Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

OLEH:
ANASTASIA ANITA RUSLI

(1202006039)

PEMBIMBING :
DR. I GEDE PARWATA YASA, SP.OG

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN/SMF ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD KARANGASEM AMLAPURA
JUNI 2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatnya, laporan
kasus yang berjudul Kehamilan Ektopik Terganggu ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik
Madya

di

Bagian/SMF

Obstetri

dan

Ginekologi

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Udayana/RSUD Karangasem.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu penyelesaian laporan kasus ini, diantaranya:
1. dr. Parwata Yasa, Sp.OG, selaku dokter pembimbing yang telah banyak memberikan didikan
dan masukan yang membangun dalam penyusunan laporan kasus ini dan juga selaku kepala
bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Karangasem.
2. Dokter-dokter residen yang telah membantu dalam penyusunan laporan kasus ini.
3. Ibu Ni Ketut Suni sebagai pasien pada pelaksanaan laporan kasus kali ini.
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini.
Akhir kata semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat sesuai tujuan penulisan dan
dapat memberikan sumbangsih dalam ilmu pengetahuan terkait dengan kehamilan khususnya
mengenai kehamilan ektopik terganggu. Serta tak lupa penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun guna meningkatkan kualitas laporan kasus ini. Terima kasih.
Amlapura, 29 Juni 2016
Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................3
2.1 Definisi....................................................................................................3
2.2 Epidemiologi...........................................................................................4
2.3 Etiologi....................................................................................................4
2.4 Patofisiologi............................................................................................5
2.5 Gambaran Klinis.....................................................................................7
2.6 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................10
2.7 Diagnosis.................................................................................................15
2.8 Diagnosis Banding..................................................................................16
2.9 Penatalaksanaan......................................................................................16
2.10................................................................................................................Komplikasi
.................................................................................................................20
2.11................................................................................................................Prognosis 20
BAB IIILAPORAN KASUS...............................................................................22
3.1 Identitas Pasien........................................................................................22
3.2 Anamnesis...............................................................................................22
3.3 Pemeriksaan Fisik...................................................................................23
3.4 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................25
3.5 Diagnosis.................................................................................................25
3.6 Penatalaksanaan......................................................................................25
3.7 Resume Perjalanan Penyakit...................................................................26
BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................30
4.1 Diagnosis.................................................................................................30
4.2 Penatalaksanaan......................................................................................31
BAB V RINGKASAN........................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................33

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1...........................................................................................................3

BAB I
PENDAHULUAN
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) merupakan kehamilan ektopik yang disertai dengan gejala
akut abdomen. Kondisi ini merupakan kondisi yang gawat apabila lambat ditangani karena dapat
berakibat fatal bagi penderita.
Kehamilan ektopik (KE) terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar
endometrium kavum uteri. Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan KE karena kehamilan
pada pars interstitialis tuba dan kanalis servikalis masih termasuk dalam uterus, tapi jelas bersifat
ektopik1. Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba. Sangat jarang terjadi implantasi
pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk uterus yang rudimenter dan
divertikel pada uterus. Berdasarkan implantasi hasil konsepsi pada tuba, terdapat kehamilan pars
interstitialis tuba, kehamilan pars ismika tuba, kehamilan pars ampullaris tuba, dan kehamilan
infundibulum tuba1.
Kehamilan di luar tuba adalah kehamilan ovarial, kehamilan intraligamenter, kehamilan servikal,
dan kehamilan abdominal yang bisa primer atau sekunder. Kehamilan intrauterine dapat
ditemukan bersamaan dengan kehamilan ekstrauterin. Dalam hal ini dibedakan dua jenis, yaitu
combined ectopic pregnancy dimana kehamilan intrauterine terdapat pada waktu yang sama
dengan kehamilan ekstrauterin dan composed ectopic pregnancy yang merupakan kehamilan
intrauterine pada wanita dengan kehamilan ekstrauterin lebih dahulu dengan janin sudah mati
dan menjadi litopedion1.
Angka kejadian KE dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Di Indonesia, laporan dari Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, angka kejadian KE pada tahun 1987 adalah 153 diantara
4007 persalinan atau 1 diantara 26 persalinan. Dalam kepustakaan, frekuensi KE dilaporkan
antara 1:28 sampai 1:329 tiap kehamilan.
Gambaran klinis KET dimulai dari trias klasik, yaitu amenore, nyeri abdomen akut, dan
perdarahan pervaginam. Namun kadang gambaran klinis KET tidak khas, sehingga menyulitkan
diagnosa. Yang perlu diingat adalah bahwa setiap wanita dalam masa reproduksi dengan keluhan
telat haid yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah perlu dipikirkan kemungkinan
terjadinya KET1.

Seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran penderita KET telah dapat ditangani secara adekuat,
sehingga mengurangi angka kematian karena komplikasi akibat penyakit tersebut. Hal yang
harus diingat adalah KET bisa dihadapi baik oleh dokter umum maupun dokter spesialis,
sehingga setiap dokter umum harus dapat mengenali tanda-tanda KET, sehingga penderita dapat
segera tertangani.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi
Kehamilan ektopik (KE) adalah kehamilan yang terjadi di luar lokasi normal endometrium.
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) merupakan KE yang disertai dengan gejala akut abdomen,
dengan trias gambaran klasik yaitu amenore, nyeri abdomen akut, dan perdarahan pervaginam1.
Implantasi hasil konsepsi dapat terjadi pada tuba falopii, ovarium, dan kavum abdomen atau
pada uterus namun dengan posisi yang abnormal (kornu, serviks) 2,3. Kehamilan tuba tidak sama
dengan KE melainkan lebih merupakan tipe KE yang paling sering dijumpai3,4.
Bentuk-bentuk KE, yaitu kehamilan tuba, kehamilan kornu uteri, kehamilan interstitial tuba,
kehamilan servikal, kehamilan ovarial, kehamilan abdominal, kehamilan uterus rudimenter, dan
KE rudimenter1,3.
Sebagian besar KE berlokasi pada tuba falopii, di pars ampularis 80%, pars ismika 12%,
fimbriae 5%, dan kornual 2%. Sangat jarang terjadi implantasi pada ovarium (0.2%), rongga
perut (1.4%), kanalis servikalis uteri (0.2%), kornu uterus yang rudimenter, dan divertikel pada
uterus3,6. Terbatasnya kemampuan tuba falopii untuk mengembang menyebabkan KE mengalami
rupture tuba sehingga dapat timbul perdarahan ke dalam kavum abdomen. Keadaan ini biasa
dikenal dengan KET1.

Gambar 2.1 Lokasi KE

2.2

Epidemiologi

Angka kejadian KE dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Di Amerika misalnya, insiden KE
telah meningkat secara dramatis dalam beberapa dekade terakhir 4,5. Insidennya menurut CDC
diperkirakan sebesar 1.9%. Sedangkan di Indonesia, laporan dari Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta, angka kejadian KE pada tahun 1987 adalah 153 diantara 4007
persalinan atau 1 diantara 26 persalinan. Dalam kepustakaan, frekuensi KE dilaporkan antara
1:28 hingga 1:329 tiap kehamilan. Sebagian besar wanita yang mengalami KE berusia antara 2040 tahun dengan rata-rata 30 tahun. Sedangkan frekuensi KE yang berulang dilaporkan berkisar
antara 0% -14.6%1.
2.3

Etiologi
KE telah banyak diselidiki untuk mengetahui penyebabnya. Terdapat kecenderungan yang kuat
sebagai faktor resiko KE, yaitu usia ibu, kebiasaan berganti-ganti pasangan seksual, penggunaan
alat-alat intrauterine, penyakit radang panggul, dan setelah pembedahan pada daerah pelvis 2,5,6,7.
Penyebab yang paling sering adalah salpingitis yang terjadi sebelumnya akibat penyakit menular
seksual, seperti infeksi gonokokal, klamidia, atau salpingitis yang mengikuti abortus septik, dan
sepsis puerperium5.
KE adalah dimana proses pembuahan sampai nidasi terjadi di luar kavum uteri atau di luar
endometrium, sehingga dari definisi diatas dapat disebutkanlah faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya KE, yaitu:

Faktor tuba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba menyempit atau buntu.
Keadaan uterus yang mengalami hypoplasia dan saluran tuba yang berkelok-kelok panjang
dapat menyebabkan fungsi silia tuba tidak berfungsi dengan baik. Juga pada keadaan
pascaoperasi rekanalisasi tuba dapat merupakan predisposisi terjadinya KE.
Faktor tuba yang lain adalah adanya kelainan endometriosis tuba atau divertikel saluran tuba
yang bersifat kongenital. Adanya tumor di sekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau
tumor ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba, juga dapat menjadi

etiologi KE.
Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot akan tersendat
dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh di saluran tuba
Faktor ovarium

Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang kontralateral, dapat
membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga kemungkinan

terjadinya KE lebih besar.


Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung progesteron dapat mengakibatkan gerakan

tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat menyebabkan terjadinya KE.


Faktor lain
Termasuk di sini antara lain adalah pemakai IUD di mana proses peradangan yang dapat
timbul pada endometrium dan endosalping dapat menyebabkan terjadinya KE. Faktor umur
penderita yang sudah menua dan faktor perokok juga sering dihubungkan dengan terjadinya
KE.

2.4

Patofisiologi
Pada proses awal kehamilan apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium untuk proses
nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudian akan mengalami beberapa
proses seperti kehamilan pada umumnya. Karena tuba bukan merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan embrio, maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa perubahan dalam bentuk
berikut ini.

Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi


Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena vaskularisasi kurang
dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-

apa, hanya haidnya terlambat untuk beberapa hari.


Abortus ke dalam lumen tuba
Keadaan ini dapat disebut juga sebagai abortus tuba. Perdarahan yang terjadi karena
pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh vili korialis pada dinding tuba di tempat
implantasi dapat melepaskan embrio dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya
pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, bergantung pada
derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh, embrio dengan selaputnya
dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba pars
abdominalis. Frekuensi abortus dalam tuba bergantung pada implantasi telur yang dibuahi.
Abortus ke lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampularis, sedangkan
penembusan dinding tuba oleh vili korialis ke arah peritoneum biasanya terjadi pada
kehamilan pars ismika. Perbedaan ini disebabkan oleh lumen pars ampularis yang lebih luas

sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi jika dibandingkan
dengan bagian ismus dengan lumen sempit.
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan terus
berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sehingga berubah menjadi mola kruenta.
Perdarahan yang terus berlangsung menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan
(hematosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba. Darah

ini akan berkumpul di kavum Douglasi dan akan membentuk hematokel retrouterina.
Rupture dinding tuba
Rupture tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada
kehamilan muda. Sebaliknya, rupture pada pars interstitialis terjadi pada kehamilan yang
lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan rupture adalah penembusan vili korialis ke
dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Rupture dapat terjadi secara spontan
atau karena trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi
perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit, kadang-kadang banyak, sampai
menimbulkan syok dan kematian. Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula
perdarahan dalam lumen tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium
tuba abdominal.
Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, rupture sekunder dapat terjadi. Dalam
hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invasi trophoblast, pecah karena tekanan darah
dalam tuba. Kadang rupture terjadi di arah ligamentum. Jika janin hidup terus, terdapat
kehamilan interligamenter.
Pada rupture ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan tuba
kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Perdarahan dapat
berlangsung terus sehingga penderita akan cepat jatuh dalam keadaan anemia atau syok oleh
karena hemoragia. Darah tertampung pada rongga perut akan mengalir ke kavum Douglasi
yang makin lama makin banyak dan akhirnya dapat memenuhi rongga abdomen. Bila
penderita tidak dioperasi dan tidak meninggal karena perdarahan, nasib janin bergantung
pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil, dapat
diresorbsi seluruhnya; bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion.
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan
dengan plasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut, sehingga akan
terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin,

plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitar, misal ke sebagian
uterus, ligamentum latum, dasar panggul, dan usus.
2.5

Gambaran Klinis
Gambaran klinis KE yang belum terganggu tidak khas, penderita dan dokternya biasanya tidak
mengetahui adanya kelainan dalam kehamilan, sampai terjadinya rupture tuba atau abortus tuba.
Pada umumnya, penderita menunjukkan gejala kehamilan muda disertai dengan adanya sedikit
nyeri perut pada bagian bawah. Pada pemeriksaan vaginal uterus membesar dan lembek
walaupun mungkin tidak sebesar tuanya kehamilan. Tuba yang mengandung hasil konsepsi
karena lembeknya sukar diraba pada pemeriksaan bimanual. Pada pemeriksaan USG sangat
membantu menegakkan diagnosis kehamilan ini apakah intrauterine atau KE. Oleh karena itu,
USG pada kehamilan muda sebaiknya dilakukan.
Apabila KE mengalami penyulit atau terjadi rupture tuba tempat lokasi nidasi kehamilan ini akan
memberikan gejala dan tanda yang khas yaitu timbulnya sakit perut mendadak yang kemudian
disusul dengan syok dan pingsan. Ini adalah pertanda khas terjadinya KE yang terganggu.
Nyeri merupakan keluhan utama pada KET. Pada rupture tuba, nyeri perut bagian bawah terjadi
secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan yang menyebabkan penderita
pingsan dan masuk ke dalam syok. Biasanya pada abortus tuba nyeri tidak seberapa hebat dan
tidak terus menerus. Rasa nyeri awalnya terdapat pada satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke
rongga perut, nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam rongga
perut dapat merangsang diafragma, sehingga menyebabkan nyeri bahu dan bila membentuk
hematokel retrouterina, menyebabkan defekasi nyeri.
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting pada KE yang terganggu. Perdarahan menjadi
tanda adanya kematian janin, dan berasal dari kavum uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan
biasanya tidak banyak dan berwarna coklat tua. Perdarahan berarti gangguan pembentukan
human chorionic gonadotropin. Jika plasenta mati, maka desidua dapat diangkat seluruhnya.
Amenorea juga merupakan tanda yang penting pada KE walaupun penderita sering mengatakan
tidak jelasnya ada amenorea karena gejala dan tanda KE terganggu bisa langsung terjadi
beberapa saat setelah terjadinya nidasi pada saluran tuba. Lamanya amenorea bergantung pada
kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Terkadang kematian janin terjadi sebelum haid

berikutnya sehingga penderita tidak mengalami amenorea. Frekuensi amenore berkisar antara 23
hingga 97%.
Pada pemeriksaan vaginal yang dilakukan pada penderita KE, sering ditemukan adanya nyeri
saat dilakukan usaha menggerakkan serviks uteri atau biasa disebut nyeri goyang (+). Biasanya
nyeri goyang ini disertai dengan penonjolan kavum Douglasi dan nyeri pada perabaan karena
terisi oleh darah. Pada abortus tuba biasanya teraba dengan jelas suatu tumor disamping uterus
dalam berbagai ukuran dengan konsistensi agak lunak. Hematokel retrouterina dapat diraba
sebagai tumor di kavum Douglasi. Pada rupture tuba dengan perdarahan banyak tekanan darah
dapat menurun dan nadi meningkat; perdarahan lebih banyak lagi menimbulkan syok.
KET memiliki gejala yang sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala perdarahan
mendadak dalam rongga perut dan ditandai adanya gejala akut abdomen sampai gejala-gejala
yang samar-samar sehingga sukar membuat diagnosa4,5,6.

Gambaran gangguan mendadak


Peristiwa ini jarang ditemukan. Biasanya setelah mengalami amenorea, tiba-tiba penderita
akan merasa nyeri yang hebat di daerah perut bagian bawah dan sering muntah-muntah.
Nyeri yang hebat dapat membuat penderita pingsan, yang tak lama kemudian akan masuk ke
dalam keadaan syok akibat perdarahan. Selain itu juga ditemukan seluruh perut agak
membesar, nyeri tekan, dan tanda-tanda cairan intraperitoneal. Pada pemeriksaan vaginal
ditemukan fornix posterior menonjol dan nyeri goyang saat portio digerakkan, kadang uterus

teraba sedikit membesar disertai adanya suatu adnexa tumor disebelahnya.


Gambaran gangguan tidak mendadak
Peristiwa ini lebih sering ditemukan dan biasanya berhubungan dengan abortus tuba atau
yang terjadi perlahan-lahan. Setelah terlambat haid beberapa minggu, penderita mengeluh
rasa nyeri yang tidak terus menerus di perut bagian bawah. Tetapi dengan adanya darah
didalam rongga peritoneal, rasa nyeri itu akan menetap. Tanda-tanda anemia menjadi nyata.
Mula-mula perut lembek, tetapi lama-lama dapat menggembung karena terjadi ileus
paralitik. Terdapat tumor di sebelah uterus (hematosalping) yang kadang bersatu dengan
hematokel retrouterina sehingga kavum Douglasi sangat menonjol dan nyeri raba,
pergerakan serviks juga menyebabkan rasa nyeri. Penderita juga mengeluh rasa penuh di
daerah rectum dan merasa tenesmus, setelah seminggu merasa nyeri biasanya terjadi
perdarahan dari uterus dengan kadang-kadang disertai oleh pengeluaran jaringan desidua.

Gambaran gangguan atipik


Kesulitan diagnosis biasanya terjadi pada KET jenis atipik atau menahun. Keterlambatan
haid tidak jelas, tanda dan gejala kehamilan muda tidak jelas, demikian pula nyeri perut
tidak nyata dan sering penderita tampak tidak terlalu pucat. Hal ini dapat terjadi apabila
perdarahan berlangsung lambat. Dalam keadaan demikian, alat bantu diagnosis amat
diperlukan untuk memastikan diagnosis.

2.6

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk menegakkan diagnosis KE adalah sebagai
berikut:

1.

Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Hb dan jumlah sel darah merah
Dapat diduga bahwa kadar hemoglobin turun pada kehamilan tuba yang terganggu,
karena perdarahan yang banyak ke dalam rongga perut, tapi turunnya Hb disebabkan
karena darah diencerkan oleh air dan jaringan untuk mempertahankan volume darah. Hal
ini memerlukan waktu 1-2 hari. Jadi mungkin pada pemeriksaan Hb yang pertama, kadar
Hb belum seberapa turunnya, maka kesimpulan adanya perdarahan didasarkan atas
penurunan kadar Hb pada pemeriksaan kadar Hb yang berturut-turut. Pada kasus jenis
tidak mendadak, biasanya ditemukan anemia tetapi harus diingat bahwa penurunan Hb
baru terlihat setelah 24 jam4,5,6.
b. Perhitungan leukosit
Perdarahan juga menimbulkan naiknya leukosit, sedangkan pada perdarahan sedikit demi
sedikit, leukosit normal atau sedikit meningkat. Ini berguna dalam menegakkan diagnosis
KET, terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Untuk membedakan
KE dan infeksi pelvik dapat diperhatikan jumlah leukosit, jika >20.000 biasanya
menunjukkan adanya infeksi pelvik4,5,6.
c. Tes kehamilan

Jaringan trophoblast pada KE menghasilkan hCG dalam kadar yang lebih rendah
daripada kehamilan intrauterin normal, oleh sebab itu dibutuhkan tes yang mempunyai
tingkat sensitivitas yang lebih tinggi2. Akan tetapi tes negatif tidak menyingkirkan
kemungkinan KET karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi tropoblas
menyebabkan hasil tes negatif. Permasalahan yang timbul kemudian adalah bagaimana
mendeteksi penanda kehamilan ini dengan cara klinik yang terefektif4,8.
Tes kehamilan melalui urin merupakan slide test inhibisi aglutinasi lateks yang paling
sering dikerjakan, karena memiliki kepekaan terhadap korionik gonadotropin yang
berkisar dari 500 hingga 800 mIU per mL. Kemudahan penggunaannya dan kecepatannya
diimbangi dengan persentase kemungkinan hasil positif yang besarnya hanya sekitar 50
hingga 60 persen pada wanita dengan KE4,8.
2. Ultrasonografi (USG)
USG yang digunakan meliputi USG transabdominal dan USG transvaginal. Pada USG
transabdominal biasanya ditemukan kavum uteri yang tidak berisi kantong gestasi, gambaran
cairan bebas serta massa abnormal di daerah pelvis. Sedangkan pada USG transvaginal
digunakan setelah satu minggu telat haid yang dikombinasi dengan pemeriksaan kadar hCG serum4,8. Sebuah kantung gestasi merupakan tanda pada USG, yang berlokasi pada
permukaan endometrial dan tampak dengan USG transvaginal 30-35 hari setelah menstruasi
terakhir. Terlihat daerah sonolusen di tengah yang dikelilingi dengan lapisan ekogenik tebal,
yang dibentuk oleh reaksi desidual di sekeliling kantong korionik. Yolk sac sebagai struktur
yang pertama kali terlihat dalam kantong gestasi, tampak pada 5 minggu setelah menstruasi
terakhir. Gerakan jantung janin pertama kali terlihat saat umur kehamilan 5-6 minggu.
Kegagalan untuk dapat melihat kantong gestasi sampai 24 hari atau lebih setelah konsepsi
(38 hari atau lebih) biasanya menunjukkan adanya KE6,8.
USG Doppler memiliki sensitivitas yang lebih baik dan secara tehnik lebih cepat. Meskipun
USG tradisional dapat menunjukkan massa adnexa, Doppler dapat menunjukkan bahwa
massa tersebut adalah massa ektopik dengan menunjukkan adanya aktivitas vaskular
abnormal pada massa tersebut dan juga gambaran vaskular uterin yang tenang. Perbedaan

USG Doppler dan USG standar ini sangat berarti pada awal kehamilan, dan hal ini dapat
mengarah kepada pengobatan medisinalis seawal mungkin.6,8

3. Kombinasi USG dengan pengukuran serum -hCG


Bila pada USG transvaginal ditemukan uterus yang kosong, dan kadar -hCG serum >1500
mIU/ml atau lebih, maka diagnosis KE dapat dipastikan dengan tingkat akurasi hampir
100%4. Kadar dkk (1981) mengemukakan empat kemungkinan klinik berdasarkan nilai
kuantitatif -hCG4:
Kalau nilai -hCG di atas 6000 mIU per ml dan kantong kehamilan terlihat di dalam uterus
lewat pemeriksaan USG abdomen, maka diagnosis kehamilan normal pada dasarnya bisa
dipastikan.
1. Kalau nilai -hCG di atas 6000 mIU per ml dan kavum uteri tampak kosong, maka
kemungkinan adanya KE sangat besar. Keadaan ini jarang dijumpai dalam praktek klinik
sebenarnya.
2. Kalau nilai -hCG di bawah 6000 mIU per ml dan cincin kehamilan intrauteri jelas
terlihat, maka abortus spontan mungkin tengah terjadi atau segera akan terjadi. KE masih
menjadi suatu kemungkinan karena derajat ultrasonik yang ada. Diagnosis keliru
mengenai kantong kehamilan dalam uterus dapat saja dibuat kalau ada bekuan darah atau
silinder desidua.
3. Kalau nilai -hCG di bawah 6000 mIU per ml dan terlihat uterus yang kosong, tidak ada
diagnosis pasti yang dapat ditegakkan. Kegagalan untuk melihat kantong kehamilan di
dalam uterus sering terjadi pada pemeriksaan USG abdomen yang dikerjakan sebelum
usia kehamilan 5 minggu. Sayangnya usia kehamilan yang tepat acapkali tidak diketahui
pada wanita dengan suspek KE. Pada kasus-kasus ini, wanita tersebut dapat mengalami
abortus atau bisa mempertahankan kehamilannya dan kemudian terbentuk kantong
kehamilan, atau dapat pula memperlihatkan bukti yang menunjukkan adanya KE.
4.

Kuldosentesis

Adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam kavum Douglas ada darah
atau cairan lain. Namun prosedur ini tidak rutin dikerjakan, dilakukan dengan menusukkan
jarum dengan lumen yang agak besar (ukuran 16 atau 18) lewat forniks posterior vagina ke
dalam kavum Douglas, di garis tengah di belakang serviks uteri, sebelumnya serviks ditarik
ke atas dan keluar. Lalu dilakukan aspirasi cairan yang ada di dalamnya4,6,8.
Kuldosentesis mungkin tidak memberikan hasil yang memuaskan pada wanita dengan
riwayat salpingitis dan peritonitis pelvik, mengingat kavum Douglas kemungkinan sudah
mengalami obliterasi. Jadi, kegagalan untuk mendapatkan darah dari kavum Douglas tidak
meniadakan kemungkinan diagnosis hemoperitonium dan tentu saja bukan merupakan bukti
yang menentang adanya KE dengan atau tanpa ruptur4.
5.

Kadar progesteron
Kadar progesteron tunggal mempunyai spektrum luas yang dapat memberikan hasil yang
tumpang tindih antara kehamilan normal dan KE. Ukuran ini hanya dipakai sebagai
tambahan terhadap pemeriksaan kadar HCG dan USG. Konsentrasi serum progesteron
biasanya rendah pada KE. Nilai 25 ng/mL atau lebih, 98% merupakan kehamilan normal
intrauteri, bila nilainya kurang dari 5 ng/mL menunjukkan kehamilan yang non viabel,
dengan tidak memandang lokasi. Nilai serum progesteron membantu untuk mengambil
keputusan tentang kemungkinan viabilitas kehamilan intrauterine yang memerlukan tindakan
kuretase. Pada sebagian besar kasus, keputusan ini dapat dengan mudah dibuat dengan
kombinasi adanya gambaran klinis, titer HCG dan USG. Sebagian besar pasien mempunyai
kadar progesteron antara 10-20 ng/mL, sehingga penggunaannya dalam klinis sangat
terbatas. Nilai 25 ng/mL merupakan indikator adanya kehamilan intrauteri normal pada
wanita dengan ovulasi dan kehamilan spontan. Nilai untuk wanita yang mendapat induksi
ovulasi mungkin lebih tinggi, dan pada kasus-kasus ini, penggunaan nilai progesteron lebih
sempit lagi6.

6. Kuretase uterus
Manfaat kuretase uterus adalah untuk menentukan ada atau tidaknya vili yang menandakan
adanya kehamilan intrauterin yang non viabel. Pada sebagian besar kasus, kuretase sangat

menolong jika serum progesteron kurang dari 5 ng/mL dan titer HCG yang tidak meningkat
dan kurang dari 1000 IU/L. Kuretase dan pemeriksaan hasilnya dapat digunakan untuk
mencegah laparoskopi yang tidak perlu pada pasien yang mengalami keguguran. Dengan
melarutkan hasil kuretase pada larutan salin, biasanya menunjukkan adanya vili, tetapi tidak
selalu. Hasil kuretase dalam larutan salin dapat mengalami kesalahan sebesar 6,6% dari
pasien yang mengalami KE dan kesalahan sebesar 11,3% pada pasien dengan kehamilan
intrauterine. Karena ketidakakuratan ini, pemeriksaan patologi dan pemantauan titer HCG
sangat diperlukan untuk konfirmasi4,6,8.
7. Laparoskopi
Tehnik pemeriksaan ini memberikan sarana untuk mendiagnosis penyakit pada organ pelvis,
termasuk KE. Sistem optis dan elektronik yang disempurnakan telah mengatasi sebagian
besar keberatan yang timbul dalam upaya untuk menggunakan sonde transabdominal
intraperitoneal yang dilengkapi dengan cahaya untuk melihat organ-organ dalam panggul.
Meskipun demikian, laparoskopi yang aman dan berhasil memerlukan peralatan yang
sempurna, operator yang berpengalaman, ruang operasi dan biasanya tindakan anestesi
seperti pada pembedahan. Inspeksi lengkap rongga panggul mungkin tidak dapat dilakukan
bila terdapat inflamasi pelvik atau perdarahan yang baru atau sudah lama terjadi. Kadangkadang, pengenalan kehamilan tuba dini tanpa terjadinya ruptur sulit dilakukan dengan
laparoskopi, meskipun tuba bisa dilihat seluruhnya4,8. Laparoskopi merupakan diagnosis
definitif pada kebanyakan kasus. Selain itu laparoskopi operatif juga digunakan sebagai jalan
untuk memindahkan massa ektopik dan sekaligus sebagai saluran untuk menyuntikkan
kemoterapi 4.
8. Laparotomi
Jika masih terdapat keraguan, laparotomi harus dilakukan, karena kematian akibat
kelambatan atau ketidakmampuan dalam mengambil keputusan jauh lebih tragis daripada
pembedahan yang tidak diperlukan. Angka kematian yang berkaitan dengan pembedahan
yang terbatas pada insisi suprapubik yang dilakukan secara hati-hati dan diperbaiki kembali,
adalah sangat kecil. Di samping itu, diagnosis sering dipermudah dengan inspeksi langsung

dan palpasi organ pelvis yang dimungkinkan lewat laparotomi. Hal yang mengesankan
adalah bahwa laparotomi jangan ditunda meskipun dilakukan laparoskopi pada wanita
dengan kelainan serius dalam panggul atau abdomen yang memerlukan tindakan pasti dan
segera4,8. Laparotomi dikerjakan bila penderita secara hemodinamik tidak stabil, dan
membutuhkan terapi definitif secepatnya4.
2.7

Diagnosis
Diagnosis KET ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang1-9
1.

Anamnesis
Pada anamnesis biasanya didapatkan trias KET klasik yaitu: amenorea, nyeri perut yang
biasanya bersifat unilateral serta perdarahan pervaginam. Gejala tak spesifik lainnya seperti
perasaan mual, muntah dan rasa tegang pada payudara serta kadang-kadang gangguan
defekasi.

2. Pemeriksaan fisik
a. Tanda-tanda syok: tekanan darah menurun (sistolik < 90 mmHg), nadi cepat dan lemah (>
110 kali permenit), pucat, berkeringat dingin, kulit yang lembab, nafas cepat (> 30 kali
permenit), cemas, kesadaran berkurang atau tidak sadar.
b. Gejala akut abdomen: perut tegang pada bagian bawah, nyeri tekan, nyeri ketok dan nyeri
lepas dari dinding perut.
c. Pemeriksaan ginekologi: biasanya didapatkan servik teraba lunak, nyeri tekan dan nyeri
goyang, korpus uteri normal atau sedikit membesar, kadang-kadang sulit diketahui
karena nyeri abdomen yang hebat, kavum Douglas menonjol oleh karena terisi darah.
3. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium
Kadar Hb, jumlah sel darah merah dan leukosit, tes kehamilan
b. USG

c. Kombinasi USG dengan pemeriksaan kuantitatif -hCG


d. Kuldosentesis
e. Kadar progesteron
f. Kuretase uterus
g. Laparoskopi
h.
2.8

Laparotomi

Diagnosis Banding
Diagnosis banding KE terganggu ialah infeksi pelvis, abortus iminens, kista folikel, korpus
luteum yang pecah, kista ovarium dengan putaran tangkai, serta apendisitis. Penyakit-penyakit
ini dapat memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan KET. Perbedaan dari masingmasing penyakit tersebut adalah sebagai berikut4,5,6,7,8,10:
1. Infeksi pelvis
Gejala yang menyertai infeksi pelvis biasanya timbul waktu haid dan jarang setelah
amenore. Gejala tersebut berupa nyeri perut bawah dan tahanan yang dapat diraba pada
pemeriksaan vagina, yang pada umumnya bilateral. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
perbedaan suhu rektal dan aksila melebihi 0,5 0C, sedangkan pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukositosis yang lebih tinggi daripada KET serta tes kehamilan negatif.
2.

Abortus iminens atau insipiens


Pada abortus iminens maupun insipiens, perdarahan umumnya lebih banyak dan lebih merah
sesudah amenore. Rasa nyeri yang muncul berlokasi di daerah median. Sedangkan pada
pemeriksaan fisik tidak dapat diraba tahanan di samping atau di belakang uterus serta
gerakan servik uteri tidak menimbulkan nyeri.

3. Ruptur korpus luteum


Terjadi pada pertengahan siklus haid dan biasanya tanpa disertai perdarahan pervaginam,
serta tes kehamilan (-).

4. Torsi kista ovarium dan apendisitis


Umumnya tidak ada gejala dan tanda kehamilan muda, amenore dan perdarahan
pervaginam. Torsi kista ovarii biasanya lebih besar dan lebih bulat daripada KE. Pada
apendisitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada gerakan serviks kurang nyata, serta lokasi
nyeri perutnya di titik McBurney.
2.9

Penatalaksanaan
Prinsip umum penatalaksanaan KE terganggu ialah 1,2,4,5,6,8:
1. Segera dibawa ke rumah sakit
2. Transfusi darah dan pemberian cairan untuk mengoreksi anemia dan hipovolemia.
3. Operasi segera dilakukan setelah diagnosis ditegakkan. Jenis operasi yang dikerjakan antara
lain berupa salpingektomi yang dilakukan pada kehamilan tuba dan ooforektomi atau
salpingooforektomi pada kehamilan di kornu. Pada kehamilan di kornu jika pasien berumur
>35 tahun sebaiknya dilakukan histerektomi, bila masih muda sebaiknya dilakukan
fundektomi. Pada kehamilan abdominal, bila kantong gestasi dan plasenta mudah diangkat
sebaiknya diangkat saja tetapi bila besar dan susah diangkat maka anak dilahirkan dan tali
pusat dipotong dekat plasenta, plasenta ditinggalkan dan dinding perut ditutup.
Penanganan terhadap kehamilan tuba paling sering berupa salpingektomi untuk mengangkat
tuba fallopi yang koyak dan mengalami perdarahan, dengan atau tanpa ooforektomi
ipsilateral. Tujuan penanganan tersebut harus dan tetap terletak dalam upaya untuk
menyelamatkan jiwa ibu. Akhir-akhir ini, penanganan terhadap KE telah berubah dari
salpingektomi menjadi prosedur untuk mempertahankan fungsi tuba. Pembedahan yang
dahulunya lebih radikal akan dijelaskan pertama dan kemudian diikuti dengan uraian
mengenai teknik pembedahan yang lebih baru untuk mempertahankan kelangsungan fungsi
tuba fallopi.4,6,8

1.

Salpingektomi

Dalam pengangkatan tuba fallopi, dianjurkan untuk membuat eksisi berbentuk baji yang
tentu saja tidak lebih dari sepertiga luar pars interstisialis tuba (tindakan ini dinamakan
reseksi kornu), untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kehamilan dalam puntung tuba
(jarang dijumpai) tanpa melemahkan miometrium di tempat eksisi tersebut. Harus dihindari
reseksi yang terlampau luas agar tidak mengenai kavum uteri; kalau tidak, cacat yang
ditimbulkan oleh reseksi akan menimbulkan ruptura uteri pada kehamilan intrauteri
berikutnya. Bahkan dengan reseksi kornu sekalipun, kehamilan interstisial selanjutnya tidak
dapat dicegah.
2. Ooforektomi ipsilateral
Pengangkatan ovarium di sebelahnya pada saat dilakukan salpingektomi pernah dianjurkan
sebagai prosedur yang mungkin dapat memperbaiki kesuburan penderita maupun
menurunkan kemungkinan terjadinya KE berikutnya. Dengan demikian, ovulasi selalu akan
terjadi dari ovarium yang paling dekat pada tuba fallopi yang masih tertinggal. Keadaan ini
mempermudah pengambilan ovum oleh tuba dan menghindari kemungkinan terjadinya
migrasi eksterna ovum serta KE yang bisa timbul akibat telur yang peripatetik tersebut.
3. Sterilisasi
Sebelum dilakukan pembedahan eksplorasi untuk kecurigaan KE, ibu harus ditanya dahulu
apakah ia menginginkan kehamilan selanjutnya. Jika wanita tersebut sudah tidak ingin
mempunyai anak lagi dan KE yang terjadi merupakan akibat tindakan kontrasepsi yang
gagal, keputusan yang diambil dokter biasanya ke arah tindakan sterilisasi. Jika diputuskan
demikian, dan keadaan pasien baik, dokter dapat mempertimbangkan histerektomi. Kalau
tidak, tubektomi biasanya dapat dilakukan dengan cepat tanpa meningkatkan risiko.
Sebaliknya, semua organ ini perlu diselamatkan sedapat mungkin pada wanita yang masih
ingin hamil lagi, sekalipun risiko KE yang akan dihadapinya pada kehamilan berikutnya
cukup besar.
4. Menyelamatkan tuba fallopi

Karena adanya kemungkinan yang besar untuk terjadi kemandulan setelah kehamilan tuba
yang ditangani dengan salpingektomi, cara lain untuk mengangkat tuba harus
dipertimbangkan. Penggunaan teknik diagnostik dan prosedur pembedahan yang lebih
mutakhir untuk mempertahankan tuba yang rusak akan memberikan hasil akhir yang lebih
baik lagi dalam kehamilan berikutnya. Beberapa tindakan bedah rekonstruksi tuba
dibicarakan dibawah ini:
a. Salpingostomi
Teknik ini digunakan untuk mengangkat kehamilan yang kecil dengan panjang yang
biasanya kurang dari 2 cm dan terletak dalam sepertiga distal tuba fallopi. Suatu insisi
linier sepanjang 2 cm atau kurang dilakukan pada batas antimesenterik di dekat
kehamilan ektopik. Implantasi ektopik ini biasanya akan menonjol keluar dari lubang
insisi sehingga dapat dikeluarkan dengan hati-hati. Tempat perdarahan dikendalikan
dengan elektrokauter atau laser, dan luka insisi dibiarkan tanpa penjahitan sampai
sembuh sendiri.
b. Salpingotomi
Suatu insisi longitudinal dilakukan pada batas antimesenterik tuba fallopi langsung di
daerah implantasi ektopik. Hasil konsepsi diangkat dengan forseps atau diisap dengan
hati-hati dan tuba yang terbuka lalu diirigasi dengan larutan ringer laktat (jangan
memakai larutan salin isotonik), sehingga tempat perdarahan dapat dikenali dan
dikendalikan seperti dijelaskan di atas. Penutupan luka yang paling dianjurkan
dilakukan dengan jahitan satu lapis memakai benang vicryl 7-0 yang dipasang satu
persatu.
c. Reseksi segmental dan anastomosis
Prosedur ini dianjurkan untuk KE yang mengalami ruptur dalam bagian isthmus tuba,
mengingat salpingotomi atau salpingostomi kemungkinan akan menimbulkan jaringan
parut dan selanjutnya penyempitan lumen tuba yang kecil ini. Setelah segmen tuba
terlihat, mesosalping di bawah tuba diinsisi, dan bagian isthmus tuba yang berisikan

implantasi ektopik tersebut direseksi. Mesosalping lalu dijahit dan dengan demikian
merapatkan kembali kedua puntung tuba. Segmen tuba tersebut kemudian
dianastomosiskan satu sama lain secara berlapis dengan benang vicryl 7-0 yang dijahit
satu per satu (jahitan terputus); penjahitan ini sebaiknya dilakukan dengan pembesaran.
Tiga jahitan dibuat pada tunika muskularis dan tiga lagi pada tunika serosa yang
dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengenai lumen tuba. Penjahitan lapisan serosa
akan menambah kekuatan pada lapisan pertama.
d. Evakuasi fimbria
Pada kehamilan tuba yang implantasinya di bagian distal diusahakan untuk
mengosongkan hasil konsepsi dengan cara mengurut atau mengisap implantasi
ektopik tersebut dari dalam lumen tuba. Tindakan ini tidak dianjurkan karena akan
disertai dengan angka KE rekuren yang besarnya dua kali lipat bila dibandingkan
dengan salpingotomi. Pada tindakan ini juga terdapat angka pembedahan reeksplorasi
yang tinggi untuk mengatasi perdarahan rekuren akibat jaringan trofoblastik persisten.
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh KET antara lain berupa syok yang irreversibel,
perlekatan dan obstruksi usus

1,4,5,6,8,10

. Komplikasi yang lain berupa jaringan trofoblastik

persisten dan KE persisten . Namun kedua hal tersebut biasanya terjadi pada KE yang belum
pecah dan menjalani terapi bedah konservatif (salpingostomi), sehingga diperlukan pemantauan
yang ketat pasca terapi.4,5,6,8
Resiko KE persisten dengan pembedahan konservatif melalui laparotomi sebesar 5%.
Laparoskopi salpingostomi dihubungkan dengan tingginya angka jaringan tropoblas persisten;
kira-kira 15% pasien memerlukan pengobatan lanjutan. Risiko jaringan trofoblastik persisten
sangat bermakna dengan hematosalping berdiameter lebih besar dari 6 cm, titer HCG lebih besar
dari 20.000 IU/L dan hemoperitonium lebih dari 2000 ml. Meskipun reoperasi merupakan
pengobatan pilihan, tetapi methotrexate lebih disukai. Pengobatan profilaksis dapat diberikan
dengan memberikan dosis multipel methotrexate (1 mg/kg) atau dosis tunggal methotrexate (15
mg/m2) dapat diberikan setelah diagnosis ditegakkan.4,6,8

2.11 Prognosis
Kematian karena KET cenderung turun dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup.
Pada umumnya, kelainan yang menyebabkan KE bersifat bilateral. Sebagian wanita menjadi
steril setelah mengalami KE atau dapat mengalami KE lagi pada tuba yang lain. Angka KE yang
berulang dilaporkan antara 0-4,6 %. Untuk wanita dengan anak yang sudah cukup, sebaiknya
pada operasi dilakukan salpingektomi bilateralis.4,5,6,8
Setelah mengalami KE, kemungkinan untuk mengandung dan melahirkan anak sebesar 85%
pada kehamilan berikutnya. Setelah 2 kali mengalami KE, risiko KE berikutnya meningkat
menjadi 10 kali lipat, dan harus dipertimbangkan dalam memberikan IVF.6

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1

3.2

Identitas Pasien
Nama

: NKS

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 35 tahun

Status

: Menikah

Agama

: Hindu

Suku/Bangsa

: Bali/Indonesia

Pendidikan

: Tamat SMA

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Alamat

: Bd. Batudawa Kelod Tulamben Kubu

Nama Suami

: IKS

Pekerjaan Suami

: Karyawan Swasta

MRS

: 27 Juni 2016 pukul 10.00 WITA

Anamnesis
Keluhan Utama
Sakit perut bagian bawah.
Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita datang sadar dengan keluhan nyeri perut pada bagian bawah sejak pukul 08.00 WITA.
Nyeri perut disertai dengan keluar darah berupa flek-flek pervaginam sejak 21 Juni 2016. Nyeri
perut biasanya timbul mendadak dan membaik ketika beristirahat. Keluhan lain seperti pusing,
mual, muntah, dan nyeri ulu hati disangkal pasien. Riwayat sakit saat haid (+) dan riwayat PP
Test (+).
Riwayat Menstruasi

Pasien mengalami menstruasi pertama kali pada usia 14 tahun. Pasien mengatakan siklus
menstruasi teratur setiap bulannya, sekali siklus 28 hari, lamanya menstruasi 7 hari, dengan
volume 40 cc.

Riwayat Obstetri
Hari Pertama Haid Terakhir pasien adalah tanggal 28 April 2016. Tanggal perkiraan persalinan 5
Februari 2017. Pasien mengatakan ini merupakan kehamilan yang ketiga. Pasien melakukan
pemeriksaan kehamilan sebanyak 1 kali di bidan praktek swasta. Pasien sudah diimunisasi
Tetanus Toxoid (TT) sebanyak 1 kali.
I.

2005, Aterm, pspt b, bidan, perempuan, 3000 gram

II.

2007, Aterm, pspt b, bidan, perempuan, 3100 gram

III.

Hamil ini

Riwayat Pernikahan
Pasien mengaku telah menikah sebanyak 1 kali. Usia saat menikah adalah 24 tahun. Lamanya
pernikahan adalah 11 tahun.
Riwayat Ante Natal Care
Di bidan praktek swasta sebanyak 1 kali.
Riwayat Penggunaan Kontrasepsi
Pasien tidak menggunakan alat kontrasepsi
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit seperti tekanan darah tinggi, kencing manis, jantung, asma, kejiwaan, dan
tumor disangkal oleh pasien
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit dalam keluarga seperti tekanan darah tinggi, kencing manis, jantung, asma,
maupun gangguan kejiwaan disangkal oleh pasien
Riwayat Penyakit Ginekologi
Tidak ada

3.3

Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: E4V5M6 (Compos Mentis)

Tekanan Darah

: 110/80 mmHg

Nadi

: 80x/menit

Respirasi

: 20x/menit

Suhu tubuh axilla

: 37C

Tinggi Badan

: 152 cm

Berat Badan

: 60 kg

IMT

: 25.90 kg/m2

Status General
Kepala

: Mata: anemis -/-, ikterik -/-

Thorax

: Jantung
Paru

: S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)


: vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen

: Sesuai status ginekologi

Ekstremitas

: Akral hangat : Ekstremitas atas +/+


Ekstremitas bawah +/+
Edema

: Ekstremitas atas -/Ekstremitas bawah -/-

Status Ginekologi
Abdomen:
Inspeksi
Tidak tampak perut membesar, tidak tampak adanya striae gravidarum (linea nigra), tidak tampak
bekas luka operasi.
Palpasi
Tinggi fundus uteri tidak teraba, distensi (-), nyeri tekan (-)
Auskultasi
Bising usus (+), denyut jantung janin tidak terdengar
Vagina:

Inspekulo
Fluksus (+), fluor (-), P (-), livide (+)
VT
Fluksus (+), fluor (-)
P (-), nyeri goyang (+)
CUAF b/c > normal
AP ka/ki: nyeri +/-, mass -/CD: menonjol (+)
Pemeriksaan Penunjang

USG
Tampak uterus dengan ukuran 5.4 cm x 3 cm
Tampak Gestational Sac (+) ekstrauterine
Cairan bebas (+)
PPT
PPT (+) pada pemeriksaan tanggal 27 Juni 2016
Darah Lengkap

Parameter
WBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
RDW
PLT
MPV

3.5

27/06/2016
11.5
10.0
28.7
84.4
29.4
34.8
13.6
220
10.6

Rujukan
4,10 11,00
11,0 16,0
34,0 46,0
78,0 99,0
25,0 34,0
32,0 36,0
11,0 14,8
150 400
6,0 99,9

Diagnosis
Kehamilan Ektopik Terganggu

3.6

Penatalaksanaan
Tx:

Resusitasi Cairan
Laparotomi cito ruptur tuba pars ampullaris dextra

salpingektomi dextra
Cefoperazone sulbactam 2 gr IV
Persiapan darah
Mx:

Keluhan, Vital Sign

KIE:

pasien dan suami tentang kondisi pasien termasuk diagnosa, rencana tindakan segera
yang akan dilakukan, dan resiko tindakan.

3.7

Perjalanan Penyakit Pasien


Laporan Operasi
Pada pukul 13.50, pasien dalam posisi supine dengan Regional Anesthesia Block Spinal
Anesthesia, asepsis antisepsis lapangan operasi dengan betadine, persempit lapangan operasi
dengan doek steril. Dilakukan insisi abdomen secara midline, perdalam hingga menembus
peritoneum. Tampak hemoperitoneum lalu dilakukan suction dan dipasang derm gaas. Dilakukan
evaluasi terhadap organ genitalia internna (uterus, tuba, ovarium dextra, dan sinistra). Tampak
rupture tuba graviditas pars ampullaris dextra lalu diputuskan dan dilakukan salpingektomi
dextra (klem, ikat, dan potong). Dilakukan evaluasi tuba dan ovari sinistra dan didapatkan hasil
ovari sinistra dalam batas normal. Cuci kavum abdomen dengan NaCl 0.9%, hingga bersih, dan
dievaluasi, tidak terdapat perdarahan. Kemudian dinding abdomen ditutup lapis demi lapis.
Tutup luka operasi dengan sufratulle, hipafix, gaas steril, dan operasi selesai.
Pk. 14.30 WITA (27/06/2016)
Telah dilakukan salpingektomi dextra
S

: Nyeri luka operasi (+)

: Status Present
Tekanan Darah: 110/70 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

Respirasi

Suhu Tubuh

: 36.5 C

: 18 x/menit

Status General
Kepala

: Mata : anemis -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ isokor

Thorak

: Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)


Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Ekstremitas : Edema tidak ada pada keempat ekstremitas, akral hangat


Status Ginekologi

Abdomen

: Distensi (-), BU (+) N


Luka bekas operasi terawat

Vagina

: Perdarahan aktif (-)

Ass

: Post Salpingektomi Dextra e.c Ruptur Tuba Graviditas Pars Ampullaris Dextra hari-0

: Pdx: DL 6 jam post op


Tx: IVFD RL 20 tpm
Inj Cefoperazone 3 x 1gr IV
Dowel Catheter 1 x 24 jam
Puasa sampai dengan 6 jam post op
Analgesik sesuai dengan TS Anestesi
Mx: Keluhan dan vital sign
KIE

Pk. 06.00 WITA (28/06/2016)


S

: Nyeri luka operasi (+)

: Status Present
Tekanan Darah: 110/60 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

Respirasi

Suhu Tubuh

: 36.5 C

: 16 x/menit

Status General
Kepala

: Mata : anemis -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ isokor

Thorak

: Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)


Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Ekstremitas : Edema tidak ada pada keempat ekstremitas, akral hangat


Status Ginekologi
Abdomen

: Distensi (-), BU (+) N


Luka bekas operasi terawat

Vagina
Parameter
WBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
RDW
PLT
MPV

: Perdarahan aktif (-)


27/06/2016
13.1
10.0
30.4
86.2
28.5
33.0
10.7
205
10.3

Rujukan
4,10 11,00
11,0 16,0
34,0 46,0
78,0 99,0
25,0 34,0
32,0 36,0
11,0 14,8
150 400
6,0 99,9

Ass

: Post Salpingektomi Dextra e.c Ruptur Tuba Graviditas Pars Ampullaris Dextra hari-1

: Pdx: Aff Infus


Aff Dowel Catheter
Tx: Asam Mefenamat 3 x 500mg
Cefadroxil 2 x 500mg
Mx: Keluhan dan vital sign
KIE

Pk. 06.00 WITA (29/06/2016)


S

: Nyeri luka operasi (+), BAK (+) spontan

: Status Present
Tekanan Darah: 120/80 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

Respirasi

Suhu Tubuh

: 36.5 C

: 20 x/menit

Status General
Kepala

: Mata : anemis -/-, ikterus -/-, reflex pupil +/+ isokor

Thorak

: Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)


Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Ekstremitas : Edema tidak ada pada keempat ekstremitas, akral hangat


Status Ginekologi
Abdomen

: Distensi (-), BU (+) N


Luka bekas operasi terawat

Vagina

: Perdarahan aktif (-)

Ass

: Post Salpingektomi Dextra e.c Ruptur Tuba Graviditas Pars Ampullaris Dextra hari-2

: Pdx
Tx: Asam Mefenamat 3 x 500mg
Cefadroxil 2 x 500mg
Mx
KIE: BPL dan pasien kontrol kembali ke poli kebidanan tanggal 2/7/2016

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1

Diagnosis

Diagnosis pada pasien tersebut ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada KET ini terdapat trias klasik, yaitu nyeri perut, amenorea, dan
perdarahan vagina. Pasien mengaku sakit perut sejak pukul 08.00 WITA (27/06/16). Pasien juga
mengeluhkan adanya telat haid dan telah memeriksakan kehamilan ke bidan praktek swasta. Hari
pertama haid terakhir pada tanggal 28 April 2016. Dari keterangan tersebut, umur kehamilan
pasien diperkirakan sekitar 8-9 minggu. Umur kehamilan ini sesuai dengan umur kehamilan
dimana sering terjadi gangguan pada kehamilan ektopik. Pasien mengeluhkan keluar flek-flek
darah sejak 7 hari yang lalu, tidak pernah banyak.
Pasien mengeluhkan perut yang terasa sangat nyeri sehingga tidak dapat beraktivitas seperti
biasanya. Tidak ada keluhan seperti pusing, mata berkunang-kunang, maupun pingsan. Dari hasil
pemeriksaan tekanan darah juga didapatkan tekanan darah pasien masih 110/80 mmHg, pasien
tampak baik dengan keadaan umum yang lemah. Dari data diatas dapat disimpulkan pasien
masih belum mengarah ke tanda-tanda syok.
Pada inspekulo didapatkan fluksus (+), tidak terdapat fluor, pada labia ditemukan livide yang
menunjukkan salah satu tanda kehamilan. Setelah dilakukan tes kehamilan pasien dinyatakan
positif hamil. Hal ini mendukung adanya KET.
Pada pemeriksaan dalam (VT) didapatkan nyeri goyang serviks, hal ini mendukung adanya
rangsangan (iritasi) oleh darah pada peritoneum. Tidak terdapat massa pada adnexa parametrium.
Hal ini bisa terjadi bila sudah terdapat rupture dari tuba, didukung oleh adanya nyeri sekitar
adnexa. Ditemukan kavum Douglas dalam keadaan menonjol, menunjukkan adanya pendesakan
oleh cairan dalam rongga pelvis, cairan tersebut dapat berupa darah akibat rupture tuba. Setelah
dilakukan pemeriksaan kuldosintesis (punksi kavum Douglas) didapatkan darah (+), hal ini
menunjukkan adanya darah pada rongga pelvis.
Dari pemeriksaan laboratorium pasien didapatkan Hb 10 g/dL dan WBC 11.5 K/uL, Data
tersebut menunjukkan terjadi penurunan Hb dan juga peningkatan leukosit. Hal ini sesuai dengan
teori dimana terdapat penurunan Hb karena perdarahan yang banyak ke dalam rongga perut,
sehingga darah diencerkan oleh air dan jaringan untuk mempertahankan volume darah.
Peningkatan leukosit juga sesuai dengan teori dimana jika terdapat peningkatan >20.000
menunjukkan adanya infeksi pelviks dan jika <20.000 menunjukkan adanya KET.

Dari uraian diatas maka diagnosis KET dapat ditegakkan, sehingga pasien dan suaminya di beri
penjelasan mengenai keadaan pasien dan perlunya dilakukan tindakan operasi segera, oleh
karena bahaya yang dapat mengancam nyawa pasien akibat perdarahan oleh ruptur tuba.
4.2

Penatalaksanaan
Pasien setelah mendapat persetujuan dari keluarga langsung dilakukan laparotomi untuk
menghilangkan perdarahan yang terjadi oleh karena ruptur tuba. Sebelum pasien dioperasi
diberikan suntikan antibiotika profilaksis. Saat abdomen dibuka terdapat darah kurang lebih
sebanyak 500 cc, hal ini membuktikan adanya perdarahan. Setelah ditelusuri didapatkan ruptur
tuba graviditas pars ampularis sinistra. Setelah tuba diklem, dilakukan salpingektomi dextra.
Pada follow up pasien didapatkan WBC pasien 13.1 K/L, sehingga pada terapi diberikan
antibiotik Cefadroxil 2 x 500mg. Setelah mendapatkan perawatan selama 3 hari, kondisi pasien
membaik dan pasien diijinkan untuk pulang.

BAB V
RINGKASAN

Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang bersangkutan,
berhubungan dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat. Keadaan gawat ini
dapat terjadi apabila KET. KET adalah kehamilan dimana sel telur yang dibuahi berimplantasi
dan tumbuh di luar endometrium kavum uterus dan menimbulkan keadaan gawat. Angka
kejadiannya dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Sedangkan faktor-faktor predisposisi
yang bisa menyebabkan kehamilan ektopik ini antara lain gangguan transportasi hasil konsepsi,
kelainan hormonal dan penyebab yang masih diperdebatkan.
Untuk menegakkan diagnosis KET selain berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan ginekologis kita juga perlu membedakannya dengan keadaan patologi lainnya yang
memberikan gambaran yang hampir sama seperti infeksi pelvis, abortus iminens atau insipiens,
kista folikel dan korpus luteum yang pecah, kista ovarium dengan putaran tangkai dan
apendisitis.
Kalau diagnosis sudah ditegakkan maka harus dioperasi. Operasi dilakukan sesuai dengan lokasi
dari KET. Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh KET adalah terjadi syok irreversibel,
perlekatan dan obstruksi usus. Untuk wanita dengan anak cukup sebaiknya pada operasi
dilakukan salpingektomi bilateral untuk mencegah kehamilan ektopik berulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S , Wiknjosastro H. Kehamilan Ektopik. Dalam Ilmu Kebidanan;


Jakarta; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002; 323-334
2. Wiknjosastro,H. Kehamilan Ektopik. Dalam Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta;
Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo, 2000; 198-204
3. Delfi L. Kehamilan Ektopik. Sinopsis Obstetri; jakarta; Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 1998; 226-37
4. Cunningham FG, gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, haulth JC, Wenstrom KD.
Ectopic Pregnancy. In: William Obstetrics, 21thed; USA; Mc graw hill; 2001;
pp 883-910
5. Lipscomb GH. Ectopic Pregnancy. Obstetric and Gynecology Principles for
Practice.In: Ling FW,Duff P editor. International edition;USA. Mc Graw Hill;
2001;pp 1134-1147
6. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Ectopic Pregnancy In Clinical Gynecologic
Endocrinology and Infertility, 6thed.Philadelphia.Lippincot William & Wilkins,
1999,pp 1149-1164
7. Chapin DS. Kehamilan Ektopik. Dalam: Friedman EA, Acker DB, Scachs BP.
Seri Diagnosis dan Penatalaksanaan Obstetri. Jakarta; Binarupa Aksara;
2000. Hal 54-56.
8. Berek JS. Ectopic Gestasion. In Novaks Gynecology. 13thed.Philadelphia
Lippincot Williams & Wilkins, 2002, pp510-534
9. Beck WW, Jr. Ectopic Pregnancy. In: Obstetrics and Gynecology 4 ed. William &
Wilkins the Science of Review. New York. 1996; 315-320
10.Pearson J, Rooyen JV. Ectopic Pregnancy. In: Bandowski BJ, Hearne AE,
Lambrou BJC, For HE, Wallase EE editor. The Jhons Hopkins Manual Of
Gynecology and Obstetric; 2nded. Philadelphia. Lippincott William & Wilkins;
2002;pp 305-13.
11.Braun, RD. Surgical Management of Ectopic Pregnancy. Available in :
http://www.emedicine.com/med/topic3316.htm. Last Update : 26 Juli 2004.
Accessed : 23 Desember 2005.
12.Ectopic Pregnancy. A Guide for Patients. American Society For Reproductive
Medicine.1996.

Anda mungkin juga menyukai