Anda di halaman 1dari 95

BAB VIII

PEMBANGUNAN SOSIAL DAN BUDAYA

A.

UMUM

Sesuai dengan Propenas 20002004, pembangunan sosial dan


budaya merupakan bagian integral dari prioritas pembangunan
nasional keempat, yaitu membangun kesejahteraan rakyat,
meningkatkan kualitas kehidupan beragama, dan ketahanan budaya.
Prioritas pembangunan ini dilaksanakan melalui pembangunan bidang
agama, bidang pendidikan, serta bidang sosial dan budaya.
Tujuan pembangunan di bidang sosial dan budaya adalah untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan meningkatnya
kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberi
perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar. Sasaran umum
yang akan dicapai adalah meningkatnya usia harapan hidup,
menurunnya laju pertumbuhan penduduk, menurunnya angka
kelahiran total, menurunnya angka kematian kasar, meningkatnya
ketahanan sosial dan budaya, meningkatnya kedudukan dan peranan
perempuan, meningkatnya partisipasi aktif pemuda, serta
meningkatnya pembudayaan dan prestasi olahraga. Untuk mencapai
tujuan dan sasaran tersebut, telah dilaksanakan berbagai kebijakan dan
program-program pembangunan di bidang sosial dan budaya, yang

meliputi bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial, termasuk


kependudukan dan keluarga berencana; kebudayaan; kedudukan dan
peranan perempuan; serta pemuda dan olah raga.
Secara garis besar arah kebijakan pembangunan sosial dan
budaya adalah sebagai berikut.
Di bidang kesehatan adalah peningkatan mutu sumber daya
manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan
paradigma sehat, serta peningkatan mutu lembaga dan pelayanan
kesehatan.
Di bidang kesejahteraan sosial meliputi pengembangan
ketahanan sosial, peningkatan apresiasi terhadap penduduk lanjut usia
dan veteran, peningkatan kepedulian terhadap penyandang masalah
sosial, serta peningkatan aksesibilitas fisik dan nonfisik bagi
penyandang cacat.
Di bidang kependudukan dan keluarga berencana yaitu:
peningkatan kualitas penduduk melalui pengendalian kelahiran,
penurunan angka kematian, peningkatan kualitas program keluarga
berencana serta pengembangan dan keserasian kebijakan
kependudukan dengan memperhatikan aspek kependudukan dan
lingkungan sebagai sentral pembangunan.
Di bidang kebudayaan dan pariwisata adalah pengembangan
dan pembinaan kebudayaan nasional, perumusan nilai-nilai budaya
Indonesia, pengembangan sikap kritis terhadap nilai-nilai budaya,
pengembangan
kebebasan
berkreasi
dalam
berkesenian,
pengembangan dunia perfilman Indonesia, pelestarian apresiasi nilai
kesenian dan kebudayaan tradisional, perwujudan kesenian dan
kebudayaan tradisional Indonesia sebagai wahana pengembangan
pariwisata, dan pengembangan pariwisata dengan pendekatan sistem
yang utuh berdasarkan pemberdayaan masyarakat.
Di bidang kedudukan dan peranan perempuan meliputi:
peningkatan kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan

VIII 2

berbangsa dan bernegara, dan peningkatan kualitas peran dan


kemandirian organisasi perempuan.
Di bidang pemuda dan olahraga meliputi: penumbuhan budaya
olahraga, peningkatan usaha pembibitan dan pembinaan olahraga
prestasi, pengembangan iklim kondusif bagi pengembangan generasi
muda, pengembangan minat dan semangat kewirausahaan di kalangan
generasi muda, dan pelindungan bagi generasi muda dari narkoba.
Sementara itu, hasil-hasil yang dicapai, permasalahan dan
tantangan, serta rencana tindak lanjut pembangunan sosial dan budaya
dapat diuraikan sebagai berikut.
Dalam pembangunan bidang kesehatan, hasil pelaksanaan
pembangunan kesehatan antara lain dapat dilihat dari status kesehatan
dan gizi masyarakat serta pola penyakit. Status kesehatan dan gizi
masyarakat antara lain dapat dinilai melalui berbagai indikator
kesehatan seperti angka kematian bayi, angka kematian balita, angka
kematian ibu melahirkan, usia harapan hidup, dan keadaan gizi
masyarakat. Angka kematian bayi (AKB) telah menurun dari 46 per
1.000 kelahiran hidup (SDKI 1997) menjadi 35 per 1.000 kelahiran
hidup (SDKI 2003). Angka kematian balita menurun dari 79 per 1.000
kelahiran hidup (SDKI 1997) menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup
(SDKI 2003). Sementara itu angka kematian ibu melahirkan (AKI)
mengalami penurunan dari 334 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI
1997) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2003). Sejalan
dengan penurunan angka kematian bayi, usia harapan hidup
meningkat dari 63 tahun (1990) menjadi 66 tahun (2002-2003),
sementara itu, angka kurang gizi pada balita telah menurun dari
sekitar 30 persen (1998) menjadi 27,5 persen (2003).
Hasil pelaksanaan program pembangunan kesehatan pada tahun
2003 berdasarkan indikator kinerja Propenas antara lain adalah: (1)
cakupan universal child immunization (UCI) di tingkat desa mencapai
80 persen; (2) angka kesembuhan penyakit tuberkulosis (TB) paru
mencapai sekitar 85 persen; (3) cakupan pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan sekitar 70 persen; (4) cakupan pelayanan antenatal,
postnatal dan neonatal sekitar 80 persen; (5) persentase keluarga yang
VIII 3

mengkonsumsi garam beryodium dengan cukup sebesar 78,5 persen;


(6) keluarga yang menggunakan air bersih di perkotaan dan perdesaan
mencapai 80 persen; dan (7) keluarga yang menggunakan jamban
yang memenuhi syarat kesehatan di perkotaan dan perdesaan
mencapai 68 persen.
Pencapaian kondisi kesehatan seperti dijelaskan di atas antara lain
dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu lingkungan, perilaku, dan
pelayanan kesehatan. Sedangkan pelayanan kesehatan dipengaruhi
oleh berbagai faktor antara lain ketersediaan dan mutu fasilitas
pelayanan kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan, tenaga
kesehatan, pembiayaan dan manajemen kesehatan.
Permasalahan dan tantangan yang dihadapi antara lain adalah
pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan oleh fasilitas
kesehatan yang belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat,
terutama terkait dengan biaya dan jarak transportasi. Selain itu sistem
rujukan pelayanan kesehatan perorangan di rumah sakit belum dapat
berjalan dengan optimal. Ketersediaan, mutu, keamanan obat dan
perbekalan kesehatan masih belum optimal serta belum dapat
dijangkau dengan mudah oleh masyarakat. Selain itu obat asli
Indonesia (OAI) belum sepenuhnya dikembangkan dengan baik
meskipun potensi yang dimiliki sangat besar. Dalam hal pengawasan
terhadap keamanan dan mutu obat dan makanan permasalahan yang
dihadapi antara lain adalah lemahnya dukungan peraturan perundangundangan, kemampuan sumber daya manusia, standardisasi, penilaian
hasil penelitian produk, pengawasan obat tradisional, kosmetik,
produk terapetik/obat, obat asli Indonesia, dan sistem informasi.
Dalam hal tenaga kesehatan, Indonesia mengalami kekurangan pada
hampir semua jenis tenaga kesehatan yang diperlukan. Dalam hal
pendanaan, pembiayaan kesehatan per kapita di Indonesia terendah di
antara negara ASEAN. Dalam aspek manajemen pembangunan
kesehatan,
dengan diterapkannya
desentralisasi
kesehatan,
permasalahan yang dihadapi adalah kurangnya sinkronisasi kegiatan
antara pusat dan daerah, peningkatan kapasitas sumber daya manusia
(SDM) daerah terutama dalam perencanaan, peningkatan sistem
informasi, terbatasnya pemahaman terhadap peraturan perundangan
serta struktur organisasi kesehatan yang tidak konsisten.
VIII 4

Rencana tindak lanjut pembangunan kesehatan yang akan


ditempuh antara lain: (1) meningkatkan upaya promosi kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan; (2)
meningkatkan upaya pemeliharaan, perlindungan/keselamatan,
peningkatan kesehatan dalam rangka peningkatan status kesehatan dan
status gizi terutama keluarga miskin dan kelompok rentan; (3)
meningkatkan upaya pencegahan dan penyembuhan penyakit; (4)
meningkatkan upaya lingkungan sehat di kawasan pariwisata, industri,
perumahan dan permukiman serta perbaikan sarana sanitasi dasar
untuk permukiman kumuh dan keluarga miskin; (5) meningkatkan
kualitas, keterjangkauan, dan pemerataan pelayanan kesehatan di
fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan terutama bagi
keluarga miskin, kelompok rentan dan penduduk di daerah terpencil,
perbatasan dan rawan bencana/konflik; (6) meningkatkan upaya dan
kecepatan penanggulangan masalah kesehatan akibat terjadinya
wabah, Kejadian Luar Biasa (KLB), konflik dan bencana; (7)
meningkatkan upaya pemerataan dan profesionalisme sumber daya
manusia kesehatan; (8) meningkatkan upaya percepatan pelaksanaan
desentralisasi bidang kesehatan serta peningkatan manajemen
pembangunan
kesehatan;
(9)
meningkatkan
perumusan
kebijakan/program pembangunan kesehatan berdasarkan hasil
penelitian dan pengembangan kesehatan; (10) meningkatkan upaya
penyediaan dan pemanfaatan obat esensial; (11) menjamin mutu,
keamanan dan khasiat/kemanfaatan produk terapetik/obat, obat
tradisional, kosmetik, produk komplemen, dan produk pangan yang
beredar; dan (12) melindungi kesehatan dan keselamatan konsumen,
sekaligus untuk meningkatkan daya saing industri Indonesia di bidang
farmasi, obat bahan alam, kosmetika dan makanan.
Dalam pembangunan kesejahteraan sosial, selama kurun
waktu empat tahun ini telah dilakukan berbagai upaya perbaikan
kesejahteraan sosial bagi para penyandang masalah kesejahteraan
sosial (PMKS). Dalam hal pemberdayaan keluarga miskin, sekitar
371,1 ribu KK miskin, termasuk perempuan rawan sosial ekonomi dan
Komunitas Adat Terpencil (KAT), telah mendapatkan bimbingan
sosial, motivasi, dan bimbingan usaha disertai dengan pemberian
modal usaha. Sekitar 9,3 ribu KK miskin di lingkungan kumuh
perkotaan telah mendapatkan bantuan bahan bangunan rumah dan
VIII 5

peralatan guna perbaikan rumah. Penanggulangan masalah pengungsi


juga telah berhasil dilaksanakan melalui pemberian bantuan tanggap
darurat dan pemulangan pengungsi ke tempat asal semula, ataupun
relokasi bagi yang tidak dapat kembali. Penanganan anak terlantar
termasuk anak jalanan juga telah diupayakan melalui upaya
pemberdayaan. Hingga 2003, sekitar 192,4 ribu anak terlantar dan
142,3 ribu anak jalanan telah mendapatkan pelayanan pemberdayaan
sosial. Pelayanan rehabilitasi juga telah diberikan bagi penyandang
cacat, anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika, wanita tuna
susila, gelandangan, pengemis, dan bekas narapidana. Selain itu,
sekitar 30 ribu lanjut usia telah menerima santunan sosial.
Sedangkan permasalahan dan tantangan yang masih dihadapi
dalam pencapaian indikator kinerja pembangunan kesejahteraan sosial
antara lain adalah sulitnya memprediksi waktu kejadian bencana alam
maupun bencana sosial, data mengenai bencana juga masih belum
akurat dan tidak tepat waktu (up-to-date). Di samping itu, sarana dan
prasarana bagi penyelenggaraan kegiatan pelayanan, rehabilitasi, dan
re-integrasi masih jauh dari memadai, serta masih sangat terbatasnya
jumlah SDM di bidang kesejahteraan sosial yang profesional. Selain
itu, beragamnya indikator dan kriteria penyandang masalah
kesejahteraan sosial juga menjadi hambatan dalam pelaksanaan
program kesejahteraan sosial, terutama dalam penentuan sasaran,
monitoring dan evaluasi kinerja.
Tindak lanjut yang diperlukan di antaranya adalah: meningkatkan
jangkauan dan kemampuan pelaku pembangunan kesejahteraan sosial
dari unsur masyarakat sebagai sumber dan potensi kesejahteraan
sosial; meningkatkan intensitas sosialisasi ke daerah dan semua pihak
terkait dalam pembangunan kesejahteraan sosial; meningkatkan sistem
pendataan dan pelaporan, baik di tingkat pusat maupun daerah; dan
menyusun standardisasi pembangunan dan pelayanan sosial termasuk
standardisasi kelembagaan Unit Pelaksana Teknis (Panti, Pusat
Rehabilitasi, dan Balai Diklat).
Dalam pembangunan kependudukan dan keluarga
berencana, jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus
meningkat meskipun laju pertumbuhannya semakin menurun.
VIII 6

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) 1990 dan 2000, jumlah


penduduk Indonesia sebesar 179,4 juta jiwa dan 206,2 juta jiwa,
dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen pada periode
1990-2000, atau lebih rendah dari laju pertumbuhan penduduk periode
1980-1990 (1,97 persen). Keberhasilan dalam pengendalian
pertumbuhan penduduk ditunjukkan dengan menurunnya tingkat
kelahiran yang cukup bermakna. Pada tahun 1997, angka kelahiran
total (TFR) diperkirakan 2,8 anak per wanita usia reproduksi, dan
telah turun menjadi 2,6 anak pada tahun 2002 (Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia-SDKI, 2002). Penurunan TFR ini antara lain
merupakan akibat dari meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi
(prevalensi) pada pasangan usia subur. Angka prevalensi 57 persen
pada tahun 1997, telah meningkat menjadi 60 persen pada tahun 2002
(SDKI 2002-03). Guna penataan dan pengembangan sistem informasi
administrasi kependudukan, telah dilakukan ujicoba di 13
Kabupaten/Kota di 6 propinsi (Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I.
Yogyakarta, Bali, dan Sulawesi Utara). Di samping itu, telah disusun
dukungan peraturan perundang-undangan berupa penyusunan RUU
Administrasi Kependudukan dan naskah akademis perlindungan data
pribadi penduduk.
Permasalahan dan tantangan yang masih dihadapi di bidang
kependudukan dan keluarga berencana antara lain adalah masih
tingginya kenaikan jumlah penduduk secara absolut. Meskipun telah
terjadi penurunan fertilitas yang cukup bermakna, namun secara
absolut pertambahan penduduk Indonesia meningkat sekitar 3 sampai
4 juta jiwa per tahun. Apabila penanganan masalah kependudukan
tersebut tidak ditangani dengan baik, maka dapat berakibat pada
semakin beratnya upaya pemenuhan pelayanan sosial dasar penduduk.
Demikian pula, menurunnya tingkat kelahiran telah membawa
perubahan pada struktur penduduk menurut kelompok umur. Proporsi
penduduk usia muda telah menurun, penduduk usia produktif
meningkat, dan penduduk usia lanjut juga meningkat. Sebagai
dampaknya, rasio beban ketergantungan menurun dan struktur
penduduk Indonesia cenderung semakin menua. Sementara itu, tertib
administrasi kependudukan belum dilaksanakan secara menyeluruh.

VIII 7

Tindak lanjut yang diperlukan antara lain adalah: meningkatkan


hasil dari pelaksanaan pemberdayaan keluarga melalui pembinaan
usaha ekonomi produktif keluarga; peningkatan kualitas dan kuantitas
kegiatan advokasi, Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) dan
konseling; meningkatkan akses dan kualitas pelayanan; peningkatan
partisipasi pria dalam ber KB serta peningkatan partisipasi dan
kemandirian masyarakat agar program dapat dilaksanakan secara lebih
efektif dan efisien, mempercepat terbitnya UU Administrasi
Kependudukan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat melalui
sosialisasi dan advokasi dalam bidang administrasi informasi
kependudukan.
Dalam pembangunan kebudayaan, hasil yang dicapai program
pelestarian dan pengembangan kebudayaan antara lain: (1)
penyelenggaraan temu budaya dan dialog budaya; (2) penyebarluasan
informasi budaya; (3) penulisan sejarah Indonesia; (4)
penyelenggaraan festival seni pertunjukan; (5) pengiriman misi
kesenian ke luar negeri; (6) pemugaran dan pemeliharaan Benda
Cagar Budaya; (7) pembangunan lanjutan Museum Nasional; (8)
bantuan kepada organisasi/lembaga seni dan budaya; (9) pembinaan
perfilman nasional; (10) preservasi dan alih media pustaka langka; dan
(11) pengembangan minat baca masyarakat.
Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pembangunan
kebudayaan adalah ketahanan budaya yang masih rentan, antara lain
ditinjau dari disorientasi tata nilai, keterbatasan sikap kritis terhadap
nilai budaya, krisis identitas, dan lemahnya kemampuan dalam
mengelola keragaman budaya. Rapuhnya ketahanan budaya dapat
mengancam integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sementara itu, globalisasi telah mengakibatkan masuknya
arus informasi yang sangat beragam dan nyaris tanpa batas
dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap budaya bangsa menjadi
semakin rentan.
Untuk menjawab permasalahan dan tantangan tersebut, kebijakan
pembangunan kebudayaan diarahkan pada upaya sebagai berikut: (1)
mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia
yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional
VIII 8

yang mengandung nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap


Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya
kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa;
(2) merumuskan nilai-nilai kebudayaan Indonesia, sehingga mampu
memberikan rujukan sistem nilai terhadap totalitas perilaku kehidupan
ekonomi, politik, hukum dan kegiatan kebudayaan dalam rangka
pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kualitas
berbudaya masyarakat; (3) mengembangkan sikap kritis terhadap
nilai-nilai budaya dalam rangka memilah-milah nilai budaya yang
positif dan serasi untuk menghadapi tantangan pembangunan bangsa
di masa depan; (4) mengembangkan kebebasan berkreasi dalam
berkesenian untuk mencapai sasaran sebagai pemberi inspirasi bagi
kepekaan rasa terhadap totalitas kehidupan dengan tetap mengacu
pada etika, moral, estetika dan agama, serta memberikan perlindungan
dan penghargaan terhadap hak cipta dan royalti bagi pelaku seni dan
budaya; (5) mengembangkan dunia perfilman Indonesia secara sehat
sebagai media kreatif yang memuat keberagaman jenis kesenian untuk
meningkatkan moralitas agama serta kecerdasan bangsa, pembentukan
opini publik yang positif dan peningkatan nilai tambah secara
ekonomi; (6) melestarikan apresiasi nilai kesenian dan kebudayaan
tradisional serta menggalakkan dan memberdayakan sentra-sentra
kesenian untuk merangsang berkembangnya kesenian nasional yang
lebih kreatif dan inovatif, sehingga menumbuhkan rasa kebanggaan
nasional; dan (7) menjadikan kesenian dan kebudayaan tradisional
Indonesia sebagai wahana bagi pengembangan pariwisata nasional
dan mempromosikannya ke luar negeri secara konsisten sehingga
dapat menjadi wahana persahabatan antarbangsa.
Dalam pembangunan pemberdayaan perempuan, hasil-hasil
utama yang dicapai sampai dengan tahun 2004 antara lain adalah
pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) pada 38 program
pembangunan nasional sehingga menjadi responsif gender. Programprogram tersebut meliputi pembangunan hukum, ekonomi
(ketenagakerjaan, pertanian, dan koperasi dan usaha kecil menengah),
politik, pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, kesejahteraan
sosial, dan lingkungan hidup, serta pengembangan kegiatan khusus
untuk peningkatan kualitas hidup perempuan.

VIII 9

Permasalahan dan tantangan yang masih dihadapi dalam


pembangunan pemberdayaan perempuan adalah nilai sosial budaya
masyarakat yang masih bersifat patriarkhi, dan keterbatasan data
terpilah menurut jenis kelamin, sehingga menyebabkan tidak
teridentifikasinya permasalahan dan kebutuhan yang dihadapi laki-laki
dan perempuan secara tepat pada setiap bidang dan program
pembangunan.
Tindak lanjut yang diperlukan dalam menghadapi permasalahan
dan tantangan tersebut antara lain adalah melakukan pengarusutamaan
gender pada semua bidang dan program pembangunan baik di tingkat
nasional maupun di tingkat daerah, termasuk meningkatkan
pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan gender, dan
mengembangkan data terpilah menurut jenis kelamin.
Dalam pembangunan olahraga, hasil-hasil utama yang telah
dicapai adalah terumuskannya konsep kebijakan yang mendukung
perkembangan olahraga nasional dan pedoman mekanisme pembinaan
olahraga dan kesegaran jasmani; dan tersusunnya Rancangan UndangUndang Olahraga untuk mendukung perkembangan olahraga nasional,
dan tersusunnya Sport Development Index (SDI). Selain itu, untuk
meningkatkan upaya pemanduan bakat dan pembibitan olahraga telah
dilaksanakan pembinaan olahraga di kalangan pelajar termasuk pelajar
penyandang cacat, organisasi olahraga dan masyarakat; dan
meningkatnya jumlah pelatih, peneliti, praktisi, dan teknisi olahraga
yang mengikuti pendidikan dan pelatihan sesuai dengan standar
kompetensi; serta meningkatnya jumlah dan mutu bibit olahragawan.
Selanjutnya, untuk meningkatkan prestasi olahraga termasuk olahraga
bagi penyandang cacat telah berhasil ditingkatkan pembinaan peserta
didik dalam cabang olahraga prestasi, dan meningkatnya
penyelenggaraan kompetisi olahraga secara berjenjang dan
berkesinambungan. Sedangkan dalam pembangunan pemuda, hasilhasil yang telah dicapai adalah tersusunnya data dan informasi
kepemudaan; meningkatnya kemampuan manajerial usaha muda;
meningkatnya jumlah wirausahawan muda yang mengikuti pelatihan
keterampilan dan manajemen; terlaksananya upaya untuk
meningkatkan peran aktif pemuda dalam penanggulangan narkoba,
HIV/AIDS, kriminalitas termasuk tawuran di kalangan pelajar dan
VIII 10

pemuda; dan terlaksananya upaya untuk meningkatkan pemahaman


dan penghormatan terhadap supremasi hukum dan HAM.
Permasalahan dan tantangan program pembangunan pemuda dan
olahraga adalah: lemahnya sumber daya manusia di bidang
pemanduan bakat; lemahnya manajemen olahraga; kurang intensifnya
upaya-upaya pembibitan; menurunnya pembinaan dan kurangnya
penerapan dan pemanfaatan iptek secara tepat dan benar dalam
olahraga; minimnya sarana dan prasarana umum untuk berolahraga
sehingga masyarakat enggan berolahraga; kurangnya kompetisi
olahraga baik dalam skala nasional maupun regional; masih rendahnya
tingkat pendidikan di kalangan pemuda; minimnya ruang-ruang publik
bagi kalangan pemuda untuk mengekspresikan dirinya.
Tindak lanjut yang diperlukan dalam pembangunan pemuda dan
olahraga adalah: melaksanakan peningkatan kapasitas (capacity
building) di bidang pembangunan olahraga; mengembangkan olahraga
rekreasi, olahraga lanjut usia, olahraga penyandang cacat, dan
olahraga tradisional; melakukan pembinaan olahraga usia dini, kelas
olahraga, klub olahraga pelajar dan mahasiswa, dan kelompok berlatih
olahraga; melakukan bimbingan dan kompetisi olahraga pelajar secara
berjenjang dan teratur dalam rangka menanamkan disiplin, nilai-nilai
sportivitas, dan menggali bakat olahraga; meningkatkan kepedulian
masyarakat dan dunia usaha mengenai pentingnya dukungan
pendanaan olahraga terutama olahraga prestasi; meningkatkan
keterampilan dan keahlian tenaga kerja pemuda; mengembangkan
kewirausahaan pemuda; meningkatkan partisipasi lembaga
kepemudaan dalam pembangunan ekonomi; memperluas kesempatan
pemuda terdidik untuk berpartisipasi dalam pembangunan di
pedesaan; mengembangkan jaringan kerjasama pemuda antardaerah,
antarpropinsi dan antarbangsa; meningkatkan peran aktif pemuda
dalam penanggulangan masalah penyalahgunaan narkoba, minuman
keras (miras), penyebaran penyakit HIV/AIDS serta penyakit menular
seksual, dan kriminalitas di kalangan pemuda.

VIII 11

B.

PROGRAM-PROGRAM
PEMBANGUNAN

Pembangunan bidang sosial budaya yang telah dilaksanakan pada


tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 dapat dikelompokkan dalam
program pembangunan kesehatan dan kesejahteraan sosial;
kebudayaan dan pariwisata; kedudukan dan peranan perempuan; serta
pemuda dan olahraga dengan uraian sebagai berikut.
1.

Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial

1.1 Program Lingkungan Sehat,


Pemberdayaan Masyarakat
a.

Perilaku

Sehat,

dan

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk: (1) mewujudkan mutu


lingkungan hidup yang sehat yang mendukung tumbuh kembang
anak dan remaja, memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup sehat,
dan memungkinkan interaksi sosial, serta melindungi masyarakat
dari ancaman bahaya yang berasal dari lingkungan sehingga
tercapai derajat kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat
yang optimal; dan (2) memberdayakan individu, keluarga dan
masyarakat dalam bidang kesehatan untuk memelihara,
meningkatkan, dan melindungi kesehatannya sendiri dan
lingkungannya menuju masyarakat yang sehat, mandiri, dan
produktif.
Sasaran yang akan dicapai adalah: (1) tersusunnya kebijakan
dan konsep peningkatan kualitas lingkungan di tingkat lokal,
regional dan nasional dengan kesepakatan lintas sektoral tentang
tanggung jawab perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan; (2)
terselenggaranya upaya peningkatan lingkungan fisik, sosial, dan
budaya masyarakat dengan memaksimalkan potensi sumberdaya
secara mandiri; (3) meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab
masyarakat untuk memelihara lingkungan sehat; (4)
meningkatnya cakupan keluarga yang mempunyai akses terhadap
air bersih yang memenuhi kualitas bakteriologis dan sanitasi
VIII 12

lingkungan di perkotaan dan perdesaan; (5) tercapainya


permukiman dan lingkungan perumahan yang memenuhi syarat
kesehatan di perdesaan dan perkotaan termasuk penanganan
daerah kumuh; (6) terpenuhinya persyaratan kesehatan di tempattempat umum termasuk sarana dan cara pengelolaannya; (7)
terpenuhinya lingkungan sekolah dengan ruang yang memadai
dan kondusif untuk menciptakan interaksi sosial dan mendukung
perilaku hidup sehat; (8) terpenuhinya persyaratan kesehatan di
tempat kerja, perkantoran, dan industri, termasuk bebas radiasi;
(9) terpenuhinya persyaratan kesehatan di seluruh rumah sakit
dan sarana pelayanan kesehatan lain termasuk pengolahan
limbah; (10) terlaksananya pengolahan limbah industri dan polusi
udara oleh industri maupun sarana transportasi; (11) menurunnya
tingkat paparan pestisida dan insektisida di lingkungan kerja
pertanian dan industri serta pengawasan terhadap produkproduknya untuk keamanan konsumen; (12) meningkatnya
perwujudan kepedulian perilaku hidup bersih dan sehat dalam
kehidupan bermasyarakat; (13) menurunnya prevalensi perokok,
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
(NAPZA), serta meningkatnya lingkungan sehat bebas rokok, dan
bebas NAPZA di sekolah, tempat kerja dan tempat-tempat umum;
(14) menurunnya angka kematian dan kecacatan akibat
kelahiran/persalinan, kecelakaan dan rudapaksa; (15) menurunnya
prevalensi dan dampak gangguan jiwa masyarakat; (16)
meningkatnya keterlibatan dan tanggung jawab laki-laki dalam
kesehatan keluarga; dan (17) berkembangnya sistem jaringan
dukungan masyarakat, sehingga pada akhirnya, kebutuhan
masyarakat terhadap pelayanan masyarakat dapat meningkat.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut di atas, arah
kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok: (1)
meningkatkan promosi hygiene dan sanitasi di tingkat individu,
keluarga, dan masyarakat; (2) meningkatkan mutu lingkungan
perumahan dan permukiman termasuk pengungsian; (3)
meningkatkan hygiene dan sanitasi tempat-tempat umum dan
pengelolaan makanan; (4) meningkatkan kesehatan dan
keselamatan kerja; (5) meningkatkan wilayah/kawasan sehat
termasuk kawasan bebas rokok; (6) meningkatkan kepedulian
VIII 13

terhadap perilaku hidup bersih dan sehat; (7) meningkatkan


kepedulian terhadap proses perkembangan dini anak; (8)
meningkatkan upaya anti tembakau dan NAPZA; (9)
meningkatkan pencegahan kecelakaan dan rudapaksa; (10)
meningkatkan upaya kesehatan jiwa masyarakat; dan (11)
memperkuat sistem jaringan dukungan masyarakat sesuai dengan
potensi dan budaya setempat.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil pelaksanaan program yang dicapai secara umum


menunjukkan kecenderungan meningkat antara lain meliputi:
(1) persentase keluarga menggunakan jamban yang
memenuhi syarat kesehatan meningkat dari 61,5 persen pada
tahun 2001 menjadi 68 persen pada tahun 2003; (2)
persentase keluarga menggunakan air bersih di perkotaan dan
perdesaaan mencapai 77,2 persen pada tahun 2001 menjadi
80 persen pada tahun 2003. Hasil pencapaian indikator
kinerja lainnya dapat dilihat pada matriks terlampir.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam


pelaksanaan program ini antara lain meliputi: (1) rendahnya
akses masyarakat terhadap lingkungan permukiman dan
kualitas air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan
sehingga menyebabkan masih tingginya resiko dan gangguan
kesehatan akibat penyebaran penyakit berbasis lingkungan;
(2) rendahnya kondisi sanitasi perumahan, ancaman vektor
penyakit, rawan terhadap pencemaran lingkungan, rawan
keracunan makanan akibat rendahnya hygiene dan sanitasi
makanan; (3) belum optimalnya dukungan kebijakan dan
manajemen program perilaku bersih dan sehat; (4) belum
optimalnya kerjasama lintas program dan lintas sektor; dan
(5) terbatasnya dukungan sumber daya kesehatan, terutama
sumber pendanaan promosi kesehatan.
VIII 14

iii. Tindak Lanjut


Berdasarkan permasalahan dan tantangan yang dihadapi,
rencana tindak lanjut yang diperlukan antara lain meliputi:
(1) menyusun kerangka kebijakan kesehatan lingkungan,
promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat; (2)
mengembangkan media promosi kesehatan dan teknologi
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE); (3) menumbuhkan
dan mengembangkan model promosi kesehatan menurut
spesifik daerah;(4) mengembangkan jejaring dan kemitraan
dengan pihak lintas sektor, swasta, dan lembaga swadaya
masyarakat; (5) mengembangkan upaya kesehatan bersumber
masyarakat dan generasi muda; (6) meningkatkan
kemampuan tenaga pengelola program promosi kesehatan;
(7) meningkatkan kemampuan upaya kesehatan lingkungan;
(8) meningkatkan kemampuan kewaspadaan dini, investigasi
dan penanggulangan kejadian luar biasa (KLB); (9)
meningkatkan jejaring dan kemitraan dalam upaya kesehatan
lingkungan; dan (10) meningkatkan dukungan administrasi
dan operasional program.
1.2 Program Upaya Kesehatan
a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemerataan dan


mutu upaya kesehatan yang berhasil guna dan berdaya guna serta
terjangkau oleh segenap anggota masyarakat. Sasaran umum
program ini adalah tersedianya pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan baik pemerintah maupun swasta yang didukung oleh
peranserta masyarakat dan sistem pembiayaan pra upaya.
Perhatian utama diberikan pada pengembangan upaya kesehatan,
sesuai masalah setempat, yang mempunyai daya ungkit tinggi
terhadap peningkatan derajat kesehatan.

VIII 15

Sasaran yang akan dicapai adalah (1) menurunnya angka


kesakitan penyakit demam berdarah dengue (DBD) menjadi
kurang dari 5 per 100.000 penduduk; angka kesakitan malaria
menurun 75 persen dari kondisi tahun 2000; angka kesembuhan
penyakit tuberculosis (TB) paru lebih dari 85 persen; prevalensi
human immunodeficiency virus (HIV) kurang dari 1 persen;
angka kematian pneunomia balita menurun menjadi 3 per 1000;
angka kematian diare pada balita menurun menjadi 1,25 per 1000;
eliminasi penyakit kusta; pencapaian Universal Child
Immunization (UCI) 90 persen; dan eradikasi polio; serta
mencegah masuknya penyakit-penyakit baru seperti Ebola, dan
radang otak; (2) menurunnya kejadian penyakit tidak menular
seperti penyakit jantung, stroke, gangguan mental, dan kematian
akibat kecelakaan; (3) meningkatnya rasio tenaga dan fasilitas
pelayanan kesehatan dibanding penduduk; terjangkaunya 90
persen masyarakat di daerah rawan kesehatan oleh pelayanan
kesehatan; dan meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan
kesehatan; (4) meningkatnya persentase fasilitas pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan yang memenuhi standar baku mutu
(quality assurance), dan meningkatnya kepuasan masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan; (5) meningkatnya penggunaan
obat secara rasional; (6) meningkatnya cakupan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan menjadi 69,0 persen; cakupan
penanganan komplikasi kasus obstetri minimal 20 persen dari
seluruh persalinan; cakupan pembinaan kesehatan balita dan anak
usia pra-sekolah menjadi 80 persen, cakupan pelayanan antenatal,
postnatal, dan neonatal menjadi 90 persen; (7) menurunnya angka
kematian akibat perubahan kondisi matra seperti angka kematian
jemaah haji dan pengungsi; (8) berkembangnya pelaksanaan
sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa (KLB), pencegahan
dan penanggulangan bencana secara terpadu dan melibatkan
peran serta aktif masyarakat; dan (9) berkembangnya pelayanan
kesehatan rehabilitasi bagi kelompok penderita kecacatan, dan
pelayanan kesehatan bagi kelompok lanjut usia.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, arah kebijakan
program ini dituangkan dalam kegiatan pokok meliputi: (1)
meningkatkan pemberantasan penyakit menular dan imunisasi;
VIII 16

(2) meningkatkan upaya pemberantasan penyakit tidak menular;


(3) meningkatkan upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan
yang terdiri atas pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan
kesehatan rujukan; (4) meningkatkan pelayanan kesehatan
penunjang; (5) membina dan mengembangkan pengobatan
tradisional; (6) meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi;
(7)
meningkatkan
pelayanan
kesehatan
matra;
(8)
mengembangkan survailans epidemiologi; dan (9) melaksanakan
penanggulangan bencana dan bantuan kemanusiaan.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil pelaksanaan program yang dicapai pada tahun


2001 dan 2003 antara lain meliputi: (1) cakupan imunisasi
Universal Child Immunization (UCI) mencapai 72,9 persen
dan 80 persen; dan (2) cakupan pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan 68 persen dan 70 persen. Hasil pelaksanaan
program lainnya berdasarkan indikator kinerja pada tahun
2000 sampai dengan tahun 2004 dapat dilihat pada matriks
terlampir.
ii. Permasalahan dan Tantangan
Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam
pelaksanaan program ini antara lain meliputi: (1) terdapatnya
kantong-kantong endemis beberapa penyakit menular pada
daerah resiko tinggi; (2) perubahan lingkungan dan pola
penyakit; (3) terjadinya emerging diseases seperti demam
berdarah dengue (DBD), HIV/AIDS, Chikunguya, SARS,
serta penyakit-penyakit re-emerging diseases seperti
malaria dan TBC; (4) rendahnya akses masyarakat terhadap
lingkungan permukiman dan kualitas air yang memenuhi
persyaratan kesehatan sehingga menyebabkan masih
tingginya resiko dan gangguan kesehatan akibat penyebaran
penyakit menular berbasis lingkungan; (5) pemerataan dan
keterjangkauan pelayanan kesehatan masih menjadi kendala
VIII 17

karena fasilitas kesehatan seperti puskesmas belum


sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat, terutama
terkait dengan biaya dan jarak transportasi; (6) sistem
rujukan pelayanan kesehatan perorangan belum dapat
berjalan dengan optimal; (7) terbatasnya dukungan sumber
daya kesehatan, terutama kualitas dan pemerataan tenaga
kesehatan; dan (8) belum optimalnya dukungan sistem
informasi kesehatan, termasuk pencatatan dan pelaporan
terutama di daerah.
iii. Tindak Lanjut
Dengan
mempertimbangkan
permasalahan
dan
tantangan tersebut di atas, rencana tindak lanjut yang akan
ditempuh adalah melalui pelaksanan program upaya
kesehatan masyarakat, upaya kesehatan perorangan, serta
program pencegahan dan pemberantasan penyakit.
Melalui program upaya kesehatan masyarakat akan
ditempuh kegiatan antara lain: (1) menyusun kerangka
kebijakan upaya kesehatan masyarakat; (2) melaksanakan
advokasi, sosialisasi dan koordinasi upaya kesehatan
masyarakat; (3) memberikan dukungan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dasar dengan meningkatkan jangkauan
dan mutu pelayanan terutama bagi penduduk miskin dan
masyarakat rentan di daerah terpencil dan perbatasan; (4)
melaksanakan pembinaan dan fasilitasi upaya kesehatan
masyarakat; (5) melaksanakan perumusan peraturan dan
kebijakan teknis dan pembinaan pelayanan kesehatan kerja;
dan (6) meningkatkan dukungan administrasi dan operasional
program.
Sedangkan program upaya kesehatan perorangan
meliputi kegiatan antara lain: (1) menyusun kerangka
kebijakan upaya kesehatan perorangan; (2) memberikan
pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin di RS dan
pelayanan rujukan lainnya; (3) melakukan advokasi dan
sosialisasi kebijakan upaya kesehatan perorangan; (4)
VIII 18

melakukan fasilitasi dan pembinaan dalam penyelenggaraan


kegiatan upaya kesehatan perorangan; (5) melakukan kajian
dan monitoring dan evaluasi kegiatan upaya kesehatan
perorangan; (6) melengkapi sarana, prasarana dan alat UPT
vertikal; (7) memberikan bantuan/dukungan pada RS afiliasi
dan RS satelit pendidikan dan daerah terpencil dan
pemekaran; dan (8) memberikan dukungan administrasi dan
operasional program.
Selanjutnya melalui program pencegahan dan
pemberantasan penyakit, akan dilaksanakan kegiatan antara
lain: (1) menyusun kerangka kebijakan pencegahan dan
pemberantasan penyakit serta kesehatan matra; (2)
meningkatkan kemampuan pencegahan dan pemberantasan
penyakit serta kesehatan matra; (3) meningkatkan
kemampuan
kewaspadaan
dini,
investigasi
dan
penanggulangan kejadian luar biasa (KLB); (4)
meningkatkan jejaring dan kemitraan dalam pencegahan,
pemberantasan penyakit dan kesehatan matra; dan (5)
meningkatkan dukungan administrasi dan operasional
program.
1.3 Program Perbaikan Gizi Masyarakat
a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk (1) meningkatkan kemandirian


keluarga dalam upaya perbaikan status gizi; (2) meningkatkan
pelayanan gizi untuk mencapai keadaan gizi yang baik dengan
menurunkan prevalensi gizi kurang dan gizi lebih; dan (3)
meningkatkan penganekaragaman konsumsi pangan bermutu
untuk memantapkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga.
Sasaran yang akan dicapai program ini adalah (1)
menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita menjadi 20
persen; (2) menurunnya prevalensi gangguan akibat kurang
yodium (GAKY) berdasarkan total goitre rate (TGR) pada anak
VIII 19

menjadi kurang dari 5 persen; (3) menurunnya anemia gizi besi


(AGB) pada ibu hamil menjadi 40 persen, dan kurang energi
kronis (KEK) ibu hamil menjadi 20 persen; (4) tidak ditemukan
kurang vitamin A (KVA) klinis pada balita dan ibu hamil; (5)
mencegah meningkatnya prevalensi gizi lebih, menjadi kurang
dari 10 persen; (6) menurunnya prevalensi bayi berat lahir rendah;
(7) meningkatnya jumlah rumah tangga yang mengkonsumsi
garam beryodium menjadi 90 persen; (8) meningkatnya
pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif menjadi 80 persen; (9)
meningkatnya pemberian makanan pendamping ASI yang baik
mulai usia bayi 4 bulan; (10) tercapainya konsumsi gizi seimbang
dengan rata-rata konsumsi energi sebesar 2.200 kkal per kapita
per hari dan protein 50 gram per kapita per hari; dan (11)
sekurang-kurangnya 70 persen keluarga telah mandiri sadar gizi.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut di atas, arah
kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok: (1)
meningkatkan penyuluhan gizi masyarakat; (2) menanggulangi
gizi kurang dan menekan kejadian gizi buruk pada balita serta
menanggulangi KEK pada wanita usia subur termasuk ibu hamil
dan ibu nifas; (3) menanggulangi GAKY; (4) menanggulangi
anemia gizi besi; (5) menanggulangi KVA; (6) meningkatkan
penanggulangan kurang gizi mikro lainnya (misalnya calsium,
zinc, dan lain-lain); (7) meningkatkan penanggulangan gizi lebih;
(8) melaksanakan fortifikasi dan keamanan pangan; (9)
memantapkan pelaksanaan sistem kewaspadaan pangan dan gizi
(SKPG); (10) mengembangkan dan membina tenaga gizi; (11)
melaksanakan penelitian dan pengembangan gizi; (12)
melaksanakan perbaikan gizi institusi (misalnya sekolah, RS,
perusahaan, dan lain-lain); dan (13) melaksanakan perbaikan gizi
akibat dampak sosial, pengungsian, dan bencana alam.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil yang telah dicapai pelaksanaan program pada


tahun 2001 dan 2003 berdasarkan indikator kinerja antara
VIII 20

lain: (1) prevalensi gizi kurang pada balita adalah 26,1 persen
dan 27,5 persen; (2) prevalensi ibu hamil kurang energi
kronik (KEK) 20,1 persen dan 16,7 persen; (3) prevalensi ibu
hamil anemia gizi besi (AGB) 40,1 persen dan 45 persen; (4)
prevalensi balita yang mengalami kekurangan vitamin A
(KVA) 0,33 persen; (5) rumah tangga yang mengkonsumsi
garam yodium 64 persen dan 78,5 persen; dan (6) pemberian
air susu ibu (ASI) eksklusif pada bayi 0 4 bulan sebesar 52
persen dan 53 persen. Hasil pencapaian indikator kinerja
lainnya dapat dilihat pada matriks terlampir.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam


pelaksanaan program ini antara lain meliputi: (1) belum
optimalnya pelaksanaan kebijakan desentralisasi, khususnya
di bidang perbaikan gizi; (2) tingkat pendapatan sebagian
besar kelompok masyarakat yang masih rendah; dan (3)
perubahan pola makan dan pola hidup yang tidak mendukung
upaya perbaikan gizi
iii. Tindak Lanjut
Tindak lanjut yang akan dilaksanakan antara lain
meliputi: (1) menyusun kerangka kebijakan perbaikan gizi
masyarakat; (2) meningkatkan pemberdayaan keluarga; (3)
memantau dan mempromosikan pertumbuhan anak; (4)
meningkatkan
pendidikan gizi;
(5)
melaksanakan
suplementasi gizi; (6) melaksanakan fortifikasi bahan
makanan; (7) melaksanakan pelayanan gizi; (8)
melaksanakan
surveilens
gizi;
(9)
meningkatkan
penganekaragaman
konsumsi
pangan;
dan
(10)
meningkatkan dukungan administrasi dan operasional
program.

VIII 21

1.4 Program Sumber Daya Kesehatan


a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah kebijakan

Program ini bertujuan untuk (1) meningkatkan jumlah, mutu


dan penyebaran tenaga kesehatan; (2) meningkatkan jumlah,
efektifitas, dan efisiensi penggunaan biaya kesehatan; dan (3)
meningkatkan ketersediaan sarana, prasarana, dan dukungan
logistik pada sarana pelayanan kesehatan yang semakin merata,
terjangkau dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sasaran yang akan dicapai adalah: (1) tersusunnya kebijakan
dan rencana pengembangan tenaga kesehatan masyarakat dan
pemerintah di semua tingkat; (2) meningkatnya pendayagunaan
tenaga kesehatan yang ada dan pengembangan pembinaan karier
seluruh tenaga kesehatan; (3) meningkatnya fungsi lembaga
pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan yang mengutamakan
pengembangan peserta didik dalam rangka meningkatkan
profesionalisme; (4) meningkatnya persentase penduduk yang
menjadi peserta sistem pemeliharaan kesehatan dengan
pembiayaan pra upaya; (5) meningkatnya jumlah badan usaha
yang menyelenggarakan upaya sistem pembiayaan pra upaya; (6)
tersedianya jaringan pemberi pelayanan kesehatan paripurna yang
bermutu, baik pemerintah maupun swasta, sesuai dengan
kebutuhan sistem pembiayaan pra upaya; (7) meningkatnya
jumlah unit jaringan pelayanan dokter keluarga sebagai
penyelenggara pelayanan kesehatan sistem pembiayaan pra upaya
yang menyelenggarakan pelayanan paripurna dan bermutu; (8)
tersedianya peralatan kesehatan baik medik maupun non medik
yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat; dan (9)
tersedianya perbekalan kesehatan yang memadai baik jenis
maupun jumlahnya, yang sesuai dengan permasalahan setempat
dan kebutuhan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, arah kebijakan
program dituangkan dalam kegiatan pokok: (1) meningkatkan
perencanaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan; (2)
meningkatkan pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan; (3)
VIII 22

mengembangkan sistem pembiayaan pra-upaya; dan (4)


mengembangkan sarana, prasarana dan dukungan logistik
pelayanan kesehatan.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil pelaksanaan program yang telah dicapai pada


tahun 2001 dan 2003 antara lain meliputi: (1) penduduk yang
menjadi peserta sistem pembiayaan pra-upaya 20 persen dan
21,8 persen; dan (2) proporsi tenaga kesehatan dibandingkan
jumlah penduduk mencapai 85,64 per 100.000 penduduk dan
120,46 per 100.000 penduduk. Hasil pencapaian indikator
kinerja lainnya dapat dilihat pada matriks terlampir.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam


pelaksanaan program antara lain meliputi: (1) rendahnya
kualitas tenaga kesehatan; (2) belum optimalnya pelaksanaan
kebijakan pemerataan dan pendayagunaan tenaga kesehatan.
Hal ini terlihat dari rasio tenaga kesehatan dengan penduduk
yang masih jauh dari target dan variasi antar daerah masih
ada kesenjangan; (3) perencanaan sumber daya tenaga
kesehatan selama ini masih dilakukan berdasarkan kebutuhan
pemerintah, belum mengakomodasi kebutuhan dan potensi
masyarakat, serta kurang berorientasi pada paradigma sehat,
globalisasi serta kebutuhan spesifik daerah; (4) sistem
penempatan, penghargaan dan sanksi serta peningkatan karier
belum tertata dengan baik; (5) pendidikan dan pelatihan
tenaga kesehatan belum menghasilkan lulusan yang sesuai
dengan kebutuhan, dan (6) sistem informasi sumber daya
manusia kesehatan masih terfragmentasi sehingga belum
mendukung perencanaan, pendayagunaan dan pengadaan
tenaga kesehatan.

VIII 23

iii. Tindak Lanjut


Tindak lanjut yang diperlukan antara lain adalah: (1)
menyusun kerangka kebijakan sumber daya kesehatan dan
organisasi profesi; (2) meningkatkan perencanaan dan
pendayagunaan tenaga kesehatan melalui penetapan jenis,
jumlah dan kualifikasi tenaga kesehatan sesuai dengan
kebutuhan
pembangunan
kesehatan,
pemerataan,
pemanfaatan di dalam dan luar negeri dan pembinaan SDM
kesehatan; (3) meningkatkan mutu pendidikan dan pelatihan
SDM kesehatan melalui penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan tenaga kesehatan sesuai dengan jenis, jumlah dan
kualifikasi yang dibutuhkan; (4) mengembangkan sistem
pembiayaan dan jaminan pemeliharaan kesehatan; dan (5)
meningkatkan dukungan administrasi dan operasional
program.

1.5 Program Obat, Makanan, dan Bahan Berbahaya


a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah: (1) melindungi masyarakat dari


bahaya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, psikotropika,
narkotika, zat adiktif (NAPZA) dan bahan berbahaya lainnya; (2)
melindungi masyarakat dari penggunaan sediaan farmasi,
makanan dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan
mutu dan keamanan; (3) menjamin ketersediaan, keterjangkauan
dan pemerataan obat yang bermutu yang dibutuhkan masyarakat;
dan (4) meningkatkan potensi daya saing industri farmasi
terutama yang berbasis sumber daya alam dalam negeri.
Sasaran program ini adalah (1) terkendalinya penyaluran obat
dan NAPZA; (2) teramankannya masyarakat dari penyalahgunaan
dan kesalahgunaan obat dan narkoba; (3) dicegahnya
penyalahgunaan NAPZA; (4) dicegahnya resiko atau akibat
samping penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai dampak
pengelolaan yang tidak memenuhi syarat; (5) terjaminnya mutu
VIII 24

produk farmakes yang beredar; (6) terhindarnya masyarakat dari


informasi penggunaan farmakes yang tidak objektif dan
menyesatkan; (7) tercapainya tujuan medis penggunaan obat
secara efektif dan aman sekaligus efisiensi pembiayaan obat; (8)
diterapkannya Good Regulatory Practice; (9) terlaksananya Good
Management Practice (GMP) melalui peningkatan pelayanan
perizinan/registrasi yang profesional dan tepat waktu; (10)
terakuinya kemampuan pengujian PPOM/BPOM dalam sistem
Akreditasi Internasional; (11) meningkatnya potensi daya saing
industri nasional menghadapi globalisasi; (12) terjaminnya mutu
sarana cara produksi obat yang baik (CPOB), pengadaan dan
penyaluran produk farmasi dan alat kesehatan (farmakes) yang
beredar; (13) terjaminnya kecukupan obat esensial generik bagi
pelayanan kesehatan dasar di sektor publik; dan (14) terjaminnya
mutu pengelolaan obat di kabupaten/kota dalam rangka
desentralisasi.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran program, kebijakan
program diarahkan melalui kegiatan pokok yaitu: (1)
meningkatkan pengamanan bahaya penyalahgunaan dan
kesalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, zat adiktif, dan
bahan berbahaya yang lain; (2) meningkatkan pengamanan dan
pengawasan makanan dan bahan tambahan makanan (BTM); (3)
meningkatkan pengawasan obat, obat tradisional, kosmetika dan
alat kesehatan termasuk pengawasan terhadap promosi/iklan; (4)
meningkatkan penggunaan obat rasional; (5) menerapkan obat
esensial; (6) mengembangkan obat asli Indonesia; (7) membina
dan mengembangkan industri farmasi; (8) meningkatkan mutu
pengujian laboratorium pengawasan obat dan makanan (POM);
(9) mengembangkan standar mutu obat dan makanan; dan (10)
mengembangkan sistem dan layanan informasi POM.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil pelaksanaan program antara lain meliputi: (1)


pengamanan terhadap bahaya penyalahgunaan dan
VIII 25

kesalahgunaan obat, narkotika, psikotropika dan zat adiktif


(NAPZA) mencapai 100 persen dari kasus yang diproses
pada tahun 2003; (2) pemeriksaan terhadap 65 persen sarana
produksi dan distribusi farmakes dalam rangka Good
Management Practice (GMP) tahun 2003; (3) penerapan
konsepsi
obat
esensial
(Daftar
Obat
Esensial
Nasional/DOEN) sebagai instrumen untuk mengendalikan
penggunaan obat yang lebih rasional dan cost effective; (4)
penetapan daftar obat dan harga patokan tertinggi obat
pelayanan kesehatan dasar sebagai pedoman bagi
kabupaten/kota dalam pengadaan obat; dan (5) pengadaan
buffer stock obat generik essensial untuk menanggulangi
kekosongan obat di kabupaten/kota akibat bencana alam,
kerusuhan sosial, wabah dan sebagainya. Di samping itu pada
tahun 2003 melalui program kompensasi pengurangan
subsidi bahan bakar minyak (PKPS-BBM) telah
direalisasikan pengadaan obat untuk keluarga miskin. Hasil
pelaksanaan program berdasarkan indikator kinerja dapat
dilihat pada matriks pencapaian indikator kinerja.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam


pelaksanaan program antara lain meliputi: (1) ketersediaan,
mutu, keamanan obat dan perbekalan kesehatan masih belum
optimal serta belum dapat dijangkau dengan mudah oleh
masyarakat; (2) obat asli Indonesia (OAI) belum sepenuhnya
dikembangkan dengan baik meskipun potensi yang dimiliki
sangat besar; (3) lemahnya dukungan peraturan perundangundangan dalam pengawasan obat dan makanan; (4)
terbatasnya kemampuan sumber daya manusia; dan (5)
belum optimalnya standardisasi, penilaian hasil penelitian
produk, pengawasan obat tradisional, kosmetik, produk
terapetik/obat, dan sistem informasi.

VIII 26

iii. Tindak Lanjut


Tindak lanjut yang diperlukan antara lain meliputi upaya
peningkatan program obat dan perbekalan kesehatan,
pengawasan obat dan makanan, serta pengembangan obat asli
Indonesia.
Melalui program obat dan perbekalan kesehatan,
kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain meliputi: (1)
menyusun kerangka kebijakan obat dan perbekalan
kesehatan; (2) menerapkan penggunaan obat esensial melalui
pengembangan, monitoring dan evaluasi daftar obat esensial
secara berkala, serta merevitalisasi pemasyarakatan konsepsi
obat esensial generik pada fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah maupun swasta; (3) meningkatkan penggunaan
obat rasional antara lain mencakup pengembangan dan
penerapan pedoman pengobatan yang rasional di berbagai
tingkat pelayanan, pemberdayaan komite farmasi dan terapi
di rumah sakit serta pendidikan dan pelatihan; (4)
melaksanakan pengadaan buffer stock obat dan perbekalan
kesehatan sangat esensial untuk pelayanan kesehatan dasar,
obat-obatan jangka panjang yang tidak terjangkau oleh daya
beli masyarakat dan orphan drugs (obat-obatan langka)
serta memfasilitasi daerah dalam penyediaan obat-obatan,
alat-alat medis, peralatan terapi medis dan perbekalan
kesehatan; (5) meningkatkan kemampuan manajemen
pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan di
pelayanan
kesehatan
dasar;
(6)
meningkatkan
profesionalisme tenaga farmasi melalui pelaksanaan jabatan
fungsional
apoteker
dan
asisten
apoteker;
(7)
memberdayakan masyarakat dalam penggunaan obat, alat
kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga melalui
komunikasi, informasi dan edukasi terhadap resiko
penggunaan produk yang tidak memenuhi persyaratan; (8)
membina dan mengembangkan industri farmasi nasional; (9)
membina dan mengembangkan standar mutu obat, obat
tradisional, kosmetika, alat kesehatan, perbekalan kesehatan,
produk komplemen dan produk pangan; dan (10)
VIII 27

meningkatkan
program.

dukungan

administrasi

dan

operasional

Melalui program pengawasan obat dan makanan,


kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain meliputi: (1)
menyusun kerangka kebijakan di bidang pengawasan obat
dan makanan; (2) meningkatkan kinerja evaluasi produk
sebelum beredar; (3) meningkatkan efektifitas upaya inspeksi
melalui pengambilan sampling dan pengujian laboratorium
produk beredar, termasuk penegakan hukumnya; (4)
memantapkan pelaksanaan sistem monitoring label dan iklan
produk beredar, termasuk rokok; (5) memantapkan dan
menerapkan sistem standar dan regulasi terkini di bidang
obat dan makanan termasuk bahan berbahaya lainnya; (6)
memantapkan dan menerapkan sistem jamian mutu
laboratorium di lingkungan Badan POM; (7) meningkatkan
efektifitas pelaksanaan surveilan keamanan pangan, kosmetik
dan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) termasuk
monitoring harga obat; (8) memantapkan pelaksanaan
investigasi, dan memperkokoh jaringan kerjasama lintas
sektor dalam pemberantasan obat palsu dan produk illegal,
termasuk penanggulangan penyalahgunaan narkotika,
psikotropika, prekursor, serta penertiban peredaran obat
keras; (9) mengembangkan sistem informasi obat dan
makanan termasuk informasi keracunan dan sistem layanan
pengaduan konsumen; (10) meningkatkan profesionalisme
SDM dan menerapkan proses pembelajaran dalam organisasi
yang berkelanjutan; (11) meningkatkan komunikasi,
informasi, dan edukasi masyarakat terhadap resiko
penggunaan produk yang tidak memenuhi persyaratan; (12)
meningkatkan sarana dan prasarana kerja yang semakin
lengkap mendukung lingkungan kerja yang kondusif; (13)
meningkatkan manajemen dan dasar hukum operasional
POM; (14) meningkatkan kompetensi aparatur pemerintah
daerah di bidang pengawasan produk obat dan makanan yang
beredar; dan (15) meningkatkan dukungan administrasi dan
operasional program.

VIII 28

Melalui program pengembangan obat asli Indonesia,


kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain meliputi: (1)
menyusun kerangka kebijakan pengembangan obat asli
Indonesia; (2) mendorong dan memfasilitasi pengembangan
dan penelitian tanaman obat unggulan mulai dari uji preklinik termasuk toksisitas, uji klinis dan pengembangan
formulasi produk jadi; (3) memperkokoh jaringan kerjasama
antar lembaga penelitian dan industri terkait; (4)
mengembangkan monografi dan standar mutu, baik simplisia
maupun ekstraknya termasuk penyusunan farmakope herbal
Indonesia; (5) mengembangkan data base tanaman obat
mencakup survey etno-farmacognosi, pemetaan budidaya
tanaman obat serta penggunaan simplisia; (6) meningkatkan
promosi pemanfaatan obat bahan alam Indonesia; dan (7)
meningkatkan dukungan administrasi dan operasional
program.
1.6 Program Kebijakan
Kesehatan
a.

dan

Manajemen

Pembangunan

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah agar penyelenggaraan upaya


kesehatan sesuai dengan tujuan, kebijakan, dan strategi yang telah
ditetapkan. Untuk itu dibutuhkan kebijakan dan manajemen
sumberdaya yang efektif dan efisien yang didukung oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan, sehingga dapat tercapai
pelayanan kesehatan yang merata dan berkualitas. Sumberdaya
tersebut terdiri dari sumberdaya tenaga, pembiayaan, fasilitas,
ilmu pengetahuan, teknologi serta informasi. Sumberdaya yang
mendukung tercapainya tujuan, kebijakan, dan strategi tersebut
berasal dari pemerintah dan masyarakat termasuk swasta.
Sasaran yang akan dicapai adalah (1) terciptanya kebijakan
kesehatan yang menjamin tercapainya sistem kesehatan yang
efisien, efektif, berkualitas, dan berkesinambungan; (2)
terciptanya kebijakan kesehatan yang mendukung reformasi
VIII 29

bidang kesehatan; (3) tersedianya sumberdaya manusia di bidang


kesehatan yang mampu melakukan berbagai kajian kebijakan
kesehatan; (4) berjalannya sistem perencanaan kesehatan melalui
pendekatan wilayah dan sektoral dalam mendukung
desentralisasi; (5) terciptanya organisasi dan tatalaksana di
berbagai tingkat administrasi sesuai dengan azas desentralisasi
dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik; (6) tertatanya
administrasi keuangan dan perlengkapan yang efisien dan
fleksibel di seluruh jajaran kesehatan; (7) terciptanya mekanisme
pengawasan pengendalian di seluruh jajaran kesehatan; (8)
tersusunnya berbagai perangkat hukum di bidang kesehatan
secara menyeluruh; (9) terlaksananya inventarisasi, kajian dan
analisis secara akademis seluruh perangkat hukum yang berkaitan
dengan penyelenggaraan upaya kesehatan; (10) tersedianya
perangkat hukum guna dilaksanakannya proses legislasi dan
mitigasi dalam penyelesaian konflik hukum bidang kesehatan;
(11) tersedianya informasi kesehatan yang akurat, tepat waktu,
dan lengkap sebagai bahan dalam proses pengambilan keputusan
dalam pengelolaan pembangunan kesehatan, serta menyediakan
informasi untuk perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi
program kesehatan dan meningkatkan kewaspadaan di semua
tingkat administrasi; dan (12) tersusunnya kebijakan dan konsep
pengelolaan program mendukung desentralisasi.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran program, arah kebijakan
program dituangkan dalam kegiatan pokok: (1) mengembangkan
kebijakan program kesehatan; (2) mengembangkan manajemen
pembangunan kesehatan; (3) mengembangkan hukum kesehatan,
termasuk penyempurnaan UU No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan dan penyusunan RUU tentang Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat serta RUU tentang Praktek Kedokteran;
(4) mengembangkan sistem informasi kesehatan; dan (5)
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.

VIII 30

b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil pelaksanaan program yang telah dicapai pada


tahun 2001 dan tahun 2003 antara lain meliputi: (1)
penetapan peraturan perundangan yang menjadi kebijakan
program kesehatan sebanyak 62 peraturan dan 56 peraturan;
(2) penelitian bidang kesehatan sebanyak 221 penelitian dan
199 penelitian, antara lain mencakup studi kebijakan,
penelitian bidang pelayanan teknologi kesehatan, bidang
pemberantasan penyakit menular, bidang ekologi, bidang
farmasi dan obat tradisional, bidang gizi dan makanan, survei
kesehatan nasional, riset operasional
intensifikasi
pemberantasan penyakit menular, riset pembinaan kesehatan;
dan (3) publikasi ilmiah hasil penelitian sebanyak 103 dan
174 artikel. Hasil pencapaian indikator lainnya dapat dilihat
pada matriks.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam


pelaksanaan program ini antara lain: (1) belum optimalnya
pelaksanaan kebijakan dan manajemen pembangunan
kesehatan pada era desentralisasi dan otonomi daerah (2)
kurangnya sinkronisasi kegiatan antara pusat dan daerah; (3)
terbatasnya dukungan sumber daya kesehatan terutama dalam
perencanaan, sistem informasi, dan terbatasnya pemahaman
terhadap peraturan perundangan serta struktur organisasi
kesehatan. Rendahnya pembiayaan kesehatan menjadi salah
satu faktor yang menghambat percepatan peningkatan derajat
kesehatan. Pembiayaan kesehatan di Indonesia selama 10
tahun rata-rata 2,2 persen dari PDB, hal ini masih jauh dari
anjuran WHO yakni 5 persen dari PDB; (4) belum
optimalnya pemanfaatan hasil penelitian; dan (5)
pengembangan sistem informasi dan manajemen kesehatan
masih terfragmentasi, terutama di tingkat daerah.

VIII 31

iii. Tindak Lanjut


Tindak lanjut yang diperlukan antara lain meliputi: (1)
mengembangkan kebijakan melalui pengkajian kebijakan,
peningkatan kemampuan tenaga dan kelembagaan; (2)
mengembangkan manajemen pembangunan kesehatan
melalui penyusunan sistem perencanaan dan penganggaran,
pelaksanaan
dan
pengendalian,
pengawasan
dan
penyempurnaan administrasi keuangan; (3) melaksanakan
perumusan peraturan perundang-undangan, pelayanan
pertimbangan dan bantuan hukum serta pembinaan organisasi
dan tata laksana; (4) melaksanakan penyusunan dan evaluasi
akuntabilitas kelembagaan; (5) mengembangkan sistem
informasi kesehatan melalui pengaturan sistem informasi
yang komprehensif dan pengembangan jaringan kerjasama;
(6) meningkatkan dukungan administrasi dan operasional
program; (7) menyusun kerangka kebijakan penelitian dan
pengembangan kesehatan (litbangkes); (8) melakukan
penelitian dan pengembangan perilaku dan pemberdayaan
masyarakat, lingkungan sehat serta gizi dan makanan; (9)
melakukan pengembangan manajemen litbangkes; (10)
melakukan penelitian dan pengembangan kebijakan dan
manajemen pembangunan kesehatan; (11) menyebarluaskan
hasil litbangkes; (12) meningkatkan sumber daya tenaga
peneliti; (13) mengembangkan sarana dan prasarana
penelitian; dan (14) meningkatkan dukungan administrasi
dan operasional program.
1.7 Program Pengembangan Potensi Kesejahteraan Sosial
a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah untuk mengembangkan kesadaran,


kemampuan, tanggung jawab, dan peran aktif masyarakat dalam
menangani permasalahan sosial di lingkungannya, serta
memperbaiki kualitas hidup, dan kesejahteraan penyandang
masalah kesejahteraan sosial.
VIII 32

Sasaran kinerja program ini adalah: (1) terpenuhinya hak-hak


anak untuk tumbuh kembang; (2) terlindunginya anak, lanjut usia,
dan perempuan dari tindak kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan
salah; (3) tersedianya pelayanan sosial dan kemudahan untuk
mengakses fasilitas umum bagi penduduk lanjut usia, veteran, dan
penyandang cacat; (4) meningkatnya kemampuan penyandang
cacat agar dapat melakukan fungsi sosialnya secara layak dan
menjadi sumber daya manusia yang produktif; (5) terlindunginya
hak-hak penyandang cacat ganda untuk hidup secara wajar; (6)
terpeliharanya nilai-nilai kearifan penduduk lanjut usia dan
veteran secara berkesinambungan pada generasi muda dan
masyarakat umum; (7) pulih, terbebas, dan berdayanya anak
nakal dan korban narkotika dari kenakalan dan penyalahgunaan
narkoba; (8) pulihnya kemauan dan kemampuan tuna susila untuk
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar; (9) mandirinya fakir
miskin dan kelompok rentan sebagai sumber daya produktif; (10)
meningkatnya kemampuan masyarakat termasuk dunia usaha
untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam penyelamatan
penyandang masalah sosial, korban akibat bencana, termasuk
korban kerusuhan sosial, dan warga masyarakat yang bermukim
di daerah rawan bencana; (11) meningkatnya pendayagunaan
potensi dan sumber-sumber sosial masyarakat dalam mencegah
dan menangani permasalahan sosial; dan (12) dikembangkannya
program jaminan, perlindungan, dan asuransi sosial.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) memberdayakan anak terlantar termasuk anak
jalanan; (2) menyebarkan informasi tentang hak-hak anak serta
perlindungan sosial bagi anak perempuan dan lanjut usia yang
diperlakukan salah; (3) menetapkan peraturan perundangundangan dan menyediakan kemudahan akses pelayanan sosial
dan fasilitas umum bagi lanjut usia, veteran, dan penyandang
cacat; (4) memberikan santunan bagi lanjut usia dan veteran; (5)
melakukan rehabilitasi dan perlindungan sosial bagi penyandang
cacat; (6) melakukan rehabilitasi sosial bagi anak nakal dan
korban penyalahgunaan narkotika; (7) melakukan rehabilitasi
sosial bagi tuna sosial; (8) memberdayakan perempuan rawan
sosial ekonomi, keluarga miskin, dan komunitas adat terpencil;
VIII 33

(9) memberikan bantuan bagi korban bencana baik bencana alam


maupun akibat ulah manusia; (10) meningkatkan jumlah dan
kemampuan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat (TKSM),
relawan sosial, organisasi sosial kemasyarakatan, LSM, karang
taruna, organisasi kepemudaan, lembaga-lembaga perlindungan
sosial, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, dan kelompokkelompok tingkat lokal; (11) melakukan penyuluhan sosial bagi
masyarakat dan dunia usaha; (12) memberikan penghargaan bagi
pihak-pihak yang berperan aktif menyelenggarakan pelayanan
sosial; (13) meningkatkan sumbangan sosial masyarakat; dan (14)
mengembangkan program jaminan, perlindungan, dan asuransi
kesejahteraan sosial.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil yang telah dicapai selama kurun waktu 2001-2004


adalah: (1) pemberdayaan bagi sekitar 204,1 ribu anak
terlantar dan 149,4 ribu anak jalanan; (2) rehabilitasi dan
perlindungan sosial bagi sekitar 63 ribu penyandang cacat
atau hanya sekitar 17 persen dari estimasi tahun 2002, yaitu
sekitar 367 ribu orang; (3) pemberdayaan bagi sekitar 340,9
ribu KK keluarga fakir miskin dari sekitar 16,7 juta jiwa fakir
miskin dan 20,2 ribu Komunitas Adat Terpencil (KAT),
melalui upaya kelompok usaha bersama (KUBE) dan
pemberdayaan KAT; (4) rehabilitasi tuna sosial bagi sekitar
10,6 ribu orang, yang terdiri dari wanita tuna susila,
gelandangan, pengemis, dan bekas narapidana; (5)
rehabilitasi sosial bagi sekitar 9,4 ribu anak nakal dan korban
penyalahgunaan narkotika; (6) sekitar 1 juta pengungsi dari
1,2 juta jiwa (Bakornas PBP 2002) mendapatkan bantuan
tanggap darurat, dan sekitar 9 ribu KK mendapatkan bantuan
pemulangan ke daerah asal dan sebagian kebutuhan sarana
perumahan; (7) sekitar 48,9 ribu orang lanjut usia terlantar
mendapatkan bantuan pelayanan kesejahteraan sosial; (8)
sekitar 18 ribu TKSM, 3 ribu orsos dan LSM, dan 4 ribu
Karang
Taruna
terlibat
dalam
pencegahan
dan
VIII 34

penanggulangan masalah-masalah sosial; dan (9) pengkajian


pengembangan dan uji coba program jaminan, perlindungan,
dan asuransi kesejahteraan sosial.
Selain itu telah pula dilakukan sosialisasi mengenai hakhak anak, dan perlindungan bagi perempuan, anak, dan
pekerja migran korban tindak kekerasan, memberikan
bantuan sosial bagi korban tindak kekerasan, melakukan
penyuluhan sosial kepada masyarakat dan dunia usaha, dan
membantu pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan
dan kejuangan.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam


pelaksanaan program adalah: (1) belum akuratnya populasi
anak terlantar dan anak jalanan, serta adanya pola musiman,
berpengaruh terhadap terjadinya fluktuasi yang besar
terutama pada event-event tertentu yang menyulitkan
pendataan dan penanganannya; (2) data tentang jumlah
penyandang cacat yang mandiri belum optimal, di samping
belum tersedianya fasilitas dan tenaga rehabilitasi yang
memadai; (3) jumlah dan kemampuan tenaga kerja sosial
masyarakat (TKSM) dan relawan sosial lainnya belum
memadai dalam menangani permasalahan sosial termasuk
tenaga pelayanan sosial bagi KAT; (4) entry-barrier yang
tinggi dari penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS)
menjadi penghambat utama dalam penanganan masalah
rehabilitasi wanita tuna susila, gelandangan dan pengemis,
dan bekas narapidana; (5) rehabilitasi sosial bagi anak nakal
dan korban penyalahgunaan narkotika memerlukan waktu
yang relatif lama dan ancaman re-lapse tetap tinggi setelah
direhabilitasi; (6) sulitnya memprediksi waktu kejadian yang
terkait dengan masalah bencana, belum tertatanya sistem
pendataan dan informasi kejadian bencana alam dan sosial,
dan terbatasnya SDM untuk pelaksanaan kegiatan tanggap
darurat; (7) kurangnya koordinasi yang lebih baik antara
instansi terkait dan dunia usaha, dalam pemberian bantuan
VIII 35

kesejahteraan sosial bagi lansia terlantar; (8) lemahnya


jaringan kerja antara TKSM, orsos, LSM, dan Karang
Taruna; dan (9) belum ditemukannya model perlindungan
sosial dalam bentuk asuransi sosial yang dapat bertahan dan
berkembang (sustainable) bagi penduduk miskin.
iii. Tindak Lanjut
Tindak lanjut yang diperlukan antara lain adalah: (1)
pendataan yang sistematis dan berkelanjutan mengenai
jumlah dan kondisi anak terlantar dan anak jalanan serta pola
dan fluktuasinya; (2) pendataan jumlah penyandang cacat
baik yang belum mandiri maupun sudah mandiri dan
penintegrasian mekanisme pendataan dengan sistem survai
dan sensus nasional, serta peningkatan ketersediaan fasilitas
dan tenaga rehabilitasi yang memadai bagi penyandang cacat
di semua propinsi; (3) peningkatan jumlah dan kemampuan
tenaga kerja sosial masyarakat (TKSM) dan relawan sosial
lainnya terutama untuk memberikan pelayanan sosial bagi
KAT; (4) peningkatan sosialisasi, KIE, dan konseling
mengenai pelayanan rehabilitasi sosial terutama pada
komunitas dan keluarga yang dekat dengan target rehabilitasi
(wanita tuna susila, gelandangan dan pengemis) dan
sosialisasi re-integrasi dan de-stigmatisasi kepada masyarakat
mengenai bekas narapidana; (5) peningkatan kerjasama
dengan organisasi sosial, keagamaan, dan kesehatan dalam
penyelenggaraan rehabilitasi sosial bagi anak nakal dan
korban penyalahgunaan narkotika, dan peningkatan sarana
dan tenaga rehabilitasi; (6) pengembangan sistem data dan
informasi terutama mengenai waktu kejadian bencana
terutama bencana alam agar dapat menyediakan data dan
informasi secara akurat dan up-to-date, dan pelatihan SDM
cadangan pada semua propinsi untuk pelaksanaan kegiatan
tanggap darurat bencana alam dan sosial; (7) peningkatan
koordinasi dengan Departemen Kesehatan, LSM, dan dunia
usaha, dalam pemberian bantuan kesejahteraan sosial bagi
lansia terlantar dan peningkatan promosi gerakan
kesetiakawanan sosial; (8) fasilitasi upaya penguatan jaringan
VIII 36

kerja TKSM, orsos, LSM, dan Karang Taruna; dan (9)


pengembangan model perlindungan sosial dalam bentuk
asuransi sosial yang dapat bertahan dan berkembang
(sustainable) bagi penduduk miskin.
1.8 Program
Peningkatan
Kualitas
Profesionalisme Pelayanan Sosial
a.

Manajemen

dan

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dan


profesionalisme pelayanan sosial melalui pengembangan
alternatif-alternatif intervensi di bidang kesejahteraan sosial,
peningkatan kemampuan dan kompetensi pekerja sosial dan
tenaga kesejahteraan sosial masyarakat, serta penetapan
standardisasi dan legislasi pelayanan sosial.
Sasaran kinerja program ini adalah: (1) terumuskannya
alternatif intervensi pelayanan sosial; (2) meningkatnya
kemampuan dan kompetensi pekerja sosial dan tenaga
kesejahteraan
sosial
masyarakat;
(3)
meningkatnya
pendayagunaan tenaga-tenaga terdidik dan terlatih dalam
menyelenggarakan pelayanan sosial; (4) tersedianya data dan
informasi kesejahteraan sosial; dan (5) terumuskannya
standardisasi legislasi pelayanan sosial.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) melakukan penelitian dan pengembangan
kesejahteraan sosial; (2) melakukan perencanaan, pendayagunaan,
pelatihan, dan pendidikan tenaga kesejahteraan sosial; (3)
menyusun standardisasi pelayanan sosial; (4) meningkatkan
kualitas tenaga dan lembaga pelayanan sosial; (5)
mengembangkan sistem informasi kesejahteraan sosial; dan (6)
mengembangkan sistem legislasi kesejahteraan sosial.

VIII 37

b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil yang telah dicapai selama kurun waktu 2001-2004


adalah: (1) sekitar 17 ribu TKSM, 3 ribu orsos dan LSM, dan
4 ribu Karang Taruna mendapatkan peningkatan kemampuan
dalam hal pencegahan dan penanggulangan masalah-masalah
sosial; (2) 20 penelitian telah dirampungkan dan
diaplikasikan dalam bentuk model pelayanan kesejahteraan
sosial termasuk model manajemen, bantuan dan rehabilitasi
sosial; (3) data dan informasi perkiraan dan berdasarkan studi
telah dapat diakses masyarakat namun masih terbatas pada
media tertentu; dan (4) 5 naskah peraturan perundangundangan bidang kesejahteraan sosial telah disusun dalam
rangka penyesuaian dengan kebutuhan penanganan masalahmasalah sosial yang tidak diskriminatif.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam


pelaksanaan program antara lain adalah: (1) terbatasnya
tenaga pelatih/pengajar yang memiliki kualifikasi dan
kualitas tinggi, serta terbatasnya sarana dan fasilitas untuk
mendukung peningkatan kemampuan TKSM, orsos, LSM,
dan Karang Taruna dalam hal pencegahan dan
penanggulangan masalah-masalah sosial; (2) terbatasnya
media informasi yang dapat diakses masyarakat luas
terutama penduduk miskin dan dukungan dunia usaha di
bidang media massa; dan (3) dinamika permasalahan sosial
di masyarakat belum dapat diikuti dengan ketentuan
peraturan perundangan sebagai penunjang perangkat hukum
yang melindungi PMKS.
iii. Tindak Lanjut
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka tindak lanjut
yang diperlukan adalah: (1) peningkatan jumlah tenaga
VIII 38

pelatih/pengajar dengan kualitas tinggi dan peningkatan


sarana dan fasilitas untuk mendukung peningkatan
kemampuan TKSM, orsos, LSM, dan Karang Taruna dalam
hal pencegahan dan penanggulangan masalah-masalah sosial;
(2) peningkatan koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah
daerah dalam rangka pengembangan model pada skala yang
lebih besar hingga skala nasional; (3) peningkatan cakupan
dan pilihan media informasi yang dapat diakses masyarakat
luas terutama penduduk miskin dan sosialisasi dan promosi
pada dunia usaha di bidang media massa dalam rangka
peningkatan dukungannya; dan (4) peningkatan koordinasi
dengan instansi pemerintah, LSM, dan anggota legislatif
yang terkait dalam rangka percepatan proses penyusunan
perundang-undangan bidang kesejahteraan sosial yang sesuai
dengan kebutuhan penanganan masalah-masalah sosial yang
tidak diskriminatif.
1.9 Program Pengembangan Keserasian Kebijakan Publik Dalam
Penanganan Masalah-masalah Sosial
a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk mewujudkan keserasian


kebijakan publik dalam penanganan masalah-masalah sosial ke
arah terwujudnya ketahanan sosial masyarakat dan terlindunginya
masyarakat dari dampak penyelenggaraan pembangunan dan
perubahan sosial yang cepat melalui wadah jaringan kerja.
Sasaran kinerja program adalah terumuskannya dan
terlaksananya kebijakan penanganan masalah-masalah sosial
dalam keselarasan antara pemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat melalui wadah jaringan kerja.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) melakukan identifikasi dan inventarisasi data
dan informasi mengenai masalah-masalah sosial; (2) melakukan
pengkajian dan analisis data dan informasi mengenai masalahVIII 39

masalah sosial; (3) merumuskan besaran masalah dalam


penanganan masalah-masalah sosial; (4) melakukan pengkajian
kebijakan publik dalam penanganan masalah-masalah sosial; (5)
menyampaikan rekomendasi kebijakan publik pada instansi yang
terkait: (6) merumuskan kebijakan publik dalam penanganan
masalah-masalah sosial; (7) melaksanakan kebijakan publik dan
melakukan sosialisasi kebijakan publik dalam penanganan
masalah-masalah sosial; dan (8) melakukan pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan kebijakan publik dalam penanganan
masalah-masalah sosial.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil yang telah dicapai selama kurun waktu 2001-2004


adalah: (1) identifikasi, inventarisasi, dan analisis data dan
informasi masalah-masalah sosial; (2) pengkajian dan
perumusan besaran masalah dalam penanganan masalahmasalah sosial; dan (3) pengkajian dan perumusan kebijakan
publik dalam penanganan masalah-masalah sosial, antara lain
tentang diskriminasi, pelestarian nilai-nilai sosial, jaminan
sosial masyarakat, peningkatan kesadaran masyarakat
mengenai masalah kenakalan remaja dan perlindungan hak.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam


pelaksanaan program adalah: (1) bervariasinya data dan
informasi masalah-masalah sosial sehingga menyulitkan
dalam inventarisasi dan analisis kebijakan; dan (2) sulitnya
perumusan kebijakan publik dalam penanganan masalahmasalah sosial yang dipengaruhi oleh perubahan
ketatanegaraan dan perkembangan permasalahan sosial.

VIII 40

iii. Tindak Lanjut


Tindak lanjut yang diperlukan adalah: (1) penetapan
sumber-sumber data dan informasi masalah-masalah sosial
yang resmi guna memudahkan inventarisasi dan analisis data
dan informasi; (2) penetapan kriteria dan batasan dalam
perumusan besaran masalah-masalah sosial melalui
kesepakatan bersama dalam koordinasi lintas instansi dan
wilayah; dan (3) peningkatan kerjasama dengan instansi
pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta LSM terkait
dalam perumusan kebijakan publik dalam penanganan
masalah-masalah sosial secara terpadu.
1.10 Program Pengembangan Sistem Informasi Masalah-masalah
Sosial
a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis data dan


informasi yang diperlukan untuk bahan penentuan kebijakan
masalah-masalah sosial, membangun sistem informasi yang
diperlukan sebagai alat peringatan dini, dan meningkatkan fungsi
dan koordinasi jaringan informasi kelembagaan dalam upaya
pembentukan keterpaduan pengendalian masalah-masalah sosial.
Sasaran kinerja program adalah: (1) tersusunnya sistem
pengelolaan data dan informasi masalah-masalah sosial; (2)
terwujudnya mekanisme penyelenggaraan sistem informasi
masalah-masalah sosial; dan (3) teridentifikasinya berbagai
indikator strategis masalah-masalah sosial.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) mengembangkan sistem informasi masalah
sosial; (2) membangun pusat informasi dan layanan masyarakat;
dan (3) melakukan pengkajian masalah laten bangsa.

VIII 41

b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil yang telah dicapai selama kurun waktu 2001-2004


adalah: (1) pengembangan sistem informasi masalah-masalah
sosial; (2) pembangunan pusat informasi dan layanan
masyarakat; dan (3) pengkajian masalah laten bangsa.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam


pelaksanan program adalah: (1) terbatasnya jumlah SDM
yang memiliki kompetensi untuk mendukung pembangunan
dan pemeliharaan, serta manajemen pusat informasi dan
layanan masyarakat; dan (2) masih lemahnya koordinasi
lintas sektor dan lintas wilayah dalam mengkaji masalahmasalah laten bangsa.
iii. Tindak Lanjut
Tindak lanjut yang diperlukan adalah: (1) penyusunan
kriteria PMKS dan indikator kinerja penanganan masalahmasalah sosial yang baku, terutama dalam hal kemiskinan,
kecacatan, keterlantaran, dan ketuna-sosialan dengan
melibatkan instansi pemerintah pusat dan daerah serta LSM
terkait agar tercapai kesepakatan bersama dapat lebih mudah
diaplikasikan di lapangan/daerah; (2) peningkatan jumlah
SDM dengan kompetensi yang sesuai dan memadai untuk
mendukung pembangunan dan pemeliharaan dan manajemen
pusat informasi dan layanan masyarakat; dan (3) peningkatan
koordinasi lintas sektor dan lintas wilayah dalam pengkajian
dan perumusan kebijakan penanganan masalah-masalah laten
bangsa.

VIII 42

1.11 Program Pengembangan


Kependudukan
a.

dan

Keserasian

Kebijakan

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk mewujudkan keserasian


kebijakan kependudukan di berbagai bidang pembangunan.
Sasaran kinerja program ini adalah (1) terumuskannya dan
terlaksananya kebijakan kependudukan bagi peningkatan
kualitas, pengendalian pertumbuhan dan kuantitas, pengarahan
mobilitas dan persebaran penduduk yang serasi dengan daya
dukung alam dan daya tampung lingkungan, serta pengembangan
informasi dan administrasi kependudukan; dan (2)
terumuskannya dan terlaksananya kebijakan kependudukan yang
serasi antara kebijakan kependudukan nasional dengan kebijakan
kependudukan daerah dan wilayah.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) melakukan pengkajian, pengembangan, dan
penyediaan data dan informasi kependudukan yang akurat setiap
saat dan lengkap serta menggambarkan karakteristik penduduk
baik pada tingkat makro maupun mikro; (2) melakukan
pengkajian kebijakan pembangunan kependudukan dalam aspek
kuantitas, kualitas, dan mobilitas; (3) melakukan pengkajian dan
penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang mengatur
perkembangan dan dinamika kependudukan yaitu kuantitas,
kualitas, dan mobilitas penduduk di semua tingkat wilayah
administrasi; (4) melakukan pengkajian dan pengembangan
kebijakan dan pranata hukum tentang informasi dan administrasi
kependudukan, termasuk registrasi penduduk; (5) melakukan
advokasi dan sosialisasi kebijakan kependudukan serta
pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan kependudukan;
(6) meningkatkan jumlah tenaga peneliti kependudukan yang
berkualitas; (7) menyusun Rencana Aksi Nasional tentang
penghapusan eksploitasi seksual komersial anak dan
perdagangan anak; (8) menyusun Program Nasional bagi Anak

VIII 43

Indonesia (PNBAI); dan (9) membentuk Komisi Perlindungan


Anak.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil yang telah dicapai sampai tahun 2004 adalah: (1)


terumuskannya analisis kependudukan berdasarkan hasil
proyeksi/prakiraan penduduk tingkat nasional dan daerah
termasuk analisa lanjutannya; (2) terumuskannya hasil
kajian peningkatan pelayanan di bidang administrasi
kependudukan, catatan sipil, kuantitas, kualitas, dan
persebaran penduduk; (3) terumuskannya kebijakan dan
sistem administrasi kependudukan termasuk standardisasi
dokumen kependudukan; (4) terumuskannya sistem
penomoran
penduduk
termasuk
Nomor
Induk
Kependudukan (NIK); (5) terwujudnya penyempurnaan
sistem informasi dan ketersediaan data dan informasi
kependudukan mencakup Kantor Pencatatan Sipil, KUA dan
Kantor Kecamatan melalui program rintisan penerbitan NIK
dan dokumen penduduk yang telah diujicobakan di 13
Kabupaten/Kota di 6 propinsi (Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, D.I. Yogyakarta, Bali, dan Sulawesi Utara); (6)
terumuskannya
indikator
dan
analisis
dampak
kependudukan, serta keserasian kebijakan pembangunan
kependudukan antar sektor dan daerah; (7) tersusunnya RUU
Administrasi Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
amandemen UU No. 10/1992; (8) terumuskannya kajian
nomenklatur, tugas dan fungsi kelembagaan administrasi
kependudukan di daerah; (9) terlaksananya advokasi,
sosialisasi, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan kebijakan
kependudukan; dan (10) pendataan penduduk bekas provinsi
Timor Timur.
Berbagai program dan pelaksanaan kegiatan yang
berkaitan dengan pembangunan anak telah menghasilkan
antara lain: (1) tersusunnya Rencana Induk Pembangunan
VIII 44

Kesejahteraan dan Perlindungan Anak (KPA); (2)


tersusunnya indikator dan profil KPA yang menggambarkan
analisis situasi ibu dan anak (SITAN) di 9 propinsi; (3)
ditetapkannya Keppres No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana
Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial
Anak dan Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan
dan Anak; (4) kampanye nasional akta kelahiran cuma-cuma
(gratis); (5) pembagian akte kelahiran secara cuma-cuma
kepada 10.000 anak sekolah; (6) tersusunnya dokumen
Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 yang
merupakan program anak berskala nasional yang mencakup
bidang pendidikan, kesehatan, perlindungan anak, dan
penanggulangan HIV/AIDS; dan (7) terbentuknya Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tingkat nasional pada
tahun 2003 melalui Keppres No. 77 Tahun 2003.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang masih dihadapi dalam mewujudkan


keserasian kebijakan kependudukan di berbagai bidang
pembangunan antara lain: (1) belum disahkannya RUU
Administrasi Kependudukan secara nasional; (2) masih
beragamnya nomenklatur dan tugas fungsi kelembagaan
adminstrasi kependudukan di daerah; (3) belum efektifnya
dan efisiennya mekanisme pelayanan administrasi
kependudukan di di tingkat Kabupaten/Kota; (4) masih
rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya
kepemilikan
dokumen
kependudukan
dan
tertib
administrasinya; (5) belum tersedianya bank data sebagai
data basis kependudukan; dan (6) belum tersedianya data
hasil analisis proyeksi/prakiraan penduduk di tingkat
Kabupaten/Kota; dan (7) terbatasnya jumlah personil
pelaksana kegiatan pembangunan yang menguasai substansi
di bidang administrasi kependudukan terutama di daerah
Kabupaten/Kota.

VIII 45

Sedangkan permasalahan yang dihadapi dalam


mewujudkan kesejahteraan dan memastikan perlindungan
anak antara lain adalah: (1) belum adanya arahan kebijakan
khusus anak yang dapat mendukung pelaksanaan program
pembangunan anak; (2) belum adanya peraturan pemerintah
yang menjabarkan UU Perlindungan Anak; (3) masih
terbatasnya pemahaman anak, keluarga, masyarakat, dunia
usaha, dan aparatur hukum tentang hak-hak anak dan
pentingnya pemenuhan dan penghormatan hak-hak anak; (4)
belum adanya kesesuaian antara peraturan daerah dan UU
Perlindungan Anak, terutama mengenai penyediaan akte
kelahiran bagi anak; (5) belum terbentuknya wadah-wadah
yang mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan
anak; (6) belum terbentuknya koordinasi yang efektif
antarinstansi pusat, antara instansi pusat dan pemerintah
daerah dalam menjalankan program pembangunan anak; (7)
belum terbangunnya sistem informasi khusus permasalahan
anak dan belum terintegrasinya data anak dalam survai dan
sensus nasional; dan (8) belum semua pemerintah daerah
memiliki unit yang khusus menangani masalah anak.
iii.

Tindak Lanjut

Rencana tindak lanjut yang diperlukan antara lain: (1)


mewujudkan pranata hukum termasuk mendorong upaya
pengesahan RUU Administrasi Kependudukan, kelembagaan,
kepedulian dan peranserta masyarakat dalam administrasi
kependudukan sebagai upaya menegakkan hak-hak
penduduk; (2) menetapkan kebijakan dan sistem pendaftaran
serta pencatatan penduduk dalam rangka tertib administrasi
kependudukan dan memenuhi kepentingan publik dan
pembangunan; (3) mengembangkan kebijakan-kebijakan
kependudukan di antaranya: perkembangan kependudukan,
proyeksi penduduk, dan kelembagaan administrasi
kependudukan di daerah; (4) segera memberikan NIK kepada
semua penduduk untuk meningkatkan perlindungan hak-hak
penduduk dan kemudahan pelayanan publik, yang akan
mendorong terwujudnya bank data penduduk; (5)
VIII 46

memantapkan perencanaan kependudukan sebagai dasar


perencanaan pembangunan nasional yang berwawasan
kependudukan; dan (6) meningkatkan pembekalan tentang
wawasan kependudukan bagi pengelola program di pusat dan
daerah.
Sedangkan tindak lanjut yang perlu diambil dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak antara
lain: (1) membuat arahan khusus paling tidak dalam bentuk
Keppres yang dapat mendukung pelaksanaan program
pembangunan anak; (2) menyusun peraturan pemerintah
yang menjabarkan UU Perlindungan Anak; (3) meningkatkan
intensitas upaya-upaya sosialisasi pemahaman anak,
keluarga, masyarakat, dunia usaha, dan aparatur hukum
mengenai hak-hak anak dan pentingnya pemenuhan dan
penghormatan hak-hak anak; (4) melakukan penyesuaian
antara peraturan daerah dan UU Perlindungan Anak, terutama
mengenai pembebasan biaya pembuatan akte kelahiran bagi
anak; (5) memfasilitasi pembentukan wadah-wadah yang
mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan anak;
(6) meningkatkan koordinasi antarinstansi pusat, antara
instansi pusat dan pemerintah daerah dalam menjalankan
program pembangunan anak; (7) membangun sistem
informasi khusus permasalahan anak dan mengintegrasikan
data anak dalam survai dan sensus nasional; (8) mendorong
agar pemerintah daerah membuat unit khusus untuk
menangani masalah anak; (9) sosialisasi PNBAI 2015, baik
di tingkat pusat, maupun daerah, dan pengintegrasian
kegiatan pokok PNBAI ke dalam program-program
pembangunan terkait; dan (10) mendukung pemerintah
daerah dalam penyusunan program daerah bagi anak
Indonesia.

VIII 47

1.12 Program Pemberdayaan Keluarga


a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan


dan ketahanan keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam
masyarakat. Peningkatan kesejahteraan keluarga antara lain
ditandai oleh meningkatnya kesadaran dan kemampuan keluarga
dalam memenuhi kebutuhan dasar, sosial, dan psikologis.
Peningkatan ketahanan keluarga antara lain ditunjukkan oleh
kemampuan keluarga dalam menangkal pengaruh budaya asing
yang negatif bagi anggotanya serta dalam mencegah dan
menanggulangi penyalahgunaan NAPZA oleh anggotanya.
Sasaran kinerja program ini adalah (1) menurunnya jumlah
keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya
seperti kebutuhan rohani, pangan, sandang, papan, pendidikan,
dan kesehatan termasuk keluarga berencana; (2) meningkatnya
jumlah keluarga yang dapat mengakses informasi dan sumber
daya ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan keluarganya; (3)
meningkatnya kemampuan keluarga dalam pengasuhan dan
penumbuhkembangan anak; dan (4) menurunnya disharmoni dan
tindak kekerasan dalam keluarga.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) menyelenggarakan pelayanan advokasi,
komunikasi, informasi, edukasi (KIE), dan konseling; (2)
melakukan pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan
kewirausahaan bagi keluarga terutama keluarga yang tidak
mampu memenuhi kebutuhan dasar; (3) menyelenggarakan
pelayanan pemberdayaan keluarga khususnya bagi keluarga yang
memiliki balita dan remaja.

VIII 48

b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Dalam melaksanakan kebijakan program tersebut di atas,


pelaksanaan KIE dan konseling merupakan hal yang penting
guna meningkatkan kesadaran dan perilaku positif mengenai
masalah usaha ekonomi produktif keluarga dan pembinaan
keluarga. Pelaksanaannya sendiri dilakukan melalui
kelompok-kelompok kegiatan, baik kelompok kegiatan
Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS)
dan kelompok kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB), Remaja
(BKR) dan Lanjut usia (BKL).
Hasil yang dicapai dalam pembangunan pemberdayaan
keluarga yang dilakukan selama kurun waktu 2001-2004,
antara lain meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
usaha dan pembinaan kelompok UPPKS. Pada tahun 2004 ini
(sampai Maret 2004), kelompok UPPKS masih tercatat
sebanyak 342,2 ribu kelompok, yang mencakup sekitar 7,8
juta keluarga yang terutama berasal dari Keluarga PraSejahtera (KPS) dan Keluarga Sejahtera I (KS-I). Persentase
peserta UPPKS yang telah memanfaatkan bantuan Kredit
Usaha Keluarga Sejahtera (Kukesra) sebesar 50,9 persen dari
total seluruh anggota UPPKS. Jumlah dan eksistensi
kelompok UPPKS mengalami penurunan cukup besar bila
dibandingkan dengan keadaannya pada tahun 2000 sebanyak
556,1 ribu. Hal ini dikarenakan antara lain adanya kesulitan
dalam mengembangkan kelompok usaha, terjadinya
perubahan struktur organisasi pengelola KB di tingkat
kabupaten/kota, dan keterbatasan kelompok UPPKS dalam
memperoleh permodalan mikro bagi keluarga miskin.
Kegiatan kelompok Bina Keluarga Balita merupakan
kelompok kegiatan yang diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang besar terhadap program pembangunan
sumber daya manusia, karena berorientasi pada pembinaan
bagi kelompok penduduk usia dini. Pokok kegiatannya
VIII 49

meliputi pengasuhan dan penumbuhkembangan anak secara


baik serta pembentukan karakter sejak dini, melalui
peningkatan kemampuan keluarganya. Jumlah Bina Keluarga
Balita (BKB) yang tercatat pada tahun 2000 mencapai 113,0
ribu kelompok, dan pada tahun 2004 (Maret) telah dilakukan
pembinaan pada sebanyak 89,2 ribu kelompok.
Sedangkan kelompok kegiatan bina keluarga lainnya
adalah bina keluarga remaja (BKR) dan bina keluarga lansia
(BKL), yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan
ketahanan keluarga. Pada tahun 2000 jumlah Bina Keluarga
Remaja (BKR) sebanyak 30,8 ribu kelompok dan Bina
Keluarga Lansia (BKL) sebanyak 29,5 ribu kelompok.
Sedangkan pada tahun 2004 (Maret) masing-masing 31,7
ribu kelompok untuk BKR dan 32,7 ribu kelompok untuk
BKL.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam


pelaksanaan UPPKS adalah kelemahan pada kualitas
produksi, manajemen usaha dan pemasaran, kualitas
produksi, serta keterbatasan akses permodalan. Hal tersebut
berakibat pada menurunnya kinerja usaha mikro tersebut
yang berdampak pada penurunan jumlah kelompok UPPKS
yang masih dapat bertahan. Selain itu, hambatan pelaksanaan
bina keluarga balita, remaja dan lansia adalah keterbatasan
jumlah pelaksanaan dan kader dalam pembinaan kelompok
tersebut dan juga keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan
tentang penanganan masalah balita, remaja dan lansia.
iii. Tindak Lanjut
Untuk meningkatkan kinerja dari pelaksanaan program
pemberdayaan keluarga perlu dilakukan pembinaan dan
revitalisasi kelompok UPPKS, BKB, BKR dan BKL.
Pembinaan usaha ekonomi produktif keluarga perlu didukung
oleh sistem permodalan yang lebih mudah dan murah bagi
VIII 50

kelompok masyarakat tertentu serta pelatihan dan


pemagangan usaha ekonomi mikro. Pembinaan dan
pengembangan BKB, BKR, dan BKL dilakukan dengan
mengembangkan jaringan pelayanan yang lebih terintegrasi
dan dukungan institusi masyarakat.
1.13 Program Kesehatan Reproduksi Remaja
a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan,


sikap dan perilaku positif remaja tentang kesehatan reproduksi
dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan reproduksinya dan
mempersiapkan kehidupan berkeluarga guna mendukung upaya
peningkatan kualitas generasi mendatang.
Sasaran utama kinerja program ini adalah: (1) menurunnya
jumlah penduduk yang melangsungkan perkawinan pada usia
remaja; (2) meningkatnya pemahaman dan upaya masyarakat,
keluarga, dan remaja terhadap kesehatan reproduksi bagi remaja;
(3) menurunnya jumlah kehamilan pada usia remaja; (4)
menurunnya kejadian kehamilan pranikah; dan (5) meningkatnya
pengetahuan, sikap, dan perilaku positif remaja dalam hal
penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) melakukan promosi kesehatan reproduksi
remaja baik yang bersifat pencegahan maupun penanggulangan;
(2) melakukan advokasi, KIE, dan konseling kesehatan
reproduksi remaja bagi remaja, keluarga, dan masyarakat; (3)
melakukan promosi pendewasaan usia kawin.

VIII 51

b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai selama kurun waktu 2000-2004


ditandai dengan terbentuknya Pusat Informasi dan Konsultasi
Remaja (PIK) sebanyak 662 buah. Selain itu juga terbentuk
Kelompok Keluarga Peduli Remaja (KKPR) sebanyak 21,1
ribu kelompok, Kelompok Remaja sebanyak 6.342
kelompok, pengembangan Situs Internet Ceria, serta
pelatihan tenaga bagi promosi Kesehatan Reproduksi Remaja
sebanyak 15,3 ribu orang.
Pengembangan dan pembinaan Kelompok Remaja (peer
group) dilakukan melalui pelatihan tentang Kesehatan
Reproduksi Remaja untuk menjadi pendidik sebaya dan
konselor sebaya. Bentuk-bentuk kegiatan antara lain
ceramah, bermain peran, diskusi, permainan, studi kasus, dan
kunjungan lapangan. Pengembangan Kelompok Remaja ini
memberikan andil terhadap meningkatnya jumlah keluarga
dan remaja yang telah mendapatkan informasi tentang KRR
dan hak-hak reproduksi, informasi tentang penyakit menular
seksual (PMS), termasuk HIV/AIDS dan mengetahui cara
menghindarinya. Menurut SDKI 2002-2003 perempuan usia
15-19 tahun yang telah kawin yang mengetahui cara
menghindari PMS termasuk HIV/AIDS sekitar 58,8 persen.
Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
memberikan keterangan tentang terjadinya penurunan
persentase status kawin kelompok umur 15-19 tahun, yaitu
dari 17,1 persen pada SDKI 1997 menjadi 14,0 persen pada
SDKI 2002-2003. Sementara itu, angka median usia kawin
pertama meningkat menjadi 19,2 tahun pada SDKI 20022003 dari 18,6 tahun pada SDKI 1997. Dari kedua survai ini
juga terlihat adanya kecenderungan upaya menunda
perkawinan, yang menunjukkan bahwa usaha promosi
kesehatan reproduksi remaja telah memberikan pengaruh
terhadap sasaran remaja yang ingin menunda perkawinan.
VIII 52

Informasi lain dari survai ini adalah adanya remaja kawin


usia 15-19 tahun, yaitu sebanyak 8,0 persen di antaranya
pernah melahirkan dan 2,0 persen sedang hamil anak
pertama. Lebih lanjut diungkapkan pula terjadinya penurunan
remaja kawin usia 15-19 tahun yang hamil/melahirkan dari
12,2 persen pada SDKI 1997 turun menjadi 10,3 persen pada
SDKI 2002-2003.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Secara umum terdapat permasalahan yang berpengaruh


terhadap pencapaian program antara lain bahwa sebagian
masyarakat, orang tua maupun remaja sendiri belum
memahami hak-hak dan kesehatan reproduksi serta
keengganan membicarakan masalah reproduksi oleh karena
sebagai hal yang tabu. Selain itu, orang tua juga sering
merasa tidak memiliki cukup pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi, sehingga tidak mampu membekali pengetahuan
bagi anak-anaknya secara benar.
iii. Tindak Lanjut
Tindak lanjut pelaksanaan program kesehatan reproduksi
remaja ini adalah tetap ditingkatkannya kegiatan-kegiatan
promosi dan KIE tentang kesehatan reproduksi remaja
berkaitan dengan masalah pemenuhan hak-hak kesehatan
reproduksi untuk menjamin pembentukan generasi
mendatang yang lebih berkualitas.
Kegiatan pokok yang perlu mendapat perhatian untuk
tercapainya tujuan tersebut antara lain melalui pembinaan
pusat pelayanan informasi dan konseling remaja; pembinaan
konselor remaja yang mampu memberikan informasi yang
memadai bagi pembinaan remaja melalui KIE dan advokasi
terhadap remaja, keluarga dan masyarakat secara terintegrasi;
peningkatan jaringan kerjasama dengan lembaga masyarakat
di bidang pelayanan kesehatan reproduksi remaja; serta

VIII 53

pengembangan forum koordinasi dan kerjasama antar


lembaga pemerintah, institusi masyarakat dan LSM.
1.14 Program Keluarga Berencana
a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program KB bertujuan untuk memenuhi permintaan


pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas serta
mengendalikan angka kelahiran yang pada akhirnya
meningkatkan kualitas penduduk dan mewujudkan keluargakeluarga kecil berkualitas.
Sasaran utama kinerja program KB adalah (1) menurunnya
pasangan usia subur (PUS) yang ingin ber-KB namun tidak
terlayani KB (unmet need) menjadi sekitar 6,5 persen; (2)
meningkatnya partisipasi laki-laki dalam ber-KB menjadi sekitar
8 persen; dan (3) menurunnya angka kelahiran total (TFR)
menjadi 2,4 per perempuan.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) melakukan advokasi serta KIE KB; (2)
meningkatkan kualitas pelayanan kontrasepsi; (3) memberikan
jaminan dan perlindungan pemakai kontrasepsi; (4)
meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak; (5) melakukan
promosi dan pemenuhan hak-hak dan kesehatan reproduksi.
Keseluruhan kegiatan tersebut didukung oleh kegiatan seperti
melakukan pelatihan dan penelitian, serta mengembangkan
sistem informasi manajemen.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil-hasil kegiatan dalam pelaksanaan Program


Keluarga Berencana adalah dapat mengajak Pasangan Usia
Subur (PUS) menjadi peserta KB Baru rata-rata sekitar 3,9
VIII 54

juta setiap tahun selama 5 tahun terakhir (2000 - 2004 sampai


dengan bulan April 2004). Pada tahun 2004, pencapaian
peserta KB baru selama 4 bulan pertama (Januari sampai
dengan April 2004) secara nasional sebanyak 1,08 juta
peserta atau 17,5 persen dari sasaran sebanyak 6,19 juta
peserta. Sementara itu pencapaian peserta KB aktif pada
tahun 2004 (Maret 2004) tercatat sebanyak 26,7 juta peserta
dari sasaran tahun 2004 sekitar 27,2 juta peserta, atau telah
dipenuhi sekitar 98,5 persen dari sasaran.
Hasil SDKI juga mengungkapkan adanya kenaikan
kesertaan ber-KB dalam 5 tahun terakhir, meski dalam
kondisi krisis ekonomi di tanah air. Pada SDKI tahun 1997
angka kesertaan KB tercatat 57,4 persen meningkat menjadi
60,3 persen pada SDKI 2002-2003. Dari angka ini dapat
dikatakan bahwa 6 di antara 10 pasangan usia subur (PUS)
sedang menjadi peserta KB secara aktif. Namun untuk
kesertaan KB pria masih relatif rendah yaitu sekitar 1,7
persen dengan menggunakan kontrasepsi kondom dan medis
operasi pria (MOP).
Hal lain yang berkaitan dengan kesertaan KB ini adalah
keterbatasan penyediaan alat kontrasepsi oleh Pemerintah
untuk memenuhi permintaan peserta KB sejak krisis ekonomi
menjadi sangat terbatas. Sejak tahun 2000 penyediaan
alat/obat kontrasepsi secara cuma-cuma difokuskan hanya
bagi pasangan usia subur (PUS) dari Keluaga Pra-Sejahtera
dan Keluarga Sejahtera I alasan ekonomi (keluarga miskin),
serta keluarga rentan (seperti di wilayah pengungsi, wilayah
konflik, dan bencana alam).
Upaya memenuhi permintaan masyarakat akan
pelayanan KB menjangkau pula kelompok yang selama ini
belum terpenuhi. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) dapat diungkapkan pula adanya
pasangan usia subur yang membutuhkan KB dan atau tak
ingin punya anak lagi, tetapi mereka tidak/belum
menggunakan alat kontrasepsi (unmet needs). Angka unmet
VIII 55

needs ini terlihat adanya kecenderungan yang makin


mengecil pula dalam lima tahun terakhir, yaitu dari 9,2
persen pada SDKI 1997 turun menjadi sekitar 8,6 persen
pada SDKI 2002-2003.
Kesertaan KB tersebut telah berhasil menurunkan
tingkat kelahiran yaitu rata-rata jumlah anak per wanita
selama usia suburnya (15-49 tahun) atau TFR (Total Fertility
Rate) terus menurun dari 5,6 anak per wanita pada awal
tahun 70-an, menjadi 3,0 pada SDKI 1991, kemudian
menjadi 2,8 pada SDKI 1997, dan terakhir menjadi 2,6 anak
per wanita pada SDKI 2002-2003.
Kaitan antara pelaksanaan program KB dengan
pengendalian jumlah penduduk nampak dari upaya-upaya di
atas. Dengan semakin meningkatnya derajat sosial ekonomi
penduduk, program KB telah turut andil dalam menurunkan
laju pertumbuhan penduduk dalam tiga dekade terakhir.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) 1990 dan 2000
jumlah penduduk Indonesia adalah sebesar 179,4 juta dan
206,2 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar
1,48 persen pada periode 1990-2000, atau lebih rendah dari
laju pertumbuhan penduduk periode 1970-1980 (2,32
persen), dan periode 1980-1990 (1,97 persen).
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang dihadapi antara lain adalah akses dan


kualitas pelayanan KB dan Kesehatan Reproduksi yang
relatif masih rendah, yang ditandai oleh adanya kasus efek
samping, komplikasi dan kegagalan; rendahnya partisipasi
pria dalam ber-KB, yang disebabkan karena kurangnya
informasi dan tempat pelayanan; dan ketersediaan dan
keterjangkauan alat/obat kontrasepsi bagi PUS dari Keluarga
Pra-Sejahtera dan KS-I.
Di samping itu, tantangan ke depan dalam pelaksanaan
program adalah komitmen dan kesiapan pemerintah daerah
VIII 56

kabupaten/kota dalam menyelenggarakan kewenangan


pelayanan program KB dalam rangka desentralisasi. Masalah
pengarusutamaan gender dalam program KB juga masih
perlu mendapat perhatian, terutama berkaitan dengan
masalah kesejajaran hak antara suami dan istri dalam
menentukan kesertaan ber-KB dan pemilihan alat KB-nya.
iii. Tindak Lanjut
Untuk menjaga kesinambungan program dan
meningkatkan pelayanan di masa mendatang, beberapa hal
penting yang perlu ditindaklanjuti, seperti peningkatan
kualitas dan kuantitas kegiatan advokasi, KIE dan konseling.
Hal ini diperlukan untuk meningkatkan komitmen semua
lapisan masyarakat pengelola program tentang pentingnya
program ini, terutama setelah dilaksanakannya penyerahan
sebagian kewenangan penyelenggaraan program KB kepada
pemerintah daerah kabupaten/kota.
Keterbatasan kemampuan masyarakat dalam mengakses
pelayanan program perlu diatasi dengan meningkatkan
jaringan dan distribusi pelayanan, hingga angka unmet need
di tahun-tahun mendatang dapat lebih diturunkan. Kualitas
pelayanan program juga harus ditingkatkan termasuk dalam
mengatasi kasus-kasus efek samping, komplikasi dan
kegagalan; di samping promosi penggunaan alat kontrasepsi
yang rasional dan dukungan konseling terhadap pasangan
yang membutuhkan.
Program dan kegiatannya juga harus meliputi usaha
peningkatan penanggulangan masalah kesehatan reproduksi
dan peningkatan kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak;
serta peningkatan partisipasi pria dalam ber KB. Pelaksanaan
program secara menyeluruh juga harus lebih diarahkan pada
peningkatan partisipasi dan kemandirian masyarakat agar
program dapat dilaksanakan secara lebih efektif dan efisien.

VIII 57

Diperlukan pendekatan sosial budaya termasuk kepada


tokoh informal untuk mengantisipasi pergeseran pemahaman
tentang KB yang berkembang dalam masyarakat. Di samping
itu perlu dibuat terobosan dalam upaya peningkatan
peranserta dan partisipasi kesertaan ber-KB pria serta
memberikan prioritas pelaksanaan pencabutan implant bagi
akseptor yang telah melewati batas waktu pemakaian implant
tersebut.
1.15 Program Penguatan Kelembagaan dan Jaringan KB
a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan


sekaligus meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan KB dan
kesehatan reproduksi, terutama yang diselenggarakan oleh
masyarakat.
Sasaran utama kinerja program ini adalah (1) meningkatnya
jumlah PUS yang ber-KB secara mandiri; (2) meningkatnya
cakupan dan mutu pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang
diselenggarakan oleh masyarakat; dan (3) meningkatnya jumlah
lembaga yang secara mandiri menyelenggarakan pelayanan KB
dan kesehatan reproduksi.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) melakukan pelatihan dan bimbingan
pelayanan dan manajemen KB dan kesehatan reproduksi bagi
institusi dan lembaga berbasiskan masyarakat yang
menyelenggarakan pelayanan KB; (2) menyediakan dan
menyelenggarakan pertukaran informasi tentang KB dan
kesehatan reproduksi; (3) melakukan pelatihan dan kerjasama
internasional di bidang KB dan kesehatan reproduksi; (4)
melakukan promosi kemandirian ber-KB.

VIII 58

b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Upaya meningkatkan kemandirian peserta KB dilakukan


melalui perluasan kelembagaan dan jaringan KB yang
memberikan pelayanan KB. Salah satu dukungan pelayanan
KB utama diberikan melalui peningkatan partisipasi dan
peran
serta
masyarakat/Institusi
Masyarakat
Pedesaan/Perkotaan (IMP) dalam mengelola Program KB
Nasional. Pada awal tahun 2004, tercatat IMP sebanyak
80.533 Pembantu Pembina KB Desa (PPKBD), 363.066 Sub
PPKBD dan 749.034 Kelompok KB yang telah ikut berperan
sebagai ujung tombak pelaksanaan program KB di lini
lapangan. Selain memberikan dukungan pelayanan KB, IMP
tersebut juga memberikan kontribusi besar dalam
pengumpulan data keluarga melalui kegiatan pendataan
keluarga yang dilakukan setiap tahun. Pendataan keluarga
dan database keluarga ini telah banyak dimanfaatkan tidak
saja untuk program KB melainkan juga untuk pelaksanaan
program-program pengentasan kemiskinan dan peningkatan
kualitas kesejahteraan masyarakat, seperti program Jaring
Pengaman Sosial (JPS), penyediaan alat kontrasepsi, beras
murah untuk miskin (Raskin), pemberian Kartu Sehat bidang
kesehatan, program pemberian bea siswa, dan sebagainya.
Sementara itu upaya peningkatan jaringan pelayanan KB
swasta yang terdiri dari Klinik KB, dokter dan bidan praktek
swasta, yang memberikan pelayanan KB kepada masyarakat
tercatat sejumlah 51.470 meliputi 2.920 Klinik KB Swasta,
10.195 Dokter Praktek Swasta dan 35.478 Bidan Praktek
Swasta. Semakin banyaknya kelembagaan dan jaringan KB
yang ikut memberikan pelayanan KB ini, akan lebih
memberikan peluang bagi meningkatnya upaya kemandirian
kesertaan masyarakat ber-KB.
Tingkat kemandirian masyarakat ber-KB juga dapat
digambarkan dari makin besarnya persentase jumlah peserta
VIII 59

KB yang memperoleh alat/obat kontrasepsi dari fasilitas


pelayanan KB swasta. Dari hasil survai SDKI, peserta KB
yang dilayani melalui jalur swasta ini terus meningkat
proporsinya yaitu dari 41,9 persen pada SDKI 1997 menjadi
62,5 persen pada SDKI 2002-2003, dan mayoritas pelayanan
KB swasta ini dilakukan oleh peran Bidan Praktek Swasta.
Di samping itu, dalam kancah nasional arus utama
adanya tuntutan desentralisasi sesuai dengan UU Nomor 22
tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, telah mengharuskan
sebagian kewenangan di bidang KB diserahkan kepada
pemerintah
kabupaten/kota.
Penyerahan
sebagian
kewenangan program KB kepada seluruh Pemerintah
Kabupaten/Kota di Indonesia telah selesai dilakukan pada
akhir tahun 2003 yang lalu. Keragaman pemahaman tentang
program KB dari Pemerintah Kabupaten/Kota akan
memberikan keragaman pula tentang dukungan komitmen
dan kemampuan daerah untuk menjaga keberlangsungan
program KB. Selama enam bulan pertama tahun 2004 ini,
proses pembentukan kelembagaan program KB di
Kabupaten/Kota sebagai wadah bagi pengelolaan program
KB dan dukungan operasional di lapangan, belum seluruhnya
terbentuk melalui Peraturan Daerah, yaitu baru 243
kabupaten/kota (59,3 persen) dari 410 kabupaten/kota, yang
sudah mempunyai Perda kelembagaan program KB.
Mengingat belum seluruh pemerintah kabupaten/kota
menyelesaikan Perda kelembagaan program KB di
kabupaten/kota, maka hal ini dapat mengakibatkan
melemahnya pelaksanaan dan kesinambungan program KB
di wilayah yang bersangkutan.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang ada saat ini juga dapat berpengaruh


terhadap pelaksanaan program di masa mendatang, seperti
permasalahan kualitas dan kuantitas IMP cenderung
menurun. Penurunan kualitas pelayanan dirasakan juga
dalam
menurunnya
partisipasi
dalam mendukung
VIII 60

pengelolaan program, di antaranya di bidang pembinaan


peserta KB, KIE serta permasalahan pelembagaan program
KB di lapangan yang berkaitan dengan pelaksanaan sistem
desentralisasi.
Permasalahan lainnya, di antaranya berkaitan dengan
keterbatasan pelaksanaan pencatatan pelaporan program,
termasuk kemampuan petugas dan kesinambungan
operasionalnya serta terbatasnya kegiatan usaha untuk
peningkatan kapasitas kelembagaan program, termasuk
dalam masalah pengarusutamaan gender.
iii. Tindak Lanjut
Tindak lanjut yang diperlukan dalam memperkuat
program ini antara lain adalah terus mengusahakan
peningkatan partisipasi masyarakat baik melalui peningkatan
kualitas IMP-nya maupun peningkatan kemandirian.
Pembinaan pusat-pusat pelayanan KB non-pemerintah
merupakan salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan
masyarakat dalam mengakses pelayanan.
Kemandirian juga perlu didukung oleh promosi dan
peningkatan jaringan distribusi kontrasepsi mandiri. Di
samping itu perlu pula dilakukan usaha penigkatan kapasitas
kelembagaan pengelola program, yang meliputi institusi
penyelenggara pelayanan program yang dikelola oleh
pemerintah maupun yang non pemerintah, terutama di tingkat
lini lapangan.
Peningkatan pengelolaan data informasi perlu
diupayakan agar dapat dimanfaatkan secara maksimal bagi
kepentingan program pembangunan secara nasional, baik
ditingkat lini lapangan maupun dalam pengembangan
kebijakan program pembangunan kualitas penduduk.
Pemanfaatan teknologi informasi melalui sistem informasi
kependudukan dan keluarga perlu menjadi prioritas utama

VIII 61

dalam usaha meningkatkan sistem pengolahan dan pelayanan


data informasi program.
2.

Kebudayaan

2.1 Program Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan


a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan menanamkan nilai-nilai luhur budaya


bangsa dalam rangka menumbuhkan pemahaman dan
penghargaan masyarakat pada budaya leluhur, keragaman budaya
dan tradisi, meningkatkan kualitas berbudaya masyarakat,
menumbuhkan sikap kritis terhadap nilai-nilai budaya dan
memperkokoh ketahanan budaya. Adapun sasaran yang ingin
dicapai dalam program ini adalah: (1) berkembangnya sistem
nilai budaya Indonesia yang bersumber dari warisan budaya
leluhur bangsa, budaya nasional dan diperkaya oleh budaya baru
yang serasi, kondusif serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai
agama untuk menghadapi tantangan masa depan; (2)
terwujudnya pemahaman dan penghargaan masyarakat pada
budaya masyarakat lainnya; (3) berkembangnya kebebasan
berkreasi dalam berkesenian; (4) terlindunginya pelaku seni dan
budaya dari pelanggaran hak cipta; (5) meningkatnya jumlah film
nasional yang berkualitas dan bermoral; dan (6) tersusunnya
inventarisasi dan dokumentasi warisan budaya.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
tahun 2000-2004 sebagai berikut: (1) meningkatkan pelestarian,
pengembangan dan pemanfaatan tradisi, peninggalan sejarah dan
permuseuman; (2) menciptakan iklim yang kondusif bagi
timbulnya kreasi sastra, seni, dan budaya; (3) membina dan
mengembangkan kebahasaan; (4) mengembangkan kepustakaan
dan budaya ilmiah; (5) membina dan mengembangkan kesenian;
(6) membina dan mengembangkan perfilman nasional; dan (7)
meningkatkan apresiasi masyarakat dalam seni dan budaya.

VIII 62

b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Dalam rangka melestarikan peninggalan budaya


tradisional selama tahun 2000-2004 telah dilakukan upaya
pelestarian dan pembinaan dalam hal pengelolaan aset
budaya yang meliputi: (1) pembinaan untuk peningkatan
kemampuan pengelolaan aset budaya; (2) optimalisasi
museum melalui penelitian, pendidikan dan rekreasi; (3)
penyebaran informasi melalui penerbitan direktori dan leaflet
tentang museum, penerbitan dan pengembangan ilmu
permuseuman, dan buku panduan permuseuman; (4)
peningkatan apresiasi masyarakat terhadap museum melalui
program digitalisasi; (5) penyelesaian pembangunan fisik
Museum Nasional; (6) penyediaan bantuan kepada museum
negeri dan museum swasta; (7) penemuan situs arkeologi dan
benda-benda cagar budaya untuk memperkaya khasanah
budaya; (8) pemugaran situs arkeologis antara lain Candi
Sojiwan, Candi Selogriyo, Candi Sewu, Candi Plaosan,
Candi Siwa (Prambanan); (9) penyusunan pedoman
perlindungan Benda Cagar Budaya (BCB), preservasi dan
restorasi bangunan kayu, preservasi dan restorasi bangunan
bata; (10) peningkatan pengenalan dan pemahaman budaya
melalui dialog budaya, kemah budaya, dan sayembara guru
sejarah; (11) penyelenggaraan kajian, penulisan dan
perekaman nilai-nilai budaya; (12) penyusunan pedoman
pembinaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan
satu naskah tentang pitutur luhur; (13) penyelenggaraan
festival seni pertunjukan, lomba ilustrasi buku cerita anakanak, bantuan kepada 12 organisasi/lembaga kesenian; (14)
perlindungan terhadap hasil karya cipta seniman dan
pemberian royalty; (15) diplomasi kebudayaan; (16)
penyusunan
pedoman
perfilman,
penanggulangan
pembajakan film video/rekaman, dan standarisasi perilisan
film (window time); (17) preservasi dan restorasi koleksi
langka sebanyak 108 ribu koleksi, dari total koleksi sebanyak
1,8 juta koleksi, alih media ke dalam mikrofilm pustaka
VIII 63

langka sebanyak 18.610 judul dan transformasi digital


sebanyak 1.600 lembar; (18) penyusunan Rancangan
Undang-Undang tentang Sistem Nasional Perpustakaan; (19)
pemasyarakatan minat baca; (20) pengembangan sistem
informasi kebudayaan; (21) penyusunan strategi kebudayaan
yang komprehensif dan aplikatif; (22) penyusunan konsep
perlindungan terhadap hak cipta kolektif bangsa; (23)
pengembangan kesenian dan perfilman yang mendukung
pengembangan karakter bangsa; (24) peningkatan
pemanfaatan media untuk pengembangan kebudayaan; (25)
pemetaan kebudayaan; (26) peningkatan sistem pengelolaan
pelestarian aset budaya; (27) penyelenggaraan paket film
kompetitif; dan (28) pengembangan statistik kebudayaan.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Pembangunan kebudayaan di masa depan dihadapkan


pada permasalahan dan tantangan serius, yang berasal dari
dua arah: internal dan eksternal yang saling bertali-temali.
Berbagai permasalahan pembangunan kebudayan yang
bersumber dari dalam itu bisa diidentifikasi antara lain (i)
ketidakmampuan masyarakat dalam memelihara nilai-nilai
budaya asli dalam proses akulturasi, sehingga berpotensi
melemahkan budaya nasional; (ii) melemahnya sikap dan
daya kritis masyarakat dalam merespons gejala
konsumerisme, hedonisme, pragmatisme, dan perilaku sosial
permisif, yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat
dan budaya bangsa; dan (iii) ketidakmampuan masyarakat
mempertahankan dan merawat kekayaan budaya bangsa yang
beragam (majemuk), sehingga belum mampu bersinergi
secara optimal bahkan cenderung menjadi pemicu
ketegangan dan konflik sosial.
Sedangkan permasalahan pembangunan kebudayaan
yang bersumber dari luar itu bisa diidentifikasi terutama
dalam hal serbuan budaya asing ke masyarakat Indonesia.
Globalisasi yang membawa serta budaya asing merupakan
gejala mondial yang tidak mungkin bisa dihindari. Interaksi
VIII 64

antarbangsa di era global yang sangat intens telah


mempermudah proses pertukaran nilai-nilai budaya antara
satu bangsa dengan bangsa lainnya. Tidak semua nilai
budaya asing itu relevan dan positif bagi perkembangan
budaya bangsa Indonesia, sehingga masyarakat perlu
memiliki alat pengendali dan penyeleksi atas derasnya arus
budaya asing tersebut. Apabila masyarakat tidak mampu
memilah antara nilai budaya asing yang negatif dan positif,
maka bangsa Indonesia bisa kehilangan identitas nasional.
Dalam perspektif demikian, maka masyarakat Indonesia
seyogianya mampu memperkuat ketahanan budaya bangsa.
Dilihat dari aspek pengelolaan pembangunan,
permasalahan dan tantangan pembangunan kebudayaan
antara lain adalah rendahnya kapasitas kelembagaan dalam
pengelolaan
khazanah
budaya
bangsa
sehingga
memunculkan kecenderungan terbengkalainya kekayaan
budaya bangsa. Pelaksanaan otonomi daerah yang mencakup
pembangunan kebudayaan ternyata pada umumnya kurang
mendapat perhatian. Daerah-daerah yang memiliki kapasitas
fiskal belum menempatkan pembangunan kebudayaan pada
peringkat prioritas yang memadai.
iii. Tindak Lanjut
Berdasarkan hasil pelaksanaan yang dicapai dan
tantangan yang dihadapi dalam pembangunan kebudayaan,
maka pembangunan kebudayaan harus lebih dipertajam
sehingga mampu menjawab permasalahan dengan tepat dan
terfokus.
Untuk penajaman pembangunan kebudayaan tersebut,
maka diperlukan penataan kembali program-program
pembangunan kebudayaan secara lebih terinci yang meliputi:
(1) pengembangan nilai budaya; (2) pengelolaan kekayaan
budaya; dan (3) pengelolaan keragaman budaya. Seiring
dengan itu diperlukan dialog intensif lintas sektor dan lintas
pelaku, pusat dan daerah.
VIII 65

3.

Kedudukan dan Peranan Perempuan

3.1 Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan


a.

Tujuan, Sasaran, Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kedudukan


dan peranan perempuan sebagai individu, yaitu baik sebagai
insan dan sumber daya pembangunan; sebagai bagian dari
keluarga yang merupakan basis terbentuknya generasi sekarang
dan masa mendatang; sebagai mahluk sosial yang merupakan
agen perubahan sosial di berbagai bidang kehidupan dan
pembangunan.
Sasaran kinerja program ini adalah meningkatnya kualitas
dan peran perempuan terutama di bidang-bidang hukum,
ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan budaya.
Arah kebijakan dituangkan dalam kegiatan pokok yang
dilaksanakan dalam program-program meliputi: (1) program
pembentukan peraturan perundang-undangan; (2) program
perluasan dan pengembangan kesempatan kerja; (3) program
peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja; (4) program
perlindungan dan pengembangan lembaga tenaga kerja; (5)
program perbaikan struktur politik; (6) program pengembangan
budaya politik; (7) program pendidikan dasar dan prasekolah; (8)
program pendidikan menengah; (9) program pendidikan tinggi;
(10) program pembinaan pendidikan luar sekolah; (11) program
lingkungan sehat, perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat;
(12) program upaya kesehatan; (13) program perbaikan gizi
masyarakat; (14) program pengembangan potensi kesejahteraan
sosial; (15) program pemberdayaan keluarga; (16) program
kesehatan reproduksi remaja; dan (17) program keluarga
berencana.

VIII 66

b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Berbagai hasil yang telah dicapai dari pelaksanaan


program peningkatan kualitas hidup perempuan dalam tahun
2001-2004 antara lain:
Nilai Indeks Pembangunan Gender (IPG) atau Genderrelated Development Index (GDI), yang mengukur kualitas
pembangunan
manusia
dikaitkan
dengan
gender
menunjukkan bahwa peringkat Indonesia menunjukkan
peningkatan ranking dari 92 diantara 162 negara dengan nilai
indeks 0,671 pada tahun 2001 menjadi ranking 91 diantara
175 negara dengan nilai indeks 0,678 pada tahun 2003.
Tetapi peringkat tersebut lebih rendah bila dibandingkan
dengan negara-negara di ASEAN lainnya.
Dalam pembangunan kesehatan, selama tahun 20012004 dilanjutkan berbagai upaya peningkatan kualitas dan
jangkauan pelayanan kesehatan untuk menekan tingginya
angka kematian ibu melahirkan, terutama di daerah
perdesaan dan miskin perkotaan, melalui Gerakan Sayang
Ibu, Kecamatan Sayang Ibu, Rumah Sakit Sayang Ibu, dan
Kampanye Suami Siaga. Program-program pendukung
lainnya adalah Bina Keluarga Balita, Gerakan Remaja Putri,
Gerakan Pekerja Wanita, dan Gerakan Peduli ASI. Dalam
rangka menangani masalah HIV/AIDS di Indonesia yang
cenderung meningkat secara drastis, terutama bagi
perempuan dan remaja, telah diperkenalkan program
kesehatan yang berperspektif gender dalam bentuk
penyuluhan, diseminasi, dan promosi yang dilakukan baik
oleh pemerintah maupun LSM.
Melalui program keluarga berencana, kebijakan yang
ada diarahkan untuk lebih meningkatkan pelayanan bagi lakilaki agar berpartisipasi aktif dalam program keluarga
berencana. Pelayanan metode kontrasepsi pria ditingkatkan,
VIII 67

dan pendekatan pembangunan keluarga berencana telah


dikembangkan dengan lebih menekankan pada kesehatan dan
hak-hak reproduksi. Kebijakan ini dilakukan sejak tahun
2000, dan lebih diintensifkan pelaksanaannya pada tahuntahun berikutnya.
Dalam pembangunan pendidikan, pemberian beasiswa
dengan mengutamakan murid perempuan telah membantu
menurunkan jumlah murid perempuan yang putus sekolah.
Jumlah penduduk perempuan yang menikmati pendidikan
semakin banyak dan telah mengurangi kesenjangan gender di
bidang pendidikan terutama pada tingkat pendidikan dasar
dan menengah, di samping telah menurunkan persentase
penduduk umur 10 tahun ke atas yang buta huruf. Data
Susenas menunjukkan bahwa persentase perempuan yang
melek huruf meningkat dari 91,4 persen pada tahun 2000
menjadi 92,9 persen pada tahun 2003.
Peran perempuan dalam pembangunan ekonomi tampak
dari naiknya Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)
perempuan dari 42,83 persen pada tahun 2001 menjadi 44,81
persen pada tahun 2003 (Susenas 2001 dan 2003, BPS).
Selama kurun waktu 2001-2004 telah banyak dilakukan
upaya untuk mengintegrasikan kepentingan perempuan
dalam program-program pembangunan ekonomi, khususnya
dalam bidang ketenagakerjaan, UKM, dan pertanian.
Beberapa program yang telah dilakukan untuk
meningkatkan pemberdayaan perempuan dalam ekonomi
antara lain adalah Program Pemberdayaan Keluarga (PPK),
yang kegiatannya meliputi usaha ekonomi produktif dan
pembangunan infrastruktur yang telah dilaksanakan di
20.000 desa, di 183 kabupaten, di 26 propinsi (tahun 2003).
Dalam pelaksanaannya, program ini mensyaratkan
keterlibatan perempuan mulai dari proses perencanaan
sampai
pelaksanaannya.
Program
lainnya
adalah:
Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), yang
dilakukan di 6 propinsi. Melalui Program Pemberdayaan
VIII 68

Masyarakat Pesisir (PPMP), telah disalurkan bantuan


pengembangan usaha ekonomi produktif untuk kelompokkelompok UPPKS di daerah pantai. Melalui Program KUB
telah dijangkau 780 kelompok yang digunakan untuk
pemberian bantuan modal kelompok pada remaja putri putus
sekolah dan ibu rumah tangga. Upaya peningkatan ekonomi
perempuan juga ditingkatkan dengan mengikutsertakan
sistem perbankan, melalui pembentukan unit kerja yang
khusus menangani kredit kepada UKM, pemberdayaan sektor
riil kelompok pengusaha perempuan, pemetaan potensi
usaha, pendampingan, dan fasilitasi hubungan keuangan
(kredit dan tabungan) antara pengusaha perempuan dan
perbankan.
Dalam pembangunan politik, telah terbentuk kaukus
perempuan dalam parlemen untuk menyuarakan isu-isu
perempuan, serta meningkatnya keterlibatan dan kesadaran
perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. UU
No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu telah memberikan peluang
bagi perempuan untuk lebih berperan dalam bidang politik.
Hasil Pemilu 2004 menunjukkan bahwa keterwakilan
perempuan di DPR mencapai 11 persen, atau meningkat jika
dibandingkan hasil Pemilu sebelumnya (9 persen).
Sedangkan keterwakilan perempuan di DPD sekitar 19,8
persen. Sementara itu, pada lembaga eksekutif keterwakilan
perempuan yang berada pada posisi eselon I dan II terus
meningkat yaitu dari 9,9 persen pada tahun 2001 menjadi
13,25 persen pada tahun 2003.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Dalam upaya peningkatan kualitas hidup perempuan


masih ditemui beberapa permasalahan dan tantangan yang
membutuhkan perhatian dan penanganan lebih lanjut, antara
lain: nilai sosial budaya yang masih bersifat patriarkhi yang
cenderung menempatkan perempuan pada sub ordinasi;
keterbatasan data terpilah menurut jenis kelamin; dan masih

VIII 69

rendahnya pemahaman tentang pengarusutamaan gender di


kalangan pengambil keputusan.
iii. Tindak Lanjut
Upaya tindak lanjut untuk mengatasi masalah sosial
budaya yang kurang mendukung bagi pemberdayaan
perempuan masih harus diutamakan. Peran dari para tokoh
masyarakat dan tokoh agama menjadi sangat penting. Untuk
itu peningkatan pemahaman yang tepat mengenai
pemberdayaan perempuan perlu terus dilakukan dan
bekerjasama dengan organisasi masyarakat. Selain itu,
upaya-upaya
untuk
meningkatkan
pelaksanaan
pengarusutamaan gender masih perlu terus dilaksanakan baik
di tingkat nasional maupun daerah. Peningkatan pemahaman
dan penumbuhan komitmen masih diperlukan pada instansi
pemerintah.
Peningkatan
kemampuan
pelaksanaan
pengarusutamaan gender terutama bagi pelaksana program di
tingkat nasional dan daerah masih perlu dilakukan. Hal ini
berkaitan dengan penjabaran dan pelaksanaan program
pembangunan yang sudah diarahkan untuk menjadi responsif
gender.
3.2 Program Pengembangan
Pemberdayaan Perempuan
a.

dan

Keserasian

Kebijakan

Tujuan, Sasaran, Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk mewujudkan keserasian


berbagai kebijakan pemberdayaan perempuan di berbagai bidang
pembangunan.
Sasaran kinerja program ini meliputi: (1) terumuskannya dan
terlaksananya kebijakan pembangunan yang responsif gender
yang ditujukan bagi peningkatan kedudukan dan peranan
perempuan di segala bidang kehidupan dan pembangunan; dan
(2) terumuskannya dan terlaksananya kebijakan pembangunan
VIII 70

pemberdayaan perempuan yang serasi antara kebijakan


pemberdayaan perempuan di tingkat nasional dan kebijakan
pemberdayaan perempuan di tingkat daerah.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) mengintegrasikan kebijakan pembangunan
pemberdayaan perempuan ke dalam berbagai kebijakankebijakan pembangunan lainnya secara terpadu, baik di tingkat
nasional maupun daerah; (2) melakukan pengkajian dan
menyempurnakan hukum dan peraturan perundang-undangan
yang masih diskriminatif terhadap perempuan dan tidak
berkeadilan gender; (3) melakukan pengkajian kebijakan
pembangunan pemberdayaan perempuan dalam rangka mencari
alternatif-alternatif kebijakan yang lebih efektif; (4)
melaksanakan promosi, advokasi, sosialisasi, pemantauan, dan
evaluasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan pemberdayaan perempuan; dan (5) melakukan
penelitian dan pengembangan masalah-masalah gender sesuai
dengan kondisi sosial budaya, agama, dan perkembangan
masyarakat, termasuk pemanfaatan dan pendayagunaan hasilnya
bagi upaya penguatan pengarusutamaan gender.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil yang telah dicapai dalam tahun 2001-2004 dalam


rangka pembangunan pemberdayaan perempuan adalah
sebagai berikut.
Dalam pembangunan hukum telah dan sedang dilakukan
perubahan dan penyempurnaan produk-produk hukum yang
bias gender dan atau diskriminatif terhadap perempuan.
Dalam rangka perbaikan peraturan perundang-undangan
agar lebih mendukung upaya peningkatan peran dan
kedudukan perempuan, selama tahun 2001-2004 telah
dilakukan upaya untuk memperbaiki hukum dan peraturan
perundang-undangan yang meliputi: UU No.9 tahun 1992
VIII 71

tentang Keimigrasian, UU No. 58 tahun 1962 tentang


Kewarganegaraan, UU No. 9 tahun 1995 tentang Usaha
Kecil, UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, dan UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Di samping itu, pada awal tahun 2000 telah
ditandatangani Optional Protocol to the Convention on the
Elimination of All Form of Discrimination Against Women
(CEDAW), yang berarti Indonesia mengakui kompetensi
Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan untuk menerima pengaduan dari individu atau
kelompok-kelompok
dalam
yurisdiksinya,
dan
memungkinkan Komite sebagai treaty bodies untuk
melakukan penyelesaian perselisihan dalam situasi tertentu.
Tindak lanjut yang telah dilakukan antara lain adalah
melakukan pengkajian dalam rangka Ratifikasi Konvensi
Internasional Larangan Perdagangan Perempuan dan Anak,
dan pengkajian dalam rangka Ratifikasi Optional Protocol
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan.
Untuk mendukung kebijakan publik yang mendukung
pengarusutamaan gender, telah dilakukan berbagai
pengkajian dalam kurun waktu tahun 2001-2004 antara lain
tentang: penerapan hak cuti melahirkan bagi pekerja
perempuan di sektor formal, kesempatan melanjutkan
sekolah bagi pelajar/siswi yang hamil, jaminan sosial bagi
pekerja perempuan di sektor informal, dan perdagangan
perempuan dan anak (trafficking in person especially women
and children).
Dalam upaya peningkatan kualitas hidup perempuan,
telah dilakukan advokasi, sosialisasi dan fasilitasi untuk
pengintegrasian kebijakan pemberdayaan perempuan dengan
program pembangunan lainnya. Pada tahun 2001 telah
dikembangkan 19 program yang responsif gender,
sedangkan pada tahun 2004 telah meningkat menjadi 38
program yang responsif gender.
VIII 72

Dalam bidang perlindungan perempuan, upaya-upaya


yang telah dilakukan pada tahun 2001-2004 adalah
melakukan koordinasi dan kerjasama dengan berbagai pihak
terkait dalam penyusunan kebijakan perlindungan tenaga
kerja perempuan termasuk buruh migran perempuan,
perlindungan perempuan korban trafiking termasuk fasilitasi
perlindungan buruh migran korban trafiking, dan
perlindungan perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga. Untuk melindungi para tenaga kerja Indonesia (TKI),
terutama TKI perempuan yang bekerja di luar negeri,
berbagai upaya terus ditingkatkan, seperti: pembangunan
pelayanan bagi TKI di kedutaan besar di negara-negara
penerima; penyempurnaan perjanjian perlindungan TKI
dengan negara penerima; pembenahan proses rekrutmen
hingga kepulangan; penanganan korban, repatriasi, dan
rehabilitasi; dan penyiapan RUU tentang Penempatan Tenaga
Kerja ke Luar Negeri.
Berkaitan dengan upaya peningkatan kesehatan, telah
dikembangkan
kebijakan
untuk
memperluas
dan
merevitalisasi Gerakan Sayang Ibu (GSI) Plus yang
mencakup kesehatan bayi baru lahir dan peningkatan
pemberian Air Susu Ibu (ASI), penataan kelembagaan dan
jejaring GSI, pendidikan publik untuk kesehatan reproduksi
termasuk HIV/AIDS, dan pengembangan kesetaraan dan
keadilan gender di bidang kesehatan reproduksi dalam
keluarga.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi


dalam pelaksanaan program ini antara lain masih banyaknya
kebijakan dan program pembangunan, serta hukum dan
peraturan perundang-undangan yang belum responsif gender,
sehingga perempuan yang paling banyak menanggung
berbagai bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Masih
kentalnya nilai budaya yang bias gender juga sebagai salah
satu masalah dalam pembangunan pemberdayaan perempuan,
VIII 73

selain kelangkaan data terpilah menurut jenis kelamin serta


belum adanya peta masalah maupun potensi kualitas hidup
perempuan.
iii. Tindak Lanjut
Tindak lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan
program antara lain adalah pengintegrasian strategi
pengarusutamaan gender ke dalam seluruh kebijakan dan
program pembangunan agar kebijakan dan program
pembangunan tersebut menjadi responsif gender, baik di
tingkat nasional, maupun di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota.
3.3 Program Peningkatan Peran Masyarakat dan Pemampuan
Kelembagaan Pengarusutamaan Gender
a.

Tujuan, Sasaran, Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan peran dan


kemandirian lembaga-lembaga yang memiliki visi pemberdayaan
perempuan terutama organisasi perempuan; memperkuat peran
aktif masyarakat dalam upaya pemberdayaan perempuan;
meningkatkan kapasitas dan kemampuan institusi-institusi
pemerintah dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam
setiap tahap dan proses pembangunan.
Sasaran kinerja program ini adalah (1) meningkatnya
partisipasi dan peran aktif masyarakat dalam pemberdayaan
perempuan; (2) terwujudnya sistem pengarusutamaan gender
yang antara lain ditandai oleh meningkatnya kesadaran gender
pada seluruh aparat pemerintah, terutama para perencana dan
pengambil keputusan, terbentuknya komisi atau forum nasional
kesetaraan dan keadilan
gender, terbentuknya
unit
pengarusutamaan gender di setiap instansi pemerintah baik di
pusat maupun di daerah, terwujudnya berbagai alat dan metode
untuk melaksanakan pengarusutamaan gender, serta tersedianya
VIII 74

data dan informasi gender dalam berbagai bidang pembangunan;


dan (3) meningkatnya peran, kualitas dan kemandirian lembagalembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan, terutama
organisasi perempuan.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) melaksanakan KIE dan advokasi mengenai
kesetaraan dan keadilan gender di lingkungan lembaga-lembaga
legislatif, eksekutif, yudikatif, TNI dan Polri, dan masyarakat
secara keseluruhan; (2) mendorong terbentuknya komisi atau
forum kesetaraan dan keadilan gender; (3) meningkatkan
kemampuan dan kapasitas institusi-institusi pemerintah pusat dan
daerah untuk melakukan pengarusutamaan gender dalam proses
perencanaan,
pelaksanaan,
pemantauan
dan
evaluasi
pembangunan, antara lain melalui peningkatan keterampilan dan
keahlian serta pembentukan unit pengarusutamaan gender di
setiap instansi pemerintah; (4) mengembangkan berbagai alat dan
metode, termasuk mengembangkan materi dan bahan KIE untuk
pengarusutamaan gender; (5) mengembangkan sistem informasi
gender, antara lain melalui penyediaan data dan informasi yang
dibedakan menurut jenis kelamin; (6) meningkatkan kemampuan
dan kapasitas lembaga-lembaga masyarakat yang memiliki visi
pemberdayaan perempuan, termasuk organisasi-organisasi
perempuan yang ada di tingkat nasional dan daerah, melalui
peningkatan keterampilan dan keahlian untuk lebih dapat
menemukenali dan mengatasi berbagai permasalahan yang
dihadapi
perempuan,
serta
bersama-sama
pemerintah
merumuskan kebijakan dan program pembangunan; (7)
menciptakan hubungan kemitraan yang saling menguntungkan
antara pemerintah, masyarakat, pranata dan lembaga-lembaga
masyarakat yang memiliki visi pemberdayaan perempuan; dan
(8) meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat media
dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

VIII 75

b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil yang dicapai dari pelaksanaan program ini antara


lain adalah sebagai berikut.
Untuk mewujudkan komitmen pelaksanaan program
pemberdayaan perempuan telah dilakukan: sosialisasi dan
advokasi pengarusutamaan gender (PUG) di lingkungan
sektor, daerah, organisasi perempuan, LSM, media massa,
organisasi keagamaan baik tingkat nasional, propinsi maupun
kabupaten/kota; fasilitasi PUG bagi sektor dan daerah dalam
menyusun Repeta dan Repetada yang responsif gender; dan
pemberian dana stimulan bagi propinsi dan beberapa
kabupaten untuk mendukung pelaksanaan pembangunan
pemberdayaan perempuan. Jika pada tahun 2001 cakupan
program adalah pada tingkat nasional dan propinsi, maka
pada tahun 2002-2004 cakupan tersebut diperluas hingga
tingkat kabupaten/kota.
Untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap
perempuan, pada tahun 2001 pemerintah bersama masyarakat
telah membangun komitmen melalui Deklarasi Komitmen
Bersama Negara dan Masyarakat Indonesia untuk
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Saat ini RUU
tentang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diajukan
sebagai inisiatif DPR sedang dalam pembahasan oleh
Pemerintah. Usaha tersebut dilanjutkan dengan penyusunan
dan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan (RAN PKTP). Sedangkan
untuk memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap
korban tindak kekerasan terhadap perempuan, telah dibangun
Pusat Krisis Terpadu (one stop crisis center) di beberapa
rumah sakit besar di 10 propinsi. Sejak tahun 2002 upaya ini
diperluas dengan membangun women crisis center di
beberapa kabupaten dan 163 Ruang Pelayanan Khusus
(RPK) di 19 Polda dan Polres di seluruh Indonesia. Di
VIII 76

samping itu juga dilakukan pendidikan reserse wanita


penanganan kasus korban tindak kekerasan terhadap
perempuan yang melibatkan polisi wanita (Polwan) dari 21
Polda di seluruh Indonesia. Penyebaran informasi tentang
penghapusan kekerasan terhadap perempuan dilakukan
melalui pengembangan web-site serta iklan layanan
masyarakat di berbagai media elektronik dan media cetak.
Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan masalah
perdagangan perempuan dan anak (trafficking in women and
children), telah diterbitkan Keppres No. 88 tahun 2002
tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan
(Trafiking) Perempuan dan Anak dan Keppres No. 87 tentang
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual
Komersial Anak. Kegiatan lainnya berupa: peningkatan
intensitas kegiatan dalam memerangi kejahatan transnasional
yang terorganisir termasuk trafficking perempuan dan anak;
peningkatan pengawasan terhadap masyarakat dan organisasi
yang dicurigai terlibat dalam praktek trafficking; penyidikan,
penyelidikan dan pendakwaan serta penegakan hukum
terhadap pelaku dalam praktek trafficking perempuan dan
anak; ratifikasi Protocol to Prevent Trafficking in Persons,
Especially Women and Children; penyiapan RUU tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; dan RUU
tentang Perlindungan Korban dan Saksi. Penilaian
internasional pada Indonesia dalam hal pencegahan dan
penanggulangan trafiking perempuan dan anak telah
menunjukkan perbaikan, yang ditandai oleh perubahan dari
kategori Tier III pada tahun 2000 menjadi Tier II pada tahun
2003.
Dalam pembangunan politik, telah dilakukan perbaikan
struktur politik dan peningkatan keterwakilan perempuan
dalam bidang politik (legislatif), dalam pengambilan
keputusan dan dalam jabatan publik lainnya (eksekutif dan
yudikatif), antara lain melalui pendidikan politik bagi
perempuan. Pelaksanaan kegiatan ini didukung oleh
organisasi masyarakat. Di samping itu, juga dibentuk kaukus
VIII 77

perempuan untuk politik dan untuk parlemen di tingkat


nasional dan di beberapa propinsi.
Dalam upaya penguatan kelembagaan di daerah, di
tingkat propinsi dan kabupaten/kota telah dibentuk unit kerja
yang menangani pemberdayaan perempuan. Dalam
kelembagaan pengarusutamaan gender, telah terbentuk forum
kesetaraan dan keadilan gender (KKG) di tingkat nasional,
lembaga pemberdayaan perempuan di seluruh propinsi dan
inisisasinya di 235 kabupaten/kota, focal point di 37
Departemen/ LPND, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung
dan Markas Besar (Mabes) Polri. Selain itu, telah
dikembangkan 123 jaringan komunikasi kelembagaan Pusat
Studi Wanita (PSW) seluruh Indonesia agar mereka lebih
berperan dalam memberikan masukan kebijakan bagi
pemerintah daerah.
Peranserta masyarakat dalam penanganan masalah
perempuan dan anak di daerah pengungsian dan di daerah
kerusuhan sosial sangat membantu mereka yang menjadi
korban konflik sosial. Bentuk kepedulian dan kerjasama
tersebut ditandai dengan dibangunnya Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2), yang hingga
tahun 2003 terdapat di 7 propinsi. Sementara itu, dalam
upaya penanganan masalah pornografi dan pornoaksi,
Pemerintah bersama masyarakat telah membangun Gerakan
Masyarakat Anti Pornografi dan Pornoaksi, dan
mempersiapkan RUU tentang Anti Pornografi dan Pornoaksi.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi


dalam pelaksanaan program ini, antara lain adalah: belum
semua focal point yang ada telah menjalankan fungsi dan
tugasnya sesuai dengan yang diharapkan; dan sistem
informasi gender yang telah ada belum dapat berfungsi
secara optimal karena masih terbatasnya ketersediaan data
terpilah menurut jenis kelamin.
VIII 78

iii. Tindak Lanjut


Upaya tindak lanjut yang akan dilaksanakan antara
lain adalah: meningkatkan pemahaman tentang kesetaraan
dan keadilan gender bagi semua kalangan baik pemerintah,
masyarakat, lembaga legislatif dan judikatif; menyediakan
data yang dapat menggambarkan situasi perempuan pada
berbagai bidang pembangunan baik di pusat maupun di
daerah; meningkatkan peranserta masyarakat melalui
pengembangan berbagai program serta memobilisasi potensi
yang ada di masyarakat; meningkatkan perlindungan untuk
pekerja perempuan, terutama yang bekerja di luar negeri; dan
melakukan pemutakhiran data terpilah menurut jenis
kelamin.
4.

Pemuda dan Olahraga

4.1 Program
Olahraga
a.

Pengembangan

dan

Keserasian

Kebijakan

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk mewujudkan keserasian


kebijakan olahraga di berbagai bidang pembangunan.
Sasaran kinerja program ini meliputi: (1) terumuskannya dan
terlaksananya kebijakan olahraga yang serasi bagi peningkatan
kualitas dan kuantitas insan pelaku, pembina, praktisi, dan
pendukung olahraga; dan (2) terumuskannya dan terlaksananya
kebijakan olahraga yang serasi dan sinergi antara kebijakan di
tingkat nasional dengan kebijakan di tingkat daerah.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) melaksanakan pengkajian dan merumuskan
kebijakan pembangunan olahraga yang efektif, proaktif, dan
inovatif; (2) melaksanakan pengkajian dan menyempurnakan
peraturan perundang-undangan yang aspiratif dan akomodatif
VIII 79

untuk mendukung perkembangan olahraga nasional yang dinamis


dan kompetitif; dan (3) melakukan pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan kebijakan olahraga.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil pelaksanaan yang telah dicapai program ini


selama kurun waktu tahun 2000 sampai dengan 2004
berdasarkan indikator kinerja antara lain meliputi : (1)
terumuskannya konsep kebijakan yang mendukung
perkembangan olahraga nasional dan pedoman mekanisme
pembinaan olahraga dan kesegaran jasmani; (2)
terlaksananya pengkajian dan penyempurnaan peraturan
perundang-undangan yang mendukung perkembangan
olahraga nasional; (3) terlaksananya perumusan kebijakan
yang mendukung perkembangan olahraga nasional; (4)
tersusunnya konsep Rancangan Undang-Undang tentang
Olahraga; (5) tersusunnya pedoman yang mendukung
perkembangan olahraga nasional dan daerah; (6) penelitian
bidang olahraga dan kesegaran jasmani; (7) terumuskannya
kebijakan nasional pembangunan olahraga; dan (8)
tersusunnya rencana regionalisasi SLTP/SMU Olahraga.
ii. Permasalahan dan Tantangan
Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan upaya
untuk mewujudkan keserasian kebijakan olahraga di
berbagai bidang pembangunan olahraga adalah: (1)
rendahnya kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan
tenaga keolahragaan; dan (2) kurangnya tenaga yang
profesional untuk menangani olahraga pelajar, dan
masyarakat.
Dengan memperhatikan permasalahan yang terjadi
dalam penyelenggaraan kebijakan keolahragaan, maka
tantangan yang dihadapi dalam pembangunan olahraga
VIII 80

adalah bagaimana mengupayakan langkah-langkah untuk


meningkatkan sumberdaya manusia di bidang keolahragaan,
dan terciptanya sistem koordinasi antarunit terkait, baik di
tingkat pusat sampai di tingkat daerah, sehingga dapat
mewujudkan adanya keserasian dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengendalian kebijakan olahraga.
iii. Tindak Lanjut
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, tindak lanjut
yang diperlukan adalah: (1) melaksanakan penelitian
dan/atau pengkajian kebijakan-kebijakan pembangunan di
bidang olahraga; (2) melakukan pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan pembangunan olahraga; (3) mengembangkan
sistem informasi olahraga melalui pengaturan sistem
informasi yang komprehensif, terpadu, dan berkelanjutan;
(4) melakukan pembinaan manajemen olahraga; dan (5)
meningkatkan dukungan administrasi dan operasional
program.
4.2 Program Pemasyarakatan Olahraga dan Kesegaran Jasmani
a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesegaran


jasmani masyarakat dan pelaksanaan kegiatan olahraga termasuk
olahraga masyarakat, sehingga mendukung pelaksanaan
paradigma sehat dan melestarikan olahraga tradisional sebagai
potensi budaya nasional.
Sasaran kinerja program ini adalah: (1) meningkatnya
kesegaran jasmani masyarakat termasuk peserta didik, pekerja,
dan kelompok lanjut usia; (2) meningkatnya jumlah dan kualitas
olahraga yang berkembang di masyarakat termasuk untuk
penyandang cacat, lanjut usia, dan olahraga tradisional; dan (3)
meningkatnya jumlah sarana dan prasarana pendukung kegiatan

VIII 81

kesegaran jasmani dan olahraga, baik di tempat kerja, maupun


fasilitas umum.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) melaksanakan pelayanan KIE dan konseling
bagi masyarakat berolahraga; (2) mengembangkan olahraga
anak; (3) mengembangkan pendidikan jasmani di sekolah dan
perguruan tinggi; (4) mengembangkan olahraga di tempat kerja;
(5) mengembangkan olahraga rekreasi; (6) mengembangkan
olahraga lanjut usia; (7) mengembangkan olahraga penyandang
cacat; (8) mengembangkan olahraga tradisional; dan (9)
meningkatkan peran masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah
daerah dalam mengembangkan prasarana dan sarana olahraga.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil pelaksanaan yang telah dicapai program ini


selama kurun waktu tahun 2000 sampai dengan 2004
berdasarkan indikator kinerja antara lain meliputi: (1)
meningkatnya jumlah pembinaan olahraga di tingkat daerah;
(2) meningkatnya jumlah kompetisi olahraga masyarakat,
olahraga tradisional, dan olahraga kelompok khusus; (3)
terselenggaranya bimbingan dan penyuluhan olahraga
tentang kesegaran jasmani bagi masyarakat dan peserta
didik; (4) tersusunnya naskah tentang bahan pembelajaran
pendidikan jasmani; (5) jumlah klub olahraga pelajar dan
kelompok berlatih olahraga; (6) terselenggaranya olahraga
ekstrakurikuler di sekolah; (7) terselenggaranya olahraga
invitasi tradisional; (8) meningkatnya peranserta masyarakat
dan dunia usaha, dan pemerintah daerah dalam mendukung
kegiatan olahraga; dan (9) terselenggaranya lomba sehat dan
bugar antarwarga belajar di sekolah dan masyarakat.

VIII 82

ii.

Permasalahan dan Tantangan

Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan upaya


untuk meningkatkan kesegaran jasmani masyarakat dan
pelaksanaan kegiatan olahraga termasuk olahraga masyarakat
adalah: (1) belum diterapkannya perilaku hidup sehat dan
kebiasaan berolahraga secara teratur dalam kehidupan seharihari; (2) lemahnya pembinaan olahraga pelajar secara
berjenjang dan menyeluruh di berbagai cabang olahraga; dan
(3) kurangnya sarana dan prasarana olahraga, baik di sekolah
maupun masyarakat.
Tantangan dalam pemasyarakatan olahraga dan
kesegaran jasmani adalah bagaimana mendorong partisipasi
masyarakat
agar
lebih
peduli
dengan
kegiatan
pemasyarakatan dan kesegaran jasmani, baik lewat jalur
sekolah, maupun masyarakat.
iii.

Tindak Lanjut

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, tindak lanjut


yang diperlukan antara lain: (1) menyelenggarakan
Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) dan konseling bagi
masyarakat berolahraga; (2) mengembangkan pendidikan
jasmani di sekolah dan perguruan tinggi; (3)
mengembangkan olahraga di tempat kerja; (4) melaksanakan
peningkatan kapasitas (capacity building) di bidang
pembangunan olahraga; (5) mengembangkan olahraga
rekreasi, olahraga lanjut usia, olahraga penyandang cacat,
dan olahraga tradisional; (6) meningkatkan peran
masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah daerah dalam
mengembangkan prasarana dan sarana olahraga; dan (7)
menyediakan ruang-ruang publik bagi masyarakat untuk
melaksanakan aktivitas olahraga.

VIII 83

4.3 Program Pemanduan Bakat dan Pembibitan Olahraga


a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan upaya


pemanduan bakat dan pembibitan olahraga sejak usia dini,
termasuk bagi penyandang cacat, terutama di sekolah.
Sasaran kinerja program ini adalah: (1) meningkatnya
jumlah bibit olahragawan berbakat, termasuk penyandang cacat;
(2) meningkatnya jumlah dan kualitas wadah pembinaan
olahragawan pelajar; (3) meningkatnya jumlah dan kualitas
kompetisi berdasarkan prioritas cabang olahraga yang
diunggulkan; (4) meningkatnya penyediaan prasarana dan sarana
olahraga dengan kualitas yang memadai dan sesuai standar
termasuk untuk penyandang cacat; (5) meningkatnya peran
organisasi olahraga termasuk olahraga penyandang cacat dalam
upaya pemanduan bakat dan pembibitan olahraga; (6)
meningkatnya kualitas gizi sesuai standar bagi olahragawan
berbakat; (7) meningkatnya kualitas kompetensi pelatih, peneliti,
praktisi, dan teknisi olahraga; dan (8) meningkatnya penerapan
dan pemanfaatan iptek olahraga sebagai pendorong peningkatan
prestasi pada semua cabang olahraga.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) menanamkan disiplin dan nilai-nilai
sportivitas dalam membentuk mental olahragawan; (2)
melakukan identifikasi dan mengembangkan olahraga unggulan
daerah; (3) melakukan identifikasi bakat dan potensi pelajar
dalam olahraga; (4) melakukan pembinaan dan pembibitan
olahragawan berbakat berdasarkan cabang olahraga prioritas
daerah melalui wadah-wadah pembinaan; (5) melakukan
pelatihan guru pendidikan jasmani dan penilik olahraga; (6)
menyelenggarakan kompetisi olahraga pelajar; (7) melakukan
intensifikasi pemberdayaan pemandu bakat olahraga; (8)
menyediakan prasarana dan sarana olahraga di setiap sekolah; (9)
melaksanakan pelayanan KIE dan advokasi bagi olahragawan
berbakat; (10) memberikan penghargaan bagi insan olahraga
VIII 84

yang berdedikasi dan berprestasi; (11) melakukan pembinaan


manajemen organisasi olahraga; (12) meningkatkan partisipasi
masyarakat dan dunia usaha untuk mendukung pendanaan
olahraga; dan (13) melakukan pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan program pemanduan bakat dan pembibitan olahraga.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil pelaksanaan yang telah dicapai program ini selama


kurun waktu tahun 2000 sampai dengan 2004 berdasarkan
indikator kinerja antara lain meliputi: (1) terbentuknya 3.143
wadah (institusi) pembina olahraga bagi peserta didik; (2)
terlaksananya 268 kali kompetisi olahraga antarpeserta didik
secara berjenjang; (3) terlaksananya pendidikan dan pelatihan
sesuai dengan standar kompetensi bagi 6.601 orang pelatih,
peneliti, praktisi, dan teknisi olahraga; (4) tersedianya 9.089
orang bibit olahragawan; (5) terlaksananya bimbingan dan
penyuluhan tentang pemanduan bakat dan pembibitan
olahraga; (6) terlaksananya pembinaan olahraga di kalangan
pelajar termasuk pelajar penyandang cacat, organisasi
olahraga dan masyarakat; dan (7) terlaksananya
pemberdayaan institusi iptek olahraga di Perguruan Tinggi
dan organisasi olahraga.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan upaya


untuk meningkatkan pemanduan bakat dan pembibitan
olahraga sejak usia dini termasuk bagi penyandang cacat
terutama di sekolah adalah: (1) lemahnya sumber daya
manusia di bidang pemanduan bakat; (2) lemahnya
manajemen olahraga; dan (3) kurang intensifnya upayaupaya pembibitan.
Tantangan untuk meningkatkan upaya pemanduan bakat
dan pembibitan olahraga adalah bagaimana menciptakan
VIII 85

suatu sistem pemanduan bakat dan pembibitan olahraga, baik


lewat jalur sekolah maupun prestasi olahraga, dengan
didukung oleh tenaga-tenaga yang profesional dan
penanganan yang terpadu.
iii.

Tindak Lanjut

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, tindak lanjut


yang akan dilaksanakan antara lain adalah: (1) meningkatkan
kualitas SDM pemandu bakat dan prestasi olahraga; (2)
melakukan pembinaan olahraga usia dini, kelas olahraga,
klub olahraga pelajar dan mahasiswa, dan kelompok berlatih
olahraga; (3) melakukan bimbingan dan kompetisi olahraga
pelajar secara berjenjang dan teratur dalam rangka
menanamkan disiplin, nilai-nilai sportivitas, dan menggali
bakat olahraga; (4) melaksanakan fasilitasi dan bimbingan
bagi daerah untuk melakukan seleksi serta penelusuran minat
dan bakat olahragawan daerah; (5) melaksanakan training
camp dalam rangka peningkatan kemampuan bagi
olahragawan pelajar berbakat; (6) memberdayakan Pusat
Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP); (7)
melakukan identifikasi dan mengembangkan olahraga
unggulan daerah; (8) melakukan identifikasi bakat dan
potensi pelajar dalam olahraga; (9) melakukan pembinaan
dan pembibitan olahragawan berbakat berdasarkan cabang
olahraga prioritas daerah melalui wadah-wadah pembinaan;
(10) melakukan pelatihan guru pendidikan jasmani dan
penilik olahraga; (11) menyelenggarakan kompetisi olahraga
bagi pelajar; (12) menyediakan prasarana dan sarana
olahraga di sekolah; (13) melaksanakan KIE dan advokasi
bagi olahragawan berbakat; (14) memberikan penghargaan
bagi insan olahraga yang berdedikasi dan berprestasi; dan
(15) melakukan pembinaan manajemen organisasi olahraga.

VIII 86

4.4 Program Peningkatan Prestasi Olahraga


a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan prestasi olahraga


termasuk olahraga bagi penyandang cacat.
Sasaran kinerja program ini adalah: (1) meningkatnya
prestasi olahragawan di tingkat nasional, yang antara lain
ditandai dengan pemecahan rekor nasional; (2) meningkatnya
peringkat juara yang diraih atlet dalam kejuaraan olahraga,
termasuk olahraga bagi penyandang cacat di tingkat
internasional; (3) termanfaatkannya iptek olahraga untuk
meningkatkan prestasi olahraga; dan (4) meningkatnya dukungan
dunia usaha, industri, dan partisipasi masyarakat, terutama dalam
pendanaan dan pembinaan olahraga prestasi.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) melakukan identifikasi prioritas cabang
olahraga prestasi di tingkat daerah, nasional, dan internasional;
(2) melakukan pembinaan cabang olahraga prestasi prioritas di
tingkat daerah dan nasional; (3) mengembangkan pengetahuan
dan meningkatkan keahlian serta melakukan penempaan mental
bagi atlet; (4) menyelenggarakan kompetisi olahraga secara
teratur, berjenjang dan berkesinambungan bagi pelajar,
mahasiswa, dan masyarakat; (5) meningkatkan manajemen
organisasi olahraga tingkat perkumpulan, tingkat daerah, dan
tingkat nasional sehingga mampu berperan aktif dalam
pembinaan olahraga prestasi dan peningkatan prestasi olahraga;
(6) meningkatkan jumlah dan kualitas serta kompetensi pelatih,
peneliti, praktisi, dan teknisi olahraga; (7) mengembangkan
pengetahuan iptek dan meningkatkan keahlian yang strategis
bagi pelatih, peneliti, praktisi, dan teknisi olahraga; (8)
menerapkan dan memanfaatkan iptek olahraga sebagai
pendorong peningkatan prestasi olahraga; (9) meningkatkan
partisipasi dunia usaha, industri, dan masyarakat untuk
mendukung pendanaan dan pembinaan olahraga prestasi; (10)

VIII 87

meningkatkan jaminan kesejahteraan bagi masa depan atlet,


pelatih, dan teknisi olahraga.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil pelaksanaan yang telah dicapai program ini


selama kurun waktu tahun 2000 sampai dengan 2004
berdasarkan indikator kinerja antara lain meliputi: (1)
meningkatnya peserta didik yang dibina dalam cabang
olahraga prestasi; (2) terselenggaranya kompetisi olahraga
secara berjenjang dan berkesinambungan di sekolah dan
masyarakat; (3) meningkatnya organisasi olahraga prestasi;
(4) meningkatnya jumlah pelatih dan wasit yang mengikuti
penataran; (5) terlaksananya advokasi, penerapan, dan
pemanfaatan iptek olahraga; (6) jumlah dunia usaha dan
industri yang mendukung pembinaan dan pendanaan
olahraga; (7) terlaksananya advokasi, penerapan, dan
pemanfaatan iptek olahraga; (8) terselenggaranya pendidikan
dan latihan bagi pelajar termasuk penyandang cacat,
mahasiswa dan masyarakat; (9) terlaksananya pemberian
apresiasi dan penghargaan bagi atlet, pelatih, dan pembina
berprestasi; (10) terlaksananya penataran bagi pelatih dan
wasit; dan (11) meningkatnya dunia usaha dan industri yang
mendukung pembinaan dan pendanaan olahraga.
ii. Permasalahan dan Tantangan
Permasalahan
yang
dihadapi
dalam
upaya
meningkatkan prestasi olahraga adalah: (1) menurunnya
pembinaan dan kurangnya penerapan dan pemanfaatan iptek
secara tepat dan benar dalam olahraga; (2) minimnya sarana
dan prasarana umum untuk berolahraga sehingga masyarakat
enggan berolahraga; dan (3) kurangnya kompetisi olahraga
baik dalam skala nasional maupun regional.

VIII 88

Tantangan untuk meningkatkan prestasi olahraga


adalah: (1) bagaimana meningkatkan daya saing Indonesia
dalam event-event olahraga, baik di tingkat regional maupun
internasional; dan (2) meningkatkan peran pembangunan
olahraga sebagai suatu industri (sport industry).
iii. Tindak Lanjut
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, tindak lanjut
yang akan dilaksanakan antara lain adalah: (1) melakukan
pembinaan cabang olahraga prestasi prioritas di tingkat
daerah dan nasional; (2) mengembangkan pengetahuan dan
meningkatkan keahlian serta melakukan penempaan mental
atlet; (3) meningkatkan jaminan kesejahteraan bagi masa
depan atlet, pelatih, dan teknisi olahraga; (4)
menyelenggarakan dan mengikuti kompetisi olahraga secara
teratur dan berjenjang pada tingkat daerah, nasional, dan
internasional yang berkesinambungan, baik bagi pelajar,
mahasiswa, maupun masyarakat; (5) memberdayakan Diklat
Olahragawan SLTP/SMU Negeri Ragunan dalam rangka
peningkatan prestasi olahraga pelajar; (6) membentuk dan
membina Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga
Mahasiswa (PPLM); (7) mendidik dan melatih atlet pelajar,
mahasiswa, termasuk atlet penyandang cacat sampai pada
tingkat nasional dan internasional; (8) meningkatkan kualitas
manajemen organisasi olahraga prestasi prioritas di tingkat
daerah dan nasional; (9) menyelenggarakan pelatihan
olahraga bagi pembina, pelatih dan wasit dalam rangka
peningkatan jumlah dan kualitasnya; (10) meningkatkan
kepedulian masyarakat dan dunia usaha mengenai
pentingnya dukungan pendanaan olahraga terutama olahraga
prestasi; dan (11) penggalian sumber-sumber pembiayaan
pembangunan olahraga dari masyarakat secara legal dan
transparan.

VIII 89

4.5 Program Pengembangan


Kepemudaan
a.

dan

Keserasian

Kebijakan

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah untuk mewujudkan keserasian


kebijakan pemuda di berbagai bidang pembangunan.
Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah: (1)
terumuskannya dan terlaksananya kebijakan kepemudaan bagi
peningkatan kualitas dan peran pemuda sehingga mengarah pada
kemandirian, peningkatan kreativitas, dan siap dalam bersaing di
berbagai bidang pembangunan; dan (2) terumuskannya dan
terlaksananya kebijakan kepemudaan yang serasi antara
kebijakan di tingkat nasional dengan kebijakan di tingkat daerah.
Arah kebijakan program dituangkan dalam kegiatan pokok
yang meliputi: (1) melakukan pengkajian kebijakan dan
penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang mendukung
upaya pemberdayaan pemuda di bidang ekonomi dan sosial
budaya, serta kesempatan berkreasi bagi pemuda; (2) melakukan
pengembangan berbagai materi KIE dan advokasi bagi pemuda
dalam rangka lebih aktif berpartisipasi dalam berbagai bidang
pembangunan; (3) mengintegrasikan kebijakan pembangunan
kepemudaan ke dalam berbagai kebijakan kepemudaan lainnya
secara terpadu, baik di tingkat nasional maupun daerah; (4)
melakukan intensifikasi kegiatan penelitian dan pengembangan
masalah-masalah kepemudaan, termasuk pemanfaatan dan
pendayagunaan hasilnya.
b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil pelaksanaan yang telah dicapai program ini


selama kurun waktu tahun 2000 sampai dengan 2004
berdasarkan indikator kinerja antara lain meliputi: (1)
tersusunnya pedoman pengembangan sentra pemberdayaan
VIII 90

pemuda nasional, regional, dan lokal; (2) terlaksananya


kajian kebijakan penanggulangan kenakalan remaja, tawuran
pelajar, penanggulangan penyalahgunaan narkoba, minuman
keras, dan HIV/AIDS; (3) tersusunnya data dan informasi
kepemudaan; (4) tersusunnya berbagai materi KIE dan
advokasi bagi pemuda; (5) diterbitkannya buku indikator
kepemudaan; (6) tersusunnya mekanisme koordinasi
perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan
pemuda; (7) tersusunnya bahan-bahan naskah akademik
masukan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan
kepemudaan; (8) terlaksananya dialog kepemudaan di
tingkat nasional dan daerah.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Beberapa
permasalahan
dalam
upaya
untuk
mewujudkan keserasian kebijakan pemuda di berbagai
bidang pembangunan antara lain: (1) data pendukung untuk
pengkajian cukup sulit diperoleh; dan (2) belum
terumuskannya kebijakan pembangunan kepemudaan secara
serasi, menyeluruh, terintegrasi, dan terkoordinasi
antarkebijakan di tingkat nasional dengan kebijakan di
tingkat daerah.
Tantangan untuk mewujudkan keserasian kebijakan
kepemudaan di berbagai bidang pembangunan adalah
terciptanya sistem koordinasi antarunit terkait, baik di
tingkat pusat sampai di tingkat daerah, sehingga dapat
mewujudkan adanya keserasian dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengendalian kebijakan kepemudaan.
iii.

Tindak Lanjut

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, tindak lanjut


yang akan dilakukan antara lain adalah: (1) melakukan
kajian kebijakan yang mendukung upaya pemberdayaan
pemuda dalam pembangunan; (2) melaksanakan pengkajian
untuk penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang
VIII 91

kepemudaan; dan (3) mengintegrasikan kebijakan


pembangunan kepemudaan secara terpadu, baik di tingkat
nasional maupun daerah.
4.6 Program Peningkatan Partisipasi Pemuda
a.

Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program ini adalah untuk memberi peluang yang


lebih besar kepada pemuda guna memperkuat jati diri dan
potensinya dengan berpartisipasi aktif dalam pembangunan
termasuk upaya penanggulangan berbagai masalah pemuda.
Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah: (1)
meningkatnya partisipasi pemuda dalam lembaga sosial
kemasyarakatan dan organisasi kepemudaan; (2) terbentuknya
peraturan perundang-undangan yang menjamin kebebasan
pemuda untuk mengorganisasikan dirinya secara bertanggung
jawab; (3) meningkatnya jumlah wirausahawan muda; (4)
meningkatnya jumlah karya, kreasi, karsa, dan apresiasi pemuda
di berbagai bidang pembangunan; (5) menurunnya jumlah kasus
dan penyalahgunaan narkoba oleh pemuda, serta meningkatnya
peran dan partisipasi pemuda dalam pencegahan dan
penanggulangan narkoba; dan (6) menurunnya angka
kriminalitas yang dilakukan pemuda.
Arah kebijakan dituangkan dalam kegiatan pokok yang
dikelompokkan ke dalam tiga bidang, yaitu ekonomi, agama, dan
sosial budaya. Di bidang ekonomi, kegiatan-kegiatan pokok yang
akan dilakukan adalah: (1) memberdayakan pengusaha kecil,
menengah, dan koperasi pemuda agar lebih efisien, produktif,
dan berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha yang
kondusif dan peluang usaha yang seluas-luasnya bagi pemuda;
(2) meningkatkan kualitas, kompetensi, kemandirian, dan
profesionalisme pengusaha kecil, menengah, koperasi pemuda,
agar lebih kreatif, inovatif, produktif, dan berdaya saing global;
(3) meningkatkan keterampilan dan keahlian tenaga kerja
VIII 92

pemuda yang diarahkan bagi peningkatan kompetensi,


kemandirian, dan profesionalisme; (4) mengembangkan
kewirausahaan pemuda yang berorientasi global dengan
memperhatikan kompetensi dan produk unggulan di setiap
daerah; (5) meningkatkan pemahaman dan kesadaran pemuda
tentang manfaat penggunaan iptek dan informasi dalam
meningkatkan keunggulan daya saing pemuda; dan (6)
meningkatkan partisipasi dan kepedulian pemuda dalam
pengelolaan lingkungan hidup dan pelestarian sumber daya alam,
untuk kesejahteraan dan kesinambungan pembangunan.
Di bidang agama dan sosial budaya, kegiatan-kegiatan
pokok yang akan dilakukan adalah: (1) memperluas kesempatan
dalam berorganisasi dan berkreasi bagi pemuda secara bebas dan
bertanggung jawab; (2) meningkatkan apresiasi seni dan budaya
bangsa di kalangan pemuda sebagai media persahabatan
antardaerah dan antarnegara; (3) meningkatkan rasa
kesetiakawanan dan kepedulian sosial di kalangan pemuda; (4)
mencegah berbagai pengaruh negatif budaya asing di kalangan
pemuda dalam rangka memperkuat ketahanan budaya nasional;
(5) meningkatkan partisipasi pemuda dalam berbagai bidang
pembangunan untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang bertumpu pada penghargaan terhadap
kemajemukan; (6) meningkatkan peran aktif pemuda dalam
penanggulangan masalah penyalahgunaan narkoba, minuman
keras, penyebaran penyakit HIV/AIDS, dan penyakit menular
seksual di kalangan pemuda; (7) meningkatkan peran aktif
pemuda dalam penanggulangan kriminalitas termasuk tawuran di
kalangan pelajar dan pemuda; (8) memberikan pemahaman,
penanaman nilai-nilai, dan penghormatan terhadap supremasi
hukum dan hak asasi manusia (HAM) bagi pemuda; dan (9)
meningkatkan jaringan kerjasama di kalangan pemuda, baik
tingkat nasional maupun internasional.

VIII 93

b.

Pelaksanaan
i.

Hasil yang Dicapai

Hasil pelaksanaan yang telah dicapai program ini selama


kurun waktu tahun 2000 sampai dengan 2004 berdasarkan
indikator kinerja antara lain meliputi: (1) meningkatnya
jumlah organisasi pemuda dalam bidang sosial
kemasyarakatan; (2) meningkatnya kemampuan manajerial
usaha muda; (3) terlaksananya pameran, festival dan
pagelaran seni budaya, pariwisata, dan iptek serta lomba
ilmiah dan sastra, baik di tingkat nasional maupun
internasional, yang diikuti oleh pemuda; (4) meningkatnya
penerapan teknologi informatika dalam produksi dan
pemasaran hasil usaha pemuda; (5) meningkatnya jumlah
wirausahawan muda yang mengikuti pelatihan keterampilan
dan manajemen; (6) terlaksananya upaya untuk
meningkatkan peran aktif pemuda dalam penanggulangan
narkoba, HIV/AIDS, dan kriminalitas, termasuk tawuran di
kalangan pelajar dan pemuda; (7) terlaksananya upaya untuk
meningkatkan pemahaman dan penghormatan terhadap
supremasi hukum dan HAM oleh pemuda; (8) terlaksananya
pameran, festival dan pagelaran seni budaya, pariwisata, dan
iptek serta lomba ilmiah dan sastra, baik di tingkat nasional
maupun internasional, yang diikuti oleh pemuda; (9)
terbentuknya jaringan kerjasama (networking) pemuda
antardaerah dan antarnegara; (10) terlaksananya upaya untuk
meningkatkan peran aktif pemuda dalam penanggulangan
kriminalitas termasuk tawuran di kalangan pelajar dan
pemuda; dan (11) terlaksananya dialog-dialog keagamaan
bagi pemuda.
ii.

Permasalahan dan Tantangan

Beberapa permasalahan berkaitan dengan peningkatan


partisipasi pemuda dalam pembangunan adalah: (1) masih
kurang berkembangnya kemandirian, kreativitas, serta
produktivitas di kalangan pemuda; (2) semakin lunturnya
VIII 94

ketahanan budaya dan kepribadian nasional di kalangan


pemuda, karena cepatnya perkembangan dan kemajuan
teknologi komunikasi sebagai akibat derasnya arus informasi
global; dan (3) masih rendahnya tingkat pendidikan di
kalangan pemuda, dan minimnya ruang-ruang publik bagi
kalangan pemuda untuk mengekspresikan dirinya.
Adapun tantangan yang dihadapi pemuda saat ini adalah:
(1) munculnya gerakan demokratisasi dan HAM; dan (2)
kepedulian pemuda terhadap persoalan-persoalan sosial
budaya, ekonomi, identitas dan integritas bangsa, lingkungan
hidup, serta pembentukan moral dan agama.
iii. Tindak Lanjut
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, tindak lanjut
yang akan dilaksanakan antara lain adalah: (1) meningkatkan
keterampilan dan keahlian tenaga kerja pemuda; (2)
mengembangkan usaha kecil, menengah, dan koperasi bagi
pemuda; (3) mengembangkan kewirausahaan pemuda; (4)
meningkatkan partisipasi lembaga kepemudaan dalam
pembangunan ekonomi; (5) mengembangkan sentra
pemberdayaan pemuda; (6) memperluas kesempatan pemuda
terdidik untuk berpartisipasi dalam pembangunan di
pedesaan; (7) meningkatkan mutu tenaga pembina pemuda;
(8) meningkatkan rasa kesetiakawanan, kepedulian sosial,
dan kerukunan antarumat beragama di kalangan pemuda; (9)
mengembangkan jaringan kerjasama pemuda antardaerah,
antarpropinsi dan antarbangsa, melalui pertukaran pemuda
dan Kemah Kesatuan Pemuda; (10) melaksanakan
penyuluhan dan kampanye tentang etika, moral, dan budi
pekerti; (11) meningkatkan peran aktif pemuda dalam
penanggulangan masalah penyalahgunaan narkoba, minuman
keras (miras), penyebaran penyakit HIV/AIDS serta penyakit
menular seksual, dan kriminalitas di kalangan pemuda; dan
(12) mengembangkan wacana-wacana baru tentang
pemahaman masyarakat terhadap kreativitas, aktivitas, dan
aspirasi pemuda dalam era demokrasi dan globalisasi.
VIII 95

Anda mungkin juga menyukai