Plato menyatakan bahwa hakikat pendidikan itu pendidikan untuk negara, pendidikan
warganegara merupakan alat untuk mempertahankan negara yang
pengalaman sejarah bangsa, pendidikan karakter sesungguhnya bukan hal baru dalam tradisi
pendidikan di Indonesia. Koesoema Doni (2011:4) menjelaskan bahwa beberapa pendidik
Indonesia modern yang kita kenal, seperti R.A. Kartini, Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Hatta,
Tan Malaka, Moh. Nasir telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai
pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan konteks dan situasi yang mereka
alami.
R.A. Kartini menyadari bahwa dalam diri bangsanya ada sesuatu yang masih perlu
dikembangkan. Kartini, meskipun pada akhirnya tetap tidak berdaya menghadapi kekuatan kultur
bangsanya sendiri, telah memberikan pondasi penting bahwa sebuah bangsa akan memiliki
karakter kalau penduduknya tidak tinggal selamanya dalam kegelapan pengetahuan, melainkan
hidup dalam terangnya pemikiran dari akal budi manusia yang terbukti telah membawa bangsabangsa lain mengenyam kemajuan. Sementara itu menurut Sutan Syahrir, baginya
keterbelakangan bangsa hanya bisa diperbaharui jika setiap penduduknya mempergunakan
kekuatan akal budi dalam mengatur tata kehidupan bersama di dalam masyarakat. Mohammad
Hatta nerupakan pemikir cerdas lain yang kita miliki. Baginya, karakter bangsa hanya bisa
dibentuk jika masyarakatnya mampu mempergunakan daya pikir dan mampu merefleksikan
budaya sendiri dalam pengembangan kehidupan bersama, yang tidak lain adalah perjuangan
pemberdayaan (Koesoema Doni, 2011:45-46).
Soekarno bukanlah sekedar pemikir dan pejuang, ia sekaligus seorang berkarakter yang
mampu menyampaikan gagasan dan pemikirannya pada khalayak dengan bahasa yang sangat
sederhana dan memberikan keyakinan bagi rakyat sehingga semangat kebangsaan itu bisa
menjadi milik semua. Seoekarno mengatakan bahwa karakter bangsa tidak akan terwujud jika
prasyarat pokonya, yaitu kemerdekaan, tidak ada. Menurutnya, tidak ada sebuah bangsa yang
bertanggung jawab jika tidak memiliki kemerdekaan. Tidak ada kemerdekaan jika di dalam
mentalitas bangsa tidak ada semangat meredeka atau kemauan merdeka (Koesoema Doni,
2011:46-47).
Berdasarkan gagasan para pemikir bangsa tersebut, kita dapat mengetahui bahwa gagasan
tentang pendidikan karakter itu sesungguhnya bukan sesuatu yang asing bagi proses bersama
menjadi Indonesia. Dasar idealisme ini adalah nilai-nilai pengetahuan. Titik pijak akan nilai-nilai
inilah yang menggolongkan mereka menjadi pemikir idealis yang menjadi jiwa bagi pendidikan
karakter sebuah bangsa (Koesoema Doni, 2011:51).
Fadillah Muhammad & Lilif Mualifatu Khorida (2014:16) menjelaskan bahwa istilah
pendidikan karakter muncul ke permukaan pada akhir-akhir ini, setelah terjadi degradasi moral
yang melanda bangsa Indonesia. Meskipun kalau ditelusuri lebih jauh, sebenarnya pendidikan
karakter ini sudah ada sejak dulu. Dimulai pada saat Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
mengeluarkan kata-kata karakter dalam pidatonya. Bermula dari sinilah, akhirnya Kemendiknas
membuat kebijakan baru, yaitu memasukkan nilai-nilai pendidikan karakter dalam setiap
pembelajaran di sekolah. Meskipun hal ini sedikit ada pro dan kontra, pemerintah tetap
mengamininya. Tentu yang demikian tidak ada maksud apa-apa, tetapi demi kemajuan dan
kebaikan bangsa kita tercinta Indonesia. Pendidikan karakter itu sendiri terambil dari dua suku
kata yang berbeda, yaitu pendidikan dan karakter. Kedua kata ini mempunyai makna sendirisendiri. Pendidikian lebih merujuk pada kata kerja, sedangkan karakter lebih pada sifatnya.
Artinya, melalui proses pendidikan tersebut, nantinya dapat dihasilkan sebuah karakter yang
baik.
Menurut Sutrisno (2011:3), pendidikan sendiri merupakan terjemahan dari education,
yang kata dasarnya educate atau bahasa latinnya educo. Educo berarti mengembangkan dari
dalam; mendidik; melaksanakan hhukum kegunaan.
Karakter didirikan melalui suatu tatanan atau prosedur yang berlandaskan sesuatu norma
yang berlaku di masyarakat tersebut. karakter tumbuh dalam lingkungan sosial budaya dan alam
dimana suatu masyarakat tinggal. Adanya peluang dan pembatasan (kendala, konstrain) akan
membatasi pada hal tertentu dan menguatkan pertumbuhan pada arah lain. Dalam proses
kehidupan dimana pendidikan kurang dominan, pembentukan karakter cenderung ke arah kurang
kerja keras (malas), kurang produktif dan kurang kreatif. Sikap dengan karakter sebagai keluaran
proses pendidikan kadang-kadang belum seperti yang diharapkan, maka proses berulang
berikutnya perlu dilakukan koreksi atau penambahan materi tertentu (Elfindri et al, 2012:89-90).
Dalam dunia pendidikan, terdapat tiga ranah yang harus dikuasai oleh siswa, yaitu ranah
kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah kognitif berorientasi pada penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, ranah afektif berkaitan dengan attitude, moralitas, spirit dan karakter,
sedangkan ranah psikomotorik berkaitan dengan keterampilan bersifat prosedural dan cenderung
mekanis. Dalam realitas pembelajaran di sekolah, usaha untuk menyeimbangkan ketiga ranah
tersebut memang selalu diupayakan, tetapi pada kenyataannya yang dominan adalah ranah
kognitif, kemudian psikomotorik. Akibatnya adalah peserta didik kaya akan kemampuan hard
skill, tetapi miskin soft skill karena ranah afektif terabaikan. Gejala ini tampak pada output
pendidikan yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, pintar, juara kelas, tetapi miskin
kemampuan membangun relasi, kekurang mampuan bekerja sama, dan cenderung egois serta
menjadi pribadi yang tertutup (Wiyani Novan Ardy, 2013:18).
Dengan demikian, pendidikan karakter pada anak menjadi hal yang sangat penting karena
anak merupakan generasi penerus yang akan melanjutkan eksistensi bangsa. Berbagai pendapat
dari banyak pakar pendidikan anak, meyatakan bahwa terbentuknya karakter kepribadian
manusia ditentukan oleh faktor nature dan nurture, dan tidak ada kata terlambat dalam
membentuk karakter anak bangsa (Wiyani Novan Ardy, 2013:19).
Suatu bangsa pasti tidak ingin menjadi bangsa yang tertinggal atau terbelakang. Berbagai
upaya dilakukan oleh pemerintah untuk kemajuan bangsanya. Guna menghadapi kecanggihan
tekhnologi dan komunikasi yang terus berkembang, perbaikan sumber daya manusia juga perlu
terus diupayakan untuk membentuk manusia yang cerdas, terampil, mandiri dan berakhlak mulia.
Indonesia sebenarnya sudah terlambat dalam menerapkan pendidikan karakter, tetapi lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali. Ada yang mengatakan bahwa percuma menerapkan
pendidikan karakter karena negara kita sudah terlanjur banyak korupsi. Pernyataan tersebbut
merupakan pemikiran yang terlalu pesimis, mengingat masih banyak generasi muda kita yang
duduk dibangku sekolah dan butuh pendidikan karakter agar di masa depan menjadi orang yang
tidak hanya cerdas intelekltual saja, tapi juga karakter dan lembaga pendidikan diharapkan dapat
menjadi motor penggeraknya (Wiyani Novan Ardy, 2013:20).
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan merupakan salah satu lembaga yang
bertanggung jawab terhadap pembentukan karakter anak (character building). Oleh karena itu,
pran dan kontribusi guru sangat dominan. Sebagai sebuah lembaga, sekolah memiliki tanggung
jawab moral untuk mendidik anak agar pintar, cerdas, serta memiliki karakter positif
sebagaimana yang doharapkan setiap orang tua. Namun sekarang ini, banyak orang yang
mengeluh bahwa pendidikan karakter disekolah telah diabaikan (Koesuma Doni, 2009:135).
Tampaknya, hal tersebut disebabkan gagasan pendidikan karakter masih berada dalam wilayah
konsep yang terletak di benak para pendidik dan pemerhati pendidikan serta hanya menjadi
komoditas isu pendidikan yang menjadi wacana (Sauri Sofyan, 2010). Sekolah harus merespon
kenyataan tersebut dengan membumikan gagasan pendidikan karakter melalui berbagai strategi
untuk membentuk peserta didik yang berkarakter. Tanpa karakter yang positif, seseorang dengan
mudah melakukan sesuatu apa pun yang dapat menyakiti atau menyengsarakan orang lain. Oleh
karena itu, kita perlu membentuk karakter untuk mengelola diri dari hal-hal negatif. Karakter
yang terbangun diharapkan akan mendorong setiap manusia untuk mengerjakan sesuatu sesuai
dengan suara hatinya (Wiyani Novan Ardy, 2013:21).
Mengingat pentingnya karakter dalam membangun sumber daya manusia (SDM) yang
kuat, maka perlu menerapkan pendidikan karakter yang tepat. Dapat dikatakan bahwa
pembangunan karakter merupakan sesuaru yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Agar
dapat merealisasikan hal tersebut, diperlukan kepedulian dari berbagai pihak, baik oleh
pemerintah, masyarakat, keluarga, maupun institusi pendidikan. Kondisi ini akan terbangun jika
semua pihak memiliki kesadaran bersama dalam membangun pendidikan karakter. Idelanya
pembentukan atau pendidikan karakter diintegrasikan ke seluruh aspek kehidupan sekolah
melalui berbagai strategi untuk membumikan konsep pendidikan karakter (Wiyani Novan Ardy,
2013:22).
Pendidikan karakter itu sendiri menurut Ratna Megawangi (dalam Kusuma Dharma,
2011:5), yaitu sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan
bijak dan mempraktikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat memberikan
kontribusi positif kepada masyarakatnya. Sementara itu, menurut Anne Lockword (dalam
Samani Muclas & Hariyanto, 2011:38) mengatakan bahwa pendidikan karakter sebagai aktivitas
berbasis sekolah yang mengungkap secara sistematis bentuk perilaku siswa. Dari definisi
tersebut, ternyata pendidikan karakter dihubungkan dengan setiap rencana sekolah yang
dirancang bersama lembaga masyarakat lain, untuk membentuk secara langsung dan sistematis
perilaku orang muda. Dengan demikian, idealnya pelaksanaan pendidikan karakter merupakan
bagian yang terintegrasi dengan manajemen pendidikan sekolah.
Dalam konteks kajian P3 mendefinisikan pendidikan karakter dalam setting sekolah
sebagai pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara
utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah. Definisi ini
mengandung makna sebagai berikut:
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Jadi penanaman karakter kepada
siswa mengandung makna bahwa tidak hanya siswa yang dilibatkan, tetapi sekaligus para guru,
kepala sekolah dan tenaga non-kependidikan di sekolah serta orang tua siswa harus terlibat
dalam pendidikan karakter (Samani Muclas & Hariyanto, 2011:46).
Berbicara masalah pendidikan, apapun jenisnya, tentu tidak bisa terlepas dari tujuan yang
hendak dicapai. Demikian halnya dengan adanya program pendidikan karakter, pasti didalamnya
ada tujuan-tujuan yang akan dicapai. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pemerintah menyebutkan bahwa tujuan pendidikan ialah untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Berkaitan dengan pendidikan karakter, tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan pemerintah tersebut wajib ditaati dan diikuti. Dengan kata lain,
tujuan pendidikan tidak boleh menyimpang dengan tujuan pendidikan yang ada. Bahkan,
diharapkan dapat mendukung atau menyempurnakannya sehingga apa yang menjadi tujuan
pendidikan dapat terwujud dengan mudah dan mendapatkan hasil yang optimal (Fadillah
Muhammad & Lilif Mualifatu Khorida, 2014:24).
Kusuma Dharma (2011:9) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan karakter, khususnya
dalam setting sekolah, diantaranya sebagai berikut:
1. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting
dan perlu, sehingga menjadi kepribadian atau kepemilikan peserta didik yang khas
sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan. Wiyani Novan Ardy (2013:70)
menambahkan bahwa tujuan pertama pendidikan karakter adalah memfasilitasi
penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam
perilaku anak, baik pada saat masih bersekolah maupun setelah lulus. Asumsi
yang terkandung dalam tujuan ini adalah penguasaan akademik diposisikan
sebagai media atau saran untuk mencapai tujuan penguatan dan pengembangan
karakter.
2. Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang
dikembangkan oleh sekolah. Wiyani Novan Ardy (2013:71) menambahkan bahwa
tujuan yang kedua ini memiliki makna bahwa tujuan pendidikan karakter
memiliki sasaran untuk meluruskan berbagai perilaku negatif anak menjadi
sekitar sekolah, orang tua dan komunitas). Selain itu kurang adanya komitmen
bersama di antara mereka untuk mewujudkannya secara bersama-sama.
5. Berbagai tatanan yang diciptakan untuk pendidikan karakter disekolah masih
didominasi oleh guru dan kepala sekolah. Pada proses penyusunan tatanan
tersebut cenderung belum melibatkan orang tua siswa. Tata tertib siswa cenderung
lebih menuntut kewajiban dan tanggung jawab daripada hak-hak siswa yang harus
dipenuhi oleh sekolah.
6. Ditemukan perilaku siswa, guru dan kepala sekolah yang kurang sesuai dengan
nilai-nilai kehidupan ideal di sekolah. Ditemukan ada anak-anak di kelas atas
yang melarang siswa-siswa dari kelas yang lebih rendah melintas di depan
kelasnya. Masih banyak guru yang berbicara kasar kepada siswanya, memanggil
siswa dengan julukan-julukan yang buruk dan overestimate terhadap dirinya.
7. Banyak sekolah yang melakukan hukuman secara mekanik. Hukuman
berdasarkan kesadaran diri dan hukuman yang bersifat kelompok atas pelanggaran
peraturan sekolah belum begitu banyak diterapkan di sekolah.
Dari penjelasan diatas, kita dapat menarik kesimpukan bahwa pendidikan karakter
melibatkan didalamnya proyek pendidikan moral dan pendidikan nilai. Pendidikan karakter
memiliki tujuan terutam menumbuhkan seorang individu menjadi pribadi yang memiliki
integritas moral, bukan hanya sebagai individu, namun sekaligus mampu mengusahakan sebuah
ruang lingkup kehidupan yang membantu setiap individu dalam menghayati integritas moralnya
dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Oleh karena ruang lingkupnya bukan sekadar
individual, melainkan sosial, pendidikan karakter melibatkan pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti, pendidikan watak luhur dalam setiap pendekatannya.
Bertahan tidaknya sistem pendidikan tunggal dalam masyarakat pruralis tergantung pada:
1. Sistem memberi kesempatan yang sama pada semua kelompok masyarakat untuk
memperoleh pendidikan.
2. Generasi muda mengalami bahwa belajar bersama dapat mencairkan perbedaanperbedaan sosial
Koesuma Doni (2011:288) menyatakan bahwa pada masyarakat yang plural dan
multikultural, misalnya, menghormati perbedaan menjadi nilai yang sangat essensial jika
masyarakat ingin hidup berdampingan secara damai. Menghargai perbedaan adalah sebuah nilai
yang secara moral bersifat netral. Dalam dirinya sendiri, menghargai perbedaan persis
mengandung nilai moral. Namun nilai ini penting, bahkan fundamental bagi stabilitas sebuah
masyarkat yang bhineka seperti Indonesia.
Koesuma Doni (2011:292) menambahkan bahwa dalam diskursus pendidikan nilai, kita
juga sering mendengar istilah pendidikan budi pekerti, watak luhur dan kahlak. Budi pekerti
sendiri berasal dari bahasa sansekerta yang memilii pengertian sebagai tata krama, sopan santun
dalam masyarakat. Sementara, watak luhur atau akhlak yang berasal dari bahasa arab terutama
mengajarkan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan Tuhan penciptanya,
sekaligus bagaimana seseorang harus berhubungan dengan sesama manusia. Jika pendidikan
nilai dipahami sebagai sebuah usaha untuk mendagingkan nilai-nilai tertentu yang bermakna
bagi individu maupun sosial demi keberlangsungan pertumbuhan dan pemanusiaan kehidupan
mereka, pendidikan nilai bisa disebut pula sebagai pendidikan budi pekerti dan pendidikan watak
luhur, sebab konsep ini mengacu pada pemahaman yang sama. Nilai-nilai yang bermakna bagi
individu termasuk disini adalah nilai-nilai keyakinan agama yang memberikan semacam
orientasi bagi hidup seseorang. Namun, ada pula yang memahami bahwa pendidikan watak luhur
merupakan spesifikasi dari pendidikan nilai. Kita mengandaikan bahwa nilai-nilai itu merupakan
sesuatu yang luhur dan bermakna sehingga istilah pendidikan nilai telah mencakup berbagai
macamnilai-nilai yang diyakini oleh individu itu sebagai baik, luhur, pantas diperjuangkan dan
dihidupi dalam kehidupan mereka.
Elfindri et al (2012:119-120) menyatakan bahwa kita juga perlu meletakkan secara lebih
jernih tentang pendidikan agama dalam rangka pendidikan karakter. Agama merupakan sebuah
pondasi yang lebih kokoh, kemartabatan paling luhur, kekayaan paling tinggi, dan sumber
kedamaian manusia paling dalam. Manusia yang beragama mempersatukan dirinya dengan
realitas terakhir yang lebih tinggi, yaitu Tuhan yang menjadi pondasi kehidupan mereka. Oleh
karena sifatnya yang lebih berkaitan dengan kehidupan iman dan keyakinan pribadi seorang
individu, kebebasan untuk memeluk agama merupakan hak-hak yang sangat asasi yang tidak
dapat dibatasi oleh siapapun. Kebebasan untuk memiliki keyakinan iman dan melaksanakan
ibadah sesuai dengan keyakinan imannya ini dijamin dalam Undang-Undang Dasar negara
Indonesia.
Aspek pengembangan moral yang diperlukan bagi pengembangan pribadi yang tangguh,
aparatur bersih berwibawa dan professional adalah:
Novan
Ardy
(2013:185)
menjelaskan
bahwa
pendidikan
karakter
mempersyaratkan adanya pendidikan moral. Pendidikan moral memiliki dasar tak tergoyahkan
jika dipahami dalam konteks keterikatan individu atas keyakinan imannya. Oleh karena itu,
kultur religius sebuah bangsa akan menjadi dasar yang kokoh bagi sebuah pendidikan karakter.
Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius menjadi motivator utama keberhasilan
pendidikan karakter. Dengan demikian, nilai-nilai kerohanian itu semestinya bertumbuh
bersama-sama dengan pengembangan nilai-nilai kebangsaan yang akan merajut kesatuan
masyarakat sebuah entitas kultural yang kondusif bagi pertumbuhan individu dan pengembangan
kehidupan sosial.
Sasaran yang harus dicapai dalam pendidikan moral dan etika pada jalur formal yaitu :
1. Merangsang Gambaran Moral: membantu peserta didik memahami bahwa setiap
pilihan moral membawa reaksi/akibat bagi orang lain.
2. Memahami Persoalan-Persoalan Etis: segala sesuatu tentang manusia akan
menciptakan pertanyaan-pertanyaan etis yang harus dijawab dengan benar.
3. Mengembangkan Keterampilan Analitis: membantu peserta didik untuk menilai
dan menempatkan konsep-konsep kebenaran, martabat dan prinsip-prinsip etika
lainnya.
4. Menanamkan Rasa Tanggung Jawab Moral: menggugah kesadaran peserta didik
mempertimbangkan nilai etika dan moral secara serius.
5. Mentolelir dan Menolak Ketidak Sepakatan : pertimbangan etis akan menentukan
kualitas pilihan tindakan tersebut
Wiyani Novan Ardy (2013:187-188) menambahkan bahwa pendidikan karakter juga
seringkali dikaitkan dengan kehidupan seorang individu sebagai warga negara. Maka, pendidikan
karakter akan diarahkan pada sebuah proses dimana seorang individu itu memiliki persiapan
pengetahuan dan perilaku untuk dapat hidup tertib dan aktif di dalam masyarakat. Untuk itulah
banyak orang mulai memikirkan pendidikan karakter dalam konteks persiapan bagi pembentukan
sebuah mentalitas warga negara yang demokratis, terbuka, dan aktif secara politis. Untuk itu,
materi yang diberikan bukan hanya filsafat kenegaraan, seperti Pendidikan Moral Pancasila,
melainkan juga nilai-nilai yang membantu setiap orang menjadi peribadi yang demokratis,
seperti kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, perilaku politik yang adil
demi kesejahteraan masyarakat, pemahaman tentang tata perundang-undangan dan sistem hukum
sebuah negara serta pembentukan sikpa dasar warga negara yang siap terjun aktif dalam bela
negara.
PERBANDINGAN:
Pendidikan karakter mestinya merupakan sebuah keprihatinan bersama seluruh bangsa,
dan karena itu negara yang memiliki aparatur di bidang pendidikan semestinya memanfaatkan
kewenangan yang dimilikinya untuk mengembangkan pendidikan karakter. Pengembangan
pendidikan karakter bisa dilaksanakan melalui rencana anggaran, program-program pendidikan
dan pendekatan kurikulum yang berjiwa pendidikan karakter (Fadillah Muhammad & Lilif
Mualifatu Khorida, 2014:28).
Koesuma Doni (2011:189-190) menyatakan bahwa pemerintah Amerika Serikat di bawah
kepemimpinan Presiden George Bush, misalnya menganggarkan 25 miliar dollar untuk
pendidikan karakter, sehingga aparatur negara, agen pendidikan lokal, orang tua dan siswa
memiliki kesempatan untuk mengembangkan karakter dan mempromosikan nilai-nilai.
Sementara di negara kita, 20% anggaran negara yang semestinya dialokasikan untuk dunia
pendidikan tampaknya masih jauh dari realitas politik kita. Selain itu, kebijakan pendidikan
karakter semestinya dilandasi dengan reksa penelitian yang valid. Tanpa penelitian yang
mendalam tentang pendidikan karakter, kita tidak akan memperoleh dasar-dasar pedagogis yang
baik bagi efektivitas pendidikan karakter.
Meskipun pendidikan karakter telah disadari kepentingan dan kemendesakannya, karena
kurangnya penelitian ilmiah tentang hal ini, kalangan pendidik, masyarakat dan aparatur
pemerintah sering kali menjadi kikuk dan bingung ketika dihadapkan pada persoalan seputar
pendidikan karakter. Rancunya pemahaman tentang pendidikan karakter dengan pendidikan
REFERENSI
Elfindri et al. 2012. Pendidikan Karakter: Kerangka, Metode dan Aplikasi Untuk
Pendidik dan Profesional. Baduose Media, Jakarta: v + 202 hlm.
Fadillah Muhammad & Lilif Mualifatu Khorida. 2014. Pendidikan Karakter Anak Usia
Dini. AR-Ruzz Media, Yogyakarya: 5 + 218 hlm.
Koesoema, Doni. 2011. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.
Grasindo, Jakarta: v + 327 hlm.
Kusuma, Dharma. 2011. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. PT
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Samani, Muclas & Hariyanto. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. PT Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Sauri, Sofyan. 2010. Membangun Bangsa Berkarakter Nilai Iman dan Taqwa dalam
Pembelajaran. Seminar Nasional Pendidikan Karakter. Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia.
Wiyani, Novan Ardy. 2013. Membumikan Pendidikan Karakter di Sd: Konsep, Praktik
dan Strategi. AR-Ruzz Media, Yogyakarta: 5 + 262 hlm.