Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Unsur-Unsur Belajar
Unsur-unsur belajar adalah faktor-faktor yang menjadi indikator keberlangsungan proses
belajar. Cronbach sebagai penganut aliran behaviorisme (1954:49-50) menyatakan dalam
Sukmadinata (2004:157) dalam Suyono & Hariyanto (2012:126) adanya tujuh unsur utama
dalam proses belajar, yang meliputi:
1.

Tujuan. Tujuan ini muncul karena adanya sesuatu kebutuhan. Perbuatan belajar atau

pengalaman belajar akan efektif bila diarahkan kepada tujuan yang jelas dan bermakna bagi
individu.
2.

Kesiapan. Agar mampu melaksanakan perbuatan belajar dengan baik, anak perlu

memiliki kesiapan, baik kesiapan fisik, psikis maupun kesiapan yang berupa kematangan
untuk melakukan sesuatu yang terkait dengan pengalaman belajar.
3.

Situasi. Yang dimaksud situasi belajar ini adalah tempat, lingkungan sekitar, alat dan

bahan yang dipelajari, guru, kepala sekolah, pegawai administrasi, dan seluruh warga sekolah
lain.
4.

Interpretasi. Anak akan melakukan interpretasi yaitu melihat hubungan diantara

komponen-komponen situasi belajar, melihat makna dari hubungan tersebut dan


menghubungkannya dengan kemungkinan pencapaian tujuan.
5.

Respon. Dari hasil interpretasi dalam pencapaian tujuan belajar, maka anak akan

membuat respon. Respon ini dapat berupa usaha yang terencana dan sistematis, baik juga
berupa usaha coba-coba, (trial and error).
6.

Konsekuensi. Konsekuensi ini dapat berupa hasil positif (keberhasilan) maupun hasil

negatif (kegagalan) sebagai konsekuensi respon yang dipilih siswa.


7.

Reaksi terhadap kegagalan. Kegagalan dapat menurunkan semangat dan motivasi usaha

belajar siswa. Namun, dapat juga membangkitkan siswa karena dia mau belajar dari
kegagalannya.

2.2 Prinsip Umum Belajar


Sebagai calon guru atau pembimbing seharusnya sudah dapat menyusun sendiri
prinsip-prinsip belajar, yaitu prinsip belajar yang dapat dilaksanakan dalam situasi dan
kondisi yang berbeda, dan oleh setiap siswa secara individual. Berikut ini akan
dipaparkan beberapa prinsip umum dalam belajar yang sudah dikenal oleh para calon
guru.
1. Berdasarkan prasyarat yang diperlukan untuk belajar
a. Dalam belajar, setiap siswa harus diusahakan memberikan partisipasi aktif,
meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan instruksional.
b. Belajar harus dapat menimbulkan reinforcement dan motivasi yang kuat pada
siswa untuk mencapai tujuan instruksional.
c. Belajar memerlukan lingkungan yang menantang agar anak dapat
mengembangkan kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan efektif.
d. Belajar memerlukan adanya interaksi siswa dengan lingkungannya.
2. Sesuai hakikat belajar
a. Belajar merupakan proses yang continue (berkelanjutan), maka di dalam
praktiknya harus dilakukan secara perlahan, tahap demi tahap agar tercapai
perkembangan yang sempurna.
b. Belajar adalah proses organisasi, adaptasi, eksplorasi, dan discovery (
c. Belajar adalah proses kontinguitas (hubungan antara pengertian yang satu
dengan pengertian yang lain), sehingga mendapatkan pengertian yang
diharapkan. Stimulus yang diberikan menimbulkan respon yang diharapkan.
3. Sesuai materi atau bahan yang harus dipelajari
a. Belajar bersifat keseluruhan dan materi itu harus memiliki struktur, penyajian
yang sederhana, sehingga siswa mudah menangkap pengertiannya.
b. Belajar harus dapat mengembangkan kemampuan tertentu, sesuai dengan
tujuan instruksional yang harus dicapainya.
4. Syarat kebehasilan belajar
a. Belajar memerlukan sarana yang cukup, sehingga siswa dapat belajar dengan
tenang.
b. Repetisi. Dalam proses belajar perlu ulangan berkali-kali agar pengertian,
keterampilan, dan sikap bisa mendalam pada siswa.
2.3 Tipe-Tipe Belajar
Belajar memiliki beberapa tipe atau jenis. Berikut ini adalah tipe-tipe atau jenisjenis di dalam belajar.
1. Belajar bagian (part learning)

Pada umumnya, belajar bagian dilakukan oleh seseorang apabila ia


dihadapkan pada materi belajar yang bersifat luas atau ekstensif, misalnya
mempelajari sajak ataupun gerakan-gerakan motoris pada saat bermain silat.
Dalam hal ini, individu memecah seluruh materi pelajaran menjadi bagian-bagian
yang berdiri sendiri satu sama lainnya. Lawan dari cara belajar bagian adalah cara
belajar keseluruhan atau belajar global.
2. Belajar dengan wawasan (learning by insight)
Konsep ini diperkenalkan oleh W. Kohler, yaitu salah seorang tokoh
Psikologi Gestalt pada awal tahun 1971. Sebagai suatu konsep, wawasan (insight)
ini merupakan pokok utama dalam pembicaraan psikologi belajar dan proses
berfikir.Walaupun W. Kohler sendiri yang menerangkan wawasan berorientasi
pada data yang bersifat tingkah laku (perkembangan yang lembut dalam
menyelesaikan suatu persoalan dan kemudian secara tiba-tiba terjadi reorganisasi
tingkah laku), namun wawasan ini merupakan konsep yang ditentang oleh
penganut aliran neo-behaviorisme.
Menurut Gestalt, teori wawasan merupakan proses mengorganisasikan
pola-pola tingkah laku yang telah terbentuk menjadi satu tingkah laku yang ada
hubungannya dengan penyelesaian suatu persoalan. Sedangkan menurut kaum
neo-behaviorisme (C. E. Osgood), wawasan merupakan salah satu bentuk atau
wujud dari asosiasi stimulus-respon. Jadi, masalah bagi penganut neobehaviorisme ini adalah bagaimana menerangkan reorganisasi pola-pola tingkah
laku yang telah terbentuk menajdi tingkah laku yang erat hubungannya dengan
penyelesaian suatu masalah.
Dalam pertentangan tersebut, muncullah satu jawaban yang memuaskan
dari G. A. Miller yang menganjurkan behaviorisme subjektif. Menurut
pendapatnya, wawasan merupakan kreasi dari rencana penyelesaian (meta
program) yang mengontrol rencana-rencana sub-ordinasi lain (pola tingkah laku)
yang telah terbentuk.
3. Belajar diskriminatif (discriminative learning)
Belajar diskrimintaif diartikan sebagai suatu usaha untuk memilih beberapa
sifat di dalam sebuah situasi atau stimulus, kemudian menjadikannya sebagai
pedoman dalam bertingkah laku. Dengan adanya pengertian ini, maka di dalam
sebuah eksperimen, subjek diminta untuk memberi respon yang berbeda-beda
terhadap stimulus yang berbeda pula.

4. Belajar global atau keseluruhan (global whole learning)


Dalam tipe belajar ini, bahan pelajaran dipelajari secara keseluruhan secara
berulang sampai pelajar menguasainya, tipe ini merupakan lawan dari belajar
bagian. Metode belajar ini sering juga disebut metode Gestalt.
5. Belajar insidental (incidental learning)
Konsep ini bertentangan dengan anggapan bahwa belajar selalu mengarah
pada tujuan (intensional), sebab dalam belajar insidental pada individu tidak ada
sama sekali keinginan untuk belajar. Atas dasar ini, maka disusunlah perumusan
operasional untuk kepentingan penelitian. Perumusan opsional tersebut antara
lain, belajar disebut incidental bila tidak ada instruksi atau petunjuk yang
diberikan pada individu mengenai materi belajar yang akan diujikan.
Di dalam kehidupan sehari-hari, belajar insidental ini merupakan hal yang
sangat penting. Belajar insidental ini merupakan bahan pembicaraan yang sangat
menarik, karena bentuk belajar ini bertentangan dengan belajar intensional. Dari
salah satu penelitian, ditemukan bahwa dalam belajar insidental (dibandingkan
dengan belajar intensional), jumlah frekuensi materi belajar yang diperlihatkan
tidak memegang peranan penting, karena prestasi individu menurun dengan
meningkatnya motivasi.
6. Belajar instrumental (instrumental learning)
Pada belajar instrumental, reaksi-reaksi para siswa yang mereka perlihatkan
diikuti oleh tanda-tanda yang mengarah pada apakah siswa tersebut akan
mendapat hadiah, hukuman, berhasi, atau gagal.Oleh karena itu, cepat atau
lambatnya seseorang belajar dapat diatur dengan jalan memberikan pendorong
atau penggerak (reinforcement) atas dasar tingkat-tingkat kebutuhan.
Dalam hal ini, salah satu bentuk belajar instrumental yang khusus adalah
pembentukan tingkah laku. Pada bagian tersebut, individu diberi hadiah bila ia
bertingkah laku sesuai dengan yang dikehendaki, dan sebaliknya ia akan diberi
hukuman bila memperlihatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang
dikehendaki, sehingga akhirnya akan terbentuk tingkah laku tertentu.
7. Belajar intensional (intentional learning)
Belajar dalam arah tujuan, merupakan lawan dari belajar insidental.
8. Belajar laten (latent learning)
Dalam belajar laten, perubahan-perubahan tingkah laku yang terlihat tidak
terjadi secara segera, itulah sebabnya disebut laten. Tipe belajar ini dilakukan
dengan menggunakan binatang sebagai model eksperimennya. Hal tersebut

menimbulkan pembicaraan yang hangat di kalangan penganut behaviorisme,


khususnya mengenai peranan faktor penguat (reinforcement) dalam belajar..
Penganut behaviorisme menganggap bahwa faktor penguat bukanlah faktor
atau kondisi yang harus ada dalam belajar. Dalam penelitian mengenai ingatan,
belajar laten ini diakui dan dinyatakan benar-benar ada, yaitu dalam bentuk
belajar insidental.
9. Belajar mental (mental learning)
Perubahan kemungkinan tingkah laku yang terjadi tidak nyata terlihat,
melainkan hanya berupa perubahan proses kognitif, karena ada bahan yang
dipelajari. Ada atau tidak adanya belajar mental ini sangat jelas terlihat pada
tugas-tugas yang sifatnya motoris, sehingga perumusan operasional juga menjadi
sangat berbeda. Ada yang mengartikan bahwa belajar mental sebagai belajar
dengan cara melakukan observasi dari tingkah laku orang lain dan
membayangkan gerakan-gerakan orang lain.
10. Belajar produktif (productive learning)
R. Bergius (1964) memberikan arti belajar produktif sebagai belajar dengan
transfer yang maksimum. Belajar adalah mengatur kemungkinan untuk
melakukan transfer tingkah laku dari satu situasi ke situasi lain. Belajar disebut
produktif bila individu mampu mentransfer prinsip menyelesaikan satu persoalan
dalam satu situasi ke situasi lainnya.
11. Belajar verbal (verbal learning)
Belajar verbal adalah belajar mengenai materi verbal dengan melalui latihan
dan ingatan. Dasar dari belajar verbal diperlihatkan dalam eksperimen klasik dari
Ebbinghaus. Sifat eksperimen tersebut meluas dari belajar asosiatif mengenai
hubungan dua kata yang tidak bermakna sampai pada belajar dengan wawasan
mengenai penyelesaian persoalan yang kompleks dan harus diungkapkan secara
verbal.
2.4 Tahap-Tahap Belajar Kognitif
Belajar kognitif adalah belajar dengan tujuan membangun struktur kognitif siswa.
Belajar kognitif terkait dengan pemrosesan informasi dalam benak siswa. Charles M.
Reigeluth (1989) membagi tahap-tahap belajar kognitif menjadi tahap pengingatan
(memorisasi), tahap pemahaman, dan tahap penerapan.

Belajar pada tahap memorisasi disebut pula belajar menghafal (rote learning). Dalam
tahap ini pembelajar melakukan pengkodean, memberi nama atau memberikan istilah
terhadap fakta-fakta atau informasi dengan cara membuat asosiasi antara stimulus
dengan respon, misalnya nama, tanggal, kejadian, tempat atau simbol. Ini adalah contoh

fakta, Indonesia dinyatakan merdeka pada tahun 1945, tak hingga () =

1
0 . Contoh

penjelasannya jika ada pertanyaan stimulus, kapan Indonesia merdeka, maka resonnya
yaitu pada tahun 1945. Perilaku pembelajaran pada tahap ini misalnya berupa
menyatakan, menyebutkan suatu kata demi kata.
Belajar pada tahap pemahaman adalah belajar bermakna. Dalam tahap ini, pembelajar
mengaitkan gagasan yang baru dengan pengetahuan terdahulu yang relevan. Misalnya
pemahaman mengapa terjadi perang Diponegoro, tidak sekedar menghafalkankapan
terjadi perang Diponegoro. Perilaku dicontohkan dengan kemampuan siswa dalam
membandingkan dan mempertentangkan, membuat analogi, membuat simpulan,dan
melakukan elaborasi.
Belajar pada tahap penerapan terkait dengan kemampuan siswa dalam membuat
generalisasi pengetahuan kedalam situasi yang baru atau telah terjadi transfer
pengetahuan dalam belajar. Pembelajar telah mampu mengidentifikasi secara kritis halhal yang telah diketahuinya dalam situasi yang berbeda, melakukan prediksi tentang
sesuatu,

misalnya

prediksi

terhadap

kenaikan

harga

barang-barang.

Dalam

pengembangan teori pembelajaran, belajar pada tahap penerapan ini banyak menjadi
perhatian dari pakar pendidikan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Saran

Anda mungkin juga menyukai