerima denda atau pungutan yang harus dibayarnya.
Yang dimaksud dengan pajak adalah iuran yang harus dibayar oleh
wajib pajak kepada pemerintah tanpa balas jasa yang langsung dapat ditunjuk,
sebagai contoh umum adalah pajak kendaraan bermotor dan pajak
lingkungan, tetapi pajak lingkungan ini belum ada di Indonesia. Sedangkan
yang dimaksud dengan retribusi adalah iuran yang dibayar oleh pemakai jasa
yang diberikan oleh pemerintah dan balas jasa tersebut dapat langsung
ditunjuk, seperti pembayaran iuran sampah, iuran air minum dan sebagainya.
Memang tidak semua pungutan pajak atau retribusi akan memberikan
disisentif dalam mencemari lingkungan. Hal ini sangat tergantung pada
elastisitas permintaaan terhadap barang dan jasa yang dihasilkaan oleh
perusahaan yang bersangkutan. Pencemar atau pollutant sesungguhnya
merupakan produk sampingan dari produk utama yang dihasilkan oleh

13

perusahaan. Dalam suatu kegiatan produksi selalu terjadi di samping


dihasilkan suatu produk, dihasilkan pula suatu pencemar (BOD, COD,
maupun limbah padat). Dan umumnya produksi limbah ini bersifat
proporsional terhadap produksi utamanya. Oleh karena itu pembahasan akan
diberikan pada bagaimana pengaruh pajak atau retribusi terhadap tingkat
produksi dan kemudian diturunkan pada pengaruhnya terhadap limbah yang
dihasilkan. Untuk menjelaskan hal tersebut di atas akan digunakan persamaan
fungsi permintaan dan penawaran hipotesis. Missalnya diketahui fungsi
permintaan akan tesktil Ptd = 50- Qt dan fungsi penawaran tesktil Pts = -40
+2Qt . kemudian pemerintah mengenakan pajak lingkungan sebesar Rp. 100,permeter yang dihasilkan. Qd dan Qs dinyatakan dalam ribuan (000) rupiah.
Dengan persamaan tersebut pemerintah dapat mempengaruhi produksi tekstil
(Qt) dan dengan sendirinya akan mempengaruhi produksi limbah yang
dihasilkannya. Marilah kita lihat bagaimana dampak dari pengenakan pajak
tersebut.
Pertama kali kita cari jumlah produksi dan harga keseimbangan tekstil dengan
menyamakan permintaan dan penawarannya :
Ptd = pts
50 - Qt = -40+2Qt
3Qt = 90
Qt = 30
Jadi jumlah tesktil yang dijual-belikan atau yang dihasilkan ada
30.000 m dan harga tesktil yang terjadi di pasar setinggi Rp. 20.000 per meter
yang dihitung dari fungsi permintaan tesktil, yaitu Ptd = 50 3Qt atau 50 30
= 20. Kemudian pemerrintah mengenakan pajak atau pungutan pencemaran
setinggi Rp. 300 per meter kain yang dihasilkan. Pungutan ini akan
menggeser kurva penawaran tesktil keatas atau ke kiri karenaa dampak

14

pengenaaan pungutan pajak adalah berupa pengurangan produksi. Produsen


ingin agar harga tesktil yang dijual meningkat sebesar pajak yang dikenakan
pada tingkat output atau produksi yang sama. Dalam bentuk persamaan akan
terlihat sebagai berikut :
Qd = Qs
50 Qt = -40 + 2Qt + 0,3
3Qt = 89,7
Qt = 29,9
Dengan bantuan gambar 9.1 tampak dengan pengenaan pajaak, jumlah
produksi tesktil akan turun menjadi 29.900 meter dan harga jual tesktil
menjadi lebih tinggi yaitu Rp 20.100, hasil dari perhitungan Pt = 50 Qt atau
Pt = 50 29,9 = 20,1 atau Rp 20.100. jadi dengan adanya pajak sebesar Rp.
300 per meter tesktil, harga tesktil meningkat dengan Rp 100 dari Rp 20.000
permeter menjadi Rp 20.100 permeter. Dengan kata lain ada penggeseran
beban pajak sebesar Rp. 100 per meter kepada konsumen dan produsen atau
penjual tetap menanggung beban pajak sebesar Rp 200 /meter.

Gambar 3.1

15

Penurunan Produksi akibat Pungutan Pajak


Jumlah penerimaan pajak pemerintah dapat diketahui dengan
mengalihkan jumlah produksi yang baru dengan tarif pajak per meter tesktil,
yaitu 29.900 X Rp300 = Rp 8.970.000, . dana yang terkumpul sebanyak ini
seharusnya digunakan untuk mendanai pengelolaan lingkungan yang
berkaitan dengan pencemaran yang ditimbulkaan oleh perusahaan tesktil.
Sayang sekali dana pratiknya dana yang terkumpul dari pajak dipusatkan
sebagai penerimaan negara dan digunakan atau dialokasikan tidak sesuai
dengan sumber penerimaanya. Kecuali jika pajak tersebut diarahkan
penggunaanya secara pasti (earmarking tax)
Banyak

contoh

penyimpangan

dalam

penggunan

dana

yang

berkaaitaan dengan lingkungan. Misalnya pungutan reboisasi dalam


penebangan hutan oleh pemegang HPH ( hak pengusahaan hutan ) yang
semestinya digunakan untuk mengadakan reboisasi hutan oleh pemerintah
(departemen kehutanan) telah digunakan untuk membeli pesawat terbang oleh
menteri riset dan teknologi habibie. Ini adalah suatu penyimpangan.
Dalam kenyataanya limbah atau pencemar yang dihasilkan oleh setiap
perusahaan akan berbeda-beda karena teknologi yang digunakan berbedabeda dan juga tahun pembuatan mesin ( umur mesin) berbeda-beda pula.
Karena itu sebenarnya tidaklah tepat atau kurang adil bila pengenaan
pungutan pajak hanya didasarkan pada volume dihasilkan. Maka dari itu
berkembanglah metode untuk memprakirakaan volume limbah yang
dihasilkan oleh suatu perusahaan kemudian memperkirakan beberapa nilai
kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan oleh limbah atau pencemar
tersebut. Hal ini sejalan dengan prinsip pencemar yang membayar. (poluter
pays principle ).

3.1.3. Pungutan dan Denda terhadap pencemar (pollutant)


16

Dalam ilmu keuangan negara pungutan dan denda yang dikenakan


kepada pencemar lingkungan dsebut sebagai Pigouvian Texes. Pungutan
dan denda semacam ini dimaksudkan untuk menurunkan tingkat pencemaran
yang dihasilkan oleh perusahaan atau individu dengan cara menginternalkan
biaya lingkungan yang semula ditanggung masyarakat. Biaya lingkungan
yang disebut juga dengan biaya eksternal itu sering berupa menurunnya
kualitas

lingkungan,

timbulnya

penyakit

dan

penurunan

penurunan

produktivitas semua jenis sumberdaya baik itu sumberdaya alam maupun


sumberdaya manusia. Dalam Undang-undang Republik Indonesia No.23
Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup secara implicit dalam
pasal 34 dan 35, diterapkan prinsip pencemar yang membayar (polluter pays
principleI).

Undang-

undang

No.23

Tahun

1997

ini

merupakan

penyempurnaan Undang-undang No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang kemudian diperbaiki
lagi dengan Undang-undang No.32 Tahun 2009 dan tetap mempertahankan
prinsip pencemar yang membayar.
Secara teoritis pengenaan pajak atau pungutan atas pencemaran dapat
ditentukan atas dasar bebab pencemaran, volume BOD, volume COD,
maupun indikator pencemar lainya. Pungutan limbah masih relative baru dan
belum banyak diterapkan, kecuali pada beberapa lingkungan industri
(industrial estate) seperti di Rungkut Surabaya. Dengan adanya sistem
desentralisasi pemerintahan dan di fungsikannya Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan (BAPEDALDA) atau Badan Pengelola Lingkungan
Hidup Daerah (BPLHD) di tingkat Kabupaten dan Kotamadya serta Provinsi,
maka jenis pungutan limbah seperti ini dapat diterapkan dan dikembangkan
sebagai sumber pendapatan daerah dan sekaligus dapat mengendalikan
pencemaran lingkungan. Pemerintah Daerah dapat mulai menerapkannya
untuk limbah padat dan limbah cair buangan industri.

17

3.1.4. Asuransi Kerugian Lingkungan (Dana Reklamasi)


Asuransi dalam kaitannya dengan perlindungan lingkungan telah
banyak diterapkan di negara- negara maju. Demikian pula dengan industryindustry besar seperti industry perminyakan, pertambangan batubara dan lainlainnya asuransi lingkungan telah diterapkan. Pada dasarnya perusahaan yang
terlibat dalam kegiatan penggalian sumberdaya alam termasuk minyak bumi
diwajibkan membeli polis asuransi untuk menjaga kemungkinan rusaknya
lingkungan. Dalam hal ini nampaknya belum ada lembaga asuransi di dalam
negri yang berani berkecimpung dalam asuransi lingkungan ini. Hal ini
kemungkinan karna masih sulitnya mengukur besarnya dampak kerusakan
lingkungan dan menilainya kkdalam rupiah atau dollar.

3.1.5. Uang Tanggungan (Deposit)


Dalam cara ini pengelola lingkungan di daerah (BAPEDALDA) dapat
meminta uang jaminan (deposit) dari para pemrakarsa atau para pengusaha
yang akan beroprasi atau melakukan kegiatan yang berpotensi merusak atau
mencemari lingkungan. Apabila kegiatan usahanya berhenti dan ternyata
kondisi lingkungan masih bagus atau bahkan bertambah baik, maka uang
jaminan itu dapat dikembalikan kepada pengusaha atau yang bersangkutan.
Dalam cakupan yang lebih kecil, rumah tangga yang membeli barang
konsumsi dapat membayar uang jaminan untuk botol, kaleng, kotak aki dan
sebagainya; yang dapat dikembalikan kepada pabrik atau agen dan
mendapatkan kembali uang jaminannya.
Dengan cara ini limbah padat tersebut tidak dibuang sembarangan dan
tidak akan mencemari lingkungan. Untuk tingkatan pabrik atau industri
pengolahan uang jaminan ini dapat digunakan sebagai alat control agar
pemrakarsa

atau

penguasa

berusaha

untuk

melaksanakan

Rencana

Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)


18

dengan baik dan mendorong mereka untuk sudi membangun Unit Pengolah
Limbah Cair (water treatment plant) untuk industry pengolahan maupun
untuk para pengembang perumahan seperti pada perumnas Cengkareng,
Jakarta.
Perlu ditegaskan disini bahwa uang jaminan ini harus cukup besar
untuk memaksa para pemrakarsa kegiatan untuk sudi melakukan reklamasi
lingkungan sesuai dengan janjinya. Dengan kata lain uang jaminan reklamasi
ini harus besar jumlahnya, paling tidak 200% dari nilai dana reklamasi yang
benar-benar dibutuhkan.
3.2.

DANA INTERNASIONAL
Secara Internasional ada dana yang tersedia untuk mempertahankan
kualitas lingkungan secara global. Negara-negara maju telah menyadari
bahwa tidak mengenal batas negara, sehingga memburuknya keadaan
lingkungan di suatu daerah atau suatu negara akan memiliki dampak yang
negatif pula bagi negara-negara lain. Contoh yang jelas adalah dengan
semakin lebarnya lubang dilapisan ozon serta semakin luasnya hutan yang
ditebang apalagi yang terbakar, maka potensi untuk semakin tingginya
temperatur bumi karna pemanasan global akan emisi gas rumah kaca semakin
tinggi pula. Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatra sejak
tahun 1993, 1997 dan 1998 telah mengakibatkan negara tetangga seperti
Singapura, Malaysia dan Thailand turut menderita karena asap tebal yang
menutupi kota Singapura dan Kuala Lumpur.
Dengan adanya kebakaran hutan jelas semua keanekaragaman hayati
(tumbuhan dan hewan) yang ada di daerah hurtan yang terbakar tersebut mati
dan hampir tak mungkin muncul lagi. Disamping dampak-dampak yang
dialami bila terjadi penebangan hutan maupun kerusakan hutan (bukan karna
terbakar), nilai kerugian sebagai akibat kebakaran hutan dapat pula
diperkirakan.

19

Glover dan Jessup telah memperkirakan nilai kerugian per hektar bila
terjadi kebakaran hutan atas dasar kebakaran hutan di Kalimantan pada tahun
1997 seperti nampak pada Tabel 3.1 yang menunjukan bahwa kebakaran
hutan disamping menimbulkan kerusakan langsung juga menimbulkan asap
yang memiliki dampak yang lebih jauh lagi seperti dampaknya pada
kesehatan, kegiatan pariwisata, penerbangan, sampai penutupan bandara,
termasuk sekolah dan perkantoran. Dalam perkiraan tersebut kebakaran hutan
akan menimbulkan kerugian yang diperkirakan mencapai $14.393,16/Ha.

Tabel 3.1
Nilai Dampak Kerugian Akibat Kebakaran Hutan

Kerugian Ekonomi
No
I

Dampak

(US $/Ha/Tahun)

Dampak Total Asap

3.833,03

Dampak Kesehatan

3.500,11

Biaya Medis

Produktivitas

Dampak Tidak Langsung

Dampak Pariwisata

1.116,32
633,73
1.750,05
266,47

20

II

Dampak Penerbangan

28,56

Dampak Penutupan Bandara

37,88

Dampak Kebakaran

10.560,13

Kerugian Kayu

1.870,02

Kerugian pertanian atau perkebunan

1.781,83

Kerugian produksi langsung ekosistem

2.670,42

hutan

Kerugian produksi tidak langsung

4.080,01

ekosistem hutan

Kerugian keanekaragaman hayati

Biaya pemadaman kebakaran


Total

113,64
44,21
14.393,16

Sumber : David Glover and Timothy Jessup, Mahalnya Harga Sebuah


Bencana: Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di
Indonesia, Penerbit ITB, Bandung, 2002.

3.2.1. Dana dari lembaga formal


Beberapa negara maju telah menyisihkan sebagian dari anggaran
belanjanya untuk membentuk dana lingkungan global yang disebut dengan
Global Environmental Facilities (GEF) yang berkedudukan di Geneva.
Dengan dana tersebut lembaga Internasioanal seperti United Nations
Environmental Programme (UNEP) telah banyak dibiayai untuk melakukan

21

kegiatan-kegiatan dalam memelihara serta memperbaiki lingkungan hidup di


dunia. Di samping itu banyak negara maju yang bersedia membantu negaranegara yang sedang berkembang untuk memperbaiki kondisi lingkungannya,
seperti Canada, Inggris, Amerika Serikat, Norwegia, Prancis, Jerman, Jepang
dan Australia telah lama memberikan bantuan perbaikan dan pengelolaan
lingkungan dalam bentuk bantuan tenaga ahli (technical assistance) maupun
kerja sama dalam pelaksanaan dan pembiayaan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia juga telah memberikan
bantuan dalam bentuk pinjaman yang tidak sedikit dalam rangka perbaikan
dan pengelolaan lingkungan di Indonesia. Sebagai contoh ada semacam dana
lingkungan (environmental fund) yang dikembangkan atas persetujuan antara
Indonesia,

Malaysia,

Singapura

dan Jepangyang

diperuntukan

bagi

lingkungan kelautan di Selat Malaka, dimana setiap kapal tanker minyak yang
melewati selat Malaka harus dijamin dengan asuransi yang menanggung
kerusakan lingkungan akibat tumpahan minyak serta biaya pembersihannya.
Jepang khususnya sejak 1981 telah membentuk apa yang disebut dengan
revolving fund untuk kompensasi tersebut.

3.2.2. Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB)


Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism
(CDM) merupakan mekanisme dalam protocol Kyoto guna mencapai target
penurunan emisi. Tujuan dari MPB atau CDM adalah :

Membantu negara Annex I (negara maju) untuk mencapai komitmen


pengurangan gas rumah kaca sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990.

Membantu negara Non-Annex I untuk mencapai yujuan pembangunan


secara berkelanjutan di masing-masing negara.
22

Mekanisme pendanaan MPB dilakukan dengan 3 cara, yaitu :

Secara bilateral, artinya pendanaan antar pemerintah atau antar swasta


dengan persetujuan pemerintah, atau antara pemerintah dan swasta.

Secara multilateral, yaitu dana dari negara atau pihak swasta di negara
maju disalurkan ke negara-negara berkembang melalui lembaga
tertentu yang bertindak sebagai fasilitator penyalur bantuan.

Secara unilateral, yaitu negara berkembang menyelenggarakan sendiri


proyek

PMB,

kemudian

menawarkan

hasilnya

ke

investor

(negara/swasta) dinegara maju yang berminat untuk mendanai proyek


tersebut.
Jadi dengan meratifikasi Protokol Kyoto itu, Indonesia akan dapat
melaksanakan PMB dengan memperoleh manfaat antara lain :

Ada tambahan dana investasi dari negara maju untuk pembangunan


yang bersifat konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Ada pewningkatan kualitas lingkungan sebagai hasil dari upaya


penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Peningkatan kualitas
lingkungan ini di capai melalui kegiatan reboisasi, rehabilitasi lahan
kritis, maupun kegiatan pendukung lainnya.

Ada penyerapan tenaga kerja akibat investasi penyelamatan lingkungan


sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat.

Ada peningkatan kesadaran dan komitmen masyarakat terhadap upaya


pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.

Ada peningkatan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim.

23

Selanjutnya penerapan prinsip PMB atau CDM dalam rangka pembangunan


berkelanjutan dilakukan melalui:

Meminimumkan dampak negatif dari setiap aktivitas terhadap daya


dukung lingkungan.

Mengutamakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan atau


yang rendah emisi CO2.

Melibatkan semua pihak yang terkait (pemerintah, LSM, dan kelompok


masyarakat).

Meningkatkan

pemberdayaan

masyarakat

melalui

partisipasi

masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan pembangunan,


mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.

Disamping itu terdapat mekanisme lain dalam upaya memperbaiki


kualitas lingkungan yaitu melalui perdagangan karbon (CO2) atau emission
trading. Dengan perdagangan karbon sebenarnya semua hutan di Indonesia
dimungkinkan untuk menyelenggarakan usaha perdagangan karbon, dalam
arti mempertahankan keberadaan hutan aka ada jasa perosotan karbon (CO2
absorption) atau penyimpanan karbon oleh hutan akibat dari hutan yang
terpelihara dengan baik termasuk usaha merehabilitasi hutan. Usaha
perdagangan karbon dapat dilakukan di semua jenis hutan apakah itu hutan
negara artaupun hutan hak yang ada di areal pengguanaan lain (APL).
Perdagangan karbon ini dapat dilakukan antara pemerintah dengan
pihak industri pengemisi karbon dalam bentuk investasi pada proyek
peningkatan kapasitas perosotan karbon dan atau penyimpanan karbon,
pencegahan emisi karbon maupun pembayaran kompensasi atas berkurangnya

24

manfaat lain dari hutan akibat usaha pengurangan emisi karbon karna tidak
mengurangi atau memanen hutan untuk diambil kayunya.

3.3.

REFORMASI PERPAJAKAN
Berbagai uraian mengenai sumber pendanaan bagi pengelolaan
lingkungan ini perlu di dukung dengan kebijakan perpajakan yang jelas. Pada
dasarnya berbagai sumber pendanaan tersebut harus ditentukan terlebih
dahulu dalam kaitannya dengan beberapa persyaratan tersebut:

Tujuan harus jelas.

Pelaksanaan dan administrasinya sederhana.

Sejalan dengan kerangka administrasi keuangan dan peraturan


perpajakan yang ada.

Dapat dipahami dan diterima oleh kelompok sasaran.

Pelaksanaan luwes, dan.

Sesuai dengan konsep pengelolaan lingkungan atas dasar


undang-undang dan peraturan lingkungan yang berlaku.

Dalam pelaksanaannya, asas keadilan dalam pengenakan pajak dan


retrebusi serta dampaknya harus diberikan perhatian sebaik mungkin.
Kewenangan pemerintah Daerah di Indonesia dalam perpajakan dan
pengelolaan keuangan harus ditingkatkan, karna masalah lingkungan ini lebih
banyak yang bersifat lokal di samping ada yang sifatnya nasional maupun
global. Kewenangan yang semakin tinggi diharapkan akan semakin
25

meningkatkan kreativitas dalam penggalian sumber-sumber keuangan daerah


dan memanfaatkannya untuk pengelolaan lingkungan.
Sayangnya dengan adanya sistem Otonomi Daerah yang mulai
dilaksanaan pada tahun 2001 telah mendorong terkurasnya sumberdaya alam
dan rusaknya lingkungan hampir disemua daerah di Indonesia, khususnya di
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Pengalaman di beberapa negara lain di dunia dalam mendanai
pengelolaan lingkungan disajikan dibawah ini. Dalam khasus ini pengalaman
hanya

diterapkan

dalam

bidang

pendanaan

untuk

konservasi

dan

pemeliharaan sumberdaya keanekaragaman hayati. Sumber-sumber dana


tersebut adalah: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, pungutan bea masuk, pengambilan
keuntungan perusahaan, keuntungan penanaman modal, keuntungan badan
usaha negara, pungutan biaya pemakaian air, pajak pemeliharaan lingkungan,
pembangunan dalam persetujuan konsensi ekstraktif, laba yang dating dari
konsensi tidak ekstraktif, bantuan sukarela dari sektor swasta, dukungan
langsung dari badan bantuan pembangunan, dukungan langsung organisasi
konservasi internasional, donasi perusahaan multinasional, pengembangan
kawasan lindung.

3.3.1. Dana

Penanggulangan

Pencemaran/Kerusakan

dan

Pemulihan

Lingkungan
Dana yang dikembangkan dan digunakan oleh pemerintah atau
pemerintah Daerah sebagai sarana untuk menanggulangi kerusakan atau
pencemaran lingkungan secara seketika dan untuk pemulihan kualitas
lingkungan. Dana ini berasal dari pungutan pajak atas pemanfaatan

26

sumberdaya alam dan lingkungan (pajak lingkungan) dan pungutan lainnya


yang dapat digunakan untuk perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan.
Contoh :

Dana penyusutan atau deplesi untuk litbang, misalnya teknologi SDA


tak terbarukan, terbarukan.

Dana pencemaran atau degradasi lingkungan.

Dana ganti kerugian lingkungan.

Dana retrebusi atau iuran lingkungan sesuai lingkungan sesuai tujuan


retrebusi/iuran.

3.3.2. Dana Jaminan Pemulihan LH atau Jaminan Kinerja Lingkungan


(performance bond)
Dana Jaminan Pemuliahn Lingkungan Hidup merupakan instrument
dimana suatu perusahaan menitipkan sejumlah uang sebagai jaminan untuk
melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan. Pemrakarsa kegiatan wajib
menitipkan dana jaminan kinerja lingkungan (performance bond) kepada
pemerintah ataupun pemerintah Daerah untuk memulihkan kualitas
lingkungan yang rusak sebagai akibat dari usaha dan/atau kegiatannya. Dana
jaminan ini akan disita oleh pemerintah/pemerintah Daerah untuk digunakan
bagi pemulihan kualitas lingkungan. Sebaliknya dana jaminan ini akan
dikembalikan apabila ternyata kegiatan usaha tidak menurunkan kualitas
fungsi lingkungan. Contoh: UU 41/1999 tentang Kehutanan mengatur tentang
Dana reboisasi dan UU 4/19: Pertambangan mengatur tentang Dana
Reklamasi Tambang.

27

3.3.3. Dana Amanah (Trust Fund)


Dana amanah merupakan dana yang berasal dari berbagai sumber
(donasi, hibah, dll) yang dihimpun dan dikelola untuk digunakan bagi
kepentingan konservasi lingkungan. Contoh: Dana Amanah Kehati.

3.3.4. Program Pinjaman Lunak Lingkungan


Kementrian Negara Lingkungan Hidup mengelola dana untuk
memberikan pinjaman pada perusahaan yang mengusahakan perlindungan
dan pemeliharaan lingkungan yang merupakan bagian dari kegiatan usahanya.
Dana-dana yang disediakan untuk permodalan usaha yang dapat memperbaiki
kualitas lingkungan atau melindungi fungsi lingkungan antara lain adalah:

Pollution Abatement Equipment- Japan Bank International (PAEJBC).

Industrial Efficiency dan Pollution Control- Kreditanstalt fur


Wiederaufbau (IEPC-KfW) Tahap I.

Industrial Efficiency dan Pollution Control- Kreditanstalt fur


Wiederaufbau (IEPC-KfW) Tahap II.

3.4.

Pendanaan investasi Lingkungan bagi Usaha Menengah dan Kecil.

SISTEM PENDANAAN LINGKUNGAN

28

Pendanaan lingkungan perlu memiliki kelembagaan yang jelas serta


memadai. Tentunya semua orang akan membutuhkan dan simpati terhadap
lingkungan yang baik dan nyaman dan bersedia untuk memberikan kontribusi
atas kenyamanan yang dinikmatinya. Berbagai sistem pendanaan diantaranya
dibahas pada kegiatan berikut.

3.4.1. Anggaran Pemerintah Pusat dan Daerah


Banyak sumber dan sistem pendanaan untuk pengelolaan lingkungan
hidup diantaranya dari APBN melalui sistem perpajakan dan pungutan
lingkungan, juga dari sistem deposit refund, sistem pendanaan perijinan
mencemari (tradable permit untuk emisi CO2), SWAP, CDM dan sebagainya.
Sumber dana untuk pengelolaan lingkungfan hidup pada umumnya
berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, walaupun sesungguhnya dana
tersebut bersal dari swasta perorangan maupun Badan Usaha Milik Swasta
(BUMS) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) yang dikumpulkan pemerintah lewat perpajakan, retrebusi
dan berfbagai bentuk pungutan lainnya.
Setelah dipahami dan diterima pendapat bahwa lingkungan hidup harus
dipelihara sebaik mungkin dan utuk memeliharanya diperlukan pendanaan,
serta pendanaan itu semestinya mampu untuk mengganti nilai penyusutan aset
sumberdaya alam dan aset lingkungan, maka Pemerintah harus mencari jalan
bagaimana dana yang dibutuhkan itu dapat tersedia. Mengapa Pemerintah ?
Sebab seperti telah dibahas sebelumnya pemerintah adalah lembaga
yang bertindak sebagai bapak masyarakat dan bertanggung jawab untuk
mensejahtrakan warga masyarakatnya. Masalah lingkungan tidak dapat
diserahkan seluruhnya kepada masyarakat swasta atau kepada masing

29

masing individu, karna pada dasarnya motif individu dan swasta adalah
mencari keuntungan sebanyak-banyaknya bagi masing-masing individu atau
kelompoknya. Oleh sebab itu kalau pemerintah tidak campur tangan dalam
pengelolaan lingkungan, maka kondisi lingkungan pasti akan terbengkalai
karna lingkungan memiliki sifat sebagai barang publik.

3.4.2. Pungutan Sumberdaya Alam dan Lingkungan


Pemerintah Indonesia belum memiliki pajak lingkungan sebagai
earmarking tax yaitu pajak yang langsung disalurkan kembali untuk
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkaitan dengan objek
pajak yang bersangkutan. Indonesia telah mengaplikasikan pungutan
(royalty) pada pengambilan sumberdaya alam seperti di sector kehutanan,
tetapi Indonesia belum dapat melakukan pungutan (royalty) atau pajak kepada
pihak-pihak yang menggunakan atau mengeksploitasi sumberdaya alam
dengan tarif setinggi total nilai rente ekonomi sumberdaya alam tersebut.
Oleh karna itu harus dipikirkan sebagaimana agar royalty tersebut mencakup
seluruh nilai rente ekonomi sumberdaya alam dan bahkan mencakup juga
nilai degradasi lingkungan yang diciptakannya. Misalnya untuk kayu hutan,
pengusaha pemegang HPH harus membayar PSDH sebesar niali tegakan
(standing value) sebagai unit rent dikalikan dengan jumlah kayu yang
ditebang dari hutan. Selanjutnya dengan ditebangnya pohon di hutan maka
modal lingkungan juga turut hilang dan nilainya harus diganti dengan apa
yang disebut dengan Dana Reboisasi (DR)
Yang menjadi persoalan adalah bahwa penentuan besarnya PSDH dan
DR sekarang ini masih jauh dibawah nilai deplesi dan nilai degradasi
lingkungan yang sementara ini baru dapat dihitung sebagian (Perhatikan
Tabel 2). Sebagai contoh, dalam table tersebut ditampilkan jumlah
pembayaran pungutan sumberdaya hutan yang dihitung oleh Dinas

30

Kehutanan Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Tampak bahwa


pungutan yang dibayarkan dalam bentuk retrebusi, PSDH dan DR jauh
dibawah nilai depresiasi sumberdaya hutan dan lingkungan hutan yaitu sekitar
pada 5,61% pada tahun 2002, 3,25% pada tahun 2003 dan 9,98% pada tahun
2004.

Dengan

sendirinya

jika

sector

kehutanan

harus

mendanai

pembangunannya dengan sumber penerimaan dari sektor kehutanan sendiri,


maka keberhasilannya akan diragukan sebab nilai susut sumberdaya hutan
dan jasa lingkungannya jauh lebih besar disbanding dengan total dana
pungutan kehutanan.

Tabel 3.2
Pembayaran Retrebusi, PSDH dan DR
Di Kabupaten Konawe Tahun 2002 2005

No.

Tahun

Retrebusi

PSDH

DR

Total

Depresiasi

(Rp. Juta)

(Rp. Juta)

(Rp. Juta)

Pungutan

Hutan

(Rp. Juta)

(Rp. Juta)

31

2002

t.a.d

663,01

930,28

1.593,29

28.470,00

2003

1.842,31

1.807,87

1.235,05

4.885,05

150.040,00

2004

1.501,78

1.938,41

2.542,32

5.982,51

60.440,00

2005

2.023,40

1.335,39

786,51

t.a.d

t.a.d

Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Konawe


Catatan : t.a.d = tidak ada data

Studi di Indonesia pada tahun 1990-an mencatat bahwa royalty yang


dapat di tarik Pemerintah Indonesia hanya sekitar 17-25% dari nilai potensial
royalty. Pengalaman di Malaysia mencatat hanya sekitar 15% dari nilai
potensial royalty yang dapat dipungut oleh pemerintah dfan bahkan ditahun
2003 Awang Noor dan Hj Othman menemukan hanya sekitar 10% dari nilai
royalty yang seharusnya dibayar kepada pemerintah Malaysia dari kegiatan
kehutanan di Malaysia benar-benar ditarik oleh pemerintah. Angka royalty di
Indonesia dan Malaysia jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan di British
Columbia yang rata-rata mencapai 71% dan sudah berlangsung selama 25
tahun sejak 1970.
Disamping itu masalah lain dalam sistem anggaran di Indonesia adalah
masih disatukannya seluruh hasil penerimaan negara dalam satu pundi; dan
kemudian baru membaginya dalam bentuk berbagai pengeluaran pemerintah.
Dengan cara ini maka anggaran yang diterima oleh masing-masing sektor
belum tentu sama dengan jumlah penerimaan negara dari sektor yang
bersangkutan. Cara ini memang bagus dalam mengusahakan adanya
pemerataan, tetapi dapat terjadi ada sektor yang harus dipelihara (seperti
sektor lingkungan hidup) sebagai sektor yang menunjang seluruh kehidupan
32

(manusia maupun makhluk hidup lainnya) terpaksa terkalahkan dengan diberi


anggaran yang tidak berarti.
Pemerintah

Indonesia

telah

merancang

Undang-undang

Pajak

Lingkungan, tetapi mendapat respon negative dari para pelaku usaha yang
akan menjadi subjek, karna dasar pengenaan pajaknya bukan berkaitan
dengan masalah lingkungan, melainkan besaran modal yang di investasikan
sebagai dasar pengenaan pajaknya. Seharusnya sepewrti yang diusulkan oleh
penggagasnya (Profesor Pigou), pajak lingkungan yang disebut sebagai
Pigouvian tax, dasar pajaknya adalah volume pencemaran atau kerusakan
lingkungan dan bukan modal usaha.
Seperti telah disinggung di atas, Pemerintah Indonesia belum pernah
mengenakan pajak/pungutan lingkungan, tapi sudah mengenakan royalty
yaitu pungutan yang dikenakan atas dasar volume sumberdaya alam yang
diambil/dipanen dari alam. Namun nilai pungutan tersebut masih relative
kecil dan ditentukan tidak atas dasar perhitungan rente ekonomi sumberdaya
alam yang bersangkutan, melainkan atas dasar coba-coba (trial & error).
Akibatnya nilai pungutan tersebut tidak sama dengan nilai rente ekonominya.
Namun demikian sulit untuk mengatakan bahwa sebagian rente ekonomi
tersebut masih menjadi bagian laba pengusaha, karna tidak perlu ditutupi
bahwa di Indonesia terdapat ekonomi biaya tinggi sebagai akibat dari masih
banyaknya pungutan yang bersifat terselubung dan tidak legal.

3.4.3. Penghapusan bea masuk


Salah satu metode pendanaan pengelolaan lingkungan adalah
pembebasan bea masuk peralatan lingkungan. Semestinya kalo tidak ada
pembebasan bea masuk atas peralatan lingkungan yang di impor dari luar
negri, maka akan ada dana yang diterima Pemerintah yang berasal dari bea
masuk.

Dengan

tidak

dipungutnya

bea

masuk

berarti

pemerintah
33

mengorbankan dana yang semestinya diterima yang berasal dari bea masuk
peralatan untuk pengelolaan lingkungan. Misalnya kalau ada sebuah pabrik
yang mengimpor peralatan instalasi pengelolaan air limbah (IPAL), dan
pemerintah tidak mengenakan bea masuknya, maka ini berarti pemerintah
telah turut menyumbang pendanaan pemasangan IPAL dalam pabrik yang
bersangkutan. Kalau tidak ada pembebasan bea masuk, perusahaan pemasang
IPAL harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk mendanai impor dan
pemasangan IPAL tersebut, sehingga dengan kata lain Pemerintah
memberikan subsidi dalam pengelolaan lingkungan hidup kepada perusahaan
yang

memasang

IPAL

dan

peralatan

lain

yang

berguana

untuk

mempertahankan dan memperbaiki kualitas lingkungan.


Kebijakan seperti tersebut diatas ditempuh pemerintah Indonesia atas
prakarsa Kementrian Lingkungan Hidup dan Departemen Keuangan c.q
Ditjen Bea Cukai untuk mengurangi atau membebaskan bea masuk atas
impor peralatan dan bahan yang digunakan oleh industry dalam negri. Insentif
seperti ini dapat dimanfaatkan oleh BUMS maupun BUMN yang melakukan
investasi untuk mengurangi beban pencemaran, pembelian alat ukur yang
dibutuhkan berkaitan dengan unit pengolah limbah, tetapi jenisw barang
tersebut belum dihasilkan di dalam negri, dan bukan merupakan barang
bekas. Pengurangan dan pembebasan bea masuk tersebut akan dikembangkan
dan mencakup peralatan pengendalian pencemaran udara, pengolahan limbah
B3, serta limbah domestik.

3.4.4. Memasukan nilai jasa lingkungan


Setelah kita memahami bahwa suatu ekosistem atau habitat selalu
memili

kapasistas

dalam menyangga

kehidupan

disamping

mampu

memberikan nilai guna langsung seperti menghasilkan kayu dan nonkayu


untuk sumberdaya hutan; kayu, ikan, udang dan kepiting untuk hutan

34

mangrove; kedua ekosistem itu juga memberikan kapasitas dalam


memberikan jasa tidak langsung yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan
semua makhluk seperti untuk kemampuan menjadi perosot korban (carbon
sink), menjadi pencegah banjir, penampung air dan piata lingkungan dan
konservasi air, mengurangi tanah longsor, mengurangi erosi dan sedimentasi
untuk ekosistem hutan; demikian pula untuk hutan mangrove, disamping
mampu menyediakan kayu untuk bahan bangunan dan untuk diolah menjadi
orang kayu, hutan mangrove memiliki nilai guna secara tidak langsung
sebagai tempat pemijahan ikan, tempat pengasuhan ikan, sebagai pelindung
pantai dari badai dan abrasi pantai, serta juga menjadi perosot karbon. Begitu
juga untuk ekosistem sawah, disamping sawah mampu menghasilkan padi
dan tanaman palawija, sawah juga memberikan jasa lingkungan seperti
penampung air hujan, mengurangi banjir, mengurangi tanah longsor, serta
memelihara kualitas udara; Nilai-nilai ekonomi untuk beberapa ekosistem
tertentu telah dihitung oleh beberapa peneliti, meskipun sifatnya masih
parsial, namun dapat digunakan sebagai landasan untuk merubah paradigm,
bahwa nilai sumberdaya alam dan ekosistem sesungguhnya harus
diperhitungkan dalam penentuan pungutan bila terjadi eksploitasi sumberdaya
alam dan kerusakan lingkungan.
Atas dasar paradigma baru dimana sumberdaya alam dan lingkungan
tidak hanya memiliki nilai guna langsung, tetapi memiliki nilai guna tidak
langsung, bahkan masih ada yang menambahkan lagi yaitu memiliki nilai
keberadaan dan nilai pilihan/warisan, maka sistem pungutan atau pajak
lingkungan harus memasukkan unsur nilai lingkungan yang hilang bila ada
kegiatan yang mengubah fungsi sumberdaya alam dan ekosistem tertentu
menjadi penggunaan lain yang menghilangkan kapasitas lingkungan untuk
menghasilkan jasa-jasanya.
Sebagai misal bila ada lahan sawah yang dikonversi menjadi non-sawah
(mall, tempat parker, real estate, kantor, pasar dan sebagainya), maka di
samping harga pasar sawah yang biasanya dihargai atas dasar kekuatan
35

permintaan dan penawaran, pemrakarsa kegiatan masih dikenai kewajiban


mengganti nilai jasa lingkungan yang hilang. Nilai pengganti jasa lingkungan
itu dibayarkan kepada pemerintah dalam bentuk royalti atau pungutan, dan
pemerintah akan menggunakan dana royalti atau pungutan tersebut untuk
mengelola lingkungan. Logika ini dapat diterapakan juga pada sumberdaya
mangrove dan sumberdaya hutan seperti telah dibahas di depan. Jadi kalau
ada hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak udang misalnya, maka
pengusaha tambak udang tidak hanya membayar harga lahan yang dikonversi
dengan harga pasar (atas kekuatan permintaan dan penawaran), tetapi
nantinya dikenai pajak/pungutan lingkungan yang dibayarkan kepada
pemerintah (pusat atau daerah) untuk memelihara kualitas lingkungan yang
mengalami degradasi dalam penyediaan jasa lingkungan.
Jadi dari berbagai pembahasan diatas dapat diketahui bahwa instrument
fiscal, seperti pengenaan pajak dan royalti serta subsidi dapat diterapkan oleh
Pemerintah demi menjamin keberlangsungan produksi, konsumsi, maupun
untuk meningkatkan pendapatan pemerintah (pusat maupun daerah) guna
memelihara kualitas lingkungan hidup. Jadi pajak dan pungutan dapat
berfungsi ganda; a) sebagai alat pengatur (regulatory function) dan b) sebagai
sumber pendapatan pemerintah (budgetary function). Instrument fiskal
sewcara umum dapat dirinci sebagai berikut:
a) Tarif PBB yang berbeda-beda (differential land use taxation)
Pajak Bumi dan Bangunan PBB digunakan untuk memberikan insentif
dengan menetapkan tarif pajak yang berbeda terhadap penggunaan
tanah/lahan yang berbeda sesuai dengan dampaknya terhadap lingkungan.
Tarif pajak harus lebih tinggi untuk lahan yang digunakan untuk tujuan
pembangunan mall, kawasan industry, perkantoran, sekolah, kantor
pemerintah, maupun untuk pengembangan prasarana jalan. Tarif pajak harus
lebih rendah jika lahan digunakan untuk kawasan lindung, hutan, atau

36

pertanian. Hal ini memberikan dorongan agar lahan digunakan lebih banyak
untuk kegiatan yang lebih bersahabat dengan lingkungan.
b) Meningkatkan pungutan (IHPH, PSDH dan DR)
Tahapan penebangan hutan (deforestasi) dikenakan pungutan IHPH,
PSDH, dan DR yang lebih tinggi sehingga akan mengurangi laju penebangan
hutan di Indonesia. Dana reboisasi dapat dikembalikan pada pengusaha
pemegang HPH bila pengusaha yang bersangkutan melakukan penanaman
kembali hutan dengan baik selama jangka waktu tertentu.

c) Penghapusan atau pengurangan pajak atau subsidi


Terhadap kegiatan yang dapat mengkonservasi dan memelihara
lingkungan dan keanekaragaman hayati diberikan subsidi sebagai insentif
untuk terus melakukannya. Hal ini dapat mencakup perubahan sistem subsidi
pupuk dan insektisida disektor pertanian, sektor enegri dibidang transportasi
maupun sektor perikanan. Demikian penghapusan dan pengurangan pajak
dapat diberikan pada kegiatan yang semakin sedikit mendeplesi sumberdaya
alam dan merusak lingkungan.
d) Penentuan harga jual yang lebih tinggi
Penentuan harga jual yang lebih tinggi melalui perpajakan atau bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) terhadap pengguna lahan
dan ekosistem yang mengkonversi lahan ke pembangunan fisik non-pertanian
yang menghilangkan atau menurunkan fungsi lingfkungan sebagai penghasil
jasa lingkungan.

37

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
38

1. Sumber-sumber

pendanaan

lingkungan

diantaranya

dari

anggaran

pendapatan dan belanja negara, pajak dan retrebusi, pungutan dan denda
terhadap pencemar, asuransi dan kerugian lingkungan serta uang
tanggungan.
2. Pendanaan pengelolaan lingkungan dari lembaga formal seperti Global
Environmental Facilities (GEF) dan dari mekanisme pembangunan bersih
sesuai dalam protokol Kyoto.
3. Berbagai sistem pendanaan dintaranya ada dalam anggaran pemerintah
pusat dan daerah, pungutan sumberdaya alam dan lingkungan,
penghapusan bea masuk serta memasukan nilai jasa lingkungan.

4.2. Saran
Indonesia dengan demikian perlu membuat reformasi fiskal, tidak
hanya memperkenalkan jenis pungutan atau pajak baru, tetapi juga
mengintensifkan pengenaan pajak dan pungutan yang sudah ada tidak hanya
jumlah subyek pajaknya, tetapi juga perbaikan tariff royalti dan pengenaan
pajak lingkungan. Perlu ditegaskan pemerintah hendaknya memiliki
kemampuan (ability) dan kemauan (desire) untuk melaksanakan pengenaan
pajak yang baik sesuia dengan Conons Adam Smith: adil (equity), pasti
(certainty), layak (adequate), menyenangkan (conveniene), dan efisien
(economy). Ketidakberanian mengenakan pungutan pajak yang tinggi untuk
lingkungan berarti tidak adanya kemempuan pemerintah dalam melaksanakan
fungsi pungutan. Akibatnya fungsi lingkungan semakin rusak dan pada
gilirannya kondisi ekonomi, politik dan social terganggu dan akhirnya
kesejahtraan masyarakat umumnya menjadi semakin memburuk.

39

DAFTAR PUSTAKA

Http://www.menlh.go.id/sejarah-kementerian-lingkungan-hidup/. Diakses tanggal


10 januari 2016.

Anonim, Economic Instruments in Biodiversity Related Multilateral


Environmental Agreements, UNEP, United Nations Publication, 2004.

Anonim, Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik, Jakarta, 2009

Dedi M.M. Riyaldi, dkk, editor: Sumberdaya Alam & Lingkungan Hidup
Indonesia: Antara Krisis dan Peluang, BAPPENAS, 2004.

Dwi Sudharto, Bahan Seminar tentang Produk Domestik Bruto Sektor Kehutanan,
di Kabupaten Konawe, di Kabupaten Mandaling Natal, di Kabupaten
Biora, di Kabupaten Tanah Laut, di Kabupaten Batanghari, dan di
Kabupaten Berau, Pusat Perencanaan dan Statistik Kehutanan, BAPLAN,
Departemen Kehutanan, 2005 2006.

Ghani, Awang Noor Abd. and Mohd. Sjahwahid Hj. Othman, Frest Pricing Policy
in Malaysia, Researt Report, The Economy and Evironment Program for
South Easy Asia (EEPSEA), January, 2003

40

41

Anda mungkin juga menyukai