Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Al-Quran merupakan kalamullah yang Allah wahyukan kepada Nabi
Muhammad Saw. melalui malaikat Jibril. Di dalam kitab suci ini terangkum
berbagai kekuasaan Allah tentang segala yang ada di bumi maupun di langit.
Kitab suci Al-quran merupakan kitab terakhir dan penyempurna bagi kitab-kitab
sebelumnya, sehingga kaedah dalam membaca dan menjaganya pun telah Allah
atur dan benar-benar harus diperhatikan.
Dari sini sangat penting kita mendalami pengetahuan tentang Ilmu Tajwid
(kaedah serta cara-cara membaca Al-Quran) dan wajib kiranya kita memelihara
bacaan al-Quran dari kesalahan dan perubahan serta memelihara lisan (mulut) dari
kesalahan membaca.
Sama halnya dengan Al-Quran, Ilmu Tajwid (kaedah serta cara-cara
membaca Al-Quran) juga berkembang secara bertahap sejak zaman Khulafa ArRasyidin sampai pada zaman modern seperti sekarang ini1. Tentunya dalam
perkembangan Ilmu Tajwid dari zaman Khulafa Ar-Rasyidin sampai pada zaman
modern, ada perawi-perawi dan pencetus perkembangan Ilmu Tajwid tersebut.
1.2
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Rumusan Masalah
Pengertian Al-Quran
Cara-cara Al-Quran Diturunkan
Hikmah Diturunkannya Al-Quran Secara Berangsur-angsur
Pengertian Ilmu Tajwid
Sejarah Ilmu Tajwid
Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid

BAB II
PEMBAHASAN
2.1Al-Quran
2.1.1

Pengertian Al-Quran

1 RS Abdul Aziz, Tafsir Ilmu Tafsir (1991: 49)

Menurut pendapat orang yang berpendapat paling kuat yang dikemukakan


Dr. Subhi Al Salih berarti bacaan asal kata Al-Quran, quran itu berbentuk masdar
dengan arti islam maful yaitu maqru (dibaca).
Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat AlQur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
Sesungguhnya mengumpulkan Al-Quran (di dalam dadamu) dan
(menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena
itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan}
bacaannya
Dengan definisi kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain nabi
Muhammad S.AW tidak dinamakan taurat seperti yang diturunkan kepada nabi
Isa a.s demikian pula kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad
S.A.W2.
2.1.2Cara-cara Al-Quran Diturunkan
Nabi Muhammad S.AW. dalam hal menerima wahyu mengalami
bermacam-macam, cara dan keadaan diantaranya:
1.

Malaikat memasukkan wahyu itu kedalam hatinya. Dalam hal ini, Nabi saw

tidak melihat sesuatu apapun, hanya beliau merasa bahwa itu sudah berada saja
dalam kalbunya. Mengenai hal ini, Nabi mengatakan: Ruhul qudus
mewahyukan kedalam kalbuku, (lihat surat (42) Asy Syuura ayat (51).
2. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi berupa seorang laki-laki yang
mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal benar
akan kata-kata itu.
3. Wahyu datang kepadanya seperti gemerincingnya lonceng. Cara inilah yang
amat berat dirasakan oleh Nabi. Kadang-kadang pada keningnya berpancaran
keringat, meskipun turunnya wahyu dimusim dingin yang sangat. Kadang-kadang
unta beliau terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat, bila wahyu itu
turun ketika beliau sedang mengendarai unta. Diriwayatkan oleg Zaid bin Tsabit:
Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah. Aku lihat
2 Abduh Zulfika akaha, Al-Quran dan Qiroat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), hal. 44

Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh demam yang
keras dan keringatnya bercucuran seperti permata. Kemudian setelah selesai
turunnya wahyu, barulah beliau kembali seperti biasa.
4. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi, tidak berupa seorang laki-laki
seperti keadaan nomor 2, tetapi benar-benar seperti rupanya yang asli. Hal ini
tersebut dalam Al Quran surat (53) An Najm ayat 13 dan 14 :

Artinya: Sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada kali yang lain


(kedua). Ketika (ia berada) di Sidratulmuntaha.
2.1.3

Hikmah Diturunkanya Al-Quran secara berangsur-angsur


Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa Al-Quran diturunkan secara

berangsur-angsur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari, tentunya mengandung


hikmah. Adapun hikmah Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur itu ialah :
1. Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan. Orang akan enggan
melaksanakan suruhan dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu
diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh Bukhari dari riwayat
Aisyah ra.
2. Diantara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan
kemaslahatan. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya Al-Quran diturunkan
sekaligus. (Ini menurut pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).
3. Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan
lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
4. Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menanyakan
mengapa Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, sebagaimana tersebut dalam AlQuran surah Al-Furqaan: 32 :
. . . . mengapakah Al-Qur'an tidak diturunkan kepadanya sekaligus . . . . ?
Kemudian dijawab di dalam ayat itu sendiri :
. . . . Demikianlah, dengan (cara) begitu Kami hendak menetapkan hatimu . . . .
Di antara ayat-ayat yang ada merupakan jawaban daripada pertanyaan atau
penolakan suatu pendapat atau perbuatan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
Abbas ra. Hal ini tidak dapat terlaksana kalau Al-Quran diturunkan sekaligus.
2.1.4

Ayat Makkiyyah dan Ayat Madaniyyah

Dilihat dari segi turunnya, maka ayat-ayat Al-Quran itu dikelompokkan


menjadi dua, yaitu:
1. Ayat-ayat Makkiyyah, ialah ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah atau
sebelum Nabi Muhammad SAW. berhijrah ke Madinah.
2. Ayat-ayat Madaniyyah, ialah ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau
Saturday, March 10, 2012 sesudah Nabi Muhammad SAW. hijrah ke
Madinah.Ayat-ayat Makkiyyah meliputi 19/30 dari isi Al-Quran seluruhnya yang
terdiri dari 86 surat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyyah mencakup 11/30 isi AlQuran yang terdiri atas 28 surat.
Adapun perbedaan antara surat makiyyah dan madaniyah yaitu:
1. Kebanyakan ayat-ayat Makiyyah memakai konteks kalimat tegas dan lugas
karena kebanyakan obyek yang didakwahi menolak dan berpaling, maka hanya
cocok mempergunakan konteks kalimat yang tegas.
2. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan mempergunakan konteks kalimat
yang lunak karena kebanyakan obyek yang didakwahi menerima dan taat.
3. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah adalah ayat-ayat pendek dan argumentatif,
karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari, sehingga konteks
ayatpun mengikuti kondisi yang berlaku.
4. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan adalah ayat-ayat pendek,
penjelasan tentang hukum-hukum dan tidak argumentatif, karena disesuaikan
dengan kondisi obyek yang didakwahi.
2.1.5

Nama-nama Al-Quran
Allah juga memberi beberapa nama lain selain dengan sebutan Al-Quran,

diantaranya:
1. Al-Kitab ( )atau Kitabullah, adalah padanan dari kata Al-Quran,
sepertitersebut dalam surat Al-Baqarah ayat 2:

Artinya: Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk


bagi mereka yang bertakwa.
2.

Al-Furqan (), artinya Pembeda, ialah yang membedakan antara yang

benar dan yang salah, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Furqan ayat 1:

Artinya: Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran)
kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh
alam.
3. Adz-Dzikru, artinya Peringatan, sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat
Al-Hijr ayat

Artinya:

Sesungguhnya

Kami-lah

yang

menurunkan

Al

Quran,

dan

Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.


2.1.6 Surat-surat dalam Al-Quran
Al-Quran terdiri dari 114 surat. Ketentuan mengenai nama dan batas tiaptiap surat serta susunan ayat-ayatnya sudah ditetapkan dan diajarkan oleh
Rasulullah SAW3.
Surat-surat yang ada pada Al-Quran bila ditinjau dari panjang pendek
diantaranya:
1. Assabiuththiwal () , maksudnya 7 surat yang panjang, yaitu:
Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Araf, Al-Anam, Al-Maidah dan Yunus.
2. Al-Miun (), maksudnya surat-surat yang berisi 100 ayat lebih, seperti
Hud,Yusuf, Mumin, dan seterusnya.
3. Al-Matsani (), maksudnya surat-surat yang berisi kurang sedikit dari 100
ayat, misalnya surat Al-Anfal, Al-Hijr, dan sebagainya.
4. Al-Mufashshal ((
) , maksudnya kelompok surat-surat pendek, seperti
Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas, dan sebagainya.
2.1.7Pembagian Al-Quran
Sejak zaman sahabat sudah ada pengelompokkan Al-Quran menjadi: 1/2,
1/3, 1/5, dan sebagainya. Pembagian tersebut sekedar untuk hafalan dan amalan
keseharian atau dalam sembahyang, namun tidak tercatat dalam lembar Al-Quran
atau dipinggirnya.Salah satu cara pembagian Al-Quran yang digunakan dewasa
ini (termasuk di Indonesia) adalah : 114 surat, dibagi menjadi 30 juz dan 554
ruku. Surat-surat panjang berisi beberap ruku sedangkan surat-surat pendek
berisi satu ruku. Tiap satu ruku diberi tanda di sebelah pinggirnya dengan huruf :
.

Adapun

pertengahan

Al
Al-Kahfi ayat 19 pada lafazh :

Quran

terdapat

pada

surat

3 Abdul Ghani Azmi Hj Idris, Drs., Mengenal Al-Quran dan Asas-Asas Ulumul Quran,
cet.1, 1999, Kuala Lumpur, Al-Hidayah Publishers.

2.1.8

Tingkatan Membaca Al-Quran

Terdapat 4 tingkatan bacaan Al Quran yaitu bacaan dari segi cepat atau
lambatnya membaca Al quran :
1.

At-Tahqiq : Bacaannya seperti tartil cuma lebih lambat dan perlahan,


seperti membetulkan bacaan huruf dari makhrajnya, menepatkan kadar bacaan
mad dan dengung. Tingkatan bacaan tahqiq ini biasanya bagi mereka yang
baru belajar membaca Al Quran supaya dapat melatih lidah menyebut huruf dan

2.

sifat huruf dengan tepat dan betul.


At-Tartil : Bacaannya perlahan-lahan, tenang dan melafazkan setiap huruf dari
makhrajnya secara tepat serta menurut hukum-hukum bacaan tajwid dengan
sempurna, merenungkan maknanya, hukum dan pengajaran dari ayat. Tingkatan
bacaan tartil ini biasanya bagi mereka yang sudah mengenal makhraj-makhraj
huruf, sifat-sifat huruf dan hukum-hukum tajwid. Tingkatan bacaan ini adalah
lebih baik dan lebih diutamakan. Terdapat 28 huruf dasar (asas/asli) di dalam AlQuran dan 2 huruf pengganti yang dikenal juga dengan nama huruf-huruf Hijaan
atau Hijaiyah. Allah SWT berfirman : Dan Kami bacakan Al-Quran itu dengan

3.

tartil (Al furqan ( 35;32) )


At-Tadwir : Bacaan yang tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, yakni
pertengahan antara tingkatan bacaan tartil dan hadar, serta memelihara hukum-

4.

hukum tajwid.
Al-Hadar : Bacaan yang dilakukan dengan tingkatan paling cepat serta
memelihara hukum-hukum bacaan tajwid. Tingkatan bacaan hadar ini biasanya
bagi mereka yang telah menghafal Al Quran, supaya mereka dapat mengulang
bacaannya dalam waktu yang singkat.
2.2

Tajwid

2.2.1

Sejarah Ilmu Tajwid


Jika dibincangkan kapan bermulanya ilmu Tajwid, maka kenyataan

menunjukkan bahwa ilmu ini telah bermula sejak dari al-Quran itu diturunkan

kepada Rasulullah SAW4. Ini kerena Rasulullah SAW sendiri diperintah untuk
membaca al-Quran dengan tajwid dan tartil seperti yang disebut dalam surat alMuzammil ayat 4.


"Bacalah al-Quran itu dengan tartil (perlahan-lahan)."
Kemudian Nabi Muhammad SAW mengajar ayat-ayat tersebut kepada
para sahabat dengan bacaan yang tartil. Sayyidina Ali r.a apabila ditanya tentang
apakah maksud bacaan al-Quran secara tartil itu, maka beliau menjawab "adalah
membaguskan sebutan atau pelafalan bacaan pada setiap huruf dan berhenti pada
tempat yang betul.
Ini menunjukkan bahwa pembacaan al-Quran bukanlah suatu ilmu hasil
dari Ijtihad (fatwa) para ulama' yang diolah berdasarkan dalil-dalil dari al-Quran
dan Sunnah, tetapi pembacaan al-Quran adalah suatu yang Taufiqi (diambil terus)
melalui riwayat dari sumbernya yang asli, yaitu sebutan dan bacaan Rasulullah
SAW.
Para sahabat r.a adalah orang-orang yang amanah dalam mewariskan
bacaan ini kepada generasi umat Islam selanjutnya. Mereka tidak akan menambah
atau mengurangi apa yang telah mereka pelajari itu, karena rasa takut mereka
yang tinggi kepada Allah SWT dan begitulah juga generasi setelah mereka.
Walau bagaimanapun, apa yang dikira sebagai penulisan ilmu Tajwid yang
paling awal ialah apabila bermulanya kesadaran perlunya Mushaf Utsmaniah yang
ditulis oleh Sayyidina Utsman itu diletakkan titik-titik kemudiannya, baris-baris
bagi setiap huruf dan perkataannya. Gerakan ini telah diketuai oleh Abu Aswad
Ad-Duali dan Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi. Apabila pada masa itu Khalifah
umat Islam memikul tugas untuk berbuat demikian ketika umat Islam
mulai melakukan-kesalahan dalam bacaan.
Ini karena semasa Sayyidina Utsman menyiapkan Mushaf al-Quran
dalam enam atau tujuh buah itu. beliau telah membiarkannya tanpa titik-titik huruf
4 Tarib Moh.Sejarah Ilmu Tajwid.http://refrensiaku-ku.blogspot.com: Diakses pada
tanggal 22 Mei 2016, Pukul 10.00.

dan baris-barisnya karena memberi keluasan kepada para sahabat dan tabiin pada
masa itu untuk membacanya sebagaimana yang mereka telah ambil dari
Rasulullah SAW sesuai dengan Lahjah (dialek) bangsa Arab yang bermacammacam. Tetapi setelah berkembang luasnya agama Islam ke seluruh tanah Arab
serta jatuhnya Roma dan Parsi ke tangan umat Islam pada tahun 1 dan 2 Hijriah,
bahasa Arab mulai bercampur dengan bahasa penduduk-penduduk yang
ditaklukkan umat Islam. Ini telah menyebabkan berlakunya kesalahan yang
banyak dalam penggunaan bahasa Arab dan begitu juga pembacaan al-Quran.
Maka al-Quran Mushaf Utsmaniah telah diusahakan untuk menghindari
kesalahan-kesalahan dalam membacanya dengan penambahan baris dan titik pada
huruf-hurufnya bagi karangan ilmu qiraat yang paling awal sepakat, yang
diketahui oleh para penyelidik ialah apa yang telah dihimpun oleh Abu 'Ubaid AlQasim Ibnu Salam dalam kitabnya "Al-Qiraat" pada kurun ke-3 Hijriah.
Akan tetapi ada yang mengatakan, apa yang telah disusun oleh Abu 'Umar
Hafs Ad-Duri dalam ilmu Qiraat adalah lebih awal. Pada kurun ke-4 Hijriah pula,
lahir Ibnu Mujahid Al-Baghdadi dengan karangannya "Kitabus Sab'ah", dimana
beliau adalah orang yang mula-mula mengasingkan qiraat kepada tujuh imam
bersesuaian dengan tujuh perbedaan dan Mushaf Utsmaniah yang berjumlah tujuh
naskah. Kesemuanya pada masa itu karangan ilmu tajwid yang paling awal,
barangkali tulisan Abu Mazahim Al-Haqani dalam bentuk qasidah (puisi) ilmu
tajwid pada akhir kurun ke-3 Hijriah adalah yang terulung.
Selepas itu lahirlah para ulama yang tampil memelihara kedua ilmu ini
dengan karangan-karangan mereka dari masa ke masa seperti Abu 'Amr Ad-Dani
dengan kitabnya At-Taysir, Imam Asy-Syatibi Tahani dengan kitabnya "Hirzul
Amani wa Wajhut Tahani" yang menjadi tonggak kepada karangan-karangan
tokoh-tokoh lain yang sezaman dan yang setelah mereka. Tetapi yang jelas dari
karangan-karangan mereka ialah ilmu tajwid dan ilmu qiraat senantiasa
bergandengan, ditulis dalam satu kitab tanpa dipisahkan pembahasannya,
penulisan ini juga diajarkan kepada murid-murid mereka. Kemudian lahir pula
seorang tokoh yang amat penting dalam ilmu tajwid dan qiraat yaitu Imam
(ulama) yang lebih terkenal dengan nama Ibnul Jazari dengan karangan beliau

yang masyhur yaitu "An-Nasyr", "Toyyibatun Nasyr" dan "Ad-Durratul


Mudhiyyah" yang mengatakan ilmu qiraat adalah sepuluh sebagai pelengkap bagi
apa yang telah dinyatakan Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya "Hirzul Amani"
sebagaiqiraat tujuh. Imam Al-Jazari juga telah mengarang karangan yang
berasingan bagi ilmu tajwid dalam kitabnya "At-Tamhid" dan puisi beliau yang
lebih terkenal dengan nama "Matan Al-Jazariah". Imam Al-Jazari telah
mewariskan karangan-karangannya yang begitu banyak berserta bacaannya, yang
kemudian menjadi ikutan dan panduan bagi karangan-karangan ilmu tajwid
dan qiraat serta bacaan al-Quran hingga hari ini.

2.2.2Sejarah Perkembangan Tajwid


Dari sejarah pula, perkembangan ilmu tajwid bermula sejak zaman
Rasulullah SAW, Rasulullah menerima wahyu dari Jibril sudah dengan bertajwid,
hanya pada masa itu tidak ditekankan hukumnya dengan terperinci dan
dibukukan. Orang yang mula-mula sekali membukukan ilmu ini ialah Imam
Al-Azim Abu Abid Qasim bin Salam pada kurun yang ke 3 Hijriah. Namun ada
pendapat lain pula mengatakan, orang yang mula-mula membukukan ilmu ini
ialah Hafs bin Umar al-Duri.
Ilmuwan sejarah juga menyatakan perkembangan ilmu tajwid di zaman
Rasulullah SAW seiring dengan perkembangan ilmu-ilmu lain. Walaupun begitu,
seluruh hukum yang berkaitan seperti hukum nun sakinah, mim sakinah, mad,
waqaf dan sebagainya belum dinamakan dan dibukukan.
Penulisan dalam ilmu tajwid sejak dulu dan sekarang tidak begitu banyak,
puncak utama ialah karena pembahasan ilmu itu sendiri yang tidak begitu meluas
dan kandungan babnya tidak banyak. Selain dari itu ia lebih tertumpu kepada
latihan amali dan jarang sekali didapati ia diajar dalam bentuk kuliah dan
perbincangan hukum semata-mata. Kitab yang pertama dalam ilmu tajwid ialah
dalam bentuk nazam (syair). Ia telah dihasilkan oleh Abu Mazahim al-Khaqani
yang wafat pada tahun 325 hijrah yaitu di akhir kurun yang ke 3 hijrah. Nazam
tersebut dianggap yang terawal dalam ilmu tajwid.

Di Malaysia, sejarah perkembangan ilmu tajwid adalah selari dengan


sejarah perkembangan Islam. Mengikut pendapat ahli sejarah, Islam mula
bertapak di Malaysia pada abad ke 15 di mana Malaka telah muncul sebagai pusat
perdangangan yang penting di Asia Tenggara. Para pedagang termasuk pedagang
Arab telah datang ke Melaka untuk berdagang. Di samping berdagang, mereka
juga menyebarkan Agama Islam. Mengikut sejarah Melayu, Raja Melaka yang
pertama yaitu Parameswara telah diIslamkan oleh Sheikh Abdul Aziz dari Mekah
pada tahun 1414 yang kemudian menikah dengan puteri Islam dari Pasai. Melalui
perkembangan Islam inilah, para mubaligh dari Arab telah mengajar al-Quran
dan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan sunnah Nabi.
Di dalam pengajaran al-Quran, ilmu tajwid diberi penekanan yang serius
agar pembacaan umat Islam betul dan mengikut apa yang telah disunahkan oleh
Rasulullah. Usaha mengajar al-Quran dijalankan melalui madrasah-madrasah,
rumah-rumah individu (tokoh imam) dijalankan oleh para mubaligh dari negeri
Arab. Mereka menjalankan pengajian al-Quran secara bersemuka bertujuan
orang yang diajar dapat membaca al-Quran dengan bertajwid, dari sinilah
bermulanya perkembangan ilmu tajwid di Malaysia.
Pada peringkat awal ramai mubaligh asing terutama dari arab dan India
datang ke Malaka untuk menyebarkan dakwah islam. Setelah beberapa lama
lahirlah pula para mubaligh yang terdiri dari anak-anak tempatan Malaka.
Mereka inilah yang meneruskan perjuangan menyebarkan islam dan pembacaan
al-Quran bertajwid kepada penduduk-penduduk tempatan dan negeri-negeri lain
di persekitaran. Konsep dakwah yang disarankan oleh islam turut mempengaruhi
faktor penyebaran Islam (Al-Quran dan Syariat Islam). Setiap individu
islambertanggungjawab menyampaikan ajaran ini kepada orang lain, telah
menyebarluaskan lagi islam di Malaysia.
Sejarah juga menyatakan bahawa Islam sampai ke Kedah pada 291 H (903
M) dengan penemuan batu nisan tertua di Tanjung Inggris. Di negeri Kelantan
pula pada tahun 577H (1181 M) dengan penemuan dinar emas di Kota Kubang
Labu, Tumpat. Penemuan Batu Bersurat di Terengganu pada 702H (1302M)
membuktikan bahawa negeri Terengganu juga menerima Islam. Ini karena

diyakini oleh ahli sejarah Islam bahawa perkembangan pengajian al-Quran dan
tajwid juga bermula dari tarikh dan tempat tersebut5.
Mengikut sejarah perkembangan ilmu tajwid, penyusun ilmu tajwid yang
pertama dalam bahasa Melayu adalah seorang ulama yang bernama Muhammad
Salih bin Ibnu Muti bin Syeikh Muhammad Salih al- Kalantani. Asal usulnya
tidak diketahui tetapi mengikut sejarah nama di akhir adalah al-Kalantani,
berkemungkinan beliau berasal dari Kelantan. (nama ini terdapat dalam sebuah
buku karya beliau).
Berdasarkan

kepada

bukunya

mengenai

ilmu

tajwid,

yang

bertajukMiratul Quran fi Tashili Marifati Ahkamit Tajwid lil Mulkil Wahhab


dihasilkan pada tahun 1193H bersamaan 1779M adalah tarikh terawal mengenai
ilmu itu yang ditulis dalam bahasa Melayu. Beliau juga telah mengambil kitab
tafsir Bahasa Melayu Turjumanul Mustafid, Karya Abdul Rauf bin Ali alFansuri yang merupakan terjemahan dan tafsir al-Quran yang pertama dalam
bahasa Melayu. Buku ilmu tajwid karya Ibnu Syeikh Abdul Muti ini telah disalin
semula oleh Tuan Guru Haji Mahmud bin Muhammad Yusuf Terengganu bermula
pada tahun 1235 H (1819) M dan disiapkan pada tahun 1265 H bersamaan 1848
M. (mengambil masa sekitar 42 tahun untuk menyiapkannya).
Terdapat juga beberapa orang ulama dari kerajaan Sambas, Indonesia yang
telah menulis ilmu tajwid dalam versi Melayu, diantaranya ialah Haji Khairuddin
ibnu Haji Qamaruddin Sambas, yang telah menulis beberapa buah buku
termasuklah ilmu tajwid tetapi tidak dinyatakan tarikhnya. Kandungannya
membincangkan ilmu tajwid secara lengkap untuk peringkat asas (Koleksi tulisan
Allahyarham Wan Mohd Shaghir Abdullah, internet 5 Mei 2008 - senin). Seorang
lagi Ulama Sambas yang menulis tajwid ialah Haji Mohd Yasin bin Al-Haji
Muhammad Saad Sambas di mana buku tajwid yang ditemui di karang oleh
beliau ialah Ilmu Tajwid.
Buku ini diselesaikan di Mekah waktu Dhuha, hari Sabtu bersamaan 20
Syawal 1285 H. Kandungannya menjelaskan tentang ilmu Tajwid al-Quran. Pada
5 Ahmad Masud Syafii, Buku Tajwid, MG Smarang, 1967, Hal 2

bagian awal ditulis dalam Bahasa Arab yang diberi makna dalam bahasa Melayu.
Bagian kedua semuanya menggunakan bahasa Melayu. Manuskrip ini diperoleh di
Pontianak Kalimantan Barat. Ia pernah dimiliki oleh salah seorang keturunan
Kerabat Diraja Kerajaan Pontianak. Tarikh Perolehan ialah pada 11 Rabiulawal
1423 H hari Jumat bersamaan 24 Mei 2002 M.
2.2.3

Pengertian Tajwid
Tajwd ( )secara harfiah bermakna melakukan sesuatu dengan elok

dan indah atau bagus dan membaguskan, tajwid berasal dari kata Jawwada (--
-- )dalam bahasa Arab. Dalam ilmu Qiraah, tajwid berarti mengeluarkan
huruf dari tempatnya dengan memberikan sifat-sifat yang dimilikinya. Jadi
ilmu tajwid adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana cara membunyikan
atau mengucapkan huruf-huruf yang terdapat dalam kitab suci al-Quran maupun
bukan.
Sebagian besar ulama mengatakan, bahwa tajwid itu adalah suatu cabang
ilmu

yang

sangat

penting

untuk

dipelajari

sebelum

mempelajari

ilmuqiraat alquran. Ilmu tajwid adalah pelajaran untuk memperbaiki bacaan


alquran. Ilmu iajwid itu diajarkan sesudah pandai membaca huruf Arab dan telah
dapat membaca alquran sekedarnya.
Adapun masalah-masalah yang dikemukakan dalam ilmu ini adalah
makharijul huruf (tempat keluar-masuk huruf), shifatul huruf (cara pengucapan
huruf), ahkamul huruf (hubungan antar huruf), ahkamul maddi wal qasr (panjang
dan pendek ucapan), ahkamul waqaf wal ibtida (memulai dan menghentikan
bacaan) dan al-Khat al-Utsmani6.
Pengertian lain dari ilmu tajwid ialah menyampaikan dengan sebaikbaiknya dan sempurna dari tiap-tiap bacaan ayat al-Quran. Para ulama
menyatakan bahwa hukum bagi mempelajari tajwid itu adalah fardhu kifayah
tetapi mengamalkan tajwid ketika membaca al-Quran adalah fardhu ain atau
wajib kepada lelaki dan perempuan yang mukallaf atau dewasa.

6 Ahmad Masud Syafii, Buku Tajwid, MG Smarang, 1967, Hal 10

Untuk menghindari kesalahpahaman antara tajwid dan qiraat, maka perlu


diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tajwid, pendapat sebagaian
ulama memberikan pengertian tajwid sedikit berbeda namun pada intinya sama
sebagaimana yang dikutip Hasanuddin.
Secara bahasa, tajwid berarti al-tahsin atau membaguskan. Sedangkan
menurut istilah yaitu, mengucapkan setiap huruf sesuai dengan makhrajnya
menurut sifat-sifat huruf yang mesti diucapkan, baik berdasarkan sifat asalnya
maupun berdasarkan sifat-sifatnya yang baru.Sebagian ulama yang lain
mendefinisikan tajwid sebagai berikut :
Tajwid ialah mengucapkan huruf (al-Quran) dengan tertib menurut yang
semestinya, sesuai dengan makhraj serta bunyi asalnya, serta melembutkan
bacaannya sesempurna mungkin tanpa belebihan ataupun dibuat-buat.
Rasulullah bersabda : "Bacalah olehmu Al-Qur'an, maka sesungguhnya ia akan
datang pada hari kiamat memberi syafaat/pertolongan ahli-ahli Al-Qur'an (yang
membaca dan mengamalkannya)." (HR. Muslim)
Rasulullah bersabda : "Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang
yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkannya kepada orang lain." (HR. Bukhori)
Sebelum mulai mempelajari ilmu tajwid sebaiknya kita mengetahui lebih dahulu
bahwa setiap ilmu ada sepuluh asas yg menjadi dasar pemikiran kita.
2.2.4Tujuan

dan

Keutamaan

mempelajari

Ilmu

Tajwid

Tujuan mempelajari ilmu Tajwid adalah agar dapat membaca ayat-ayat AlQuran secara betul (fasih) sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah saw serta
dapat memelihara lisannya dari kesalahan-kesalahan ketika membaca al-Quran 7.
Kesalahan dalam membaca Al-Quran dikategorikan dalam dua macam, yaitu:
1. Al-Lakhnu al-Jaliy (Kesalahan besar / fatal)
Adalah kesalahan dalam membaca Al-Quran yang dapat mengubah arti dan
menyalahi urf qurro. Melakukan kesalahan ini hukumnya Haram. Yang termasuk
diantaranya ialah:
- Kesalahan makhraj huruf. biasanya terjadi pada pengucapan huruf-huruf yang
7 Ahmad Masud Syafii, Buku Tajwid, MG Smarang, 1967, Hal 13

serupa seperti ain dan hamzah, kho dan ghain, dan sebagainya.
- Salah membaca mad, seperti bacaan pendek dibaca panjang atau sebaliknya.
2. Al-Lakhnu al-Khofiy (Kesalahan kecil).
Kesalahan ringan yang tidak diketahui secara umum, kecuali oleh orang yang
memiliki pengetahuan mengenai kesempurnaan membaca AlQuran.
Diantaranya:
- Hukum-hukum pembacaan seperti membaca mad wajib muttashil atau lazim
dengan dua atau tiga harakat
Tidak menerapkan kaidah ghunnah pada huruf-huruf yang seharusnya dibaca
dengan ghunnah.

2.2.5

Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid


Hukum mempelajari ilmu tajwid sebagai disiplin ilmu adalah Fardlu

kifayah atau merupakan kewajiban kolektif. artinya, mempelajari ilmu tajwid


secara mendalam tidak diharuskan bagi setiap orang, tetapi cukup diwakili oleh
beberapa orang saja. Namun, jika dalam suatu kaum tidak ada seorang pun yang
mempelajari ilmu tajwid, maka berdosalah kaum itu8.
Adapun hukum membaca alquran dengan menggunakan aturan tajwid adalah
fardlu ain atau merupakan kewajiban pribadi, karenanya apabila seseorang
membaca al Quran dengan tidak menggunakan ilmu tajwid, hukumnya berdosa.
Dalam Kitab tajwid fii ahkamit tajwid dijelaskan:
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa mempelajari ilmu tajwid hukumnya fardlu
kifayah, sementara mengamalkannya (ketika membaca alquran) hukumnya fardlu
ain bagi setiap muslim dan muslimah yang telah mukallaf.
Syeikh Ibnu Jazariy dalam syairnya mengatakan:
Membaca Al Quran dengan tajwid hukumnya wajib. siapa saja yang membaca
al Quran tanpa memakai ilmu tajwid, hukumnya dosa. karena sesungguhnya
Allah menurunkan Al Quran berikut tajwidnya. Demikianlah yang sampai
kepada kita dari Nya.
8 Ahmad Masud Syafii, Buku Tajwid, MG Smarang, 1967, Hal 16

2.2.6

Dalil dan Dasar Penyusunan Ilmu Tajwid

1. Al-Quran, surah Al-Muzammil ayat 4:


(

Artinya: Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.


2. Sabda Rasulullah saw.
-
Baguskanlah bacaan al-Quran, maka sesungguhnya membaguskan bacaan alQuran itu hiasan qiraat (bacaan). [HR. Turmudzi].
3. Dalam Sunan An-Nasai dan Ad-Darimi serta Al-Mustadrak Al-Hakim dari
Barra r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam
bersabda:



Baguskanlah Al-Quran dengan suaramu, karena suara yang bagus menambah
keindahan Al-Quran.
2.2.7

Kaidah-Kaidah Ilmu Tajwid


Hukum-hukum dalam tajwid beserta komponen ilmu tajwid yang harus

dikenal dipelajari, dipahami serta diamalkan dalam membaca Al-Quran9, antara


lain :
1. Hukum Taawuz dan Basmalah
Istiazah atau taawuz adalah melafazkan atau membunyikannya : Auzubillahi
minasy syaitaanir rajiim
cara melafazkan basmalah adalah bunyinya:
Bismillahir rahmaanir rahiim
Terdapat 2 cara membaca iatiazah, basmalah dan surat Al-Quran :
a. memutuskan istiazah (berhenti) kemudian baru membaca basmalah,
b. menyambungkan basmalah dengan surah tanpa berhenti,
Terdapat 4 cara membaca basmalah di antara dua surat. Membaca basmalah
adalah tanda awal dimulai suatu bacaan dalam surat Al-Quran. Guna dari
9 Ahmad Masud Syafii, Buku Tajwid, MG Smarang, 1967, Hal 22

membaca basmalah suatu keharusan dengan tujuan :


a. Basmalah sebagai pemisah dengan surat Al-Quran yang lain
b. Sebagai penghubung dengan awal surat Al-Quran
c. Sebagai penghubung dari kesemua surat Al-Quran
d. Menghubungkan akhir surat dengan basamalah, lalu berhenti. Namun
basamalah tidak selalu menjadi surat awal yang harus terus dibaca untuk
melanjutkan surat berikutnya. Walau bagaimana pun, tidak harus membaca
demikian karena dikhawatirkan ada yang mengganggap basmalah merupakan
salah satu ayat daripada surat yang sebelumnya.
Dalam ilmu tajwid juga dikenal ada 9 hukum bacaan yang isinya menjelaskan
bagian-bagian tanda baca dan cara melafazkannya atau pengucapannya, antara
lain :
a. Hukum nun mati dan tanwin, terdiri dari :
1. Izhar Halqi
2. Idgham
3. Idgham Bilaghunnah
4. Iqlab
5. Ikhfa haqiqi
b. Hukum mim mati
Selain hukum nun mati dan tanwin adapula hukum lainnya dalam mempelajari
dan membaca Al-Quran yakni Hukum mim mati, yang disebut hukum mim mati
jika salahsatu huruf Hijaiyah bertemu dengan huruf mim mati ()
Hukum mim mati memiliki 3 jenis, yang diantaranya adalah10 :
1. Ikhfa Syafawi ()
Apabila mim mati ( )bertemu dengan ba (), maka cara membacanya harus
dibunyikan samar-samar di bibir dan dibaca didengungkan.
Contoh: () ( ) ( )
2. Idgham Mimi ( -)
Apabila mim mati ( )bertemu dengan mim (), maka cara membacanya adalah
seperti menyuarakan mim rangkap atau ditasyidkan dan wajib dibaca dengung.
10 Ahmad Masud Syafii, Buku Tajwid, MG Smarang, 1967, Hal 23-25

Idgham mimi disebut juga idgham mislain atau mutamasilain.


Contoh : () ( )
3. Izhar Syafawi ()
Apabila mim mati ( )bertemu dengan salah satu huruf hijaiyyah selain huruf mim
( )dan ba (), maka cara membacanya dengan jelas di bibir dan mulut tertutup.
Contoh: ()( )
c. Hukum mim dan nun tasydid
Hukum mim dan nun tasydid juga disebut sebagai wajib al-ghunnah ()
yang bermakna bahwa pembaca wajib untuk mendengungkan bacaan. Maka
jelaslah yang bacaan bagi kedua-duanya adalah didengungkan. Hukum ini berlaku
bagi setiap huruf mim dan nun yang memiliki tanda syadda atau bertasydid ( dan
).
Contoh:
d. Hukum alif lam marifah
Alif lam marifah adalah dua huruf yang ditambah pada pangkal atau awal dari
kata yang bermakna nama atau isim. Terdapat dua jenis alif lam marifah yaitu
qamariah dan syamsiah.
Alif lam qamariah ialah lam yang diikuti oleh 14 huruf hijaiah, seperti:
alif/hamzah(), ba (), jim (), ha (), kha (), ain (), ghain (), fa (), qaf (
), kaf (), mim (), wau (), ha ( )dan ya (). Hukum alif lam qamariah
diambil dari bahasa arab yaitu al-qamar ( )yang artinya adalah bulan. Maka
dari itu, cara membaca alif lam ini adalah dibacakan secara jelas tanpa
meleburkan bacaannya.
Alif lam syamsiah ialah lam yang diikuti oleh 14 huruf hijaiah seperti: ta (),
tha (), dal (-), dzal (), ra (), zai (), sin (), syin (), sod (), dhod (), tho
(), zho (), lam ( )dan nun (). Nama asy-syamsiah diambil dari bahasa Arab (
)yang artinya adalah matahari. Maka dari itu, cara membaca alif lam ini
tidak dibacakan melainkan dileburkan kepada huruf setelahnya.
e. Hukum mad
Mad yang artinya yaitu melanjutkan atau melebihkan. Dari segi istilah Ulama
tajwid dan ahli bacaan, mad bermakna memanjangkan suara dengan lanjutan

menurut kedudukan salah satu dari huruf mad11. Terdapat tiga huruf mad yaitu alif,
wau, dan ya dan huruf tersebut haruslah berbaris mati atau saktah. Panjang
pendeknya bacaan mad diukur dengan menggunakan harakat.
f. Hukum ra
Hukum ra adalah hukum bagaimana membunyikan huruf ra dalam bacaan.
Terdapat tiga cara yaitu kasar atau tebal, halus atau tipis, atau harus dikasarkan
dan ditipiskan.
* Bacaan ra harus dikasarkan apabila:
1. Setiap ra yang berharakat atas atau fathah.
Contoh:
2. Setiap ra yang berbaris mati atau berharakat sukun dan huruf sebelumnya
berbaris atas atau fathah.
Contoh:
3. Ra berbaris mati yang huruf sebelumnya berbaris bawah atau kasrah.
Contoh:
4. Ra berbaris mati dan sebelumnya huruf yang berbaris bawah atau kasrah tetapi
ra tadi berjumpa dengan huruf istila12.
Contoh:

* Bacaan ra yang ditipiskan adalah apabila:
1. Setiap ra yang berbaris bawah atau kasrah.
Contoh:
2. Ra mati yang sebelumnya juga huruf berbaris bawah atau kasrah tetapi tidak
berjumpa dengan huruf istila.
Contoh:
* Bacaan ra yang harus dikasarkan dan ditipiskan adalah apabila setiap ra yang
berbaris mati yang huruf sebelumnya berbaris bawah dan kemudian berjumpa
dengan salah satu huruf istila.
Contoh:
11 Ahmad Masud Syafii, Buku Tajwid, MG Smarang, 1967, Hal 26
12 Ahmad Masud Syafii, Buku Tajwid, MG Smarang, 1967, Hal 27

Istila () : terdapat tujuh huruf yaitu kha (), sod (), dhad (), tha (),
qaf (), dan zha ().
g. Qalqalah
Qalqalah ( )adalah bacaan pada huruf-huruf qalqalah dengan bunyi seakanakan berdetik atau memantul. Huruf qalqalah ada lima yaitu qaf (), tha (), ba (
), jim (), dan dal (-). Qalqalah terbagi menjadi dua jenis:
Qalqalah kecil yaitu apabila salah satu daripada huruf qalqalah itu berbaris mati
dan baris matinya adalah asli karena harakat sukun dan bukan karena waqaf.
Contoh: ,
Qalqalah besar yaitu apabila salah satu daripada huruf qalqalah itu dimatikan
karena waqaf atau berhenti. Dalam keadaan ini, qalqalah dilakukan apabila bacaan
diwaqafkan tetapi tidak diqalqalahkan apabila bacaan diteruskan.
Contoh: ,

DAFTAR PUSTAKA
AF. Hasanuddin.1995.Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath
Hukum dalam Al-Quran.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Ahmad Masud Syafii, Buku Tajwid, MG Smarang, 1967.
Abdul Fatah El-Qadhi, Sejarah Al-Quran (Terjemahan Ismail Mohd Hassan),
cet.1, 1999, Kuala Terengganu, Penerbitan Yayasan Islam Negeri Terengganu.

Anda mungkin juga menyukai