PERINATOLOGI
Respiratory Distress Syndrome, BBLR, Neonatorum Hiperbilirubinemia,
Suspek Meningitis Serosa
Disusun oleh:
Cindy Dwi Primasanti
1102012046
Pembimbing:
dr. Hj. Nurvita Susanto, Sp.A
BAB I
STATUS PASIEN
IDENTITAS
1
IDENTITAS PASIEN
Nama
: By. Walid
Tanggal lahir
: 17 Mei 2016
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
No. RM
: 554289
Tanggal Masuk
: 18 Mei 2016
Tanggal Pulang
:-
: Tn. A
Umur
: 41 tahun
Pekerjaan
: Swasta
IBU PASIEN
Nama Ibu
: Ny. N
Umur
: 39 tahun
Pekerjaan
ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kejang 1 hari setelah lahir.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Bayi lahir di puskesmas pada tanggal 17 Mei 2016, pada jam 06.00 WIB dengan
keadaan tidak langsung menangis dan biru (sianosis). Menurut ibu pasien, bayi
dilahirkan dengan usia kandungan 9 bulan. Berat lahir: 2200 gram, jenis kelamin:
laki-laki. Pasien mengalami kejang di rumah dan langsung di bawa ke RSUD
Soreang.
3. Riwayat Penyakit Dahulu Pada Ibu
Hipertensi : (+) saat usia kehamilan 6 bulan
DM
: (-)
Riwayat Kehamilan
Ibu hamil ketiga.
memeriksakan kehamilannya ke puskesmas. Terdapat riwayat pemakaian obatobatan ketika hamil, yaitu obat dari puskesmas berupa vitamin, obat penambah
darah serta obat untuk darah tinggi dari dokter. Riwayat mengkonsumsi jamu
jamuan disangkal. Pada tanggal 17 Mei 2016, pasien pergi ke puskesmas jam
5.30 WIB karena merasa akan melahirkan. Ibu pasien melahirkan secara
normal pada tanggal 17 Mei 2016 pukul 06.00 WIB.
Riwayat Persalinan
Pasien lahir secara normal, dalam usia kehamilan 9 bulan. Berat lahir 2200
gram.
6. Riwayat Makanan
Pasien di beri susu formula 7 jam sebelum masuk rumah sakit karena ASI ibu belum
keluar.
7. Riwayat Imunisasi
Pasien belum di Imunisasi
8. Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Pasien Anak Ketiga dari Pasangan Ny. N dan Tn. A yang bekerja sebagai IRT dan
Swasta. Orang tua pasien tidak memberi tahu jumlah penghasilannya, tetapi
mengatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga.
PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan Pada Tanggal 18 Mei 2016)
A Pemeriksaan Umum
1
Kesadaran
: STATE 3
Down Score
: 2
Tanda Utama
Heart Rate
: 160 x/menit,
Frekuensi Nafas
Suhu
: 39,3o Celsius
Status gizi
Antropometris :
o
o
o
BB : 2,2 kg
TB : 48 cm
BB/U : < -2 SD
Gizi kurang
TB/U : < - 2 SD
Gizi kurang
BB/TB
: < - 2 SD
Gizi kurang
B Pemeriksaan khusus
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
l
Sutura
Rambut
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
Tenggorokan
Tonsil
Lidah
Gigi
Leher
Thoraks
a Pernapasan
Pulmo
c Cor
m Abdomen
a
b
subepigastrial (+)
Hepar
: Tidak teraba
Lien
: Tidak teraba
n Anus
: (+)
o Ekstremitas
: Akral hangat, petekie (+), capillary refill time < 3
p Genital
: Laki-laki
q
Neurologi
Hasil :
New Ballad Score : 3, 4, 2, 2, 2, 1
Maturitas Fisik
: 1, 2, 3, 2, 3, 2
Hb
Nilai
22
Satuan
g/dL
Normal
16-25
Ht
Leukosit
Trombosit
GDS
66
23.300
95.000
30.0
%
/mm3
/mm3
mg/dL
10.000-30.000
150.000-400.000
<180
19 Mei 2016
Nilai
Satuan
Normal
93.0
mg/dL
<180
Satuan
Normal
GDS
20 Mei 2016
Nilai
Gol. Darah
Rhesus
Bilirubin
+
5,83
mg/dL
1.3-11.3
Total
Bilirubin
0,29
mg/dL
0.2
Direk
Bilirubin
5,54
mg/dL
0.75
Indirek
DIAGNOSIS KERJA
PTIAGA spontan kepala + BBLR + RDS + NH + Suspek Meningitis Serosa
TATALAKSANA
OGT dekompresi
Vit K1 3 mg IV
Cefotaxime 2 x 125 mg
6
Amikasin 1 x 30 mg
Dexamethasone 3 x 0,7 mg
Aminophilin LD : 0,75cc 4 x 4 mg
Fenobarbital LD : 40 mg IV 2 x 5 mg
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: Dubia ad Malam
Quo ad functionam
: Dubia ad Malam
Follow up
Tanggal
18/05/16
19/05/16
Keluhan
S: kejang (+), tidak aktif menangis,
demam (+) sesak (+).
Terapi
P:
Advis dr. Nurvita, Sp.A
- O2 lpm
- Infus D10% 152 cc
- Ca glukonas 8 cc
- Vit K1 3 mg (IV)
- Bolus D10% 4 cc/5 menit
- OGT dekompresi
- Cefotaxim 2 x 125 mg
- Amikasin 1 x 30 mg
- Dexamethasone 3 x 0,7 mg
- Aminofilin LD : 0,75 cc 4 x 4 mg
- Fenobarbital LD: 40 mg (IV) 2 x 5
mg
O:
HR: 138 x /menit
RR : 84 x/menit
S : 36,4oC
Kepala : UUB datar
Mata : CA (-), SI (-)
Hidung : PCH (-)
Mulut : POC (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar
Thoraks : bentuk dan gerakan
simetris
Paru: BVS Ka=Ki, Rhonki -/-,
Whezing -/-, Slem -/-, retraksi (-)
Jantung: BJ I-II murni regular,
murmur (-) gallop (-)
Abdomen: datar, lembut, BU (+)
Hepar lien tidak teraba membesar
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 3
20/05/16
Ca glukonas 8 cc
Vit K1 3 mg (IV)
Bolus D10% 4 cc/5 menit
OGT dekompresi
Cefotaxim 2 x 125 mg
Amikasin 1 x 30 mg
Dexamethasone 3 x 0,7 mg
Aminofilin LD : 0,75 cc 4 x 4 mg
Fenobarbital LD: 40 mg (IV) 2 x 5
mg
21/05/16
22/05/16
Bilas lambung
O2
Keb. Cairan 220 cc
D10% : 184 cc
NaCl 3% : 8 cc
KCl 7,4 % : 2 cc
Ca Glukonas 10% : 6 cc
Aminofusin steril 6% : 20 cc
Cefotaxim 2 x 125 mg
Amikasin 1 x 30 mg
Dexamethasone 3 x 0,7 mg
Aminophilin 4 x 4 mg
Sibital 2 x 5 mg
OGT dekompresi
Bilas lambung
O2
Keb. Cairan 247 cc
D10% : 243 cc
NaCl 3% : 9,9 cc
KCl 7,4 % : 3,3 cc
Kecepatan : 10-11 gtt/menit
Cefotaxim 2 x 125 mg
Amikasin 1 x 30 mg
9
23/05/16
Dexamethasone 3 x 0,7 mg
Aminophilin 4 x 4 mg
Sibital 2 x 5 mg
OGT dekompresi
Omeprazole 1 x 1,5 mg
Bilas lambung
O2
Keb. Cairan 247 cc
D10% : 243 cc
NaCl 3% : 9,9 cc
KCl 7,4 % : 3,3 cc
Kecepatan : 10-11 gtt/menit
Cefotaxim 2 x 125 mg
Amikasin 1 x 30 mg
Dexamethasone 3 x 0,7 mg
Aminophilin 4 x 4 mg
Sibital 2 x 5 mg
OGT dekompresi
Omeprazole 1 x 1,5 mg
24/05/16
25/05/16
Serosa
S: Letargis, demam (-), sianosis (-),
P:
sesak (-), tidak aktif menangis,
- Bilas lambung Dex5 8 x 2,5 cc
retensi keruh/keruh/keruh, kejang (-). - O2
- Keb. Cairan 300 cc/hari = 12 cc/jam
D10% : 239 cc
O: State: 4, Down Score: 2
NaCl 3% : 8 cc
HR: 136 x /menit
KCl 7,4 % : 4 cc
RR : 56 x/menit
Ca Glukonas 10% : 9 cc
S : 36,7oC
Aminofusin steril 6% : 40 cc
Kepala : UUB datar
Mata : CA (-), SI (-)
- Cefotaxim 2 x 125 mg
Hidung : PCH (-)
- Amikasin 1 x 30 mg
Mulut : POC (-)
- Metronidazole 3 x 20 mg
Leher : KGB tidak teraba membesar - Fluconazole 1 x 20 mg
Thoraks : bentuk dan gerakan
- Phenobarbital 2 x 3 mg
- Dexamethasone 3 x 0,7 mg
simetris
- Aminophilin 3 x 4 mg
Paru: BVS Ka=Ki, Rhonki -/-,
- Omeprazole 1 x 1,5 mg
Whezing -/-, Slem -/-, retraksi (-)
Jantung: BJ I-II murni regular,
murmur (-) gallop (-)
Abdomen: datar, lembut, BU (+),
retraksi (+)
Hepar lien tidak teraba membesar
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 3
A : PTIAGA spontan kepala + BBLR
+ RDS + NH + Suspek Meningitis
Serosa
S: Letargis, demam (-), sianosis (-),
P:
sesak (-), tidak aktif menangis,
kuning (+).
O: State: 4, Down Score: 0
HR: 152 x /menit
RR : 54 x/menit
S : 37,2oC
Kepala : UUB datar
Mata : CA (-), SI (-)
Hidung : PCH (-)
Mulut : POC (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar Thoraks : bentuk dan gerakan
simetris
26/05/16
27/05/16
Dexamethasone 3 x 0,7 mg
Aminophilin 3 x 4 mg
Omeprazole 1 x 1,5 mg
28/05/16
NaCl 3% : 8 cc
KCl 7,4 % : 4 cc
Ca Glukonas 10% : 9 cc
Aminofusin steril 6% : 40 cc
Cefotaxim 2 x 125 mg
Amikasin 1 x 30 mg
Metronidazole 3 x 20 mg
Fluconazole 1 x 20 mg
Phenobarbital 2 x 2 mg
Dexamethasone 3 x 0,7 mg
Aminophilin 3 x 4 mg
Omeprazole 1 x 1,5 mg
13
Serosa
S: Letargis, demam (-), sianosis (-),
sesak (-), sklerema kaki (+), tidak
aktif menangis, distensi abdomen
(+), petekie (+).
O: State: 4, Down Score: 1
HR: 132 x /menit
RR : 72 x/menit
S : 37,3oC
Kepala : UUB datar
Mata : CA (-), SI (-)
Hidung : PCH (-)
Mulut : POC (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar
Thoraks : bentuk dan gerakan
simetris
Paru: BVS Ka=Ki, Rhonki -/-,
Whezing -/-, Slem -/-, retraksi (-)
Jantung: BJ I-II murni regular,
murmur (-) gallop (-)
Abdomen: datar, lembut, BU (+)
Hepar lien tidak teraba membesar,
distensi abdomen (+)
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 3,
petekie (+).
P:
- ASI/PASI (1:30) 8 x 5 cc (ps)
- O2
- Keb. Cairan 336,6 cc/hari
D10% : 322,2 cc
NaCl 3% : 10,8 cc
KCl 7,4 % : 3,6 cc
- Ceftazidine 2 x 150 mg
- Amikasin 1 x 45 mg
- Metronidazole 3 x 20 mg
- Fluconazole 1 x 20 mg
- Phenobarbital 2 x 2 mg
- Dexamethasone 3 x 0,7 mg
- Aminophilin 3 x 4 mg
- Omeprazole 1 x 1,5 mg
14
BAB II
ANALISA KASUS
1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?
Diagnosis: PTIAGA spontan kepala + BBLR + RDS + NH + Suspek Meningitis Serosa
Ya, sudah tepat.
PTIAGA : pasien lahir saat usia kehamilan 36 minggu
BBLR : berat pasien saat lahir yaitu 2200 gram dengan masa kehamilan kurang dari 37
minggu.
RDS (Respiratory Distress Syndrome) : pada saat pemeriksaan pasien ini, tidak terdapat
gejala-gejala respiratory distress syndrome. Adapun gejala dari RDS yaitu:
- takipnea (frekuensi napas > 60 kali/menit)
- retraksi interkostal dan subkostal
- retraksi sternum
- pernapasan cuping hidung
- Sianosis, dan gejala menetap 48-96 jam pertama setelah lahir.
NH :
Secara umum gejala dari penyakit hiperbilirubin ini antara lain:
ketegangan otot
Perut membuncit
Pembesaran pada hati
Feses berwarna seperti dempul
Muntah, anoreksia, fatigue,
15
Meningitis :
- panas mendadak
- letargi
- muntah
- kejang.
- gejala gangguan alat pernafasan dan gastrointestinal.
2. Apakah tatalaksana pada pasien ini sudah tepat?
- ASI/PASI (1:30) 8 x 5 cc (ps)
- O2
- Keb. Cairan 336,6 cc/hari
- D10% : 322,2 cc
- NaCl 3% : 10,8 cc
- KCl 7,4 % : 3,6 cc
- Ceftazidine 2 x 150 mg
- Amikasin 1 x 45 mg
- Metronidazole 3 x 20 mg
- Fluconazole 1 x 20 mg
- Phenobarbital 2 x 2 mg
- Dexamethasone 3 x 0,7 mg
- Aminophilin 3 x 4 mg
- Omeprazole 1 x 1,5 mg
- Fototerapi
Ya, sudah tepat.
Bayi dengan RDS dapat diberikan: penanganan awal adalah dengan membersihkan jalan nafas,
jalan nafas dibersihkan dari lendir atau sekret yang dapat menghalangi jalan nafas selama
diperlukan, serta memastikan pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Monitoring saturasi oksigen
dapat dilakukan dengan menggunakan pulse oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan
memulai intubasi dan ventilasi. Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan atau tanpa
sianosis harus mendapatkan tambahan oksigen. Oksigen yang diberikan sebaiknya oksigen
lembab dan telah dihangatkan.
16
Atur suhu
BBLR mudah mengalami hipotermi, oleh karena itu suhu tubuhnya harus dipertahankan
dengan ketat. Bisa dengan membersihkan cairan pada tubuh bayi, kemudian dibungkus.
Atau bisa juga dengan meletakkannya di bawah lampu atau dalam inkubator. Dan bila
listrik tidak ada, bisa dengan metode kangguru, yaitu meletakkan bayi dalam pelukan ibu
(skin to skin).
Cegah sianosis
Cara mencegah sianosis dapat dengan cara pemberian oksigen agar saturasi oksigen
dalam tubuh bayi dapat dipertahankan dalam batas normal.
Cegah infeksi
BBLR mudah sekali diserang infeksi. Ini disebabkan oleh karena daya tahan tubuh
terhadap infeksi berkurang, relatif belum sanggup untuk membentuk antibodi dan daya
fagositosis serta reaksi terhadap peradangan belum baik. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan prinsip-prinsip pencegahan infeksi, antara lain mencuci tangan sebelum dan
sesudah memegang bayi, membersihkan tempat tidur bayi segera sesudah tidak dipakai
lagi, membersihkan kulit dan tali pusat bayi dengan baik.
Pemberian vitamin K
Dosis 1 mg intra muskular, sekali pemberian. Pemberian vitamin K pada bayi imatur
adalah sama seperti bayi-bayi dengan berat badan dan maturitas yang normal.
Pada bayi-bayi prematur, refleks isap, telan dan batuk belum sempurna. Kapasitas
lambung masih sedikit, daya enzim pencernaan, terutama lipase masih kurang. Pemberian
minum dimulai pada waktu bayi berumur 3 jam agar bayi tidak menderita hipoglikemia
dan hiperbilirubinemia. Pada umumnya bayi dengan berat lahir 2000 gram atau lebih
dapat menyusu pada ibunya. Bayi dengan berat kurang dari 1500 gram kurang mampu
mengisap air susu ibu atau susu botol, terutama pada hari-hari pertama. Dalam hal ini
bayi diberi minum melalui sonde lambung.
B. Penatalaksanaan bayi dismaturitas
Pada umumnya sama dengan perawatan neonatus umumnya, seperti pengaturan suhu
lingkungan, makanan, mencegah infeksi dan lain-lain. Bayi dismatur biasanya tampak haus
dan harus diberi makanan dini (early feeding). Hal ini sangat penting untuk menghindari
terjadinya hipoglikemia. Kadar gula darah harus diperiksa setiap 8-12 jam. Frekuensi
pernapadan terutama dalam 24 jam pertama harus diawasi untuk mengetahui adanya
sindrom aspirasi mekonium atau sindrom gangguan pernapasan idiopatik. Sebaiknya setiap
jam dihitung frekuensi pernapasan. Bila frekuensi lebih dari 60x/menit, dibuat foto thorax.
Pencegahan terhadap infeksi sangat penting, karena bayi sangat rentan terhadap infeksi,
yaitu karena pemindahan IgG dari ibu ke janin terganggu. Temperatur harus dikelola, jangan
sampai kedinginan karena bayi dismatur lebih mudah menjadi hipotermik, hal ini
disebabkan oleh karena luas permukaan tubuh bayi relatif lebih besar dan jaringan lemak
subkutan kurang.
Bayi dengan NH :
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan
agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan kernikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus tadi. Pengendalian
kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat
berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase
dengan pemberian obat-obatan (luminal).
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau
albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau
transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
18
Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous Immuno Globulin dan
Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan
ekskresi bilirubin.
Tabel 2. Penanganan icterus berdasarkan kadar serum bilirubin
Jika sudah terdapat hasil kulturn pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur dan
resistensi.
Deksametason
Deksametason 0,6 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis selama 4 hari. Injeksi deksametason
diberikan 15-30 menit sebelum atau pada saat pemberian antibiotik.
Lama pengobatan
Tergantung dari kuman penyebab, umumnya 10-14 hari.
3. Apa yang menjadi penyebab neonatal respiratory distress syndrome pada pasien
ini?
Faktor resiko
19
Bayi kurang bulan. Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara biokimiawi masih
3
4
5
6
20
B. Dismaturitas
Penyebab dismaturitas adalah setiap keadaan yang menganggu pertukaran zat antara
ibu dan janin (gangguan suplai makanan pada janin). Dismaturitas dihubungkan
dengan keadaan medik yang menggangu sirkulasi dan insuffisiensi plasenta,
pertumbuhan dan perkembangan janin, atau kesehatan umum dan nutrisi ibu.
5. Apa yang menjadi penyebab neonatorum hiperbilirubinemia?
Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi :
pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh
hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu
akibat faktor intra hepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau mekanik. Hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang pertama, sedangkan mekanisme
yang keempat terutama mengakibatkan terkonjugasi.
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan
penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut
ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai
bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang
sering adalah hemoglobin abnormal ( hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah
abnormal (sterositosis herediter), anti body dalam serum (Rh atau autoimun), pemberian
beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa dan peningkatan
hemolisis). Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan destruksi sel
darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang (thalasemia, anemia persuisiosa, porviria).
Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif. Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang
melebihi 20 mg / 100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern Ikterus.
2. Gangguan pengambilan bilirubin
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati dilakukan
dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima. Hanya beberapa
obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati,
asam flafas pidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), nofobiosin, dan beberapa zat warna
kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya menghilang bila obat
21
yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu Ikterus Neonatus dan beberapa kasus sindrom
Gilbert dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati.
Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di temukan defisiensi glukoronil tranferase
sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konjugasi bilirubin.
3. Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang mulai terjadi pada
hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus Fisiologis pada Neonatus. Ikterus Neonatus yang
normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronik transferase. Aktivitas glukoronil
tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu ke dua, dan
setelah itu Ikterus akan menghilang.
Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak terkonjugasi
pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di obati maka akan terjadi
kematian atau kerusakan. Neorologik berat tindakan pengobatan saat ini dilakukan pada
Neonatus dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi.
Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang yang
panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini
menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi) menjadi isomer-isomer yang larut
dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di
konjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukororil
transferase sering kali dapat menghilangkan ikterus pada penderita ini.
4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor Fungsional maupun
obstruksi,
terutama
mengakibatkan
hiperbilirubinemia
terkonjugasi.
Karena
bilirubin
terkonjugasi latut dalam air, maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga
menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih
sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai
bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe alkali dalam
serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam
darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia
terkonjugasi biasanya lebih kuning di bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.
Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi
22
obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang
merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik ( mengenai sel
hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra hepatik ( mengenai saluran empedu di luar hati ).
Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang sama.
Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah :
a. Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan umur
sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah (inkompatibilitas golongan darah
dan Rh), defek sel darah merah pada
Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi
dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan
organ lain.
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang
disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD
berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu
menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.
Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
2. Retinopathy premature. Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya
infeksi.
Komplikasi BBLR
Komplikasi prematuritas
1. Sindrom gangguan pernapasan idiopatik
Disebut juga sebagai penyakit membran hialin karena pada stadium akhir akan terbentuk
membran hialin yang akan melapisi paru.
2. Pneumonia aspirasi
Sering ditemukan pada bayi prematur karena refleks menelan dan batuk belum sempurna.
3. Perdarahan intraventrikuler
Perdarahan spontan di ventrikel otak lateral karena anoksia otak. Kelainan ini biasanya
hanya ditemukan pada otopsi.
4. Fibroplasias retrolental
Penyakit ini ditemukan pada bayi prematur yang disebabkan oleh gangguan oksigen yang
berlebihan.
5. Hiperbilirubinemia
Bayi prematur lebih sering mengalami hiprebilirubinemia dibandingkan dengan bayi
cukup bulan. Hal ini disebabkan oleh faktor kematangan hepar yang tidak sempurna
sehingga konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk belum sempurna.
24
6. Infeksi
Daya tahan tubuh terhadap infeksi berkurang karena rendahnya IgG gamma globulin.
Komplikasi dismaturitas
1. Sindrom aspirasi mekonium
Keadaan hipoksia intrauterin mengakibatkan janin mengadakan gasping dalam uterus.
Selain itu mekonium akan dilepaskan ke dalam likuor amnion, akibatnya cairan yang
mengandung mekonium yang lengket itu masuk ke dalam paru janin karena inhalasi.
Pada saat lahir, bayi akan menderita gangguan pernapasan idiopatik.
2. Hipoglikemia simptomatik
Tertama pada bayi laki-laki. Penyebabnya belum jelas, tetapi mungkin sekali disebabkan
oleh persediaan glikogen yang sangat kurang pada bayi dismaturitas. Diagnosis dapat
dibuat dengan melakukan pemeriksaan kadar gula darah. Bayi BBLR dinyatakan
hipoglikemia bila kadar gula darah yang kurang dari 20 mg%.
3. Asfiksia neonatorum
Bayi dismatur lebih sering menderita asfiksia neonatorum dibandingkan dengan bayi
biasa.
4. Penyakit membran hialin
Terutama pada bayi dismatur yang preterm. Hal ini karena surfaktan pada paru belum
cukup sehingga alveoli selalu kolaps
5. Hiperbilirubinemia
Bayi dismatur lebih sering mendapat penyakit ini dibandingkan dengan bayi yang sesuai
dengan masa kehamilannya. Hal ini disebabkan gangguan pertumbuhan hati.
25
DAFTAR PUSTAKA
Antonius et al. 2009. Pedoman Pelayanan Medis. Meningitis Bakterialis. Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
26
Arydina et al. 2014. Bacterial Meningeal Score (BMS) Sebagai Indikator Diagnosis Meningitis
Bakterialis di RSUP Dr. Sardjito. Yogyakarta. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada.
Etika, Risa, Dkk. 2010. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Surabaya: Divisi Neonatologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo.
George et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta. EGC.
Hasan R, Alatas H. Perinatologi. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak 3; edisi ke-4. Jakarta : FKUI,
1985;1051-7.
HTA Indonesia. 2004. Tatalaksana Ikterus Neonatorum.
Kopelman,
Arthur
E.,
MD.
Respiratory
Distress
Syndrome.
http://www.msdmanuals.com/home/children-s-health-issues/problems-innewborns/respiratorydistress-syndrome. (diakses 31 Mei 2016)
Nur.A., dkk.2010. Pemberian Surfaktan Pada Bayi Premature Dengan Respiratory Distress
Syndrome. Lab/ SMF ilmu kesehatan Anak Fk. Unair.
Pudjiadi, Antonius H, dkk. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jilid
2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Sholeh K, Ari Y, Rizalya D, Gatot IS, Ali U. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Edisi pertama.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Waldo E Nelson, MD et al. 2000. Ilmu Kesehatan Anak edisi 15. Jakarta: EGC.
Wiknjosastro H, Saifuddin AB. Bayi Berat Lahir Redah. Dalam: Ilmu Kebidanan; edisi ke-3.
Jakarta : yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002;771-83.
27