Anda di halaman 1dari 59

1

UJI MUTU FISIK DAN KEEFEKTIFAN EKSTRAK DAUN ASHITABA


(Angelica keiskei)
PADA SEDIAAN LIGHTENING CREAM

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

OLEH
SAVIRA FARADINAR
NIM 12.039

AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN PUTRA INDONESIA


MALANG
DESEMBER 2014

UJI MUTU FISIK DAN KEEFEKTIFAN EKSTRAK DAUN ASHITABA


(Angelica keiskei)
PADA SEDIAAN LIGHTENING CREAM

PROPOSAL
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan kepada
Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang
Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program D-3
Bidang Farmasi

OLEH
SAVIRA FARADINAR
NIM 12.039

AKADEMI ANALIS FARMASI DAN MAKANAN PUTRA INDONESIA


MALANG
DESEMBER 2014

Karya Tulis Ilmiah


Oleh Savira Faradinar
Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan

Pembimbing,

Ayu Ristamaya Yusuf, A.Md,

DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1

Latar Belakang............................................................................. 1

1.2

Rumusan Masalah.........................................................................6

1.3

Tujuan Penelitian..........................................................................6

1.4

Kegunaan Penelitian......................................................................7

1.5

Asumsi Penelitian..........................................................................7

1.6

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian......................................8

1.7

Definisi Istilah............................................................................... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................10


2.1

Tinjauan tentang Kulit..................................................................10

2.2

Tinjauan tentang Kosmetik...........................................................18

2.3

Tinjauan tentang Krim.................................................................20

2.4

Tinjauan tentangAshitaba (Angelica keiskei).....................................25

2.5

Tinjauan tentang Antioksidan dan Radikal Bebas..............................30

2.6.

Tinjauan tentang Antioksidan dan ROS Terhadap Kulit.....................32

2.7

Tinjauan tentang Ekstraksi...........................................................35

2.7

Analisis Data.............................................................................. 36

2.8

Kerangka Konsep........................................................................37

2.9

Kerangka Teori...........................................................................38

BAB III METODE PENELITIAN...............................................................41


5.1

Rancangan Penelitian...................................................................41

5.2

Populasi Sampel..........................................................................42

5.3

Lokasi dan Waktu Penelitian.........................................................42

5.4

Instrumen Penelitian....................................................................42

5.5

Definisi Operasional.....................................................................44

5.6

Pengumpulan Data......................................................................44

DAFTAR RUJUKAN................................................................................ 55

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi saat ini, banyak
kosmetik yang diproduksi dengan tujuan meningkatkan kecantikan. Salah satu
produk kosmetik yang banyak digunakan adalah produk pencerah kulit. Produk
pencerah kulit sangat diminati di wilayah Asia yang pada umumnya
masyarakatnya berkulit kuning sampai cokelat. Penyebabnya adalah konsep
kecantikan yang berkembang saat ini adalah memiliki kulit halus, putih, bersih
dan mulus. Kulit putih sebagai pencitraan kecantikan terus digencarkan oleh
media massa melalui berbagai iklan sehingga membentuk kesadaran semu bahwa
berkulit putih memang cantik sebagaimana disebutkan oleh Purnamasari dalam
Rohmah (2013: 1).
Masyarakat menganggap bahwa kosmetika tidak akan menimbulkan halhal yang membahayakan karena hanya ditempelkan di bagian luar kulit saja.
Pendapat ini tentu saja salah karena ternyata kulit mampu menyerap bahan yang
melekat pada kulit. Wasitaatmadja dalam Parengkuan et al. (2013: 63)
menerangkan bahwa penyerapan kosmetika melalui kulit terjadi karena kulit
mempunyai celah anatomis yang dapat menjadi jalan masuk zat-zat yang melekat
di atasnya. Apabila kosmetika yang digunakan mengandung bahan berbahaya,
maka bahan tersebut akan diserap oleh kulit sehingga dapat menimbulkan efek
samping. Efek samping kosmetik pencerah kulit disebabkan oleh kandungan
berbahaya

seperti

merkuri

dan

hidrokuinon.

Kosmetik

pencerah

yang

mengandung merkuri menyebabkan toksisitas terhadap organ-organ tubuh seperti


ginjal, saraf, dan sebagainya. Sedangkan kosmetika yang mengandung
hidrokuinon dapat menimbulkan dermatitis kontak dalam bentuk bercak warna

putih yang disebabkan oleh over bleaching atau sebaliknya menimbulkan reaksi
hiperpigmentasi (Tranggono et al. 2007).
Manurung dalam Rohmah (2013:1) menyampaikan data dari tim
MEKSOS (Monitoring Efek Samping Kosmetik) Badan POM RI tahun 2007.
Data ini menunjukkan pengaduan yang masuk mengenai efek samping kosmetik
adalah akibat kosmetik pencerah (35%), pelembab (20%), bleaching (15%), bedak
(10%), cat rambut (5%), dan parfum (5%). Dengan demikian efek samping yang
paling sering terjadi di masyarakat adalah akibat penggunaan kosmetik pencerah
kulit.
Berdasarkan fakta tersebut maka perlu dicari alternatif lain untuk kosmetik
pencerah yaitu dengan menggunakan bahan alami. Salah satu bahan alam yang
berpotensi sebagai pencerah kulit adalah tanaman seledri Jepang atau Ashitaba
(Angelica keiskei koidzumi). Ashitaba merupakan salah satu tanaman introduksi
sehingga belum banyak dikenal di Indonesia. Di Jepang tanaman Ashitaba
dikonsumsi sebagai sayuran. Tanaman Ashitaba adalah salah satu tanaman obat
asli Jepang yang dikenal sebagai Harta Karun dan Raja Sayur Mayur.
(Tjitrosoepomo dalam Jauhari 2010). Nagata et al. dalam Swarayana et al. (2012:
120) juga menerangkan bahwa Ashitaba merupakan tanaman yang bermanfaat
untuk panjang umur yang dulu dicari-cari oleh kaisar pertama Cina dari Dinasti
Chin. Pada masa jaman Edo, Ashitaba juga dikenal sebagai jamu-jamuan Umur
Panjang karena kemampuannya menyembuhkan berbagai penyakit
Daun Ashitaba merupakan sumber utama antioksidan karena dalam daun
tersebut terdapat senyawa kimia golongan tanin paling kuat yang disebut juga

dengan polifenol. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Adinata et al. (2012)
daun Ashitaba mengandung senyawa yang beragam, yaitu -karoten, vitamin B 1,
B2, B3, B5, B6, B12, biotin, asam folat dan vitamin C, dan juga mengandung
beberapa mineral seperti kalsium, magnesium, potasium, fosfor, seng dan
tembaga. Selain nutrisi tersebut daun Ashitaba juga mengandung cairan pekat
berwarna kuning, yaitu Chalcone. Chalcone merupakan senyawa golongan
flavonoid (Adinata et al. 2012: 56-57).
Antioksidan golongan polifenol memiliki aktivitas menangkap radikal
bebas lebih tinggi dibandingkan batang dan umbi yang ditunjukkan dengan EC 50
yaitu sebesar 38,00 ppm. Nilai EC50 yang dimiliki daun Ashitaba lebih kecil
dibandingkan dengan jenis seledri yang lain yang nilai EC50 nya sebesar 446,107
ppm. Ini disesuaikan dengan pendapat Robinson (1995), kelompok senyawa tanin
dan fenolik dapat berperan sebagai sumber antioksidan. Hal ini didukung oleh
hasil penelitian Andayani et al. (2008), kemampuan polifenol 100 kali lebih
efektif menangkal radikal bebas dibanding dengan vitamin C dan 25 kali dari
vitamin E (Sembiring & Manoi 2011: 180).
Penelitian yang dilakukan oleh Sang Han-Lee (2012) yaitu melakukan
studi efek dari fraksi tanaman Ashitaba pada iritasi mukosa mata. Selanjutnya
terdapat penelitian yang melakukan uji iritasi kulit dan fototoksisitas akut dengan
cara menggunakan model hewan untuk menganalisa efek daun Ashitaba secara in
vivo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi Ashitaba tidak menimbulkan
iritasi kulit atau menjadi fototoksik, dan menunjukkan bahwa fraksi ini mungkin
berguna dalam industri kosmetik dan untuk aplikasi lainnya. Hal ini didukung
oleh pendapat Chen et al. (2004) dalam Sembiring dan Manoi (2011: 179) nilai

total aktivitas antioksidan dari daun Ashitaba berkisar antara 189030 mg/g berat
kering dan pendapat Son Hu (2012) dalam Sang Han-Lee (2012)ekstrak etanol
maupun ekstrak air dari daun Ashitaba memiliki potensi sebagai whitening dan
aktifitas anti-atopic pada konsentrasi 100 mg/ml.
Melihat fenomena di atas, peneliti bermaksud membuat sediaan krim
pencerah kulit dengan bahan aktif ekstrak daun Ashitaba. Sediaan krim yang
berfungsi sebagai memutihkan warna kulit, tampak lebih cerah dan bercahaya
biasa disebut dengan whitening/ lightening cream. Dikatakan lightening cream
atas pertimbangan bahwa mayoritas warna kulit orang Indonesia cukup gelap dan
tidak mungkin sampai menjadi warna putih. Mekanisme kerja pencerah kulit
adalah menghambat satu atau beberapa tahapan sintesis melanin. Ketika kulit
terkena sinar ultraviolet, sel tyrosin pigmentasi yang ada di lapisan basal kulit
menghasilkan melanin melalui aksi enzim tirosinase. Melanin yang diproduksi
berlebihan menyebabkan deposito pigmen seperti melasma atau bintik-bintik.
Telah dilaporkan bahwa bahan yang efektif untuk menghambat aktivitas tirosinase
adalah asam askorbat, arbutin, kojic acid, azelaic acid, dan tropolone (Jung et al.
dalam Park & Lee 2013: 407).
Dalam formulasi sediaan krim ekstrak daun Ashitaba ini perlu
diperhatikan beberapa aspek. Di antaranya yang penting untuk diperhatikan
adalah pH yang digunakan, sehingga sediaan krim dapat digunakan sekaligus pada
kulit wajah dan kulit tubuh. Berdasarkan penjelasan Tranggono (2007), komposisi
kosmetik memiliki daya penyangga (buffer) yang kuat, baik terhadap senyawa
yang bersifat alkalis maupun yang bersifat asam. Semakin alkalis atau semakin
asam bahan yang mengenai kulit, semakin sulit untuk menetralisirnya dan kulit

akan menjadi lelah karenanya. Kulit dapat menjadi kering, pecah-pecah, sensitif,
dan mudah terkena infeksi. Tingkat keasaman (pH) berbeda antara yang
ditemukan oleh Machionini (1992) dalam Tranggono (2007) dengan peneliti yang
lainnya, tetapi pada umumnya berkisar antara 4,5-6,5.
Perlu diperhatikan pula pelarut dan metode ekstraksi yang digunakan
untuk mengekstrak zat aktif dalam daun Ashitaba. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Sembiring (2011) daun Ashitaba dapat diekstrak menggunakan air
dan etanol. Bagian tanaman yang akan diekstrak adalah pada bagian daun. Hasil
ekstrak etanol tanaman Ashitaba segar, diperoleh rendemen ekstrak dari daun
5,75%, batang 3,99% dan umbi 3,12%. Rendemen ekstrak tertinggi diperoleh dari
daun. Menurut Suryandari (1981) dalam Sembiring (2011) bahwa besarnya
rendemen menunjukkan indikasi adanya kandungan zat berkhasiat dalam suatu
tanaman. Semakin tinggi nilainya berarti kemungkinan kandungan zat berkhasiat
yang dikadungnya juga semakin banyak. Berdasarkan data diatas maka metode
yang dipilih adalah metode maserasi dengan pelarut etanol.
Sediaan krim yang akan dibuat berbasis cold cream. Cold cream
merupakan emulsi air dalam minyak, setengah padat, putih, dibuat dengan lilin
steril ester, lilin putih, minyak mineral, natrium borat, dan air murni. Natrium
borat dicampur dengan asam lemak bebas yang ada dalam lilin-lilin membentuk
sabun natrium yang bekerja sebagai zat pengemulsi.. Menurut Tranggono (2007)
cold cream tidak hanya dipakai sebagai pembersih, tetapi juga sebagai pelembab,
krim pelindung, dan krim tabir surya (dengan penambahan bahan anti sinar
ultraviolet).

Dalam formulasi lightening cream akan digunakan 3 konsentrasi ekstrak


daun Ashitaba, yaitu 5%, 10% dan 15% yang bertujuan untuk mengetahui dosis
yang efektif sebagai pencerah kulit. Sediaan lightening cream ekstrak daun
Ashitaba yang telah jadi kemudian diuji mutu fisik dan stabilitasnya sebelum diuji
keefektifanya. Uji mutu fisik dan stabilitas yang dilakukan yaitu uji organoleptis,
uji homogenitas, uji pH, uji viskositas, uji sentrifugasi, uji daya sebar dan uji daya
lengket. Pengujian keefektifan dilakukan dengan cara mengukur perubahan tone/
warna kulit pada responden selama 4 minggu dengan menggunakan kertas indeks
warna kulit.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan pendahuluan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini sebagai berikut.
1. Apakah lightening cream ekstrak daun Ashitaba dapat mencerahkan kulit?
2. Berapakah konsentrasi ekstrak daun Ashitaba dalam sediaan krim yang
mempunyai kemampuan pencerah yang paling efektif?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan lightening cream
ekstrak daun Ashitaba sebagai pencerah kulit. Kemudian untuk mengetahui
konsentrasi ekstrak daun Ashitaba yang paling efektif sebagai pencerah kulit.

1.4 Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini untuk mengetahui keefektifan ekstrak


daun Ashitaba dalam sediaan lightening cream.
1. Kegunaan bagi Masyarakat
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan lightening cream
ekstrak daun Ashitaba sebagai pencerah kulit. Kemudian untuk mengetahui
konsentrasi ekstrak daun Ashitaba yang paling efektif sebagai pencerah kulit.
2. Kegunaan bagi Peneliti
Melatih kreatifitas dan kemampuan mahasiswa berdasarkan aspek ilmu
yang telah dipelajari dan dimiliki. Menambah ilmu pengetahuan di bidang
farmasi serta sebagai masukan dalam penelitian selanjutnya.
3. Kegunaan bagi Industri Farmasi
Dapat dijadikan sebagai acuan bagi industri di bidang farmasi khususnya
dalam mengembangkan formulasi sediaan kosmetik bahan alam.

1.5 Asumsi Penelitian


1.

Daun Ashitaba memiliki kandungan senyawa golongan polifenol, yaitu

tanin dan flavonoid yang mempunyai kemampuan sebagai pencerah kulit.


2.

Ekstraksi senyawa aktif dalam daun Ashitaba menggunakan metode

maserasi dengan pelarut air dan metanol.


3.

Formulasi cold cream merupakan formulasi krim yang berbasis minyak

dalam air (M/A) yang nyaman digunakan pada kulit dengan segala kondisi.

1.6 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian


1.6.1 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan simplisia daun Ashitaba yang diekstraksi
menggunakan metode maserasi dengan pelarut metanol. Hasil ekstraksi kemudian
dicampurkan dalam formulasi cold cream sehingga menjadi sebuah formulasi
lightening cream. Sediaan lightening cream yang sudah jadi kemudian diuji mutu
fisik dan stabiitasnya. Krim tersebut selanjutnya akan diuji keefektifannya melalui
responden dan mutu fisik sediaan.
1.6.2 Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini hanya pada bagian daun dari tanaman Ashitaba yang
akan digunakan. Daun Ashitaba diperoleh dari HPHA Provisi Jawa Timur di
Trawas, Mojokerto. Daun yang dipetik tidak ditentukan umur panen dan waktu
panenya.

Daun Asitaba kemudian diekstraksi dengan pelarut etanol dan air

dengan perbandingan (7:3). Lihtening cream yang sudah jadi diuji mutu fisik dan
stabilitasnya, yaitu meliputi uji organolpetis, uji homogenitas, uji pH, uji
viskositas, uji sentrifugasi, uji daya sebar dan uji daya lekat. Selanjutnya
formulasi lightening cream dibagi menjadi tiga berdasarkan perbedaan konsentrasi
dari ekstrak daun Ashitaba yaitu 5%, 10 % dan 15%. Uji keefektifan dilakukan
selama 4 minggu kepada 15 orang responden yang memiliki usia dan aktivitas
yang sama.
1.7 Definisi Istilah

1. Mutu Fisik adalah penialan suatu sediaan yang meliputi uji organoleptis,
homogenitas, uji pH, uji viskositas, uji sentrifugasi, uji daya lekat dan uji daya
daya sebar.
2. Keefektifan adalah usaha atau tindakan untuk mencapai keberhasilan (Kamus
Besar Bahasa Indonesia 2002:284)
3. Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk
yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Ditjen POM, 1995).
4. Krim emulsi setengah padat baik bertipe air dalam minyak atau minyak dalam air
dan digunakan untuk pemakaian obat pada kulit (Anwar 2012).
5. Lightening cream adalah produk perawatan kulit berbentuk krim yang digunakan
dengan tujuan agar kulit pemakai tampak lebih putih, cerah dan bercahaya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Kulit


2.1.1 Gambaran Umum tentang Kulit
Definisi kulit berdasarkan pendapat Montagna et.al (1986) dalam
Tranggono (2007: 11) adalah selimut yang menutupi seluruh permukaan tubuh
dan berfungsi sebagai pelindung organ tubuh dari gangguan dan rangsangan dari

luar tubuh. Sedangkan menurut Wasitaatmadja (1997: 11) kulit adalah organ tubuh
yang berada pada bagian paling luar, yang berfungsi sebagai pembatas manusia
dengan lingkungan hidupnya.
Luas kulit pada manusia rata-rata 2 meter persegi, dengan berat 10 kg jika
dengan lemaknya. Kulit terbagi atas dua lapisan utama, yaitu epidermis (kulit ari)
sebagai lapisan kulit paling luar, dan dermis (korium, kutis, kulit jangat). Para ahli
histologi membagi epidermis dari bagian terluar hingga kedalam menjadi lima
lapisan, yakni:
1. Lapisan Tanduk (Stratum corneum), merupakan lapisan yang paling atas.
2. Lapisan Jernih (Stratum lucidum), disebut juga lapisan barrier.
3. Lapisan Berbutir-butir (Stratum granulosum)
4. Lapisan Malphigi (Stratum spinosum) memiliki sel seperti duri.
5. Lapisan Basal (Stratum germinativum) hanya tersusun oleh satu lapis sel basal.
2.1.1.1 Epidermis
Dari sudut pandang kosmetik penampilan epidermis paling diutamakan,
karena kosmetik kebanyakan dipakai pada lapisan epidermis. Epidermis memiliki
ketebalan yang berbeda pada bagian tubuh. Lapisan tebal berada ada telapak kaki
dan telapak tangan yang berukuran 1 milimeter. Sedangkan lapisan paling tipis
terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi dan perut yang berukuran 0,1 milimeter.
Sel-sel epidermis disebut dengan keratinosit.
1. Lapisan Tanduk (stratum corneum)

Lapisan tanduk terdiri atas beberapa lapis sel pipih, mati, tidak berinti,
tidak memiliki proses metabolisme, tidak berwarna dan sedikit mengandung air.
Lapisan ini sebagian besar terdiri dari keratin, jenis protein tidak larut air, dan
sangat resisten terhadap bahan kimia. Pada permukaan lapisan tanduk terdapat
lapisan pelindung lembab tipis yang disebut dengan mantel asam kulit
(Tranggono 2007 :12).
Mantel asam kulit merupakan lapisan tipis lembab yang bersifat asam.
Tingkat keasamannya (pH) berbeda antara yang ditemukan oleh Marchionini dan
oleh peneliti-peneliti lainya, tetapi umumnya berkisar antara 4,5-6,5. Marchionini
(1992) menemukan pH mantel asam kulit itu antara 3,5-5; Blank (1939) atara
4,2-5,6; Schmidt (1942) atara 5,6-6,0; Harry (1994) atara 4,2-5,6 dan terakhir
oleh Tranggono (1987) pada 400 orang Indonesia ditemukan nilai pH pria 5,60
0,08 dan wanita 5,68 0,02 (Tranggono 2007; 19).

2. Lapisan Jernih (stratum lucidum)


Lapisan ini terdapat dibawah lapisan tanduk berupa lapisan sel gepeng
tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein eledein. Lapisan ini
terlihat jelas pada telapak tangan dan kaki (Wasitaatmadja 1997: 4).
3. Lapisan Berbutir (stratum granulosum)
Lapisan ini tersusun oleh sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir
kasar, berinti dan mengkerut. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin yang

terdapat bahan logam khususnya tembaga yang menjadi katalisator proses


pertandukan kulit.
4. Lapisan Malphigi (stratum spinosum atau lapisan layer)
Lapisan ini memiliki sel yang berbentuk kubus seperti duri berinti besar
dan oval. Setiap sel meiliki filamen kecil yang disebut serabut protein.
5. Lapisan Basal (stratum germinativum atau membran basalis)
Lapisan basal adalah lapisan paling bawah yang memiliki sel melanosit,
yaitu sel yang tidak mengalami keratinasisi dan berfungsi sebagai pembentuk
pigmen melanin.
2.1.1.2 Dermis
Dermis terutama terdiri dari bahan dasar serabut kolagen dan elastin, yang
berada di dalam substansi dasar yang bersifat koloid dan terbuat dari gelatin
mukopolisakarida. Serabut kolagen dapat mencapai 72% dari keseluruhan berat
kulit manusia bebas lemak.
Didalam dermis terdapat adneksa-adneksa kulit seperti folikel rambut,
papila rambut, kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak
rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf, juga sebagian serabut lemak yang
terdapat pada lapisan lemak bawah kulit.
2.1.2 Warna Kulit
Warna kulit ditentukan oleh oxyhemoglobin yang berwarna merah,
hemoglobin tereduksi yang berwarna merah kebiruan, melanin yang berwarna
coklat, keratohyalin yang memberikan penampakan opaque pada kulit, serta

lapisan stratum corneum yang memiliki warna putih kekuningan atau keabuabuan. Caroten adalah suatu pigmen warna kuning yang sedikit sekali jumlah dan
efeknya, serta eleidin dalam stratum lucidum yang hanya terlihat pada kulit yang
menebal dari telapak kaki dan bagian tumit.
Dari semua bahan-bahan pembangun warna kulit itu, yang paling
menentukan warna kulit adalah pigmen melanin.

Jumlah, tipe, ukuran dan

distribusi pigmen melanin ini akan menentukan variasi warna kulit berbagai
golongan ras/bangsa di dunia (Tranggono dan Latifah 2007: 27-30).
2.1.3.1 Intensitas Warna Kulit
Intensitas warna kulit secara mendasar ditentukan oleh :
1. Jumlah melanosom yang terdapat didalam keratinosit dan melanosit.
2. Kecepatan melanogenesis di dalam melanosit.
3. Kecepatan transfer di dalam populasi keratinosit.
Oleh karena itu dikenal 2 macam warna kulit :
1. Warna kulit konstitutif, yang secara genetik diturunkan tanpa dipengaruhi
faktor sinar ultraviolet dan hormon.
2. Warna kulit fakultatif, yaitu warna kulit akibat pengaruh sinar ultaviolet dan
hormon. Warna ini jelas tampak pada bagian badan yang tidak tertutup pakaian.
Hormon-hormon yang berpengaruh, antara lain :
1. Melanin Stimulating Hormon (MSH), yang pemberiannya menyebabkan
hiperpigmentasi pada kulit.

2. Estrogen dan progesteron, yang antara lain waktu hamil menyebabkan


pigmentasi pada puting susu dan sekitarnya.
3. Glutathion (GSH), yang merupakan inhibitor terhadap melanogenesis.
2.1.3.2. Mekanisme Pigementasi
Proses pembentukan pigmen melanin terjadi pada butir-butir melanosom
(organel yang mengandung melanin) yang dihasilkan oleh sel-sel melanosit yang
terdapat di antara sel-sel basal keratenosit didalam lapisan basal (stratum
germinativum). Melanosit memberikan melanosom kepada sejumlah sel keratnosit
di sekelilingnya melalui dendrit (jaringan lengan). Satu sel melanosit melayani
sekitar 36 sel keratinosit. Selanjutnya kesatuan ini dinamakan unit melanin
epidermal. Melanosom yang terdapat di dalam keratinosit berbentuk partikelpartikel padat atau merupakan gabungan dari 3-4 buah partikel lebih kecil yang
mempunyai membran, dinamakan melanosom kompleks (Quevedo Et. Al, 1974).
Pembentukan melanosom didalam melanosit melalui 4 fase ( Toda Et. Al, 1968),
yaitu :
Fase I : permulaan pembentukan melanosom dari matriks protein dan tirosinase,
diliputi membran dan berbentuk vesikula bulat.
Fase II : disebut pre-melanosom, pembentukan lebih sempurna, belum terlihat
adanya pembentukan melanin.
Fase III : mulai nampak adanya deposit melanin di dalam membran vesikula.
Disini mulai terjadi melanisasi melanosom.

Fase IV : deposit melanin memenuhi melanosom yang merupakan partikel


partikel padat dan berbentuk sama.
Proses melanisasi melanosom

terjadi di fase III dan IV sebelum

melanosom diekskresikan ke keratinosit. Setelah melanosom diekskresikan ke


keratinosit, melanosom tersebut ada yang mengalami degradasi dan ada yang
tidak. Melanosom yang yang terbentuk dari gabungan beberapa partikel dan
besarnya kurang dari 1 mikron akan mengalami degradasi, melanosom ini
biasanya dimiliki oleh ras Kaukasoid (Eropa), Mongoloid dan Indian Amerika.
Sedangkan melanosom yang besarnya lebih dari 1 mikron dan tunggal (tidak
terdiri dari gabungan beberapa partikel) tidak mengalami degradasi, melanosom
ini dimiliki oleh ras Negro dan Aborigin. Ukuran melanosom ini ditentukan oelh
faktor genetik dan non-genetik seperti penyinaran oleh sinar matahari (ultraviolet)
(Tranggono dan Latifah 2007: 27-28).
2.1.3.3 Sinar Matahari dan Melanogenesis
Sinar ultraviolet gelombang agak panjang serta sinar yang dapat dilihat,
antara 320-700 nm merupakan penyebab melanogenesis. Tetapi sinar dengan
gelombang yang lebih pendek (290-320 nm) juga merupakan penyebab paling
efektif untuk melanogenesis. Bila terjadi penyinaran pada kulit oleh sinar
matahari, maka terjadi reaksi fisiologis pada kulit. Kulit yang terpapar sinar
matahari selama antara 6-20 jam akan menghasilkan eritema yang cepat atau
lambat menimbulkan pencoklatan kulit (tanning). Hal ini disebabkan oleh sinar
ultraviolet A (UV-A) dengan panjang gelombang 290-320 nm dan sinar yang
terlihat (visible light) dengan panjang gelombang 320-700 nm.

Tanning terlihat jelat 1 jam setelah kulit terpapar matahari dan kemudian
akan hilang kembali dalam waktu 4 jam. Hal ini mungkin disebabkan oleh reaksi
oksidasi dari radikal bebas semiquinon yang tidak stabil didalam melanin. Pada
tanning tidak tambak adanya pembentukan melanosom baru. Rekasi yang sama
terjadi pada sunburn (290-320 nm). Tetapi pada sunburn akan terbentuk
melanosom-melnosom baru secara perlahan dan baru akan terlihat dalam waktu
72 jam (Tranggono dan Latifah 2007: 30).
2.1.4 Reaksi Negatif Kulit pada Kosmetik
Ada 4 faktor yang mempengaruhi hasil pemakaian kosmetik terhadap kulit
manusia yang akan memberikan hasil positif maupun ngatif. Faktor tersebut
antara lain;
1. Faktor manusia, seperti perbedaan ras warna kulit serta pandangan mengenai
kecantikan.
2. Faktor kosmetik, bahan baku, formulasi dan prosedur pembuatan yang kurang
tepat.
3. Faktor lingkungan, seperti iklim dan penyinaran matahari.
4. Interaksi ketiga faktor diatas.
Jenis-jenis reaksi negatif yang disebabkan oleh kosmetik pada kulit maupun
sistem tubuh antara lain;
1. Iritasi, disebabkan oleh salah satu bahan pembentuk kosmetik bersifat iritan
terhadap kulit.
2. Alergi, disebabkan oleh salah satu bahan penyusun kosmetik bersifat alargenik
terhadap kulit seseorang meskipun tidak pada yang lain.
3. Fotosensitisasi, reaksi negatif muncul setelah kulit yang ditempeli kosmetik
terkena sinar matahari.

4. Jerawat (acne), disebabkan oleh kosmetik pelembab yang sangat berminyak


menyumbat menyumbat pori-pori kulit bersama kotoran dan bakteri.
5. Intoksikasi, keracunan yang disebabkan bahan penyusun kosmetik bersifat toksik
seperti merkuri.
6. Penyumbatan fisik pada pori-pori kulit (Tranggono dan Latifah 2007: 43-45).
2.1.4.1 Kosmetik Pemutih Kulit Isi Merkuri
Ammoniated 1-5% dalam oinment direkomendasikan sebagai bahan
pemutih kulit karena berpotensi sebagai bahan pereduksi (pemucat) warna kulit.
PerMenKes RI No.376/Menkes/ per/VIII/1990 yang secara jelas telah dikeluarkan
pemerintah menyangkut pelarangan terhadap penggunaan merkuri dalam sediaan
kosmetik karena merkuri dapat menyebabkan toksisitas terhadap organ tubuh
seperti ginjal, saraf dan sebagainya (Syafnir & Putri, 2008: 71).
Ada dua jenis reaksi negatif kulit yang terlihat bila menggunakan merkuri,
yaitu reaksi iritasi (pembengkakan dan kemerahan pada kulit) dan alergi berupa
perubahan warna kulit menjadi kabu-abuan bahkan sampai kehitaman setempat
atau menyebar rata. Selain itu kulit yang sudah di bleaching menjadi sangat
sensitif terhadap sinar matahari, kosmetik berwarna, dan parfum. Kadang-kadang
juga timbul jerawat karena sifat kosmetik yang sangat berminyak (Tranggono dan
Latifah 2007: 47).
2.1.4.2 Kosmetik Kulit Isi Hidroquinon
Hidroquinon adalah bahan aktif yang dapat mengendalikan produksi
pigmen yang tidak merata, tepatnya berfungsi untuk mengurangi atau
menghambat pembentukan melanin kulit (Prabawati et al. n.d.). Kosmetik yang
mengandung hidroquinon dapat menyebabkan dermatitis kontak dalam bentuk

bercak berwarna putih yang disebabkan oleh over bleaching, atau sebaliknya
menimbulkan reaksi hiperpigmentasi. Hiperpigmentasi timbul karena adanya
berbagai sebab antara lain faktor usia, perawatan yang salah dan paparan sinar
matahari secara langsung (Tranggono dan Latifah 2007: 47-48).

2.2 Tinjauan tentang Kosmetik


Kosmetik berasal dari kata Yunani kosmetikos yang berarti keterampilan
menghias, mengatur (Tranggono et.al, 2007).
Definisi

kosmetik

dalam

peraturan

menteri

kesehatan

RI

No.

445/MenKes/Permenkes/1998 adalah sebagai berikut.


...Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan
pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin
bagian luar), gigi, dan rongga mulut untuk membersihkan, melindungi
supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak
dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit...
Dari definisi yang dimaksudkan diatas, yang dimaksud dengan kosmetik
adalah sediaan atau paduan bahan yang dimaskudkan untuk mengobati atau
menyembuhkan suatu penyakit atau tidak mempengaruhi struktur dan faal kulit.
Tetapi meskipun sediaan tersebut terbuat dari bahan kimia atau bahan alam
apabila diaplikasikan kepada organ tubuh yang dikenai maka kosmetik tersebut
akan mengakibatkan reaksi dan terjadi perubahan pada faal kulit. Hal ini
didasarkan oleh pendapat dari Lubowe (1955), Klingman (1982) dan Celleno
(1988) dalam Tranggono (2007) bahwa tidak ada bahan kimia yang bersifat
indiferens (tidak menimbulkan apa-apa).

Tujuan utama penggunaan kulit pada masyarakat modern menurut


T.Mitsui dalam Tranggono dan Latifah (2007: 7) adalah untuk kebersihan pribadi,
meningatkan daya tarik melalui make-up, meningkatkan rasa percaya diri dan
perasaan tenang, melindungi kulit dan rambut dari kerusakan sinar UV, polusi dan
faktor lingkungan yang lain, mencegah penuaan, dan secara umum membantu
seseorang lebih menikmati dan menghargai hidup.
Untuk memperbaiki dan mempertahankan kulit diperlukan jenis kosmetik
tertentu atau biasa disebut dengan istilah cosmedics yang merupakan gabungan
dari kosmetik dan obat yang sifatnya dapat mempengaruhi faal kulit. Selama
kosmetik tersebut tidak mengandung bahan berbahaya yang secara farmakologis
mempengaruhi kulit, penggunaan kosmetik jenis ini menguntungkan dan
bermanfaat. Salah satu contohnya adalah kosmetik untuk mempengaruhi warna
kulit (untuk memutihkan atau mencoklatkan warna kulit).
Sediaan semi solid banyak digunakan dalam kosmetika pencerah kulit.
Sediaan semisolid umumnya bersifat plastis, memiliki karakter yang spesial, yaitu
memiliki struktur tiga dimensi yang permanen. Sediaan semisolid dalam kosmetik
biasanya dibuat dalam bentuk oinment, pasta, gel dan emulsi (krim).

2.3 Tinjauan tentang Krim


Krim menurut Farmakope Indonesia ED. IV adalah bentuk sediaan
setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi
dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah digunakan untuk
sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair diformulasikan

sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Mengacu pada ketentuan
mengenai krim, dapat disimpulkan bahwa krim mempunyai dua tipe yaitu air
dalam minyak A/M dan minyak dalam air M/A. Kapan diperlukan basis krim tipe
A/M dan M/A bergantung pada tujuan kegunaan krim tersebut berdasarkan efek
terapetiknya.
Sifat umum sediaan krim adalah mampu melekat pada permukaan tempat
pemakaian dalam waktu yang lama sebelum sediaan ini dicuci atau dihilangkan.
Krim dapat memberikan efek mengkilap, berminyak, melembankan, dan mudah
tersebar merata, mudah berepenetrasi pada kulit, mudah/sulit diusap,mudah/sulit
dicuci air (Anwar 2012: 197).
Sediaan kosmetik lightening cream yang akan dibuat berbasis cold cream.
Cold cream merupakan emulsi ganda, setengah padat, putih, dibuat dengan lilin
steril ester, lilin putih, minyak mineral, natrium borat, dan air murni. Cold cream
dipilih sebagai basis lightening cream karena pertimbangan kandungan minyak
yang dimiliki seimbang, konsistensinya yang lembut, memberikan efek sejuk,
penyebarannya mudah dikulit, dan berwarna snow white. Cold cream bukan
emulsi M/A dan juga bukan emulsi A/M oleh karena itu cold cream disebut juga
dengan emulsi ganda (Tranggono dan Latifah 2007: 64-65). Dalam penelitian ini
formulasi krim yang dibuat mengacu pada standart formulasi krim dengan basis
cold cream dibuat dengan bobot 100g.
Formulasi Standar Sediaan Cleansing Cream (F.M.S, 1971: 111)
R/

Parafin liq

250

Asam stearat 145

Cerae album 2,5


TEA

15

Adp. Lenae

30

Nipagin

q.

Aqua Ad

550

2.3.1 Karakteristik Basis Krim


1. Parafin Liquid
Parafin liquid merupakan komponen fase minyak. Berbentuk cairan kental,
transparan, tidak berfluoresensi, tidak berwarna, hampir tidak berbau dan berasa.
Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%) P; larut dalam kloroform P,
eter P, aseton dan benzen tidak bercampur dengan reduktor kuat. Penggunaan
dalam krim 1-32% (Anwar 2012: 200).

2. Asam Stearat
Berbentuk zat padat keras, berwarna putih atau sedikit kekuningan,
mengkilap, kristal padat atau putih, atau putih kekuningan, sedikit berbau dan
mirip lemak lilin. Praktis tidak larut dalam air, larut dalam 20 bagian etanol 95%
P, dalam 2 bagian kloroform P dan dalam 3 bagian eter P. Asam stearat tidak
bercampur dengan hidroksida logam dan dengan senyawa yang bersifat oksidator.
Kegunaanya dalam formulasi topikal sebagai bahan pengemulsi, konsentrasi
untuk krim yaitu 1-20% (Anwar 2012: 204).

3. TEA (Trietanolamin)
Penyabunan antara lemak netral dengan trietanolamin tidak dimungkinkan
maka dalam industri sabun, asam lemak ditransplantasikan dengan produk
trietanol teknis, yang umumnya masih mengandung sekitar 10-15% dietanol amin
([HO-CH2-CH2]2NH) dan 5% monoetanolamin (HO-CH2-CH2-NH2), sehingga
terbentuk juga sebagian kecil sabun mono dan dietanol, digunakan sebagai
emulgator yang lebih kuat daripada sabun alkali, maka diperoleh dispersi halus
dan sistem emulsi yang sangat stabil, yang menunjukan reaksi mendekati netral,
kerugiannya mudah menguap dan kemungkinan mengiritasi kulit dan membran
mukosa. Inkompabilitas, beraksi dengan asam mineral membentuk garam dan
ester, dengan asam lemak yang lebih tinggi mampu membentuk garam yang larut
dalam air dan mempunyai sifat seperti sabun, bereaksi dengan tembaga
membentuk kompleks, perubahan warna dan pengendapan dapat terjadi dengan
adanya garam logam berat (Anwar 2012: 214)
4. Adeps Lanae
Merupakan lemak yang diperoleh dari bulu domba, berwarna kuning
muda, berbau khas. Adeps lanae yang telah meleleh berupa cairan kuning. Larut
dalam benzen, kloroform, eter, dan petroleum, sedikit larut dalam eetanol dingin
(95%), lebih larut dalam etanol panas (95%), praktis tidak larut dalam air.
Mengandung pro-oksidan yang dapat mempengaruhi kestabilan beberapa zat aktif.
Fungsinya dalam sediaan semi solid sebagai emulsifying agent, fase minyak
dalam persiapan krim A/M. Adeps lanae dapat menyerap air sebesar 25%,
campuran adepas lanae dengan air dikenal sebagai lanolin (Anwar 2012: 203).

Sediaan cleansing cream yang dibuat akan ditambahkan dengan zat aktif
yang berasal dari ekstrak daun Ashitaba (Angelica keiskei).
2.3.2 Uji Mutu Fisik Krim
1. Organoleptis
Dalam uji organoleptis ini dilihat sifat fisik sediaan lightening cream dari
ekstrak daun Ashitaba yang meliputi bentuk, warna dan bau.
2. Uji Homogenitas
Homogenitas sediaan krim yang berbentuk emulsi ditunjukkan dengan
tercampurnya bahan-bahan yang digunakan dalam formula krim, baik bahan aktif
maupun bahan tambahan secara merata.
3. Uji pH
Dalam uji pH berhubungan dengan stabilitas zat aktif yang terkandung
dalam sediaan krim tersebut sesuai dengan pH normal dan efektifitas pengawet
pada keadaan kulit sehingga tidak menghambat fungsi fisiologis kulit atau sesuai
dengan syarat krim yang baik. Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui derajat
keasaman sediaan krim yang telah dibuat sesuai dengan pH standaar kulit yang
telah ditetapkan, yaitu 4,5-6,5.
4. Uji Sentifugasi
Dalam uji ini dilihat kondisi penyimpanan normal dapat diramalkan
dengan cepat dengan mengamati pemisahan dari fase terdispersi karena
pembentukan krim atau penggumpalan bila emulsi dipaparkan pada sentrifugasi.
Literatur menunjukkan bahwa sentrifugasi pada kecepatan 3750 rpm dalam

tabung sentrifugasi setinggi 10 cm selama 5 jam adalah sama dengan efek


gravitasi selama kira-kira 1 tahun. Kemudian diamati adanya pemisahan atau
tidak.
5. Uji Daya Sebar
Uji ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan sediaan krim yang telah
dibuat untuk menyebar pada kulit.
6. Uji Daya Lekat
Uji ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan sediaan krim yang telah
dibuat untuk melekat pada kulit.

2.4 Tinjauan tentangAshitaba (Angelica keiskei)


Ashitaba (Angelica keiskei) merupakan salah satu tanaman introduksi
sehingga belum banyak dikenal di Indonesia. Tanaman ashitaba mirip dengan
seledri hanya ashitaba bentuk tanamannya lebih tinggi dan lebih besar
dibandingkan dengan seledri (Sembiring dan Manoi 2011: 177-178). Ashitaba
mempunyai nama latin yaitu Angelica yang berarti malaikat, keiskei digunakan
untuk menghargai ahli botani Jepang pada abad 19 bernama Ito Keisuke yang
menjadi penemu tanaman Ashitaba tersebut. Ashitaba dan seledri masih satu
family Apiceae, yang memiliki keistimewaan yaitu pertumbuhannya yang sangat
cepat apabila tanaman ini dipetik daunnya hari ini, maka keesokan harinya
daunnya sudah tumbuh lagi sehingga dikenal juga dengan sebutan Tomorrow
leaf. Ashitaba juga dikenal dengan sebutan Daun Malaikat karena pengalaman

dan kemampuan penyembuhan berbagai jenis penyakit dan manfaat yang banyak
sebagai tanaman obat (Nagata, et.al dalam Swarayana, et.al 2011: 120).
2.4.1 Klasifikasi dan Morfologi Daun Ashitaba
Adapun klasifikasi dari ashitaba tersebut adalah;
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Sub kelas

: Sympetalae

Bangsa

: Apiales

Keluarga

: Apiaceae

Marga

: Angelica

Jenis

: Angelica keiskei koidzumi


Daun Ashitaba termasuk daun lengkap dan majemuk, memiliki susunan

tulang daun menjari dan menyirip. Dagimg daunnya tipis seperti kertas jika pada
usia muda tapi pada daun-daun yang sudah dewasa Daun tanaman ini tipis agak
keras dengan permukaan yang agak kasar. Warna daun yang masih muda
berwarna hijau agak kekuning-kuningan seadangkan daun yang sudah dewasa
berwarna hijau tua (Mardiarsa 2014: 7-8).
2.4.2 Kandungan Tanaman Ashitaba

Penelitian mutu tanaman Ashitaba telah diteliti oleh Sembiring dan Manoi
(2011). Penelitian tersebut meliputi karakteristik mutu tanaman ashitaba,
skrinning fitokimia tanaman Ashitaba, unsur mineral, ekstrasi dan senyawa aktif
tanaman Ashitaba, dan aktivitas antioksidan.
2.4.2.1 Karakteristik Mutu Tanaman
Hasil pengamatan karakteristik mutu tanaman Ashitaba, menunjukkan
bahwa kadar air daun Ashitaba lebih tingga daripada kadar alkoholnya. Hasil
pengamatan ditunjukkan oleh tabel berikut.
Tabel 2.1 Karakteristik Mutu Tanaman Ashitaba
Bagian
Tanaman

Kadar air
(%)

Kadar abu
(%)

Kadar abu
tak
larut
asam
(%)
Daun
8,79
11,20
0,08
Batang
10,86
8,15
0,5
Umbi
8,02
6,95
0,03
Kadar sari air dan kadar sari alkohol yang

Kadar sari Kadar sari


air
alkohol
(%)
(%)
31,50
9,75
42,58
16,56
23,93
10,34
dihasilkan masih memenuhi

standar mutu MMI yang disyaratkan harus memiliki kadar sari minimum 18% dan
kadar sari alkohol minimal 9,7%. Faktor utama yang menentukan mutu bahan
adalah kadar sari air dan kadar sari alkohol yang menunjukkan adanya kandungan
zat yang ber-khasiat dalam bahan tersebut (Depkes 1985).
2.4.2.2 Skrinning Fitokimia
Ashitaba memiliki getah yang berwarna kuning yang mengandung zat
chalcone. Batang, daun maupun umbi tanaman ashitaba jika dipotong akan
mengeluarkan getah berwarna kuning disebut chalcone yang termasuk golongan

senyawa flavonoid. Shibata (1994) menyatakan bahwa chalcones mempunyai


fungsi sebagai antitumorigenic.
Hasil skrining fitokimia daun, batang dan umbi secara kualitatif
menunjukkan bahwa tanaman ashitaba mengandung senyawa kimia golongan
alkaloid, saponin, flavonoid, triterfenoid dan glikosida cukup kuat. Khusus pada
daun terdapat senyawa kimia golongan tanin paling kuat yang disebut juga dengan
polifenol.
Tanaman Ashitaba dapat digunakan sebagai sumber antioksidan terutama
bagian daun karena memiliki aktivitas antioksidan dalam menangkap radikal
bebas lebih tinggi dibandingkan dengan batang dan umbi. Robinson (1995)
menyatakan bahwa kelompok senyawa tanin dan fenolik dapat berperan sebagai
sumber antioksidan. Kemampuan polifenol 100 kali lebih efektif menangkap
radikal bebas dibanding dengan vitamin C dan 25 kali dari vitamin E (Sibuea
2003 dalam Andayani et al. 2008).

2.4.2.3 Ekstraksi Senyawa Aktif


Tanaman ashitaba yang terdiri dari bagian daun, batang dan umbi diekstrak
dalam bentuk segar dengan menggunakan pelarut etanol. Kemudian dilakukan
perbandingan terhadap rendemennya. Hasil ekstraksi diperoleh rendemen ekstrak
dari daun 5,75%, batang 3,99% dan umbi 3,12%. Rendemen ekstrak tertinggi
diperoleh dari daun. Menurut Suryandari (1981) bahwa besarnya rendemen
menunjukkan indikasi adanya kandungan zat berkhasiat dalam suatu tanaman.

Semakin tinggi nilainya berarti kemungkinan kandungan zat berkhasiat yang


dikandungnya juga semakin banyak.
Tabel 2.2 Rendemen Ekstrak dari Daun, Batang dan Umbi
Bagian
Tanaman

Daun
Batang
Umbi

Berat
Serbuk
simplisia
(g)
1.500
1.700
1.650

Ekstrak
(g)

Rendemen
(g)

86,2
67,9
51,5

5,75
3,99
3,12

Hasil penelitian Universitas Farmasi Osaka tahun 1990, jumlah kandungan


bahan aktif dalam 100 g ashitaba adalah terdapat xanthoangelol 0,25%, 4Hydroxyderricin 0,07% dan total chalcone 0,32% (Baba 1995). Total flavonoid di
dalam pucuk ashitaba berkisar 219 mg/100g per berat basahnya (Yang et al.2008).
Selanjutnya menurut Mamun et al. (2009), di dalam ashitaba terdapat zat asam
hexadecanoat 2,42%, asam palmitat 5,08%, xanthotoxin 3,12%, asam linoleat
9,17%, pyrimidin 2,70%, strychnidinone 3,18% dan smenochromena 7,55%.

2.4.2.4 Aktivitas Antioksidan


Menurut Wicaksono dan Syafirudin (2003) efek antioksidan ashitaba
melebihi anggur, teh hijau maupun kedelai, yang berfungsi menjaga organ tubuh
dan kerusakan sel akibat radikal bebas serta memperlambat proses penuaan. Nilai
total aktivitas antioksidan dari ashitaba berkisar 189030 mg/g berat kering (Chen
et al. 2004).

Berdasarkan data yang diperoleh dari pengujian dengan menggunakan


metode DPPH, bagian daun tanaman Ashitaba memiliki aktivitas menangkap
radikal bebas lebih baik daripada bagian batang dan umbi.
Tabel 2.3 Nilai Aktivitas Penangkapan Radikal Bebas
Ekstrak

Aktivitas Radikal Bebas


(Ec50)
Daun
38,00 ppm
Batang
390,98 ppm
Umbi
780,65 ppm
Untuk menghasilkan aktivitas penangkapan radikal bebas sebesar 50%
dibutuhkan ekstrak daun ashitaba sebanyak 38,00 ppm, batang 390,98 ppm dan
umbi 780,65 ppm. Menurut Windono et al. (2001), nilai Ec 50 berpengaruh
terhadap aktvitas penangkapan radikal bebas. Semakin kecil nilainya, semakin
baik aktivitas penangkapan radikal bebasnya.

2.5 Tinjauan tentang Antioksidan dan Radikal Bebas


Radikal bebas adalah spesies yang secara independen mengandung lebih
dari satu elektron yang tidak berpasangan. Elektron yang tidak berpasangan
membuat molekul tidak stabil dan sangat reaktif. Radikal bebas umumnya
diperoleh dari oksidan dan nitrogen. Sebagian radikal bebas dibentuk didalam
tubuh dari oksidan superoksida, radikal hidroksil, nitrit oksida, radikal peroxil,
hidrogen peroksida dan alkoxyl. Sumber radikal bebas bersifat endogen maupun
eksogen (Syamsudin 2013).
ROS dapat terbentuk secara endogen atau fisiologis sebagai produk
metabolisme normal dan peroksidasi lipid misalnya ketika leukosit memfagosit

mikro organisme dan membentuk radikal super oksida yang kemudian di rubah
menjadi H2O2 oleh enzim mieloperoksidase sehingga terjadi degradasi bakteri
secara oksidasi dan auto oksidasi spontan pada membran sel sedangkan secara
eksogen ROS berasal dari radiasi ultra violet, polutan lingkungan, zat kimia, radio
aktif dan obat obatan. Sifat toksik ROS dapat menyebabkan kerusakan DNA,
RNA, protein dan membran sel (Deny et. al 2006).
Sekitar 5% dari oksigen yang dihirup diubah menjadi reactive oxygen
spesies (ROS). Reactive oxygen spesies dibentuk oleh reduksi oksidan empat
elektron di dalam rantai pernapasan, diikuti oleh penurunan parsidal deri 1 ke 3
untuk menghasilkan anion superoksida [O2], yang dapat dijadikan proton dengan
pH rendah menjadi H2O2, [.OH] dan H2O.
Ketika produksi radikal bebas melampaui sistem pertahanan antioksidan di
dalam tubuh, maka akan menghasilkan tekanan oksidasi, atau sterss oksidative.
Tekanan ini dibebankan kepada sel-sel akibat peningkatan produksi oksidan,
penurunan perlindungan antioksidan, dan kegagalan dalam memperbaiki
kerusakan oksidatif.
Paparan terhadap patogen, gaya hidup yang tidak tepat, latihan fisik yang
tidak berlebihan, dan produk sampingan dari metabolisme normal juga merupakan
faktor yang berpengarih terhadap stress oksidative.
Antioksidan merupakan suatu senyawa yang dapat menetralkan radikal
bebas, sehingga resiko stress oksidative dan kelainan degeneratif semakin
berkurang. Di tingkat sel dan molekul antioksidan menonaktifkan ROS dan

dengan konsentrasi rendah, antioksidan menghambat atau memperlambat proses


oksidasi (oksigen) dengan memutus reaski radikal pada peroksidasi lipid.
Enzim antioksidan endogen seperti superoksida dismutase (SOD),
catalase, glutathione peroxidase, glutathione reductase, mineral-mineral seperti
Se, Mn, Cu, Zn, vitamin A, C dan E, karotenoid, limonoid dan polifenol bekerja
secara sinergis dalam menangkap radikal bebas (Syamsudin, 2013: 66-68).

2.6. Tinjauan tentang Antioksidan dan ROS Terhadap Kulit


Kulit adalah organ yang secara konstan terpapar ROS karena permukaan
kulit selalu berkontak dengan oksigen dan merupakan target utama radiasi sinar
ultra violet. Adanya faktor eksogen dan endogen yang menganggu fungsi sawar
kulit menimbulkan ke tidak seimbangan antara faktor pro oksidan dan anti
oksidan yang akan menyebabkan cedera oksidatif. Berbagai penelitian
membuktikan bahwa stres oksidatif merupakan salah satu faktor utama yang
berperan pada patologi kulit secara umum dan patogenesis berbagai penyakit
kulit.
Untuk mengatasi bahaya yang timbul akibat ROS, tubuh mengembangkan
mekanisme perlindungan untuk mencegah pembentukan ROS dan peroksidasi
lipid maupun memperbaiki kerusakan yang terjadi termasuk kulit. Sistim anti
oksidan kulit meliputi komponen enzimatik dan nonenzimatik.
Antioksidan

terdiri atas anti oksidan enzimatik (endogen), meliputi,

dismutase superoksida (SOD), katalase, glutation peroksidase, ubiquinol,


glutation, melatonin, histidin, asam urat dan laktoferin. Antioksidan non enzimatik

(eksogen), meliputi, mikro nutrien seperti vitamin C, E, B karoten, antioksidan


alamiah yang berasal dari tanaman (fitokimia), senyawa kimia (obat-obatan dan
senyawa sintetik). Antioksidan dibedakan cara bekerjanya menjadi dua golongan,
terdiri atas antioksidan pencegah (preventive anti oxidant) misalnya enzim super
oksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase, glutation, sistein,
antioksidan pemutus reaksi rantai (chain breaking anti oxidants) misalnyaVitamin
C, vitamin E, glutation dan sistein.
Saat ini telah banyak di teliti anti oksidan topikal yang digunakan untuk
melawan stres oksidatif yang disebabkan sinar UV. Meskipun anti oksidan dapat
diberikan melalui diet tetapi adanya pengaruh absorbsi, kelarutan dan perjalanan
obat sehingga yang sampai ke kulit hanya dalam jumlah terbatas. Pemakaian
langsung pada kulit akan menambah perlindungan terhadap paparan pro oksidatif.
Sistem perlindungan ini terdiri atas anti oksidan endogen yaitu enzim
enzim dan berbagai senyawa yang disintesis oleh tubuh dan anti oksidan eksogen
yang di peroleh dari bahan makanan yang tergolong senyawa fitofarmaka seperti
buah dan sayuran. Antioksidan bekerja melindungi kulit baik intra seluler maupun
ekstra seluler. Untuk mencegah stres oksidatif oleh oksidan tersebut perlu
ditambahkan anti oksidan dalam diet maupun langsung digunakan pada kulit
secara topikal
Antioksidan

bekerja

melindungi

sel

dan

jaringan

dengan

cara

memusnahkan (scavenge) ROS secara enzimatik atau dengan reaksi kimia


langsung, mengurangi pembentukan ROS, mengikat ion logam, memperbaiki
kerusakan sel sasaran secara biomolekul (Deny, et.al., 2006: 50-52).

2.5.1 Polifenol
Istilah polifenol atau fenolik merujuk kepada senyawa-senyawa kimia,
yang memiliki suatu cincin aromatik dengan subsituen hidroksil, termasuk derivat
seperti ester, methyl ester, glikosisda. Berdasarkan struktur kimia, polifenol dapat
digolongkan menjadi asam fenol, flavonoid, stilbene, dan lignan.
Polifenol merupakan antioksidan yang paling banyak didalam makanan.
Total asupannya didalam makanan dapat mencapai 1 g/hari; angka ini jauh lebih
tinggi daripada senyawa yang berasal dari bahan alam lainnya, dan merupakan
antioksidan makanan. Secara perspektif, angka ini~10 kali lebih tinggi daripada
asupan vitamin C dan 100 kali lebih tinggi daripada asupan vitamin E dan
karotenoid (Syamsudin, 2013: 71-72).
2.5.2 Flavonoid
Golongan flavonoid seperti flavon dan katekin merupakan flavonoid yang
paling kuat untuk melindungi tubuh dari reactive oxygen species (ROS). Sel-sel
dan jaringan tubuh yang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh radikal
bebas dan ROS yang diproduksi selama metabolisme oksigen normal, atau
diinduksi oleh kerusakan eksogen. Radikal bebas dan ROS terlibat terlibat pada
proses berbagai penyalit pada manusia. Kuersetin, kaemferol, morin, miricetin dan
rutin memperlihatkan efek positif seperti khasiat antiinflamasi, antialergi,
antivirus, serta aktivitas antikanker dengan bertindak sebagai antioksidan. ROS
dan radikal bebas juga diperkirakan berperan penting pada penyakit hati, katarak,
dan penyakit kardiovaskuler.

Tanaman Ashitaba mengandung senyawa karekteristik yaitu senyawa


chalcone yang termasuk dalam golongan flavonoid. Chalcone merupakan pigmen
daun dan bunga yang berwarna kuning (Syamsudin, 2013: 69).
2.7 Tinjauan tentang Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan substansi dari campurannya
dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Berdasarkan bentuk campuran yang
diekstraksi dapat sibedakan dua macam ekstraksi yaitu sebagai berikut;
1. Ekstraksi padat cair jika substansi yang diekstraksi berada di dalam
campurannya yang berbentuk padat. Proses ini paling banyak ditemui didalam
usaha mengisolasi suatu substansi yang terkandung didalam suatu bahan alam.
2. Ekstraksi cair-cair jika substansi yang diekstraksi terdapat di dalam
campurannya yang berbentuk cair.
Berdasarkan proses pelaksanaannya, ekstraksi dapat dibedakan sebagai berikut;
1. Ekstraksi yang berkesinambungan (continous extraction) dalam ekstraksi ini
pelarut yang sama dipakai berulang-ulang sampai proses ekstraksi selesai.
2. Ekstraksi bertahap (bath extraction) dalam ekstraksi ini pada tiap tahap selalu
dipakai pelarut yang baru sampai proses ekstraksi selesai.
2.6.1

Maserasi
Maserasi adalah suatu contoh metode ekstraksi padat cair bertahap yang

dilakukan dengan cara membiarkan padatan terendam dalam suatu pelarut. Proses
perendaman dalam usaha mengekstraksi suatu substansi dari bahan alam ini bisa
dilakukan tanpa pemansan (pada temperatur kamar), dengan pemanasan atau

bahkan pada suhu pendidihan. Sesudah disaring, residu dapat diekstraksi kembali
dengan menggunakan pelarut yang baru.
Jika maserasi dilakukan dengan menggnakan pelarut air maka diperlukan
proses ekstraksi lebih lanjut yaitu ekstraski fase air yang diperoleh dengan pelarut
organik. Jika maserasi langsung dilakukan dengan pelarut organik maka filtrat
hasil ekstraksi dikumpulkan menjadi satu, kemudain dievaporasi atau didestilasi.
Selanjutnya dapat dilakukan proses pemisahan dengan kromatografi.
Salah satu keuntungan metode ini adalah cepat, terutama jika maserasi
dilakukan pada suhu didih pelarut. Meskipun demikian metode ini tidak selalu
efektif dan efisien. Waktu rendaman bahan dalam pelarut bervariasi antara 15-30
menit tetapi kadang-kadang bisa sampai 24 jam. Jumlah pelarut yang diperlukan
juga cukup besar, berkisar antara 10-20 kali jumlah sampel (Kristanti et.al, 2008).

2.7 Analisis Data


Data perubahan warna kulit akan dianalisa menggunakan program SPSS
(Statistical Package for Social Science) dengan metode Regresi dan ANOVA.
Analisa regresi merupakan analisa statistik yang digunakan untuk meneliti
pengaruh dari variabel bebas dan variabel terikat. Dengan analisa regresi dapat
diketahui seberapa besar pengaruh suatu variabel bebas terhadap variabel
terikatnya, dan variabel mana yang paling berpengaruh terhadap variabel terikat.
Sedangkan ANOVA (One Way Analysis of Variance ) digunakan jika memiliki dua
kelompok percobaan atau lebih. Dalam menggunakan metode ANOVA ini harus
memenuhi syarat Normalitas dan Homogenitasnya. Apabila tidak memenuhi

syarat Normalitas dan Homogenitasnya maka diuji dengan menggunakan metode


Kruskall Wallis. Dengan menggunakan kedua metode tersebut akan diketahui
dosis ekstrak daun Ashitaba yang paling efektif untuk mencerahkan kulit

2.8 Kerangka Konsep


Maserasi pelarut
Etanol : Air (7:3)

Daun Ashitaba
(Angelica keiskei)

Rottaray Evaporator
70-80OC

Polifenol
Lightening
Cream

Skrinning Fitokimia
Flavonoid

Ekstrak daun Ashitaba

Tannin

5 Orang Responden

Basis Cold cream

5 mL

5 Orang Responden

Basis Cold cream


Basis Cold cream

10 mL

5 Orang Responden

15 mL

Regresi dan ANOVA

2.9 Kerangka Teori


Daun Seledri Jepang atau biasa disebut dengan daun Ashitaba merupakan
tanaman yang disebut daun malaikat karena memiliki pengalaman dan
kemampuan penyembuhan berbagai jenis penyakit dan manfaat yang banyak
sebagai tanaman obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman ashitaba
memiliki kandungan senyawa polifenol yang berfungsi sebagai antioksidan.
Kemampuan polifenol 100 kali lebih efektif menangkap radikal bebas
dibandingkan dengan vitamin C dan 25 kali dari vitamin E. Dengan
memanfaatkan kandungan polifenol dari daun Ashitaba, akan dibuat sediaan

lightening cream atau krim pencerah kulit yang berasal dari ekstrak daun
Ashitaba.
Daun Ashitaba yang yang dari HPHA Provinsi Jawa Timur di Trawas,
Mojokerto dijadikan simplisia dengan cara dirajang kecil-kecil lalu dikeringkan
dengan menggunakan sinar matahari. Simplisia daun Ashitaba kemudian
dimaserasi dengan menggunakan pelarut etanol dan air dengan perbandingan (7:3)
selama 24 jam. Digunakan pelarut metanol karena etanol yang bersifat polar
sesuai dengan sifat polifenol. Selanjutnya hasil maserasi dipekatkan menggunakan
rottary evaporator.
Ekstrak daun Ashitaba kemudian diuji skrinning fitokimianya. Skrinning
dilakukan terhadap senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, triterpenoid, tannin dan
glikosidanya. Terutama flavonoid dan tannin yang merupakan senyawa golongan
polifenol yang paling dibutuhkan sebagai antioksidan untuk mencerahkan kulit.
Setelah dilakukan skrinning fitokimia selanjutnya dilakukan pembuatan
sediaan lightening cream. Sediaan lightrning cream dibuat dari basis sediaan cold
cream. Dipakai sediaan cold cream karena sediaan tersebut berbasis emulsi ganda
(bukan tipe A/M atau M/A) . Pemakaian basis cold cream dianggap tidak lengket
di kulit dengan daerah tropis. Pembuatan basis cold cream dilakukan sebanyak 3
kali dengan masing-masing menghasilkan basis sebanyak 100 gram.
Ketiga basis cold cream yang telah dibuat masing- masing ditambahkan
dengan 5 mL, 10 mL dan 15 mL ekstrak daun Ashitaba, sehingga menghasilkan
tiga formula lightening cream dengan konsentrasi yang berbeda. Digunakan 3
konsentrasi yang berbeda karena berdasarkan pendapat dari Son Hu (2012)

menyatakan bahwa 10 mL ekstrak daun Ashitaba ekstrak etanol maupun ekstrak


air dari daun Ashitaba memiliki potensi sebagai whitening dan aktifitas anti-atopic
pada konsentrasi 100 mg/ml.
Selanjutnya dilakukan uji mutu fisik sediaan lightening cream yang dibuat.
Uji mutu fisik yang dilakukan meliputi uji organoleptis, homogenitas, pH,
viskositas, sentrifugasi, daya sebar dan daya lengket. Uji organoleptis dan
homogenitas dilakukan dengan pengamatan menggunakan pancaindera. Uji pH
dilakukan dengan menggunakan pH meter, viskositas dilakukan dengan
menggunakan viskometer, sentrifugasi dilakukan dengan alat sentrifugasi,
sedangkan daya sebar dan daya lengket menggunakan peralatan tertentu.
Uji keefektifan lightening cream ekstrak daun Ashitaba dilakukan dengan
mengaplikasikan kepada 15 orang responden. Masing-masing formulasi yang
dibuat diaplikasikan kepada 5 orang dengan warna kulit gelap berskala 13-8
menurut indeks warna kulit. Pemakaian diaplikasikan pada kulit punggung tangan
selama 4 minggu. Setiap minngunya dilakukan pemotretan untuk dibandingkan
dengan warna kuit sebelum memakai lightening cream.
Sediaan lightening cream diharapkan dapat mencerahkan warna kulit
karena ekstrak daun Ashitaba yang terkandung didalamnya memiliki senyawa
polifenol. Polifenol dan vitamin lainnya yang terkandung dalam ekstrak daun
Ashitaba bekerja secara sinergis melindungi sel dan jaringan dengan cara
memusnahkan (scavenge) ROS secara enzimatik atau dengan reaksi kimia
langsung, mengurangi pembentukan ROS, mengikat ion logam, memperbaiki
kerusakan sel sasaran secara biomolekul. Selain itu keunggulan pencerah kulit

dengan cara pemakaian topikal adalah pemakaian langsung pada kulit akan
menambah perlindungan terhadap paparan pro oksidatif.

BAB III
METODE PENELITIAN

5.1 Rancangan Penelitian


Rancangan penelitian yang digunakan bersifat eksperimental. Tujuan
penelitian eksperimental untuk menyelidiki efektif atau tidak efektif dan pengaruh
kadar ekstrak daun Ashitaba pada sediaan lightening cream terhadap perubahan
tone/warna kulit punggung tangan responden.

Adapun tahapan dalam pelaksanaan penelitian ini meliputi beberapa tahap,


yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap akhir. Tahap persiapan yaitu
meliputi penentuan formula, pemilihan metode pembuatan lightening cream,
merancang prosedur, merancang kebutuhan alat dan bahan.
Tahap pelaksanaan meliputi determinasi tanaman, ekstraksi, pembuatan
sediaan krim, pengujian mutu fisik sediaan krim yang meliputi pengamatan
organoleptis, homogenitas, pH, uji sentrifugasi, uji daya sebar dan uji daya lekat.
Selanjutnya dilakukan uji keefektifan dengan volunter yang ditentukan
kriterianya.
Selanjutnya tahap akhir meliputi menganalisa data penelitian untuk
mengetahui apakah sediaan lightening cream yang dibuat mempunyai mutu fisik
baik dan menentukan dosis ekstrak daun Ashitaba yang paling efektif sebagai
pencerah kulit.

5.2 Populasi Sampel


Populasi yang digunakan adalah daun dari tanaman Ashitaba (Angelica
keiskei) yang diperoleh dari HPHA Provinsi Jawa Timur di Trawas, Mojokerto.
Sampel yang digunakan adalah lightening cream yang telah dibuat dengan
perbedaan formulasi.

5.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Akademi Analis Farmasi Putra


Indonesia Malang. Penelitian dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan
bulan Mei 2015.

5.4 Instrumen Penelitian


Intrumen penelitian adalah semua alat dan bahan yang digunakan dalam
penelitian ini. Adapun alat dan bahan yang digunakan sebagai berikut .
3.4.1 Alat Penelitian
1. Timbangan kasar dan analitik
2. Mortir dan Stemper
3. Cawan penguap
4. Peralatan gelas/Glassware
5. pH meter
6. Viskometer
7. Rottary Evaporator
8. Sentrifugator
9. Kertas indeks warna kulit
3.4.2 Bahan Penelitian
1. Simplisia kering daun Ashitaba
2. Aquades

3. Etanol
4. Parafin liq
5. Cetacci
6. As. Stearat
7. Cerae album
8. Triaethanilamin
9. Natrium borat
10. Gliserin
11. Parfum

5.5 Definisi Operasional


Dalam penelitian ini terdapat variabel bebas dan variabel terikat. Variabel
bebas adalah kadar atau dosis ekstrak daun Ashitaba pada sediaan lightening
cream. Sedangkan variabel terikat adalah perubahan warna kulit responden yang
diukur dari selisih angka pada kertas indeks warna kulit sebelum dan sesudah
penggunaan lightening cream.
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel

Variabel

Definisi

Alat Ukur

Hasil Ukur

Bebas
Kadar
ekstrak daun
Ashitaba

Terikat
Perubahan
warna kulit
punggung
tangan

Operasional
Perubahan
Kertas
warna kulit indeks
dipengaruhi warna kulit
oleh
3
variasi kadar
ekstrak daun
Ashitaba
pada sediaan
lightening
cream

Dalam
bentuk angka
yang
menunjukka
n tingkatan
warna

5.6 Pengumpulan Data


3.6.1 Ekstraksi Daun Ashitaba
1. Tanaman Ashitaba yang diperoleh diambil bagian daunnya.
2. Daun Ashitaba dirajang kecil-kecil kemudian dikeringkan menggunakan sinar
matahari.
3. Simplisia kering daun Ashitaba dimaserasi dengan menggunakan pelarut air
dan etanol dengan perbandingan (7:3) selama 24 jam kemudian disaring.
4. Ekstrak air dan etanol kemudian diuapkan dengan menggunakan rotarry
evaporator dengan suhu 70o-80oC
3.6.2
1.

Skrining Fitokimia Ekstrak Daun Ashitaba

Sebanyak 2 ml ekstrak ditambahkan 2 tetes FeCl 3 1%, hasil positif adanya

flavonoid ditunjukkan oleh perubahan warna menjadi hitam (Zuhra et al. 2008).

2.

Larutan uji sebanyak 1 mL direaksikan dengan larutan besi (III) klorida 10%,

jika terjadi warna biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan adanya tanin
(Robinson 1991 dalam Astarina et al. 2012: 2).
3.

Ekstrak kental sebanyak 1 g ditambahkan dengan air hangat, dikocok vertikal

selama 10 detik kemudian dibiarkan selama 10 detik. Pembentukan busa setinggi


110 cm yang stabil selama tidak kurang dari 10 menit, menunjukkan adanya
saponin. Pada penambahan 1 tetes HCl 2 N, busa tidak hilang (Depkes RI, 1995
dalam Astarina, et.al., 2013: 2).
4. Pemeriksaan triterpenoid dan steroid dilakukan dengan reaksi LiebermannBurchard. Larutan uji sebanyak 2 mL diuapkan dalam cawan porselin. Residu
dilarutkan dengan 0,5 mL kloroform, kemudian ditambahkan 0,5 mL asam asetat
anhidrat. Asam sulfat pekat sebanyak 2 mL selanjutnya ditambahkan melalui
dinding tabung. Terbentuk cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan larutan
menunjukkan adanya triterpenoid, sedangkan bila muncul cincin biru kehijauan
menunjukkan adanya steroid (Ciulei, 1984 dalam Astarina, et.al., 2013: 2).
5. Larutan uji sebanyak 2 mL diuapkan di atas cawan porselin. Residu yang
dihasilkan kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCL 2 N. Larutan yang diperoleh
dibagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan dengan 3 tetes HCl
2 N yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan 3 tetes pereaksi
Dragendorff dan tabung ketiga ditambahkan 3 tetes pereaksi Mayer. Terbentuk
endapan jingga pada tabung kedua dan endapan kuning pada tabung ketiga
menunjukkan adanya alkaloid (Farsnworth, 1966 dalam Astarina, et.al., 2013: 2).
6. Pengujian dengan reaksi Liebermann Burchard dilakukan dengan cara sebanyak 1
g ekstrak kental dalam cawan porselin, ditambahkan dengan 5 mL asam asetat

anhidrat P. Asam sulfat P ditambahkan 10 tetes, terjadi warna biru atau hijau
menunjukkan adanya glikosida (Depkes RI, 1995 dalam Astarina, et.al., 2013: 2).
6.6.2 Pembuatan Sediaan Lightening Cream
Dalam penelitian ini formulasi krim yang dibuat mengacu pada standart
formulasi krim dengan basis cold cream dibuat dengan bobot 100g.
Formulasi Standar Sediaan Cold Cream (F.M.S, 1971 : 110)
R/ Parafin liq51
Cetacci

6,5

Asam stearat 6,4


Cerae album 2,5
TEA

0,8

Natrium borat 0,8


Gliserin

Parfum

qs

Aqua Ad

100

Tabel. 3.2. Formulasi Lightening Cream Yang Dibuat


Komposisi

Formula
Formula 1
Ekstrak Daun Ashitaba 5%
Cold Cream
Ad 100 g
Cara pembuatan lightening cream ;

Formula 2
10%
Ad 100 g

1. Disetarakan timbangan kasar dan siapkan alat.

Formulas 3
15%
Ad 100 g

2. Ditimbang masing-masing bahan.


3. Dimasukkan cetacci, as. Stearat dan cerae alba kedalam cawan penguap, lalu
dipanaskan diatas penangas. Sambil menunggu panaskan air untuk diletakkan
pada mortir.
4. Setelah bahan yang dipanaskan pada penangas mencair, letakkan pada mortir
panas lalu dicampur dengan parafin liq. dan TEA. Gerus hingga homogen.
5. Dicampur Natrium borat dengan Gliserin di mortir yang lain. Setelah
homogen, dicampur dengan bahan yang telah dihomogenkan pada mortir
yang sebelumnya.
6. Dicampurkan bahan hingga homogen, kemudian ditambahkan parfum
secukupnya.
7. Ditambahkan ekstrak daun Ashitaba dengan 3 kadar yang berbeda yaitu 5ml,
10 ml, dan 15 ml sehingga didapatkan 3 buah formulasi lightening cream 3
formulasi.
8. Ditambahkan Aquades, add hingga 100 ml.
9. Masing-masing formulasi direplikasi 3 kali.
3.6.4 Uji Mutu Fisik Sediaan Lightening Cream
1. Uji Organoleptik
Uji organoleptik adalah suatu proses pengujian untuk mengetahui bentuk,
bau dan warna dalam suatu sediaan. Sediaan lightening cream yang sudah dibuat
siamati bentuk, bau, dan warnanya.

2. Uji Homogenitas
Masing-masing krim yang akan diuji dioleskan pada 3 buah krimas obyek
untuk diamati homogenitasnya. Apabila tidak terdapat butiran-butiran kasar di
atas ketiga krimas obyek tersebut maka krim yang diuji homogen. Pengujian
homogenitas ini dilakukan sebanyak 3 kali. Pengujian pertama dilakukan pada
hari sediaan krim dibuat setelah jadi krim langsung diuji homogenitasnya. Sediaan
krim kemudian disimpan selama satu minggu dan diuji lagi homogenitasnya,
begitu seterusnya setiap minggu selama satu bulan (
3. Uji pH
Pemeriksaan pH diawali dengan kalibrasi alat pH meter menggunakan
larutan dapar pH 7 dan pH 4. Sediaan diletakkan diatas sensor pada ujung pH
meter kemudian ditutup. Angka pada pH meter dibiarkan sampai menunjukkan
nilai yang konstan. pH yang ditunjukkan oleh angka yang tertera pada layar pH
meter. Pengukuran dilakukan 3 kali pada masing-masing formulasi selama 1 bulan
(Rohmah, 2013: 4).
4. Uji Viskositas
Uji viskositas krim dilakukan dengan menggunakan alat viskometer Cup
and Bob. Rotor dipasang pada viskotester dengan menguncinya berlawanan arah
dengan jarum jam. Cup diisi sampel krim yang akan diuji setelah itu tempatkan
rotor tepat berada ditengah-tengah cup yang berisi krim, kemudian alat
dihidupkan. Rotor mulai berputar dan jarum penunjuk viskositas secara otomatis
akan bergerak menuju ke kanan, kemudian setelah stabilviskositas dibaca pada
skala dari rotor yang digunakan. Satuan yang digunakan menurut JLS 28809

standar viskositas yang telah dikalibrasi adalah desipaskal-second (dPas) setelah


selesai pengukuran viskotester dimatikan. Pengujian viskositas ini diulangi
sebanyak tiga kali untuk tiap formula. Pengujian pertama untuk viskositas
dilakukan pada hari sediaan krim dibuat. Sediaan krim kemudian disimpan selama
satu minggu dan diuji lagi viskositasnya, begitu seterusnya setiap minggu selama
satu bulan.
5. Uji Sentrifugasi
Sample krim dimasukkan ke dalam tabung sentrifusi kemudian
dimasukkan ke dalam alat sentrifugator. Sample disentrifusi pada kecepatan 3750
rpm selama 5 jam, kemudian diamati perubahan fisik pada sediaan.
6. Uji Daya Lekat
Pemerikasaan daya lekat dilakukan dengan meletakkan krim sebanyak 0,1
gram diatas gelas objek yang telah diketahui luasnya. Diletakkan gelas objek yang
lain diatas krim tersebut kemudian ditekan dengan beban 1 kg selama 5 menit.
Dipasang gelas objek pada alat tes. Kemudian dilepaskan beban seberat 80 gram
dan dicatat waktunya hingga kedua gelas objek ini terlepas. Replikasi dilakukan
sebanyak 3 kali untuk tiap-tiap formula.
7. Uji Daya Sebar
Pemeriksaan daya sebar dilakukan dengan menimbang krim sebanyak 0,5
gram ditengah kaca bulat berskala. Di atas krim diletakkan kaca bulat lain dan
pemberat sehingga berat kaca bulat dan pemberat 150 g, didiamkan selama 1
menit, kemudian dicatat diameter penyebarannya. Hasil diameter dirata-ratakan

kemudian dihitung luas area penyebarannya sediaan dengan menggunakan


persamaan :
L = .r2
3.6.5

Uji Keefektifan
Uji keefektifan dilakukan untuk mengetahui efektif atau tidaknya sediaan

lightening cream ekstrak daun Ashitaba dalam mencerahkan kulit. Uji keefektifan
ini dilakukan terhadap kulit punggung tangan 15 orang responden. Sebanyak 15
orang responden dibagi menjadi 3 kelompok masing- masing dengan anggota
sejumlah 5 orang. Pembagian kelompok berdasarkan beda konsentrasi ekstrak
daun Ashitaba di dalam sediaan lightening cream. Responden yang digunakan
memiliki kriteria tertentu. Kriterianya adalah responden beraktifitas sebagai
mahasiswi, berumur 18-21 tahun, memiliki kulit yang cenderung gelap
ditunjukkan dengan indeks warna kulit antara 8-13. Responden tersebut kemudian
diminta untuk mengoleskan lightening cream ekstrak daun Ashitaba setiap hari
dengan pemakaian pada malam hari. Pemakaian dilakukan selama 4 minggu,
pengamatan perubahan warna kulit dengan kertas indeks warna kulit dilakukan
setiap minggunya.
3.6.6

Analisa Data
Perubahan warna kulit diukur dengan menggunakan indeks tingkat warna

kulit yang telah diberi nomer yaitu nomer 20 sampai nomer 1 dimulai dari ukuran
yang paling cerah hingga yang paling gelap. Seperti pada gambar berikut;

Gambar 3.1. Indeks Tingkat Warna Kulit.


Responden harus melihat pada nomer berapakah warna kulitnya sebelum
menggunakan lightening cream. Selanjutnya dilakukan pemakaian selama 4
minggu dan dilakukan pemotretan setiap minggunya. Kemudian pada minggu
terakhir diperhatikan pada nomer berapakah responden mengalami peningkatan
warna kulit. Selisih peningkatan tersebut kemudian di data menggunakan tabel
berikut ini,

Tabel 3.3. Pengamatan Selisih Peningkatan Warna Kulit


Dosis
5%

10%

15%

Data yang diperoleh dianalisa menggunakan metode analisa regresi


sederhana dan One Way ANOVA yang dilanjutkan dengan Post Hoc Test untuk
mengetahui pada dosis berapakah yang paling efektif untuk mencerahkan kulit.
Apabila

data

yang

diperoleh

tidak

memenuhi

syarat

normalitas

dan

homogenitasnya maka data diolah denagn menggunakan metode Kruskal Wallis.


Data tersebut akan diolah dengan software SPSS. Analisa data metode regresi
sederhana terdapat 6 tabel interpretasi, yaitu;
1. Tabel Descriptive Statistic
2. Tabel Correlation menggunakan Pearson Correlation
3. Tabel Variabel Entered/Removed
4. Tabel ANOVA
5. Tabel Coefficients
Hipotesis :
Ho = Dosis berpengaruh nyata terhadap perubahan warna kulit.
Hi = Dosis tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan warna kulit.
Pengambilan Keputusan :
Jika ttabel < thitung maka Ho diterima
Jika ttabel > thitung maka Ho ditolak
Analisa menggunakan metode One Way ANOVA digunakan untuk
mengetahui apakah ketiga dosis tersebut memiliki perbedaan yang signifikan

terhadap perubahan warna kulit. Analisa m metode One Way ANOVA terdapat 4
tabel interpretasi yaitu;
1. Tabel Descriptives
2. Tabel Test of Homogeneity of Variance
Hipotesis :
Ho = variasi warna kulit yang dihasilkan sama
Hi = variasi warna kulit yang dihasilkan berbeda
Dasar pengambilan keputusan :
Jika probabilitas > 0,05 maka Ho diterima
Jika probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak
3. Tabel ANOVA
Hipotesis :
Ho = ketiga dosis lightening cream mempunyai kemampuan yang sama dalam
mencerahkan warna kulit
Hi = ketiga dosis lightening cream mempunyai kemampuan yang berbeda dalam
mencerahkan warna kulit.
Dasar pengambilan keputusan :
Jika Fhitung < Ftabel atau probabilitasnya > 0,05 maka Ho diterima
Jika Fhitung > Ftabel atau probabilitasnya < 0,05 maka Ho ditolak
4. Tabel Post Hoc Test.

DAFTAR RUJUKAN

Adinata, M.O., Sudira, I. wayan & Berata, I.K., 2012. Efek Ekstrak Daun
Ashitaba (Angelica keiskei) Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Mencit
(Mus musculus) Jantan. Buletin Veteriner Udayana, 4(2), pp.5562.
Anwar, Effionora., 2012. Eksipien dalam Sediaan Farmasi Karakterisasi dan
Aplikasi, Jakarta: Dian Rakyat.
Astarina, N.W.G., Astuti, K.W. & Warditiani, N.K., 2012. Skrining Fitokimia
Ekstrak Metanol Rimpang Bangle (Zingiber purpureum Roxb.),

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, 1971. Formularium Medicamentorium


Selectum Edisi 4. Surabaya
Kristanti, Alfinda., Aminah, Nanik Siti., Tanjung, Mulyadi., Kurniadi, Bambang.,
2008. Buku Ajar Fitokimia. Surabaya : Airlangga University Press.
Parengkuan, K., Fatimawali & Citraningtyas, G., 2013. Analisis Kandungan
Merkuri Pada Krim Pemutih Yang Beredar di Kota Manado. jurnal Ilmiah
Farmasi, 2(01), pp.6269.
Park, H.-J. & Lee, K.-Y., 2013. A Study on Anti-oxidative Activity of the
Lithospermum Erythrorhizon Extracts for Application as a Cosmetic
Ingredient. Korean Journal of Plant Resources, 26(3), pp.403409. Available
at: http://koreascience.or.kr/journal/view.jsp?
kj=JOSMBA&py=2013&vnc=v26n3&sp=403.
Prabawati, I.D.A., Fatimawali & Yudhistira, A., Analisa Zat Hidroquinon pada
Krim Pemutih Wajah yang Beredar di Kota Manado. , pp.4146.
Putri, Amalia Lisiana.,2013. Uji Mutu Fisik dan Uji Volunteer Krim Ekstrak Buah
ALpukat (Persea gratissima gaertn.f.) dengan Basis Cold Cream. Akademi
Farmasi Putra Indonesia Malang
Rohmah, S.D., 2013. FORMULASI KRIM SARANG BURUNG WALET PUTIH
(Aerodramus fuciphagus) DENGAN BASIS TIPE A/M SEBAGAI
PENCERAH KULIT WAJAH, Pontianak.
Sang-Han Lee.,2012.Evaluation Of Acute Skin Irritation and Phototoxicity by
Aqueous an Etanol Fractions of ANgelica keiskei.,pp. 45-50
Sembiring, B.B. & Manoi, F., 2011. IDENTIFIKASI MUTU TANAMAN
ASHITABA. Buletin Littro, 22(2), pp.177185.
Son HU, Yoon EK, Cha YS, Kim MA, Shin YK, Kim JM, Choi YH and Lee SH:
Comparison of The Toxicity of Aqueous and Ethanol Fractions of Angelica
keiskei Leaf Using The Eye Irritacy Test. Exp Ther Med. 4:820-824. 2012
Swarayana, I.M.I., Sudira, I.W. & Berata, I.K., 2012. Perubahan Histopatologi
Hati Mencit ( Mus musculus ) yang Diberikan Ekstrak Daun Ashitaba (
Angelica keiskei ). Buletin Veteriner Udayana, 4(2), pp.119125.
Syafnir, L. & Putri, A.P., 2008. Pengujan Kandungan Merkuri dalam Sediaan
Kosmetik dengan Spektrofotometri Serapan Atom. Prosiding SNaPP2011
Sains, Teknologi, dan Kesehatan, pp.7178.

Tranggono, Retno ISwari. & Latifah, Fatma., 2007, Buku Pegangan Ilmu
Pengetahuan Kosmetik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zuhra, C.F., Tarigan, J.B. & Sihotang, H., 2008. Skrining fitokimia tumbuhan
yang digunakan oleh pedagang jamu gendong untuk merawat kulit wajah di
kecamatan medan baru. , 3(1), pp.16.

Anda mungkin juga menyukai