Anda di halaman 1dari 12

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Apendisitis
3.1.1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal
dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan
ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens apendisitis pada usia itu
(Soybel,
2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar
submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan
pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh
lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam
mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh
peritoneum viserale (Soybel, 2001 dalam Departemen Bedah UGM, 2010).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis
bermula di sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada
infeksi, apendiks akan mengalami gangrene (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis.
Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid
tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin

ini

sangat

efektif

sebagai

pelindung

terhadap

infeksi.

Namun
Universitas Sumatera Utara

demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena


jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingka n dengan jumlahnya
di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Gambaran apendiks diperlihatkan gambar 2.1.

Gambar 2.1. Apendiks


(Indonesian Children, 2009)

2.1.2. Definisi dan Klasifikasi Apendisitis


Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis
akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat
(Smeltzer, 2001 dalam Docstoc, 2010). Apendisitis adalah kondisi dimana
infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa
perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran
umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi
dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur
(Anonim, 2007 dalam Docstoc, 2010).

Klasifikasi Apendisitis
Apendisitis

akut,

dibagi

atas:

Apendisitis

akut

fokalis

atau

segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis


purulenta difusi yaitu sudah bertumpuk nanah (Docstoc, 2010).
Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial,
setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva
yaitu apendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua (Docstoc, 2010).
2.1.3. Etiologi
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang
diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit,
tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab
lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks
karena parasit seperti E. histolytica (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, De
Jong, 2004).
2.1.4. Morfologi Apendisitis
Pada stadium paling dini, hanya sedikit eksudat neutrofil ditemukan
di seluruh mukosa, submukosa, dan muskularis propria. Pembuluh subserosa
mengalami bendungan dan sering terdapat infiltrat neutrofilik perivaskular
ringan. Reaksi peradangan mengubah serosa yang normalnya berkilap menjadi
membran yang merah, granular, dan suram. Perubahan ini menandakan
apendisitis akut dini bagi dokter bedah. Kriteria histologik untuk diagnosis
apendisitis akut

adalah infiltrasi neutrofilik muskularis propria. Biasanya

neutrofil dan ulserasi juga terdapat di dalam mukosa (Crawford, Kumar, 2007).

2.1.5. Patofisiologi
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang
disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai
dengan pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan
serat dalam makanan yang rendah (Burkitt, Quick, Reed, 2007).
Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi
mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan
muskular dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada
permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang
bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal
(Burkitt, Quick, Reed, 2007).
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam
lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai
apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi
nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera terjadi dan

menyebar ke

rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses
lokal akan terjadi (Burkitt, Quick, Reed, 2007).
2.1.6. Gambaran Klinis
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak

umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai

maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah
nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah
epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang
ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih
tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita
merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung


oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak tanda
rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri
timbul pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari
dorsal (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltis

meningkat,

pengosongan rektum akan

menjadi lebih

cepat

dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat


terjadi peningkatan frekuensi kencing

karena rangsangan dindingnya

(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).


2.1.7. Diagnosis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut.
Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada
seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut.
Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena
penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut

jika timbul

komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5
-38,5

C. Tetapi jika suhu

lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi

(Departemen Bedah UGM, 2010).


Pada

pemeriksaan

fisik

yaitu

pada

inspeksi,

penderita

berjalan

membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi


perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler
abses (Departemen Bedah UGM, 2010).
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung.
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit
tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Status lokalis abdomen
kuadran kanan bawah:

Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri
tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan
tanda kunci diagnosis.

Nyeri

lepas

(+)

karena

rangsangan peritoneum.

Rebound

tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen


kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah
sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc.
Burney.

Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis.


Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.

Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran


kanan bawah apabila dilakuka n penekanan pada abdomen bagian kiri
bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan
karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.

Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan


muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.

Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi
bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam
dan luar

secara

pasif,

hal

tersebut

menunjukkan

peradangan

apendiks terletak pada daerah hipogastrium.


(Departemen Bedah UGM, 2010)
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Auskultasi akan terdapat
peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis
generalisata akibat
membantu
terjadi

apendisitis

perforata.

Auskultasi

tidak

banyak

dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah

peritonitis

maka tidak

terdengar

bunyi peristaltik

usus.

Pada

pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12
(Departemen Bedah UGM, 2010).

Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor


Alvarado, yaitu:
Tabel 2.1. Skor Alvarado
Skor
Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke fossa iliaka kanan

Anoreksia

Mual atau Muntah

Nyeri di fossa iliaka kanan

Nyeri lepas

Peningkatan temperatur (>37,5 C)

1
9

Peningkatan jumlah leukosit 10 x 10 /L

Neutrofilia dari 75%

1
Total

10

Pasien dengan skor awal 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.
(Burkitt, Quick, Reed, 2007)
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan
jumlah leukosit (sel darah putih). Urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan
penyakit lainnya berupa peradangan saluran kemih. Pada pasien wanita,
pemeriksaan dokter kebidanan dan kandungan diperlukan untuk menyingkirkan
diagnosis kelainan peradangan saluran telur/kista indung telur kanan atau KET
(kehamilan diluar kandungan) (Sanyoto, 2007).
Pemeriksaan

radiologi

berupa

foto

barium

usus

buntu

(Appendicogram) dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya


kotoran (skibala) didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi)
dan CT scan bisa membantu dakam menegakkan adanya peradangan akut usus
buntu atau penyakit lainnya di daerah rongga panggul (Sanyoto, 2007).

Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang menentukan diagnosis


apendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis. Pemeriksaan CT scan hanya
dipakai bila didapat keraguan dalam menegakkan diagnosis. Pada anak-anak dan
orang tua penegakan diagnosis apendisitis lebih sulit dan dokter bedah biasanya
lebih agresif dalam bertindak (Sanyoto, 2007).
2.1.9. Diagnosis Banding
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding, seperti:

Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis
sering

ditemukan.

Panas

dan

leukositosis

kurang

menonjol

dibandingkan dengan apendisitis akut.

Demam Dengue
Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan
hasil tes positif untuk Rumpel Leede, trombositopenia, dan hematokrit
meningkat.

Kelainan ovulasi
Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri
perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.

Infeksi panggul
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian
bawah perut lebih difus.

Kehamilan di luar kandungan


Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim
dengan pendarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah
pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik.

Kista ovarium terpuntir


Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba
massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal,
atau colok rektal.

Endometriosis ovarium eksterna


Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat
itu karena tidak ada jalan keluar.

Urolitiasis pielum/ ureter kanan


Adanya

riwayat

kolik

dari pinggang

ke

perut menjalar

ke

inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering


ditemukan.

Penyakit saluran cerna lainnya


Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah peradangan di perut,
seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung,
kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal,
perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel
apendiks.
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004)

2.1.10. Pengobatan
Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah
meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi
appendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4
sampai
6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi
dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan
umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi
pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas
daerah apendiks (Sanyoto, 2007).
Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman
gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik
perlu dilakukan sebelum pembedahan (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah
laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang
dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan
appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih
lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut
diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah
sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik (Sanyoto, 2007).
2.1.11. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks,
sekum, dan letak usus halus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Komplikasi

usus

buntu

juga

dapat

meliputi

infeksi

luka,

perlengketan, obstruksi usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat


menimbulkan kematian (Craig, 2011).
Selain itu, terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan
komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi prosedur intraabdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai, seperti: infeksi luka,
abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja eksternal, fistula
tinja internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks (Bailey, 1992).

2.1.12. Prognosis
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa
penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah
terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya
penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi,
keadaan umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi
dan keadaan lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari
(Sanyoto,
2007).

Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di


dalam rongga perut ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu
dilakukan secepatnya. Kematian pasien dan komplikasi hebat jarang terjadi
karena usus buntu akut. Namun hal ini bisa terjadi bila peritonitis dibiarkan dan
tidak diobati secara benar (Sanyoto, 2007).

3.2. Appendicogram
3.2.1. Definisi
Appendicogram

merupakan pemeriksaan berupa foto

barium usus

buntu yang dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran
(skibala) di dalam lumen usus buntu (Sanyoto, 2007).
3.2.2. Teknik Pemeriksaan
Indikasi dilakukannya pemeriksaan appendicogram adalah apendisitis
kronis

atau

akut.

Sedangkan

kontraindikasi

dilakuka n

pemeriksaan appendicogram adalah pasien dengan kehamilan trimester I atau


pasien yang dicurigai adanya perforasi.
Persiapan Bahan:
Larutan Barium Sulfat ( 250 gram) + 120-200 cc
air. Persiapan Pasien:
Sehari sebelum pemeriksaan pasien diberi BaSO4 dilarutkan dalam air
masak dan diminta untuk diminum pada jam 24.00 WIB setelah itu puasa.
Pasien di panggil masuk ke ruang pemeriksaan dalam keadaan puasa.
Pasien diminta untuk membuka pakaian.
Pasien diberi baju RS untuk
dipakai. Prosedur:
Pasien naik ke atas meja pemeriksaan.

Kaset ditempatkan di bawah meja pemeriksaan.


Meminta pasien agar kooperatif dan menuruti perintah radiografer
sehingga pemeriksaan berjalan dengan baik.
Sesudah pasien difoto, pasien diminta mengganti pakaian dan diminta
untuk datang keesokan harinya untuk dilakukan foto kembali selama 3 hari
berturut- turut.
(Prosedur Tetap dan Standar Operasional Prosedur RSUD Dr. Pirngadi
Medan, 2011)
3.2.3. Gambaran Radiologis
Appendicogram dengan non-filling apendiks (negatif appendicogram)
merupakan apendisitis akut. Appendicogram dengan partial filling (parsial
appendicogram) diduga sebagai apendisitis dan appendicogram dengan kontras
yang mengisi apendiks secara total (positif appendicogram) merupakan apendiks
yang normal (Sibuea, 1996).
Appendicogram sangat berguna dalam diagnosis apendisitis akut, karena
merupakan

pemeriksaan

yang

sederhana

dan

dapat

memperlihatkan

visualisasi dari apendiks dengan derajat akurasi yang tinggi (Sibuea, 1996).
Gambar 2.2. merupakan gambaran dari pemeriksaan appendicogram

Anda mungkin juga menyukai