OLEH
SAVIRA FARADINAR
NIM 12.039
PROPOSAL
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan kepada
Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Malang
Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program D-3
Bidang Farmasi
OLEH
SAVIRA FARADINAR
NIM 12.039
Pembimbing,
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1
Latar Belakang............................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah.........................................................................6
1.3
Tujuan Penelitian..........................................................................6
1.4
Kegunaan Penelitian......................................................................7
1.5
Asumsi Penelitian..........................................................................7
1.6
1.7
Definisi Istilah............................................................................... 9
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6.
2.7
2.7
Analisis Data.............................................................................. 36
2.8
Kerangka Konsep........................................................................37
2.9
Kerangka Teori...........................................................................38
Rancangan Penelitian...................................................................41
5.2
Populasi Sampel..........................................................................42
5.3
5.4
Instrumen Penelitian....................................................................42
5.5
Definisi Operasional.....................................................................44
5.6
Pengumpulan Data......................................................................44
DAFTAR RUJUKAN................................................................................ 55
BAB I
PENDAHULUAN
seperti
merkuri
dan
hidrokuinon.
Kosmetik
pencerah
yang
putih yang disebabkan oleh over bleaching atau sebaliknya menimbulkan reaksi
hiperpigmentasi (Tranggono et al. 2007).
Manurung dalam Rohmah (2013:1) menyampaikan data dari tim
MEKSOS (Monitoring Efek Samping Kosmetik) Badan POM RI tahun 2007.
Data ini menunjukkan pengaduan yang masuk mengenai efek samping kosmetik
adalah akibat kosmetik pencerah (35%), pelembab (20%), bleaching (15%), bedak
(10%), cat rambut (5%), dan parfum (5%). Dengan demikian efek samping yang
paling sering terjadi di masyarakat adalah akibat penggunaan kosmetik pencerah
kulit.
Berdasarkan fakta tersebut maka perlu dicari alternatif lain untuk kosmetik
pencerah yaitu dengan menggunakan bahan alami. Salah satu bahan alam yang
berpotensi sebagai pencerah kulit adalah tanaman seledri Jepang atau Ashitaba
(Angelica keiskei koidzumi). Ashitaba merupakan salah satu tanaman introduksi
sehingga belum banyak dikenal di Indonesia. Di Jepang tanaman Ashitaba
dikonsumsi sebagai sayuran. Tanaman Ashitaba adalah salah satu tanaman obat
asli Jepang yang dikenal sebagai Harta Karun dan Raja Sayur Mayur.
(Tjitrosoepomo dalam Jauhari 2010). Nagata et al. dalam Swarayana et al. (2012:
120) juga menerangkan bahwa Ashitaba merupakan tanaman yang bermanfaat
untuk panjang umur yang dulu dicari-cari oleh kaisar pertama Cina dari Dinasti
Chin. Pada masa jaman Edo, Ashitaba juga dikenal sebagai jamu-jamuan Umur
Panjang karena kemampuannya menyembuhkan berbagai penyakit
Daun Ashitaba merupakan sumber utama antioksidan karena dalam daun
tersebut terdapat senyawa kimia golongan tanin paling kuat yang disebut juga
dengan polifenol. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Adinata et al. (2012)
daun Ashitaba mengandung senyawa yang beragam, yaitu -karoten, vitamin B 1,
B2, B3, B5, B6, B12, biotin, asam folat dan vitamin C, dan juga mengandung
beberapa mineral seperti kalsium, magnesium, potasium, fosfor, seng dan
tembaga. Selain nutrisi tersebut daun Ashitaba juga mengandung cairan pekat
berwarna kuning, yaitu Chalcone. Chalcone merupakan senyawa golongan
flavonoid (Adinata et al. 2012: 56-57).
Antioksidan golongan polifenol memiliki aktivitas menangkap radikal
bebas lebih tinggi dibandingkan batang dan umbi yang ditunjukkan dengan EC 50
yaitu sebesar 38,00 ppm. Nilai EC50 yang dimiliki daun Ashitaba lebih kecil
dibandingkan dengan jenis seledri yang lain yang nilai EC50 nya sebesar 446,107
ppm. Ini disesuaikan dengan pendapat Robinson (1995), kelompok senyawa tanin
dan fenolik dapat berperan sebagai sumber antioksidan. Hal ini didukung oleh
hasil penelitian Andayani et al. (2008), kemampuan polifenol 100 kali lebih
efektif menangkal radikal bebas dibanding dengan vitamin C dan 25 kali dari
vitamin E (Sembiring & Manoi 2011: 180).
Penelitian yang dilakukan oleh Sang Han-Lee (2012) yaitu melakukan
studi efek dari fraksi tanaman Ashitaba pada iritasi mukosa mata. Selanjutnya
terdapat penelitian yang melakukan uji iritasi kulit dan fototoksisitas akut dengan
cara menggunakan model hewan untuk menganalisa efek daun Ashitaba secara in
vivo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi Ashitaba tidak menimbulkan
iritasi kulit atau menjadi fototoksik, dan menunjukkan bahwa fraksi ini mungkin
berguna dalam industri kosmetik dan untuk aplikasi lainnya. Hal ini didukung
oleh pendapat Chen et al. (2004) dalam Sembiring dan Manoi (2011: 179) nilai
total aktivitas antioksidan dari daun Ashitaba berkisar antara 189030 mg/g berat
kering dan pendapat Son Hu (2012) dalam Sang Han-Lee (2012)ekstrak etanol
maupun ekstrak air dari daun Ashitaba memiliki potensi sebagai whitening dan
aktifitas anti-atopic pada konsentrasi 100 mg/ml.
Melihat fenomena di atas, peneliti bermaksud membuat sediaan krim
pencerah kulit dengan bahan aktif ekstrak daun Ashitaba. Sediaan krim yang
berfungsi sebagai memutihkan warna kulit, tampak lebih cerah dan bercahaya
biasa disebut dengan whitening/ lightening cream. Dikatakan lightening cream
atas pertimbangan bahwa mayoritas warna kulit orang Indonesia cukup gelap dan
tidak mungkin sampai menjadi warna putih. Mekanisme kerja pencerah kulit
adalah menghambat satu atau beberapa tahapan sintesis melanin. Ketika kulit
terkena sinar ultraviolet, sel tyrosin pigmentasi yang ada di lapisan basal kulit
menghasilkan melanin melalui aksi enzim tirosinase. Melanin yang diproduksi
berlebihan menyebabkan deposito pigmen seperti melasma atau bintik-bintik.
Telah dilaporkan bahwa bahan yang efektif untuk menghambat aktivitas tirosinase
adalah asam askorbat, arbutin, kojic acid, azelaic acid, dan tropolone (Jung et al.
dalam Park & Lee 2013: 407).
Dalam formulasi sediaan krim ekstrak daun Ashitaba ini perlu
diperhatikan beberapa aspek. Di antaranya yang penting untuk diperhatikan
adalah pH yang digunakan, sehingga sediaan krim dapat digunakan sekaligus pada
kulit wajah dan kulit tubuh. Berdasarkan penjelasan Tranggono (2007), komposisi
kosmetik memiliki daya penyangga (buffer) yang kuat, baik terhadap senyawa
yang bersifat alkalis maupun yang bersifat asam. Semakin alkalis atau semakin
asam bahan yang mengenai kulit, semakin sulit untuk menetralisirnya dan kulit
akan menjadi lelah karenanya. Kulit dapat menjadi kering, pecah-pecah, sensitif,
dan mudah terkena infeksi. Tingkat keasaman (pH) berbeda antara yang
ditemukan oleh Machionini (1992) dalam Tranggono (2007) dengan peneliti yang
lainnya, tetapi pada umumnya berkisar antara 4,5-6,5.
Perlu diperhatikan pula pelarut dan metode ekstraksi yang digunakan
untuk mengekstrak zat aktif dalam daun Ashitaba. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Sembiring (2011) daun Ashitaba dapat diekstrak menggunakan air
dan etanol. Bagian tanaman yang akan diekstrak adalah pada bagian daun. Hasil
ekstrak etanol tanaman Ashitaba segar, diperoleh rendemen ekstrak dari daun
5,75%, batang 3,99% dan umbi 3,12%. Rendemen ekstrak tertinggi diperoleh dari
daun. Menurut Suryandari (1981) dalam Sembiring (2011) bahwa besarnya
rendemen menunjukkan indikasi adanya kandungan zat berkhasiat dalam suatu
tanaman. Semakin tinggi nilainya berarti kemungkinan kandungan zat berkhasiat
yang dikadungnya juga semakin banyak. Berdasarkan data diatas maka metode
yang dipilih adalah metode maserasi dengan pelarut etanol.
Sediaan krim yang akan dibuat berbasis cold cream. Cold cream
merupakan emulsi air dalam minyak, setengah padat, putih, dibuat dengan lilin
steril ester, lilin putih, minyak mineral, natrium borat, dan air murni. Natrium
borat dicampur dengan asam lemak bebas yang ada dalam lilin-lilin membentuk
sabun natrium yang bekerja sebagai zat pengemulsi.. Menurut Tranggono (2007)
cold cream tidak hanya dipakai sebagai pembersih, tetapi juga sebagai pelembab,
krim pelindung, dan krim tabir surya (dengan penambahan bahan anti sinar
ultraviolet).
dalam air (M/A) yang nyaman digunakan pada kulit dengan segala kondisi.
dengan perbandingan (7:3). Lihtening cream yang sudah jadi diuji mutu fisik dan
stabilitasnya, yaitu meliputi uji organolpetis, uji homogenitas, uji pH, uji
viskositas, uji sentrifugasi, uji daya sebar dan uji daya lekat. Selanjutnya
formulasi lightening cream dibagi menjadi tiga berdasarkan perbedaan konsentrasi
dari ekstrak daun Ashitaba yaitu 5%, 10 % dan 15%. Uji keefektifan dilakukan
selama 4 minggu kepada 15 orang responden yang memiliki usia dan aktivitas
yang sama.
1.7 Definisi Istilah
1. Mutu Fisik adalah penialan suatu sediaan yang meliputi uji organoleptis,
homogenitas, uji pH, uji viskositas, uji sentrifugasi, uji daya lekat dan uji daya
daya sebar.
2. Keefektifan adalah usaha atau tindakan untuk mencapai keberhasilan (Kamus
Besar Bahasa Indonesia 2002:284)
3. Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk
yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Ditjen POM, 1995).
4. Krim emulsi setengah padat baik bertipe air dalam minyak atau minyak dalam air
dan digunakan untuk pemakaian obat pada kulit (Anwar 2012).
5. Lightening cream adalah produk perawatan kulit berbentuk krim yang digunakan
dengan tujuan agar kulit pemakai tampak lebih putih, cerah dan bercahaya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
luar tubuh. Sedangkan menurut Wasitaatmadja (1997: 11) kulit adalah organ tubuh
yang berada pada bagian paling luar, yang berfungsi sebagai pembatas manusia
dengan lingkungan hidupnya.
Luas kulit pada manusia rata-rata 2 meter persegi, dengan berat 10 kg jika
dengan lemaknya. Kulit terbagi atas dua lapisan utama, yaitu epidermis (kulit ari)
sebagai lapisan kulit paling luar, dan dermis (korium, kutis, kulit jangat). Para ahli
histologi membagi epidermis dari bagian terluar hingga kedalam menjadi lima
lapisan, yakni:
1. Lapisan Tanduk (Stratum corneum), merupakan lapisan yang paling atas.
2. Lapisan Jernih (Stratum lucidum), disebut juga lapisan barrier.
3. Lapisan Berbutir-butir (Stratum granulosum)
4. Lapisan Malphigi (Stratum spinosum) memiliki sel seperti duri.
5. Lapisan Basal (Stratum germinativum) hanya tersusun oleh satu lapis sel basal.
2.1.1.1 Epidermis
Dari sudut pandang kosmetik penampilan epidermis paling diutamakan,
karena kosmetik kebanyakan dipakai pada lapisan epidermis. Epidermis memiliki
ketebalan yang berbeda pada bagian tubuh. Lapisan tebal berada ada telapak kaki
dan telapak tangan yang berukuran 1 milimeter. Sedangkan lapisan paling tipis
terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi dan perut yang berukuran 0,1 milimeter.
Sel-sel epidermis disebut dengan keratinosit.
1. Lapisan Tanduk (stratum corneum)
Lapisan tanduk terdiri atas beberapa lapis sel pipih, mati, tidak berinti,
tidak memiliki proses metabolisme, tidak berwarna dan sedikit mengandung air.
Lapisan ini sebagian besar terdiri dari keratin, jenis protein tidak larut air, dan
sangat resisten terhadap bahan kimia. Pada permukaan lapisan tanduk terdapat
lapisan pelindung lembab tipis yang disebut dengan mantel asam kulit
(Tranggono 2007 :12).
Mantel asam kulit merupakan lapisan tipis lembab yang bersifat asam.
Tingkat keasamannya (pH) berbeda antara yang ditemukan oleh Marchionini dan
oleh peneliti-peneliti lainya, tetapi umumnya berkisar antara 4,5-6,5. Marchionini
(1992) menemukan pH mantel asam kulit itu antara 3,5-5; Blank (1939) atara
4,2-5,6; Schmidt (1942) atara 5,6-6,0; Harry (1994) atara 4,2-5,6 dan terakhir
oleh Tranggono (1987) pada 400 orang Indonesia ditemukan nilai pH pria 5,60
0,08 dan wanita 5,68 0,02 (Tranggono 2007; 19).
lapisan stratum corneum yang memiliki warna putih kekuningan atau keabuabuan. Caroten adalah suatu pigmen warna kuning yang sedikit sekali jumlah dan
efeknya, serta eleidin dalam stratum lucidum yang hanya terlihat pada kulit yang
menebal dari telapak kaki dan bagian tumit.
Dari semua bahan-bahan pembangun warna kulit itu, yang paling
menentukan warna kulit adalah pigmen melanin.
distribusi pigmen melanin ini akan menentukan variasi warna kulit berbagai
golongan ras/bangsa di dunia (Tranggono dan Latifah 2007: 27-30).
2.1.3.1 Intensitas Warna Kulit
Intensitas warna kulit secara mendasar ditentukan oleh :
1. Jumlah melanosom yang terdapat didalam keratinosit dan melanosit.
2. Kecepatan melanogenesis di dalam melanosit.
3. Kecepatan transfer di dalam populasi keratinosit.
Oleh karena itu dikenal 2 macam warna kulit :
1. Warna kulit konstitutif, yang secara genetik diturunkan tanpa dipengaruhi
faktor sinar ultraviolet dan hormon.
2. Warna kulit fakultatif, yaitu warna kulit akibat pengaruh sinar ultaviolet dan
hormon. Warna ini jelas tampak pada bagian badan yang tidak tertutup pakaian.
Hormon-hormon yang berpengaruh, antara lain :
1. Melanin Stimulating Hormon (MSH), yang pemberiannya menyebabkan
hiperpigmentasi pada kulit.
Tanning terlihat jelat 1 jam setelah kulit terpapar matahari dan kemudian
akan hilang kembali dalam waktu 4 jam. Hal ini mungkin disebabkan oleh reaksi
oksidasi dari radikal bebas semiquinon yang tidak stabil didalam melanin. Pada
tanning tidak tambak adanya pembentukan melanosom baru. Rekasi yang sama
terjadi pada sunburn (290-320 nm). Tetapi pada sunburn akan terbentuk
melanosom-melnosom baru secara perlahan dan baru akan terlihat dalam waktu
72 jam (Tranggono dan Latifah 2007: 30).
2.1.4 Reaksi Negatif Kulit pada Kosmetik
Ada 4 faktor yang mempengaruhi hasil pemakaian kosmetik terhadap kulit
manusia yang akan memberikan hasil positif maupun ngatif. Faktor tersebut
antara lain;
1. Faktor manusia, seperti perbedaan ras warna kulit serta pandangan mengenai
kecantikan.
2. Faktor kosmetik, bahan baku, formulasi dan prosedur pembuatan yang kurang
tepat.
3. Faktor lingkungan, seperti iklim dan penyinaran matahari.
4. Interaksi ketiga faktor diatas.
Jenis-jenis reaksi negatif yang disebabkan oleh kosmetik pada kulit maupun
sistem tubuh antara lain;
1. Iritasi, disebabkan oleh salah satu bahan pembentuk kosmetik bersifat iritan
terhadap kulit.
2. Alergi, disebabkan oleh salah satu bahan penyusun kosmetik bersifat alargenik
terhadap kulit seseorang meskipun tidak pada yang lain.
3. Fotosensitisasi, reaksi negatif muncul setelah kulit yang ditempeli kosmetik
terkena sinar matahari.
bercak berwarna putih yang disebabkan oleh over bleaching, atau sebaliknya
menimbulkan reaksi hiperpigmentasi. Hiperpigmentasi timbul karena adanya
berbagai sebab antara lain faktor usia, perawatan yang salah dan paparan sinar
matahari secara langsung (Tranggono dan Latifah 2007: 47-48).
kosmetik
dalam
peraturan
menteri
kesehatan
RI
No.
sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Mengacu pada ketentuan
mengenai krim, dapat disimpulkan bahwa krim mempunyai dua tipe yaitu air
dalam minyak A/M dan minyak dalam air M/A. Kapan diperlukan basis krim tipe
A/M dan M/A bergantung pada tujuan kegunaan krim tersebut berdasarkan efek
terapetiknya.
Sifat umum sediaan krim adalah mampu melekat pada permukaan tempat
pemakaian dalam waktu yang lama sebelum sediaan ini dicuci atau dihilangkan.
Krim dapat memberikan efek mengkilap, berminyak, melembankan, dan mudah
tersebar merata, mudah berepenetrasi pada kulit, mudah/sulit diusap,mudah/sulit
dicuci air (Anwar 2012: 197).
Sediaan kosmetik lightening cream yang akan dibuat berbasis cold cream.
Cold cream merupakan emulsi ganda, setengah padat, putih, dibuat dengan lilin
steril ester, lilin putih, minyak mineral, natrium borat, dan air murni. Cold cream
dipilih sebagai basis lightening cream karena pertimbangan kandungan minyak
yang dimiliki seimbang, konsistensinya yang lembut, memberikan efek sejuk,
penyebarannya mudah dikulit, dan berwarna snow white. Cold cream bukan
emulsi M/A dan juga bukan emulsi A/M oleh karena itu cold cream disebut juga
dengan emulsi ganda (Tranggono dan Latifah 2007: 64-65). Dalam penelitian ini
formulasi krim yang dibuat mengacu pada standart formulasi krim dengan basis
cold cream dibuat dengan bobot 100g.
Formulasi Standar Sediaan Cleansing Cream (F.M.S, 1971: 111)
R/
Parafin liq
250
15
Adp. Lenae
30
Nipagin
q.
Aqua Ad
550
2. Asam Stearat
Berbentuk zat padat keras, berwarna putih atau sedikit kekuningan,
mengkilap, kristal padat atau putih, atau putih kekuningan, sedikit berbau dan
mirip lemak lilin. Praktis tidak larut dalam air, larut dalam 20 bagian etanol 95%
P, dalam 2 bagian kloroform P dan dalam 3 bagian eter P. Asam stearat tidak
bercampur dengan hidroksida logam dan dengan senyawa yang bersifat oksidator.
Kegunaanya dalam formulasi topikal sebagai bahan pengemulsi, konsentrasi
untuk krim yaitu 1-20% (Anwar 2012: 204).
3. TEA (Trietanolamin)
Penyabunan antara lemak netral dengan trietanolamin tidak dimungkinkan
maka dalam industri sabun, asam lemak ditransplantasikan dengan produk
trietanol teknis, yang umumnya masih mengandung sekitar 10-15% dietanol amin
([HO-CH2-CH2]2NH) dan 5% monoetanolamin (HO-CH2-CH2-NH2), sehingga
terbentuk juga sebagian kecil sabun mono dan dietanol, digunakan sebagai
emulgator yang lebih kuat daripada sabun alkali, maka diperoleh dispersi halus
dan sistem emulsi yang sangat stabil, yang menunjukan reaksi mendekati netral,
kerugiannya mudah menguap dan kemungkinan mengiritasi kulit dan membran
mukosa. Inkompabilitas, beraksi dengan asam mineral membentuk garam dan
ester, dengan asam lemak yang lebih tinggi mampu membentuk garam yang larut
dalam air dan mempunyai sifat seperti sabun, bereaksi dengan tembaga
membentuk kompleks, perubahan warna dan pengendapan dapat terjadi dengan
adanya garam logam berat (Anwar 2012: 214)
4. Adeps Lanae
Merupakan lemak yang diperoleh dari bulu domba, berwarna kuning
muda, berbau khas. Adeps lanae yang telah meleleh berupa cairan kuning. Larut
dalam benzen, kloroform, eter, dan petroleum, sedikit larut dalam eetanol dingin
(95%), lebih larut dalam etanol panas (95%), praktis tidak larut dalam air.
Mengandung pro-oksidan yang dapat mempengaruhi kestabilan beberapa zat aktif.
Fungsinya dalam sediaan semi solid sebagai emulsifying agent, fase minyak
dalam persiapan krim A/M. Adeps lanae dapat menyerap air sebesar 25%,
campuran adepas lanae dengan air dikenal sebagai lanolin (Anwar 2012: 203).
Sediaan cleansing cream yang dibuat akan ditambahkan dengan zat aktif
yang berasal dari ekstrak daun Ashitaba (Angelica keiskei).
2.3.2 Uji Mutu Fisik Krim
1. Organoleptis
Dalam uji organoleptis ini dilihat sifat fisik sediaan lightening cream dari
ekstrak daun Ashitaba yang meliputi bentuk, warna dan bau.
2. Uji Homogenitas
Homogenitas sediaan krim yang berbentuk emulsi ditunjukkan dengan
tercampurnya bahan-bahan yang digunakan dalam formula krim, baik bahan aktif
maupun bahan tambahan secara merata.
3. Uji pH
Dalam uji pH berhubungan dengan stabilitas zat aktif yang terkandung
dalam sediaan krim tersebut sesuai dengan pH normal dan efektifitas pengawet
pada keadaan kulit sehingga tidak menghambat fungsi fisiologis kulit atau sesuai
dengan syarat krim yang baik. Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui derajat
keasaman sediaan krim yang telah dibuat sesuai dengan pH standaar kulit yang
telah ditetapkan, yaitu 4,5-6,5.
4. Uji Sentifugasi
Dalam uji ini dilihat kondisi penyimpanan normal dapat diramalkan
dengan cepat dengan mengamati pemisahan dari fase terdispersi karena
pembentukan krim atau penggumpalan bila emulsi dipaparkan pada sentrifugasi.
Literatur menunjukkan bahwa sentrifugasi pada kecepatan 3750 rpm dalam
dan kemampuan penyembuhan berbagai jenis penyakit dan manfaat yang banyak
sebagai tanaman obat (Nagata, et.al dalam Swarayana, et.al 2011: 120).
2.4.1 Klasifikasi dan Morfologi Daun Ashitaba
Adapun klasifikasi dari ashitaba tersebut adalah;
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Sub kelas
: Sympetalae
Bangsa
: Apiales
Keluarga
: Apiaceae
Marga
: Angelica
Jenis
tulang daun menjari dan menyirip. Dagimg daunnya tipis seperti kertas jika pada
usia muda tapi pada daun-daun yang sudah dewasa Daun tanaman ini tipis agak
keras dengan permukaan yang agak kasar. Warna daun yang masih muda
berwarna hijau agak kekuning-kuningan seadangkan daun yang sudah dewasa
berwarna hijau tua (Mardiarsa 2014: 7-8).
2.4.2 Kandungan Tanaman Ashitaba
Penelitian mutu tanaman Ashitaba telah diteliti oleh Sembiring dan Manoi
(2011). Penelitian tersebut meliputi karakteristik mutu tanaman ashitaba,
skrinning fitokimia tanaman Ashitaba, unsur mineral, ekstrasi dan senyawa aktif
tanaman Ashitaba, dan aktivitas antioksidan.
2.4.2.1 Karakteristik Mutu Tanaman
Hasil pengamatan karakteristik mutu tanaman Ashitaba, menunjukkan
bahwa kadar air daun Ashitaba lebih tingga daripada kadar alkoholnya. Hasil
pengamatan ditunjukkan oleh tabel berikut.
Tabel 2.1 Karakteristik Mutu Tanaman Ashitaba
Bagian
Tanaman
Kadar air
(%)
Kadar abu
(%)
Kadar abu
tak
larut
asam
(%)
Daun
8,79
11,20
0,08
Batang
10,86
8,15
0,5
Umbi
8,02
6,95
0,03
Kadar sari air dan kadar sari alkohol yang
standar mutu MMI yang disyaratkan harus memiliki kadar sari minimum 18% dan
kadar sari alkohol minimal 9,7%. Faktor utama yang menentukan mutu bahan
adalah kadar sari air dan kadar sari alkohol yang menunjukkan adanya kandungan
zat yang ber-khasiat dalam bahan tersebut (Depkes 1985).
2.4.2.2 Skrinning Fitokimia
Ashitaba memiliki getah yang berwarna kuning yang mengandung zat
chalcone. Batang, daun maupun umbi tanaman ashitaba jika dipotong akan
mengeluarkan getah berwarna kuning disebut chalcone yang termasuk golongan
Daun
Batang
Umbi
Berat
Serbuk
simplisia
(g)
1.500
1.700
1.650
Ekstrak
(g)
Rendemen
(g)
86,2
67,9
51,5
5,75
3,99
3,12
mikro organisme dan membentuk radikal super oksida yang kemudian di rubah
menjadi H2O2 oleh enzim mieloperoksidase sehingga terjadi degradasi bakteri
secara oksidasi dan auto oksidasi spontan pada membran sel sedangkan secara
eksogen ROS berasal dari radiasi ultra violet, polutan lingkungan, zat kimia, radio
aktif dan obat obatan. Sifat toksik ROS dapat menyebabkan kerusakan DNA,
RNA, protein dan membran sel (Deny et. al 2006).
Sekitar 5% dari oksigen yang dihirup diubah menjadi reactive oxygen
spesies (ROS). Reactive oxygen spesies dibentuk oleh reduksi oksidan empat
elektron di dalam rantai pernapasan, diikuti oleh penurunan parsidal deri 1 ke 3
untuk menghasilkan anion superoksida [O2], yang dapat dijadikan proton dengan
pH rendah menjadi H2O2, [.OH] dan H2O.
Ketika produksi radikal bebas melampaui sistem pertahanan antioksidan di
dalam tubuh, maka akan menghasilkan tekanan oksidasi, atau sterss oksidative.
Tekanan ini dibebankan kepada sel-sel akibat peningkatan produksi oksidan,
penurunan perlindungan antioksidan, dan kegagalan dalam memperbaiki
kerusakan oksidatif.
Paparan terhadap patogen, gaya hidup yang tidak tepat, latihan fisik yang
tidak berlebihan, dan produk sampingan dari metabolisme normal juga merupakan
faktor yang berpengarih terhadap stress oksidative.
Antioksidan merupakan suatu senyawa yang dapat menetralkan radikal
bebas, sehingga resiko stress oksidative dan kelainan degeneratif semakin
berkurang. Di tingkat sel dan molekul antioksidan menonaktifkan ROS dan
bekerja
melindungi
sel
dan
jaringan
dengan
cara
2.5.1 Polifenol
Istilah polifenol atau fenolik merujuk kepada senyawa-senyawa kimia,
yang memiliki suatu cincin aromatik dengan subsituen hidroksil, termasuk derivat
seperti ester, methyl ester, glikosisda. Berdasarkan struktur kimia, polifenol dapat
digolongkan menjadi asam fenol, flavonoid, stilbene, dan lignan.
Polifenol merupakan antioksidan yang paling banyak didalam makanan.
Total asupannya didalam makanan dapat mencapai 1 g/hari; angka ini jauh lebih
tinggi daripada senyawa yang berasal dari bahan alam lainnya, dan merupakan
antioksidan makanan. Secara perspektif, angka ini~10 kali lebih tinggi daripada
asupan vitamin C dan 100 kali lebih tinggi daripada asupan vitamin E dan
karotenoid (Syamsudin, 2013: 71-72).
2.5.2 Flavonoid
Golongan flavonoid seperti flavon dan katekin merupakan flavonoid yang
paling kuat untuk melindungi tubuh dari reactive oxygen species (ROS). Sel-sel
dan jaringan tubuh yang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh radikal
bebas dan ROS yang diproduksi selama metabolisme oksigen normal, atau
diinduksi oleh kerusakan eksogen. Radikal bebas dan ROS terlibat terlibat pada
proses berbagai penyalit pada manusia. Kuersetin, kaemferol, morin, miricetin dan
rutin memperlihatkan efek positif seperti khasiat antiinflamasi, antialergi,
antivirus, serta aktivitas antikanker dengan bertindak sebagai antioksidan. ROS
dan radikal bebas juga diperkirakan berperan penting pada penyakit hati, katarak,
dan penyakit kardiovaskuler.
Maserasi
Maserasi adalah suatu contoh metode ekstraksi padat cair bertahap yang
dilakukan dengan cara membiarkan padatan terendam dalam suatu pelarut. Proses
perendaman dalam usaha mengekstraksi suatu substansi dari bahan alam ini bisa
dilakukan tanpa pemansan (pada temperatur kamar), dengan pemanasan atau
bahkan pada suhu pendidihan. Sesudah disaring, residu dapat diekstraksi kembali
dengan menggunakan pelarut yang baru.
Jika maserasi dilakukan dengan menggnakan pelarut air maka diperlukan
proses ekstraksi lebih lanjut yaitu ekstraski fase air yang diperoleh dengan pelarut
organik. Jika maserasi langsung dilakukan dengan pelarut organik maka filtrat
hasil ekstraksi dikumpulkan menjadi satu, kemudain dievaporasi atau didestilasi.
Selanjutnya dapat dilakukan proses pemisahan dengan kromatografi.
Salah satu keuntungan metode ini adalah cepat, terutama jika maserasi
dilakukan pada suhu didih pelarut. Meskipun demikian metode ini tidak selalu
efektif dan efisien. Waktu rendaman bahan dalam pelarut bervariasi antara 15-30
menit tetapi kadang-kadang bisa sampai 24 jam. Jumlah pelarut yang diperlukan
juga cukup besar, berkisar antara 10-20 kali jumlah sampel (Kristanti et.al, 2008).
Daun Ashitaba
(Angelica keiskei)
Rottaray Evaporator
70-80OC
Polifenol
Lightening
Cream
Skrinning Fitokimia
Flavonoid
Tannin
5 Orang Responden
5 mL
5 Orang Responden
10 mL
5 Orang Responden
15 mL
lightening cream atau krim pencerah kulit yang berasal dari ekstrak daun
Ashitaba.
Daun Ashitaba yang yang dari HPHA Provinsi Jawa Timur di Trawas,
Mojokerto dijadikan simplisia dengan cara dirajang kecil-kecil lalu dikeringkan
dengan menggunakan sinar matahari. Simplisia daun Ashitaba kemudian
dimaserasi dengan menggunakan pelarut etanol dan air dengan perbandingan (7:3)
selama 24 jam. Digunakan pelarut metanol karena etanol yang bersifat polar
sesuai dengan sifat polifenol. Selanjutnya hasil maserasi dipekatkan menggunakan
rottary evaporator.
Ekstrak daun Ashitaba kemudian diuji skrinning fitokimianya. Skrinning
dilakukan terhadap senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, triterpenoid, tannin dan
glikosidanya. Terutama flavonoid dan tannin yang merupakan senyawa golongan
polifenol yang paling dibutuhkan sebagai antioksidan untuk mencerahkan kulit.
Setelah dilakukan skrinning fitokimia selanjutnya dilakukan pembuatan
sediaan lightening cream. Sediaan lightrning cream dibuat dari basis sediaan cold
cream. Dipakai sediaan cold cream karena sediaan tersebut berbasis emulsi ganda
(bukan tipe A/M atau M/A) . Pemakaian basis cold cream dianggap tidak lengket
di kulit dengan daerah tropis. Pembuatan basis cold cream dilakukan sebanyak 3
kali dengan masing-masing menghasilkan basis sebanyak 100 gram.
Ketiga basis cold cream yang telah dibuat masing- masing ditambahkan
dengan 5 mL, 10 mL dan 15 mL ekstrak daun Ashitaba, sehingga menghasilkan
tiga formula lightening cream dengan konsentrasi yang berbeda. Digunakan 3
konsentrasi yang berbeda karena berdasarkan pendapat dari Son Hu (2012)
dengan cara pemakaian topikal adalah pemakaian langsung pada kulit akan
menambah perlindungan terhadap paparan pro oksidatif.
BAB III
METODE PENELITIAN
3. Etanol
4. Parafin liq
5. Cetacci
6. As. Stearat
7. Cerae album
8. Triaethanilamin
9. Natrium borat
10. Gliserin
11. Parfum
Variabel
Definisi
Alat Ukur
Hasil Ukur
Bebas
Kadar
ekstrak daun
Ashitaba
Terikat
Perubahan
warna kulit
punggung
tangan
Operasional
Perubahan
Kertas
warna kulit indeks
dipengaruhi warna kulit
oleh
3
variasi kadar
ekstrak daun
Ashitaba
pada sediaan
lightening
cream
Dalam
bentuk angka
yang
menunjukka
n tingkatan
warna
flavonoid ditunjukkan oleh perubahan warna menjadi hitam (Zuhra et al. 2008).
2.
Larutan uji sebanyak 1 mL direaksikan dengan larutan besi (III) klorida 10%,
jika terjadi warna biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan adanya tanin
(Robinson 1991 dalam Astarina et al. 2012: 2).
3.
anhidrat P. Asam sulfat P ditambahkan 10 tetes, terjadi warna biru atau hijau
menunjukkan adanya glikosida (Depkes RI, 1995 dalam Astarina, et.al., 2013: 2).
6.6.2 Pembuatan Sediaan Lightening Cream
Dalam penelitian ini formulasi krim yang dibuat mengacu pada standart
formulasi krim dengan basis cold cream dibuat dengan bobot 100g.
Formulasi Standar Sediaan Cold Cream (F.M.S, 1971 : 110)
R/ Parafin liq51
Cetacci
6,5
0,8
Parfum
qs
Aqua Ad
100
Formula
Formula 1
Ekstrak Daun Ashitaba 5%
Cold Cream
Ad 100 g
Cara pembuatan lightening cream ;
Formula 2
10%
Ad 100 g
Formulas 3
15%
Ad 100 g
2. Uji Homogenitas
Masing-masing krim yang akan diuji dioleskan pada 3 buah krimas obyek
untuk diamati homogenitasnya. Apabila tidak terdapat butiran-butiran kasar di
atas ketiga krimas obyek tersebut maka krim yang diuji homogen. Pengujian
homogenitas ini dilakukan sebanyak 3 kali. Pengujian pertama dilakukan pada
hari sediaan krim dibuat setelah jadi krim langsung diuji homogenitasnya. Sediaan
krim kemudian disimpan selama satu minggu dan diuji lagi homogenitasnya,
begitu seterusnya setiap minggu selama satu bulan (
3. Uji pH
Pemeriksaan pH diawali dengan kalibrasi alat pH meter menggunakan
larutan dapar pH 7 dan pH 4. Sediaan diletakkan diatas sensor pada ujung pH
meter kemudian ditutup. Angka pada pH meter dibiarkan sampai menunjukkan
nilai yang konstan. pH yang ditunjukkan oleh angka yang tertera pada layar pH
meter. Pengukuran dilakukan 3 kali pada masing-masing formulasi selama 1 bulan
(Rohmah, 2013: 4).
4. Uji Viskositas
Uji viskositas krim dilakukan dengan menggunakan alat viskometer Cup
and Bob. Rotor dipasang pada viskotester dengan menguncinya berlawanan arah
dengan jarum jam. Cup diisi sampel krim yang akan diuji setelah itu tempatkan
rotor tepat berada ditengah-tengah cup yang berisi krim, kemudian alat
dihidupkan. Rotor mulai berputar dan jarum penunjuk viskositas secara otomatis
akan bergerak menuju ke kanan, kemudian setelah stabilviskositas dibaca pada
skala dari rotor yang digunakan. Satuan yang digunakan menurut JLS 28809
Uji Keefektifan
Uji keefektifan dilakukan untuk mengetahui efektif atau tidaknya sediaan
lightening cream ekstrak daun Ashitaba dalam mencerahkan kulit. Uji keefektifan
ini dilakukan terhadap kulit punggung tangan 15 orang responden. Sebanyak 15
orang responden dibagi menjadi 3 kelompok masing- masing dengan anggota
sejumlah 5 orang. Pembagian kelompok berdasarkan beda konsentrasi ekstrak
daun Ashitaba di dalam sediaan lightening cream. Responden yang digunakan
memiliki kriteria tertentu. Kriterianya adalah responden beraktifitas sebagai
mahasiswi, berumur 18-21 tahun, memiliki kulit yang cenderung gelap
ditunjukkan dengan indeks warna kulit antara 8-13. Responden tersebut kemudian
diminta untuk mengoleskan lightening cream ekstrak daun Ashitaba setiap hari
dengan pemakaian pada malam hari. Pemakaian dilakukan selama 4 minggu,
pengamatan perubahan warna kulit dengan kertas indeks warna kulit dilakukan
setiap minggunya.
3.6.6
Analisa Data
Perubahan warna kulit diukur dengan menggunakan indeks tingkat warna
kulit yang telah diberi nomer yaitu nomer 20 sampai nomer 1 dimulai dari ukuran
yang paling cerah hingga yang paling gelap. Seperti pada gambar berikut;
10%
15%
data
yang
diperoleh
tidak
memenuhi
syarat
normalitas
dan
terhadap perubahan warna kulit. Analisa m metode One Way ANOVA terdapat 4
tabel interpretasi yaitu;
1. Tabel Descriptives
2. Tabel Test of Homogeneity of Variance
Hipotesis :
Ho = variasi warna kulit yang dihasilkan sama
Hi = variasi warna kulit yang dihasilkan berbeda
Dasar pengambilan keputusan :
Jika probabilitas > 0,05 maka Ho diterima
Jika probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak
3. Tabel ANOVA
Hipotesis :
Ho = ketiga dosis lightening cream mempunyai kemampuan yang sama dalam
mencerahkan warna kulit
Hi = ketiga dosis lightening cream mempunyai kemampuan yang berbeda dalam
mencerahkan warna kulit.
Dasar pengambilan keputusan :
Jika Fhitung < Ftabel atau probabilitasnya > 0,05 maka Ho diterima
Jika Fhitung > Ftabel atau probabilitasnya < 0,05 maka Ho ditolak
4. Tabel Post Hoc Test.
DAFTAR RUJUKAN
Adinata, M.O., Sudira, I. wayan & Berata, I.K., 2012. Efek Ekstrak Daun
Ashitaba (Angelica keiskei) Terhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Mencit
(Mus musculus) Jantan. Buletin Veteriner Udayana, 4(2), pp.5562.
Anwar, Effionora., 2012. Eksipien dalam Sediaan Farmasi Karakterisasi dan
Aplikasi, Jakarta: Dian Rakyat.
Astarina, N.W.G., Astuti, K.W. & Warditiani, N.K., 2012. Skrining Fitokimia
Ekstrak Metanol Rimpang Bangle (Zingiber purpureum Roxb.),
Tranggono, Retno ISwari. & Latifah, Fatma., 2007, Buku Pegangan Ilmu
Pengetahuan Kosmetik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Zuhra, C.F., Tarigan, J.B. & Sihotang, H., 2008. Skrining fitokimia tumbuhan
yang digunakan oleh pedagang jamu gendong untuk merawat kulit wajah di
kecamatan medan baru. , 3(1), pp.16.