Anda di halaman 1dari 46

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG OTONOMI KHUSUS PROVINSI BALI

PANITIAN KHUSUS OTONOMI KHUSUS

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


PROVINSI BALI
DENPASAR
2007

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG OTONOMI KHUSUS PROVINSI BALI
I. PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Teori perancangan peraturan perundang-undangan (Legislative Drafting
Theory) menekankan bahwa setiap pembuatan peraturan perundang-undangan
harus didahului dengan pembuatan sebuah naskah kademik yang didasarkan pada
laporan hasil penelitian (research report). Fungsi dari sebuah naskah kademik
adalah untuk : pertama, sebagai dasar penilaian akurasi rancangan yang akan
dihasilkan (as a basis of assesing the bill); kedua, sebagai dokumen yang diyakini
memuat data, fakta, dan bukti yang relevan dengan substansi rancangan (ensuring
relevant evidences); ketiga, sebagai dokumen yang memuat dasar-dasar pemikiran
yang logis mengapa perlu dibuat sebuah peraturan perundang-undangan (ensuring
the logic) (Seidman & Seidman, N Abeysekere, 2001 : 87-88).
Terkait dengan fungsi-fungsi itu, berikut ini diupayakan menyajikan sebuah
naskah kademik yang substansinya menitikberatkan pada kekhususan Bali di bidang
adat dan budaya sehingga diharapkan nantinya dapat dijadikan dasar pemikiran
yang logis bagi legitimasi status Bali sebagai daerah yang berotonomi khusus.
Dengan demikian wacana otsus bali tidak sekedar ada dalam tataran ilusi namun
benar-benar dirasakan secara efektif dan nyata manfaatnya dalam kehidupan
masyarakat sebagaimana bunyi sebuah adagium etika pemerintahan yakni :
Judicium non debet illusorium, suum effectum habere debet (A Judgement
ought not to be illusory, it ought to have its proper effect) (Black, 1987 : 763).
Sebagaimana diketahui, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik PBB (International Covenant on Civil and Politic Rights
/ ICCPR) melalui Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tanggal 28 Oktober 2005. Pasal
27 dari kovenan itu menyatakan bahwa kelompok minoritas agama, etnis, bahasa,
wajib dilindungi oleh negara sehingga anggota kelompok dapat bebas menganut
agama dan menjalankan ibadah agama serta bebas menikmati kebudayaannya
sendiri.
Senada dengan itu, Pasal 15 Kovenan Internasional tentang hak ekonomi,
sosial, budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Right /
ICESCR, 1966) yang juga telah diratifikasi Indonesia tahun 2005, menekankan
bahwa negara wajib melindungi dan mengembangkan kebudayaan lokal tersebut
bila perlu dengan melakukan tindakan konservasi. Lebih jauh berkenaan dengan hal
tersebut, Article 15 Paragraph 2 antara lain menyatakakan : ..to achieve the
full realization of this right shall include those necessary for the conservation
.(DPI United Nations; 1995 : 232). Konservasi dalam konteks Bali dapat diartikan
sebagai suatu upaya untuk melindungi dan melestarikan kebudayaan bali yang
bersifat khusus dan terkenal di mancanegara yang tiada lain kekhususan atau
keunikan itu sesungguhnya merupakan salah satu puncak kebudayaan nasional.
Instrumen internasional lainnya yang secara lebih khusus mengamanatkan
perlunya perlindungan terhadap warisan budaya yang bersifat khusus adalah
Konvensi UNESCO tentang Perlindungan Warisan Budaya Dunia (Convention
Concering the Protection of the World Cultural anD Natural Heritage) 1972, Pasal
4 Konvensi tersebut mengatur tentang kewajiban negara untuk melakukan
perlindungan dan konservasi terhadap warisan budaya yang ada di wilayah negara.
Sementara Pasal 5 huruf (d) menegaskan perlu adanya payung hukum nasional
dalam melakukan perlindungan, konservasi maupun rehabilitasi (..to take

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


approriate legalmeasure necessary for the..protection and rehabilitations).
Indonesia telah meratifikasi konvensi UNESCO itu pada tanggal 6 Agustus 1989.
Dalam kaitan ini, kehadiran sebuah undang-undang tentang Otsus Bali dapat
dipandang sebagai salah satu payung hukum bagi pemerintah dalam melakukan
perlindungan konservasi warisan budaya Bali.
Selain instrumen-instrumen internasional yang mengisyaratkan perlunya
perlindungan bagi daerah yang memiliki adat dan budaya yang bersifat khusus,
beberapa instrumen hukum nasional dapat dirujuk sebagai landasan hukum bagi
legitimasi Otsus Bali.
Landasan yang paling mendasar adalah ketentual pasal 18B UUD 1945 ayat
(1). Pasal tersebut menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan undang-undang. (Garis bawah oleh penulis). Sementara ayat (2) nya
menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan republik
Indonesia yang diatur dengan undang-undang.
Bila terhadap ketentuan Pasal 18B ayat (1) dan (2) ini dilakukan interpretasi
progresif-kontekstual maka akan tampak hal-hal sebagai berikut :
(a). bahwa Pasal tersebut berasal dari penjelsan Pasal 18 UUD 1945 lama
sehingga kekuatan hukumnya menjadi lebih pasti karena berbentuk
sebuah norma peraturan dasar, dan tidak lagi berupa sekedar
penjelasan norma yang kekuatan hukumnya sangat lemah.
(b). bahwa pengakuan Negara terhadap sebuah daerah yang bersifat khusus
haruslah dituangkan dalam sebuah undang-undang tersendiri, artinya
pengakuan itu tidak dapat disisipkan pada undang-undang lain. Hal ini
dapat ditafsir dari kata-kata dengan undang undang.
(c ). Bahwa pengakuan negara terhadap keberadaan masyarakat hukum adat
dengan hak-hak adatnya yang masih hidup tidak harus dituangkan
dalam sebuah undang-undang tersendiri melainkan dapat disisipkan
pada undang-undang lain. Hal ini dapat ditafsirkan penggunaan katakata : .dalam undang-undang.
(d ). bahwa berdasarkan tafsir (b) dan (c) diatatas sebuah undang-undang
tentang pengakuan Otsus Bali didalamnya dapat pula disipkan
ketentuan tentang pengakuan keberadaan Desa Pakraman dan Subak di
Bali beserta hak ulayatnya.
Dalam kaitan ini teramat penting untuk dipahami yakni, karakteristik
sebuah undang-undang organik yang bersifat khusus yang lahir atas kuasa UUD.
Undang-Undang tersebut dapat mengatur hal-hal berbeda dengan apa yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar itu sendiri. Gejala seperti ini dapat dibenarkan atas
dasar ajaran atau doktrin ekstra konstitusional yang menyatakan; sesuatu yang
bersifat khusus, murni lokal dan penting serta berbeda dengan sesuatu yang
bersifat umum dapat diatur secara berbeda dengan konstitusi (ekstra
konstitusional) atau..an extra-Constitutional doctrine requires a distinction to
be made between matters of purely municipal or local import and those of
general. (O. M. Reynolds; 1982 :66) (Garis bawah oleh penulis).
Persoalan yang muncul terkait dengan narasi Pasal 18B ayat (1) itu adalah,
apakah yang merupakan kriteria dari kekhususan suatu daerah, atau kapankan
suatu daerah dapat digolongkan sebagai daerah khusus. Pertanyaan semacam itu
tidak segera dapat dijawab karena UUD 1945 itu sendiri tidak mengandung
penjelasan atas pasal. Satu-satunya cara untuk memperoleh kejelasan adalah
dengan melakukan tarsir terhadap Pasal 18B ayat (1) itu.

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


UUD 1945 tidak mengatur lembaga negara mana yang berwenang melakukan
tafsiran (advisory opinion) terhadap ketentuan UUD yang dirasa kurang jelas.
Mahkamah Konstitusi juga tidak memiliki kewenangan itu karena menurut Pasal 24
C ayat (1) lembaga ini hanya berwenang; menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu; serta mempunyai satu
tugas lagi yakni memutus dugaan (impeachment) DPR terhadap Presiden dan Wakil
Presiden, sesuai ketentuan UUD (Pasal 24 C ayat 2).
Berhubung adanya kekosongan norma (limten van normen atau vacum of
norm) tentang lembaga yang berwenang menafsir UUD maka tafsiran atas
kekhususan itu akan dilakukan oleh Pemerintah dan pada akhirnya oleh DPR.
Pemberian tafsir oleh kedua lembaga negara itu melalui mekanisme pengajuan
Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus. Pertama-tama rancangan diajukan
oleh daerah yang berkepentingan kepada pemerintah, pemerintah dapat
menyetujui atau menolaknya. Apabila pemerintah menyetujuinya maka selanjutnya
pemerintah mengajukan rancangan itu kepada DPR. DPR juga dapat menyetujui
atau menolak rancangan itu. Sebelum kedua lembaga itu melakukan persetujuan
atau penolakan tentunya
dilakukan penafsiran terhadap akurasi kriteria
kekhususan yang diajukan oleh daerah yang berkepentingan. Hasil tafsir positif
akan membuahkan persetujuan dan hasil tafsir negatif akan berbuah penolakan.
Mengingat bahwa keputusan akhir berada ditangan DPR sebagai lembaga politik
tentunya diharapkan spirit politis yang ada pada lembaga itu dapat diadaptasikan
pada terwujudnya sebuah undang-undang (law) Otsus yang adil obyektif dan bukan
sebaliknya rancangan undang-undang itu ditafsirkan sesuai dengan kepentingan
politik yang sempit dari masing-masing fraksi. Dalam kaitan ini perlu kiranya
diingat etika politik dan hukum dalam sebuah adagium sebagai berikut : politic
legibus non leges politic adaptande (politic are to adapted to the laws and not
the laws adapted to politic). (Black; 1987 : 1024).
Dari uraian diatas tampak bahwa Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara
republik Indonesia 1945 merupakan landasan konstitusional yang cukup terang,
tegas dan pasti bagi negara dalam memberikan otonomi khusus kepada daerah.
Ditingkat undang-undang, Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang HAM mengisyaratkan perlunya sebuah perangkat hukum dalam
upaya perlindungan kekhususan daerah dibidang adat (berikut hak ulayatnya) dan
budaya terkait penegakan dan perlindungan hak asasi manusia masyarakat adat
oleh pemerintah. Perangkat hukum yang dimaksud tentulan tiada lain berupa
sebuah undang-undang otonomi khusus yang dapat menjamin efektifitas penerapan
Pasal 6 tersebut. Mengingat pentingnya Pasal 6 tersebut, berikut ini disajikan
kutipannya secara utuh sebagai berikut :
(1). Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan
dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat dan pemerintah.
(2). Identitas budaya masyarakat hukum adat termasuk hak atas tanah
ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan jaman.
(Garis bawah oleh penulis)
Perangkat hukum yang paling tepat untuk melindungi kehususan seperti
dimaksud Pasal 6 tersebut tentunya berupa sebuah Undang-Undang Otsus karena
hanya dengan Undang-Undang seperti itulah kekhususan suatu daerah dapat
terlindungi secara optimal.
Berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. Pasal 5 Undang-Undang tersebut terkesan mengandung ambivalensi dalam
melindungi kekhususan daerah dibidang pemanfaatan hak ulayat oleh masyarakat
hukum adat.

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


Untuk jelasnya Pasal 5 UU. No. 5 Tahun 1960 rumusannya sebagai berikut :
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya,
segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama (Garis bawah oleh penulis).
Menyimak secara seksama rumusan Pasal 5 tersebut muncul dua alur pikir
yang ambivalen. Pertama, asalkan ada alasan demi kepentingan nasional, hukum
adat yang terkait pengelolaan hak ulayat dapat dikesampingkan; kedua, segala
hubungan hukum yang timbul dalam pengelolaan dan pemanfaatan hak ulayat harus
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Ini berarti meskipun
hak ulayat itu dikelola bersandar pada hukum agama, hak ulayat itu juga bisa
dikesampingkan dengan alasan demi kepentingan nasional. Hal ini sangat berbahaya
bagi Bali karena kepentingan masyarakat adat dapat dikesampingkan oleh
kepentingan investor terutama bila investor berdalih bahwa investasinya itu untuk
kepentingan nnasional. Juga kepentingan masyarakat adat yang bernuansa agama
Hindu pada tanah dan air negara berupa : hutan, pantai, sungai, danau, loloan, dll
akan dapat dikesampingkan oleh pemerintah dengan alasan dilokasi itu akan
dibangun prasarana atau fasilitas untuk kepentingan nasional dan negara. Dengan
demikian Pasal 5 UU. No. 5 Tahun 1960 tidak dapat dirujuk sebagai landasan untuk
melindungi kelestarian adat dan budaya masyarakat hukum adat terutama
pengelolaan hak ulayat dan domein negara yang bernuansa keagamaan (religius).
1.2 Makna Otsus Bali
Di mana-mana di dunia, setelah berhasilnya gerakan reformasi akan selalu
disusul dengan upaya penguatan desentralisasi dalam hubungan pusat daerah. Hal
itu misalnya terjadi di India, Nepal, Filipina, Cina dan sri Lanka. Salah satu
penyebab gejala seperti itu adalah karena adanya keragaman etnis. (Abdul Azis &
David D Arnold; 2003 : 7, 8, 10).
Untuk mencegah jangan sampai penguatan desentralisasi menjadi
kebablasan dan berubah gerakan separatis, maka desentralisasi harus dimaknai
sebagai penyerahan manajemen pemerintah (a transfer of management) dan bukan
sebagai penyerahan keuasaan (transfer of power). Seiring dengan itu otonomi
terutama otonomi luas yang di dalamnya mencakup otonomi khusus harus dimaknai
sebagai sebuah skenario besar dalam upaya pemberdayaan keragaman dalam
kesatuan (diversity within unity in Indonesia) (Teguh Yuwono; 2003 :4). Keragaman
yang paling menonjol di Indonesia adalah keragaman di bidang adat dan budaya
sebagai produk local genius yang diwadahi dan dikembangkan dalam sebuah
lembaga masyarakat hukum adat yang telah ada sejak dahulu sebelum berdirinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sangat masuk akal bila penguatan
desentralisasi dan demokrasi setelah era reformasi juga menyasar pada penguatan
dan perlindungan masyarakat hukum adat. Penyeragaman bentuk desa dalam
struktur pemerintahan seperti yang pernah terjadi pada era orde baru dipandang
tidak sejalan dengan konsep keragaman dalam kesatuan (diversity in Unity) oleh
karena itu paradigma pembangunan desa di Indonesia harus dikembalikan pada
penguatan dan perlindungan masayarakat hukum adat seperti Nagari, Kampung,
Marga, Desa Adat di Bali, dan lain-lain. (Ryaas Rasyid dalam Kristin Samah; 2002 :
101).
Dari uraian di atas, lebih jauh dapat dirumuskan bahwa makna otonomi
khusus dalam sebuah negara berdaulat adalah sebagai berikut.

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


a. Makna Filosofis
Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna pada
hakikatnya mempunyai seperangkat hak asasi manusia (HAM) seperti hak sipil,
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Daerah yang memiliki kehususan di bidang
adat dan budaya dapat dihormati, dilindungi dan dimuliakan hak sosial dan budaya
anggota masyarakat adatnya dengan secara lebih efektif dan optimal. Beranjak dari
situ hak sipil seperti kebebasan beragama, hak politik (ikut serta menentukan
kebijakan publik dan hak ekonomi (pemanfaatan secara ekonomis hak ulayat) pada
akhirnya juga dapat terlindungi. Hal ini sejalan dengan pesan moral masyarakat
internasional yang tertuang dalam Deklarasi Universal HAM PBB khususnya Pasal 27.
Pasal ini menekankan bahwa setiap orang bebas menimati kesenian dan
kebudayaan masyarakatnya. (Peter Baehr; 2001 : 250). Indonesia telah mengadopsi
prinsip moral ini melalui Pasal 32 UUD Negara RI 1945 yang memiliki kekuatan
hukum normatif-imperatif
b. Makna Sosiologis
Pemerintahan
yang
sentralistik
dinilai
tidak
populer
karena
keidakmamupannya memahami nilai-nilai daerah serta sentimen aspirasi
masyarakat lokal. (Koswara dalam Jiwa Atmaja; 2002 : 32). Dengan otonomi luas
yang bersifat khusus tentunya aspirasi masyarakat lokal khususnya dibidang adat
dan budaya akan lebih terakomodir. Hal ini akan dapat meningkatkan partisipasi
masyarakat dibidang pembangunan terutama parisipasi dalam perumusan dan
implementasi kebijakan publik yang berkaitan dengan adat dan budaya. Partisipasi
ini dapat dilakukan secara langsung dengan mengkritisi dan memberi masukan
terhadap implementasi kebijakan publik yang sekiranya merugikan kepentingan
masyarakat hukum adat. Juga secara tidak langsung melalui perwakilan adat dan
budaya pada badan legislatif darah ketika badan ini merumuskan kebijakan publik
dalam bentuk Peraturan Daerah Khusus (Perdasus).
c. Makna Yuridis
Pengaturan otonomi khusus memerlukan bentuk hukum tersendiri yakni
bentuk Undang-Undang sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 18B UUD Negara
Republik Indonesia 1945. Berhubung undang-undang ini mengatur otonomi khusus
maka ia memiliki sifat khusus yang lazim disebut undang-undang khusus. (lex
specialis).
Sebagai undang-undang khusus ia memiliki paling tidak tiga karakter yang
sangat khas yakni :
(1). Undang-Undang ini tidak dapat diuji materiil oleh Mahkamah Konstitusi
karena ia lahir atas kuasa konstitusi.
(2). Undang-undang ini memiliki kekuatan hukum mengesampingkan undangundang umum yang mengatur otonomi secara umum (lex specialis
derogat lex generalis).
(3). Undang-undang ini dapat membatasi keberlakuan HAM yang berlaku
dalam kondisi umum, karena menurut ketentuan instrumen HAM
internasional, dalam kondisi khusus keberlakuan HAM dapat dibatasi
hanya dengan Undang-Undang (laws).
Demikian sekilas latar belakang pemikiran yang menggambarkan mengapa
Otsus untuk Bali perlu diatur melalui sebuah undang-undang khusus. Untuk
memperoleh pemahaman lebih tentang lasan-alasan mengapa Bali perlu
memperoleh otonomi khusus, dalam uraian berikut akan disajikan kehususankekhususan tersebut. Namun segera harus disadari, kendati gagasan ini dapat
dipandang sebagai aspirasi dari bawah, keberhasilan dalam perjuangannya tidak
terlepas dari peranan kelompok elite karena kelompok inilah yang memiliki

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


peranan strategis dalam seluruh proses perkembangan bangsa dan negara
(SP Varma; 2001 :504).
II. BEBERAPA KEKHUSUSAN DAN KEUNIKAN BALI
Sebagai sebuah pulau diantara 13. 667 pulau yang ada di Indonesia, Pulau
Bali terbilang relatif kecil. Luas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar
5.192.252 kilo meter persegi, sedangkan luas Pulau Bali hanya 5.632,86 kilo meter
persegi atau sama dengan 0, 29 % dari luas keseluruhan NKRI.
Walaupun kecil, sebagai sebuah propinsi diantara 30 propinsi yang ada di
Indonesia, Bali memiliki beberapa kekhususan dan keunikan. Dikatakan memiliki
kekhususan karena yang ada di Bali belum tentu ada di propinsi lainnya di
Indonesia. Dikatakan unik karena kehususan yang dimiliki Bali bukan saja membuat
Bali tampak berbeda dengan pulau dan propinsi yang lainnya di NKRI, tetapi juga
menarik perhatian orang, sehingga mereka datang ke Bali, ingin tahu lebih dalam
tentang Bali. Kekhususan Bali dapat dilihat dari keadaan alamnya, agamanya,
senibudayanya dan sistem sosialnya/adat istiadatnya.
Alamnya indah, karena beberapa danau yang ada di propinsi pulau ini
letaknya justru di daerah pegunungan. Danau Buyan, Danau Tamblingan dan Danau
Beratan ada di daerah pegunungan Bedugul, Kabupaten Tabanan. Danau Batur ada
di kaki Gunung Batur di daerah pegunungan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Kekhususan letak danau ini berpengaruh terhadap tatanan konservasi hutan dan air
di Bali yang tercermin dalam sistem subak.
Di bidang keyakinan beragama Propinsi Bali juga memiliki kekhususan.
Sebagian besar penduduk Propinsi Pulau ini termasuk etnik Bali, memeluk agama
Hindu, berbahasa Indonesia dan Bali. Etnik Bali termasuk beruntung karena
diantara sedikit etnik di Indonesia yang memiliki huruf daerah, salah satu
diantaranya adalah etnik Bali. dengan huruf Bali. Budaya Bali yang dijiwai oleh
agama Hindu, telah melahirkan berbagai bentuk kesenian seperti seni tabuh, seni
pertunjukan, seni lukis, seni ukir, seni bangunan, dan seni suara yang khas Bali dan
dikagumi oleh dunia luar.
Selain keadaan alam, agama dan seni budayannya, tatanan masyarakat Bali
juga dapat dikatakan memiliki kekhususan. Di Bali ada dua desa, yaitu (1) desa
adat atau desa pakraman dan (2) desa dinas (terdiri dari desa atau
keperbekelan dan kelurahan). Kekhususan dibidang agama yang dianut dan
tatanan masyarakatnya, berdampak terhadap sistem hukum. Hukum yang berlaku
dapat dikatakan memiliki kekhususan, karena selain berlaku hukum nasional, di Bali
juga berlaku hukum adat Bali yang dijiwai oleh agama Hindu, yang berjalan sesuai
dengan sistem sosial Bali.
Berbagai kekhususan yang dimiliki Propinsi Bali seperti dikemukakan di atas,
dianggap sesuatu yang unik oleh orang luar Bali, menyebabkan mereka datang ke
Bali dan memberikan berbagai julukan indah kepada Pulau Bali. Gajah Mada dalam
ekspidisinya pada abad XIV menyebut Bali sebagai Nusaning Nusa Tan Hana
Madaning. Rombongan orang Belanda pertama yang datang ke Bali pada bulan
Februari 1597 dibawah pimpinan Komodor Cornelis de Houtman, memberi nama
Jong Holland (Holland Remaja) kepada Bali (Agung, 1989: 8). Perdana Menteri
India, Pandit Jawahral Nehru, saat berkunjung ke Bali ditemani oleh Presiden
Soekarno, tahun 1950-an, memberi julukan The Morning of the World kepada
Pulau Bali (Vickers, 1996: 5; Robinson, 2006: 284).
Pada akhirnya kekhususan dan keunikan yang dimiliki, telah mengantarkan
Propinsi Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata terkenal di dunia.
Wisatawanpun berdatangan ke Bali. Selain sebagai wisatawan, ada juga yang
datang ke Bali sebagai peneliti. Seorang peneliti dan penulis berkebangsaan

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


Amerika bernama Hickman Powell (1930), memberi julukan Pulau Bali sebagai The
Last Paradise.
Untuk mempertahankan kekhususan dan keunikan Bali (ke-Bali-an orang
Bali), pemerintah Kolonial Belanda bahkan mengeluarkan program Balinization atau
Baliseering yang mulai diperkenalkan awal tahun 1920-an. Salah satu wujud
program ini berupa pelarangan setiap missionaries asing untuk menyebarkan agama
Kristen di Bali (Picard, 1999: 20 25, Michael Hitchcock, 1995: 11-24). Program
Balinization atau Baliseering ini dikedepankan oleh pemerintah Kolonial Belanda,
dengan tujuan menjadi semacam pagar, agar kekhususan dan keunikan Pulau
Bali yang tampak pada keadaan alamnya, agamanya, seni budayanya dan sistem
sosial atau adat istiadatnya, senantiasa terjaga dan lestari adanya.
2.1 Keadaan Alam
Di atas telah dikemukakan bahwa luas Pulau Bali hanya 5.632,86 kilo meter
persegi atau sama dengan 0, 29 % dari luas keseluruhan NKRI. Ditengah-tengah
Pulau Bali membentang daerah pegunungan yang membujur dari Timur ke Barat,
terdiri dari Gunung Agung (gunung berapi aktif), Gunung Batur (gunung berapi
aktif), Gunung Abang dan Gunung Batukaru. Ada beberapa sungai besar yang
mengalir dari daerah pegunungan seperti Sungai Unda, Sungai Petanu, Sungai Oos
dan Sungai Ayung.
Dataran rendah terletak di sebelah Utara dan di sebelah Selatan
pegunungan. Di dataran rendah seperti di Kabupaten Buleleng (di Utara),
Kabupaten Gianyar, Kabupaten Badung, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Tabanan
dan di sekitar obyek wisata Pantai Kuta (di Selatan), udaranya panas. Sementara
itu, di daerah pegunungan seperti di obyek wisata Bedugul dan Kintamani,
udaranya dingin. Uniknya jarak antara daerah yang berudara panas dengan daerah
yang berudara dingin, hanya beberapa puluh kilo meter saja, sehingga dapat
dijangkau dalam hitungan menit.
Seperti telah disebut didepan, empat buah danau yang ada di propinsi
pulau ini letaknya justru di daerah pegunungan. Danau Buyan, Danau Tamblingan
dan Danau Beratan ada di daerah pegunungan Bedugul, Kabupaten Tabanan. Danau
Batur ada di kaki Gunung Batur di daerah pegunungan Kintamani, Kabupaten
Bangli. Kawasan di sekitar gunung, danau dan pantai, pada umumnya diyakini
sebagai kawasan suci oleh umat Hindu. Itulah antara lain yang menyebabkan
kenapa tempat suci yang besar yang dipuja oleh seluruh umat Hindu (Pura
Kayangan Jagat), berada di daerah pegunungan dan di sekitar pantai. Beberapa
tempat suci yang ada di daerah pegunungan seperti Pura Besakih di lerenng Gunung
Agung, Pura Batur dan Pura Ulun Danu di sekitar Gunung Batur, Pura Pucak Mangu
di daerah pegungungan Pelaga, dan Pura Batukaru terletak di lereng Gunung
Batukaru. Beberapa tempat suci yang terletak di daerah pantai seperti Pura Pulaki,
Pura Rambut Siwi, Pura Tanah Lot, Pura Peti tenget, Pura Luhur Ulu Watu, Pura Er
Jeruk, Pura Masceti, Pura, Batu Klotok, Pura Goa Lawah dan Pura Silayukti.
Kekhususan letak danau yang berada di daerah pegunungan di Bali dan beberapa
pura di sekitarnya, mmempunyai implikasi berpengaruh terhadap konservasi alam,
hutan dan air, karena daerah di sekitar tempat suci tersebut diyakini sebagai
kawasan suci (tanah kekeran) yang harus dilindungi. Pada gilirannya hal ini
berpengaruh juga terhadap tatanan pemeliharaan tempat suci dan kawasan suci
tersebut, yang tercermin dalam sistem subak. Dengan demikian organisasi
tradisional Bali dibidang pertanian yang dikenal dengan subak, tidak sematamata mengurus keperluan air bagi anggotanya yang berada di hilir, melainkan juga
turut melestarikan sumber air di daerah hulu (pegunungan) bersama-sama dengan
seluruh anggota masyarakat yang ada di sekitar sumber air tersebut, terlepas dari
apakah mereka sebagai pengguna air ataukah tidak. Lewat sistem subak ini, Bali
diatur sebagai satu kesatuan ekosistem.

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

2.2 Agama dan Seni Budaya


Propinsi Bali dikatakan memiliki kekhususan di bidang agama karena
3.126.467 jiwa (95 % ?) diantara 3.375.292 jiwa penduduk Propinsi Bali beragama
Hindu. Agama Hindu menjadi roh dari budaya Bali, sehingga melahirkan berbagai
bentuk seni budaya Bali yang indah seperti seni tabuh, seni pertunjukan, seni lukis,
seni ukir, seni bangunan, dan seni suara yang khas Bali dan dikagumi oleh dunia
luar.
Tujuan agama Hindu adalah Moksartam jagadhita ya ca iti dharma yakni
untuk mencapai kebahagiaan yang abadi. Salah satu cara untuk mencapai tujuan
itu, dengan mengaktualisasikan filosofi tri hita karana (tiga cara mencapai
kedamaian) dalam kehidipan sehari-hari, yaitu menciptakan hubungan yang
harmonis antara manusia dengan hal-hal yang menyangkut Ketuhanan (parhyangan)
sesuai dengan keyakinan agama Hindu, menciptakan hubungan yang harmonis
antara manusia dengan sesama manusia (pawongan) dan menciptakan hubungan
yang harmonis antara manusia dengan lingkungan alam (palemahan). Untuk
memudahkan dalam mengaktualisasikan filosofi tri hita karana tersebut,
hendaknyalah tiga kerangka agama Hindu yang terdiri dari tattwa (filsafat),
tatasusila (etika) dan upakara (jalan berbakti kepada Tuhan), dipahami dan
dilaksanakan sebagai satu kesatuan. Dengan demikian akan menjadi lebih mudah
dimengerti kenapa pelaksanaan upakara menurut agama Hindu, tidak dapat
dilakukan di sembarang tempat, di sembarang waktu dan dengan sembarang
prilaku. Tempat sembahyang dan mempersembahkan upakara, pada umumnya
dilakukan di tempat suci (pura) atau di kawasan suci.
Tempat suci atau pura (parhyangan) merupakan salah satu unsur penting
komunitas Bali disamping unsur pawongan (warga yang beragama Hindu) dan
palemahan (wilayah). Menurut Wiana (2004),
berdasarkan warga yang
bertanggungjawab, pura dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) Pura
Kawitan (keluarga tertentu), (2) Pura Kayangan Desa (pura yang ada pada masingmasing desa), (3) Pura Swagina (pura untuk profesi tertentu), (4) Pura Kahyangan
Jagat (dipuja oleh seluruh umat Hindu).
Selain tempat suci (pura), umat Hindu di Bali juga mengenal kawasan suci
dan tempat yang diyakini suci. Disebut kawasan suci antara lain gunung, danau,
campuhan (pertemuan sungai), pantai, laut dan sebagainya diyakini memiliki nilainilai kesucian. Ini menurut Keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat No.
11.Kep.I/PHDI/1994 tanggal 25 Januari 1994, tentang Bhisama Kecusian Pura. Oleh
karena itu tempat suci (pura dan tempat-tempat suci umumnya), didirikan di
tempat tersebut.
Walaupun Bhisama Kecusian Pura telah ditetapkan, bukan berarti Parisada
Hindu Dharma Indonesia Pusat (PHDI) tidak mendukung kebijakan pemerintah
dalam bidang pembangunan nasional. Justru karena itu Bhisama Kecusian Pura ini
ditetapkan sebagai salah satu langkah antisipasi terhadap berbagai permasalahan di
kemudian hari.
Terkait dengan mendirikan bangunan di sekitar tempat suci dan kawasan
suci, dalam Bhisama Kecusian Pura ditentukan sebagai berikut. Tempat-tempat
suci tersebut telah menjadi pusat-pusat bersejarah yang melahirkan karya-karya
besar abadi lewat tangan-tangan orang suci dan para pujangga untuk kedamaian
dan kesejahteraan umat manusia. Maka didirikanlah Pura-Pura Sad Kahyangan, dan
Kahyangan Tiga, dan lain-lain. Tempat-tempat suci tersebut memiliki radius
kesucian yang disebut kekeran dengan ukuran apeneleng, apenimpug, dan
apenyengker. Untuk pura Sat Kahyangan dipakai ukuran apeneleng agung (minimal
lima kilometer dari pura), untuk Pura Dang Kahyangan dipakai ukuran apeneleng
alit (minimal dua kolimeter dari pura), dan untuk Pura Kahyangan Tiga dan lain-lain
dipakai ukuran apanipug dan apanengker.
Adanya bhisama kesucian pura

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


dimaksudkan untuk senantiasa menjaga kesucian tempat suci dan kawasan suci dari
berbagai pikiran, perkataan dan prilaku yang tidak suci atau kotor dari sudut
pandang umat Hindu, yang dikenal dengan istilah kacuntakan atau reged atau leteh
dan kasucian yaitu keadaan yang dianggap bersih, sesuai dengan adat Bali dan
keyakinan agama Hindu.
Penduduk Propinsi Bali yang sebagaian besar adalah etnik Bali,
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa Bali
dipergunakan sebagai pengantar dalam kehidupan beragama Hindu dan pelaksanaan
acara adat, sedangkan huruf Bali dipergunakan sebagai salah satu kelengkapan
upakara.
2.3 Kelembagaan Adat
Tatanan sosial masyarakat Bali memiliki kekhususan dibandingkan dengan di
tempat lain di luar Propinsi Bali. Kalau di tempat lain dikenal hanya ada satu desa,
sementara di Bali ada dua desa yaitu (1) desa pakraman atau desa adat dan (2)
desa dinas. Disamping itu juga ada organisasi tradisional dibidang pertanian
(subak), organisasi tradisional yang dibentuk berdasarkan kegemaran yang sama
(sekaa) dan organisasi tradisional berdasarkan keturunan (dadya).
Desa pakraman telah ada sejak zaman Bali Kuna (abad VIII XIV), yang
dikenal dengan sebutan kraman. Untuk menunjuk desa digunakan istilah banwa,
wanua atau banua (Goris, 1954; Parimartha, 1997; Astra, 1997). Tatanan kehidupan
bermasyarakat dan beragama di desa pakraman, diatur berdasarkan aturan yang
mereka buat sendiri. Oleh karena itu, desa pakraman dikatakan memiliki otonomi
asli.
Sejak dikeluarkannya Perda Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, tentang
Desa Pakraman, sebutan desa adat diganti menjadi desa pakraman. Desa
pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi
Bali yang
mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat
umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan
Desa yang mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta
berhak mengurus rumah tangganya sendiri. (pasal 1 nomor urut 4).
Dengan memperhatikan definisi desa pakraman seperti dikemukakan diatas,
secara sederhana dapat dikatakan bahwa desa pakraman, merupakan organisasi
masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama
dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola
interaksi sosial masyarakat Bali. Sebuah desa pakraman, terdiri dari tiga unsur,
yaitu : (1) Unsur parahyangan (hal-hal yang berkaitan dengan Ketuhanan menurut
agama Hindu). (2) Unsur pawongan (hal-hal yang berkaitan dengan warga desa
menurut agama Hindu). (3) Unsur palemahan (hal-hal yang berkaitan dengan
lingkungan alam desa, menurut agama Hindu).
Data terakhir menunjukkan di Propinsi Bali terdapat 1.417 desa pakraman.
Warga desa parkaman disebut krama desa. Mereka ini terdiri dari orang-orang yang
beragama Hindu dan tercatat (mipil) sebagai warga desa pakraman di tempatnya
berdomisili. Kini penduduk Propinsi Bali berjumlah 3.375.292 jiwa. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 3.126.467 jiwa diantaranya adalah krama desa, dan sisanya
sebanyak 248.825 jiwa adalah tamiu.
Perangkat pimpinan desa pakraman disebut prajuru desa yang
menjalankan fungsinya berdasarkan awig-awig yang berlaku pada masing-masing
desa pakraman, hukum adat Bali dan hukum nasional. Salah satu kewenangan desa
pakraman dibawah koordinasi prajuru desa adalah menyelesaikan persengketaan
adat dan pelanggaran adat, berdasakan awig-awig yang berlaku pada desa
pakraman bersangkutan dan hukum adat Bali. Semua desa parkraman yang ada di
Bali, terwakili dalam wadah yang dikenal dengan Majelis Desa Pakraman (lebih
dikenal dengan sebutan MDP)dalam tiga tingkatan yakni Kecamatan, Kabupaten dan

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


Propinsi. Salah satu kewenangan MDP adalah menangani persengketaan adat dan
pelanggaran adat, berdasakan awig-awig desa pakraman dan hukum adat Bali.
Selain desa pakraman di Bali juga ada desa dinas atau disebut desa,
keperbekelan dan kelurahan. Keberadaan desa dinas di Bali, tidak lepas dari
kehadiran pemerintah kolonial Belanda di Bali. Setelah melalui beberapa kali invasi
militer (1846, 1848 dan 1849), akhirnya Kerajaan Buleleng (1854) dan Jemberana
(1855) berhasil dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda. Kemudian disusul
Kerajaan Karangasem, Gianyar dan Bangli menyerahkan kekuasaannya kepada
pemerintah kolonial Belanda. Sisanya, Kerajaan Badung dan Klungkung, masingmasing ditundukkan tahun 1906 dan 1908 (Hana, 1976; Agung, 1991; Hobart, 1996;
Picard, 1999).
Sesudah seluruh Bali dan Lombok dikuasai, pemerintah kolonial Belanda
mengadakan univikasi dan penyederhanaan terhadap sistem pemerintahan
admnistratif di Bali sampai ke desa. Antara tahun 1907 1910, dibentuk
pemerintahan desa dengan tipe baru, dikenal dengan desa administrasi
(administrative village), yang dibentuk dengan menggabungkan beberapa desa
adat dan kemudian diberi nama yang baru keperbekelan, yang bertugas
memberikan pelayanan umum bagi kepentingan pemerintah Hindia Belanda, tanpa
harus mengganggu tatanan agama Hindu dan adat Bali. Sementara itu pelaksanaan
kehidupan beragama sesuai dengan ajaran agama Hindu dan adat Bali yang telah
diwarisi secara turun-temurun, tetap dilaksanakan oleh desa adat atau desa
pakraman.
Pengertian desa administrasi atau desa dinas dewasa ini, mengacu kepada
pasal 1 nomor urut 12 U.U. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, adalah
sebagai berikut. Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut
desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal
usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan beberapa pertimbangan (antara lain, heterogenitas
penduduknya), berdasarkan U.U. Nomor : 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, desa
yang ada di daerah perkotaan, dijadikan kelurahan. Kelurahan adalah suatu
wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi
pemerintahan langsung dibawah camat yang tidak berhak menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri. (pasal 1 huruf b).
Desa dan kelurahan dalam pengertian ini, mempunyai tugas antara lain,
melaksanakan berbagai kegiatan organisasi pemerintahan atau kedinasan. Oleh
karena itu, desa dan kelurahan (sepanjang di Bali), dikenal dengan sebutan desa
dinas atau desa administratif. Propinsi Bali terdiri dari 8 kabupaten, 1 kota,
53 kecamatan, 585 desa 89 kelurahan. Warga desa dinas disebut penduduk Bali,
ditandai dengan KTP. Perangkat pimpinan desa dinas disebut perngkat desa yang
menjalankan fungsinya berdasarkan hukum nasional.
Karena persyaratan dan dasar pembentukan desa adat dan desa (dinas)
berbeda, maka batas-batas wilayah dan jumlah penduduk pendukung kedua desa
tersebut tidak selamanya sejalan. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan, yaitu
:
1. Satu desa dinas mempunyai luas wilayah dan jumlah penduduk yang
sama dengan satu desa adat.
2. Satu desa dinas meliputi beberapa desa adat.
3. Satu desa adat terdiri dari beberapa desa dinas.
4. Satu desa dinas meliputi beberapa desa adat dan salah satu banjar yang
berlokasi di desa adat tersebut, menjadi warga desa adat yang lain, di
luar desa dinas bersangkutan.

10

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


Disamping desa pakraman dan desa dinas, di Bali juga dikenal organisasi
dibidang pertanian (subak), organissi yang dibentuk berdasarkan keturunan
(dadya) dan organisasi yang dibentuk berdasarkan kegemaran yang sama
(sekaa).
Pengertian subak menurut Perda Bali No. 02 /PD/DPRD/ 1972 tentang Irigasi
Daerah Propinsi Bali adalah masyarakat hukum adat di Bali yang besifat sosioagraris-relegius, yang terdiri atas para petani yang menggarap sawah pada suatu
areal persawahan yang mendapatkan air dari satu sumber. Beberapa ciri dasar
organisasi subak sebagai berikut: (1) Subak merupakan organisasi petani yang
mengelola air irigasi untuk anggota-anggotanya. Sebagai suatu organisasi, subak
mempunyai pengurus dan aturan-aturan keorganisasian (awig-awig), baik tertulis
maupun tidak tertulis. (2) Subak mempunyai suatu sumber air bersama. Sumber air
bersama ini dapat berupa bendungan (empelan) di sungai, mata air, air tanah,
ataupun saluran utama suatu sistem irigasi. (3) Subak mempunyai areal
persawahan. (4) Subak mempunyai otonomi baik internal maupun eksternal. (5)
Subak mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul (pura yang berhubungan dengan
persubakan). Petangkat pimpinan subak disebut prajuru subak yang menjalankan
fungsinya berdasarkan awig-awig yang berlaku pada masing-masing subak, hukum
adat Bali dan hukum nasional. Seperti telah disinggung di atas, lewat sistem subak
ini, Bali diatur sebagai satu kesatuan ekosistem.
Sekaa adalah organisasi tradisional Bali yang dibentuk berdasarkan
pekerjaan dan kegemaran yang sama, seperti sekaa gambelan (tabuh), sekaa
ngigel (tari), dll. Sebuah sekaa dipimpin oleh prajuru sekaa yang menjalankan
fungsinya berdasarkan awig-awig yang berlaku pada sekaa tersebut, awig-awig
desa adat di mana sekaa itu berada dan hukum adat Bali.
Selain terbentuk atas pekerjaan dan kegemaran yang sama, sekaa juga
dapat dibentuk karena keturunan yang sama. Sekaa yang terbentuk karena
keturunan dikenal dengan sebutan pamaksan atau dadia, biasanya ditandai
dengan adanya sebuah tempat suci keluarga sebagai pemersatu, dikenal dengan
Pura Kawitan. Sebuah dadya dipimpin oleh prajuru dadya, yang menjalankan
fungsinya berdasarkan awig-awig yang berlaku pada sekaa dadya tersebut, awigawig desa adat di mana dadya itu berada dan hukum adat Bali.
Baik subak, sekaa maupun dadya, dibawah koordinasi prajuru masingmasing, memiliki kewenangan menyelesaikan persengketaan intern organisasi
tradisional tersebut, berdasarkan awig-awignya, awig-awig desa pakraman dimana
organisasi tersebut berada dan hukum adat Bali.
2.4

Lebih Jauh Tentang Kekhususan Subak


Pembangunan Daerah Propinsi Bali sesuai dengan pola umum
pembangunan jangka panjang, menetapkan tiga sektor pembangunan sebagai
prioritas, yaitu: Sektor pertanian dalam arti luas; sektor pariwisata yang bermodal
pada kebudayaan; dan sektor industri dan kerajinan terutama yang berkaitan
dengan sektor pertanian dan sub sektor pariwisata.
Dalam pelaksanakan pembangunan pada sektor pertanian termasuk subak,
pemerintah secara berencana telah menerapkan teknologi modern di bidang
pengairan dan pola tanam. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan inovasi di
bidang irigasi sistem subak meliputi pembangunan irigasi dan sistem pola tanam.
Pengaturan irigasi dimulai dari pembuatan bendungan/empelan di sungai,
pembuatan saluran /telabah, dan pembangunan pembagian air /tembuku.
Sedangkan sistem pola tanam, diterapkan bibit unggul, dan penggunaan pupuk
dengan penerapan teknologi modern, Sistem pola tanam dengan memilih bibit
unggul yang umurnya empat bulan, memungkinkan masyarakat petani memetik
panen tiga kali dalam setahun. Oleh karena itu, masyarakat berupaya untuk

11

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


meningkatkan produksi dengan melaksanakan pola tanam tiga kali setahun selama
persediaan air memadai.
Peran pemerintah dalam pembangunan irigasi teknis pada satu sisi sangat
menguntungkan bagi masyarakat subak, karena dibuat bendungan yang permanen,
sehingga jarang yang rusak.Tetapi pada sisi lainnya, yakni pembuatan bangunan
pembagian air ternyata tidak sesuai dengan rasa keadilan krama subak, sehingga
sering terjadi konflik di antara sesama warga subak.
Pada aspek pola tanam, pada awalnya pola tanam tiga kali setahun sangat
menguntungkan bagi masyarakat subak, karena produksi meningkat. Tetapi setelah
berlangsung beberapa kali panen, ternyata tanamam padi tidak berhasil, karena
banyak hama penyakit padi, dan tanah menjadi kering. Selain itu. pada musin
kemarau panjang, persedian air tidak memadai, sehingga pola tanam tiga kali
setahun tidak dapat diterapkan.
Industri pariwisata pada era globalisasi berkembang dengan pesat, dan
telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dampak keberhasilan
pembangunan subsektor pariwisata, antara lain, sektor pertanian ditinggalkan oleh
warga masyarakat, tanah sawah banyak yang terjual sebagai sarana dan prasarana
priwisata dan bangunan perumahan, pura subak tidak diurus oleh krama subak,
melainkan diurus oleh warga desa yang bertempat tinggal disekitar pura tersebut.
Masyarakat petani subak kehilangan lahan pertanian, sehingga mereka beralih
mata pencaharian, dari petani menuju sektor pertukangan dan kerajinan yang
menopang pariwisata.
Permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat subak, dapat diidentifikasi
sebagai berikut: 1) Lemahnya daya tawar masyarakat subak dalam pengambilan
keputusan berkaitan dengan inovasi di bidang irigasi teknis; 2) Lemahnya
masyarakat subak dalam inovasi pengaturan pola tanam; 3) Menyempitnya areal
subak karena pesatnya perkembangan pembangunan pada subsistem pariwisata,
sehingga terjadi alih fungsi lahan subak menjadi pembangunan perumahan atau
fungsi lainnya; 4) Beralihnya mata pencaharian masyarakat petani menuju sektor
pariwisata dan pertukangan; 5) Pura subak kehilangan krama penyungsungnya; 6)
Menipisnya solidaritas sosial dan budaya krama subak; 7) Terancamnya kelestarian
subak dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun sosial budaya.
Berdasarkan atas permasalahan tersebut, dipandang perlu adanya upaya
pemberdayaan, pengembangan, dan pelestarian subak sebagai lembaga tradisional
yang merupakan salah satu dari identitas budaya Bali, serta mensinerjikan
pembangunan subak dengan subsistem pariwisata dan industri kecil. Adapun
rumusan masalah yang menjadi fokus pembahasan adalah sebagai berikut: 1)
Bagaimana upaya pemberdayaan, pengembangan, dan pelestarian subak sebagai
lembaga tradisional yang menjadi identitas budaya Bali? 2) Bagaimana
mensinerjikan hubungan pembangunan subak dengan pembangunan subsektor
pariwisata dan industri kecil.
Subak menurut pandangan para ahli mengandung pengertian yang
bervariasi. Grader (1979:1) mendefinisikan subak sebagai sekumpulan sawahsawah yang dari saluran yang sama atau cabang yang sama dari suatu saluran
mendapat air dan merupakan pengairan. Korn (1932: 59) mendefinisikan subak
sebagai badan hukum yang kelihatan dari kekayaan yang dimilikinya berupa uang,
beberapa bidang tanah kering dan basah, pura serta bangunan kecil untuk
berapat.
Kedua batasan subak tersebut menunjukkan adanya perbedaan sudut
pandang. Grader meninjau subak dari aspek fisiknya, yaitu berupa hamparan
sawah, saluran air, dan pengairan. Sedangkan Korn meninjau subak dari tiga aspek
yaitu: 1) aspek religius dalam wujud pura subak sebagai tempat krama (warga)
subak melakukan persembahyangan kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) aspek sosial
berupa kegiatan krama subak dalam rapat yang mengatur pembagian air, pola

12

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


tanam, upacara, dan kekayaan subak; dan 3) aspek fisik berupa bangunanbangunan, kekayaan materiil seperti tanah sawah.
Subak tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Secara alamiah lembaga
dalam arti pranata mula-mula timbul sebagai keajegan-keajegan di dalam pola
tingkah laku manusia, untuk kemudian menjadi kebiasaan. Jika dalam kebiasaan itu
kemudian melekat harapan dan sanksi, maka lahirlan pranata. Jika pranata itu
sudah teratur dan mapan atau sudah melembaga, maka dibentuklah organisasinya
(Soedjito, 1986:69). Sesuai dengan pandangan tersebut, subak merupakan suatu
pranata sosial yang tumbuh dari kebiasaan. Setelah mapan subak itu memerlukan
suatu wadah atau organisasi yang berfungsi sebagai pelaksananya.
Organisasi kemasyarakatan yang berfungsi sebagai persekutuan hukum
merupakan organisasi yang berlandaskan hukum adat (Ter Haar, 1960:15).
Persekutuan itu sebagai pergaulan hidup dalam golongan-golongan, yang bertingkah
laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar dan batin, mempunyai tata susunan,
mempunyai pengurus sendiri, harta benda sendiri, baik yang berwujud maupun
tidak berwujud.
Sesuai dengan pandangan Ter Haar tersebut, subak sebagai organisasi
kemasyarakatan merupakan suatu kesatuan sosial yang teratur, yang anggotanya
merasa terikat satu sama lain karena adanya kepentingan bersama, mempunyai
pimpinan yang dapat bertindak kedalam dan keluar, serta mempunyai harta
material dan immaterial. Ciri-ciri subak (Sutawan, 1989:50) antara lain: 1)
memiliki sumber air bersama, 2) memiliki satu atau beberapa bedugul/pura
sebagai tempat memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewi
Sri; 3) mempunyai otonomi penuh, baik ke dalam maupun ke luar. Ciri-ciri subak
terwujud di dalam organisasi sosial tradisional mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut (Griadhi, dkk., 1992:50): 1) adanya kelompok orang yang mempunyai
kepentingan yang sama; 2) yang menata kelompoknya dalam suatu tata susunan
tertentu; 3) mempunyai harta kekayaan; dan 4) mempunyai pengurus yang dapat
bertindak sebagai satu kesatuan.
Di dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 02/PD/DPRD/1972 tentang
irigasi, pasal 4 termaktub pengertian subak sebagai berikut: Subak adalah
masyarakat hukum adat di Bali yang bersifat sosio agraris religius yang secara
historis didirikan sejak dahulu kala dan berkembang sebagai organisasi pengusaha
tanah dalam bidang pengaturan air untuk persawahan dari suatu sumber air di
dalam suatu daerah.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 1982 tentang irigasi, pada pasal
1 sub. h, menyebutkan bahwa: subak adalah masyarakat hukum adat yang bersifat
sosio agraris religius, yang secara historis tumbuh dan berkembang sebagai
organisasi di bidang tata guna air di tingkat usaha tani.
Berdasarkan pengertian subak seperti termaktub dalam peraturan
perundang-undangan, dapat dikatakan bahwa subak mempunyai sifat sosio agararis
religius yang dimanifestasikan dalam kegiatan pengairan, pola tanam dan upacara.
Subak mempunyai tiga komponen, yaitu 1) komponen fisik, 2) komponen sistem
sosial, dan 3) komponen nilai budaya. Komponen fisik berupa prasarana dan sarana
subak, komponen sistem sosial berupa pengelolaan atas komponen fisik, dan
komponen nilai budaya berupa nilai-nilai, adat, dan hukum.
Subak mempunyai landasan filosofis, yaitu Tri Hita Karana (tiga penyebab
kemakmuran) yang mengejawantah dalam tiga unsur, yaitu : 1) parhyangan, berupa
pura subak sebagai perwujudan bakti warga subak kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2)
pawongan, perwujudan hubungan yang harmonis sesama warga subak; dan 3)
palemahan, berupa lahan sawah, sarana dan prasarana irigasi.
Susunan pengurus organisasi subak bervariasi sesuai dengan luas areal
persawahan dan jumlah anggotanya. Pada umumnya pengurus subak terdiri atas

13

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


seorang pekaseh (kepala subak), penyarikan (sekretaris), dan kesinoman (juru
arah).
Dalam penyelenggaraan organisasi subak, pengurus subak berpedoman pada
awig-awig yang dibuat oleh warga subak sendiri. Awig-awig subak sebagai hukum
adat disusun berdasarkan ajaran Tri Hita Karana, yang mengatur hubungan krama
subak dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanan upacara,
mengatur hubungan krama subak dalam melaksanakan berbagai kegiatan sosial,
dan mengatur krama subak dalam membangun dan memelihara aspek fisik.
Eksistensi subak menurut prasasti Pandak Bandung tahun 1071 Masehi
(Goris, 1954:10), menyebutkan adanya istilah kesuwakan. Hal itu menunjukkan
bahwa subak sebagai sistem irigasi pengairan sudah ada sejak dahulu kala dan kini
berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Keberlanjutan subak
sebagai lembaga tradisional mengalami berbagai tantangan, baik bersifat internal
maupun eksternal.
Istilah tradisi
mempunyai fungsi memelihara dan menjaga, yaitu
sesuatu yang disebut traditum yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Dalam proses transisi itu kumpulan daripada simbol-simbol dan
berbagai image diterima serta dimodifikasi. Perubahan itu tampak dalam
interpretasi yang dibuat oleh masyarakat yang menerima. Bahkan dalam proses
transmisi yang berlangsung selama tiga generasipun menunjukkan bahwa tradisi itu
mengalami beberapa perubahan. Elemen pokok tetap tidak berubah, tetapi
bercampur dengan elemen-elemen lainnya yang mengalami perubahan. Perubahan
itu tidak dirasakan oleh masyarakat yang menerima, tetapi hal itu dapat diamati
oleh orang luar bukan grup yang menerima tradisi itu (Sayogyo, 1985: 90).
Berkaitan dengan pandangan Sajogyo tersebut subak sebagai lembaga
tradisional mengalami perubahan, karena pengaruh teknologi dan perkembangan
masyarakat. Perubahan subak tampak pada aspek irigasi pengairan, pola tanam,
bahkan atribut dalam pelaksanaan upacara, namun nilai budaya yang menjadi
elemen utama dari subak masih tampak. Nilai budaya subak yang menjadi fokus
atau jiwa dari subak berfungsi memberi semangat kepada warga subak untuk
berkreativitas demi kelangsungan hidup subak, serta berfungsi dalam beradaptasi
dengan lingkungannya.
Adaptasi merupakan suatu proses kompromi yang berkesinambungan dan
tidak akan pernah berakhir dengan sempurna (Sanderson, 1973). Oleh karena itu,
adaptasi merupakan suatu proses yang sangat dinamis, karena lingkungan dan
populasi manusia selalu berubah. Adaptasi merupakan perilaku responsif manusia
terhadap perubahan-perubahan lingkungannya yang memungkinkan mereka dapat
menata sistem-sistem tertentu bagi tindakannya agar dapat menyesuailan diri
dengan
situasi dan kondisi yang ada. Perilaku tersebut berkaitan dengan
kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati keadaan-keadaan tertentu dan
kemudian membangun suatu strategi serta keputusan tertentu untuk mengahadapi
keadaan tersebut. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu strategi yang
digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya untuk menghadapi perubahan
lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya.
Keberadaan manusia dalam lingkungannya dihadapkan pada suatu proses
penyesuaian diri. Dalam hal itu, terjadi hubungan timbal balik antar berbagai
organisme hidup dan lingkungan alam. Dengan demikian, dalam menghadapi
lingkungan alam, manusia beradaptasi sedemikan rupa, sehingga dapat
bereksisitensi dalam hidupnya. Sedangkan dalam lingkungan sosial budaya, manusia
selalu berusaha untuk menyesuaikan diri sedemikian rupa, sampai terbentuk suatu
ciri kehidupan sosial budaya tertentu.
Subak sebagai organisasi tradisional yang bersifat sosio agro religius
merupakan inti kebudayaan masyarakat petani, yakni adanya pola hubungan antara
manusia dengan lingkungan, serta kepedulian manusia dengan lingkungannya.

14

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat petani subak dalam aktivitas
kehidupannya berfungsi untuk melestarikan lingkungan hidup.
Interaksi antara manusia dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial
budaya bersifat prosesual. Suatu sistem selalu berkaitan dengan pengertian fungsi
atau bersifat fungsional. Suatu sistem terdiri dari sejumlah unsur yang berfungsi
secara timbal balik, yaitu saling memberi dan menerima (resiprocity) guna
memelihara suatu kesinambungan (equilibrium) suatu entitas sistemik tertentu.
Oleh karena itu, seleruh elemen dalam suatu sistem selalu saling berhubungan.
Masyarakat manusia tidak ubahnya seperti organ tubuh manusia (Talcott
Parsons, 1990: 133). Oleh karena itu masyarakat manusia dapat dipelajari seperti
mempelajari tubuh manusia, yaitu: tubuh manusia memiliki berbagai bagian yang
saling berhubungan yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat manusia juga
memiliki berbagai lembaga yang satu sama lain saling terkait. Karena setiap bagian
dari tubuh manusia memiliki fungsi yang jelas dan khas, maka demikian pula
setiap bentuk lembaga masyarakat melaksanakan tugas tertentu untuk stabilitas
dan pertumbuhan masyarakat tersebut. Parsons merumuskan empat macam tugas
utama, yaitu adaptation to the environment, goal attainment, integration, and
latency. Lembaga ekonomi menjalankan fungsi adaptasi dengan lingkungan,
lembaga pemerintah menjalankan fungsi untuk mencapai tujuan umum, lembaga
hukum dan agama berfungsi menjalankan fungsi integrasi, dan lembaga keluarga
dan pendidikan berfungsi menjalankan fungsi pemeliharaan.
Berdasarkan pandangan teoritik tersebut dapat disusun kerangka konseptual
sebagai berikut: 1) Perkembangan masyarakat sesuai dengan kemajuan ekonomi
global mengalami perubahan, sehingga masyarakat subak perlu beradapsi dengan
dinamika masyarakat, antara lain dengan cara menerima teknologi modern pada
era globalisasi, serta melakukan inovasi dalam pembangunan irigasi dan pelaksanan
pola tanam. 2) Tujuan umum yang diatur oleh pemerintah dalam wujud peraturan
perundang-undangan dimaksudkan untuk meningkatkan produksi dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. 3) Awig-awig subak yang berlandaskan ajaran Tri Hita
Karana berfungsi untuk mengintegrasikan seluruh komponen subak, dan berupaya
untuk mengatur dan memenuhi segala kepentingan masyarakat. 4) Keluarga dan
masyarakat berfungsi untuk mendidik generasi penerus, agar mampu menjaga,
memelihara, dan melestarikan subak, untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Pemberdayaan, pengembangan, dan pelestarian subak, meliputi:
pembangunan irigasi dan mengatur pembagian air pada saluran primer, sekunder,
dan tersier. Pengaturan pembagian air pada saluran primer ditangani oleh aparat
pemerintah, yaitu dari Dinas Pekerjaan Umum berdasarkasn hukum nasional.
Sedangkan pengaturan pembagian air pada saluran sekunder dan tersier diatur
secara adil dan merata bagi krama subak oleh pekaseh (kepala subak) berdasarkan
awig-awig subak. Dalam pembangunan irigari pengairan seperti pembuatan dam
atau empelan selain dikerjakan oleh krama subak, sering mendapat bantuan
pemerintah, melalui Dinas Pekerjaan Umum. Dengan adanya bangunan irigasi
permanen ternyata sangat besar manfaatnya bagi krama subak
Pemberdayaan subak dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidup
masyarakat, serta mendidik generasi penerus agar mampu melestarikan nilai
budaya warisan budaya bangsa. Adapun wujud pemberdayaan subak yaitu dengan
melakukan modifikasi teknologi modern untuk diterapkan pada pembangunan
irigasi, dan pola tanam. Mengatur pembagian air secara adil, mengatur sistem pola
tanam sesuai dengan persediaan air, dan melaksanakan upacara sesuai dengan
norma agama.
Awig-awig subak sebagai hukum adat berlaku efektif untuk mengatur
pembagian air secara adil. Pelaksanaan sistem pola tanam disesuaikan dengan
persediaan air. Ketika air memadai bagi seluruh subak, maka dapat dilaksanakan
pola tanam kerta masa, sehingga krama subak menggarap sawah secara serempak.

15

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


Ketika persediaam air terbatas seperti pada musim kemarau, maka pola tanam
dilakukan secara bergilir. Pembagian air diatur dengan cermat, mulai dari hulu
sampai kehilir, sehingga seluruh krama subak dapat memanfaatkan air.
Sinerji pembangunan subak dengan subsistem pariwisata dan industi kecil,
antara lain: 1) Melibatkan komponen subak, pariwisata, dan industri kecil dalam
perencanaan pembangunan; 2) Meningkatkan produktivitas kerja organisasi subak,
subsistem pariwisata, dan industri kecil; 3) Mengatur dan memenuhi kepentingan
masyarakat subak, pelaku pariwisata, dan industri kecil; dan 4) Mengawasi dan
mengendalikan pelaksanaan organisasi subak, subsistem pariwisata, dan industri
kecil.
Subak sebagai lembaga tradisional memiliki komponen pengairan, pola
tanam, dan upacara. Pengairan dapat berupa bendungan, saluran air (telabah), dan
bangunan pembagian air (tembuku). Pola tanam dapat berupa sistem kerta masa
dan sistem bulak sumur. Sedangkan pelaksanaan upacara dilakukan sejak mencari
air (upacara mendak toya), upacara mentenin padi, sampai dengan menjadi nasi
yang siap dihidangkan. Nilai-nilai yang terkandung dalam subak, antara lain, nilai
ekonomi, yang bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia, nilai solidaritas
bagi sesama warga subak, dan nilai religius sebagai ungkapan rasa syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menyiapkan segala sesuatu untuk digarap oleh
manusia menjadi sumber kehidupan, yang akan diwariskan kepada generasi
penerusnya.
Pada Era Globalisasi subak mengalami berbagai tantangan yang disebabkan
oleh perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan industri pariwisata
telah berhasil meningkatkan kesejahteran masyarakat dan pada saat itu pula
terjadi peralihan mata pencaharian dari petani subak menuju sektor pariwisata dan
industri kecil. Pembangunan pariwisata ternyata pada satu sisi berdampak negatif
bagi subak, karena lahan subak diterlantarkan, bahkan ada yang dijual. Sebaliknya
ketika pariwisata terpuruk, maka masyarakat kembali melirik pertanian. Oleh
karena itulah, masyarakat petani menyadari pentingnya subak sebagai sumber
kehidupan.
Pemberdayaan subak dimaksudkan agar masyarakat subak melesterikan nilai
budaya subak, dan meneruskan kepada generasi selanjutnya. Upaya pemberdayaan
subak dapat dilakukan dengan mensinerjikan pembangunan pertanian, dengan
subsektor pariwisata, dan industri kecil, sehingga terjadi pembangunan yang
berimbang dan berkesinambungan.
Subak mempunyai awig-awig yang menjadi pedoman untuk mengatur
kegiatan warga subak. Dalam pembentukan peraturan sistem irigasi subak yang
bersifat nasional, hendaknya bersumber pada nilai-nilai atau kearifan lokal,
dengan mengadopsi teknologi modern yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan
dan rasa keadilan masyarakat. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
hendaknya mengikut sertakan masyarakat petani subak terutama generasi muda,
sehingga dapat mengubah citra subak menjadi obyek dan daya tarik wisata, bahkan
dapat meningkatkan industri kecil sebagai penunjang pariwisata. Dengan demikian,
visi kedepan generasi muda sebagai petani subak hendaknya mandiri, mampu
bersaing, dan berkompetisi di era globalisasi, dalam rangka untuk meningkatkan
kesejahteraan.
2.5 Konsekuensi Kekhususan Bali
Adanya beberapa kekhususan dan keunikan Bali pada keadaan alamnya,
agama yang diyakini sebagian besar penduduk Bali, seni budaya Bali dan sistem
sosialnya, membawa beberapa konsekwensi terhadap hukum tanah, terutama
dalam hubungan dengan kepemilikan, pemindahtanganan dan fungsi tanah.
Konsekwensi serupa juga muncul dalam bidang hukum pidana, terutama dalam hal
terjadi tindak pidana tertentu yang mengandung unsur pelangggaran adat. Selain

16

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


itu, konsekwensi juga tampak dalam beberapa aktivitas kehidupan lainnya,
terutama yang berhubungan dengan masalah kasucian dan kacuntakaan.
Konsekwensi terhadap kepemilikan, pemindahtanganan dan fungsi tanah
Bali nampak seperti berikut ini. Berbeda dengan kepemilikan tanah di daerah
lainnya di Indonesia, dilihat dari kepemilikannya,
tanah di Bali dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) Tanah negara; (2) Tanah milik (tanah
gunakaya); (3) Tanah adat. Munculnya istilah tanah adat disebabkan karena adanya
dualisme hukum yang mengatur tentang tanah pada jaman sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dua macam
hukum yang dimaksud adalah hukum adat dan hukum Eropa. Dimaksud dengan
tanah adat adalah tanah yang pada saat sebelum berlakunya UUPA tunduk pada
hukum lndonesia atau hukum adat.
Dalam UUPA tidak ada istilah tanah adat. Hal ini tidak berarti, keberadaan
tanah adat tidak diakui. Pengakuan adanya tanah adat dapat diketahui dari
ketentuan pasal 3 UUPA, yang menentukan sebagai berikut. Dengan mengingat
ketentuan dalam pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa
itu dari masyarakat-masyarkat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannnya
masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Ketentuan senada juga dapat diketahui dari pertimbangan dikeluarkannya
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nomor 5 tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Dalam
konsideran huruf b, ditentukan bahwa dalam kenyataannya waktu ini dibanyak
daerah masih terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang
pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasari pada ketentuan hukum adat
setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan
sebagai tanah ulayat.
Dimaksud dengan tanah ulayat sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1 butir 2 Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
tahun 1999 adalah tanah-tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat. Dengan
demikian menurut UUPA, yang dimaksud dengan tanah adat adalah terbatas pada
tanah-tanah ulayat yaitu tanah-tanah yang diatasnya ada hak ulayat atau tanahtanah yang berada pada kekuasaan lingkungan masyarakat hukum adat.
Tanah adat atau tanah ulayat di Bali merupakan tanah-tanah yang berada
pada kekuasaan desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Bali,
yang dikenal dengtan istilah tanah desa. Menurut Dharmayuda (1987) tanah desa
atau tanah druwe desa, dapat dibedakan menjadi tanah druwe desa dalam arti
sempit dan tanah druwe desa dalam arti yang luas. Tanah druwe desa dalam arti
sempit adalah terbatas pada tanah-tanah desa yang dikuasai langsung oleh desa
pakraman sebagaimana ditentukan dalam angka 1 di bawah, yaitu tanah-tanah yang
terdiri atas tanah pasar, tanah setra, tanah lapang dan tanah bukti.
Tanah druwe desa dalam artian yang luas adalah tanah adat ini meliputi
tanah-tanah:
1. Tanah desa yang meliputi:
a. Tana pasar, yaitu tanah yang dipergunakan untuk pasar;
b. tanah lapang, adalah tanah yang digunakan untuk
lapangan
atau untuk kegiatan lainnya;
c. tanah kuburan/setra, adalah tanah yang dipergunakan untuk kuburan
atau penguburan atau pembakaran mayat;
d. tanah bukti, adalah tanah-tanah pertanian (sawah ladang) yang
diberikan kepada prangkat pejabat atau pengurus desa. Tanah bukti
ini mirip dengan tanah bengkok di Jawa.

17

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


2. Laba Pura; adalah tanah-tanah yang dulunya milik desa (dikuasai oleh
desa) yang khusus dipergunakan untuk. kepentingan pura. Tanah Laba
Pura atau Pelaba Pura ini ada dua macam yaitu:
a. Tanah yang khusus untuk bangunan pura dan
b. Tanah yang diperuntukkan guna pembiayaan keperluan pura,
misalnya untuk keperluan biaya runtin dan biaya perbaikan pura.
3. Tanah Pekarangan Desa (PKD); adalah merupakan tanah yang dikuasai
oleh desa yang diberikan kepada warga desa (krama desa) untuk
mendirikan perumahan yang lasimnya dengan ukuran luas tertentu yang
hampir sama bagi setiap keluarga. Kewajiban yang melekat yang lebih
dikenal dengan "ayahan" pada krama desa yang menempati tanah
tersebut adalah adanya beban berupa tenaga maupun materi yang
diwajibkan oleh desa pakraman.
Selain itu dikenal juga adanya Tanah Ayahan Desa (AYDS). Mengenai tanah
ini, Dharmayuda (1987) menjelaskan sebagai berikut. Tanah Ayahan Desa (AYDS)
adalah merupakan tanah-tanah yang dikuasai oleh desa yang penggarapannya
diserahkan kepada masing-masing krama desa dengan hak untuk menikmati dengan
kewajiban memberikan ayahan berupa tenaga maupun materi kepada desa
pakraman.
Seperti halnya tatanan kehidupan lembaga adat, eksistensi tanah di Bali
juga diatur berdasarkan hukum adat dan hukum nasional. Hukum mana yang
dominan dalam praktiknya, tergantung dari status kepemilikan tanah yang
dimaksud. Pemilikan, pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah negara, pada
umumnya diatur berdasarkan hukum nasional. Perkecualiannya dalam hal di atas
tanah negara tersebut terdapat tempat suci (pura), tempat yang diyakini sebagai
tempat suci, sebagian atau seluruhnya tanah negara tersebut termasuk kawasan
suci, maka pemilikan, pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah negara tersebut,
selain diatur berdasarkan hukum nasional juga diatur berdasarkan hukum Hindu,
hukum adat Bali, dan awig-awig adat yang berlaku di desa adat setempat.
Pemilikan, pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah milik (tanah
gunakaya), diatur berdasarkan hukum nasional. Kalau di atas tanah milik tersebut
terdapat tempat suci (pura), tempat yang diyakini sebagai tempat suci, maka
pemilikan, pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah milik tersebut, selain diatur
berdasarkan hukum nasional juga diatur berdasarkan hukum Hindu, hukum adat
Bali, dan awig-awig adat yang berlaku di desa adat setempat. Pemilikan,
pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah adat, diatur berdasarkan hukum adat
yang dijiwai oleh agama Hindu dan hukum nasional.
Konsekwensi dalam bidang hukum pidana, terjadi terutama dalam hal
adanya tindak pidana tertentu yang mengandung unsur pelangggaran adat dan
agama Hindu. Dalam KUHP dikenal istilah tindak pidana (delik) yang terdiri dari
kejahatan dan pelanggaran. Kapan suatu perbuatan dianggap kejahatan dan
kapan menjadi pelanggaran, tergantung dari aturannya dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP).
Tidak demikian halnya dalam hukum adat termasuk hukum adat Bali. Dalam
hal ini semua perbuatan yang menyimpang disebut pelanggaran adat atau delik
adat. Ter Haar (1950) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan delik
atau pelanggaran adalah adanya perbuatan sepihak yang oleh pihak lain dengan
tegas atau secara diam-diam dinyatakan sebagai perbuatan yang mengganggu
keseimbangan.
Berdasarkan hasil penelitian Fakultas Hukum Universitas Udayana (1976)
ditemukan bahwa di Bali masih dikenal empat jenis pelanggaran adat yang masih
hidup, yaitu:

18

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


(1)

Delik adat yang menyangkut kesusilaan:


a. Lokika sanggaraha adalah hubungan cinta antara seorang pria dengan
seorang wanita yang sama-sama belum terikat perkawinan,
dilanjutkan dengan hubungan seksual atas dasar suka sama suka
karena adanya janji dari si pria untuk mengawini wanita, namun
setelah si wanita hamil si pria memungkiri janji untuk mengawini si
wanita dan memutuskan hubungan cintanya tanpa alasan yang jelas.
b. Drati krama adalah hubungan seksual antara seorang wanita dengan
seorang laki-laki sedangkan mereka masih dalam ikatan perkawinan
dengan orang lain (sama dengan berzina dalam KUHP).
c. Gamiya gamana adalah hubungan seksual antara orang-orang yang
masih ada hubungan keluarga dekat baik menurut garis lurus maupun
ke samping.
d. Mamitra ngalang adalah seorang laki-laki yang sudah beristeri
mempunyai hubungan dengan wanita lain yang diberinya nafkah lahir
bathin seperti layaknya suami isteri, tetapi wanita ini belum dikawini
secara sah. Hubungan mereka bersifat terus menerus (berkelanjutan)
dan biasanya si wanita ditempatkan dalam rumah tersendiri.
e. Delik adat salah krama adalah melakukan hubungan kelamin dengan
mahluk yang tidak sejenis. Contohnya, hubungan kelamin antara
manusia dengan hewan.

(2) Delik adat yang menyangkut harta benda, seperti : pencurian benda
suci, merusak benda suci, dll.
(3) Delik adat yang berhubungan dengan kepentingan pribadi, seperti :
mengucapkan kata-kata kotor (mamisuh); memfitnah (mapisuna),
menipu atau berbohong (mamauk/mogbog), dll.
(4) Pelanggaran adat karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban
(swadharma), terhadap lembaga tradisional (desa pakraman), seperti :
kelalaian melaksanakan kewajiban (ayahan desa) sebagai warga desa
(krama desa pakraman), kelalaian membayar iuran (papeson atau
pawedalan), dll.
Seperti halnya berbagai jenis pelanggaran pada umumnya, pelanggaran adat
dapat dikenakan sanksi. Sanksi dikalangan masyarakat masyarakat adat, dikenal
dengan sebutan koreksi adat, atau reakasi adat. Untuk di Bali, sanksi adat
itu disebut danda, atau pamidanda. Danda adalah sanksi yang dikenakan oleh
desa pakraman (organisasi tradisional lainnya), kepada seorang atau kelompok
orang dan
atau keluarganya, karena dianggap terbukti telah melakukan
pelanggaran adat atau melanggar norma agama Hindu. Danda dijatuhkan dengan
tujuan untuk mengembalikan keseimbangan sekala (alam nyata) dan niskala (alam
gaib) dalam masyarakat.
Sanksi dalam fungsi seperti tersebut, mempunyai peranan penting di dalam
kehidupan masyarakat adat di Bali. Beberapa jenis sanksi adat yang dikenal, dapat
klasifikasikan menjadi tiga, yang dikenal dengan tri danda (tiga sanksi) yang terdiri
dari : arta danda, jiwa danda dan sangaskara danda. Arta danda (sanksi berupa
harta benda atau benda-benda materiil), seperti denda, pengganti kerugian
materiil, dll. Sangaskara danda (sanksi berupa pelaksanaan upacara tertentu,
sesuai dengan ajaran agama Hindu), seperti pelaksanaan upacara pemarisuda,
prayascita
(upacara pembersihan yang dimaksudkan untuk mengembalikan
keseimbangan magis). Jiwa danda (sanksi berupa penderitaan jasmani dan
rohani/jiwa), seperti minta maaf (ngaksama), dikucilkan di lingkungannya
(kanorayang).

19

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


Lembaga atau organisasi mana yang berwenang menangani pelanggaran adat
dan mengenakan sanksi adat kepada pelaku pelanggaran adat di daerah Bali,
tergantung dari aturan atau norma yang dilangar. Apabila yang dilanggar adalah
aturan
(awig-awig) desa pakraman, maka yang berwenang menangani dan
menjatuhkan sanksi kepada pelaku pelanggarannya adalah desa pakraman. Apabila
yang dilanggar adalah aturan (awig-awig) subak, maka organisasi subak di mana
pelangaran adat itu terjadilah yang berwenang menangani dan menjatuhkan sanksi
kepada pelaku pelanggarannya. Demikian pula halnya kalau yang dilanggar adalah
aturan (awig-awig) sekaa dan dadya. Jenis dan besar kecilnya sanksi yang
dijatuhkan, senantiasa mengacu kepada tujuan pengenaan sanksi adat, yaitu untuk
mengembalikan keseimbangan sekala (alam nyata) dan niskala (alam gaib) dalam
masyarakat. Oleh karena itu, penjatuhan sanksi biasanya disertai sangaskara
danda, yang dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan niskala.
Konsekwensi dalam hubungan dengan beberapa aktivitas kehidupan lainnya,
terutama yang berhubungan dengan masalah kasucian dan kacuntakan. Sudah
dikemukakan di atas bahwa tujuan agama Hindu adalah untuk mencapai
kebahagiaan abadi. Salah satu cara untuk mencapai tujuan itu, dapat dilalui
dengan mengaktualisasikan filosofi
tri hita karana (tiga cara mencapai
kedamaian), dalam kehidupan sehari-hari, yaitu menciptakan hubungan yang
harmonis antara parhyangan, pawongan dan palemahan, dari sudut pandang
agama Hindu. Hal lain yang patut dipahami dan dilaksanakan adalah tiga kerangka
agama Hindu yang terdiri dari tattwa (filsafat), tatasusila (etika) dan upakara
(jalan berbakti kepada Tuhan), dipahami sebagai satu kesatuan. Hanya dengan
demikian baru akan dapat dimengerti kenapa umat Hindu mengenal tempat suci
(pura) dan kawasan suci (gunung, laut, danau, campuhan, dan tempat lainnya yang
diyakini suci). Hanya dengan demikian baru akan dapat dimengerti kenapa umat
Hindu membedakan antara bersih dan suci serta antara kotor dan kacuntakan.
Segala aktivitas kehidupan,
baik dalam bentuk perkatakaan maupun
perbuatan yang dilakukan di tempat suci (pura) dan kawasan suci, bukan saja harus
bersih, melainkan juga harus mencerminkan kesucian sesuai dengan ajaran
Hindu. Apabila terjadi hal yang sebaliknya, melakukan aktivitas yang
mencerminkan kacuntakan di tempat suci atau kawasan suci, maka perbuatan itu
dianggap melukai keyakinan umat Hindu, setidaknya bagi mereka yang berada di
sekitar tempat suci atau kawasan suci tersebut. Inilah antara lain yang
menyebabkan kenapa PHDI mengeluarkan bhisama kesucian tempat suci dan
kawasan suci di Bali.
2.6 Beberapa Kekhawatiran
Telah dipaparkan secara singkat di atas, bahwa ada beberapa konsekwensi
yang perlu diperhatikan terkait dengan adanya kekhususan dan keunikan yang
kebetulan melekat pada alam dan tatanan masyarakat di Propinsi Bali, hingga saat
ini. Kekhususan dan keunikan tersebut, menjadi daya tarik tersendiri bagi orang
luar Bali, menyebabkan mereka datang ke Bali, baik sebagai wisatawan maupun
sebagai peneliti yang ingin tahu lebih dalam tentang Bali beserta tatanan
masyarakatnya. Pada akhirnya, Bali-pun tampil sebagai salah satu daerah tujuan
wisata utama di dunia. Keterkesanan mereka yang sempat mengenyam keindahan
dan keunikan Bali, tercermin dari berbagai julukan yang pernah diberikan terhadap
Bali. Salah satu diantaranya, Bali dijuluki sebagai The Last Paradise.
Ditengah-tengah suasana The Last Paradise yang sedang dinikmati
penduduk Bali beserta wisatawan dan peneliti yang kebetulan sedang berada di
Bali, tiba-tiba bom meledak di Kuta tanggal 12 Oktober 2002. Bom dengan daya
ledak tinggi tersebut bukan saja meluluhlantakkan Sari Club dan Paddys Cafe,
melainkan juga sejumlah bangunan di sekitarnya dan menyebabkan ratusan orang

20

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


meninggal, luka-luka dan ribuan kepala keluarga kehilangan pekerjaan. Tiga orang
diantaranya sudah dijatuhi hukuman mati, tetapi sampai kini belum dieksekusi.
Bom kedua meledak tanggal 1 Oktober 2005. Kali ini Nyoman Cafe, dan
Menega Cafe yang belokasi di Jimbaran menjadi sasaran. Pada saat yang sama bom
juga meledak di Raja Restoran di Kompleks Kuta Square. Korban jiwa 31 orang dan
puluhan lainnya dirawat karena luka-luka. Sebagian pelakunya sudah tertangkap.
Seperti bom pertama, bom yang kedua juga dilakukan oleh kawanan teroris dari
luar Bali yang sengaja datang ke Bali hanya untuk menganggu keamanan dan
kedamaian The Last Paradise.
Patut dicatat bahwa kedua bom tersebut berhasil membuat keadaan
kepariwisataan Bali anjlok, Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing kabupaten
dan kota di Bali melorot drastis dan keadaan perekonomian masyarakat Bali pada
umumnya, terpuruk. Oleh karena itu, gerakan teroris memang layak diwaspadai.
Tetapi yang lebih dikhawatirkan dapat mengganggu eksistensi kekhususan dan
keunikan Pulau Bali bukan semata-mata datang dari serangan teroris, melainkan
juga dapat muncul dari beberapa hal seperti diuraikan dalam contoh-contoh
berikut ini.
Pertama, otonomi daerah. Iklim reformasi yang mulai berembus tahun
1978, telah melahirkan U.U. No. 22 Tahun 1999, tentang Pemerintah Daerah, yang
kemudian diubah dengan U.U.No. 32 Tahun 2004. Undang-undang ini memberikan
kewenangan otonomi yang lebih luas kepada daerah. Titik berat otonomi diletakkan
di kabupaten/kota, dengan harapan lebih mudah mencapai tujuan, yaitu
kesejahtraan
rakyat.
Bagi
Propinsi
Bali,
keadaan
ini
ternyata
kurangmenguntungkan, karena Pulau Bali relatif kecil, dengan luas hanya 5.632,86
kilo meter persegi atau sama dengan 0, 29 % dari luas keseluruhan NKRI, kini
terkesan seperti terpecah menjadi 9 kabupaten/kota dan masing-masing
kabupaten/kota seolah-olah berdiri sendiri.
Keadaan ini pada gilirannya bepengaruh terhadap sistem subak. Organisasi
tradisional dibidang pertanian dan pengairan yang sebelum era otonomi di
kabupaten dan kota melihat Bali sebagai satu kesatuan ekosistem di bawah
koordinasi Subak Gede, sekarang tampak tercerai berai. Organisasi subak yang
berada di daerah hilir yang dulunya turut bertanggungjawab terhadap kelangsungan
konservasi alam dan parahyangan (tempat suci dan kawasan suci) di daerah
pegunungan, tanpa mempersoalkan kabupaten masing-masing, sekarang mereka
seperti lupa kacang akan kulitnya. Akibatnya, hutan digunduli di daerah hulu
(pegunungan) dan muncul keinginan untuk memotong atau membelokan
saluran air bagi lahan pertanian yang telah diwarisi secara turun-temurun, untuk
kepentingan Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) atau diolah menjadi air minum
dalam kemasan.
Kedua, semakin menipisnya penghargaan yang diberikan terhadap kearifan
lokal (local genius) yang selama ini dikenal dan terkenal sebagai kekhususan dan
keunikan Propinsi Bali. Hal ini dapat diketahui dari beberapa ketentuan hukum
yang berlaku (hukum positif). Salah satu contoh, hukum tanah, terutama dalam
hubungan dengan kepemilikan, pemindahtanganan dan fungsi tanah Bali. Selama ini
ketentuan mengenai kepemilikan, pemindahtanganan dan alih fungsi tanah Bali,
terkesan terlalu longgar dan kurang memperhitungkan keberadaan prajuru adat
dan kurang memperhatikan unsur suci dan kacuntakan. Munculnya perlawanan yang
begitu kuat dari desa pakraman terhadap proyek-proyek besar yang turun dari
atas seperti yang pernah terjadi di Padang Galak, di Kota Denpasar, BNR, di
Kabupaten Tabanan dan yang terkahir Loloan Yeh Poh di Kabupaten Badung,
disebabkan karena pihak investor dan pihak yang berwenang memberi ijin atas
proyek tersebut,
dianggap mengabaikan kearifan lokal serta kurang
memperhitungkan keberadaan prajuru adat dan kurang memperhatikan unsur
kasucian dan kacuntakan di sekitar tempat itu.

21

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


Dalam hal terjadi sengketa tanah, lain lagi ceritanya. Bila persengketaan
tanah dibawa ke pengadilan, putusan lembaga adat (desa pakraman dan MDP) yang
telah ditetapkan sebelumnya, bukan saja tidak dihiraukan oleh lembaga pengadilan
negeri, bahkan pengadilan memutus persengketaan yang terjadi dengan cara yang
jauh dari ketentuan awig-awig desa, hukum adat Bali dan perasaan hukum warga
desa pakraman. Akibatnya, sering terjadi perlawanan oleh desa pakraman atas
keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pada saat
eksekusi dilaksanakan. Demikian kuat perlawanan yang diberikan sehingga putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam kenyataannya amat sangat
sulit dilaksanakan karena dianggap bertentangan dengan awig-awig dan hukum adat
Bali. Contohnya, seperti yang terjadi di Desa Pakraman Bakbakan dan di Desa
Pakraman Bunutin, Kabupaten Gianyar.
Hal serupa juga sering terjadi dalam bidang hukum pidana, terutama
terhadap tindak pidana yang terjadi di tempat suci dan atau di kawasan suci, serta
perbuatan tertentu yang dianggap sebagai pelanggaran adat. Tempo dulu, tindak
pidana yang terjadi di tempat suci dan di kawasan suci, serta berbagai bentuk
pelanggaran adat yang terjadi di desa pakraman, ditangani oleh pengadilan adat
yang dikenal dengan Raad van Kerta. Berdasarkan Undang-undang darurat N0. 1.
Tahun 1951, tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, ditentukan
bahwa beberapa pengadilan yang sebelumnya ada termasuk pengadilan adat
(Inheemse rechtspraak in rechtstreeksbestuurd gebied), dinyatakan dihapus,
kecuali peradilan agama, jika peradilan itu menurut hukum yang merupakan suatu
bagian tersendiri dari peradilan adat (pasal 1 ayat 2 b). Sementara aitu, pasal 1
(3) ditentukan sebagai berikut: Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak
sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai selama ini telah diberikan
kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam pasal
3a Rechterlijke Organisatie.
Menarik juga untuk diketahui ketentuan pasal 5 ayat (3), yang menentukan
sebagai berikut.
a. Pengadilan Negeri, yang daerah hukumnya meliputi daerah-daerah hukum
pengadilan-pengadilan yang dihapuskan berdasarkan pasal 1 ayat (1) bab
e,f,g,h,i,dan j, dan dalam pasal 1 ayat (2) bab a dan b, sebagai
pengadilan sehari-hari bisa untuk segala penduduk Republik Indonesia
memeriksa dan memutuskan dalam peradilan tingkat pertama segala
perkara perdata dan/atau segala perkara pidana sipil yang dahulu
diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan- pengadilan yang dihapuskan
itu.
b. Hukum materil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materil
pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kawula-kawula daerah
swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada
tetap berlaku untuk kawula-kawula dan orang itu, dengan pengertian:
Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab
Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak
lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu
sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan
tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud
sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang terhukum.
Bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut
fikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda
yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan
hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian

22

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi
dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan
bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalm Kitab Hukum Pidana
Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan
hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu.
c. Jika yang terhukum tak memenuhi putusan yang dijatuhkan oleh Hakim
Agama dalam lingkungan peradilan Swapraja dan Adat, salinan putusan
itu harus disampaikan oleh yang
berkepentingan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Hakim
Agama itu untuk dapat dijalankan.
Ketua itu, sesudahnya telah nyata kepadanya bahwa putusan itu
tak dapat diubah lagi, menyatakan bahwa putusan dapat dijalankan,
dengan menaruh perkataan : Atas Keadilan di atas putusan itu dan
dengan menerangkan di bawahnya, bahwa putusan dinyatakan dapat
dijalankan, keterangan mana harus ditanggalkan dan dibubuhi tanda
tangannya.
Setelah itu putusan dapat dijlankan menurut cara yang berlaku
untuk mnjalankan putusan perdata Pengadilan Negeri.
Memperhatikan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa dengan
dikeluarkannya Undang-undang darurat N0. 1. Tahun 1951, tentang Tindakantindakan Sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan
Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, keberadaan Pengadilan Adat sudah dihapus.
Walaupun demikian, masih terbuka peluang bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi
adat terhadap pelanggaran adat sesuai dengan jenis pelanggaran adat yang
dilakukan, berdasarkan pasal 5 ayat (3) Undang-undang darurat N0. 1. Tahun 1951.
Walaupun demikian, dalam kenyataannya tidak ada hakim yang mempunyai
keberanian yang cukup untuk menjatuhkan sanksi adat, seperrti pengenaan
sangaskara danda sesuai dengan ajaran agama Hindu. Hal ini disebabkan karena
terbentur pada azas legalitas sebagaimana tercantum dalam pasal 1 KUHP.
Beberapa contoh, sebagai berikut. Terhadap pencurian di tempat suci (pura).
Kalau tindak pidana yang dilakukan terbukti secara meyakinkan, hakim akan
menjatuhkan hukuman sebagaimana diatur dalam pasal 362 atau pasal 363 KUHP
tentang pencurian. Hukuman yang dijatuhkan pastilah sesuai dengan ketentuan
pasal 10 KUHP dan hampir dapat dipastikan tidak mencerminkan rasa keadilan
umat Hindu, karena obyek pencurian bukan sekadar barang biasa, dan tempat
tindak pidana pencurian yang dilakukan bukan tempat biasa, melainkan tempat
suci (pura). Hal yang sama akan terjadi dalam hal terjadi pelanggaran adat yang
lainnya, seperti mamitra ngalang, salah krama, memisuh, dll.
Apabila keadaan ini berjalan secara berkesinambungan, dkhawatirkan dapat
menimbulkan berbagai dampak terhadap kekhususan dan keunikan Bali, baik dalam
hubungan dengan keadaan alam Bali, agama Hindu di Bali, seni budaya Bali dan
sistem sosial yang selama ini telah berjalan.
Ketiga, lembaga-lembaga adat yang ada dan masih hidup seperti desa
parkaman, subak, sekaa dan dadya, belum diakui sebagai badan hukum yang dapat
memiliki hak atas tanah. Sedangkan faktanya, lembaga-lembaga adat tersebut,
memiliki tanah, yang disebut tanah desa atau tanah druwe desa. Keadaan ini jelas
memperlemah pososi lembaga adat dalam mempertahankan miliknya, dan
bersamaan dengan itu mempermudah pemindatanganan tanah desa, tanpa
menghiraukan unsur kasucian, kacuntakan dan parhyangan desa.
Keempat, beban ganda bagi krama desa yang menguasai tanah desa.
Mereka dikenakan PBB dan juga harus melaksnakaan tanggung jawab (swadharma)
terhadap desa pakraman. Tanah adat yang dimiliki oleh desa adat atau desa

23

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


pakraman dan dikuasai oleh krama desa berdasarkan hukum adat Bali, tidak
dilengkapi bukti kepemilikan tanah dalam bentuk sertifikat hak milik atas nama
desa pakraman. Yang sudah diakui sebagai badan hukum yang dapat memiliki hak
atas tanah adalah tempat suci (pura), berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam
Negeri No: SK.556/DJA/1986, tanggal: 24 9- 1986 tentang Penunjukan Pura
Sebagai Badan Hukum Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
Walaupun pemilikan tanah adat oleh desa pakraman tidak ditandai dengan
bukti tertulis, dari generasi ke generasi desa pakraman hidup dalam damai, karena
tidak ada pihak yang meragukan keberadaan tanah adat yang dimaksud. Sebagai
bukti bahwa tanah yang dimaksud adalah tanah adat, berdasarkan hukum adat Bali,
warga yang menguasai tanah tersebut diwajibkan melaksanakan tanggung jawab
(swadharma) tertentu terhadap desa pakraman. Tanggung jawab yang dimaksud
dapat berujud kerja secara fisik (ayahan) maupun dalam bentuk urunan materi
(pawedalan).
Sejak berlakunya UUPA (U.U.No. 5/1960), disyaratkan agar setiap tanah
milik agar dilengkapi dengan identitas berupa bukti kepemilikan dalam bentuk
sertifikat hak milik. Sedangkan di lain pihak, desa pakraman belum diakui sebagai
badan hukum yang dapat memiliki hak atas tanah.
Keadaan tanah desa di Bali menjadi lebih tidak menentu lagi setelah
berlakunya UU tentang PBB. Adanya kewajiban membayar PBB bagi warga yang
menguasai tanah adat, menyebabkan krama desa seperti telah disebut didepan,
terbebani kewajiban ganda. Di satu pihak mereka harus melaksanakan tanggung
jawab dalam bentuk ayahan dan pawedalan kepada desa pakraman dan di lain
pihak mereka juga harus membayar PBB kepada negara.
Keadaan menjadi semakin keruh ketika surat tanda bukti pembayaran PBB
dijadikan salah satu kelengkapan permohonan sertifikat hak milik. Kenyataan ini
banyak terjadi di daerah perkotaan dan di daerah pariwisata seperti Ubud, Kuta,
dll. Akibatnya, berdikit-dikit tanah desa beralih menjadi tanah milik (tanah
gunakaya), yang dapat dipindahtangankan setiap saat, tanpa harus mendapat
persetujuan dari desa pakraman. Apabila keadaan ini berjalan secara
berkesinambungan, dkhawatirkan dapat menimbulkan berbagai dampak terhadap
kekhususan dan keunikan Bali, baik dalam hubungan dengan keadaan alam Bali,
agama Hindu di Bali, seni budaya Bali dan sistem sosial yang selama ini telah
berjalan dengan baik.
Diakui atau tidak, situasi dan kondisi Bali dewasa ini (2007), telah berbeda
dibandingkan dengan keadaan pada waktu Maha Patih Gajah Mada menyebut Bali
sebagai Nusaning Nusa Tan Hana Madaning (abad XIV). Mau tidak mau, suka atau
tidak suka, keadaan Bali sekarang telah berbeda dibandingkan dengan ketika
Perdana Menteri India, Pandit Jawahral Nehru memberi julukan The Morning of
the World kepada Pulau Bali, atau pada zaman Hickman
Powell
(1930),
memberi julukan Pulau Bali sebagai The Last Paradise. Yang patut disyukuri,
kekhususan dan keunikan alam Bali, agama yang dianut, seni budaya Bali dan
sistem sosialnya, masih diwarisi sampai saat ini, walau dengan penampilan yang
agak berbeda. Untuk mempertahankan kehususan dan keunikan Bali, dipandang
perlu pemberian otonomi khusus bagi Propinsi Bali.
III. PENGUATAN KEKHUSUSAN BALI
Otonomi khusus secara normative diartikan sebagai kewenangan khusus yang
diakui dan diberikan kepada propinsi untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak hak
dasar masyarakat setempat (Pasal 1 huruf I UU No.21 Tahun 2001)
Wacana otonomi khusus merupakan hasil gerakan reformasi dalam ranah
demokrasi, yaitu adanya tuntutan demokratisasi dalam bidang politik dan

24

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


pemerintahan termasuk dalam lingkup pemerintahan daerah. Tuntutan ini dijawab
dengan diundangkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang undang ini mengubah paradigma yaitu dari paradigma sentralisasi ke
paradigma desentralisasi, dari paradigma otonomi yang nyata dan
bertanggungjawab ke paradigma seluas luasnya, nyata dan bertanggungjawab,
dari paradigma masyarakat sebagai obyek ke paradigma masyarakat sebagai subyek
(Syaukani ; 2002:168). Sesuai dengan perkembangan, ternyata undang undang
ini dianggap kurang kuat dalam menjaga negara kesatuan Republik Indonesia, oleh
karenanya diganti dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
dengan mempertahankan prinsip otonomi luas,.Dengan prinsip ini diharapkan
daerah mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan,
keadilan,
keistimewaan
dan
kekhususan
sera
potensi
keanekaragaman daerah dalam system Negara Kesatuan Repulbik Indonesia
(Penjelasan Umum UU No.32 Tahun 2004)
Perubahan paradigma dari otonomi terbatas ke otonomi luas tidak
hanya terjadi terjadi di Indonesia. Secara global perubahan pradigma telah terjadi
pada abad ke 19 ( Craig; 1994 :113) .Di Inggris perubahan itu terjadi dengan
diundangkannya The Local Government Act 1972 yang mulai berlaku efektif pada
tanggal 1 April 1974, undang undang ini tidak hanya menyangkut luas dan
kewenangan dari pemerintah lokal tetapi juga menyangkut peraturan perundangan
tingkat local, pemilihan umum, tata kerja, kekuasaan, fungsi fungsi dan keuangan
(Wade; 1988:111)
Wacana otonomi khusus dan otonomi luas sebenarnya memang merupakan
model otonomi yang diharapkan oleh pembentuk Undang Undang Dasar 1945,
dalam sidangnya pada tanggal 13 Juli 1945, yang menempatkan masalah
pemerintahan daerah di dalam ketentuan Pasal 17 sebagai berikut:
Pembagian daerah Indonesia dalam daerah daerah besar dan
kecil, dengan bentuk susunan pemerintahnnya ditetapkan dengan
undang undang, dengan memandang dan mengingat dasar
permusyawaratan dari pada system pemerintahan negara, dan hak
hak asal usul dari daerah daerah yang bersifat istimewa
(Bahar; 1995:229)
Rancangan UUD yang disusun BPUPKI (Padan Penyelidik Usaha usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) inilah yang kemudian dibahas oleh PPKI tanggal
18 Agustus 1945. Di dalam sidang ini ada beberapa anggota yang membicarakan
masalah pemerintahan daerah antara lain Supomo menyatakan : Pemerintahan
daerah harus juga bersifat permusyawaratan , dengan lain perkataan lain harus ada
Dewan Perwakilan Daerah, Daerah daerah istimewa diindahkan dan
menghormati susunannya yang asli, tetapi hanya sebagai daerah bukan negara,
jangan sampai ada salah faham dalam menghormati adanya daerah
zelfbesturende landchappen hanyalah daerah saja tetapi mempunyai sifat
istimewa. (Bahar; 1999 : 429). Penekanan yang disampaikan oleh Supomo ini
didukung oleh pendapat Philipus M Hadjon yang menyatakan bahwa: otonomi
daerah adalah kebebasan dan kemandirian (vrijheid end zelfstandigheid) satu
pemerintah yang lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan, oleh
karena itu hakekat otonomi daerah itu dari unsur kebebasan (bukan kemerdekaan:
independence; onafhendelijkheid) otonomi merupakan sub system dari negara
kesatuan (Hadjon; 1999 :1). Berkenaan dengan kepada siapa otonomi itu
diberikan, Bhenjamin Hoesen berpendapat bahwa otonomi melalui desentralisasi
bukan diberikan kepada pemerintah daerah, bukan kepada DPRD, bukan kepada
daerah, tetapi kepada masyarakat setempat ( Sarundajang : 2003: 73). Kajian
teoritik tersebut perlu dikemukakan, untuk memberikan penegasan bahwa otonomi

25

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


khusus Bali akan didirikan diatas kerangka pemikiran tersebut, yaitu otonomi
khusus yang tetap dalam kerangka system Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Landasan teoritik otonomi khusus Bali dapat ditelusuri melalui pendapat
para sarjana tentang domein desentralisasi. Irawan Soejito, membagi
desentralisasi menjadi (1) desentralisasi territorial, (2) desentralisasi fungsional
dan (3) desentralisasi administrative yang lazim disebut dengan dekonsentrasi.(
Irawan Soejito; 1984:20). Tresna memberikan pembagian desentralisasi yang
sedikit berbeda, yaitu : (1) ambtelijk decentraliastie atau deconcentratie dan
Staatskundige decentralisatie . Ambtelijk decentraliastie atau deconcentratie
diartikan sebagai pemberian kekuasaan dari atas ke bawah di dalam rangka
kepegawaian, guna kelancaran pekerjaan semata mata, Staatskundige
decentralisatie sebagai pemberian kekuasaan mengatur kepada daerah di dalam
lingkungannya guna mengajukan asas demokrasi di dalam pemerintahan negara (
Manan; 1994:22). Pendapat yang menunjang usulan otonomi khusus untuk Bali
adalah pendapat Amrah Muslimin, yang membagi desentralisasi menjadi (1)
desentralisasi politik, (2) desentralisasi fungsional, (3) desentralisasi
kebudayaan. Desentralisasi poltik adalah pelimpahan kewenangan dari
pemerintah pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga
sendiri bagi badan badan politik di daerah daerah yang dipilih oleh rakyat dalam
daerah daerah tertentu. Desentraliasi fungsional adalah pemberian hak dan
kewenangan pada golongan golongan untuk mengurus satu macam kegiatan baik
terikat maupun tidak pada suatu atau beberapa daerah tertentu (misalnya
waterschap di Bali). Desentralisasi kebudayaan adalah suatu pemberian hak
kepada golongan golongan kecil (minoritas) dalam masyarakat untuk
menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur pendidikan, agama dan lain
sebagainya) (Muslimin; 1978:15). Pendapat Amrah Muslimin ini dapat
dipergunakan sebagai landasaan teoritik pembenar wacana otsus Bali.
Secara normative domein kekhususan suatu daerah otonom sudah ada sejak
UUD 1945 yang diatur di dalam Pasal 18 yang menentukan
Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang undang, dengan memandang
dan mengingati dasar pemusyawaratan dalam system pemerintahan negara dan
hak hak asal usul dalam daerah daerah yang bersifat istimewa Selanjutnya di
dalam penjelasan Pasal 18 angka II dinyatakan :
Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 selfbesturende
landchappen dan volksgemeinschappen seperti desa di Jawa dan Bali Negeri di
Minangkabau, dan Marga di palembang, dan sebagainya. Daerah daerah itu
mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang
bersifat istimewa ( Mahkamah Konsitusi RI; 2006:18).
Pengakuan dan
penghormatan terhadap daerah daerah yang bersifat istimewa dan khusus, tetap
dipertahankan sampai saat ini, hal ini dapat dilihat pada ketentuan pasal 18 B
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di dalam Ayat (1)
ditentukan bahwa: Negara mengakui dan menghormati satuan satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang undang. Ketentuan ini mensyaratkan bahwa pengakuan terhadap
kekhususan suatu daerah diatur dengan undang undang, karena pengaturan
dengan undang undang bermakna bahwa ada pengakuan oleh seluruh rakyat
Indonesia tentang keberadaan kehususan suatu daerah, dengan demikian
kekhususan daerah tersebut mempunyai legitimasi yang kuat. Ayat (2) nya
menentukan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat
hukum atau adat beserta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Ketentuan dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa apapun bentuk dan

26

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


luasnya kekhususan suatu daerah tidak boleh lepas dari system Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
3.1 Letak Otonomi.
Di dalam menentukan letak suatu otonomi berkaitan dengan pembagian
kewewenangan yang proporsional antara Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah
Daerah Kabupaten dan Kota. Kriteria untuk menentukan hal tersebut adalah:
Kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi, dengan mempertimbangkan
keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar
tingkat
pemerintahan.
Kritera eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan
besifat local, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan
kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan propinsi, dan apabila
nasional menjadi kewenangan Pemerintah.
Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang mengangani
sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung atau dekat
dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian
akuntabilitas penyelenggaraan bagia urusan pemerintahan tersebut kepada
masyarakat akan lebih terjamin.
Kriteria efisiensi, adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil dana
dan peralatan) untuk mendapatkan ketetapan, kepastian dan kecepatan hasil yang
harus dicapai dalam peyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian
urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna
dilaksanakan oleh daerah Kabupaten/Kota dari paa
dibandingkan apabila
diserahkan kepada pemerintah Propinsi, maka bagian urusan tersebut diserahkan
kepada daerah Kabupaten/Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih
berdayaguna dan berhasil guna bila ditangani oleh pemerintah Propinsi, maka
bagian urusan tersebut ditangani oleh pemerintah Propinsi.
Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan, yakni bahwa
pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan
yang berbeda , bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (interdependensi), dan silng mendukung sebagai satu kesatuan system dengan
memperhatikan cakupan kemanfaatan.
Kekhususan Bali dalam rangka otonomi khusus terletak pada kekhususan
adat, budaya, yang bersumber pada agama Hindu, yang kemudian menjadi soko
guru pendukung pariwisata Bali (Pariwisata Budaya) yang secara factual telah
mampu mengakses income lebih dari 32 triliun pertahun atau 30% dari devisa
negara yang berperan penting dalam mengakselerasi perekonomian nasional. Fakta
ini menunjukkan juga bahwa pariwisata juga sebagai salah satu penyandang dana
terbesar dalam menggerakkan pemerintahan daerah propinsi Bali melalui
sumbangannya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pariwisata Bali
yang dijiwai oleh agama Hindu melalui adat dan budayanya yang unik dan tidak
dijumpai di daerah lain di Indonesia bahkan di dunia seperti SIPENG yang
merupakan salah satu rangkaian hari raya Nyepi, dimana pada sat itu tiada kegiatan
apapun yang dilakukan oleh umat Hindu pada khususnya dan masyarakat Bali pada
umumnya. Kondisi seperti ini tiada duanya di dunia, ditinjau dari perpektif
lingkungan hidup, betapa besar dampak positif yang disumbangkan dari kegiatan
itu, berupa pembersihan kembali (recycling) alam dari polusi yang ditimbulkan oleh
aktivitas manusia, berapa efisiensi energi yang dapat ditekan dengan tidak adanya
kendaraan bermotor, termasuk kegiatan transportasi udara.

27

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


Secara filosofis dan sosiologis adat dan budaya Bali merupakan satu
kesatuan yang terangkai dalam satu system yang pada intinya sama (homogen)
kalaupun ada perbedaan itu dikarenakan perbedaan yang bersifat eksternal seperti
lokasi (pegunungan dan dataran) bukan dari perbedaan internal (substansi dan
makna). Kesatuan adat budaya dan agama di Bali dapat pula dilihat dari tata letak
tempat suci umat Hindu (Pura) yaitu Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan dan Dhang
Kahyangan yang merupakan satu kesatuan tersebar diseluruh wilayah propinsi Bali
Demikian pula pariwisata budaya yang dijiwai oleh agama Hindu melalui kreatifitas
adat dan budayanya yang juga merupakan ujung tombak penggerak perekonomian
Bali merupakan suatu produk yang dihasilkan oleh pulau Bali secara keseluruhan,
dalam artian semua daerah kabupaten/kota yang ada di Bali memberikan kontribusi
terhadap produk pariwisata budaya tersebut. Artinya masing masing daerah
berperan dalam salah satu sub system dari kebutuhan pariwisata misalnya
akomodasi, transportasi, obyek wisata, restaurant dan lain sebagainya yang
menyatu dalam satu system.
Dari uraian tersebut diatas maka jelas Bali merupakan satu kesatuan,
seyogyanya pertumbuhan ekonomi dan pembanguan diseluruh kabupaten/ kota
tumbuh bersama sama, namun dalam kenyataannya kemampuan diantara
kabupaten/kota yang ada sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Hal itu
dapat dilihat pada pendapatan asli daerah (PAD) masing masing kabupaten/kota
seperti di bawah ini.
No.
Kabupaten /Kota
1.
Buleleng
2.
Jembrana
3.
Tabanan
4.
Badung
5.
Gianyar
6.
Bangli
7.
Klungkung
8.
Karangasem
9.
Denpasar
Sumber: Biro Keuangan Propinsi Bali

PAD
22.873.719.298,89
9.916.279.620,18
42.403.134.567,23
388.582.725.448,11
55.006.502.325,99
7.692.953.476,66
16.374.120.634,90
23.909.591.197,82
116.302.936.736,60

Dari perbandingan jumlah tersebut terlihat betapa besar ketimpagan PAD


antara satu kabupaten yang satu dengan kabupaten/kota lainya. Dengan otonomi
berada di tingkat propinsi, diharapkan akan terjadi pemerataan pembangunan di
seluruh Bali sehingga pembangunan dan pertumbuhan ekonomi merata di seluruh
kabupaten/kota.
Satu hal yang juga sangat penting dalam kaitannya dengan melestarikan,
menjaga adat, budaya dan khususnya pariwisata adalah factor keamanan, oleh
karenanya masalah keamanan pada prinsipnya merupakan salah satu substansi dari
otonomi khusus Bali, oleh karena realita menunjukkan bahwa factor keamanan
merupakan factor yang signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi jumlah kunjungan
wisatawan khususnya wisatawan asing ke Bali. Hal ini dapat dilihat dengan kasat
mata betapa besar dampak penurunan jumlah kujungan wisatawan yang
diakibatkan oleh terjadinya peristiwa bom Bali I dan bom Bali II.
Dari paparan yang terurai di atas yang pada hakekatnya merupakan
argumentasi untuk menentukan letak otonomi, maka letak otonomi khusus yang
ideal untuk Bali berada di tingkat pemerintah Daerah Propinsi.
Dari seluruh uraian dan argumentasi yang dikemukakan di depan , maka
substansi otonomi yang diharapkan adalah otonomi khusus dalam bidang bidang
sebagai berikut:
Masalah masalah yang menjadi kekhususan Otonomi Khusus Bali adalah:
28

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Bali
Hak masyarakat adat Bali adalah hak asasi manusia secara berkelompok dari
penduduk asli suku Bali yang diakui oleh hukum nasional, dan internasional.
Pemerintah Propinsi Bali dan Pemerintah wajib mengakui, menghormati,
melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat
Bali dengan berpedoman pada aturan yang berlaku pada umumnya dan
Undang Undang Otonomi Khusus pada khususnya.
(catatan : dijabarkan hak-haknya) diatur dalam penjelasan
Hak Asasi Manusia, yang meliputi
a. Pemerintah Propinsi Bali dan Pemerintah mengakui, menghormati,
melindungi dan memenuhi hak asasi masyarakat Bali dibidang sipil, politik,
ekonomi, sosial, budaya termasuk hak perempuan dan hak anak sesuai
dengan peraturan perundangan.
b. Pelaksanaan hak asasi manusia didasarkan pada prinsip kebebasan,
kesetaraan, pembatasan, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
c. Dalam pelaksanaan otonomi khusus Pemerintah Propinsi Bali secara khusus
menghormati dan melindungi hak adat masyarakat hukum adat Bali.
Pendidikan yang meliputi
a. Pemerintah
Propinsi
bertanggungjawab
terhadap
penyelenggaraan
pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Propinsi Bali
dengan memasukkan nilai nilai kearifan lokal dalam kurikulum.
b. Pemerintah dan pemerintah Propinsi wajib membantu dan memfasilitasi
otonomi perguruan tinggi di Propinsi Bali.
c. Setiap penduduk Propinsi Bali berhak memperoleh pendidikan yang bermutu
sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan beban masyarakat serendahrendahnya.
d. Dalam mengembangkan dan menyelengagarakan pendidikan, Pemerintah
Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat,
dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundangundangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang
bermutu di Propinsi Bali.
e. Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota dapat memberikan bantuan dan/atau
subsidi kepada penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang memerlukan.
f. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan
huruf e, ditetapkan dengan Perdasi.
Kebudayaan, meliputi :
a. Pemerintah Propinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan
kebudayaan Bali.
b. Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada huruf a
Pemerintah Propinsi memberikan peran sebesar-besarnya kepada
masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi
persyaratan.
c. Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada huruf b disertai dengan
pembiayaan.

29

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


d. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c
ditetapkan dengan Perdasi.
e. Pemerintah Propinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan
melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan
dan memantapkan jati diri orang Bali.
f. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan
sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan.
g. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang
pendidikan dasar sebagai kebutuhan.
Keamanan, meliputi
Masalah keamanan merupakan salah satu prasyarat penting dalam dunia
pariwisata, oleh karenanya untuk keamanan Bali perlu diatur secara khusus dalam
Undang Undang Otonomi Khusus sebagai berikut:
a. Daerah Propinsi Bali memerlukan sistem keamanan yang komprehensif dan
terpadu.
b. Dalam rangka mewujudkan sistem keamanan sebagaimana dimaksud pada huruf
a kewenangan utama untuk mengatur dan menjaga adalah Kepolisian daerah
Propinsi Bali.
c. Lembaga-lembaga keamanan yang terdapat di daerah seperti pecalang dapat
membantu Kepolisian dalam membentuk sistem keamanan yang komprehensif
dan terpadu.
d. Pemerintah memberikan dukungan dan memfasilitasi dalam rangka memenuhi
sistem keamanan sebagaimana dimaksud pada huruf a
e. Pemerintah Propinsi dapat mengadakan kerjasama dengan pihak luar negeri
guna kepentingan sistem keamanan sebagaimana dimaksud pada huruf a
3.2 Kelembagaan
Pemerintahan Propinsi Bali terdiri dari DPRD dan DA (Dewan Adat) sebagai
badan legislatif dan Pemerintah Propinsi Bali sebagai badan eksekutif. DA mewakili
kepentingan adat, budaya dan agama Hindu, bukan mewakili kepentingan politik,
atau kabupaten kota, walau mungkin nanti keanggotaannya diambil dari masing
masing kabupaten/kota dalam jumlah yang sama.
3.2.1 Badan Legislatif
Kekuasaan Legislatif Propinsi Bali dilaksanakan oleh DPRD dan DA. Dengan
demikian lembaga legislative terdiri atas dua kamar (bicameral) argumentasi yang
dapat diajukan adalah bahwa di dalam realita kehidupan masyarakat Bali, hukum
adat masih sangat kuat dan berlaku mengatur perilaku masyarakat Bali. Dengan
kata lain disamping diatur oleh hukum nasional, perilaku kehidupan masyarakat
Bali juga diatur oleh hukum adat yang dituangkan di dalam peraturan desa adat
yang juga disebut dengan istilah Awig awig Desa Adat. Di dalam awig awig
diatur juga tentang sanksi bagi warga desa yang melanggar ketentuan awig awig.
Sanksi adat tidak sama dengan sanksi yang ada di dalam hukum nasional seperti
Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Untuk itu dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Bali perlu ada lembaga
yang bertugas untuk membentuk peraturan perundangan tingkat daerah yang
berkaitan dengan kekhususan tersebut (Adat,Budaya dan Agama). Untuk
kepentingan itulah Majelis Pekraman Agung diberikan kedudukan sebagai salah satu
kamar badan legislative Propinsi Bali disamping DPRD, yang bertanggungjawab
dalam pembentukan peraturan daerah khusus (Perdasus), sedangkan DPRD
bertanggungjawab terhadap pembentukan peraturan daerah propinsi (Perdasi) yang
substansinya diluar materi yang menjadi ruanglingkup otonomi khusus Bali.

30

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


3.2.1.1 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Bali
DPRD Propinsi Bali dibentuk melalui Pemilihan Umum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
DPRD Propinsi Bali bertugas dan berwenang:
a. mengusulkan Pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada
Presiden Republik Indonesia.
b. Menyusun dan menetapkan arah kebijakan pembangunan daerah bersama
Gubernur dan DA sesuai dengan peraturan perundangan
c. Membahas dan menetapkan APBD bersama Gubernur dan DA.
d. Memberi pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah daerah Propinsi
terhadap kerjasama internasional yang menyangkut kepentingan daerah.
e. Mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan daerah, pelaksanan APBD, dan
pelaksanaan kerjasama internasional.
f. Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan
pengaduan dari masyarakat Bali.
g. Pelaksanaan tugas dan wewenang yang diberikan oleh peraturan
perundangan.
Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud diatas akan diatur
dalam tata tertib DPRD. Disamping tugas dan wewenang DPRD juga memiliki
hak hak sebagai berikut:
a. mengajukan dan membahas Perdasus dan Perdasi
b. mengadakan perubahan atas rancangan Perdasus dan Perdasi
c. hak-hak lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan
3.2.1.2 Dewan Adat (DA)
DA merupakan lembaga perwakilan masyarakat adat dan budaya Bali dengan
komposisi 1/3 masyarakat budaya dan 2/3 wakil masyarakat adat, dengan masa
jabatan anggota DA selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali
masa jabatan berikutnya. Mengenai susunan keanggotaan, persyaratan dan tata
cara pembentukannya diatur dengan Perdasus.
DA berfungsi melindungi budaya dan adat istiadat masyarakat Bali dalam
rangka penyelenggaraan otonomi khusus dengan tugas dan wewenang :
a. mengajukan rancangan Perdasus
b. memberi persetujuan rancangan perdasus yang berasal dari usul Gubernur
dan atau DPRD
c. memberi pertimbangan terhadap rancangan kerjasama internasional yang
diadakan oleh Pemda Propinsi atau Pemerintah.
d. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Bali yang berkaitan
dengan Agama Hindu, budaya dan adat.
e. Meminta
keterangan
kepada
pemerintah
Propinsi,
Pemerintah
kabupaten/kota terkait perlindungan talenta kekhususan bali.
f. Meminta peninjauan kembali peraturan perundangan daerah yang
merugikan kepentingan masyarakat Bali.
g. Mengajukan rancangan anggaran belanja kepada Gubernur
Disamping
hak
1)
2)
3)
4)

fungsinya untuk melindungi budaya adat dan budaya Bali, DA memiliki


mengajukan pertanyaan
mengajukan inisatif peraturan daerah khsusus (perdasus)
kekebalan
keuangan

31

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


5) protokoler
Sebagai penyeimbang dari fungsi, dan hak, DA juga memiliki kewajiban sebagai
berikut
1. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia
2. mengamalkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
serta segala peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan budaya dan adat Bali
4. Membina toleransi kehidupan beragama
5. Melindungi, memajukan dan mendorong pemenuhan hak asasi manusia
dan hak asasi kelompok masyarakat Bali.
Mengenai proses legislasi dalam rangka pembentukan Perdasi dan Perdasus
diatur lebih lanjut di dalam undang undang Otonomi Khusus
3.2.2 Badan Eksekutif
Pemerintah Propinsi Bali dipimpin oleh seorang Kepala daerah sebagai
kepala eksekutif yang disebut Gubernur. Gubernur dibantu oleh wakil kepala
daerah yang disebut wakil Gubernur. Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara
langsung sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Masa jabatan Gubernur
dan Wakil Gubernur selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali dalam satu
kali masa jabatan berikutnya.
Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta keadaan Gubernur
dan Wakil Gubernur berhalangan sementara atau tetap diatur sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku. (disesuaikan dengan UU 32 Tahun 2004)
Syarat-syarat umum calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pencalonan kepala
daerah. Syarat khusus Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah orang Bali
yang mengerti, memahami dan melaksanakan adat dan budaya Bali. Calon
Independen dapat menjadi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah. Tata
cara pengajuan calon independen diatur lebih lanjut dalam Perdasus.
3.2.3 Badan Yudisial
Masyarakat Hindu Bali sebagai warga negara Negara Kesatuan Republik
Indonesia dalam realita kehidupannya diatur tidak hanya oleh hukum nasional, akan
tetapi diatur juga oleh Hukum Adat yang merupakan pengejawantahan nilai nilai
Agama Hindu.
Walaupun norma norma hukum adat tersebut berdasarkan atas dasar
negara Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta peraturan
perundang undangan lainnya, ternyata mengandung perbedaan secara substansial
dan jenis sanksi yang ditetapkan yang tidak diatur di dalam hukum nasional. Di
dalam realita, sering terjadi ketidak puasan masyarakat terhadap putusan hakim
dalam memutus sengketa adat, karena dianggap tidak memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Berangkat dari fakta sosiologis yang demikian itu, dan misi Otonomi
Khusus Bali, maka dipandang perlu adanya lembaga Peradilan Adat, yang
kedudukannya di setiap kabupaten/kota dan merupakan salah satu kamar dari
pengadilan umum. Mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan para hakim,
serta kompetensi absolute pengadilan adat diatur lebih lanjut di dalam undang
undang otonomi khusus
3.3

Struktur Organisasi Pemerintahan


Sebagaimana telah diuraikan diatas, otonomi terletak di Propinsi dan
kabupaten / kota merupakan wilayah administratif. Selaian sebagai daerah otonomi
Propinsi juga merupakan wilayah administratif yang menjalankan pemerintahan

32

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


berdasarkan asas dekonsentrasi dibidang pemerintahan umum. Dalam menjalankan
pemerintahan umum Gubernur bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat.
Sebagai wilayah administratif kabupaten/kota dipimpin oleh seorang kepala
wilayah yang disebut Bupati/Walikota. Bupati / Walikota didampingi seorang wakil
yang diangkat oleh Gubernur atas usul Bupati /Walikota. Tugas pokok kepada
wilayah adalah mengkoordinis kegiatan cabang-Cabang Dinas Propinsi dan instansi
vertikal yang ada diwilayah kabupaten / kota. Bupati / Walikota diangkat oleh
Gubernur atas ususl Dewan Kecamatan yang dibentuk untuk keperluan itu. Artinya
lembaga tersebut tidak bersifat permanen. Fungsi, syarat-syarat, jumlah Dewan
Kecamatan, dll diatur dengan Perdasus.
Dibawah pemerintah administratif kabupaten / kota terdapat pemerintahan
administratif kecamatan yang dipimpin oleh seorang Camat. Camat dibantu oleh
Sekretaris Kecamatan yang dapat mewakili Camat dalam hal Camat berhalangan
sementara.
Camat diangkat oleh Bupati atas ususl Dewan Desa yang terdiri dari unsur
Badan Permusyawaratan dan Pemerintahan Desa. Desa dari pegawai negeri sipil
yang memenuhi persyaratan fungsi, syarat-syarat, jumlah Dewan Desa, dll diatur
dengan Perdasus.
Gubernur dan Bupati masing masing dapat memberhentikan Bupati dan
Camat sebelum habis masa jabatannya dengan alasan melakukan tindak pidana
yang ancaman hukumannya lima tahun lebih atau ternyata tidak lagi memenuhi
syarat-syarat sebagai Bupati atau Camat.
Dibawah kecamatan terdapat Pemerintahan Desa dan Kelurahan. Desa
dibentuk dengan cara mengukuhkan Desa Pakraman menjadi Desa yang memiliki
dua urusan pokok yakni urusan adat budaya dan urusan dinas publik. Dengan
demikian secara bertahap dapat diakhiri dualisme desa di bali yang selama ini
terdokhotomi atad Desa Adat / Pakraman dan Desa Dinas. Beberapa alasan
mendasar mengapa Desa Pakraman dijadikan Desa sebagai unit pemerintahan
terbawah yakni :
(1).
Paralel dengan semangat otsus yang pada intinya melindungi atau
melestarikan nilai-nilai budaya lokal (local genius) yang telah diakui
keunikannya tidak saja ditingkat nasional tetapi juga ditingkat
international.
(2) Pembanguna pedesaan yang hakikatnya pembangunan masyarakat hukum
adat dapat dilaksanakan secara lebih efisien dan lebih tepat sasaran. Hal ini
disebabkan karena bagian pajak, retribusi, pajak pusat, DAU, bantuan
pemerintah dapat lebih fokus diarahkan pada pembiayaan kepentingan
masyarakat hukum adat.
(3) Menghindari dualisme dibidang kewenangan tertentu seperti kependudukan,
peranserta dalam pembangunan, pengawasan sosial, penggunaan SDM,
pemanfaatan SDA terutama yang beraspek hak ulayat / tanah Desa
Pakraman.
3.4

Pariwisata dan Pendanaan Otsus


Pasal 11 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan daerah menyatakan bahwa bagi hasil antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah pada sektor pajak dan sumber daya alam.
Sebagaimana diketahui Bali tidak memiliki sumber daya alam yang potensial
seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, Papua dan lain-lain. Namun Bali memiliki
sumber daya jasa dari sektor pariwisata sebagai produk unggulan adat dan budaya
Bali yang telah tersohor hingga ke mancanegara. Adat dan budaya Bali yang dijiwai
Agama Hindu dan dilandasi falsafah Tri Hita Karana merupakan seperangkat nilai
yang dijadikan dasar bagi pengembangan dan pelestarian pariwisata budaya bali.
Lebih jauh sektor pariwisata ini telah mampu menjadikan Bali sebagai destinasi

33

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali


atau tujuan wisata dunia yang menghasilkan income lebih dari 32 triliun
pertahun atau sekitar 30% dari devisa negara yang memiliki peran sangat penting
dalam mengakselerasi perekonomian nasional. Selain itu, kepariwisataan Bali juga
mampu memberikan efek ganda (multiplier effect) yang sangat besar terhadap
masyarakat lokal dan nasional. Sampai kini, masyarakat Bali yang mempunyai
warisan Budaya yang diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia (world
cultural heritage) belum mendapat sharing yang adil atau pemanfaatan devisa yang
dihasilkan dari kegiatan pariwisata itu. Dalam rangka pemikiran otonomi khusus,
sharing ini harus nampak jelas demi memenuhi rasa keadilan masyarakat Bali.
Sharing sumber daya jasa pariwisata ini nantinya diharapkan berbentuk dana
kompensasi yang digunakan khusus untuk pemeliharaan, renovasi, konservasi,
pelesatarian sarana, prasarana, sistem, nilai adat dan budaya yang bersifat magis
religius. Dengan demikian pendanaan untuk pelestarian kekhususan Bali itu
diharapkan tidak saja berasal dari pajak, retribusi, bagi hasil pajak tertentu, DAU,
DAK, bantuan lain tetapi juga berupa dana kompensasi yang berasal dari income
nasional yang diperoleh dari devisa hasil pariwisata Bali. Bentuk devisa ini dapat
dihasilkan dari pajak maskapai-maskapai penerbangan yang rute penerbangannya
ke Bali, pajak perusahaan biro perjalanan wisata yang kegiatan usahanya terkait
kepariwisataan bali, pajak bandara (airport tax), pajak atas orang asing yang
bekerja di sektor pariwisata di Bali, pajak investasi lain selain hotel dan restoran
yang bergerak dibidang kepariwisataan Bali, dll.
IV. PENUTUP
Demikian secara garis besar dipaparkan tentang kekhususan Bali berikut
kekhawatiran akan terjadinya degradasi yang berkelanjutan atas kekhususan itu,
serta jastifikasi perlunya otonomi khusus untuk mengatasi degradasi itu.
Kesemuanya itu diuraikan dalam bentuk naskah akademik yang nantinya akan
dijadikan sumber bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Bali.
Pokok-pokok penjabaran naskah akademik ini lebih lanjut dapat dilihat dalam
lampiran berikut.

34

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

DAFTAR PUSTAKA
Agung, A.A.G., 1991. Bali in the 19 th Century. Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia.
Ann Seidman, Robert B Seidman, Nalin Abeysekere; 2001, Legislative Drafting
for Democratic Social Change, Kluwer Law International, Netherland,
USA, Canada)
Astra, I Gde Semadi, 1982. Prasasti Sibang Kaja di Kabupaten Badung.
Denpasar, Fakultas Sastra, Unud.
Astra, I Gde Semadi, 1997. Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno Abad XII XIII.
Sebuah Kajian Epigrafis. Disertasi (belum dipublikasikan) Universits
Gajah Mada, Yogyakarta.
Atmaja, Jiwa, 2002. Otonomi Daerah Bali, Kendala dan Harapan, Ikayana&
Tabloid Taksu, Denpasar.
Baehr, Peter, dkk; 2001, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia,
yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Bahar, Safroedin, dkk, 1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha- Usaha
Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara Republik Indonesia,
Jakarta
Bali Post, 18 September 2005.
Black, H.C.; 1979; Blacks law Dictionary, ST Paul Minn, West Publishing CO
Craig, PP, 1994, Administrative Law, .Sweet & Maxwell, London.
Desentralisasi Gelombang Kedua dari Reformasi Demokratis sebelum
berkuasa rezim otoriter (Abdul Azis, David D Arnold; 2003, Desentralisasi
Pemerintahan, Pengalaman Negara-Negara Asia, Pondok Edukasi, Bantul)
Dherana, Tjok Raka dan Widnyana, I Made. 1976. Agama Hindu dan Hukum
Pidana Nasional (Makalah).
DPJ United Nations , The United Nations and Human Rights, 1995
Goris, R, 1954, Prasasti Bali, diterjemahkan oleh Lembaga Bahasa dan Budaya
(Fakultas Sastra dan Filsafat Universita Indonesia, Jilid I, Bandung: Masa
Nina.
Goris, R, 1954. Inscripties voor Anak Wungsu, dalam Prasasti Bali. Jakarta:
N.V Masa Baru.
Grader, C.J. 1979, Persubakan di Kerajaan Jembrana, Penyunting Tjok, Raka
Dherana, Denpasar, Biro Dokumentasi dan Publikasi FH Unud.
Griadhi, I Ketut Wirta, dkk. 1992, Eksistensi Subak sebagai Badan Hukum
Tradisional, Studi Kasus di D1aerah Irigasi Cengcengan , Sukawatin,
Gianyar, Kerjasama Unud dan The Ford Foundation,
Haar, Bzn, B. Ter, 1960, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta:
Pradnyaparamita.

35

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

Haar, Ter. 1950. Beginselen en Stelsel van het Adatrecht. JB.WoltersGroningen, Djakarta, 4e druk.
Hadjon, Philipus M, tth, Analisis Hukum Tata Negara Atas Beberapa Ketentuan
UU No.22 Tahun 1999 .
Hanna, W.A., 1976. Bali Profile. People Events Circumtances (1001 1976).
New York Amercan Universites Field Staff. Reprint, Banda Nair: Rumah
Budaya 1990.
Hitchcock, Michael, and Lucy Norris, 1995. Bali the Imaginary Museum.
Kualalumpur Oxford University Press, Oxford.
Hobart, Angela, Urs Ramseyers and Albert Leemann, 1996. The Peoples of Bali.
Blackwell Publishers Inc, Oxford OX4 1JF, UK.
Institut Hindu Dharma, 1986. Keputusan Seminar XII Kesatuan Tafsir Terhadap
Aspek-aspek Agama Hindu, Denpasar, Proyek Pemerinath Daerah Tingkat
I Bali.
Korn, V, E. 1932,Het Adatrecht van Bali, Tweede Herzien Druk, Uitgegeven met
Steum Der adatrechtstingting, S. Gravenhage, G. Naeff.
Kristin Samah; 2002, Ryaas Rasyid, Penjaga Hati Nurani Pemerintahan,
PUSKAP&MIPI, Jakarta.
Mahkamah Konstitusi, 2006, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Dan Undang Undang Republik Indonesia Nomer 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
Manan, H Bagir, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum
(PSH) UII Jogjakarta.
Osbarne M reynolds, Jr; 1982, handbook of Local Goverment law, St Paul Minn,
West Peblishing Co
Parimartha, I Gede, 2004. Desa Adat, Desa Dinas, dan Desa Pakraman di Bali:
Tinjauan Historis Kritis, dalam I Wayan Ardika dan I Nyoman Darma
Putra, 2004. Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Fakultas Sastra
Unud.
Picard, Michel, 1999. The Discourse of Kebalian: Transcultural Constructions
of Balinese Identity dalam dalam Raechelle Rubeinstein dan Linda H.
Connor, Staying Local in The Global Village. University of HawaiI Press,
Honolulu.
Powell, H, 1930. The Last Paradise. London: Jonathan Cape (reprinted in 1982,
Kuala Lumpur: Oxford University Press).
Robinson, Geoffrey. 2006. Sisi Gelap Pulau Dewata. Yogyakarta: LKiS.
Terjemahan Arief B. Prasetyo dari judul asli The Dark Side of Paradise.
Political Violence in Bali, 1995. London: Cornel University Press.
Sanderson, Stephen, K, 2000, Makro Sosiologi, Sebuah pendekatan terhadap
Realita Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sarundjajang, S.H., 2003,
Garfika, Jakarta

Birokrasi Dalam Otonomi Daerah ,Surya Multi

36

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

Soedjito, S,
1986, Transformasi Sosial menuju Masyarakat Industri,
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Soejito, Irawan, 1984, Hubungan Pemerinrtah Pusat Dan Pemerintah Daerah,
Bina Aksara, Jakarta
Sutawan, I Nyoman , dkk, 1989, Laporan akhir pilot proyek Pengembangan
Sisterm Irigasi yang menggabungkan beberpa Empelan/ Subak di
Kabupaten Tabanan dan Buleleng, kerjasama PU Propinsi Bali dengan
Unud.
Syaukani, HR. dkk, 2002. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatan , Pustaka
Pelajar, Jogjakarta,
Varma; S.P. 2001, Teori Politik Modern Terjemahan Tohir Efendi, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Vickers, Adrian, 1996. Bali a Paradise Created. Periplus Editions (HK) Ltd.
Wade, Sir William, 1988, Administrative Law, Clarendon Press, Oxford
Widnyana, Made, 1987, Eksistensi Delik Adat Lokika Sanggraha Dalam
Pembangunan Hukum Pidana Nasional, Orasi Ilmiah dalam rangka
Jubelium Perak Universitas Udayana, 1987
Widnyana, Made, 1993. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat. Bandung, Eresco.
Yuwono, Teguh; 2003. Salah kaprah otonomi daerah di Indonesia, UNDIP,
Semarang

37

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

Lampiran

POKOK-POKOK PENJABARAN
NASKAH AKADEMIK DALAM SISTEMATIKA RUU OTSUS BALI
Konsideran :
A. Bagian Menimbang
Pernyataan Tentang :
a. Tujuan Negara RI untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
b. UUD. 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang.
c. Masyarakat Bali memiliki kekhususan dibidang agama, budaya, adat
istiadat, pariwisata dan luas wilayah.
d. Masyarakat Bali yang cinta damai bertekad mempertahankan keutuhan
Negara Kesatuan RI dengan menjunjung tinggi nilai persatuan dan
kesatuan, kebinekaan, kesetaraan, keadilan, demokrasi, dan hak asasi
manusia.
e. Kekhususan Bali selama ini manfaatnya tidak saja dinikmati oleh
masyarakat Bali sendiri tetapi juga dinikmati oleh masyarakat propinsipropinsi lain dan bahkan oleh masyarakat internasional.
f. Pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan selama
ini di Propinsi bali belum dapat menjamin sepenuhnya keajegan nilai
kekhususan Bali terutama nilai agama, budaya, adat-iatiadat serta belum
terwujudnya keadilan dalam alokasi sumber dana pemerintah yang
berasal dari kegiatan sektor pariwisata Bali.
g. Pemberian otonomi khusus kepada Bali dapat mempertebal tekad dan
semangat masyarakat Bali dalam mempertahankan keutuhan Negara
Kesatuan RI serta dapat mengajegkan nilai-nilai kekhususan Bali sehingga
tetap bermanfaat bagi Bali, bagi bangsa Indonesia dan bagi masyarakat
internasional, diamping dapat terwujudnya keadilan dalam alokasi
sumber dana pemerintah yang berasal dari kegiatan sektor pariwisata
Bali.
B. Bagian Mengingat
Merujuk peraturan perundang-undangan yang ada kaitan dengan otonomi
dan otonomi khusus mulai dari UUD 1945, Tap MPR hingga Undang-Undang.
a. Tingkatan UUD. 1945
Pasal 5 ayat (1), Pasal 18A, Pasal 18 B, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5),
Pasal 21 ayat (1), Pasal 26 dan Pasal 28.
b. Tingkatan Tap MPR
Tap Tap MPR antara lain tentang :
-

Penyelenggaraan Otonomi Daerah, pemanfaatan sumber daya


nasional, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelengaraan Otonomi Daerah
Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional

38

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

c. Tingkatan Undang-Undang
- UU. Tentang Pembentukan Propinsi Bali
- UU. Tentang Pembentukan Kabupaten / Kota di Propinsi Bali
- UU. Tentang Pemerinatahan Daerah
- UU. Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
- UU. Tentang Hubungan Luar Negeri
- UU. Tentang Perjanjian Internasional
- UU. Tentang Hak Asasi Manusia
C. Bagian Diktum
- Dengan Persetujuan Bersama DPR dan Presiden RI
- Memutuskan :
Menetapkan : Undang-Undang Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi
Bali.
D. Bagian Batang Tubuh
Bab I. Ketentuan Umum
Pengertian Pengertian Tentang :
-

Propinsi Bali
Otonomi Khusus
Pemerintahan Pusat
Pemerintahan Daerah Propinsi
Gubernur Propinsi Bali
DPRD Propinsi Bali
Dewan Adat
Lambang Daerah
Peraturan Daerah Khusus (Perdasus)
Peraturan Daerah Propinsi (Perdasi)
Desa Pakraman
Adat
Masyarakat Adat
Hak Ulayat
Pengadilan Adat
Tri Hita Karana
Kahyangan Tiga
Hak Asasi Manusia

Bab II. Lambang Daerah


- Lambang Daerah mencerminkan kekhususan agama budaya dan adat
istiadat masyarakat Bali
- Lambang Daerah tidak merupakan simbol kedaulatan
- Lambang Daerah diatur lebih lanjut dengan Perdasus (Peraturan
Daerah Khusus)
Bab III. Kewenangan Daerah
- Propinsi Bali berwenang melaksanakan seluruh bidang pemerintahan
kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
moneter dan fiskal, agama, peradilan serta kewenangan lain sesuai
peraturan perundang-undangan.

39

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

- Selain itu Propinsi Bali diberi kewenangan khusus berdasarkan UndangUndang ini.
- Otonomi berada pada Propinsi
- Kabupaten / Kota dapat diberi otonomi oleh Propinsi berdasarkan usul
Kabupaten / Kota
- Pelaksanaan kewenangan Propinsi sebagai Daerah otonom dan sebagai
Daerah Otonom Khusus diatur lebih lanjut dengan Perdasi dan Perdasus
- Perjanjian internasional yang terkait kepentingan bali dilaksanakan
setelah mendapat pertimbangan Gubernur. Dalam memberi
pertimbangan itu Gubernur wajib mendengar pandangan DPRD dan
pandangan Majelis Pakraman Agung Propinsi Bali. Tata cara pemberian
pertimbangan diatur lebih lanjut dengan Perdasus.
- Propinsi Bali dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan
dengan badan luar negeri dengan keputusan bersama sesuai peraturan
perundang-undangan. Relevansi kerjasama itu diatur lebih lanjut
dengan Perdasus.
Bab IV. Susunan Pemerintahan Daerah
-

Pemerintahan Propinsi Bali terdiri dari DPRD dan Dewan Adat sebagai
badan legislatif dan Pemerintah Propinsi sebagai badan eksekutif
Dewan Adat (DA) Propinsi Bali adalah merupakan perwakilan kultural,
DA berfungsi melindungi agama Hindu, budaya dan adat istiadat
masyarakat Bali dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.

Bab V. DPRD
DPRD dibentuk melalui Pemilihan Umum sesuai peraturan perundangundangan
- Tugas dan wewenang :
- Mengusulkan Pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih
kepada Presiden Republik Indonesia.
- Menyususn dan menetapkan arah kebijakan pembangunan daerah
bersama Gubernur dan DA sesuai peraturan perundang-undangan.
- Membahas dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah bersama-sama dengan Gubernur dan DA.
- Menetapkan Perdasus dan Perdasi
- Memberi pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah
Propinsi terhadap rencana kerjasama internasional yang menyangkut
kepentingan daerah.
- Mengawasi pelaksanaan Perdasi, Perdasus, Peraturan dan Keputusan
Gubernur; pelaksanaan urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah
Propinsi Bali; pelaksanaan APBD;
pelaksanaan kerjasama
internasional.
- Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan
pengaduan penduduk Propinsi Bali.
- Pelaksanaan tugas dan wewenang lebih jauh diatur dalam tata tertib
sesuai peraturan perundang-undangan.
Hak DPRD :
-

- Mengajukan dan membahas Perdasi dan Perdasus.


- Mengadakan perubahan atas rancangan Perdasi dan Perdasus.
- Mengadakan perubahan Perdasi dan Perdasus.

40

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

- Hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan (lihat lebih jauh


peraturan perundang-undangan terkait)
Hak Anggota DPRD ( lihat UU terkait)
Kewajiban DPRD sesuai peraturan perundang-undangan (lebih jauh lihat
peraturan terkait).
Bab VI. Dewan Adat (DA)
DA merupakan lembaga perwakilan kultural masyarakat Bali terdiri dari :

Wakil umat agama Hindu 1/3


wakil masyarakat budaya 1/3
wakil masyarakat adat 1/3

- Masa jabatan anggota selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk
satu kali masa jabatan berikutnya.
- Susunan keanggotaan, persyaratan dan tata cara pembentukannya
diatur dengan Perdasus.
- Tugas dan Wewenang
Mengajukan rancangan Perdasus
Memberi persetujuan rancangan Perdasus yang berasal dari usul
Gubernur dan atau DPRD.
Memberi pertimbangan terhadap rancangan kerjasama
internasional yang diadakan oleh Pemerintah Propinsi atau
Pemerintah .
Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Bali yang
berkaitan dengan agama Hindu, budaya dan adat.
Memberi
pertimbangan
kepada
Gubernur,
DPRD,
Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan agama Hindu, budaya
dan adat Bali.
Mengadakan penyelidikan
Pernyataan pendapat
Meminta keterangan kepada Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten / Kota terkait perlindungan talenta kekhususan Bali.
Talenta kekhususan Bali lebih jauh diatur dengan Perdasus.
Meminta peninjauan kembali Perdasi, Perdasus, Peraturan
Gubernur, Keputusan Gubernur dan kebijakan lainnya yang
dinilai merugikan kepentingan masyarakat adat Bali.
Mengajukan RAB kepada Gubernur.
- Hak Anggota DA
Mengajukan pertanyaan
Mengajukan usul inisiatif Perdasus
Kekebalan
Keuangan
Protokoler
- Kewajiban DA :
Mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

41

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

Mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 serta menaati segala


peraturan perundang-undangan
Membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan budaya dan
adat Bali
Membina toleransi kehidupan beragama
Melindungi, memajukan dan mendorong pemenuhan hak asasi
manusia dan hak asasi kelompok masyarakat adat Bali.

Bab VII. Badan Eksekutif


-

Pemerintah propinsi Bali dipimpin oleh seorang Kepala Daerah


sebagai kepala eksekutif yang disebut Gubernur.
Gubernur dibantu oleh wakil kepala daerah yang disebut Wakil
Gubernur.
Gubernur dan Wakil Gubernur dipilih secara langsung dari pasanganpasangan calon gubernur dan wakil gubernur sesuai peraturan
perundang-undangan
Syarat khusus Gubernur dan Wakil Gubernur adalah orang Bali yang
beragama Hindu serta isteri / suami juga beragama Hindu.
Tidak pernah dihukum pidana atau dicabut hak pilihnya kecuali
karena lasan-alasan politik
Syarat-syarat lain sesuai peraturan perundang-undangan
Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur 5 tahun dan dapat dipilih
kembali dalam satu kali jabatan berikutnya.
Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta keadaan
Gubernur dan wakil Gubernur berhalangan sementara atau tetap
diatur sesuai peraturan perundang-undangan.

Bab VIII. Proses Legislasi


-

Rancangan Perdasi yang datangnya dari Gubernur harus mendapat


persetujuan DPRD untuk bisa disyahkan menjadi Perdasi
Rancangan Perdasi yang datangnya dari DPRD harus mendapat
persetujuan Gubernur untuk bisa disyahkan menjadi Perdasi.
Rancangan Perdasi yang ditolah Gubernur dapat disyahkan menjadi
Perdasi apabila DPRD dalam pembahasan ulang menyetujui dengan
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota.
Rancangan Perdasus yang diajukan oleh Gubernur harus mendapat
persetujuan dari DPRD dan DA untuk dapat disyahkan menjadi
Perdasus. Rancangan itu meskipun ditolak oleh DPRD dapat disyahkan
menjadi Perdasus bila disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota
DA.
Rancangan Perdasus yang datangnya dari DPRD harus mendapat
persetujuan Gubernur dan DA untuk dapat disyahkan menjadi
Perdasus. Rancangan itu walaupun ditolak oleh Gubernur dapat
disyahkan menjadi Perdasus asalkan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 anggota DA.
Rancangan Perdasus yang datangnya dari DA untuk dapat disyahkan
menjadi Perdasus harus mendapat persetujuan dari DPRD dan
Gubernur. Rancangan itu meski ditolak oleh DPRD dan Gubernur
dapat disyahkan menjadi Perdasus asalkan disetujui kembali oleh
sekurang-kurangnya jumlah anggota DA. Rancangan itu meski

42

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

ditolak oleh Gubernur dapat disyahkan menjadi Perdasus asalkan


disetujui kembali oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DA.
Rancangan itu meski ditolak oleh DPRD dapat disyahkan menjadi
Perdasus asalkan disetujui kembali oleh sekurang-kurangnya 2/3
jumlah DA.
Proses pembuatan Perdasi dan Perdasus lebih jauh diatur dengan tata
tertib DPRD dan DA berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Bab IX. Sumber Keuangan Daerah


-

PBB 90%
Bea perolehan hak atas tanah / bangunan 80%
Kehutanan 80%
Perikanan 80%
Pertambangan umum 80%
Pertambangan panas bumi 80%
Pajak Hotel, restaurant, kendaraan bermotor, dll 100%
DAU
DAK
Bantuan luar negeri dengan memberitahukan pemerintah
Pinjaman luar negeri atas persetujuan DPRD, DA dan Pemerintah.
Pinjaman dalam negeri atas persetujuan DPRD dan DA
Lain-lain yang syah

Bab X. Perekonomian Bali


-

Pariwisata, pertanian dan industri adalah tulang punggung


perekonomian propinsi Bali
Usaha-usaha perekonomian di bidang-bidang tersebut dan di bidang
lainnya, menghormati agama, budaya dan adat masyarakat Bali serta
menjamin kelestarian lingkungan berlandaskan pada prinsip Tri Hita
Karana.
Pembangunan perekonomian Bali yang berbasis kerakyatan
dilaksanakan dengan memberi keseDAtan yang seluas-luasnya kepada
masyarakat adat dan/atau masyarakat seteDAt.
Penanaman modal wajib mengakui dan menghormati hak-hak
masyarakat adat seteDAt.
Perundingan yang dilakukan pemerintah Propinsi dan penanam modal
wajib melibatkan masyarakat adat seteDAt.

Bab XI. Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Bali


-

Hak masyarakat Adat Bali adalah hak asasi manusia secara


berkelompok dari penduduk asli suku Bali yang diakui oleh hukum
internasional dan hukum nasional
Pemerintah Propinsi Bali dan Pemerintah wajib mengakui,
menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan
hak-hak masyarkat adat dengan berpedoman pada praturan hukum
yang berlaku.
Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat
hukum adat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat.

43

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan masyarakat hukum


adat untuk keperluan apapun wajib melalui musyawarah dengan
masyarkat hukum adat seteDAt dan / atau warga masyarakat adat
seteDAt untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan dan
besarnya ganti rugi atau imbalannya.
Bagian tertentu dari hak ulayat masyarakat hukum adat dan bagian
tertentu dari hak adat warga masyarakat hukum adat tidak dapat
dipindahtangankan kepada orang yang tidak beragama Hindu.
Bagian tertentu dari hak perorangan warga masyarakat hukum adat
tidak dapat dipindahtangankan kepada orang yang tidak beragama
Hindu.
Hak adat dan hak perorangan yang tidak dapat dipindahtangankan
diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

Bab XII.
-

Hak Asasi Manusia

Pemerintah Propinsi Bali dan Pemerintah mengakui, menghormati,


melindungi dan memenuhi hak asasi masyarakat Bali dibidang hak
sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya termasuk hak perempuan dan
hak anak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pelaksanaan hak asasi manusia didasarkan pada prinsip kebebasan,
kesetaraan, pembatasan, dan keseimbangan antara hak dan
kewajiban.
Dalam pelaksnaan otonomi khusus Pemerintah Propinsi Bali secara
khusus menghormati dan melindungi hak adat masyarakat hukum
adat Bali.

Bab XIII. Pengadilan


-

Kekuasaan kehakiman di Propinsi Bali selain dilaksanakan oleh Badan


Pradilan menurut peraturan perundang-undangan juga dilaksnakan
oleh sebuah Pengadilan Adat.
Pengadilan Adat adalah peradilan perdamaian yang memutus
sengketa hukum adat dan hukum pidana adat berdasarkan hukum
adat yang tidak bertentangan dengan nilai Pancasila, UUD 1945 dan
nilai HAM.
Pengadilan adat berkedudukan disetiap kabupaten / kota yang
merupakan salah satu kamar Pengadilan Negeri.
Putusan Pengadilan Adat hanya bisa dibanding pada Pengadilan
Tinggi.
Putusan banding Pengadilan Tinggi bersifat final
Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana
penjara atau kurungan.
Hukuman pidana adat berupa hukuman adat dan /atau hukuman
denda pada pelaku tindak pidana pelecehan, penghinaan,
pengrusakan, pencurian, pemusnahan benda, teDAt atau orang yang
dianggap suci menurut agama Hindu.
Hukuman denda pada tindak pidana adat tersebut setinggi-tingginya
Rp. 500.000.000,- rupiah.
Bila terhukum tidak sanggup melaksanakan hukuman adat dan / atau
hukuman denda sebagian atau seluruhnya perkaranya diserahkan
kepada Pengadilan Umum

44

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Naskah Akademik RUU Tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali

Pengadilan Umum dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut


wajib mempertimbangkan perkara tersebut sebagai tindak pidana
kejahatan terhadap agama Hindu yang mengandung unsur
pemberatan.
Susunan organisasi, persyaratan sebagai hakim, ruang lingkup
kewenangan, keuangan, hukum acara dan lain-lain diatur lebih jauh
dengan Perdasus.

Bab XIV. Lain Lain Yang Dianggap Perlu


Bab XV. Peralihan
Bab XVI. Penutup

45

PANSUS OTSUS DPRD BALI

Anda mungkin juga menyukai