Anda di halaman 1dari 17

B.

FAKTOR PENDORONG LAHIRNYA NASIONALISME INDONESIA


Kata nasionalisme berasal dari kata Nation yang berati bangsa. Dalam bahasa Latin kata
Nation berati kelahiran kembali, suku kemudian bangsa. Bangsa adalah sekelompok manusia
yang mendiami wilayah tertentu dan memiliki hasrat untuk bersatu karena adanya persamaan
nasib, cita-cita dan kepentingan bersama. Menurut Han Kohn adalah suatu paham yang
menempatkan kesetiaan tertinggi individu harus diserakan kepada negara dan bangsa.
Bangkitnya nasionalisme Indonesia didorong oleh faktor intern dan ekstern.
1.
Faktor
Intern
Faktor-faktor intern yang menyebabkan lahir dan berkembangnya nasionalisme Indonesia
adalah sebagai berikut.
a.
Kejayaan
Bangsa
Indonesia
sebelum
Kedatangan
Bangsa
Barat
Sebelum kedatangan bangsa Barat, di wilayah Nusantara sudah berdiri kerajaan-kerajaan
besar, seperti Sriwijaya, Mataram dan Majapahit. Kejayaan masa lampau itu menjadi sumber
inspirasi
untuk
melepaskan
diri
dari
belenggu
penjajahan.
b.
Penderitaan
Rakyat
akibat
Politik
Drainage(Pengerukan
Kekayaan)
Politik drainage itu mencapai puncaknya ketika diterapkan sistem tanam paksa yang
dilanjutkan
dengan
sistem
ekonomi
liberal.
c.
Adanya
Diskriminasi
Rasial
Diskriminasi merupakan hal menonjol yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda
dalam kehidupan sosial pada awal abad ke-20. Dalam bidang pemerintahan, tidak semua
jabatan
tersedia
bagi
kaum
pribumi.
d.
Munculnya
Golongan
Terpelajar
Pada awal ke-20, pendidikan mendapatkan perhatian yang lebih baik dari pemerintah
kolonial. Hal itu sejalan dengan diterapkannya politik etis. Melalui penguasaan bahasa asing
yang diajarkan di sekolah-sekolah modern, mereka dapat mempelajari berbagai ide-ide dan
paham-paham baru yang berkembang di Barat, seperti ide tentang HAM, liberalisme,
nasionalisme, dan demokrasi.
2.
Faktor
Ekstern
Lahir dan berkembangnya nasionalisme Indonesia juga didorong oleh faktor-faktor ekstern,
antara
lain
berikut
ini.
a.
Kemenangan
Jepang
terhadap
Rusia
(1904-1905)
Kemenangan Jepang dalam Perang Rusia-Jepang telah berhasil mengguncangkan dunia.
Kemenangan Jepang tersebut berhasil menggugah kesadaran bangsa-bangsa Asia dan Afrika
untuk
melawan
penjajahan
bangsa-bangsa
kulit
putih.
b.
Kebangkitan
Nasionalisme
Negara-Negara
Asia-Afrika
Kebangkitan nasional bangsa-bangsa Asia-Afrika memberikan dorongan kuat bagi bangsa
Indonesia untuk bangkit melawan penindasan pemerintahan kolonial. Revolusi Tiongkok
(1911) dan pementukan partai Kuomintang oleh Sun Yan Set yang berhasil menjadikan Cina
sebagai
negara
mereka
pada
tahun
(1912).
c.
Masuknya
Paham-Paham
Baru
Paham-paham baru seperti liberalisme, demokrasi dan nasionalisme muncul setelah
terjadinya Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis. Hubungan antara Asia dan Eropa
menyebabkan paham-paham itu menyebar dari Eropa ke Asia, termasuk ke Indonesia.
B.
1.

ORGANISASI-ORGANISASI

PERGERAKAN
Boedi

NASIONAL

INDONESIA
Oetomo

Dengan semangat hendak meningkatkan semangat masyarakat, Mas Ngabehi Wahidin


Soediro Husodo, seorang doktor jawa dan termasuk seorang priayi, tahun 1906-1907
melakukan
kempanye
di
kalangan
priayi
di
Pulau
Jawa.
Pada akhir 1907, Wahidin bertemu dengan Soetomo, pelajar STOVIA di Batavia. Pertemuan
tersebut berhasil mendorong didirikannya organisasi yang diberi nama Boedi Oetomo pada
hari rabu tanggal 20 Mei 1908 di Batavia. Soetomo kemudian ditunjuk sebagai ketuanya.
Tanggal berdirinya Boedi Oetomo hingga saat ini diperingati sebagai Hari Kebangkitan
Nasional.
2.
Sarekat
Islam
Pada akhir 1911, Haji Samanhudi di Solo menghimpun para pengusaha batik di dalam
sebuah organisasi yang bercorak agama dan ekonomi, yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI).
Setahun kemudian pada bulan November 1912 nama SDI diganti menjadi Sarekat Islam (SI)
dengan ketuanya Haji Oemar Said Cokroaminoto, sedangkan Samanhudi sebagai ketua
kehormatan. Perubahan nama tersebut bertujuan agar keanggotaannya menjadi luas, bukan
hanya dari kalangan pedagang. Apabila dilihat dari anggaran dasarnya, tujuan pendirian
Sarekat
Islam
adalah
sebagai
berikut.
A.
Mengembangkan
jiwa
dagang.
B.
Memberikan
bantuan
kepada
anggota-anggota
yang
kesulitan.
C.
Memajukan
pengajaran
dan
semua.
D.
Menentang
pendapat-pendapat
yang
keliru
tentang
agama
Islam.
Aktivitas SI lebih mengutamakan politik tidak disetujui oleh sebagian besar anggotanya.
Mereka menginginkan SI memperhatikan masalah-masalah keagamaan. Dalam kondisi itu SI
memutuskan untuk bekerja sama dengan pemerintahan kolonial dan berganti nama menjadi
Partai Sarikat Islam. Sehubungan dengan meluasnya semangat persatuan dan Sumpah
Pemuda, nama tersebut diubah menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1930
dengan
ketuanya
Haji
Agus
Salim.
3.
Indische
Partij
Indische Partij berdiri di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912. Organisasi ini juga
dimaksudkan sebagai pengganti Indische Bond. Sebagai organisasi kaum Indonesia dan
Eropa yang didirikan pada tahun 1898. Ketiga tokoh pendiri Indische Partij dikenal dengan
Tiga Serangkai, yaitu Douwes Dekker (Danudirdja Setiabudi), dr. Cipto Mangunkusumo, dan
Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Indische Partij merupakan pergerakan nasional
yang
bersifat
politik
murni
dengan
semangat
nasionalisme
modern.
Indische Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang luas menuju kemerdekaan Indonesia.
Indonesia dianggap sebagai National Home bagi semua orang, baik penduduk bumi putera
maupun keturunan Belanda, Cina, dan Arab, yang mengaku Indonesia sebagai tanah air dan
kebangsaannya. Paham ini pada waktu itu dikenal sebagai Indisch Nasionalisme, yang
selanjutnya melalui perhimpunan Indonesia dan PNI, diubah menjadi Indonesische
Nationalisme atau Nasional Indonesia. Hal itulah yang menyatakan bahwa Indische Partij
sebagai
partai
politik
pertama
di
Indonesia.
4.
Perhimpunan
Indonesia
Perhimpunan Indonesia didirikan pada tahun 1908 oleh orang-orang Indonesia yang berada
di Belanda, antara lain Sutan Kasayangan dan R.N Noto Suroto. Mula-mula organisasi itu
bernama Indische Vereeniging. Akan tetapi sejak berakhirnya Perang Dunia I perasaan anti
kolonialisme dan imperialisme di kalangan pemimpin-pemimpin Indische Vereeniging
semakin
menonjol.
Pada tahun 1922, Indische Vereeniging berubah menjadi Indonesische Vereeniging. Sejak
tahun 1925, selain nama dalam bahasa Belanda juga digunakan dalam bahasa Indonesia,
yaitu Perhimpunan Indonesia. Oleh karena itu, semakin tegas bahwa PI bergerak dalam

bidang
politik.
Dalam kalangan pergerakan nasional di Indonesia, pengaruh PI cukup besar. Beberapa
organisasi pergerakan nasional mulai lahir karena mendapatkan inspirasi dari PI, seperti
Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1926, Partai Nasional Indonesia (PNI)
tahun
1927,
dan
Jong
Indonesia
(Pemuda
Indonesia)
tahun
1927.
5.
Partai
Komunis
Indonesia
Ketika Sosial Democratische Arbeiderspartij (SDAP) di Belanda pada tahun 1918
mengumumkan dirinya menjadi Partai Komunis Belanda (CPN), para anggota ISDV dari
golongan Eropa mengusulkan mengikuti jejak itu. Oleh karena itu, pada tanggal 23 Mei 1920
diubah lagi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Di dalam susunan pengurus baru
terbentuk tertera antara lain Semaun sebagai ketua, Darsono sebagai wakil ketua, Bergsma
sebagai sekretaris, Dekker sebagai bendahara, serta Baars dan Sugono sebagai anggota
pengurus. PKI tumbuh menjadi partai politik dengah jumlah yang sangat besar. Akan tetapi
karena jumlah anggotanya intinya kecil, partai itu kurang dapat mengontrol dan menanamkan
disiplin
kepada
anggotanya.
Setelah berhasil menempatkan dirinya sebagai partai besar, PKI merasa sudah kuat untuk
melakukan pemberontakan pada tahun 1926. Hampir sepuluh tahun kemudian, Komitern
mengirimkan seorang tokoh komunis kembali ke Indonesia. Tokoh tersebut ialah Musso yang
pada bulan April 1935 mendarat di Surabaya. Dengan bantuan Joko Sujono, Pamuji, dan
Achmad Sumadi, ia membentuk yang diberi nama PKI Ilegal. Kegiatan utama kaum komunis
kemudian disalurkan melalui Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) dengan tokoh utamanya
Amir
Syarifudin.
6.
Partai
Nasional
Indonesia
Partai Nasional Indonesia (PNI) dibentuk di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 dengan tokohtokohnya Ir. Soekarno, Iskaq, Budiarto, Cipto Mangunkusumo, Tilaar, Soedjadi, dan
Soenaryo. Dalam pengurus besar PNI, Ir. Soekarno ditunjuk sebagai ketua, Iskaq sebagai
sekretaris/bendahara, dan Dr. Samsi sebagai komisaris. Sementara itu dalam perekrutan
anggota disebutkan bahwa mantan anggota PKI tidak diperkenankan menjadi anggota PNI,
juga pegawai negeri yang memungkinkan berperan sebagai mata-mata pemerintah kolonial.
Ada dua macam cara yang dilakukan oleh PNI untuk memperkuat diri dan pengaruhnya di
dalam
masyarakat,
yaitu:
a. Usaha ke dalam: Usaha-usaha terhadap lingkungan sendiri, antara lain mengadakan
kursus-kursus,
mendirikan
sekolah-sekolah
dan
bank-bank.
b. Usaha ke luar: Dengan memeperkuat opini publik terhadap tujuan PNI, antara lain
melalui rapat-rapat umum dan menerbitkan surat kabar Benteng Priangan di Bandung dan
Persatuan
Indonesia
di
Batavia.
Peningkatan kegiatan rapat-rapat umum di cabang-cabang sejak bulan Mei 1929
menimbulkan suasana yang tegang. Pemerintah kolonial Belanda lebih banyak melakukan
pengawasan secara tegas terhadap kegiata-kegiatan PNI yang dianggap membahayakan
keamanan dan ketertiban. Sering kali polisi menghentikan pidato karena dianggap telah
menghasut
rakyat.
Akhirnya pemerintah Hindia Belanda beranggapan bahwa tiba saatnya untuk melakukan
tindakan terhadap PNI. Bahkan Gubernur Jenderal de Graef telah mendapatkan tekanan dari
konservatif Belanda yang tergabung dalam Vanderlansche Club untuk bertindak tegas karena
mereka berkeyakinan bahwa PNI melanjutkan taktik PKI.
C.
Upaya-Upaya
Menggalang
Persatuan
1. Pembentukan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia
(PPPKI)
Di kalangan pemimpin pergerakan nasional muncul gagasan untuk membentuk gabungan

(fusi) dari partai-partai politik yang ada. Tujuannya untuk memperkuat dan mempersatukan
tindakan-tindakan dalam menghadapi pemerintah kolonial. Usaha itu dirintis oleh Sarekat
Islam, Muhammadiyah, Jong Islamiten Bond, Pasundan, Persatuan Minahasa, Sarekat Ambon
dan Sarekat Madura. Pada bulan September 1926 berhasil dibentuk Komite Persatuan
Indonesia. Akan tetapi, usaha tersebut tidak berhasil dengan baik sehingga tidak satu pun
organisasi
gabungan
(fusi)
yang
dihasilkan.
Pada tanggal 17-18 Desember 1927 diadakan sidang di Bandung yang dihadiri oleh wakilwakil dari PNI, Algemeene Studieclub, PSI (Partai sarekat Islam), Boedi Oetomo, Pasundan,
Sarekat Sumatra, Kaum Betawi, dan Indinesische studieclib. Sidang tersebut memutuskan
untuk membentuk (PPPKI) dengan tujuan sebagai berikut.
Sebagai suatu alat organisasi yang tetap dari federasi itu, dibentuklah dewan pertimbangan
yang terdiri atas seorang ketua, sekretaris, bendahara, dan wakil partai-partai yang bergabung.
Dr. Soetomo dari Studieclub sebagai Ketua Majelis Pertimbangan dan Ir. Anwari dari PNI
sebagai
sekretaris.
2.
Gerakan
Pemuda
1.
Gerakan
Pemuda
Kedaerahan
Trikoro Dharmo merupakan organisasi pemuda kedaerahaan pertama di Indonesia. Trikoro
Dharmo didirikan di Gedung Stovia pada tanggal 7 Maret 1915 oleh pemuda-pemuda Jawa,
seperti Satiman, Kadarman, Sumardi, Jaksodipuro (Wongsonegoro), Sarwono, dan Mawardi.
Trikoro Dharmo berarti tiga tujuan mulia, yaitu Sakti, Budi dan Bhakti.
Kenggotaan Trikoro Dharmo pada mulanya hanya terbatas pada kalangan pemuda dari Jawa
dan Madura. Akan tetapi, diperluas dengan semboyannya Jawa Raya yang meliputi Jawa,
Sunda, Bali, dan Lombok. Pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta berdiri organisasi Jong
Sumatranen Bond. Tokoh-tokoh nasional yang pernah menjadi anggota Jong Sumatranen
Bond, antara lain Moh.Hatta, Moh.Yamin, M. Tasil, Bahder Djohan, dan Abu Hanifah. Jong
Minahasa berdiri pada tanggal 5 Januari 1918 di Manado dengan tokohnya
A.J.H.W.Kawilarang dan V.Adam. Jong Celebes dengan tokoh-tokohnya Arnold Monomutu,
Waworuntu, dan Magdalena Mokoginta. Jong Ambon berdiri pula pada tanggal 1 Juni 1923
di
Jakarta.
Dengan semangat kedaerahaannya itu, pada kongres Trikoro Dharmo di Solo tanggal 12 Juni
1918 nama trikoro Dharmo diubah menjadi Jong Java. Kegiatan Jong Java masih tetap
bergerak dalam bidang sosial budaya. Pada kongres kelima bulan Mei 1922 di Solo dan
kongres luar biasa Desember 1922 ditetapkan bahwa Jong Java tidak akan mencampuri
masalah politik. Anggota Jong Java hanya diperbolehkan terjun dalam dunia politik setelah
mereka
tamat
belajar.
2.
Kongres
Pemuda
Indonesia
1.
Kongres
Pemuda
I
Keinginan untuk bersatu seperti yang didengung-dengungkan oleh Perhimpunan Indonesia
(PI) dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) telah tertanam dalam sanubari
pemuda-pemuda Indonesia. Untuk itu, pada tanggal 30 April-2 Mei 1926 di Jakarta diadakan
kongres
pemuda
Indonesia
yang
pertama.
Dalam kongres itu dilakukan beberapa kali pidato tentang pentingnya Indonesia bersatu.
Disampaikan pula tentang upaya-upaya memperkuat rasa persatuan yang harus tumbuh di
atas kepentingan golongan, bangsa dan agama. Selanjutnya juga dibicarakan tentang
kemungkinan bahasa dan kesusastraan Indonesia kelak dikemudian hari.
Para mahasiswa Jakarta dalam kongres tersebut juga membicarakan tentang upaya
mempersatukan perkumpulan-perkumpulan pemuda menjadi satu badan gabumgan (fusi).
Walaupun pembicaraan mengenai fusi tidak membuahkan hasil yang memuaskan, kongres itu
telah
memperkuat
cita-cita
Indonesia
bersatu.

2.
Kongres
Pemuda
II
Kongres Pemuda II diadakan dua tahun setelah Kongres Pemuda Indonesia pertama, tepatnya
pada tanggal 27-28 Oktober 1928. Kongres itu dihadiri oleh wakil-wakil dari perkumpulanperkumpulan pemuda ketika itu diantara lain Pemuda Sumatera, Pemuda Indonesia, Jong
Bataksche Bond, Sekar Rukun, Pemuda Kaum Betawi, Jong Islamiten Bond, Jong Java, Jong
Ambon dan Jong Celebes. PPPI yang memimpin kongres ini sengaja mengarahkan kongres
pada
terjadinya
fusi
organisasi-organisasi
pemuda.
Susunan panitia Kongres Pemuda II yang sudah terbentuk sejak bulan Juni 1928 adalah
sebagai
berikut.
Ketua
:
Sugondo
Joyopuspito
dari
PPPI
Wakil
ketua
:
Joko
Marsaid
dari
Jong
Java
Sekretaris
:
Moh.
Yamin
dari
Jong
Sumatranen
Bond
Bendahara
:
Amir
Syarifuddin
dari
Jong
Bataksche
Bond
Pembantu
I
:
Johan
Moh.
Cai
dari
Jong
Islamiten
Bond
Pembantu
II
:
Koco
Sungkono
dari
Pemuda
Indonesia
Pembantu
III
:
Senduk
dari
Jong
Cilebes
Pembantu
IV
:
J.
Leimena
dari
Jong
Ambon
Pembantu
V
:
Rohyani
dari
Pemuda
Kaum
Betawi
Kongres Pemuda II dilaksanakan selama dua hari, 27-28 Oktober 1928. persidangan yang
dilaksanakan sebanyak tiga kali di antaranya membahas persatuan dan kebangsaan Indonesia,
pendidikan, serta pergerakan kepanduan. Kongres tersebut berhasil mengambil keputusan
yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda sebagai berikut.
Rumusan tersebut dibuat oleh sekretaris panitia, Moh. Yamin dan dibacakan oleh ketua
kongres, Sugondo Joyopuspito, secara hikmat di depan kongres. Selanjutnya diperdengarkan
lagu Indonesia Raya yang diciptakan dan dibawakan oleh W.R. Supratman dengan gesekan
biola. Peristiwa bersejarah itu merupakan hasil kerja keras para pemuda pelajar Indonesia.
Dengan tiga butir Sumpah Pemuda itu, setiap organisasi pemuda kedaerahan secara
konsekuen meleburkan diri kedalam satu wadah yang telah disepakati bersama, yaitu
Indonesia
Muda.
D. Berkembangnya Taktik Moderat dan Kooperatif dalam Perkembangan Nasional
Berkembangnya taktik moderat dan kooperatif dalam pergerakan nasional Indonesia
disebabkan
oleh
hal-hal
sebagai
berikut:
1. Krisis ekonomi (malaise) yang terjadi sejak tahun 1921 dan berulang pada akhir tahun
1929. Bahkan, pada awal tahun 1930-an krisis ekonomi itu tidak kunjung reda.
2. Kebijakan keras pemerintahan Gubernur Jenderal de Jonge menyebabkan kaum
pergerakan, terutama golongan nonkooperatif, sangat menderita. Setiap gerakan yang radikal
atau revolusioner akan ditindas dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggung jawab
atas
keadaan
di
Hindia
Belanda.
3. Pada tahun 1930-an, kaum pergerakan nasional terutama yang berada di Eropa
menyaksikan bahwa perkembangan paham fasisme dan Naziisme mengancam kedudukan
negara-negara demokrasi. Demikian pula Jepang sebagai negara fasis di Asia telah
melakukan ekspansinya ke wilayah Pasifik sehingga ada yang mendekatkan kaum nasionalis
dengan penguasa kolonial, yaitu mempertahankan demokrasi terhadap bahaya fasisme.
Kesadaran itu muncul pertama kali di kalangan Perhimpunan Indoesia yang terlebih dahulu
telah
melakukan
taktik
kooperatif.
a.
Partindo
(1931)
Pada kongres luar biasa PNI di Batavia tanggal 25 April 1931 diambil keputusan untuk
membubarkan PNI. Pembubaran tersebut menimbulkan pertentangan di kalangan pendukung

PNI. Sartono dan pendukungnya membentuk Partai Indonesia (Partindo) pada tanggal 30
April 1931.
Asas dan tujuan serta garis-garis perjuangan PNI masih diteruskan oleh Partindo. Selanjutnya
dilakukan upaya menghimpun kembali anggota-anggota PNI yang tercerai-cerai sehingga
pada tahun 1931 berhasih dibentuk 12 cabang. Kemudian berkembang menjadi 24 cabang
dengan
anggota
sebanyak
7.000
orang.
Penangkapan kembali Ir. Soekarno pada tanggal 1 Agustus 1933 melemahkan Partindo. Bung
Karno diasingkan ke Ende, Flores, pada tahun 1934. karena alasan kesehatan, Bung Karno
kemudihan dipindahkan ke Bengkulu pada tahun 1938 dan pada tahun 1942 dipindahkan
kepadang karena adanya serbuan Jepang ke Indonesia. Tanpa Ir. Soekarno, Partindo
mengalami kemunduran. Partindo keluar dari PPPKI agar PPPKI tidak terhalang geraknya
karena adanya larangan untuk mengadakan rapat. Dalam menghadapi keadaan yang sulit itu,
untuk kedua kalinya Sartono membubarkan Partindo juga tanpa dukungan penuh dari
anggotanya.
b.
PNI
Baru
(1931)
Pada bulan Desember 1931, membentuk Pendidikan Nasional Indonesia(PNI Baru). Mulamula Sutan Syahir dipilih sebagai ketuanya. Moh. Hatta kemudian dipilih sebagai ketua pada
tahun 1932 setelah kembali dari Belanda. Organisasi-organisasi tersebut tetap sama-sama
menggunakan taktik perjuangan non-kooperatif dalam mencapai kemerdekaan politik.
Adapun perbedaan antara PNI Baru dengan Partindo adalah sebagai berikut:
PPPKI oleh PNI Baru dianggap sebagai persatean bukan persatuan karena anggotaanggotanya memiliki ideologi yang berbeda-beda. Sementara itu, Partindo menganggap
PPPKI dapat menjadi wadah persatuan yang kuat daripada mereka berjuang sendiri-sendiri.
Dalam upaya mencapai kemerdekaan, PNI Baru lebih mengutamakan pendidikan politik
dan sosial. Partindo lebih mengandalkan organisasi masa dengan aksi-aksi masa untuk
mencapai
kemerdekaan.
Pada tahun 1933, PNI Baru telah memiliki 65 cabang. Untuk mempersiapkan masyarakat
dalam mencapai kemerdekaan, PNI Baru melakukan kegiatan penerangan untuk rakyat dan
penyuluhan koperasi. Kegiatan-kegiatan PNI Baru tersebut dan ditambah dengan sikapnya
yang non-kooperatif dianggap oleh pemerintah kolonial membahayakan. Oleh karena itu,
pada bulan Februari 1934 Bung Hatta, Sutan Syahir, Maskun, Burhanuddin, Murwoto, dan
Bondan ditangkap pemerintah kolonial. Bung Hatta diasingkan ke hulu Sungai Digul, Papua.
Kemudian dipindahkan ke Banda Neira pada tahun 1936 dan akhirnya ke Sukabumi pada
tahun 1942. Dengan demikian, hanya partai-partai yang bersikap kooperatif saja yang
dibiarkan
hidup
oleh
pemerintah
kolonial
Belanda.
c.
Parindra
(1935)
Pada bulan Desember 1935 di Solo diadakan kongres yang menghasilkan penggabungan
Boedi Oetomo dengan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dan melahirkan Partai Indonesia
Raya (Parindra). R. Soetomo terpilih sebagai ketua Parindra dengan Surabaya sebagai
pusatnya. Tujuannya adalah mencapai Indonesia raya dan mulia. Tokoh-tokoh terkemuka
Parindra lainnya ialah Moh. Husni Thamrin dan Sukarjo Wiryopranoto.
Parindra berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil dengan cara mendirikan Rukun
Tani, membentuk serikat-serikat pekerja, menganjurkan Swadesi, dan mendirikan Bank
Nasional Indonesia. Perjuangan Parindra dalam Volksraad berlangsung hingga akhir
penjajahan Belanda. Dalam hal ini terkenal kegigihan Moh. Husni Thamrin dengan
membentuk Fraksi Nasional dan GAPI yang berhasil memaksa pemerintah kolonial
melakukan beberapa perubahan, seperti memakai bahasa Indonesia dalam siding Volksraad
dan
mengganti
istilah
Inlander
menjadi
Indonesier.
d.
Gerindo

Setelah Partindo dibubarkan pada tahun 1936, banyak anggotanya kehilangan wadah
perjuangan. Sementara itu, Parindra yang cenderung kooperatif dianggap kurang sesuai. Oleh
karena itu, pada bulan Mei 1937 di Jakarta dibentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Tokoh-tokohnya yang terkenal ialah A.K.Gani, Moh. Yamin, Amir Syarifuddin, Sarino
Mangunsarkoro,
Nyono,
Prawoto,
Sartono,
dan
Wilopo.
Gerindo bertujuan mencapai Indonesia merdeka, tetapi dengan asas-asas yang kooperatif.
Dalam bidang politik, Gerindo menuntut adanya parlemen yang bertanggung jawab kepada
rakyat dalam bidang ekonomi dibentuk Penuntut Ekonomi Rakyat Indonesia (Peri) yang
bertujuan mengumpulkan modal dengan kekuatan kaum buruh dan tani berdasarkan asas
nasional-demokrasi-koperasi. Dalam bidang sosial diperjungkan persamaan hak dan
kewajiban di dalam masyarakat. Oleh karena itu, Gerindo menerima anggota dari kalangan
orang
Indo,
peranakan
Cina,
dan
Arab.
e.
Petisi
Sutardjo
Pada tanggal 15 Juli 1936, Sutardjo Kartohadikusumo selaku Persatuan Pegawai Bestuur
(PPB) dalam Volkstraad mengajukan usul yang kemudian dikenal dengan petisi Sutardjo.
Petisi tersebut berisi permintaan kepada pemerintah kolonial agar diselenggarakan
musyawarah antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda untuk merencanakan suatu perubahan
dalam waktu 10 tahun mendatang, yaitu pemberian status otonom kepada rakyat Indonesia
meskipun
tetap
dalam
lingkungan
kerajaan
Belanda.
Sebelum Indonesia dapat berdiri sendiri, Sutardjo mengusulkan untuk mengambil langkahlangkah
memperbaiki
keadaan
Indonesia,
antara
lain
sebagai
berikut:
a.
Volksraad
dijadikan
parlemen
yang
sesungguhnya
b.
Direktur
departemen
diberikan
tanggung
jawab
c. Dibentuk Dewan Kerajaan (rijksraad) sebagai badan tertinggi antara Belanda dan
Indonesia yang anggota-anggotanya merupakan wakil-wakil kedua belah pihak
d. Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul dan citacitanya
memihak
Indonesia.
Petisi itu juga ditandatangani oleh I.J. Kasimo, Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung dan Kwo
Kwat Tiong. Sebagian besar dari partai-partai dan tokoh-tokoh pergerakan juga mendukung
Petisi Sutardjo. Setelah mendapatkan dukungan mayoritas anggota Volksraad, petisi itu
kemudian disampaikan kepada pemerintah kerajaan dan Parlemen Belanda.
Golongan yang tidak setuju adalah golongan konservatif dan para pengusaha perkebunan,
termasuk kelompok Vanderlandche Club (VC) menganggap petisi itu terlalu prematur dan
menganggap bahwa secara ekonomi dan sosial Hindia Belanda (Indonesia) belum cukup
untuk dapat berdiri sendiri. Selain itu dipermasalahkan pula tentang dapat dipertahankannya
kesatuan wilayah Nusantara dalam lingkungan Pax Nederlandica karena pada kenyataannya
kondisi
politik
Hindia
Belanda
belum
mantap.
Pada tanggal 16 November 1938, pemerintah Belanda memberikan jawaban bahwa petisi itu
ditolak
dengan
alasan-alasan
sebagai
berikut.
Perkembangan politik Indonesia belum cukup matang untuk memerintah sendiri
sehingga
petisi
itu
dipandang
masih
terlalu
prematur.

Dipertanyakan juga tentang kependudukan golongan minoritas dalam struktur politik


yang
baru
nanti.
Tuntutan otonomi dipandang sebagai hal yang tidak alamiah karena pertumbuhan
ekonomi,
sosial
dan
politik
belum
memadai.
Meskipun petisi tersebut ditolak, pemerintah kolonial mulai melaksanakan perubahan
pemerintah pada tahun 1938. Pemerintah membentuk provinsi-provinsi di luar Jawa dengan
gubernur sebagai wakil pemerintahan pusat, sedangkan Dewan Provinsi bertugas mengatur
rumah
tangga
daerah.
f.
Perjuangan
GAPI
Indonesia
Berparlemen

Penolakan petisi Sutardjo mendorong munculnya gerakan menuju kesatuan nasional,


kesatuan aksi dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Gerakan itu kemudian menjelma
menjadi Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Pembentukan GAPI dipelopori oleh M.H.
Thamrin
dari
Parindra.
Pelaksanaan program GAPI secara kongret mulai terwujud dalam rapatnya pada tanggal 4
Juli 1939. Dalam rapat itu diputuskan untuk mengadakan Kongres Rakyat Indonesia yang
akan memperjuangkan penentuan nasib sendiri serta persatuan dan kesatuan Indonesia.
Namun, sebelum aksi dapat dilancarkan secara besar-besaran, pada tanggal 9 Septamber 1939
terdengar kabar bahwa Perang Dunia II telah berkobar. Oleh karena itu, dalam pernyataan
pada tanggal 19 September 1939, GAPI menyerukan agar dalam keadaan penuh bahaya dapat
dibina hubungan kerja sama yang sebaik-baiknya antara Belanda dan Indonesia.
Aksi pertama GAPI terselenggara dengan mengadakan rapat umum di Jakarta pada tanggal 1
Oktober 1939. Pada pertengahan Desember 1939 diselenggarakan rapat umum di beberapa
tempat. Dengan semboyan Indonesia Berparlemen dalam setiap aksinya GAPI mendesak
pemerintah agar membentuk parlemen yang dipilih dan dari rakyat sebagai pengganti
Volksraad dan dengan pemerimtahan yang bertanggung jawab kepada parlemen tersebut.
Untuk itu, kepala-kepala departemen harus digantikan menteri-menteri yang bertanggung
jawab
kepada
parlemen.
Tanggapan pemerintah kolonial Belanda baru dikeluarkan pada tanggal 10 Februari 1940
melalui menteri jajahan Welter yang menyatakan bahwa perkembangan dalam bidang jasmani
dan rohani akan memerlukan tanggung jawab dalam bidang ketatanegaraan. Sudah barang
tentu hak-hak ketatanegaraan memerlukan tanggung jawab dari para pemimpin. Tanggung
jawab ini hanya dapat dipikul apabila rakyat telah memahami kebijaksanaan politik. Selama
pemerintah Belanda bertanggung jawab atas kebijakan politik di Hindia Belanda, tidak
mungkin didirikan parlemen Indonesia yang mengambil alih tanggung jawab tersebut.
Tentu saja penolakan itu menimbulkan kekecewaan, tetapi GAPI masih meneruskan
perjuangannya. Dalam rapat tanggal 23 Februari 1940, GAPI menganjurkan pendirian Panitia
Parlemen Indonesia sebagai tindak lanjut aksi Indonesia Berparlemen. Akan tetapi,
kesempatan bergerak bagi GAPI sudah tidak ada lagi. Pada awal Mei 1940, Belanda
diduduki oleh Jerman sehingga Perang Dunia II telah berkobar di Negeri Belanda. Meskipun
negerinya sudah diduduki oleh Jerman, tetapi Belanda tidak mau mundur setapak pun dari
bumi
Indonesia.
Sikap pemerintah Belanda yang konservatif itu tidak mengurangi loyalitas rakyat Indonesia
terhadap Belanda, bahkan ada keinginan umum untuk bekerja sama dalam menghadapi
perang itu. Sebagai imbalan dari kesetiaan bangsa Indonesia tersebut, Gubernur Jenderal
Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menjanjikan perubahan dalam berbagai segi kehidupan
masyarakat. Akan tetapi, gagasan mengenai perubahan itu harus disimpan dahulu hingga
perang selesai. Pada tanggal 10 Mei 1941 dalam pidatonya, Ratu Wilhelmina menyatakan
kesediaannya untuk mempertimbangkan suatu penyesuaian ketatanegaraan Belanda terhadap
keadaan yang berubah serta menentukan kedudukan daerah seberangdalam struktur Kerajaan
Belanda. Akan tetapi, masalah itu pun ditunda hingga Perang Dunia II selesai.
Usulan pembentukan milisi pribumi yang berdasarkan kewajiban warga negara untuk
mempertahankan negerinya juga ditolak oleh pemerintah kolonial dengan alasan bahwa
perang modern lebih memerlukan angkatan perang yang professional. Sikap menunda itu pun
diperlihatkan Belanda pada saat dilontarkan Piagam Atlantik (Atlantic Charter) oleh Perdana
Menteri Inggris Woodrow Wilson dan Presiden Amerika Serikat F.D. Roosevelt yang
menjamin hak setiap bangsa untuk memilh bentuk pemerintahannya sendiri.
Satu-satunya hasil dari berbagai upaya kaum pergerakan melalui Dewan Rakyat adalah
pembentuka Komisi Vismen (Commissie-Visman) pada bulan Maret 1941. Komisi tersebut

bertugas meneliti keinginan, cita-cita, serta pendapat yang ada pada berbagai golongan
masyarakat mengenai perbaikan pemerintahan. Hasilnya diumumkan pada bulan Desember
1941 yang menyatakan bahwa penduduk sangat puas dengan pemerintah Belanda.

Hakekat Pergerakan Nasional


a. Arti dan makna pergerakan nasional
Ciri khas yang ada pada Ilmu Sejarah adalah sifat subyektivitas yang tercermin pada setiap
penulisan sejarah. Tanpa mengurangi hakekat kebenaran yang ingin dicapai dalam suatu
penulisan sejarah, ternyata unsur ini tetap melekat. Seperti halnya dalam istilah pergerakan
nasional yang selama ini kita temukan dalam tulisan sejarah sebenarnya juga menunjukan
adanya subyektivitas tersebut, karena setiap bangsa dalam memandang suatu peristiwa
sejarah tentunya memiliki kepentingan.
Subyektivitas ini termasuk di dalamnya terkait dengan kurun waktu dari masa pergerakan
nasional serta keterlibatan berbagai macam unsur dan golongan. Berkaitan dengan istilah
pergerakan nasional tidak banyak yang mengemukakan terminologi ini.
Seperti yang dikatakan oleh Koch bahwa kecuali dari buku De Nationalistiche Beweging in
Nederlans Indie yang ditulis oleh Petrus Th. Blumberger, belumlah ada suatu penerbitan yang
dalam bahasa Belanda yang memuat pandangan yang cukup tajam (DMG. Koch, 1951 : 6).
Dilihat dari munculnya istilah sejarah pergerakan nasional itu sebenarnya formulasi ini pada
mulanya diintrodusir oleh P. Th. Blumberger seperti yang dikutip di atas. Masalah pergerakan
nasional itu menjadi problem karena berkaitan dengan keterlibatan bangsa dalam arti secara
keseluruhan masih merupakan peristiwa langka saat itu.
Di pihak lain perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang penjajah Belanda sebenarnya
telah berlangsung jauh sebelum abad XX. Karena itu masih perlu dijelaskan kriteria apa yang
harus dipakai untuk melihat suatu gerakan itu bersifat nasional. Haruskah gerakan itu
dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia (Hindia Belanda) atau kualitas
gerakan yang bagaimana yang dapat disebut sebagai gerakan nasional itu.
Jika dilihat dari kacamata sekarang tentu gerakan nasional itu adalah gerakan yang kita
lakukan sebagai bangsa Indonesia yang serentak, terencana dan memiliki tujuan yang telah
dirumuskan sebelumnya sehingga memiliki suatu arah dan kepastian dalam keinginan yang
dituju.
Akan tetapi ukuran ini tentu tidak dapat diterapkan pada awal dekade abad XX. Pergerakan
nasional adalah pergerakan bangsa itu, walaupun yang bergerak itu sebagian rakyat atau
sebagian kecil sekalipun asalkan apa yang menjadi tujuan itu dapat menentukan nasib bangsa
itu secara keseluruhan, menuju tujuan yang tertentu yaitu kemerdekaan.
Dalam gerakan ini kesetiaan diletakkan pada bangsa itu sendiri. Pergerakan nasional pada
umumnya merupakan pergerakan dari bangsa yang terjajah melawan bangsa yang menjajah

untuk mendirikan suatu negara yang merdeka. Tujuan pergerakan nasional yang seutuhnya
tidak mungkin akan terwujud sejauh kemerdekaan dalam bidang politik belum dapat dicapai.
Pergerakan nasional dalam sejarah Indonesia merupakan salah satu momentum yang penting.
Memang setiap momentum, dalam sejarah, memiliki karakteristik tertentu yang membedakan
dengan peristiwa sebelum dan sesudahnya. Setiap momentum mengandung nilai-nilai
tertentu, yang jika kita hubungkan dengan sejarah sebagai alat pendidikan tentu mengandung
makna.
Periode pergerakan nasional perlu mendapatkan tempat yang penting dalam kerangka
periodisasi sejarah Indonesia karena ada suatu ciri yang sangat berbeda pada momentum ini
jika dibandingkan dengan babakan sejarah sebelumnya. Ciri yang dimiliki inilah menjadikan
pergerakan nasional memiliki arti penting dalam sejarah Indonesia.
Pergerakan Indonesia meliputi berbagai gerakan atau aksi yang dilakukan dalam bentuk
organisasi secara modern menuju ke arah yang lebih baik terutama dalam kehidupan rakyat
Indonesia. Oleh karena itu dalam perkembangannya gerakan yang terjadi tidak hanya bersifat
radikal akan tetapi juga ada yang bersifat moderat.
Namun demikian bagi suatu organisasi taktik perjuangan dapat berbeda asalkan memiliki
tujuan yang sama. Oleh karena itu koperasi ataupun non koperasi bukan suatu tujuan
melainkan semata-mata sebuah taktik perjuangan. Di samping istilah pergerakan nasional kita
juga mengenal istilah perjuangan nasional.
Akan tetapi kata perjuangan sebenarnya memiliki cakupan waktu yang lebih luas (lama)
karena perjuangan bangsa itu sebenarnya sejak bangsa itu ada sampai mencapai tujuannya,
sedang pergerakan nasional hanyalah meliputi kurun waktu 1908-1945.
Seperti yang dikatakan oleh Susanto Tirtoprodjo, bahwa perjuangan mempunyai arti yang
luas, sehingga yang dilaksanakan oleh pahlawan-pahlawan kita seperti Diponegoro, Teuku
Umar, Imam Bonjol, Hasanudin dan sebagainya merupakan peristiwa-peristiwa dalam
perjuangan nasional Indonesia.
Di atas telah disinggung bahwa pergerakan nasional itu adalah gerakan yang memiliki tujuan
yang pasti, dalam hal ini adalah gerakan tersebut memiliki ciri-ciri tersendiri. Jika suatu
gerakan memiliki tujuan yang pasti, seharusnyalah gerakan itu teratur dalam arti memiliki
suatu perbedaan dengan gerakan yang pernah terjadi sebelumnya.
Perjuangan bangsa Indonesia dalam menentang penjajahan memang dilakukan dengan
berbagai macam cara. Sejak kedatangan bangsa asing ke Indonesia, bangsa Indonesia tidak
tinggal diam. Mereka melakukan perlawanan bahu-membahu. Hal ini dapat kita lihat dalam
sejarah perjuangan bangsa Indonesia seperti dalam perang-perang lokal antara lain serangan
Sultan Agung terhadap VOC, Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Aceh, Perang
Makasar dan lain sebagainya.
Hanya saja apa yang mereka lakukan belum memperoleh hasil yang optimal, artinya belum
mampu mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Ketidakmampuan ini tidak harus ditafsirkan
kalau para pejuang kita kalah. Belum berhasilnya menembus benteng penjajahan itu banyak
sekali faktor yang mempengaruhi.

Dilihat dari strategi perjuangan, rupanya perang (perang fisik) banyak berbicara. Oleh karena
itu kita perlu mengenang keberanian para pejuang Indonesia dalam menghadapi penjajahan
itu. Mereka bersemboyan ''Merdeka atau Mati''. Hanya saja suatu hal yang kurang mendapat
perhatian adalah koordinasi dalam perjuangan belum dilaksanakan, komunikasi belum
terkoordinir.
Hal itu dapat kita lihat dalam Perang Diponegoro yang waktunya hampir bersamaan dengan
Perang Paderi. Jika saja ada koordinasi antara kedua peristiwa itu, tentulah jalannya sejarah
akan menjadi lain. Tetapi sayang komunikasi tidak ada/belum dapat terjalin sehingga
penghentian perang antara Belanda dengan kaum Paderi di Sumatera Barat justru
menguntungkan pihak Belanda sendiri karena kekuatannya dapat dipusatkan untuk
menghadapi pasukan Pangeran Diponegoro di Jawa.
Setelah pasukan Diponegoro dapat dilokalisir maka kekuatan selanjutnya dipergunakan untuk
menghadapi pasukan Paderi di Sumatera Barat. Kenyataan ini mengingatkan kita pada politik
Belanda yang memecah belah persatuan. Persatuan merupakan unsur vital dalam rangka
menghadapi penjajahan semacam Belanda.
Jika masalah ini ternyata sarana untuk mengkomunikasikan taktik dan strategi dalam
menghadapi Belanda belum terjadi pada periode sejarah Indonesia sebelum abad XX. A.K.
Pringgodigdo dalam bukunya ''Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia'', pada halaman 1
menyebut dengan istilah organisasi ''modern''.
Contoh organisasi yang pertama memiliki ciri-ciri modern ini adalah Budi Utomo, yang
didirikan oleh Dr. Soetomo pada tahun 1908. Berdirinya organisasi yang mempunyai ciri dan
watak berbeda dengan apa yang ada dalam perjuangan bangsa Indonesia sebelum abad XX
oleh bangsa Indonesia diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional.
Peringatan lahirnya Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional didasarkan atas
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316, tertanggal 16 Desember 1959. Jadi
peringatan Kebangkitan Nasional bertepatan dengan peringatan lahirnya Budi Utomo 20 Mei
1908, tentu ada hal yang spesifik.
Yang kita maksud spesifik menurut A.K. Pringgodigdo adalah sebagai berikut :
1. Memiliki pengurus yang pasti;
2. Memiliki anggota yang terdaftar;
3. Memiliki tujuan;
4. Memiliki rancangan pekerjaan yang dalam hal ini program kerja;
5. Lain-lain didasarkan atas peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa disamping syarat-syarat yang dikemukakan oleh A.K.
Pringgodigdo di atas, tentu tekanan kita adalah bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah untuk
kepentingan nasional (kemerdekaan bangsa). Pembahasan tentang makna pergerakan
nasional, kita harus mengetahui terlebih dahulu bahwa makna itu apa.
Sidi Gazalba menyebutkan : Makna adalah Azas yang menentukan saling berhubungan antara
bagian-bagian dan antara bagian-bagian dengan keseluruhan. Jika kita telah pembahasan ini
ternyata makna itu dikaitkan dengan suatu pendekatan sistem. Berbicara tentang makna
pergerakan nasional, tentu tidak terlepas dari makna sejarah pada umumnya.

Hal ini karena pergerakan nasional merupakan salah satu bagian dari sejarah Indonesia.
Pentingnya sejarah bagi suatu bangsa, mengingat sejarah memiliki arti penting, karena ada
sesuatu yang dapat diberikan oleh sejarah pada kita. Orang sering mengatakan, kita
hendaknya belajar dari sejarah.
Sekarang, kalau kita berbicara tentang makna pergerakan nasional, tentu tidak dapat
dipisahkan dengan kedudukan pergerakan nasional dalam sejarah perjuangan nasional. Hal
ini karena perjuangan nasional memiliki makna yang luas. Sehubungan dengan hal itu, kita
melihat sampai sejauh mana pergerakan nasional itu menimbulkan dampak terhadap
perjuangan selanjutnya.
Jawaban akan masalah ini memberikan petunjuk pada kita bahwa gebrakan Budi Utomo
sebagai pemula pergerakan nasional menimbulkan suatu kenyataan, dimana banyak partai
politik berdiri mengikutinya, seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia,
Partindo dan sebagainya, baik yang bersifat politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Dari
kenyataan tersebut di atas, jelaslah bahwa pergerakan nasional yang muncul awal abad XX
memberikan warna baru dalam hubungannya dengan taktik dan strategi perjuangan bangsa
Indonesia.
b. Perkembangan pendidikan di Indonesia
Perkembangan sistem pendidikan pada masa Hindia Belanda tidak dapat dipisahkan dengan
politik etis. Ini berarti bahwa terjadinya perubahan pada negeri jajahannya (Indonesia)
banyak dipengaruhi oleh keadaan yang terjadi di negeri Belanda sendiri.Tekanan datang dari
Partai Sosial Demokrat yang di dalamnya ada Van Deventer yang juga seorang liberal yang
tangguh dengan mencetuskan hutang budi.
Apa yang diinginkan Van Deventer ternyata menjadi kenyataan ketika dalam bulan
September 1902 A.W.F. Indenburg mulai menduduki pos Menteri Urusan Jajahan. Dalam
salah satu pidatonya Indenburg mengatakan :
''Selama dua puluh lima tahun terakhir ini penduduk (pulau Jawa) telah bertambah empat
puluh lima persen, sedangkan tanah sawah hanya bertambah dua puluh tiga persen
(produktivitas dua puluh delapan persen). Jadi penghasilan rata-rata perorangpun menurun.
Jumlah petani yang tidak memiliki tanah bertambah. Jumlah penduduk yang mencari
lapangan usaha lain bertambah, tetapi pendapatan rata-rata mereka menurun. Semua
kenyataan ini membenarkan kesimpulan bahwa Jawa berada dalam keadaan transisi. Dari
suatu masyarakat yang benar-benar agrasi ke suatu masyarakat dimana industri maju ke
depan berdampingan dengan pertanian. Dan apabila seseorang memandang kenyataankenyataan ini sebagai sebab umum, maka sudah jelas arah yang dituju adalah untuk suatu
perbaikan''.
Kutipan di atas memberikan petunjuk bahwa sistem tanam paksa yang dilakukan oleh
Belanda ternyata membawa kesegaran yang luar biasa bagi rakyat Indonesia. Pelaksanaan
sistem tanam paksa telah mengakibatkan rakyat Indonesia yang amat mendalam.
Ternyata politik yang diterapkan tersebut menghasilkan batig slot dan politik drainage.
Setelah mendapat kecaman dari berbagai pihak, maka Belanda mulai menghapus pelaksanaan
tanam paksa secara berangsur-angsur. Berkat dorongan kaum liberal, serta kaum humanis di
Indonesia mulai dilaksanakan sistem usaha swasta dan penanaman bebas.

Sistem ini kenyataannya tidak dapat mengentas rakyat dari kemiskinan. Banyak kritikan
dilakukan oleh tokoh di negeri Belanda seperti de Wall, Fransen van den Pute dan juga oleh
Brosstchooft (seorang jurnalis dan redaktur majalah De Locomotif, sebuah harian yang ada di
Semarang) yang mengatakan bahwa selama satu abad lebih kekayaan dan keuntungan yang
mestinya menjadi milik rakyat Indonesia telah diambil alih oleh pemerintah Belanda.
Pada tahun 1905 adalah saat di mana akan dilaksanakan pemilihan umum, dan ternyata ven
Deventer terpilih sebagai anggota Parlemen dari kelompok Demokrat Radikal. Namun
sebelum itu sebenarnya tokoh ini telah banyak memberikan kritikan terhadap pemerintah
penjajahan Belanda.
Hal ini tercermin dalam tulisan yang dimuat dalam majalah de Gids dengan judul Een
Ereschuld yang berarti hutang budi atau hutang kehormatan. Dalam tulisan tersebut, ia
menjelaskan bahwa kekosongan kas negeri Belanda sebagai akibat perang Diponegoro dan
perang kemerdekaan Belgia telah dapat diisi kembali berkat pengorbanan orang-orang
Indonesia.
Kemakmuran dan kemajuan negeri Belanda diperoleh dari kerja dan jasa orang koloni
Indonesia. Karena itu Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Indonesia. Untuk itu harus
dibayar dengan peningkatan kesejahteraan melalui gagasannya yang dikenal dengan ''Tri Logi
van Deventer'' yang di dalamnya terdiri dari emigrasi, irigasi, dan edukasi.
Politik yang diperjuangkan dalam rangka mengadakan desentralisasi, kesejahteraan rakyat
serta efisiensi yang kemudian dikenal dengan politik etis. Kritik dan saran yang disampaikan
van Deventer mendapat tanggapan positif dari pemerintah Belanda. Hal ini dapat dilihat
dalam pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901.
Dalam pidatonya, Ratu mengemukakan gagasan pembaharuan politik yang diberi judul
''Etische Richting'' (Haluan Etika) yang lebih dikenal dengan politik etis. Dalam pidato
tersebut Ratu Wilhelmina antara lain menyatakan adanya kewajiban bagi pemerintah Belanda
untuk memperbaiki kesejahteraan dan kedudukan orang pribumi.
Hal ini tercermin dari usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka menindaklanjuti pidato Ratu
Wilhelmina seperti :
1. Pembentukan panitia kemunduran kesejahteraan untuk menyelidiki sebab-sebab
kemunduran itu;
2. Menghidupkan kembali perusahaan pribumi;
3. Diadakan pinjaman tak berbunga 30 juta gulden dan pemberian berbagai hadiah 40 juta
gulden;
4. Penyelidikan mengenai keadaan ekonomis yang tercantum dalam laporan van Deventer.
Sebagai akibat dari semua itu ternyata terdapat kemajuan serta suatu perubahan yang dapat
dilihat dalam hal desentralisasi, perubahan-perubahan pemerintahan, perbaikan kesehatan
rakyat, emigrasi, perbaikan pertanian dan peternakan, pembangunan irigasi dan lalu lintas.
Pertama-tama pemerintah Belanda mengusahakan desentralisasi, yang mendasarkan pada tiga
prinsip, yaitu pengalihan pemerintah dari Negeri Belanda ke Hindia Belanda, Batavia ke
daerah lain, Bangsa Eropa ke penduduk pribumi. Pada kenyataan peralihan pemerintahan dari

negeri Belanda ke Indonesia sulit dilaksanakan, namun demikian usaha-usaha ke arah


desentralisasi tetap dilaksanakan.
Pada tahun 1903 Staten General (Badan Legislatif Federal) menyetujui adanya UndangUndang Desentralisasi. Mulai tahun 1905 dibentuk dewan-dewan kota, yang tugasnya antara
lain membuat peraturan tentang pajak dan bangunan umum. Dari segi keanggotaan, dewan
tersebut lebih banyak didominasi oleh orang-orang Eropa.
Untuk mendukung pelaksanaan politik etis, pemerintah Belanda mencanangkan Politik
Asosiasi dengan semboyan unifikasi. Politik asosiasi berkaitan dengan sikap damai dan
menciptakan hubungan harmonis antara Barat (Belanda) dan Timur (Rakyat pribumi).
Dengan politik asosiasi dan semboyan unifikasi, akan terjadsi suatu proses pembelandaan
terhadap rakyat Indonesia. Namun demikian ternyata cara yang dilakukan Belanda ini tidak
memperoleh sambutan dari rakyat Indonesia sehingga kebijakan ini tidak membawa hasil.
Mereka berpandangan bahwa bangsa Belanda merasa superior, lebih kuat dan unggul,
sehingga politik asosiasi justru menimbulkan hubungan yang paternalistik. Belanda berperan
sebagai bapak dan Indonesia sebagai anak yang masih harus dibina. Oleh karena itu politik
etis juga sering disebut sebagai Paternalistik Politik (pater/father = ayah).
Dalam bidang kesehatan, pemerintah telah melaksanakan program pemberantasan penyakit
menular, seperti pes, cacar, kolera dan malaria, sehingga dapat menurunkan angka kematian
(salah satu faktor yang paling dirasakan sebagai penderitaan adalah tingkat kesehatan
masyarakat sangat rendah dan banyak terserang penyakit).
Hal ini tidak lepas dari peningkatan jumlah penduduk, kepadatan penduduk dan sehingga
kesempatan kerja di Jawa sangat terbatas mengakibatkan terjadinya pengangguran. Dalam
rangka mengatasi hal ini dilaksanakan emigrasi. Perpindahan penduduk terutama dilakukan
dari pulau Jawa ke luar Jawa, terutama Sumatera.
Program ini tidak banyak menolong keadaan rakyat, karena lebih banyak menjadi buruh yang
hidupnya menderita. Ternyata apa yang dilakukan Belanda bukan menyejahterakan rakyat
akan tetapi justru memindahkan kesengsaraan. Inilah secara kultural menjadi beban bagi
rakyat Indonesia ketika akan dilaksanakan transmigrasi ke luar Jawa.
Dalam bidang pendidikan (edukasi), tujuan semula Belanda adalah untuk mendapat tenaga
kerja atau pegawai murahan dan mandor-mandor atau pelayan-pelayan yang dapat membaca
dengan gaji yang murah. Untuk kepentingan tersebut, Belanda mendirikan sekolah-sekolahan
untuk rakyat pribumi.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pelaksanaan politik etis tidak terlepas dari kepentingan
pemerintah kolonial Belanda. Karena itu politik etis sering disebut sebagai politik sarung
tangan sutra sebagai pengganti politik sarung tangan besi. Di atas dikatakan bahwa
munculnya sistem pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan politik etis.
Dari sinilah mulai adanya perhatian terhadap perkembangan pendidikan mengingat salah satu
dari Trilogi van Deventer secara eksplisit menyebutkan mengenai edukasi. Jika dilihat dari
aspek sejarahnya, sebenarnya sistem pendidikan sudah ada sejak zaman VOC.

Pada tahun 1617 di Jakarta telah didirikan sekolah Betawi (Batavische School). Pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff di Jakarta juga didirikan Seminarium
Theologicum. Pada tahun 1743 juga berdiri Akademi Pelayaran (Academie der Marine).
Dengan adanya perbedaan perlakuan sebagai akibat dari sistem sosial yang berlaku dalam
masyarakat kolonial khususnya terhadap golongan Timur Asing, maka pada tahun 1737
didirikan sekolah khusus untuk orang Tionghoa.
Munculnya sistem pendidikan kolonial ketika itu, tidaklah berbanding lurus dengan
kepentingan mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini karena secara idiil sistem
pendidikan lebih banyak pada upaya untuk seberapa jauh pendidikan yang dirancang itu telah
memenuhi kebutuhan akan tenaga bagi Hindia Belanda.
Setelah dilaksanakannya Politik Etis sebagai salah satu kebijakan pemerintah Hindia
Belanda, banyak lembaga pendidikan mulai berdiri. Namun demikian ternyata perbedaan
warna kulit (color line division), ternyata menjadi salah satu hambatan masuk sekolah. Sistem
pendidikan ternyata juga dikembangkan disesuaikan dengan status sosial masyarakat (Eropa,
Timur Asing dan Bumiputra).
Untuk kelompok bumiputra masih diwarnai oleh status keturunan yang terdiri dari kelompok
bangsawan kaum priyayi dan rakyat jelata. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka
struktur pendidikan terdiri dari pendidikan dasar yang di dalamnya ada ELS (Europese
Legerschool) dan HIS (Holandsch Inlandschool) untuk keturunan Indonesia asli yang berada
pada golongan atas, sedangkan untuk golongan Indonesia asli dari kelas bawah disediakan
Sekolah Kelas Dua.
Dalam pendidikan tingkat menengah ada HBS (Hogere Burger School) MULO (Meer
Uitegbreit Ondewijs), AMS (Algemene Middelbarea Aschool). Di samping itu juga ada
beberapa sekolah kejuruan seperti Kweek School, Normaal School.
Untuk pendidikan tinggi, ada Pendidikan Tinggi Teknik (Koninklijk Institut voor Hoger
Technisch Ondewijs in Nederlandsch Indie), Sekolah Tinggi Hukum (Rechschool), dan
Sekolah Tinggi Kedokteran yang berkembang sejak dari SekolahDokter Jawa, STOVIA,
NIAS dan GHS (Geneeskundige Hogeschool).
Pendidikan kesehatan (kedokteran tersebut di atas) yang sejak 2 Januari 1849 semula lahir
sebagai Sekolah Dokter Jawa, kemudian pada tahun 1875 diubah menjadi Ahli Kesehatan
Bumiputra (Inlandsch Geneeskundige). Dalam perkembangannya pada tahun 1902 menjadi
dokter Bumiputra.
Sekolah ini di beri nama STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) yang kemudian
pada tahun 1913 diubah menjadi NIAS (Nederlandsch Indische Artsenschool). Jika kita
kaitkan dengan lahirnya pergerakan nasional, peranan para lulusan sekolah kedokteran ini
memiliki posisi yang sangat signifikan.
Hal ini terbukti dari kehadiran mereka ternyata menjadi pelopor dalam pergerakan nasional
dengan mendirikan organisasi seperti Studie Fond maupun Budi Utomo. Oleh karena itu
dalam kaitannya dengan lahirnya pergerakan nasional kita mengenal nama dr. Wahidin
Sudirohusodo, dr. Sutomo yang notabene sebagai bapak pergerakan nasional.

c. Nasionalisme dan kesadaran nasional


Nasionalisme jika dilihat dari aspek bahasa, memiliki akar kata Natie (Belanda), atau nation
(Inggris) yang berarti bangsa. Bagaimana bangsa itu terjadi banyak pendapat tentang hal ini
dan semua itu sangat tergantung pada latar belakang sejarah masing-masing bangsa.
Dengan demikian bangsa itu terbentuk sangat beraneka ragam bisa terjadi karena faktor
budaya (nilai-nilai yang ada pada sekelompok yang kemudian menyebut dirinya sebagai
bangsa, atau tradisi yang menjadi pengikat diantara mereka), tetapi tidak menutup
kemungkinan ada faktor lain seperti ekonomi, politik, teritorial yang semuanya itu bermuara
pada adanya kesepakatan bersama diantara mereka dengan mencanangkan suatu tujuan
tertentu.
Pertanyaan yang sering mengganggu kita dalam memahami sejarah nasional Indonesia,
berkaitan dengan bagaimana nasionalisme Indonesia itu terjadi, bagaimana hubungan antara
munculnya nasionalisme itu dengan kesadaran nasional dan kapan sebenarnya nasionalisme
Indonesia itu muncul.
Sebelum lahirnya pergerakan nasional mestinya ada ''benih-benih'' terlebih dahulu yaitu
kesadaran nasional. Kesadaran nasional sebenarnya suatu pandangan yang sangat terkait
dengan soal perasaan, soal kehendak (tekad) semata-mata untuk hidup bersama (ledesir de
vivre ensenble) yang timbul antara golongan besar manusia yang nasibnya sama dalam masa
lampau terutama dalam penderitaan-penderitaan bersama.
Nasional memiliki fungsi sentral, adalah suatu kesadaran yang menetapkan pengalaman,
perilaku serta tindakan individu dalam kerangka nasional, kesemuanya itu ditempatkan dalam
konteks nasional baik secara sinkrinis maupun diakronis. Rasa kebangsaan menunjuk pada
semangat kadar nasionalitas.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia merekam pemilikan rasa/kesadaran kebangsaan itu.
Menentukan kapan sebenarnya munculnya kesadaran nasional itu bukanlah suatu yang
mudah, mengingat hal tersebut merupakan gejala masyarakat dimana masyarakat selalu sarat
dengan mobilitas serta pertumbuhan.
Memang dari sudut meterial kesadaran itu sudah ada jauh sebelum kedatangan bangsa Barat
ke Indonesia. Bangsa Indonesia dalam gerak sejarahnya baik vertikal maupun horizontal
membantu rasa kesadaran kebangsaan tersebut sejak kebangkitan nasional pada tahun 1908.
Perjuangan yang dilakukan bangsa Indonesia menghadapi penjajah kiranya bukan tanpa suatu
rasa/kesadaran harga diri primordial yang antisipatif akan tetapi kesadaran itu muncul dari
sifat primordialis dan tribalistis yang sehat.
Kesadaran nasional bertolak dari faktor kohesi sosial sebagai dasar integrasi dan solidaritas
sosial yang terbentuk oleh suatu kekuatan sejarah. Pada gilirannya kekuatan sejarah akan
membentuk kecenderungan sejarah yaitu suatu arus besar yang menandai perjalanan alur
sejarah dari suatu periode tertentu.
Pada awal abad XX titik-titik terang penemuan kembali harga diri bangsa yang secara nyata
telah muncul sebagai sebuah kesadaran nasional. Kebutuhan pendidikan telah disadari

sebagai kebutuhan yang tidak bisa ditunda dan diabaikan lagi, kesadaran ini semakin hari
semakin meluas di Indonesia.
Keinginan mengejar dan mencapai kemajuan dengan menuntut pelajaran serta pendidikan
dengan semakin banyaknya anak-anak sekolah untuk menuntut ilmu. Mereka sadar bahwa
penguasaan ilmu pengetahuan (bebas dari kebodohan) merupakan bekal awal untuk mampu
menghadapi bangsa Barat.

Anda mungkin juga menyukai