Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan bawaan (kelainan kongenital) adalah kelainan yang sudah ada


sejak lahir, dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non-genetik. 1 Kematian
pada neonatus merupakan kejadian yang paling sering terjadi pada anak-anak usia
di bawah 5 tahun.2 Kelainan bawaan merupakan penyebab kematian tersering
ketiga setelah prematuritas dan gizi buruk.2 Di negara maju, 30% dari seluruh
seluruh penderita yang dirawat di rumah sakit anak terdiri dari penderita kelainan
kongenital dan akibat yang ditimbulkannya.1 Di Asia Tenggara, jumlah penderita
kelainan bawaan cukup tinggi yaitu mencapai 5%.2 Di Indonesia, prevalensi
kelainan bawaan mencapai angka 5 per 1.000 kelahiran. 3 Di Ruang Perinatologi
RSAB Harapan kita Jakarta dari tahun 1994 2005 kelainan bawaan terdapat
pada 2,55% dari seluruh bayi yang lahir.1
Banyak faktor risiko dari kelainan kongenital, di antaranya faktor umur
ibu, hormonal, radiasi, dan gizi. Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui
penyebabnya. Faktor janin dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat
menjadi faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau
hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya.2
Kelainan kongenital atau birth defect dapat berupa abnormalitas
kongenital

(kasus

terbesar),

fetal

diseases,

genetic

diseases,

retardasi

perkembangan (mental) intra uterine, dan disabilitas. Proporsi perbandingan


kelahiran dengan kecacatan dan jumlah kelahiran absolut di negara-negara
berkembang lebih besar bila dibandingkan dengan negara-negara maju. Birth
defects yang berat dapat bersifat letal, sedangkan bagi yang dapat bertahan hidup
akan mengalami disabilitas mental, fisik, auditorik atau visual. Dari data yang ada
minimal ada 3,3 juta anak balita meninggal karena birth defect tiap tahunnya. Dan
sebanyak 3,2 juta yang hidup mengalami disabilitas sepanjang hidupnya. Setiap
tahun lebih kurang 7,9 juta anak-anak (6% dari total kelahiran di dunia), lahir
1

dengan birth defect yang berat karena disebabkan faktor genetik atau partially
genetic. Ditambah lagi adanya ratusan ribu yang lahir dengan birth defect berat
sebagai akibat dari penyebab post konsepsi seperti ibu yang terpapar agen
lingkungan (teratogen) seperti alkohol, rubella, syphilis, defisiensi yodium, dan
thalassemia yang dapat membahayakan janin yang sedang berkembang.3
Kelahiran bayi dengan kelainan bawaan ini juga menimbulkan berbagai
permasalahan dalam keluarga, meliputi perasaan tertekan, malu, rasa bersalah,
serta perhatian dan pembiayaan yang lebih besar daripada anak yang lahir normal.
Sebagian besar orang tua yang mempunyai anak dengan kelainan bawaan ini tidak
mengetahui apa yang telah terjadi dan bagaimana kelanjutan hidup anak tersebut. 1
Selama ini di negara-negara dengan income sedang atau rendah hanya ada sedikit
atau bahkan tidak ada sama sekali perbaikan pada angka kematian bayi karena
birth defect, sehingga upaya-upaya surveillance, pencegahan dan promosi tentang
insidensi birth defect ini sangat perlu dikembangkan secara seksama dan segera.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi Kelainan Kongenital


Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak

lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Ilmu yang
mempelajari kelainan bawaan disebut dismorfologi.1
2.2.

Angka Kejadian
Angka kejadian kelainan kongenital berkisar 15 per 1000 kelahiran. 3 Di

Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, secara klinis ditemukan angka kejadian
kelainan kongenital sebanyak 225 bayi di antara 19.832 kelahiran hidup,
sedangkan di Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan, sebesar 48 bayi (0,33%) di antara
14.504 kelahiran bayi dan di Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada sebesar 1.64
dari 4625 kelahiran bayi. Angka kejadian dan jenis kelainan kongenital dapat
berbeda-beda untuk berbagai ras dan suku bangsa, begitu pula dapat tergantung
pada cara perhitungan besar keciInya kelainan kongenital.3
2.3.

Etiologi
Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali tidak diketahui secara

pasti. Pertumbuhan embrional dan fetal dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan.4
Etiologi kelainan bawaan dapat dibedakan menjadi:1
1.

Faktor genetik
Kelainan karena faktor genetik adalah kelainan bawaan yang disebabkan oleh

kelainan pada unsur pembawa keturunan yaitu gen. Kelainan yang disebabkan

oleh faktor genetik dikelompokkan ke dalam kelainan akibat mutasi gen tunggal,
kelainan aberasi kromosom, dan kelainan multifaktorial (gabungan genetik dan
pengaruh lingkungan).
a. Kelainan mutasi gen tunggal (single gen mutant)
Kelainan single gen mutant atau disebut juga pola pewarisan
Mendel (Mendelian) terbagi 4 macam antara lain: autosomal resesif,
autosomal dominan, x-linked recessive, x-linked dominant.
b. Gangguan keseimbangan akibat kelainan aberasi kromosom
Kelainan kromosom dibagi atas aberasi numerik dan aberasi
struktural. Kelainan pada struktur kromosom seperti delesi, translokasi,
inversi, dan lain sebagainya, ataupun perubahan pada jumlahnya (aberasi
kromosom numerik/ aneuploidi) yang biasanya berupa trisomi, monosomi,
tetrasomi, dan lain sebagainya. Kelainan bawaan berat (biasanya
merupakan anomali multipel) seringkali disebabkan aberasi kromosom.
Aberasi numerik timbul karena terjadinya kegagalan proses replikasi dan
pemisahan sel anak yang disebut juga nondisjunction. Sedangkan aberasi
struktural terjadi apabila kromosom terputus, kemudian dapat bergabung
kembali atau hilang.
2. Faktor non-genetik
Kelainan oleh faktor non-genetik dapat disebabkan oleh obat-obatan,
teratogen, dan radiasi. Teratogen adalah obat, zat kimia, infeksi, penyakit ibu,
yang berpengaruh pada janin sehingga menyebabkan kelainan bentuk atau fungsi
pada bayi yang dilahirkan.
2.4.

Embriogenesis1
Embriogenesis normal merupakan proses yang sangat kompleks.
Perkembangan pranatal terdiri dari 3 tahap yaitu:
1. Tahap

implantasi

(implantation

stage),

dimulai

pada

saat

fertilisasi/pembuahan sampai akhir minggu ketiga kehamilan.


4

2. Tahap embrio (embryonic stage), awal minggu keempat sampat


minggu ketujuh kehamilan:

Terjadi diferensiasi jaringan dan pembentukan organ definitif.

Jaringan saraf berproliferasi sangat cepat dengan menutupnya


tabung saraf (neural tube) dan fleksi dari segmen anterior
membentuk bagian-bagian otak.

Jantung mulai berdenyut, sehingga darah dapat bersirkulasi


melalui sistem vaskular yang baru terbentuk meskipun struktur
jantung belum terbentuk sempurna.

Terlihat primordial dari struktur wajah, ekstremitas dan organ


dalam.

3. Tahap fetus (fetal stage), dimulai minggu kedelapan sampai lahir. Pada
tahap ini diferensiasi seluruh organ telah sempurna, bertambah dalam
ukuran, pertumbuhan progresif struktur skeletal, muskulus dan
terutama otak.
2.5.

Embriogenesis abnormal1,4
Kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam proses embriogenesis dapat

menyebabkan terjadinya malformasi pada jaringan atau organ. Sifat dari kelainan
yang timbul tergantung pada jaringan yang terkena, penyimpangan, mekanisme
perkembangan, dan waktu pada saat terjadinya. Penyimpangan pada tahap
implantasi

dapat

merusak

embrio

dan

menyebabkan

abortus

spontan.

Diperkirakan 15% dari seluruh konsepsi akan berakhir pada periode ini.
Bila proliferasi sel tidak adekuat dapat mengakibatkan terjadinya
defisiensi struktur, dapat berkisar dari tidak terdapatnya ekstremitas sampai
ukuran daun telinga yang kecil.
Proses kematian sel yang tidak adekuat dapat menyebabkan kelainan,
antara lain sindaktili, atresia ani. Fungsi jaringan yang tidak sempurna akan
menyebabkan celah bibir dan langit-langit. Beberapa zat teratogen dapat
mengganggu perkembangan, tetapi efeknya sangat dipengaruhi oleh waktu pada
saat aktivitas teratogen berlangsung selama tahap embrio.
5

2.6.

Patogenesis
Berdasarkan patogenesisnya, kelainan kongenital dibagi menjadi:1,5
1. Malformasi
Malformasi adalah suatu proses kelainan yang disebabkan oleh
kegagalan

atau

ketidaksempurnaan

dari

satu

atau

lebih

proses

embriogenesis. Perkembangan awal dari suatu jaringan atau organ tersebut


berhenti, melambat atau menyimpang sehingga menyebabkan terjadinya
suatu kelainan struktur yang menetap. Kelainan ini mungkin terbatas
hanya pada satu daerah anatomi, mengenai seluruh organ, atau mengenai
berbagai sistem tubuh yang berbeda.
2. Deformasi
Deformasi terbentuk akibat adanya tekanan mekanik yang
abnormal sehingga mengubah bentuk, ukuran atau posisi sebagian dari
tubuh yang semula berkembang normal, misalnya kaki bengkok atau
mikrognatia (mandibula yang kecil).
3. Disrupsi
Defek struktur juga dapat disebabkan oleh destruksi pada jaringan
yang semula berkembang normal. Berbeda dengan deformasi yang hanya
disebabkan oleh tekanan mekanik, disrupsi dapat disebabkan oleh iskemia,
perdarahan atau perlekatan. Kelainan akibat disrupsi biasanya mengenai
beberapa jaringan yang berbeda. Perlu ditekankan bahwa bahwa baik
deformasi maupun disrupsi biasanya mengenai struktur yang semula
berkembang normal dan tidak menyebabkan kelainan intrinsik pada
jaringan yang terkena.
4. Displasia
Patogenesis lain yang penting dalam terjadinya kelainan kongenital
adalah displasia. Istilah displasia dimaksudkan dengan kerusakan
(kelainan struktur) akibat fungsi atau organisasi sel abnormal, mengenai
satu macam jaringan di seluruh tubuh. Sebagian kecil dari kelainan ini
terdapat penyimpangan biokimia di dalam sel, biasanya mengenai kelainan
produksi enzim atau sintesis protein. Sebagian besar disebabkan oleh
6

mutasi gen. Karena jaringan itu sendiri abnormal secara intrinsik, efek
klinisnya menetap atau semakin buruk. Ini berbeda dengan ketiga
patogenesis terdahulu. Malformasi, deformasi, dan disrupsi menyebabkan
efek dalam kurun waktu yang jelas, meskipun kelainan yang
ditimbulkannya mungkin berlangsung lama, tetapi penyebabnya relative
berlangsung singkat. Displasia dapat terus menerus menimbulkan
perubahan kelainan seumur hidup.
2.7.

Diagnosis1,5
Dalam menegakkan diagnosis postnatal, kita perlu melakukan pendekatan,

antara lain:
1. Penelaahan prenatal
Riwayat ibu, usia kehamilan, penyakit ibu seperti epilepsi, diabetes
melitus, varisela, kontak dengan obat-obatan tertentu seperti alkohol, obat
antiepilepsi, serta radiasi.
2. Riwayat persalinan
Posisi anak dalam rahim, cara lahir, status kesehatan neonatus.
3. Riwayat keluarga
Adanya kelainan bawaan yang sama atau kelainan bawaan yang
lainnya, kematian bayi yang tidak bisa diterangkan penyebabnya, serta
retardasi mental.
4. Pemeriksaan fisik
Mulai dari pengukuran sampai mencari anomali baik defek mayor
maupun minor.
5. Pemeriksaan penunjang
Sitogenetik (kelainan kromosom), analisis DNA, ultrasonografi,
organ dalam, ekokardiografi, radiografi. Pemeriksaan yang teliti terhadap
pemeriksaan fisik dan riwayat ibu serta keluarga kemudian ditunjang
dengan melakukan pemotretan terhadap bayi dengan kelainan bawaan
adalah merupakan hal yang sangat penting dibanding dengan pemeriksaan
penunjang laboratorium.
7

2.8.

Kelainan Tulang Kongenital


Ada beberapa kelainan organ tubuh yang didapat sejak lahir, salah satunya

ialah kelainan bawaan (kongenital) pada tulang. Adapun beberapa kelainan


bawaan tersebut adalah:4
1. Congenital Talipes Equino Varus (CTEV)
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) adalah deformitas
umum dimana kaki berubah/bengkok dari keadaan atau posisi normal.
Congenital Talipes Equino Varus merupakan suatu kelainan bawaan
yang sering ditemukan pada bayi baru lahir, mudah didiagnosis, tetapi
koreksi sepenuhnya sulit dilakukan. Lebih detail, CTEV ialah
deformitas forefoot adduksi dan supinasi melalui sendi midtarsal, tumit
varus pada subtalar, equinus pada ankle dan deviasi medial seluruh
kaki dalam hubungan dengan lutut (salter).4
Clubfoot

adalah

istilah

umum

yang

digunakan

untuk

menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah dari posisi


yang normal. Congenital Talipes Equino-varus (CTEV) atau biasa
disebut Clubfoot merupakan deformitas yang umum terjadi pada anakanak.5
Clubfoot sering disebut juga CTEV (Congeintal Talipes Equino
Varus) adalah deformitas yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki,
inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari
tibia (Priciples of Surgery, Schwartz).

CTEV adalah salah satu

anomali ortopedik kongenital yang paling sering terjadi seperti


dideskripsikan oleh Hippocrates pada tahun 400 SM dengan gambaran
klinis tumit yang bergeser kebagian dalam dan kebawah. Tanpa terapi,
pasien dengan clubfoot akan berjalan dengan bagian luar kakinya,
yang mungkin menimbulkan nyeri dan atau disabilitas. Clubfoot
seringkali secara otomatis dianggap sebagai deformitas equinovarus,
namun ternyata terdapat permutasi dan kombinasi lainnya, seperti

Calcaneovalgus, Equinovalgus danCalcaneovarus yang mungkin saja


terjadi.6,7
Insidens CTEV yaitu 1 dari setiap 1000 kelahiran hidup. Lebih
sering ditemukan pada bayi laki-laki daripada perempuan (2:1) dan
50% bersifat bilateral.6
Sampai saat ini masih banyak perdebatan dalam etiopatologi
CTEV. Banyak teori telah diajukan sebagai penyebab deformitas ini,
termasuk faktor genetik, defek sel germinativum primer, anomali
vascular, faktor jaringan lunak, faktor intrauterine dan faktor
miogenik. Telah diketahui bahwa kebanyakan anak dengan CTEV
memiliki atrofi otot betis, yang tidak hilang setelah terapi, karenanya
mungkin terdapat hubungan antara patologi otot dan deformitas ini.
Beberapa teori yang dikemukakan mengenai penyebab clubfoot.
Pertama, adalah kuman plasma primer merusak talus menyebabkan
flexi plantar yang berkelanjutan dan inversi pada tulang tersebut, dan
selanjutnya diikuti dengan perubahan pada jaringan lunak pada sendi
dan kompleks musculotendinous. Teori lainnya kelainan jaringan
lunak primer beserta neuromuscular akibat perubahan tulang sekunder.
Klinisnya, anak dengan CTEV mempunyai hipotrofi arteri tibialis
anterior dalam penambahan terhadap atrofi dari muscular sekitar
betis.4,6
Gambaran radiologi pada CTEV:6
- Diperlukan terutama untuk evaluasi terapi.
- Posisi AP diambil dengan kaki 30 plantar flexi & tabung (beam)
membentuk sudut 30.
- Tarik garis melalui axis memanjang talus sejajar batas medial &
melalui axis memanjang calcaneus sejajar tepi lateral. Normal sudut
talocalkaneal 20.
Pada Clubfoot normal sejajar

- Posisi lateral diambil dengan kaki dalam forced dorsi flexi. Garis
ditarik melalui axis mid longitudinal talus dan tepi bawah calcaneus.
Normalnya 40.

Gambar 1. Proyeksi kaki CTEV

Gambar 2. Gambaran radiologi CTEV


Pada clubfoot, terjadi tarikan yang kuat dari tibialis posterior dan
gastrosoleus serta fleksor hallucis longus. Ukuran otot-otot itu lebih
kecil dan lebih pendek dibandingkan kaki normal. Diujung distal
gastrosoleus terdapat peningkatan jaringan ikat yang kaya akan
kolagen, yang menyatu ke dalam tendo Achilles dan fascia profundus.
Pada clubfoot, ligamen-ligamen pada sisi lateral dan medial ankle serta
10

sendi tarsal sangat tebal dan kaku, yang dengan kuat menahan kaki
pada posisi equines dan membuat navicular dan calcaneus dalam posisi
adduksi dan inversi. Ukuran otot-otot betis berbanding terbalik dengan
derajat deformitasnya. Pada kaki pengkor yang sangat berat,
gastrosoleus tampak sebagai otot kecil pada sepertiga atas betis.
Sintesis kolagen yang berlebihan pada ligamen, tendo dan otot terus
berlangsung sampai anak berumur 3- 4 tahun dan mungkin merupakan
penyebab relaps (kekambuhan). Dibawah mikroskop, berkas serabut
kolagen menunjukkan gambaran bergelombang yang dikenal sebagai
crimp

(kerutan).

Kerutan

ini

menyebabkan

ligament

mudah

diregangkan. Peregangan ligamen pada bayi, yang dilakukan dengan


gentle, tidak membahayakan. Kerutan akan muncul lagi beberapa hari
berikutnya, yang memungkinkan dilakukan peregangan lebih lanjut.
Inilah sebabnya mengapa koreksi deformitas secara manual mudah
dilakukan. Sebagian besar deformitas terjadi di tarsus. Pada saat lahir,
tulang tarsal, yang hamper seluruhnya masih berupa tulang rawan,
berada dalam posisi fleksi, adduksi, dan inversi yang berlebihan. Talus
dalam posisi plantar fleksi hebat, collumnya melengkung ke medial
dan plantar, dan kaputnya berbentuk baji. Navicular bergeser jauh ke
medial, mendekati malleolus medialis, dan berartikulasi dengan
permukaan medial caput talus. Calcaneus adduksi dan inverse dibawah
talus.7
2. Metatarsus Primus Varus
Mencondongnya tulang metatarsal pertama ke arah garis tengah
tubuh, sehingga menghasilkan sudut 20 derajat atau lebih antara
metatarsal pertama dan kedua.4

11

Gambar 3. Metatarsus Primus Varus


3. Genu Varum dan Genu Valgum
Kelainan kaki yang banyak dialami anak balita, umumnya bukan
berupa penyakit tulang. Namun, lebih banyak berupa gangguan rotasi
atau putaran tulang yang salah, sehingga sumbu putaran bergeser dan
tidak jatuh pada titik sumbu yang semestinya. Kelainan kaki berbentuk
X dan O merupakan jenis kelainan yang paling sering ditemukan pada
anak balita.1 Kaki X (genu valgum) dan kaki O (genu varum) adalah
sejenis gangguan pertumbuhan tulang kaki yang menyebabkan
terjadinya pergeseran rotasi pada persendian antara tulang paha dan
tulang lutut. Gangguan pertumbuhan ini juga mengakibatkan sudut
yang terbentuk antara kedua tulang tersebut menjadi tidak normal.
Akibatnya, saat anak berdiri, titik beratnya tidak terletak di antara jari
kaki pertama dan ke-2 seperti yang terjadi pada kaki yang normal.
Selain membuatnya sering terjatuh dan mempengaruhi penampilannya,
kaki X dan kaki O juga akan membuat anak jadi mudah lelah kalau
berjalan dan aktivitasnya pun terbatas.5 Penyebab kelainan ini bukan
hanya karena faktor genetik, tapi juga ada sejumlah faktor lain,
seperti:4

Posisi tidur yang salah, misalnya tengkurap seperti katak. Jika


berlangsung lama, kebiasaan ini dapat mengakibatkan gangguan
rotasi dan bentuk tungkai.

Kebiasaan duduk yang salah, misalnya duduk dengan posisi kaki


membentuk huruf W.
12

Kebiasaan menggendong yang salah, misalnya saat digendong


menyamping,

kaki

anak

dibiarkan

melingkari

tubuh

dan

membentuk sudut 90 derajat.

Memakaikan

baby walker. Anak yang belum cukup kuat

menopang berat tubuhnya akan memaksakan salah satu kakinya


untuk menyangga seluruh berat tubuhnya. Akibatnya, tungkai
bawah dan pergelangan kaki saja yang terlatih, sehingga terjadi
ketidakseimbangan kekuatan otot (muscle imbalance).

Gambar 4. Gambaran radiologi Genu varum

Gambar 5. Gambaran klinis Genu Varum

13

Gambar 6. Gambaran radiologi Genu valgum


4. Congenital Constriction Band Syndrome
Congenital Constriction Band Syndrome (CCBD) merupakan suatu
kelainan kongenital yang menyebabkan malformasi kongenital anggota
gerak. Insiden CCBD terjadi pada 1 diantara 5000 sd 10.000 anak.
Akibat CCBD ini dapat menimbulkan gangguan pada sistem
neurovaskular

dibagian

ujung.

Hal

ini

dapat

menimbulkan

pembengkakan yang akan semakin diperburuk dengan proses


pertumbuhan yang sedang berlangsung. Akibat yang paling parah dari
CCBD ini adalah terjadi amputasi spontan didalam rahim sehingga
bayi lahir dalam keadaan tidak memiliki sebagian anggota badan.
Penyebab CCBD masih belum diketahui secara pasti. Namun dua teori
besar yang masih dalam perdebatan hingga saat ini masih menjadi
rujukan yaitu teori ekstrinsik dan teori intrinsik. Teori ekstrinsik
sebagai teori yang paling banyak dianut dalam memandang masalah
ini menyatakan bahwa 'free strands of amnion' merupakan materi yang
paling bertanggung jawab sebagai penyebab terjadinya sindrom ini.
Bukti-bukti yang mendukung teori ini adalah kurangnya faktor
keturunan dalam keterlibatan sindrom ini, pencitraan usg yang
memperlihatkan adanya pita amnion prenatal (prenatal amniotic
bands), keterlibatan jari2 panjang dan gambaran histologis amnion
pada pita cekik.4
14

Sementara teori intrinsik yang dikemukakan oleh Streeter


menyatakan bahwa suatu plasma germinal di subkutaneus (the
subcutaneous germ plasm) yang sering dipakai terhadap terjadinya
sindroma ini. Teori ini mengatakan bila terjadi defek pada plasma
germinal subkutaneus ini maka akan terjadi nekrosis jaringan lunak
dan kemudian terjadi proses penyembuhan dengan pembentukan
CCBD. Teori ini didukung dengan tidak ditemukannya pita amnion
prenatal pada kasus ini, adanya kerusakan vaskular semasa janin, dan
adanya infark karena emboli dari plasenta. Adanya dua teori ini yang
seolah tidak saling mendukung menunjukkan bahwa CCBD dapat
disebabkan oleh berbagai faktor.4

Gambar 7. Gambaran radiologi Congenital Constriction Band Syndrome

Gambar 8. Gambaran klinis Congenital Constriction Band Syndrome


5. Habitual Patella Dislocation
Kelainan bawaan pada letak patela (tempurung lutut) di mana tidak
berada pada tempat yang benar.1
15

Gambar 9. Gambaran radiologi Habitual Patella Dislocation

Gambar 10. Gambaran Klinis Habitual Patella Dislocation


6. Polidaktili
Polidaktili adalah kelainan pertumbuhan jari sehingga jumlah jari
pada tangan atau kaki lebih dari lima. Polidaktili adalah suatu kelainan
yang diwariskan oleh gen autosomal dominan P, sehingga orang
mempunyai tambahan jari pada satu atau dua tangan dan atau pada
16

kakinya. Yang umum dijumpai ialah terdapatnya jari tambahan pada


satu atau kedua tangan. Tempatnya jari tambahan itu berbeda-beda,
ada yang terdapat di dekat ibu jari dan ada juga yang terdapat di dekat
kelingking. Orang normal adalah homozigotik resesip pp. Pada
individu heterozigotik Pp derajat ekspresi gen dominan itu dapat
berbeda-beda sehingga lokasi tambahan jari dapat bervariasi. Bila
seorang laki-laki polodaktili heterozigotik menikah dengan seorang
perempuan normal, maka dalam keturunan kemungkinan timbulnya
polidaktili ialah 50%.8

Gambar 11. Gambaran klinis polidaktili


7. Dislokasi Panggul Kongenital
Congenital Dislocation of the Hip (CDH) atau dislokasi panggul
kongenital adalah deformitas ortopedik yang didapat segera sebelum
atau pada saat kelahiran. Kondisi ini bervariasi dari pergeseran
minimal ke lateral sampai dislokasi komplit dari caput femoris keluar
acetabulum.1
Ada tiga pola yang terlihat: (1) subluxation, caput femoris berada
di acetabulum dan dapat mengalami dislokasi parsial saat pemeriksaan;
(2) dislocatable, pinggul dapat dislokasi seluruhnya dengan manipulasi
tetapi berada pada lokasi normal pada saat bayi istirahat; (3)
dislocated, pinggul berada dalam posisi dislokasi (paling parah).

17

Congenital Dislocation of the Hip (CDH) merupakan fase


spektrum dari ketidakstabilan sendi panggul pada bayi. Dalam keadaan
normal, panggul bayi baru lahir dalam keadaan stabil dan sedikit
fleksi. Ketidakstabilan panggul berkisar 5 20% dari 1.000 kelahiran
hidup dan sebagian besar akan menjadi stabil setelah 3 minggu dan
hanya 1-2% yang tetap tidak stabil. Dislokasi panggul kongenital tujuh
kali lebih banyak pada perempuan daripada laki laki, sendi panggul
kiri lebih sering terkena dan hanya 1- 5% yang bersifat bilateral.4
Ada beberapa faktor penyebab yang diduga berhubungan dengan
terjadinya Congenital Dislocation of the Hip (CDH), antara lain:4
1. Faktor genetik
Faktor genetik pasti berperan pada etiologi, karena
dislokasi kongenital cenderung berlangsung dalam keluarga dan
bahkan

dalam

menemukan

dua

seluruh
ciri

populasi.
warisan

Wynne-

yang

dapat

Davies

(1970)

mempengaruhi

ketidakstabilan pinggul yakni sendi yang longgar merata, suatu


sifat yang dominan dan displasia acetabulum, suatu sifat poligenik
yang ditemukan pada kelompok yang lebih kecil (terutama gadis)
yang menderita ketidakstabilan yang menetap.
2. Faktor hormonal
Yaitu tingginya kadar estrogen, progesteron dan relaksin
pada ibu dalam beberapa minggu terakhir kehamilan, dapat
memperburuk kelonggaran ligamentum pada bayi. Hal ini dapat
menerangkan langkanya ketidakstabilan pada bayi prematur, yang
lahir sebelum hormon- hormon mencapai puncaknya.
Ditambahkan adalah pengamatan bahwa selama periode
neonatal, bayi relatif membawa estrogen dari ibunya. Hal ini
menenangkan ligamen di dalam tubuh. Beberapa bayi sangat
sensitif terhadap estrogen, sehingga menyebabkan ligament
panggul menjadi terlalu lemah, dan panggul tidak stabil.

18

3. Malposisi intrauterine
Terutama posisi bokong dengan kaki yang berekstensi,
dapat mempermudah terjadinya dislokasi, ini berhubungan dengan
lebih tingginya insidensi pada bayi yang merupakan anak sulung,
dimana versi spontan lebih sedikit kemungkinannya untuk terjadi.
Dislokasi unilateral biasanya mempengaruhi pinggul kiri, ini sesuai
dengan presentasi verteks biasa (occiput anterior kiri) dimana
pinggul kiri agak beradduksi.
4. Faktor pascakelahiran
Dapat membantu menetapnya ketidakstabilan neonatal dan
gangguan perkembangan acetabulum. Dislokasi sering kali
ditemukan pada orang Lapps dan orang Indian Amerika Utara yang
membedong bayinya dan menggendongnya dengan kaki merapat,
pinggul dan lutut sepenuhnya berekstensi, dan jarang pada orang
Cina Selatan dan Negro Afrika yang membawa bayi pada
punggungnya dengan kedua kaki berabduksi lebar- lebar. Ada juga
bukti dari percobaan bahwa ekstensi lutut dan pinggul secara
serentak mengakibatkan dislokasi panggul selama perkembangan
awal.
Saat kelahiran panggul, meskipun tak stabil mungkin bentuknya
normal, tetapi capsul sering merentang dan berlebih lebihan. Selama
masa kanakkanak beberapa perubahan timbul, beberapa di antaranya
mungkin menunjukkan displasia primer pada acetabulum dan/atau femur
proksimal, tetapi kebanyakan di antaranya muncul karena adaptasi
terhadap ketidakstabilan menetap dan pembebanan sendi secara abnormal.5
Caput femoris mengalami dislokasi di bagian posterior tetapi
dengan ekstensi pinggul, caput itu pertama terletak posterolateral dan
kemudian superolateral pada acetabulum. Soket tulang rawan terletak
dangkal dan anteversi. Caput femoris yang bertulang rawan ukurannya

19

normal tetapi inti tulangnya terlambat muncul dan osifikasinya tertunda


selama masa bayi.5
Caput teregang dan ligamentum teres menjadi panjang dan
hipertrofi. Di bagian superior, labrum asetabulum dan tepi kapsulnya dapat
didorong ke dalam soket oleh caput femoris yang berdislokasi, libus
fibrokartilaginosa ini dapat menghalangi usaha reduksi tertutup terhadap
caput femoris.4
Setelah mulai menyangga badan perubahan perubahan ini lebih
hebat. Acetabulum dan colum femur tetap anteversi dan tekanan dari caput
femoris menyebabkan terbentuknya suatu soket palsu di atas acetabulum
dan m. psoas, menimbulkan suatu penampilan jam pasir (hourglass). Pada
saatnya otot di sekelilingnya menyesuaikan diri dengan memendek.
Diagnosis Congenital Dislocation of the Hip (CDH) berdasarkan atas
manifestasi klinis dan pemeriksaan radiologi.4
Pemeriksaan Radiologi4
Pemeriksaan biasanya agak sulit dilakukan karena pusat osifikasi
sendi baru tampak pada bayi umur 3 bulan atau lebih sehingga
pemeriksaan ini hanya bermanfaat pada umur 6 bulan atau lebih.
Rontgen Pelvis4
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan indeks acetabuler,
garis horizontal Hilgenreiner, garis vertikal Perkin serta garis arkuata dari
Shenton.

20

Gambar 12. Gambaran radiologi CDH


8.

Amputasi Kongenital
Amputasi Kongenital (Missing Limbs) adalah suatu keadaan
dimana bayi baru lahir tidak memiliki sebuah lengan atau sebuah
tungkai

atau

bagian

dari

lengan

maupun

tungkai.

Penyebabnya tidak diketahui. Pemakaian talidomid sebagai obat untuk


mengatasi morning sickness pada wanita hamil, diduga merupakan
penyebab terjadinya kelainan ini.4
9.

Osteogenesis Imperfekta
Osteogenesis Imperfekta adalah suatu keadaan dimana tulang
tulang menjadi rapuh secara abnormal.
merupakan suatu penyakit keturunan.

Osteogenesis imperfekta
Penyakit ini terjadi akibat

adanya kelainan pada jumlah atau struktur kolagen tipe I, yang


merupakan bagian penting dari tulang.
ditemukan pada 1 diantara 20.000 bayi.

Osteogenesis imperfekta
Tulang mudah patah

sehingga bayi biasanya terlahir dengan banyak tulang yang patah.


Selama persalinan berlangsung, bisa terjadi trauma kepala dan
perdarahan otak karena tulang tengkorak sangat lembut, bayi bisa
meninggal dalam beberapa hari setelah lahir.1

21

Trias osteogenesis imperfekta terdiri dari:1


1. Tulang yang rapuh
2. Gangguan pendengaran
3. Blue scleare (bagian putih mata tampak kebiruan)
Tetapi tidak semua penderita memiliki blue sclare maupun
gangguan pendengaran. Semua penderita memiliki tulang yang
rapuh, tetapi tidak selalu terjadi patah tulang.
Rontgen tulang bisa menunjukkan adanya tanda-tanda patah tulang
multipel. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tes kolagen pada biopsi
kulit. Osteogenesis imperfekta yang berat dapat dilihat pada
pemeriksaan USG yang dilakukan pada kehamilan 16 minggu. Untuk
mencegah terjadinya kelainan bentuk, setiap patah tulang harus segera
diperbaiki. Gizi yang baik dan latihan yang teratur bisa membantu
meningkatkan kekuatan tulang dan otot. Terapi dan rehabilitasi fisik
juga bisa dilakukan. Berenang merupakan olah raga yang baik sekali
bagi penderita osteogenesis imperfekta. Tindakan pembedahan terdiri
dari pemasangan batang logam pada tulang agar tulang lebih kuat dan
untuk mencegah terjadinya kelainan bentuk.

Beberapa penderita

mungkin memerlukan bantuan braces atau tongkat penyangga.1,5

Gambar 13. Gambaran radiologi Osteogenesis Imperfekta


22

BAB III
KESIMPULAN
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi
yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan bawaan dapat
dikenali sebelum kelahiran, pada saat kelahiran atau beberapa tahun kemudian
setelah kelahiran. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelainan kongenital
atau cacat bawaan pada neonatus yaitu kelainan genetik dan kromosom, faktor
genetik, faktor infeksi, faktor obat, faktor umur ibu, faktor hormonal, faktor
radiasi, faktor gizi, dan faktor-faktor lainnya. Kelainan kongenital tulang yang
biasanya terjadi pada neonates dan anak yaitu CTEV, Metatarsus Primus Varus,
Genu Varus, Genu Valgum, Congenital Constriction Band Syndrome, Habitual
Patella

Dislocation,

Polidaktili,

Amputasi

Kongenital

dan

Osteogenesis

Imperfekta.
Kelainan kongenital dapat berupa kelainan kongenital yang memerlukan
tindakan bedah, kelainan kongenital bersifat medik, dan kelainan kongenital yang
memerlukan koreksi kosmetik. Kelainan kongenital atau cacat bawaan tidak dapat
dicegah, melainkan resiko terjadinya dapat dikurangi dengan tidak mengkonsumsi
alkohol, menghindari rokok , obat terlarang, makan makanan yang bergizi,
olahraga teratur, menjalani vaksinasi, melakukan pemeriksaan prenatal dengan
rutin, dan menghindari zat-zat berbahaya lainnya.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Indrasanto E, Effendi SH. Pendekatan Diagnosis Kelainan Bawaan


menurut Klasifikasi European Registration of Congenital Anomalies
(EUROCAT). Dalam: Buku Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI. 2008. 41-70.
2. WHO. Major causes of death in neonates and children under five in the
world. 2004.
3. Wiziyanti E. Angka Kelainan Kongenital di RSUP dr. Sardjito Yokyakarta
tahun 2004-2007. Surakarta: Skripsi FK Universitas Muhammadiyah.
2009.
4. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 3. Jakarta: PT.
YarsifWatampone. 2009.
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 3.
Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 2007.
6. Patel M. Congenital Talipes Equino Varus. Melbourne. 2011 [Diakses
pada

Februari

2013].

Diakses

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1237077-overview
7. Astira EF. Congenital Talives Equino Varus. Jakarta. 2011 [Diakses pada
2 Februari 2013]. Diakses dari: http://www.scribd.com/doc/68327926/ctev
8. Suryo. Polidaktili dalam Genetika Manusia. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. 2003.

24

Anda mungkin juga menyukai