Anda di halaman 1dari 22

PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KETIMPANGAN ANTARDAERAH

Oleh:
Ria Agustina, Wahyu Kurniana, Wahyu Kurniani dan Yeni Dwi Fitriana
Universitas Negeri Malang
Fakultas Ekonomi
Jurusan Ekonomi Pembangunan

Pada tahun 2012 ternyata Indonesia digolongkan oleh Bank Dunia sebagai negara berpenghasilan
menengah papan bawah. Posisi Indonesia ini diperkirakan akan terus bertahan hingga tahun 2020
sebelum Indonesia masuk kelompok negara berpendapatan tinggi pada 2025. Indonesia akan
diproyeksikan mencapai pendapatan perkapita sekitar US$ 14.900 pada tahun 2025, dengan penduduk
mencapai 285 juta jiwa, berkat proses industrialisasi. Proyeksi optimis ini akan menempatkan Indonesia
masuk dalam lima besar perekonomian dunia dengan PDB sebesar US$4,25 triliyun.
Bagaimana dengan tingkat dan pola pertumbuhan ekonomi Indonesia? Tingkat pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada saat krisis 1998 tercatat mengalami kontraksi hingga negatif 13,1%. Sejak itu,
Indonesia mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah dibawah 6% per tahun. Tahun 2008
perekonomian Indonesia mampu mencapai tingkat pertumbuhan mencapai 6,3%, rekor tertinggi setelah
krisis ekonomi tahun 1998. Di saat dunia terkena krisis keuangan global, ekonomi Indonesia masih
mampu tumbuh 4,5% tahun 2009.
Hanya tiga pasar yang terguncang akibat krisis 2008 yaitu pasar modal, pasar valas, dan ekspor.
Indeks Harga Saham Gabungan ( IHSG ) sempat menembus di atas 2.800, namun anjlok drastis hingga
1.111 kurs rupiah yang stabil disekitar Rp. 9.000-10.000 di era SBY sempat melemah terhadap dolar AS
hingga hampir mencapai Rp. 13.000, namun kini malah menguat sekitar Rp. 8500. Ekspor juga
mengalami penurunan hingga sekitar 30% selama januari hingga April 2009 dibandingkan tahun
sebelumnya. Penyebab goncangnya diketiga pasar ini adalah kita masih dijajah oleh para pemain
global yang seolah berperilaku seperti tangan gaib yang tidak kelihatan ( invisible hand ).
POLA PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
Pola pertumbuhan ekonomi Indonesia belum mengalami perubahan mendasar jika dilihat dari dimensi
sektoral, pengeluaran dan spasi ( Kuncoro, 2009;2012a;2012b). Dari dimensi sektoral, meskipun
mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah berkisar antara 3,5% hingga 7,7%, industri pengolahan
telah menjadi penggerak utama PDB dengan kontribusi antara 23,6% samapi 28,65%, sementara sektor
pertanian hanya menyumbang sekitar 15% sejak tahun 2000 ( lihat kurung lihat tabel 8.1) tahun 1980an
hingga sekarang, industri manufaktur adalah penggerak utama PDB dan Ekpor non migas Indonesia. Data
hingga akhir 2013 menunjukan struktur ekonomi Indonesia masih didominasi sektor industri pengolahan
sebesar ( 23,9% ), diikuti sektor pertania (14,4%), perdagangan-hotel-restoran (14,3%), pertambangan-

penggalian ( 11,2%), jasa-jasa ( 11%), dan bangunan (10%). Secara keseluruhan ke-enam sektor tersebut
mempunyai andil peranan sebesar 85% terhadap PDB.
Tabel 8.1 PDB Indonesia berdasarkan sektor (%), 1968-2013
sektor
Pertanian
Pertambangan
Manufaktur
Lainnya
PDB

1968
51,0
4,2
8,5
36,3
100

1978
30,5
17,6
10
41,9
100

1988
24,1
12,1
18,5
45,2
100

1998
17,4
8,3
23,9
45,2
100

2000
15,6
12,1
27,8
44,6
100

2004
15,4
8,6
18,3
47,7
100

2009
15,3
10,6
26,4
47,7
100

2013
14,4
11,2
23,9
50,5
100

Sumber : BPS ( 2014; CD/Data/Tabel 8.1 PDB by sektor 2004-2013


Dari dimensi pengeluaran, kontribusi masing-masing permintaan agregat terhadap pengeluaran PDB
tidak terjadi banyak perubahan : pola pertumbuhan indonesia masih bercirikan consumtion driven growth
pertumbuhan yang didominasi oleh konsumsi masyarakat. Gambar 8.1 menunjukan bahwa konsumsi
tetap mendominasi ( 55-57% dari PDB ), diikuti investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekpor bersih
( ekpor-impor ). Sumbangan terhadap PDB selama 2010 sampai 2013 tetap didominasi oleh konsumsi
masyarakat ( 55-58), diikuti investasi (24-25%), pengeluaran pemerintah ( 6-9%), dan ekpor bersih atau
ekpor-impor ( 8-12%).
Gambar 8.1 PDB Indonesia berdasarkan pengeluaran agregat (%) 2010-2013

pengeluar
an rumah
tangga

pengeluar
an
konsumsi
pemerint
ah

Investasi

Eskpor

Impor

Net
ekspor

Dari dimensi spasial, pulau jawa dan sumatra masih menjadi penyumbang terbesar PDB indonesia.
Sumbangan aktivitas ekonomi dipulau jawa dan sumatera mencapai sekitar 80% terhadap PDB indonesia.
Artinya, kawaan timur indonesia hanya menyumbang sekitar 20% terhadap ekonomi indonesia.
Masalahnya, terjadi tren ketimpangan antar provinsi dan kabupaten/kota yang cenderung meningkat pasca
otonomi daerah 2001. PDRB perkapita yang tinggi terpusat pada daerah provinsi yang kaya SDA serta
daerah yang padat penduduk ( kuncoro, 2012).
Tabel 8.2 Peranan pulau dalam pembentukan PDB Nasional (%), 2012-2014
Wilayah/pulau

2012

2013

1
Sumatera
Jawa
Bali dan nusa

2
23,74
57,65
2,51

3
23,81
57,99
2,53

Triw 1
4
23,88
57,85
2,49

tenggara
Kalimantan

9,30

8,67

8,93

2013
Triw I
5
23,83
57,78
2,54

Triw I-2014

8,52

8,45

6
23,88
58,52
2,48

Sulawesi
Maluku dan

4,74
2,06

4,82
2,18

4,71
2,13

4,90
2,43

4,72
1,95

papua
total

100,0

100,0

100,0

100,0

100,0

Sumber : BPS mei 2014


KETIMPANGAN ANTARDAERAH
Presiden SBY menyatakan bahwa pengurangan tingkat kesenjangan ekonomi rakyat indonesia harus
menjadi prioritas pemerintah kedepan. Saat membuka sidang kabinet paripurna, SBY menekankan
pengurangan kemiskinan dan kesenjangan dpaat dilakukan dengan kebijakan pemerintah dan
kepemimpinan daerah yang tepat ( kompas ,22/1/2013).
Gambar 8.2 menunjukan bagaimana ketika pertumbuhan ekonomi meningkat di Indonesia
ternyata ketimpangan pendapatan, yang diukur dengan indeks gini juga meningkat, namun kemiskinan
cenderung menurun. Dengan kata lain, makin tinggi pertumbuhan memang jumlah dan tingkat
kemiskinan cenderung menurun, namun ketimpangan antara si kaya dan miskin cenderung semakin lebar
saat pertumbuhan ekonomi semakin meningkat di indonesia selama periode 2002-2011.
Dalam studi empiris, ada dua jenis ketimpangan yang menjadi pusat perhatian. Pertama,
ketimpangan distribusi pendapatan antara golongan pendapatan masyarakat, yang diukur dengan indeks
gini dan berapa kuenasional yang dinikmati oleh 40% golongan pendapatan terendah. Ketimpangan yang
menigkat diukur dengan ketimpangan distribusi pendapatan yang makin lebar, sebagaimana tercermin
dari rasio gini yang meningkat dari 0,33 pada tahun 2002 menjadi 0,41 pada tahun 2011 ( kuncoro,
2012B), dan tetap tidak berubah hingga tahun 2012. Ironisnya penurunan kuenasional yang dinikmati
kelompok 40% penduduk termiskin justru diikuti oleh kenaikan kuenasional yang dinikmati oleh 20%
kelompok terkaya dari 42,2%.
Gambar 8.2 Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, dan Indeks Gini, 2002-2011

Kedua, ketimpangan antardaerah perlu diteliti, karena gravitasi aktivitas ekonomi indonesia masih
cenderung terkonsentrasi secara geografis kekawasan barat indonesia ( KBI ) selama lebih dari 5
dasarwasa terakhir,. Betapa tidak, data BPS hingga triwulan IV-2014 menunjukkan struktur
perekonomian indonesia secara spasial masih didominasi oleh kelompok provinsi di pulau jawa yang
memberikan kontribusi terhadap PDB sekitar 58,5%, kemudian diikuti oleh sumatera sekitar 23,9%.
Kawasan timur indonesia ( KTI ) hanya kebagian sisanya yaitu sekitar 17,6%. Dengan kata lain,
ketimpangan antar wilayah dan pulau di Indonesia terus terjadi.

Tabel 8.3 Indeks Gini dan Distribusi Pendapatan, 2002-2013


Kelompok

Megawati- Haz

SBY-Kalla

SBY-Boediono

pendapatan
40% terendah
40%

2002
20,9
36,9

2003
20,6
37,1

2004
20,8
37,1

2005
18,8
36,4

2006
19,8
38,1

2007
19,1
36,1

2008
19,56
35,67

2009
21,22*
37,54*

2010
18,05*
34,68*

2011
16,85*
34,18*

2012
16,88*
34,18*

2013
16,87*
34,09*

menengah
40% tertinggi
Indeks gini

42,2
0,32

42,3
0,32

42,1
0,32

44,8
0,36

42,2
0,33

44,8
0,37

44,77
0,35

41,24*
0,37*

45,47*
0,38*

48,42*
0,41*

48,94*
0,41*

49,04*
0,41*

Sumber : diolah dari BPS(2014)


Ketimpangan antardaerah diseluruh indonesia dapat diukur dengan indeks entropi theil,
kelemahan utama indeks lain yang mengukur konsentrasi/dispersi secara spasial adalah bahwa mereka
hanya menyajikan satu nilai tunggal pada suatu titik waktu ( kuncoro, 2013b: bab 4). Tidak seperti
indeks-indeks lain, indeks entropi memungkinkan kita untuk membuat perbandingan selama waktu
tertentu dan menyediakan secara rindi dalam sub-unit geografis yang lebih kecil. Barangkali karakteririk
yang paling signifikan dari indeks entropi adalah bahwa indeks ini daoat membedakan kensenjangan
antardaerah dan kesenjangan dalam satu daerah. Lebih khusus lagi, dalam konteks indonesia, indeks
tersebut dapat dinyatakan dalam :
N

I ( y)= ( yi ) log
i=1

yi
N

Dimana, I(y) adalah indeks entropi keseluruhan atas kesenjangan spasial indonesia, yi adalah pangsa
PDRB provinsi i terhadap total PDB indonesia, N adalah jumlah keseluruhan provinsi yang ada
diindonesia. Untuk mengukur kesenjangan spasial antar pulau di indonesia, kita dapat memilah
persamaan 8.1 kedalam :
R

I ( y )= Yr log
r=1

Yr
yi
yi/ Yr
+ Yr
log
Nr/ N r =1 i r Yr
Nr

Gambar 8.3 Total Entropi dan Trennya: Indonesia 2001-2010

Dimana Yr adalah pangsa seluruh provinsi dalam pulau r ; Nr adalah jumlah provinsi dalam pulau
r ; dan R adalah jumlah keseluruhan pulau-pulau utama di indonesia. Bagian pertama dalam persamaan
8.2 mengukur derajat kesenjangan tenaga kerja menurut pangsa pulau di indonesia, sedangkan bagian
kedua mengukur derajat perbedaan dalam pangsa provinsi dalam masaing-masing pualu, yang diberi
bobok dnegan pangsa keseluruhan pulau di indonesia. Indeks entropi , termasuk dekomposisi kedalam
kesenjangan spasial antar pulau dan dalam satu pulau, dihitung untuk 33 provinsi di indonesia dan 5 pulau
utama selama periode 2001-2010. Nilai indkes entropi yang lebih rendah berarti menunjukan adanya
kesenjangan yang rendah dan sebaliknya.
Tren indeks entropi indonesia selama 2001-2010 memperlihatkan bentuk kurva U ( lihat gambar
8.3). periode sebelum tahun 2004 memiliki pola menurun, ini mencerminkan adanya peningkatan
penyebaran pangsa PDRB provinsi di indonesia. Dengan kata lain, sampai dengan tahun 2004 terdapat
bukti bahwa konsentrasi spasial cenderung menurun. Namun pola sebaliknya terjadi antara tahun 20042007, konsentrasi spasial cenderung naik. Namun, pada tahun 2008-2010 tren indeks entropi total
indonesia kembali menurun.
Indeks entropi menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan indeks konsentrasi spasial
yang lain. Keunggulan utama indeks ini adalah bahwa suatu titik waktu, indeks ini menyediakan ukuran
derajat konsentrasi ( ataupun dispersi) distribusi spasial pada sejumlah daerah dan sub-daerah ( baca:
pulau dan provinsi atau provinsi dan kabupaten/kota) dalam suatu negara.
Faktor penyebab tren indeks entropi total dari tahun 2001-2010 berbentuk kurva U adalah
meningkatnya indeks entropi antar pulau tetapi dibarengi dengan menurunya entropi dalam pulau selama
periode 2001-2010 ( Kuncoro, 2013a;2013b). Ini mencerminkan adanya tren meningkatnya konsentrasi
spasial di beberapa pulau terutama di pulau-pulau KBI, khususnya Jawa dan Sumatera. Sedangkan, tren
indeks entropi dalam suatu pulau cenderung menurun. Menariknya, ternyata terjadi penurunan indeks
entropi dalam satu pulau secara subtansial selama periode 2001-2010. Artinya, derajat perbedaan
antarprovinsi pada setiap pulau, dilihat dari pangsa PDRB setiap provinsi cenderung menurun selama
periode tersebut.
Teori Gunnar Myrdal menekankan proses devergen yang menyebabkan ketimpangan makin
melebar. Fenomena ini dijelaskan oleh Myrdal sebagai akibat dari proses penyebab akumulatif

(cumulative causation=CC). Myrdal (1957) menyebut adanya dampak kurang menguntungkan


( backwash effects) untuk menjelaskan fenomena meningkatnya ketimpangan antara negara maju dan
negara sedang berkembang. Myrdal berpendapat bahwa backwash effect lebih besar dari pada dampak
penyebabnya (spead effect). Dampak penyebaran adalah dampak dari ekspansi di pusat kegiatan ekonomi
ke daerah yang relatif tertinggal melalui kenaikan permintaan produk pertanian ( misalnya bahan
pangan ), bahan baku, serta barang konsumsi yang dihasilkan oleh industri kecil inilah yang minim terjadi
di Indonesia karena: (1) produk pertanian dan industri masih banyak yang diimpor dari luar negeri: (2)
lemahnya keterkaitan antar usaha besar dan kecil di Indonesia.
Teori Myrdal tentang CC tidak menyangkal adanya kemungkinan proses konvergen akibat
dampak penyebaran. Penyebabnya adalah faktor-faktor non-ekonomi atau kelembagaan. Oleh karena
itu, analisis proses pembangunan yang hanya menekankan faktor ekonomi menjadi kurang relevan karena
faktor krlrmbagaan, historis, sosial, dan kultural juga berperan. Kendati kinerja ekonomi pascakrisis
cenderung membaik, indikator ketimpangan dan kemiskinan menunjukan bukti adanya eksklusi sosialekonomi bagi kebanyakan manusia Indonesia. Inilah pekerjaan rumah tidak hanya presiden SBY dan
KIB jilid 2, namun bagi siapapun presiden RI 2014 mendatang. Faktor kelembagaan, historis, sosisal, dan
kultural inilah yang agaknya perlu dibenahi secara lebih serius.
APAKAH HIPOTESIS KUZNETS BERLAKU DI INDONESIA?
Kuznets yang telah berjasa besar dalam memelopori analisis pola-pola pertumbuhan historis di negaranegara maju mengemukakan pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan cenderung
memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik (Kuznets, 1955). Observasi inilah
yang kemudian dikenal secara luas sebagai konsep kurva Kuznets U terbalik (Todaro,2000)
Teori kutub pertumbuhan yang dipopulerkan oleh ekonom Perroux menyatakan bahwa
pertumbuhan tidak muncul di berbagai daerah pada waktu yang sama (Perroux, 1988). Pertumbuhan
hanya terjadi di beberapa tempat yang merupakan pusat (kutub) pertumbuhan dengan intensitas yang
berbeda.
Konsentrasi aktivitas ekonomi secara sparsial dalam suatu negara menunjukan suatu proses
selektif dipandang dari dimensi geografis (Kuncoro, 2002). Betapa tidak. Di Amerika Serikat, sebagai
illustrasi, mayoritas industri manukfatur telah sekian lama terkonsentrasi pada suat lokasi yang terkenal
dengan sebutan sabuk manukfatur (manufacturing belt) sejak paruh kedua abad ke-19 (Krugman,
1991:11-4. Konsentrasi spasial yang serupa juga ditemukan di kawasan industri Axial Belt di Inggris dan
sabuk manufaktur di Jerman Ruhr (Hayter, 1995, 1998; Porter, 1998; Schmitz, 1995). Menariknya,
kebanyakan negara sedang berkembang, distribusi industri dan penduduk yang timpang mengelompok di
sekitar ibu kota negara seperti Bangkok, New Delhi, Mexico City, Sao Paulo, dan Jakarta, yang menandai
suatu sistem spasial berdasarkan akumulasi modal dan tenaga kerja dalam aglomerasi perkotaan. Kendati
demikian, fenomena ekonomi yang menarik ini ernyata masih kurang dianalisis secara mendalam.
Ironisnya, arus pemikiran ekonomi yang utama, sebelum dasawarsa 1990an, studi geografis ekonomistudi dimana dan mengapa aktivitas ekonomi berlokasi relatif amat diabaikan ( fujita, etspasial. 1999.

21-2, krugekman, 1995), dengan hanya sedikit perkecualian (misal : Chinitz, 1961;hooufer,
1936;isard,1956).
Literatur ekonomi regional dan perkotaan hingga kini masih berupaya untuk menjelaskan
mengapa aktivitas ekonomi, khususnya industri manufaktur, cenderung untuk terkonsentrasi secara
geografis dibeberapa tempat saja. Teori-teori lokasi yang tradisional berpendapat bahwa cluster
( pengelompokan ) industri muncul terutama akibat minimisasi biasya transpor atau biaya produksi
( isarde, 1956;weber,1909 ). Keterbatasan kerangka persaingan sempurna versi weber telah memunculkan
pendekatan lain, yang disebut pendekatan intedependensi lokasi ( locational interdependence ).
Pendekatan, yang mendasarkan pada teori duopoli dan mengabaikan faktor biaya, ini mencoba
menerangkan bahwa lokasi merupakan upaya perusahaan untuk menguasai areal pasar terluas lewat
mekasimisasi penjualan atau penerimaan ( ohta dan thisse, 1993). Setelah mempertimbangkan teori biaya
minimal ala weber dan teori interdependensi lokasi, greenhout mencoba memperkenalkan suata teori
umum mengenai lokasi pabrik. Ia mengatakan bahwa faktor lokasi dapat digolongkan menjadi tiga group
yaitu : permintaan, biaya, dan murni pertimbangan pribadi ( greenhout, 1955).
Ketimpangan Daerah dengan Indeks Theil
Ketimpangan pendapatan biasanya diukur oleh koefien GINI sedangkan PDRB per kapita
mencirikan tingkat perkembangan ekonomi menurut provinsi. Indeks ini pada dasarya merupakan aplikasi
konsep teori informasi dalam mengukur ketimpangan ekonomi dan konsentrasi industri
(Kuncoro;2001:27)
Tabel 8.4
Indeks Entropi Theil untuk Wilayah Sumatera 2002-201
Tahun

Aceh

Sumatera

Sumatera

Utara

Barat

Riau

Jambi

Sumatera

Bengkulu

Lampung

Selatan

Bangka

Kep.

belitun

Riau

2002
2003
2004
2005
2006

2.7273
2.477
2.2205
1.9988
2.2027

0.9703
1.1412
1.1408
1.0659
1.0806

1.1729
1.3546
1.3454
1.2931
1.3747

5.7903
3.5295
3.5071
3.2758
3.3571

1.0668
0.9693
0.973
0.93
0.9367

1.1729
1.3988
1.4318
1.4857
1.4793

0.7808
0.9494
0.9125
0.9103
0.8884

0.561
0.5953
0.572
0.503
0.5397

g
2.2155
2.8909
2.9214
2.7993
2.7481

2007
2008
2009
2010
2011
2012
Rata-rata
R-Square

1.9438
1.6269
1.4661
1.3952
1.3612
1.4089
1.8935
0.944

1.0664
1.0321
1.0723
1.1057
1.1241
1.1249
1.084
0.111

1.3659
1.3514
1.3753
1.3843
1.4011
1.403
1.3478
0.623

3.3611
3.8639
3.7162
3.6645
3.7719
3.5281
3.7832
0.412

1.0123
1.0769
1.0599
1.141
1.1821
1.1806
1.048
0.834

1.4793
1.4877
1.3965
1.4056
1.4398
1.4573
1.4144
0.633

0.8631
0.8118
0.8261
0.8137
0.8134
0.854
0.854
0.313

0.5996
0.6001
0.6996
0.7641
0.8066
0.8163
0.6416
0.908

2.6796
2.6486
2.6371
2.6928
2.7027
2.7329
2.6974
0.129

Sumber :diolah dari BPS (2013); Baktianto (2014)


Gambar Indeks Entropi Theil untuk Wilayah Sumatera, 2002 -2012

6.8669
6.1575
5.8759
6.7144
6.3829
5.9825
5.3277
5.2073
4.5215
3.9317
3.6698
5.5126
0.919

Tabel 8.4 dan Gambar 8.4 menunjukkan angka indeks ketimpangan PDRB per kapita antar
provinsi di Sumatera selama periode 2002-2012. Nilai rata-rata indeks terkecil dimiliki oleh lampung
yaitu sebesar 0.6416 dan yang terbesar dimiliki oleh Kepulauan Riau yaitu sebesar 5,5126. Angka
tersebut menunjukkan bahwa di Provinsi Lampung PDRB per kapitanya relatif merata bila dibandingkan
Provinsi lain yang lebih tinggi angka indeksnya yaitu Kepulauan Riau
Tabel 8.5

Indeks Entropi Theil untuk Wilayah Jawa dan Bali 2002-2012


Tahun
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Rata-rata
R-

DKI.
jakarta
7.5572
8.6996
8.585
7.9177
8.1482
8.0744
8.0539
8.5286
8.5951
8.7664
8.9112
8.3488
0.994

Jawa Barat
0.4758
0.5306
0.4999
0.5147
0.5682
0.5354
0.5279
0.534
0.5128
0.4965
0.4781
0.5158
0.665

Jawa Tengah
0.278
0.3631
0.362
0.3543
03979
0.3844
0.3759
0.3893
0.3851
0.3883
0.3953
0.5158
0.665

DIY
1.2183
1.1052
1.0863
0.9899
1.0206
0.9953
0.949
0.9664
0.9311
0.9405
0.9684
1.0155
0.933

Jawa timur
0.5637
0.7092
0.7152
0.6738
0.7179
0.7227
0.6898
0.7335
0.7412
0.7603
0.7895
0.7106
0.624

Banten
0.9694
1.0834
1.0149
0.8896
0.8864
0.9781
0.8828
0.8787
0.843
0.8107
0.7802
0.9107
0.731

Square

Sumber :diolah dari BPS (2013); Baktianto (2014)


Gambar Grafik Indeks Entropi Theil untuk Wilayah Jawa dan Bali 2002-2012

Bali
1.2407
1.5346
1.475
1.3683
1.313
1.358
1.3213
1.4554
1.4168
1.3729
1.3994
1.3868
0.003

Tabel 8.5 dan Gambar 8.5 menunjukkan angka indeks ketimpangan PDRB per kapita antar provinsi di
Jawa dan Bali selama periode 2002-2012. Nilai rata-rata indeks terkecil dimiliki oleh Jawa Tengah yaitu
sebesar 0.6416 dan yang terbesar dimiliki oleh DKI Jakarta yaitu sebesar 8.3488. Angka tersebut
menunjukkan bahwa di Jawa Tengah PDRB per kapitanya relatif merata bila dibandingkan Provinsi lain
yang lebih tinggi angka indeksnya yaitu DKI Jakarta
Tabel 8.6 Indeks Entropi Theil untuk Wilayah Kalimantan 2002-2012
Tahun
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Rata-rata
R-Square

Kalimantan Barat
1.0164
1.0338
1.0258
0.9096
0.9069
0.8817
0.8039
0.8278
0.8006
0.7729
0.7716
0.8865
0.928

Kalimantan Tengah
1.5817
1.6665
1.6723
1.4832
1.4968
1.4594
1.3815
1.4479
1.4292
1.4337
1.4393
1.4992
0.711

Sumber :diolah dari BPS (2013); Baktianto (2014)

Kalimantan Selatan
1.3669
1.5863
1.5118
1.3424
1.2664
1.2497
1.1877
1.2478
1.2743
1.281
1.2689
1.3258
0.565

Kalimantan Timur
12.3071
11.1668
12.2513
13.2316
12.5825
11.9871
14.1888
11.4421
11.1147
11.8713
11.7403
12.1712
0.186

Tabel 8.6 dan Gambar 8.6 menunjukkan angka indeks ketimpangan PDRB per kapita antar
provinsi di Kalimantan selama periode 2002-2012. Nilai rata-rata indeks terkecil dimiliki oleh kalimantan
Barat yaitu sebesar 0.8865 dan yang terbesar dimiliki oleh Kalimantan Timur yaitu sebesar 12.1712.
Angka tersebut menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Barat PDRB per kapitanya relatif merata bila
dibandingkan Provinsi lain yang lebih tinggi angka indeksnya yaitu Kalimantan Timur
Tabel 8.7 Indeks Entropi Theil untuk Wilayah Sulawesi 2002-2012
Tahun
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Rata-rata
R-Square

Sulawesi
Utara
1.3473
1.404
1.3563
1.289
1.2788
1.2648
1.2471
1.357
1.3263
1.3315
1.3478
1.3227
0.468

Sulawesi

Sulawesi

Sulawesi

Tengah
0.941
1.0877
1.0578
0.9686
0.949
0.9986
1.0217
1.0772
1.0797
1.1369
1.1701
1.0444
0.63

Selatan
0.6324
0.6573
0.6534
0.532
0.5565
0.5532
0.5699
0.6455
0.6859
0.7108
0.7508
0.6316
0.789

Tenggara
0.9784
0.855
0.8472
0.8482
0.8664
0.8785
0.8897
0.9563
0.9049
0.8869
0.8727
0.8895
0.07

Gorontalo
0.6389
0.6033
0.5989
0.6026
0.6261
0.6478
0.6756
0.7766
0.7808
0.7914
0.8781
0.6926
0.948

Sulawesi Barat
0.1937
0.3724
0.533
0.8105
0.8685
1.0465
0.9668
1.0654
0.9731
0.9338
0.9149
0.789
0.972

Sumber :diolah dari BPS (2013); Baktianto (2014)

Gambar 8.7 Grafik Indeks Entropi Theil untuk Kawasan Sulawasi, 2002-2012

Tabel 8.7 dan Gambar 8.7 menunjukkan angka indeks ketimpangan PDRB per kapita antar
provinsi di Sulawesi selama periode 2002-2012. Nilai rata-rata indeks terkecil dimiliki oleh Sulawesi
Selatan yaitu sebesar 0.6316 dan yang terbesar dimiliki oleh Sulawesi Utara yaitu sebesar 1,3227. Angka
tersebut menunjukkan bahwa di Provinsi Sulawesi Selatan PDRB per kapitanya relatif merata bila
dibandingkan Provinsi lain yang lebih tinggi angka indeksnya yaitu Sulawesi Utara
Tabel 8.8 Indeks Entropi Theil untuk Wilayah Nusa Tenggara Maluku - Papua 2002-2012
Tahun

NTB

NTT

Maluku

Maluku Utara

Papua

Papua

2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Rata-

0.5856
0.6738
0.7082
0.696
0.6717
0.6877
0.572
0.6906
0.6775
0.5499
0.5773
0.6446

0.3324
0.2661
0.3804
0.3162
0.3138
0.2762
0.2762
0.2878
0.2901
0.2794
0.2813
0.3026

0.6893
0.5806
0.5527
0.4863
0.469
0.4036
0.4036
0.4254
0.4268
0.4499
0.5377
0.4981

0.5867
0.5135
0.4762
0.4043
0.3811
0.821
0.5641
0.4271
0.432
0.4233
0.4336
0.4966

Barat
1.5421
1.7207
1.7944
2.2489
2.2094
2.219
2.5058
3.0979
4.1526
4.5124
4.726
2.8027

2.4164
2.1782
1.9091
2.858
2.6272
2.6851
2.3956
2.8368
2.8051
2.019
1.7725
2.4094

rata
R-

0.432

0.278

0.955

0.081

0.959

0.413

Square

Sumber :diolah dari BPS (2013); Baktianto (2014)


Gambar Indeks Entropi Theil untuk Kawasan Nusa Tenggara Maluku Papua, 2002-2012

Tabel 8.8 dan Gambar 8.8 menunjukkan angka indeks ketimpangan PDRB per kapita antar
provinsi di Sulawesi selama periode 2002-2012. Nilai rata-rata indeks terkecil dimiliki oleh Nusa
Tenggara Timur yaitu sebesar 0.3026 dan yang terbesar dimiliki oleh Papua Barat yaitu sebesar 2,8027.
Angka tersebut menunjukkan bahwa di Provinsi Nusa Tenggara Timur PDRB per kapitanya relatif merata
bila dibandingkan Provinsi lain yang lebih tinggi angka indeksnya yaitu Papua Barat.
Indeks Entropi Theil semakin membesar berarti menunjukkan ketimpangan yang semakin
membesar, bila indeksnya kecil maka ketimpangan akan semakin rendah atau kecil pula, atau dengan kata
lain semakin merata. Hal tersebut sejalan dengan Indeks Williamson. Indeks Entropi Theil tidak memiliki
batas atas atau batas bawah, hanya apabila semakin besar nilainya maka semakin timpang dan semakin
kecil semakin merata.
Pada tahun 2002 sampai 2012 tren rata-rata indeks ketimpangan seluruh provinsi di Indonesia
cenderung menurun walaupun pada tahun 2003 hingga 2005 ketimpangan naik hingga mencapai 1,8987
dan kembali turun sejak 2006 hingga 2007 yaitu 1,8825 hingga 1,8726. Penurunan serta peningkatan
ketimpangan tersebut disebabkan oleh badai krisis yang menimpa masing-masing provinsi di Indonesia.
Provinsi yang terkena dampak krisis pada umumnya adalah provinsi-provinsi metropolitan (daerah yang
lebih maju, contohnya DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Timur) dan provinsiprovinsiyang bukan metropolitan terkena dampaknya tidak terlalu besar.

Bukti Empiris Hipotesis Kuznets di Indonesia


Penelitian Baktianto (2014) mengadopsi model dari Melikhova dan Cizek (2012), yaitu hubungan antara
Indeks Entropi Theil dengan PDRB per kapita yang dinyatakan dalam bentuk:
THEILi= 2 log ( PDRB)2i + 1 log ( PDRB)i + 0 +i

Tabel: Estimasi THEIL dengan Metode Panel Least Square


Variabel

Model
305.1


(5.4)

0.99

PDRB

(4.8)
-34.79

PDRB

Adj R2
F
DW


(5.1 )
0.82
820
1.49

Koefisien

dan

diperoleh dari regresi yang dipandang sebagai dukungan atas keabsahan

hipotesis Kuznets. Titik maksimal dari kurva U-terbalik dijelaskan oleh persamaan di atas yang terjadi
pada PDRB per kapita:
1
2 2

PDBTP =10

Yang mana menurut hipotesis Kuznets merupakan titik-balik, yaitu titik ketimpangan yang mulai
menurun dengan meningkatnya pendapatan per kapita. Untuk kasus provinsi Indonesia selama periode
2002-2012, dengan

= -34,79 dan

= 0,99, maka dapat dihitung besarnya PDRB di saat titik

maksimal:
1
2 2

PDBTP =10

=10(34,79)/ 2(0,99)=1,663

Nilai maksimal Indeks Entropi Theil yang diprediksi oleh kurva U Kuznets adalah:
ET max =

12
+ 0
4 2

Untuk kasus Indonesia selama periode 2002-2012, dengan

= 305,1,

= -34,79 dan

0,99, maka dapat dihitung :


4 (0,99)
+305,1=54,2
(34,79 )2 /
2
1
ET max =
+ 0=
4 2

Jumlah

PDBTP

dan

ET max

dihitung dari hasil analisis yang dilakukan sebelumnya oleh berbagai

penulis yang tercantum dalam tabel di bawah ini:


Tabel: Hasil Ringkasan Analisis Pengujian validitas Hipotesis Kuznets di Berbagai Negara/Daerah
Periode

Jumlah

Jumlah

% data

Ginimax

PDBTP

negara/daera

pasangan

lengka

(ET max)

(PDRBTP

Referensi

h
p
)
1965-1971 60
60
0.6
57.6
642
Ahluwalia (1976)
1970-1990 75
75
0.8
62.7
2.221
Bulir (2001)
1990-2000 44
45
0.5
45
2.575
Hayami (2005)
1965-2003 82
82
0.8
46
2.570
Iradian (2009)
1970-1990 75
75
0.8
45.9
912
Lin et al. (2006
1979-2008 145
630
6.3
43.8
1.528
Melikhova dan Cizek (20012)
2002-2012 33
363
100
54.2
1.663
Baktianto (2014); Kuncoro (2014)
Keterangan: kolom pada tabel menunjukkan periode waktu data yang dianalisis, jumlah atau provinsi yang dianalisis, jumlah
sampel (mencocokkan pasangan indeks GINI/Theil dan PDRB per kapita), presentase data lengkap sekitar 10.000 pasangan)

yang ditunjukkan oleh jumlah sampel yang digunkan dalam analisis, nilai maksimum

dan posisi titik balik

PDBTP

GINI max dari hasil model regresi

PDRBTP dari the fitted model function.

Sumber: Disempurnakan dari Melikhova & Cizek (2012) dan Baktianto (2014)

Gambar: Hipotesis U-Terbalik di 145 negara

Sumber: Melikhova & Cizek (2012; 4)

Gambar di atas merupakan gambar hubungan antara indeks Ketimpangan dengan PDRB per
kapita di 145 negara. Apabila kurva berbentuk kecenderungan U-terbalik menunjukkan bahwa Hipotesis
Kuznets dapat dikatakan berlaku di Indonesia; namun bila berbentuk huruf U maka menunjukkan bahwa
hipotesis Kuznets tidak berlaku di Indonesia.
Tabel: rata-rata Indeks Williamson, Indeks Entropi Theil, Koefisien variasi, dan PDRB per kapita
Indonesia, 2002-2012
Tahun
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012

Indeks Williamson
0.0875
0.0774
0.0783
0.0820
0.0802
0.0788
0.0830
0.0796
0.0797
0.0803
0.0794

Indeks Entropi Theil


0.3441
0.3076
0.3163
0.3348
0.3245
0.3032
0.3447
0.3016
0.2974
0.3118
0.3063

Koefisien Variasi
1.0001
0.9469
0.9778
1.0084
0.9865
0.9523
1.0433
0.9452
0.9336
0.9686
0.9639

PDRB Perkapita
7,611,566.69
9,120,100,87
10,826,202.08
12,621,357.04
14,182,388.23
16,042,509.08
19,108,773.04
20,294,287.88
22,837,644.82
25,535,665.17
28,210,834.97

Sumber: diolah dari BPS (2013); Baktianto (2014)

Tabel tersebut merangkum berbagai macam indikator ketimpangan provinsi di Indonesia selama
2002-2012. Kendati Indeks Williamson, Theil, dan koefisien Variasi relatif beragam, namun ketimpangan

memiliki korelasi positif yang kuat. Artinya, kita dapat memilih salah satu dari ketiga indikator untuk
menunjukkan ketimpangan antar provinsi di Indonesia.
Gambar: Hubungan antara Indeks Entropi Theil dengan PDRB per kapita seluruh provinsi, 2002-2012

Keterangan:
O = data aktual

= garis tren kuadrat

Bukan dari hasil persamaan

Gambar di atas menunjukkan hubungan antara indeks ketimpangan dengan PDRB per kapita.
Hasil uji empiris di 33 provinsi Indonesia selama 2002-2012 menunjukkan bahwa kurva hubungan
ketimpangan dan pendapatan provinsi cenderung tidak berbentuk U-terbalik. Sebaliknya, kurvanya
berbentuk huruf U sehingga hipotesis Kuznets tidak dapat dikatakan berlaku di Indonesia. Artinya, makin
tinggi PDRB per kapita provinsi di Indonesia akan cenderung menyebabkan ketimpangan menurun
hingga titik tertentu; selewat titik tersebut meningkatnya PDRB per kapita akan cenderung meningkatkan
ketimpangan.
Dependen Variable: Indeks_Entropi_Theil
Equation
Quadratic

Model summary
R Square
F
.732
492.722

df1
2

df2
360

Sig.
.000

Parameter Estimates
Constant
b1
282.051
-36.337

b2
1.172

The Independent variable is Log_PDRB_perkapita


Sumber: diolah dari BPS (2013); Baktianto (2014)

Growth Vs Inequality di Kabupaten Banyumas


Dari studi mengenai wilayah Jawa Tengah yang dilakukan oleh Tim P4N UGM yang bekerja
sama dengan Bappeda provinsi Jawa Tengah pada evaluasi paruh waktu Pelita VI menyatakan bahwa
Kabupaten Banyumas menurut tipologi daerah termasuk kabupaten yang masi tertinggal atau masuk
kuadran IV, yaitu pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonominya masih di bawah dari pendapatan
per kapita dan pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah.
Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyumas sebagai salah satu indikator keberhasilan
pembangunan yang diukur dengan produk domestik regional bruto (PDRB) selama lima tahun (1996-

2000) mengalami fluktuasi, terlebih pada tahun 1998 terjadi penurunan PDRB akibat krisis ekonomi. Laju
pertumbuhan ekonomi pada tahun 1996 lebih 4%, pada tahun 1998 turun menjadi minus 6,8% walaupun
pada tahun 2000 perekonomian sudah tumbuh positif 4,03% atas dasar harga konstan tahun 1993, hal
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel: Pertumbuhan PDRB Atas Harga Konstan 1993 Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Banyumas,
1996-2000
Jawa Tengah
PDRB (000.000,00)
Pertumbuhan (%)
1996
41.862.203,72
7,3
1997
43.129.838,90
3,01
1998
38.065.273,35
-11,74
1999
39.394.513,74
3,49
2000
40.932.538,43
3,90
Rata-rata
1,192
Sumber: 1. BPS, PDRB Provinsi Jawa Tengah, beberapa terbitan
Tahun

Banyumas
PDRB (000.000,00)
1.018.612,90
1.005.339,40
983.564,13
988.804,68
1.028.604,67
Rata-rata

Pertumbuhan (%)
4,26
3,61
-6,80
0,53
4,03
1,125

2. BPS, PDRB Kabupaten Banyumas, beberapa terbitan

Pertumbuhan negatif yang terjadi di kabupaten Bnayumas maupun di Provinsi Jawa Tengah
merupakan dampak dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Dampak
krisis tersebut lebih besar melanda provinsi Jawa Tengah secara umum daripada kabupaten Banyumas,
dimana provinsi Jawa Tengah terjadi Pertumbuhan -11,74%, sedangkan di Kabupaten Banyumas hanya
-6,8%.
Perbedaan tingkat pembangunan akan membawa dampak perbedaan tingkat kesejahteraan antar
daerah yang pada akhirnya menyebabkan ketimpangan regional antar daerah semakin besar. Berdasarkan
pada latar belakang diatas, maka diduga terjadi pertumbuhan PDRB dan pelaksanaan pembangunan yang
tidak merata tiap kecamatan sesuai dengan kemampuan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing
kecamatan. Hasil studi ini dapat bermanfaat kepada kecamatan sesuai kondisi alamnya yang dapat
dikembangkan.
Subbab ini bertujuan:
1. Untuk mngklasifikasikan kecamatan di Kabupaten Banyumas berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan
PDRB per kapita.
2. Untuk menghitung ketimpangan antarkecamatan.
3. Untuk membuktikan hipotesis Kuznets tentang U-terbalik apakah berlaku di Kabupaten Banyumas.
Untuk mencapai tujuan tersebut alat yang digunakan adalah tipologi Daerah, Indeks ketimpangan
Williamson, Indeks ketimpangan entropy theil, trend dan korelasi Pearson.
POLA DAN STRUKTUR EKONOMI KABUPATEN BANYUMAS
Alat analisis tipologi daerah digunakan untuk mengetahui klasifikasi daerah berdasarkan dua indikator
utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan atau produk domestik regional bruto per kapita
daerah. Dengan tipologi daerah, kecamatan di Banyumas dibagi menjadi empat klasifikasi. Pertama,
daerah/kecamatan yang tergolong cepat maju dan cepat tumbuh adalah kecamatan Kalibagor, Banyumas,

Ajibarang, Sokaraja, Purwokerto Selatan, Purwokerto Barat, dan Purwokerto Timur. Daerah/kecamatan
tersebut umumnya maju dari segi pembangunan atau kecepatan pertumbuhan.
Kedua, daerah/kecamatan yang tergolong maju tapi tertekan adalah kecamatan Wangon,
Somagede, dan Baturaden. Daerah/Kecamatan tersebut relatif maju tetapi dalam beberapa tahun
mengalami pertumbuhan yang relatif kecil akibat tertekannya kegiatan utama kecamatan yang
bersangkutan.
Ketiga, daerah/kecamatan yang tergolong berkembang cepat adalah kecamatan Kebasen,
purwojati, Cilongok, Karanglewas, Kembaran dan Purwokerto Utara. Daerah/Kecamatan tersebut
mempunyai potensi yang besar tetapi belum diolah secara baik, sehingga meskipun pertumbuhannya
cepat tetapi pendapatan kecamatan tersebut masih dibawah pendapatan rata-rata kabupaten.
Keempat, daerah/kecamatan yang tergolong relatif tertinggal adalah Kecamatan Lumbir,
Jatilawang, Rawalo, Kemranjen, Sumpiuh, Tambak, Patikraja, Gumelar, Pekuncen, Kedungbanteng, dan
kecamatan Sumbang. Daerah/kecamatan tersebut secara ekonomis sangat tertinggal, baik dari segi
pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan per kapita.
Gambar Pola dan Struktur Perekonomian Kabupaten Banyumas Menurut Tipologi Daerah,
1993-2000

Keterangan:
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Simbol
Lb
Wg
Jtl
Rwl
Kbs
Kmj
Smp
Tbk
Smg
Klb
Bms
Ptk
Pwj
Ajb

Kecamatan
Lumbir
Wangon
Jatilawang
Rawalo
Kebasen
Kemranjen
Sumpiuh
Tambak
Somagede
Kalibagor
Banyumas
Patikraja
Purwojati
Ajibarang

No
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

Simbol
Gml
Pkc
Clk
Krlw
Kdb
Btd
Sbg
Kmb
Skj
Pwos
Pwob
Pwot
Pwou

Kecamatan
Gumelar
Pekuncen
Cilongok
Karangwelas
Kedungbanteng
Baturaden
Sumbang
Kembaran
Sokaraja
Purwokerto selatan
Purwokerto barat
Purwokerto timur
Purwokerto utara

Peta Kabupaten Banyumas Berdasar Tipologi Daerah

KETIMPANGAN EKONOMI ANTAR DAERAH


Untuk mengetahui keetimpangan pembangunan antar kecamatan yang terjadi di Kabupaten
banyumas, 1993-2000 dapat dianalisis dengan menggunakan indeks ketimpangan regional yang
dinamakan indeks ketimpangan Williamson:
2

( Y Y ) f |n
IW =
i

Dimana:
Y i = PDRB per kapita di Kecamatan i
Y = PDRB per kapita rata-rata kabupatem Banyumas
fi = jumlah penduduk di kecamatan i
n = jumlah penduduk kabupaten Banyumas
Menurut Kuncoro, konsep Entropi Theil dari distribusi pada dasarnya merupakan aplikasi konsep
teori informasi dalam mengukur ketimpangan ekonomi dan konsentrasi industri. Untuk mengukur
ketimpangan pendapatan regional bruto provinsi, Ying menggunakan indeks ketimpangan regional.
Indeks ketimpangan regional Theil tersebut dapat dibagi/diurai menjadi dua subindikasi yaitu
ketimpangan regional dalam wilayah dan ketimpangan regional antar wilayah atau regional. Rumus dari
Indeks entropi theil adalah:
I ( y )= ( y i /Y ) x log [ ( y j /Y ) / ( x j / X ) ]
Dimana:
I ( y ) = Indeks Entropi Theil
yj

= PDRB per kapita kecamtan j

Y = rata-rata PDRB per kapita Kabupaten banyumas


x j = jumlah penduduk kecamatan j

X = jumlah penduduk Kabupaten Banyumas


Besar kecilnya ketimpangan PDRB per kapita antar kecamatan memberikan gambaran tentang
kondisi dan perkembangan pembangunan di Kabupaten banyumas, untuk memberikan gambaran yang
lebih baik tentang kondisi dan perkembangan pembangunan daerah di wilayah kabupaten Banyumas,
akan dibahas pemerataan PDRB per kapita antarkecamatan yang dianalisis dengan menggunakan indeks
Ketimpangan Williamson adn indeks Entropi Theil. Indeks ketimpangan Williamson semakin kecil atau
mendekati nol menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil pula atau dengan kata lain makin merata,
dan bila semakin jauh dari nol menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar.
Tabel
Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil Kabupaten Banyumas, 1993-2000
Tahun
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Rata-rata 1
Rata-rata 2

Indeks Williamson
0,35
0,39
0,40
0,45
0,44
0,43
0,48
0,47
0,426
0,691

Indeks Entropi Theil


0,032
0,034
0,035
0,041
0,041
0,042
0,046
0,046
0,0396
-

Keterangan:
Rata-rata 1 = rata-rata Indeks Williamson Kabupaten Banyumas
Rata-rata 2 = rata-rata Indeks Williamson Provinsi Jawa Tengah Periode 1993-2000
Rendahnya nilai indeks ketimpangan PDRB per kapita antar kecamatan di Kabupaten Banyumas
dibanding indeks ketimpangan Williamson di Provinsi Jawa Tengah tersebut menunjukkan secara ratarata tingkat PDRB per kapita antar kecamatan di kabupaten Banyumas relatif lebih merata. Rendahnya
nilai indeks ketimpangan PDRB per kapita antar daerah/kecamatan, tidak berarti secara otomatis
menerangkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di kabupaten Banyumas lebih baik dibandingkan
dengan daerah/kabupaten lain di Provinsi Jawa Tengah.
Gambar Indeks Williamson Kabupaten Banyumas, 1993-2000

Indeks Entropi Theil Kabupaten Banyumas, 1993-2000

Dari hasil analisis didapatkan nilai indeks entropi theil periode tahun1993-2000 rata-rata sebesar
0,0396. Seperti pada indeks Williamson, indeks Entropi Theil juga terjadi kecenderungan peningkatan
ketimpangan dari tahun 1993 sampai tahun 2000, dimana pada tahun 1993 nilai indeks Entropi Theil
sebesar 0,032 dan pada tahun 2000 meningkat menjadi sebesar 0,046.
Indeks entropi Theil semakin membesar berarti menunjukkan ketimpangan yang semakin
membesar, bila indeksnya semakin kecil maka ketimpngan akan semakin rendah/kecil pula atau dengan
kata lain semakin merata. Hal tersebut sejalan dengan indeks ketimpangan Williamson. Indeks
ketimpangan Entropi Theil tidak memiliki batas atau batas bawah, hanya apabila semakin besar nilainya
maka semakin timpang dan semakin kecil semakin merata.
APAKAH HIPOTESIS KUZNETS BERLAKU DI KABUPATEN BANYUMAS?
Dari hasil analisis Indeks Williamson dan Entropi Theil menunjukkan terjadi kecenderungan peningkatan
ketimpangan di kabupaten Banyumas dalam periode penelitian. Kecenderungan peningkatan tersebut
belum membuktikan berlakunya hipotesis Kuznets di kabupaten Banyumas.
Hipotesis Kuznets dapat dibuktikan dengan membuat grafik antara pertumbuhan PDRB dan
indeks ketimpangan. Grafik tersebut merupakan hubungan antara pertumbuhan PDRB dengan indeks
ketimpangan Williamson maupun pertumbuhan PDRB dengan Indeks ketimpangan entropi Theil.
Gambar Kurva Hubungan antara Indeks Williamson dengan Pertumbuhan PDRB Kabupaten
Banyumas, 1994-2000

Kurva Hubungan antara Indeks Entropi Theil dengan Pertumbuhan PDRB Kabupaten Banyumas,
1994-2000

Kedua kurva tersebut menunjukkan gambar bentuk U terbalik, pada pertumbuhan awal
ketimpangan memburuk dan pada tahap-tahap berikutya ketimpangan menurun, namun pada suatu waktu
akan terjadi peningkatan ketimpangan lagi dan akhirnya akan menurun lagi sehingga dapat dikatakan
peristiwa tersebut seperti berulang kembali. Kurva yang berbentuk U terbalik itu menunjukkan bahwa
hipotesis Kuznets dapat dikatakan berlaku di Kabupaten Banyumas.
Dari hasil analisis korelasi (korelasi pearson) antara pertumbuhan PDRB dan Indeks Williamson
dan Indeks Entropi Theil didapatkan nilai -0,24 dan -0,422. Nilai negatif tersebut barangkali tidak
konsisten dengan gambar kurva diatas. Korelasi pearson menunjukkan trend linear, pada kedua gambar
kurva diatas berbentuk non linear. Kendati demikian, hasil korelasi ini kurang kuat secara statistik karena
terbukti tidak signifikan pada =10

Anda mungkin juga menyukai