PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pengelolaan lingkungan seperti halnya dengan usaha-usaha atau
kegiatan lain tentu memerlukan dana untuk mendanai kegiatan tersebut.
Dalam kehidupan ini tidak ada sesuatu yang sifatnya bebas biaya atau
pengorbanan ; demikian pula dengan pengelolaan lingkungan. Untuk
mengelola lingkungan dengan baik diperlukan sumberdaya tidak hanya
sumberdaya manusia, tapi juga sarana dan prasarana serta dana yang
berkaitan dengan pengelolaan lingkungan tersebut. Yang menjadi pertanyaan
adalah dari mana dan bagaimana mendanai pengelolaan lingkungan itu ?
Darimana sumber yang diperlukan dan bagaimana mengalokasikannya
sewhingga tetap dijamain adanya keadilan dan kesinambungan.
Seperti telah disebutkan dimuka bahwa lingkungan merupakan barang
publik, sehingga kurang menarik bagi para individu untuk secara langsung
bertanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan karna individu yang
mengelola lingkungan sulit menarik bayaran dari orang-orang lain (ingat
non-exclusion principle). Dengan alasan ini, maka pemerintah harus
bertanggung jawab mengelola lingkungan secara keseluruhan dan mengatur
swedemikian rupa dengan berbagai mekanisme sehingga para individu yang
semula kurang berminat mengelola lingkungan akan mau mengelola dan sudi
mendanai perbaikan kualitas lingkungan.
Pasal 42 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada ayat 1 dikatakan bahwa
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam rangka melestarikan fungsi
lingkungan hidup wajib mengembangkan dan menerapkan instrument
ekonomi lingkungan hidup, yang salah satunya berupa pendanaan
lingkungan hidup (Ayat 2b). Selanjutnya dalam pasal 42 ayat 2 disebutkan
bahwa instrument pendanaan lingkungan yang dimaksud dalam Pasal 42 ayat
(2b) meliputi: a) dana jaminan pemulihan lingkungan hidup, b) dana
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan
hidup, serta c) dana amanah atau bantuan untuk konservasi.
1
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini yaitu :
1. Apa sajakah sumber pendanaan ?
2. Dari mana sajakah pendanaan pengelolaan lingkungan ?
3. Bagaimanakah sistem pendanaan pengelolaan lingkungan ?
1.3.
Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui apa-apa sajakah sumber pendanaan.
2. Untuk mengutahui darimana sajakah pendanaan pengelolaan lingkungan.
3. Unruk mengetahui bagaimana sistem pendanaan pengelolaan lingkungan.
1.4.
Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan untuk memberikan manfaat :
1. Kepada penulis untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
2. Kepada pembaca untuk mengetahui tentang pendanaan pengelolaan
lingkungan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
dan tidak hidup, interaksi antar sesama komponen. Lingkungan hidup adalah
sistem yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan
dan mahluk hidup, termasuk didalamnya manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
mahluk hidup lainnya. Dari pengertian lingkungan yang sama yaitu perlu
disadari bahwa ternyata pengelolaan lingkungan oleh manusia sampai saat ini
tidak sesuai dengan etika lingkungan yaitu manusia bersikap superior
terhadap alam. Manusia beranggapan bahwa dirinya bukan bagian dari alam
semesta sehingga dia boleh bebas mengelolanya bahkan dapat merusak
lingkungan hidupnya.
Antar manusia dengan lingkungan hidupnya selalu terjadi interaksi
timbal balik. Manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya dan manusia
dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Demikian pula manusia membentuk
lingkungan hidupnya dan manusia dibentuk oleh lingkungan hidupnya.
Laporan Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan
Nasional yang diselenggerakan oleh Universitas Padjadjaran pada bulan Mei
1972 menyatakan Hanya dengan lingkungan hidup yang optimal, manusia
dapat berkembang dengan baik, dan hanya dengan manusia yang baik
lingkungan akan berkembang kearah yang optimal. Sepanjang masa
lingkungan hidup memegang peranan penting dalam kebudayaan manusia,
mulai dari manusia primitif sampai pada yang modern.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian
lingkungan hidup (Pasal 1 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997). Lebih lanjut
dikatakan dalam Pasal 3 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Tahun
1997, bahwa pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggerakan dengan
asas tanggungjawab, asas keberlanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
dan/atau
perusak
lingkungan
hidup.
(dalam
Neolaka,2008;113)
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah
merancang tujuan dari pengelolaan lingkungan hidup yaitu : (tahun 20042009).
(2002)
bahwa
pembangunan
dapar
berjalan,
tanpa
hidup tidak hanya dalam bentuk pencemaran fisik, tetapi juga dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan sosial.
Oleh karenanya setiap pengelolaan terhadap lingkungan hidup harus
pula dilakukan secara sadar dan terencana. Hubungan keserasian antara arah
pembangunan kelestarian lingkungan hidup perlu diusahakan dengan
memperhatikan kebutuhan manusia, seperti lapangan kerja, pangan, sandang,
dan pemukiman, kesehatan dan pendidikan (Emil Salim;1991).
Pengelolaan lingkungan seperti halnya dengan usaha-usaha atau
kegiatan lain tentu memerlukan dana untuk membiayai kegiatan tersebut.
Dalam kehidupan ini tidak ada sesuatu yang sifatnya bebas tanpa biaya atau
pengorbanan demikian pula dengan pengelolaan lingkungan. Untuk
mengelola lingkungan dengan baik diperlukan sumber daya yang tidak hanya
sumber daya manusia tetapi juga sarana dan pra sarana yang berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan tersebut. Misalnya untuk mengelola sumber daya air,
tidak hanya diperlukan tenaga manusia untuk pemeliharaan, tetapi juga
diperlukan alat pengolah limbah atau alat pencegah terjadinya pembuangan
limbah padat maupun cair kedalam badan air. Semuanya itu memerlukan
biaya.
Dari
mana
mengalokasikannya
sumber
sehingga
dana
tetap
yang
diperlukan
dijamin
adanya
dan
bagaimana
keadilan
dan
kesinambungan.
Lingkungan merupakan barang public sehingga kurang menarik bagi
para individu untuk secara langsung bertanggungjawab dalam pengelolaan
lingkungan. Hal ini karena tidak semua hasil usahanya akan dinikmati sendiri
berhubung dengan adanya sifat eksternalitas yang terkandung di dalamnya.
Oleh karena itu pemerintah yang harus bertanggung jawab mengelola
lingkungan secara keseluruhan dan mengatur sedemikian rupa dengan
berbagai mekanisme sehingga para individu yang semula kurang berminat
mengelola lingkungan akan mau mengelolangya dengan baik. Memang untuk
itu akan diperlukan suatu alat pengelolaan yang disebut sebagai perintah dan
pengawasan serta sistem insentif ekonomi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.
SUMBER-SUMBER PENDANAAN
11
12
untuk menabung,
atau
pengusaha
mengurahi
pencemar
(pollutant)
yang
13
14
Gambar 3.1
15
contoh
penyimpangan
dalam
penggunan
dana
yang
lingkungan,
timbulnya
penyakit
dan
penurunan
penurunan
Undang-
undang
No.23
Tahun
1997
ini
merupakan
penyempurnaan Undang-undang No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang kemudian diperbaiki
lagi dengan Undang-undang No.32 Tahun 2009 dan tetap mempertahankan
prinsip pencemar yang membayar.
Secara teoritis pengenaan pajak atau pungutan atas pencemaran dapat
ditentukan atas dasar bebab pencemaran, volume BOD, volume COD,
maupun indikator pencemar lainya. Pungutan limbah masih relative baru dan
belum banyak diterapkan, kecuali pada beberapa lingkungan industri
(industrial estate) seperti di Rungkut Surabaya. Dengan adanya sistem
desentralisasi pemerintahan dan di fungsikannya Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan (BAPEDALDA) atau Badan Pengelola Lingkungan
Hidup Daerah (BPLHD) di tingkat Kabupaten dan Kotamadya serta Provinsi,
maka jenis pungutan limbah seperti ini dapat diterapkan dan dikembangkan
sebagai sumber pendapatan daerah dan sekaligus dapat mengendalikan
pencemaran lingkungan. Pemerintah Daerah dapat mulai menerapkannya
untuk limbah padat dan limbah cair buangan industri.
17
atau
penguasa
berusaha
untuk
melaksanakan
Rencana
dengan baik dan mendorong mereka untuk sudi membangun Unit Pengolah
Limbah Cair (water treatment plant) untuk industry pengolahan maupun
untuk para pengembang perumahan seperti pada perumnas Cengkareng,
Jakarta.
Perlu ditegaskan disini bahwa uang jaminan ini harus cukup besar
untuk memaksa para pemrakarsa kegiatan untuk sudi melakukan reklamasi
lingkungan sesuai dengan janjinya. Dengan kata lain uang jaminan reklamasi
ini harus besar jumlahnya, paling tidak 200% dari nilai dana reklamasi yang
benar-benar dibutuhkan.
3.2.
DANA INTERNASIONAL
Secara Internasional ada dana yang tersedia untuk mempertahankan
kualitas lingkungan secara global. Negara-negara maju telah menyadari
bahwa tidak mengenal batas negara, sehingga memburuknya keadaan
lingkungan di suatu daerah atau suatu negara akan memiliki dampak yang
negatif pula bagi negara-negara lain. Contoh yang jelas adalah dengan
semakin lebarnya lubang dilapisan ozon serta semakin luasnya hutan yang
ditebang apalagi yang terbakar, maka potensi untuk semakin tingginya
temperatur bumi karna pemanasan global akan emisi gas rumah kaca semakin
tinggi pula. Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatra sejak
tahun 1993, 1997 dan 1998 telah mengakibatkan negara tetangga seperti
Singapura, Malaysia dan Thailand turut menderita karena asap tebal yang
menutupi kota Singapura dan Kuala Lumpur.
Dengan adanya kebakaran hutan jelas semua keanekaragaman hayati
(tumbuhan dan hewan) yang ada di daerah hurtan yang terbakar tersebut mati
dan hampir tak mungkin muncul lagi. Disamping dampak-dampak yang
dialami bila terjadi penebangan hutan maupun kerusakan hutan (bukan karna
terbakar), nilai kerugian sebagai akibat kebakaran hutan dapat pula
diperkirakan.
19
Glover dan Jessup telah memperkirakan nilai kerugian per hektar bila
terjadi kebakaran hutan atas dasar kebakaran hutan di Kalimantan pada tahun
1997 seperti nampak pada Tabel 3.1 yang menunjukan bahwa kebakaran
hutan disamping menimbulkan kerusakan langsung juga menimbulkan asap
yang memiliki dampak yang lebih jauh lagi seperti dampaknya pada
kesehatan, kegiatan pariwisata, penerbangan, sampai penutupan bandara,
termasuk sekolah dan perkantoran. Dalam perkiraan tersebut kebakaran hutan
akan menimbulkan kerugian yang diperkirakan mencapai $14.393,16/Ha.
Tabel 3.1
Nilai Dampak Kerugian Akibat Kebakaran Hutan
Kerugian Ekonomi
No
I
Dampak
(US $/Ha/Tahun)
3.833,03
Dampak Kesehatan
3.500,11
Biaya Medis
Produktivitas
Dampak Pariwisata
1.116,32
633,73
1.750,05
266,47
20
II
Dampak Penerbangan
28,56
37,88
Dampak Kebakaran
10.560,13
Kerugian Kayu
1.870,02
1.781,83
2.670,42
hutan
4.080,01
ekosistem hutan
113,64
44,21
14.393,16
21
Malaysia,
Singapura
dan Jepangyang
diperuntukan
bagi
lingkungan kelautan di Selat Malaka, dimana setiap kapal tanker minyak yang
melewati selat Malaka harus dijamin dengan asuransi yang menanggung
kerusakan lingkungan akibat tumpahan minyak serta biaya pembersihannya.
Jepang khususnya sejak 1981 telah membentuk apa yang disebut dengan
revolving fund untuk kompensasi tersebut.
Secara multilateral, yaitu dana dari negara atau pihak swasta di negara
maju disalurkan ke negara-negara berkembang melalui lembaga
tertentu yang bertindak sebagai fasilitator penyalur bantuan.
PMB,
kemudian
menawarkan
hasilnya
ke
investor
23
Meningkatkan
pemberdayaan
masyarakat
melalui
partisipasi
24
manfaat lain dari hutan akibat usaha pengurangan emisi karbon karna tidak
mengurangi atau memanen hutan untuk diambil kayunya.
3.3.
REFORMASI PERPAJAKAN
Berbagai uraian mengenai sumber pendanaan bagi pengelolaan
lingkungan ini perlu di dukung dengan kebijakan perpajakan yang jelas. Pada
dasarnya berbagai sumber pendanaan tersebut harus ditentukan terlebih
dahulu dalam kaitannya dengan beberapa persyaratan tersebut:
diterapkan
dalam
bidang
pendanaan
untuk
konservasi
dan
3.3.1. Dana
Penanggulangan
Pencemaran/Kerusakan
dan
Pemulihan
Lingkungan
Dana yang dikembangkan dan digunakan oleh pemerintah atau
pemerintah Daerah sebagai sarana untuk menanggulangi kerusakan atau
pencemaran lingkungan secara seketika dan untuk pemulihan kualitas
lingkungan. Dana ini berasal dari pungutan pajak atas pemanfaatan
26
27
3.4.
28
29
masing individu, karna pada dasarnya motif individu dan swasta adalah
mencari keuntungan sebanyak-banyaknya bagi masing-masing individu atau
kelompoknya. Oleh sebab itu kalau pemerintah tidak campur tangan dalam
pengelolaan lingkungan, maka kondisi lingkungan pasti akan terbengkalai
karna lingkungan memiliki sifat sebagai barang publik.
30
Dengan
sendirinya
jika
sector
kehutanan
harus
mendanai
Tabel 3.2
Pembayaran Retrebusi, PSDH dan DR
Di Kabupaten Konawe Tahun 2002 2005
No.
Tahun
Retrebusi
PSDH
DR
Total
Depresiasi
(Rp. Juta)
(Rp. Juta)
(Rp. Juta)
Pungutan
Hutan
(Rp. Juta)
(Rp. Juta)
31
2002
t.a.d
663,01
930,28
1.593,29
28.470,00
2003
1.842,31
1.807,87
1.235,05
4.885,05
150.040,00
2004
1.501,78
1.938,41
2.542,32
5.982,51
60.440,00
2005
2.023,40
1.335,39
786,51
t.a.d
t.a.d
Indonesia
telah
merancang
Undang-undang
Pajak
Lingkungan, tetapi mendapat respon negative dari para pelaku usaha yang
akan menjadi subjek, karna dasar pengenaan pajaknya bukan berkaitan
dengan masalah lingkungan, melainkan besaran modal yang di investasikan
sebagai dasar pengenaan pajaknya. Seharusnya sepewrti yang diusulkan oleh
penggagasnya (Profesor Pigou), pajak lingkungan yang disebut sebagai
Pigouvian tax, dasar pajaknya adalah volume pencemaran atau kerusakan
lingkungan dan bukan modal usaha.
Seperti telah disinggung di atas, Pemerintah Indonesia belum pernah
mengenakan pajak/pungutan lingkungan, tapi sudah mengenakan royalty
yaitu pungutan yang dikenakan atas dasar volume sumberdaya alam yang
diambil/dipanen dari alam. Namun nilai pungutan tersebut masih relative
kecil dan ditentukan tidak atas dasar perhitungan rente ekonomi sumberdaya
alam yang bersangkutan, melainkan atas dasar coba-coba (trial & error).
Akibatnya nilai pungutan tersebut tidak sama dengan nilai rente ekonominya.
Namun demikian sulit untuk mengatakan bahwa sebagian rente ekonomi
tersebut masih menjadi bagian laba pengusaha, karna tidak perlu ditutupi
bahwa di Indonesia terdapat ekonomi biaya tinggi sebagai akibat dari masih
banyaknya pungutan yang bersifat terselubung dan tidak legal.
Dengan
tidak
dipungutnya
bea
masuk
berarti
pemerintah
33
mengorbankan dana yang semestinya diterima yang berasal dari bea masuk
peralatan untuk pengelolaan lingkungan. Misalnya kalau ada sebuah pabrik
yang mengimpor peralatan instalasi pengelolaan air limbah (IPAL), dan
pemerintah tidak mengenakan bea masuknya, maka ini berarti pemerintah
telah turut menyumbang pendanaan pemasangan IPAL dalam pabrik yang
bersangkutan. Kalau tidak ada pembebasan bea masuk, perusahaan pemasang
IPAL harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk mendanai impor dan
pemasangan IPAL tersebut, sehingga dengan kata lain Pemerintah
memberikan subsidi dalam pengelolaan lingkungan hidup kepada perusahaan
yang
memasang
IPAL
dan
peralatan
lain
yang
berguana
untuk
kapasistas
dalam menyangga
kehidupan
disamping
mampu
34
36
pertanian. Hal ini memberikan dorongan agar lahan digunakan lebih banyak
untuk kegiatan yang lebih bersahabat dengan lingkungan.
b) Meningkatkan pungutan (IHPH, PSDH dan DR)
Tahapan penebangan hutan (deforestasi) dikenakan pungutan IHPH,
PSDH, dan DR yang lebih tinggi sehingga akan mengurangi laju penebangan
hutan di Indonesia. Dana reboisasi dapat dikembalikan pada pengusaha
pemegang HPH bila pengusaha yang bersangkutan melakukan penanaman
kembali hutan dengan baik selama jangka waktu tertentu.
37
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
38
1. Sumber-sumber
pendanaan
lingkungan
diantaranya
dari
anggaran
pendapatan dan belanja negara, pajak dan retrebusi, pungutan dan denda
terhadap pencemar, asuransi dan kerugian lingkungan serta uang
tanggungan.
2. Pendanaan pengelolaan lingkungan dari lembaga formal seperti Global
Environmental Facilities (GEF) dan dari mekanisme pembangunan bersih
sesuai dalam protokol Kyoto.
3. Berbagai sistem pendanaan dintaranya ada dalam anggaran pemerintah
pusat dan daerah, pungutan sumberdaya alam dan lingkungan,
penghapusan bea masuk serta memasukan nilai jasa lingkungan.
4.2. Saran
Indonesia dengan demikian perlu membuat reformasi fiskal, tidak
hanya memperkenalkan jenis pungutan atau pajak baru, tetapi juga
mengintensifkan pengenaan pajak dan pungutan yang sudah ada tidak hanya
jumlah subyek pajaknya, tetapi juga perbaikan tariff royalti dan pengenaan
pajak lingkungan. Perlu ditegaskan pemerintah hendaknya memiliki
kemampuan (ability) dan kemauan (desire) untuk melaksanakan pengenaan
pajak yang baik sesuia dengan Conons Adam Smith: adil (equity), pasti
(certainty), layak (adequate), menyenangkan (conveniene), dan efisien
(economy). Ketidakberanian mengenakan pungutan pajak yang tinggi untuk
lingkungan berarti tidak adanya kemempuan pemerintah dalam melaksanakan
fungsi pungutan. Akibatnya fungsi lingkungan semakin rusak dan pada
gilirannya kondisi ekonomi, politik dan social terganggu dan akhirnya
kesejahtraan masyarakat umumnya menjadi semakin memburuk.
39
DAFTAR PUSTAKA
Dedi M.M. Riyaldi, dkk, editor: Sumberdaya Alam & Lingkungan Hidup
Indonesia: Antara Krisis dan Peluang, BAPPENAS, 2004.
Dwi Sudharto, Bahan Seminar tentang Produk Domestik Bruto Sektor Kehutanan,
di Kabupaten Konawe, di Kabupaten Mandaling Natal, di Kabupaten
Biora, di Kabupaten Tanah Laut, di Kabupaten Batanghari, dan di
Kabupaten Berau, Pusat Perencanaan dan Statistik Kehutanan, BAPLAN,
Departemen Kehutanan, 2005 2006.
Ghani, Awang Noor Abd. and Mohd. Sjahwahid Hj. Othman, Frest Pricing Policy
in Malaysia, Researt Report, The Economy and Evironment Program for
South Easy Asia (EEPSEA), January, 2003
40
41