Anda di halaman 1dari 19

Amenorea Primer

Sebelum membahas tentang amenorea primer berkaitan dengan jenis,patofisiologi, dan


penatalaksanaannya, terlebih dahulu dibahas tentang bagaimana evaluasi amenorea itu sendiri
sehingga didapatkan kelainan yang mengarah pada diagnosis amenorea primer.
Evaluasi Amenorea
Gejala amenorea dijumpai pada penyakit-penyakit atau gangguan-gangguan yang bermacam
macam. Untuk menegakkan diagnosis yang tepat berdasarkan etiologi, tidak jarang diperlukan
pemeriksaan-pemeriksaan yang beraneka ragam, rumit, dan mahal. Tidak semua fasilitas
kesehatan mampu melaksanakan semua pemeriksaan, dan hal itu tidak selalu perlu. Ada jenisjenis amenorea yang memerlukan pemeriksaan lengkap, akan tetapi ada juga yang dapat
ditetapkan diagnosisnya dengan pemeriksaan sederhana.
Anamnesis yang baik dan lengkap sangat penting. Pertama, harus diketahui apakah amenorea itu
primer atau sekunder. Selanjutnya, perlu diketahui apakah ada hubungan antara amenorea dan
faktor-faktor yang dapat menimbulkan gangguan emosinal, apakah penderita mengidap penyakit
akut atau menahun; apakah ada gejala-gejala penyakit metabolik dan lain-lain.
Sesudah anamnesis, perlu dilakukan pemeriksaan umum yang seksama; keadaan tubuh penderita
tidak jarang memberi petunjuk-petunjuk yang berharga. Apakah penderita pendek atau tinggi,
apakah berat badan sesuai dengan tingginya, apakah ciri-ciri kelamin sekunder berkembang
dengan baik atau tidak, apakah ada tanda hirsutisme; semua ini penting untuk pembuatan
diagnosis.
Pada pemeriksaan ginekologik umumnya dapat diketahui adanya berbagai jenis ginatresis,
adanya aplasia vaginae, keadaan klitoris, aplasia uteri, adanya tumor, ovarium dan sebagainya.
Dengan anamnesis, pemeriksaan umum, dan pemeriksaan ginekologik, banyak kasus amenorea
dapat diketahui sebabnya. Apabila pemeriksaan klinik tidak memberi gambaran yang jelas
mengenai sebab amenorea, maka dapat dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lanjutan.
Dalam menangani kasus-kasus amenorea haruslah teliti dalam memilih informasi yang
diperlukan. Meskipun data tambahan tersedia pada waktu tersebut, dijabarkan dari latar
belakang, pengujian fisik dan evaluasi kelenjar endokrin lainnya seperti tiroid dan adrenalin, halhal tersebut semestinya tidak digunakan untuk diagnosis sampai keseluruhan rangkanya lengkap.

Pengalaman telah menunjukkan diagnosis yang prematur seringkali terjadi bias, meskipun
kadang-kadang bisa tepat. Oleh karena itu perlu dilakukan investigasi dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Langkah awal dalam kerangka evaluasi penderita amenorea, dimulai dari pengukuran
hormon thyroid stimulating hormones (TSH), kadar prolaktin, dan tes provokasi
progesteron. Langkah awal untuk pasien galaktorea, tanpa melupakan riwayat
menstruasi, juga harus diperiksa TSH dan pengukuran prolaktin serta perlu ditambahkan
pemeriksaan rontgen dari sisi lateral pada sella tursika. Hanya sedikit penderita dengan
amenorea dan atau galaktorea menderita hipotiroid yang tidak tampak secara klinis.
Walaupun kelihatannya berlebihan melakukan pemeriksaan kadar TSH untuk penderita
yang hanya memberikan hasil yang kurang berarti, karena pengobatan untuk hipotiroid
sangat mudah dan diperoleh hasil yang cepat dari siklus menstruasi. Jika terdapat
galaktorea, pengukuran TSH dianjurkan.
Rangsangan yang konstan hormon RH dari hipotalamus akan menyebabkan hipertrofi
atau hiperplasia dari hipofisis. Pemeriksaan rontgen menggambarkan tumor dapat dilihat
(kelainan, ekspansi, atau erosi dari sella tursika). Penderita dengan hipotiroid primer
dan hiperprolaktinemia dapat muncul dengan amenorea primer maupun amenorea
sekunder.
Tujuan dari uji progesteron adalah untuk menilai kadar estrogen endogen dan
kompetensi dari saluran genitalia. Uji progesteron yang dilakukan oleh Davajan dkk
adalah dengan menyuntikkan 100 mg progesteron dalam larutan minyak atau
medroksiprogesteron asetat (provera) 30 mg peroral selama tiga hari. Respon pemberian
progesteron dinilai 214 hari setelah pemberian hormon tersebut dan diukur kadar LH
serum. Speroff melakukan uji progesteron dalam dua pilihan yaitu: pemberian
progesteron secara parenteral dalam larutan minyak (200 mg) atau secara oral dengan
medroksiprogesteron asetat 10 mg setiap hari selama lima hari.
Dalam 27 hari setelah pemberian progesteron, pasien kemungkinan terjadi perdarahan.
Hal ini berarti bahwa sistem saluran pengeluaran berada dalam batas normal dan adanya
uterus yang endometriumnya reaktif terhadap estrogen endogen. Dari hasil tersebut dapat
ditetapkan adanya estrogen, fungsi yang minimal pada ovarium, hipofisis, dan sistem

syaraf pusat. Dengan tidak adanya galaktorea, dengan kadar prolaktin yang normal, dan
kadar TSH yang normal, evaluasi selanjutnya tidak diperlukan.
Terdapat dua situasi yang terjadi bersamaan dengan respon yang negatif walaupun
terdapat estrogen endogen yang cukup. Pada kedua situasi, endometrium mengalami
reaksi desidua, tetapi kemudian tidak terjadi pelepasan mengikuti penghentian secara
tiba-tiba dari pemberian progesteron eksogen. Kondisi yang pertama terdapat reaksi
desidua dari endometrium sebagai respon adanya kadar androgen yang tinggi. Pada
keadaan kedua merupakan keadaan klinik yang tidak biasa, endometrium mengalami
reaksi desidua oleh karena kadar progesteron yang tinggi yang berhubungan dengan
kekurangan enzim adrenal spesifik.
Tanpa adanya galaktorea dan jika level serum prolaktin normal (kurang dari 20 pg/ml),
evaluasi lanjutan untuk tumor hipofisis tidak perlu.

Jika prolaktin meningkat, evaluasi

dari sella tursika sangat diperlukan. Dalam kerangka ini, pernyataan berikut dapat
dijadikan petunjuk praktis klinik: pendarahan positif membutuhkan pengobatan
progesteron, dan tanpa adanya galaktorea serta kadar prolaktin yang normal dapat
dijadikan petunjuk bahwa kita dapat mengabaikan adanya tumor hipofisis.
Kenaikan sekresi prolaktin menambah perhatian kita pada keadaan kelenjar hipofisis.
Untuk menjadi pertimbangan, perlu disampaikan bahwa terdapat laporan kasus dengan
sekresi ektopik dari lapisan hipofisis pada faring, karsinoma bronkus, karsinoma sel-sel
renal, gonadoblastoma, pada seorang wanita dengan amenorea dan hiperprolaktinemia
serta ditemukan juga adanya prolaktinoma pada dinding kista dermoid ovarium.
2. Jika rangkaian pengobatan progesteron tidak memberikan hasil seperti pada langkah di
atas, apalagi sistem organ target tidak operatif atau perkembangan estrogen dari
endometrium tidak terjadi. Langkah 2 didesain untuk membuat klarifikasi terhadap
situasi ini. Pemberian estrogen oral, estrogen dapat merangsang secara aktif baik secara
kwantitatif maupun durasinya untuk perkembangan endometrium dan pendarahan yang
aktif dari uterus pada sistem pengeluaran yang ada. Dosis yang sesuai adalah 1,25 mg
estrogen konjugasi setiap hari selama 21 hari. Tambahan lanjutannya adalah progesteron

yang aktif secara oral (medroksiprogesteron asetat 10 mg setiap hari selama 5 hari
terakhir) diperlukan untuk menghasilkan menstruasi.
Sebagai hasil dari test farmakologis langkah 2, apakah pada penderita dengan amenorea
tersebut terjadi perdarahan atau tidak. Jika tidak terjadi, diagnosis dari kerusakan pada
kompartemen I (endometrium, aliran pengeluaran) bisa ditegakkan. Jika pendarahan
terjadi, bisa diasumsikan bahwa kompartemen I mempunyai kemampuan fungsional yang
normal jika mendapat rangsangan esterogen.
Dari sudut pandang praktis, pada pasien dengan alat genitalia interna dan eksterna yang
normal dapat ditetapkan dengan pengujian pada panggul, dan tanpa adanya latar belakang
infeksi atau trauma (seperti kuretase), serta tidak didapatkannya ketidaknormalan dari
aliran pengeluaran yang tidak sewajarnya. Masalah aliran pengeluaran termasuk
kerusakan endometrium, secara umum sebagai akibat dari kuretase yang berlebihan atau
akibat dari infeksi, atau akibat amenorea primer dari diskontinuitas atau abnormalitas
pada duktus Mulleri.

3. Pasien amenorea tidak sanggup menyediakan rangsangan estrogen yang memadai. Untuk
memproduksi estrogen, ovarium memiliki folikel yang normal dan hormon hipofisis yang
cukup untuk merangsang organ yang diperlukan. Langkah 3 dirancang untuk menentukan
apakah 2 komponen yang penting (gonadotropin atau aktifitas folikel) berfungsi secara
wajar atau tidak.
Langkah ini mengikutsertakan pengujian tingkat gonadotropin pada pasien. Karena
langkah 2 mengikutsertakan pemberian estrogen eksogen, kadar gonadotropin endogen
mungkin tidak nyata. Sebab itu, penundaan selama 2 minggu setelah langkah 2 mesti
dilakukan sebelum melaksanakan langkah 3, pengujian gonadotropin.
Langkah 3 dirancang untuk menentukan apakah kekurangan estrogen menyebabkan
kesalahan pada folikel (kompartemen II) atau pada sistem aksis syaraf pusat-hipofisis
(kompartemen III dan IV). Hasil pengujian gonadotropin pada wanita amenorea yang
tidak mengalami pendarahan setelah pemberian pemicu progestagen akan menghasilkan
kadar gonadotropin abnormal yang tinggi, abnormal yang rendah, atau pada kadar yang
normal.

Prinsip dasar fisiologi fungsi menstruasi memungkinkan dibuatnya suatu sistem yang
memisahkan dalam beberapa kompartemen dimana menstruasi yang normal tergantung.
Hal ini berguna untuk memakai evaluasi diagnostik yang memilah penyebab amenorea
dalam 4 kompartemen, yaitu:

Kompartemen I : kelainan terletak pada organ target uterus atau outflow tract

Kompartemen II : kelainan pada ovarium.

Kompartemen III : kelainan pada pituitri anterior

Kompartemen IV : kelainan pada sistem syaraf pusat (hipotalamus).

Patofisiologi gangguan pada masing-masing kompartemen :


a. Gangguan Kompartemen I
Anomaly Ductus Mulleri
Pada keadaan amenorea primer, diskontinuitas oleh gangguan/kelainan segmental dari
tubulus Mulleri harus disingkirkan. Observasi langsung dapat menentukan ada tidaknya
himen imperforata, obliterasi orifisium vaginae dan adanya diskontinuitas kanalis
vaginalis. Keadaan lain yang jarang ditemukan, yaitu terdapat uterus tetapi tanpa
terbentuknya kavum uteri, atau terdapat kavum uteri tetapi endometriumnya kurang
secara kongenital. Kecuali pada kelainan kongenital yang disebutkan terakhir, problem
klinik amenorea yang didasarkan pada adanya obstruksi menimbulkan adanya keluhan
nyeri yang disertai distensi dari hematokolpos, hematometra, atau hematoperitoneum.
Penanganan yang dapat dilakukan dengan insisi dan drainage. Bahkan pada keadaan yang
disertai komplikasi, perbaikan kontinuitas duktus Mulleri biasanya dapat dicapai dengan
pembedahan. Sayangnya dapat terjadi konsekuensi dari tindakan ekstirpasi operatif
terhadap massa yang nyeri di atas berupa kerusakan/trauma pada kandung kencing,
ureter, dan rektum.
Merupakan suatu keuntungan bila mengetahui jenis kelainan sebelum koreksi bedah
dilakukan. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat dilakukan untuk mengetahui
abnormalitas anatomik yang akurat. Diagnosis preoperatif akan memudahkan rencana dan
pelaksanaan terapi bedah.

Agenesis Ductus Mulleri


Terhambatnya

perkembangan

duktus

Mulleri

(Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser

syndrome) merupakan diagnosis pada individu dengan keluhan amenorea primer dan
tidak terbentuknya vagina. Kelainan ini relatif sering sebagai penyebab amenorea primer,
lebih sering dari pada insensitifitas androgen kongenital dan lebih jarang dibandingkan
disgenesis gonad. Pada penderita sindroma ini tidak ada vagina atau adanya vagina yang
hipoplasi. Uterus dapat saja normal, tetapi tidak mempunyai saluran penghubung dengan
introitus, atau dapat juga uterusnya rudimenter, bikornu. Jika terdapat partial endometrial
cavity, penderita dapat mengeluh adanya nyeri abdomen yang siklik. Karena adanya
kemiripan dengan beberapa tipe pseudohermafroditism pria, diperlukan pemeriksaan
untuk menunjukkan kariotipe yang normal perempuan. Fungsi ovarium normal dan dapat
dilihat dari suhu basal tubuh atau kadar progesteron perifer. Pertumbuhan dan
perkembangan penderita normal.
Bila dari pemeriksaan didapatkan adanya struktur uterus, pemeriksaan ultrasonografi
dapat dilakukan menentukan ukuran dan simetris tidaknya struktur uterus tersebut. Bila
gambaran anatomis sebagai hasil USG tidak jelas, merupakan indikasi untuk dilakukan
pemeriksaan MRI. Pemeriksaan laparoskopi pelvis tidak diperlukan. Pemeriksaan MRI
lebih akurat dibandingkan pemeriksaan USG dan lebih murah serta tidak invasif bila
dibandingkan laparoskopi. Ekstirpasi sisa duktus Mulleri tidak diperlukan kecuali kalau
menimbulkan

masalah

seperti

berkembangnya

uterine

fibroid,

hematometra,

endometriosis, atau herniasi simptomatis ke dalam kanalis inguinalis.


Karena berbagai kesulitan dan komplikasi yang terjadi pada pembedahan, maka bila
memungkinkan Speroff dkk lebih memilih alternatif untuk melakukan konstruksi bedah
dengan membuat vagina artifisial. Sebaliknya, Speroff menganjurkan penggunaan
dilatasi yang progresif seperti yang mula-mula diperkenalkan oleh Frank dan kemudian
oleh Wabrek dkk. Mula-mula ke arah posterior vagina, dan kemudian setelah 2 minggu
diubah ke arah atas dari aksis vagina, tekanan dengan dilator vagina dilakukan selama 20
menit setiap hari. Dengan menggunakan dilator yang ditingkatkan makin besar, vagina
yang fungsional dapat terbentuk kurang lebih dalam 6-12 minggu. Terapi operatif
ditujukan bagi penderita yang tidak dapat dilakukan penanganan dengan metode Frank,
atau gagal, atau bila terdapat uterus yang terbentuk baik dan fertilitas masih mungkin

untuk dipertahankan. Penderita seperti ini dapat diidentifikasi dengan adanya simptom
retained menstruation. Ada juga yang merekomendasikan untuk melakukan laparotomi
inisial yang gunanya untuk mengevaluasi kanalis servikalis; jika serviks atresia, uterus
harus diangkat.
Penderita dengan septum vagina transversalis, dimana terjadi kegagalan kanalisasi
sepertiga distal vagina, biasanya disertai gejala obstruksi dan frekuensi urin. Septum
transversalis dapat dibedakan dari himen imperforata dengan kurang-nya distensi
introitus pada manuver Valsava.
Pada kategori kelainan ini, obstruksi traktus genitalis bagian distal merupakan satusatunya kondisi yang dapat dipandang sebagai keadaan emergensi. Keterlambatan dalam
terapi bedah dapat menyebabkan terjadi infertilitas sebagai akibat perubahan peradangan
dan endometriosis. Pembedahan definitif harus dilakukan sesegera mungkin. Diagnostik
dengan aspirasi menggunakan jarum tidak boleh dilakukan karena dapat menyebabkan
hematokolpos berubah menjadi pyokolpos

Feminisasi Testikuler
Insensitifitas androgen komplit (sindroma feminisasi testikuler) merupakan diagnosis
yang paling mungkin bilamana terjadi kanalis vaginalis yang buntu dan uterus tidak ada.
Kelainan ini merupakan penyebab amenorea primer yang ketiga setelah disgenesis gonad
dan

agenesis

mullerian.

Penderita

dengan

feminisasi

testikuler

merupakan

pseudohermafrodit pria. Kata pria disini, didasarkan pada gonad yang dimiliki
penderita; jadi individu ini memiliki testes dan kariotipe XY. Pseudohermafrodit artinya
bahwa alat genitalnya berlawanan dengan jenis gonad-nya; jadi, individu tersebut secara
fenotif wanita tetapi dengan tidak ada atau sangat kurangnya rambut kemaluan dan
ketiak.
Pseudohermafrodit pria adalah genetik dan gonad yang dimilikinya pria dengan
kegagalan virilisasi.

Kegagalan dalam perkembangan pria dapat meliputi suatu spektrum

dengan bentuk insensitifitas androgen yang inkomplit. Transmisi kelainan ini melalui Xlinked recessive gene yang bertanggung-jawab terhadap reseptor androgen intraseluler.
Diagnosis klinik harus dipertimbangkan pada keadaan berikut:

o anak perempuan dengan hernia inguinal karena testes seringkali mengalami parsial
descensus
o penderita dengan amenorea primer dan tidak ada uterus
o penderita tanpa bulu-bulu di tubuh.
Penderita kelihatan normal pada saat lahir kecuali mungkin adanya hernia inguinal, dan
penderita tidak dibawa ke dokter sampai usia pubertas. Pertumbuhan dan perkembangan
normal. Payudara abnormal dimana didapatkan jaringan kelenjar tidak cukup, puting susu
kecil, dan areola mammae pucat. Lebih dari 50% dengan hernia inguinalis, labia minora
biasanya kurang berkembang, dan blind vagina kurang dalam daripada normal. Tuba
fallopi yang rudimenter terdiri dari jaringan fibromuskuler kadang kala dengan hanya
selapis epitel.
Karena penderita ini sudah merasakan dirinya sebagai seorang wanita, maka kadangkadang tidak perlu dilakukan tindakan apa-apa. Testis yang berada intraabdominal perlu
dilakukan tindakan pengangkatan karena 10% dari kasus dengan testis intraabdominal
dapat menjadi ganas. Bila telah diputuskan untuk mengangkat testis, maka perlu
diberikan pengobatan substitusi hormone.
b. Gangguan Kompartemen II
Sindrom Turner
Pada tahun 1938 Turner mengemukakan 7 kasus yang dijumpai dengan sindroma yang
terdiri atas trias yang klasik, yaitu infantilisme, webbed neck, dan kubitus valgus.
Penderita-penderita ini memiliki genitalia eksterna wanita dengan klitoris agak membesar
pada beberapa kasus, sehingga mereka dibesarkan sebagai wanita.
Fenotipe pada umumnya ialah sebagai wanita, sedang kromatin seks negatif. Pola
kromosom pada kebanyakan mereka adalah 45-XO; pada sebagian dalam bentuk mosaik
45-XO/46-XX. Angka kejadian adalah satu di antara 10.000 kelahiran bayi wanita.
Kelenjar kelamin tidak ada, atau hanya berupa jaringan parut mesenkhim (streak gonads),
dan saluran Muller berkembang dengan adanya uterus, tuba, dan vagina, akan tetapi lebih
kecil dari biasa, berhubung tidak adanya pengaruh dari estrogen.
Selain tanda-tanda trias yang tersebut diatas, pada sindroma Turner dapat dijumpai tubuh
yang pendek tidak lebih dari 150 cm, dada berbentuk perisai dengan puting susu jauh ke

lateral, payudara tidak berkembang, rambut ketiak dan pubis sedikit atau tidak ada,
amenorea, koarktasi atau stenosis aortae, batas rambut belakang yang rendah, ruas tulang
tangan dan kaki pendek, osteoporosis, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran,
anomali ginjal (hanya satu ginjal), dan sebagainya. Pada pemeriksaan hormonal
ditemukan kadar hormon gonadotropin (FSH) meninggi, estrogen hampir tidak ada,
sedang 17-kortikosteroid terdapat dalam batas-batas normal atau rendah.
Diagnosis dapat dengan mudah ditegakkan pada kasus-kasus yang klasik berhubung
dengan gejala-gejala klinik dan tidak adanya kromatin seks. Pada kasus-kasus yang
meragukan, perlu diperhatikan dua tanda klinik yang penting yang dapat dipakai sebagai
pegangan untuk menduga sindrom Turner, yaitu tubuh yang pendek yang disertai dengan
pertumbuhan tanda-tanda seks sekunder yang sangat minimal atau tidak ada sama sekali.
Pengobatan terhadap penderita sindroma Turner adalah pengobatan substitusi yang
bertujuan untuk:

merangsang pertumbuhan ciri-ciri seks sekunder, terutama pertumbuhan payudara

menimbulkan perdarahan siklis yang menyerupai haid jika uterus sudah berkembang

mencapai kehidupan yang normal sebagai istri walaupun tidak mungkin untuk
mendapat keturunan

alasan psikologis, untuk tidak merasa rendah diri sebagai wanita.

Hormon yang diberikan adalah estrogen dalam kombinasi dengan progestagen secara
siklis sampai masa menopause atau pascamenopause. Berhubung dengan kemungkinan
bahwa pemberian estrogen mengakibatkan penutupan garis epifisis secara prematur
sehingga menghalangi pertumbuhan tubuh, terapi ditunda sampai penutupan garis epifisis
sudah terjadi.
Disgenesis Gonad XY
Penderita berfenotip wanita dengan kariotipe XY dengan sistem Mulleri yang teraba,
kadar testoteron wanita normal dan kurangnya perkembangan seksual dikenal sebagai
sindroma Swyer. Terdapat vagina, uterus, dan tuba falopii, tetapi pada usia pubertas
gagal terjadi perkembangan mammae dan amenorea primer. Gonad hampir seluruhnya
berupa berkas-berkas tak berdiferensiasi kendati pun terdapat kromosom Y yang secara
sitogenetik normal. Pada kasus ini, gonad primitif gagal berdiferensiasi dan tak dapat

melaksanakan fungsi-fungsi testis, termasuk supremasi duktus Mulleri. Sel-sel hillus


dalam gonad mungkin mampu memproduksi sejumlah androgen; maka dapat terjadi
sedikit virilisasi, seperti pembesaran klitoris pada usia pubertas. Pertumbuhan normal;
tidak terdapat cacat penyerta. Transformasi tumor pada gonadal ridge dapat terjadi pada
berbagai usia, ekstirpasi gonadal streaks harus dilakukan segera setelah diagnosis dibuat,
tanpa memandang usia.
Agenesis Gonadal
Tidak terjadi komplikasi klinis yang terjadi bersama kegagalan gonad pada keadaan
agenesis ini. Keadaan ini disebut juga sindroma agenesis gonad XY atau sindroma
regresi testis embrionik. Pada sindroma yang langka ini, genitalis eksterna sedikit
meragukan, namun hampir menyerupai bentuk wanita. Ditemukan hipoplasia labia,
derajat tertentu fusi labioskrotum, penis kecil mirip klitoris, dan muara uretra pada
perineum. Uterus, jaringan gonad, dan vagina tidak ditemukan. Pada usia pubertas tidak
terjadi perkembangan seksual, dan kadar gonadotropin meningkat. Umumnya penderita
diasuh sebagai wanita. Dalam kondisi ini, jaringan testis dianggap telah aktif selama
kehidupan janin sehingga mampu menghambat perkembangan duktus mulleri, tetapi
fungsi sel leydig minimal. Tanpa informasi yang tepat, hanya dapat diperkirakan saja apa
yang menjadi penyebab tidak terjadinya perkembangan gonad tersebut. Jadi harus diduga
bahwa virus dan metabolik yang berpengaruh pada awal kehamilan. Meskipun demikian
hasil akhirnya berupa hipergonadotropik hipogonadism yang tidak dapat diperbaiki
kembali. Bila fungsi gonad tidak ada, perkembangan adalah wanita.
Pengangkatan gonadal streaks dengan pembedahan diperlukan untuk menghindari
kemungkinan terjadi neoplasia.
Sindroma Ovarium Resisten
Salah satu keadaan yang menarik dari faktor ovarium yang menimbulkan gangguan haid
ialah sindroma ovarium resisten gonadotropin, yang dikenal pula dengan istilah sindroma
ovarium insensitive atau ovarium hiposensitif gonadotropin. Penyebab yang pasti dari
kelainan ini belum seluruhnya terungkap. Kini yang banyak diperbincangkan adalah

adanya gangguan pembentukan reseptor-reseptor gonadotropin di ovarium akibat proses


autoimun.
Dugaan ke arah diagnosis dari sindroma ovarium resisten gonadotropin ditegakkan baik
secara klinis mau pun secara laboratoris dan histopatologis. Secara klinis kelainan ini
ditandai dengan sindroma yang terdiri dari gangguan haid berupa oligomenorea sampai
amenorea, sedangkan secara laboratoris dijumpai hipergonadotropin dan hipoestrogen.
Secara histologis pada kelainan ini masih dijumpai struktur jaringan ovarium yang
normal dengan folikel primordial yang masih utuh.
Jarang terjadi penderita amenorea disertai peningkatan kadar gonadotropin walaupun
terdapat folikel-folikel ovarium normal dan tidak ada bukti penyakit autoimun.
Laparotomi diperlukan untuk sampai pada diagnosis yang benar dengan menghasilkan
evaluasi histologis ovarium yang adequat. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya
folikel-folikel tetapi tidak adanya infiltrasi limfositik dengan penyakit autoimun. Karena
kelainan ini jarang dan kesempatannya sangat kecil untuk dapat hamil bahkan dengan
pemberian gonadotropik eksogen dosis tinggi, Speroff berpendapat bahwa tidak ada
manfaat untuk melakukan laparotomi untuk biopsi ovarium pada setiap penderita
amenorea, gonadotropin tinggi, dan normal kariotipe.
Karena penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, maka pengobatannya lebih
bersifat simptomatis. Banyak peneliti menganjurkan pemberian substitusi siklik estrogen
dan progesteron.
Prematur Ovarian Failure
Keadaan ini seringkali terjadi, yaitu berupa habisnya folikel ovarium yang terjadi lebih
awal dari semestinya. Sekitar 1% wanita akan mengalami kegagalan ovarium sebelum
usia 40 tahun, dan pada wanita dengan amenorea primer, frekuensi berkisar antara
10%-28%. Etiologi POF tidak diketahui pada kebanyakan kasus. Kemungkinan
merupakan akibat kelainan genetik dengan peningkatan laju hilangnya folikel. Seringkali,
kelainan kromosom seks yang spesifik dapat diidentifikasi. Kelainan yang paling sering
adalah 45-X dan 47-XXY diikuti oleh mosaicism dan kelainan struktur kromosom seks
yang spesifik. Akselerasi atresia paling sering karena 46-X (sindroma Turner). POF dapat

disebabkan suatu proses autoimun, atau mungkin destruksi folikel oleh infeksi seperti
oofritis mumps, atau irradiasi maupun kemoterapi.
Masalah yang timbul dapat terjadi pada berbagai usia tergantung pada jumlah folikel
yang tersisa. Jika hilangnya folikel berlangsung cepat, akan terjadi amenorea primer dan
terhambatnya perkembangan seksual. Jika hilangnya folikel terjadi selama atau setelah
pubertas, kemudian berlanjut sampai dewasa, perkembangan fenotipe dan onset
terjadinya amenorea sekunder akan sesuai.
Mengingat meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan dimana terjadi mulai laginya
fungsi yang normal, tidak dapat dipastikan bahwa penderita-penderita ini akan steril
selamanya. Di sisi lain, laparotomi dan biopsi ovarium full thickness tidak diperlukan
pada semua pasien ini. Sperrof berpendapat bahwa pendekatan yang minimal, dengan
survey untuk penyakit autoimun (meskipun diakui bahwa tidak ada metode klinik yang
dapat mendiagnosis secara akurat autoimmune ovarium failure) dan penilaian aktivitas
ovarium-pituitary sudah mencukupi.
c. Gangguan Kompartemen III
Gangguan Hipofisis Anterior
Adanya gangguan pada aksis hipotalamus-hipofisis pertama kali fokus kita harus tertuju
pada adanya masalah tumor hipofisis. Dengan munculnya amenorea, penderita dengan
perkembangan tumor hipofisis yang perlahan dapat muncul beberapa tahun sebelum
tumor menjadi besar dan dapat dideteksi secara radiologis. Untungnya, tumor maligna
tidak terlalu banyak dijumpai. Sampai dengan tahun 1989 tidak lebih dari 40 kasus yang
dilaporkan di literatur internasional. Tetapi tumor jinak dapat menimbulkan problem
sebab dapat berkembang dan terjadi pendesakan ruangan maupun jaringan lain, tumor
akan tumbuh ke atas, akan menekan chiasma nervi optici yang menyebabkan
hemianopsia bitemporalis. Dengan ukuran tumor yang kecil, kelainan visual kadang sulit
dideteksi.
Tidak semua massa intrasellar adalah neoplasma. Gumma, tuberkuloma, dan deposit
lemak telah dilaporkan dan menyebabkan penekanan dan menyebabkan amenorea
hipogonadotropin. Lesi pada daerah sekitar sella tursika seperti aneurisma arteri karotis,
obstruksi aquaeduktus Sylvii dapat juga menyebabkan amenorea.

Amenorea Galaktorea
Wanita dengan hiperprolaktinemia secara khas muncul dengan galaktorea dan berbagai
keadaan gangguan menstruasi mulai dari menstruasi yang normal sampai amenorea yang
diikuti dengan infertilitas. Gangguan yang terlihat mungkin berkaitan dengan
hiperprolaktinemia ketika adenoma hipofisis yang menekan nervus optikus, traktus
nervus optikus, chiasma nervi optici atau nervus kranialis yang lain. Pada pengamatan
secara radiografi terhadap kelenjar hipofisis pada wanita dengan hiperprolaktinemia
mungkin didapatkan makroadenoma, mikroadenoma, atau tidak didapatkan adenoma.
Meskipun untuk memiliki kadar prolaktin yang tingggi, ukuran dari adenoma tidak
berhubungan secara linier dengan kadar prolaktin.
Prolaktin merupakan polipeptida yang terdiri atas 200 asam dengan berat molekul antara
19.000 22.000 Dalton. Prolaktin dihasilkan oleh sel-sel laktotrof yang terletak di dalam
bagian distal lobus anterior kelenjar hipofisis. Hiperprolaktinemia adalah suatu gejala
yang merupakan hasil dari suatu spektrum yang luas dari kelebihan produksi laktotrof
dari prolaktin dengan keadaan mulai dari ukuran hipofisis yang normal sampai perubahan
adenomatosa dengan pembesaran hipofisis. Follow up jangka panjang pada wanita
hiperprolaktinemia yang tidak diobati menunjukkan bahwa wanita dengan adenoma atau
tanpa adenoma hipofisis biasanya tidak menunjukkan perkembangan dari penyakit
sebagai hasil yang nyata dari adanya pengamatan secara radiologis.
Wanita dengan amenorea anovulatoar yang disebabkan oleh perubahan fungsional dari
hipotalamus mungkin masuk pada kelompok I (insufisiensi hipotalamus-hipofisis) atau
grup II (disfungsi hipotalamus-hipofisis) dari klasifikasi amenorea yang dikeluarkan oleh
WHO. Penderita-penderita ini memiliki beberapa macam gangguan hipotalamushipofisis, tetapi mereka berada dalam prolaktin plasma yang normal. Biasanya, beberapa
wanita dengan bermacam gangguan diberikan klomifen sitrat untuk merangsang ovulasi,
termasuk pada penderita dengan kadar prolaktin yang normal. Bagaimanapun juga,
beberapa dari mereka tidak ada respon pada klomifen sitrat.
Bromokriptin diketahui dapat digunakan untuk mengembalikan siklus ovulasi dan
fertilitas pada beberapa penderita dengan anovulasi hipotalamus, termasuk bila mereka
memiliki prolaktin darah yang normal. Di lain pihak, bromokriptin dan klomifen sitrat

dapat secara sinergi sebagai induksi ovulasi, kemungkinan karena memiliki tempat kerja
yang berlainan.
Akhir-akhir ini dapat dipastikan, bahwa dari hipofisis bagian depan terdapat hormon
pelepas tirotropin (TRH) yang mengeluarkan tidak hanya tirotropin, melainkan juga
hormon pertumbuhan (GH) dan prolaktin. Karena arti fisiologik hubungan fungsional
antara kedua sistem tersebut sangat kecil, maka dapat disimpulkan bahwa tripeptida TRH
sesungguhnya bukanlah PRF (prolactine releasing factor). Yang mempunyai arti lebih
besar dari TRH atau PRF dalam pengaturan prolaktin adalah faktor penghambat prolaktin
(prolactine inhibiting factor, PIF), yang susunan kimianya juga belum dapat dibuktikan
sampai sekarang. Dibawah pengaruh meningkatnya steroid seks dalam serum, maka
pengeluaran PIF dari hipotalamus akan ditekan. Peristiwa ini akan mengakibatkan
meningkatnya sekresi prolaktin.
Peningkatan kadar prolaktin serum yang ringan mungkin disebabkan oleh beberapa
faktor, termasuk diantaranya pemberian estrogen dan fenotiazin, respon dari stress,
makanan (khususnya makanan yang banyak mengandung asam amino), hipotiroid primer,
tumor-tumor hipotalamus-hipofisis. Adenoma hipofisis yang memproduksi prolaktin
umumnya muncul yang tandai dengan peningkatan kadar prolaktin (sering > 100 ng/mL).
Tumor-tumor hipotalamus dan makroadenoma dapat menekan batang hipofisis,
menghambat transport dari dopamin dan faktor-faktor hipotalamus-hipofisis, dengan hasil
hiperprolaktinemia

dan

berbagai

tingkat

hipopituitarism.

Penderita

dengan

hiperprolaktinemia ringan harus dilakukan eksplorasi tentang riwayat dan dilakukan


pemeriksaan untuk menentukan keadaan hipofisis, hipersekresi hipofisis, atau efek dari
penekanan massa. Suatu program istirahat yang berulang, kadar prolaktin puasa, yang
tetap pada peningkatan yang ringan. Khususnya bila dikombinasikan dengan pembesaran
hipofisis, perlu dilakukan pemeriksaan radiologis pada sella tursika.
Deteksi secara radiologis dari adenoma hipofisis membutuhkan investigasi untuk
menentukan apakah benar keadaan tersebut merupakan hipersekresi hormon hipofisis,
atau bukan sekresi hormon-hormon hipofisis. Pada keadaan makroadenoma, harus
dipikirkan tentang kemungkinan adanya hipopituitarisme sekunder parsial atau komplit
yang menekan kelenjar jaringan hipofisis atau batang hipofisis. Adenoma nonsekresi
mencakup 25%-30% dari adenoma hipofisis. Dari hasil pengukuran gonadotropin terlihat

bahwa 80%-90% adenoma hipofisis nonsekresi adalah adenoma gonadotrofin. Adenomaadenoma ini sering sulit untuk mendiagnosisnya sebab kekurangan tanda fenotip dari
keadaan klinik, yang biasa digunakan untuk membedakan adenoma-adenoma hipofisis
sekretoris. Adenoma hipofisis non sekresi biasanya muncul dengan manifestasi klinis
yang berhubungan dengan efek adanya massa seperti nyeri kepala, gangguan visus, dan
hipopituitarisma.
Diagnosis banding dari lesi yang luas pada area sella tursika termasuk diantaranya adalah
makroadenoma hipofisis, kraniofaringioma, meningioma, dan proses inflamasi seperti
sarkoid, kista arakhnoid, dan penyakit metastase. Peningkatan kadar FSH, LH, subunit,
subunit LH dalam sirkulasi menunjukkan adanya suatu adenoma gonadotropin.
Peningkatan basal FSH, LH, subunit , dan LH telah terdeteksi pada lebih dari 40%
penderita dengan nonsekresi, adenoma hipofisis yang memproduksi gonadotropin. Pada
wanita dan laki-laki, 50% - 60% dari adenoma gonadotropin nonsekresi akan
menghasilkan FSH, LH, subunit , atau subunit LH dalam respon pada test terhadap
thyrotropin-releasing hormon. Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel pada adenoma
gonadotropin memiliki sejumlah reseptor TRH, meskipun pada sel gonadotropin normal
tidak dijumpai adanya reseptor tersebut.
Pengobatan dari makroadenoma gonadotropin utamanya adalah pembedahan, secara
primer dengan melalui transfenoid. Pengobatan secara radiasi mungkin merupakan suatu
hal penting pada penderita dengan residu penyakit yang signifikan atau pertumbuhan
tumor yang rekuren. Pengobatan dengan medikamentosa dengan bromokriptin saat ini
merupakan teknik pengobatan yang penting meskipun mekanisme kerjanya masih belum
terinvestigasi secara lengkap dan mengkin di masa yang akan datang lebih bisa
dijelaskan.
Upaya pengobatan yang diberikan untuk menurunkan kadar prolaktin yang tinggi adalah
bromokriptin. Bromokriptin merupakan kelompok ergolin yaitu alkaloid ergot yang
bersifat

dopaminergik.

Bromokriptin

merangsang

reseptor

dopaminergik.

Obat

mempengaruhi susunan syaraf pusat, kardiovaskular, poros hipotalamus-hipofisis dan


saluran cerna. Bromokriptin menekan sekresi prolaktin yang berlebihan yang terjadi pada
tumor hipofisis. Dosis obat sangat tergantung dari kadar prolaktin yang ditemukan pada
saat itu. Kadar prolaktin 2540 ng/ml, cukup tablet bromokriptin/hari. Kadar prolaktin

mencapai 50 ng/ml, bromokriptin diberikan 2x1 tablet/hari. Efek samping yang paling
sering dijumpai adalah gangguan gastrointestinal (mual) serta hipotensi (pusing).
Setiap pemberian bromokriptin perlu dilakukan pengawasan yang baik. Perlu dicegah
pemberian dosis yang berlebihan. Tanda-tanda terjadinya penekanan sekresi prolaktin
yang berlebihan adalah: kadar prolaktin 2 ng/ml, fase sekresi memendek akibat
insufisiensi korpus luteum, diameter folikel kecil.
Pada setiap hiperprolaktinemia harus terlebih dahulu diketahui apakah peningkatan
tersebut akibat tumor hipofisis atau karena penyebab lain. Untuk membedakan dapat
digunakan uji provokasi. Kadang-kadang adanya mikroadenoma tidak dapat diketahui
secara radiologik, tetapi dengan uji provokasi mikroadenoma ini mudah diketahui.
Uji dengan TRH, dimana TRH diberikan intravena dengan dosis 100500 g. setelah
pemberian ini terjadi peningkatan prolaktin yang mencapai maksimum antara 1525
menit. Pada wanita yang tidak menderita prolaktinoma terjadi peningkatan 414 kali dari
harga normal, sedangkan wanita dengan prolaktinoma pemberian TRH tidak
menunjukkan perubahan kadar PRL.

d. Gangguan Kompartemen IV
Biasanya masuk dalam kategori amenorea sekunder, dalam hal ini terkait dengan
amenorea yang disebabkan oleh :

o Kehilangan berat badan, anoreksia, bulimia


Obesitas dapat diasosiasikan dengan amenorea, tetapi amenorea pada penderita
dengan

obesitas

biasanya

berhubungan

dengan

anovulasi,

dan

keadaan

hipogonadotropin tidak dapat diketahui meskipun penderita juga didapatkan


gangguan emosional yang berat. Sebaliknya pengurangan berat badan secara
mendadak, dengan berbagai macam cara, dapat menyebabkan terjadinya keadaan
hipogonadotropin. Diagnosis dari keadaan amenorea hipotalamus ini juga merupakan
hasil dari disingkirkannya adanya tumor hipofisis.
Anoreksia nervosa terjadi kebanyakan pada wanita muda terutama wanita dari kelas
menengah ke atas di bawah umur 25 tahun, tetapi sekarang terjadi juga pada berbagai
tingkat sosial ekonomi. Beberapa kondisi yang bisa menegakkan diagnosis anoreksia
nervosa adalah: umur berkisar antara 10-30 tahun, kehilangan berat badan 25%

atau 15% di bawah berat normal, adanya episode makan berlebihan (bulimia),
overaktif, baradikardi, amenorea, tidak ditemukan kelainan medis, tidak ditemukan
gangguan psikiatri. Karakteristik lain diantaranya: konstipasi, tekanan darah yang
rendah, hiperkarotenemia, diabetes insipidus.
Membuka tabir secara hati-hati adanya hubungan antara amenorea dengan berat
badan yang rendah kadang merupakan rangsangan terhadap penderita untuk kembali
ke berat badan normal dan fungsi menstruasi yang normal. Adakalanya hal ini bila
perlu untuk melihat penderita secara lebih sering dan perlu pemberian program diet
tinggi kalori (minimal 2600 kalori) dengan memberikan kebiasaan makan yang
benar. Bila perbaikannya berlangsung sangat lambat, terapi hormon perlu dipikirkan.
Beberapa penderita memerlukan intervensi dari ahli jiwa.

Latihan dan amenorea (exercise and amenorrhea)


Pada abad ke-20, telah ada suatu kewaspadaan bahwa para atlit wanita, dan wanita
yang memerlukan suatu latihan keras seperti penari balet, tari modern, didapatkan
insidens yang signifikan adanya gangguan menstruasi sampai adanya amenorea,
keadaan ini disebut supresi hipotalamus. Dua pertiga pelari memiliki fase luteal,
yang pendek sehingga terjadi anovulasi. Bila latihan keras tersebut dimulai sebelum
menars, menars mungkin akan terlambat sampai lebih kurang 3 tahun, dan kejadian
menstruasi yang tidak teratur akan menjadi lebih tinggi.
Kemunculan amenorea ini disebabkan oleh 2 sebab yaitu suatu kadar kritis dari
lemak tubuh dan efek dari stress itu sendiri. Para atlit wanita yang senantiasa ikut
kompetisi/perlombaan memiliki 50% kadar lemak lebih sedikit dibanding dengan
atlit yang bukan kompetitor. Pengurangan lemak tubuh tidak harus mengurangi berat
badan, sebab lemak dikonversi menjadi massa otot. Pengamatan secara kritis
didapatkan bahwa tidak ada hubungan sebab akibat dari lemak tubuh dan gangguan
menstruasi tetapi hanya satu korelasi saja.
Prognosis dari para atlit wanita mungkin baik. Hanya tingkat reversibilitasnya tidak
diketahui dengan pasti, meskipun beberapa penelitian menunjukkan mengindikasikan
bahwa sebagian besar atlit wanita akan mengalami ovulasi kembali bila stress dan
latihan mulai bisa dibatasi. Namun demikian sebagian atlit tidak menginginkan untuk
menghentikan untuk menghentikan latihan kerasnya. Pemberian terapi hormonal bisa

dipertimbangkan pada wanita dengan hipoestrogen guna menjaga agar tidak terjadi
perubahan pada tulang dan kardiovaskuler.

Amenorea dan anosmia, Sindroma Kallmann


Suatu kondisi yang jarang pada wanita, yaitu ditandai oleh adanya sindroma
hipogonadotropik-hipogonadism kongenital yang berhubungan dengan anosmia atau
hiposmia, dikenal sebagai sindroma Kallmann. Untuk mempermudah mengingat
gambaran gejalanya sering disebut juga sebagai sindroma amenorea dan anosmia.
Pada wanita, gejala yang muncul berupa amenorea primer, perkembangan seksual
infantil, kadar gonadotropin rendah, kariotipe wanita normal, dan ketidakmampuan
untuk mempersepsi aroma. Seringkali penderita tidak menyadari adanya gangguan
penciuman

tersebut.

Gonad

mampu

untuk

memberikan

respon

terhadap

gonadotropin; dengan demikian induksi ovulasi dengan gonadotropin eksogen bisa


berhasil.
Sindroma Kallmann mempunyai kaitan dengan defek anatomi yang spesifik.
Pemeriksaan MRI (seperti juga pemeriksaan postmortem) memperlihatkan bahwa
terdapat hipoplasia atau tidak ada sulkus olfaktorius di rhinencephalon. Defek ini
mengakibatkan kegagalan olfactory axonal dan GnRH neuronal bermigrasi dari
placode olfaktorius di hidung. Sel-sel yang memproduksi GnRH berasal dari area
olfaktorius dan bermigrasi selama embriogenesis sepanjang nervus kranialis yang
menghubungkan hidung dan forebrain. Terjadinya sindroma ini sebagai akibat mutasi
yang melibatkan gen tunggal pada lengan pendek kromosom X yang berisi kode
pembentukan protein yang mengatur fungsi yang diperlukan untuk migrasi neuronal.

DWI PUTRI MIFTAHULHUDA


H1A008017
Sumber
Wiknjosastro, H dkk. 2005. Ilmu Bedah Kebidanan edisi 5. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Budi, R. 2005. Amenorrhea Primer. Available at 22 Maret 2011 in


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14620/1/09E00837.pdf

Anda mungkin juga menyukai