Anda di halaman 1dari 8

Sebuah penjelasan yang mungkin tentang bagaimana rifampisin dapat menginduksi

hepatotoksik adalah terkait efek meningkatnya CYP pada homeostasis kalsium . Ini
juga mungkin terjadi melalui stres oksidan, sehingga terjadi peningkatan peroksidasi
lipid. Dalam kasus ketika rifampisin dan isoniazid yang digunakan bersama-sama,
rifampisin dapat meningkatkan toksisitas isoniazid, karena asetil-isoniazid dari
isoniazid diubah menjadi hidrazin monoacetyl, yang dikatalisis oleh CYPs (Chen,
J., et.al., 2006).
Obat anti TB kedua yang diduga juga akan mengakibatkan hepatotoksik adalah INH.
Metabolisme utama INH adalah asetilasi oleh enzim n-asetiltransferase 2 (NAT2) dan
CYP 2E1 dan menghasilkan hepatotoksin.

Gambar 7. Metabolisme Isoniazid

Hidrazin merupakan penyebab hepatotoksisitas pada penggunaan INH. Penelitian


pada mikrosom liver tikus menunjukkan bahwa terbentuk radikal NO2 selama proses
metabolisme hidrazin secara oksidasi, yang kemungkinan merupakan penyebab utama
hepatotoksisitas. Penelitian menunjukkan bahwa ATDH lebih mudah terjadi dan dapat
menjadi parah pada kelompok asetilator lambat. Pada asetilator lambat lebih banyak
INH yang tertinggal untuk dihidrolisis langsung menjadi hidrazin serta terakumulasi
sebagai asetil hidrazin yang berubah menjadi hidrazin (Tostmann, A., et.al., 2007).
Huang et al. mengatakan bahwa asetilator lambat memiliki potensi 2 kali lipat
mengalami ATDH dibandingkan kelompok asetilator cepat. CYP2E1 c1/c1 genotip
berhubungan dengan tingginya aktivitas CYP2E1 dan dapat merangsang produksi
hepatotoksin yang lebih banyak. Penelitian menunjukkan bahwa INH dan Hidrazin
dapat merangsang aktivitas CYP2E1. INH memiliki efek penghambatan aktivitas
CYP1A2, 2A6, 2C19 dan 3A4. CYP1A2 diduga berfungsi sebagai detoksifikasi
hidrazin. INH menyebabkan peningkatan ROS, perubahan tingkat enzim seperti
Superoxide dismutase, Catalase, dan Glucose-6-Phosphate dehydrogenase. Mengubah
tingkat Bcl-2/Bax, cytochrome-c translocation, aktivasi caspase, dan fragmentasi
DNA yang dapat menyebabkan apoptosis. Peningkatan ROS dapat menyebabkan
kerusakan sel hati (Fausto, 2006).

Gambar 8. Mekanisme pembentukan ROS yang dapat menyebabkan kerusakan


sel hati (Fausto, 2006)

Chen, Jiezhong., dan Raymond, Kenneth., 2006, Roles of Rifampicin in Drug-Drug


Interactions: Underlying Molecular Mechanisms Involving The Nuclear Pregnane X
Receptor, Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobial, 5:3 p1-11.
Fausto, N.M.D, 2006, Cell Injury Death, Washington.
Li, Tiangang., dan Chiang, John Y. L., 2006, Rifampicin Induction Of CYP3A4
Requires Pregnane X Receptor Cross Talk With Hepatocyte Nuclear Factor 4 and

Coactivators, and Suppression Of Small Heterodimer Partner Gene Expression, Drug


Metabolism and Disposition, 34:756-764.
Ma, Xiaochao., Idle, Jeffrey R., dan Gonzalez, Frank J., 2008, The Pregnane X
Receptor: From Bench to Bedside, PMC, 4(7): 895-908.
Russmann, Stefan., Kullak-Ublick, Gerd A., dan Grattagliano, Ignazio ., 2009, Current
Concepts of Mechanisms in Drug-Induced Hepatotoxicity, Current Medicinal
Chemistry, 16:3041-3053.
Sakuma, T., Kawasaki, Y., Jarukamjorn, K., and Nemotoa, N., 2009, Sex Differences
of Drug-metabolizing Enzyme: FemalePredominant Expression of Human and Mouse
CytochromeP450 3A Isoforms, .Journal of Health Science, 55(3) 32533 7 (2009).
Smrati B., Rajeev M., Ranjana K., Chakrapani T., Anurag S., Ashutosh T., Sharad S.,
2010Isoniazid-induced apoptosis in HepG2 cells: Generation of oxidative stress and
Bcl-2 down-regulation, Toxicology Mechanisms and Methods, Vol. 20, No. 5 , P 242251.
Ting, J. F., HAN, Li-Hui., CONG, Ri-Shan., LIANG, Jin., 2005, Caspase Family
Proteases and Apoptosis, Acta Biochimica et Biophysica Sinic, 37(11): 719727.
Tostmann, Alma., Boeree, Martin J., Aarnoutse, Rob E., Lange, Wiel C M de., Ven,
Andre J A M van der., dan Dekhuijzen, Richard., 2007, Antituberculosis drug-induced
hepatotoxicity: Concise up-to-date review, Journal of Gastroenterology and
Hepatology, 23:192-202.
Share this:

Rumusan masalah
Seorang wanita 30 tahun, dengan ras kaukasian menderita neuropati perifer karena obat isoniazid
Mind map
RM

genetic metabolism terhadap isoniazid (fast metabolism dan slow metabolism)


farmakokinetik isoniazid
penatalaksanaan neuropati perifer (vitamin b6 dan piridoksin)

Isoniazid
Isoniazid merupakan obat aktif dalam penanganan tuberculosis. Obat ini mempunyai molekul
kecil (BM 137) yang larut bebas dalam air. Kerja isoniazid menghambat sebagian besar tuberkel
pada konsentrasi 0,2 mcg/mL dan bersifat bakterisidal untuk basil tuberkel yang tumbuh aktif.
Isoniazid dapat menembus kedalam makrofag dan aktif bekerja terhadap organisme ekstra
maupun intrasel.
Mekanisme kerja
Obat isoniazid menghambat pembentukan asam mikolat (FUNGSI merupakan komponen
esensial dari dinding sel mikrobakteri). Obat ini merupakan suatu Prodrug yang diaktifkan oleh
KatG (Katalase peroksidase mikrobakteri), setelah itu membentuk kompleks dengan suatu
protein pembawa AcpM (acyl carrier protein) dan KasA yang merupakan suatu beta asil protein
penghambat pembentukan asam mikolat dinding bakteri dan mematikan sel.
Resistensi terhadap isoniazid terjadi karena adanya mutase sehingga meningkatkan ekspresi lebih
inhA yang bertugas menyandi asil protein pembawa reductase dependen NADH, terjadi mutase /
delesi gen KatG, mutase yang menyebabkan lebihnya gen ahpC yang merupakan gen virulensi
sebagai proteksi sel dari stress oksidatif dan mutase gen KasA.

Farmakokinetik dan farmakodinamik isoniazid


Isoniazid mudah diserap saluran cerna, dengan dosis oral 300 mg ( 5 mg/kg/hr pada anak) dapat
mencapai konsentrasi plasma puncak 3 5 mcg/mL dalam 1 2 jam. Isoniazid ini bersifat larut
air, sehingga dapat berdifusi kedalam semua cairan tubuh
Metabolism isoniazid, khususnya terjadi asetilasi oleh N-asetiltransferase hati. Konsentrasi
plasma rata rata pada asitelator cepat adalah sepertiga hingga setengah dibandingkan asetilator
lamba dan waktu paruh masing masing kurang dari 1 jam dan 3 jam.
Klirens isoniazid lebih cepat pada asetilator cepat dan biasanya tidak menimbulkan konsekuensi
terapi yang bermakna jika dosis telah sesuai. Metabolit isoniazid diekskresikan tanpa mengalami
perubahan terutama di urin dan tidak perlu penyesuaian dosis pada gagal ginjal.

Klinis
Dosis lazim pada anak anak isoniazid adalah 5 mg/kg/hari atau 300 mg pada dewasa. Untuk
dosis dapat ditingkatkan hingga 10 mg/kg/hari. Piridoksin 25 30 mg/ hari dianjurkan bagi
mereka yang dalam kondisi mudah terjadinya neuropati. Isoniazid sering digunakan dalam
bentuk oral, tetapi ada juga dalam bentuk parenteral dengan dosis pemberian yang sama.
Pemberian piridoksin 25 50 mg/ hari dianjurkan bagi individu yang kondisia mempermudah
terjadinya neuropati perifer.

Reaksi samping isoniazid


1. reaksi imunologis : terjadi demam dan ruam kulit kadang terjadi
2. reaksi toksisitas :
a. Hepatitis merupakan imbas toksik isoniazid tersering dan biasanya asimptomatik.
Hepatitis klinis disertai hilangnya nafsu makan, mual, muntah, icterus dan nyeri
kuadran kanan atas terjadi pada sebagian kecil pasien dan dapat bersifat
mematikan. Dari bukti histologis didapatkan terjadinya nekrosis dan kerusakan
hepatoseluler. Resiko terjadinya hepatitis lebih besar pada orang dengan
ketergantungan alcohol. Terjadinya hepatitis menjadikan kontraindikasi
pemakaian obat ini.
b. Neuropati perifer terjadi pada 10 20 % pasien yang diberi dosis lebih dari dosis
normal / baku. Besar kemungkinan terjadi pada orang dengan asetilator lambat
dam dengan predisposisi seperti malnutrisi, alkoholisme diabetes, AIDS, dan
uremia. Neuropati ini terjadi karena defisiensi dari piridoksin / vit B6 yang
relative. Karena efek dari piridoksin salah satunya adalah meningkatkan ekskresi
piridoksin. Pemberian suplemen piridoksin 10 mg/hari dapat mengurangi
terjadinya efek toksik ini dan toksisitas susunan saraf pusat seperti kurangnya
daya ingat, psikosis, dan kejang.
(*Farmakologi buku 2)
Metabolism obat
Obat dengan sifat lipofilik ini yang mendorong nya melintasi membrane biologis dan kemudain
masuk ke tempat tujuan lalu di ekskresikan dari dalam tubuh. Ekskresi obat utuh melalui ginjal
hanya sedikit karena umumnya senyawa lipofilik yang difiltrasi melalui glomerulus akan
direabsorbsi kembali dalam jumlah yang besar kedalam sirkulasi darah saat melewati tubulus
ginjal.
Metabolism obat fase I dan fase II
Reaksi biotransformasi dibagi menjadi dua bagian yaitu reaksi fungsionalisasi / fase I dan reaksi
biosintesis / fase II. Reaksi fase I merupakan pemasukan gugus fungsi pada molekul obat induk.
Pada reaksi ini dapat terjadi hilangnya aktifitas farmakologis obat, atau terjadinya peningkatan

aktifitas obat dari inaktif. Prodrug merupakan senyawa yang tidak aktif secara farmakologis, dan
dirancang untuk memaksimalkan kadar aktif dalam tempat kerjanya. Prodrug ini akan melalui
fase I melalui hidrolisis ester atau amida menjadi metabolit aktif.
Reaksi fase II merupakan reaksi konjugasi dengan senyawa endogen seperti asam glukoronat,
sulfat, glutation, asam - asam amino, asetil atau asetat menjadi bentuk yang sangat polar.

Enzim sitokrom P450 (Cytochrome P450 / CYP)


Enzim ini terlibat dalam metabolismesejumlah senyawa endogen dan eksogen yang beragam
seperti obat, zat kimia lingkungan, xenobiotic. Enzim ini berfungsi sebagai oksidase terminal di
rantai transfer electron yang memberi satu atom oksigen kedalam substrat sementara atom
oksigen lain menjadi air. P450 sebagai katalisator. Setiap individu memiliki isoform CYP yang
khas dan berbeda dengan yang lain. Jenis CYP ada sangat banyak tergantung fungsinya.
CYP3A4, CYP3A5 merupakan isoform yang 50% terlibat dalam metabolism obat, CYP3A
terdapat di epitel usus dan ginjal. Isoform lain seperti CYP2C yang subfamilinya CYP2D6 juga
terlibat metabolism obat.

Faktor faktor yang mempengaruhi metabolism obat


Sifat khas metabolism obat merupakan variasi antar individual yang besar dan memberikan
perbedaan yang menonjol. Perbedaan ini memberikan penjelasan mengapa pasien memberikan
respon yang berbeda terhadap dosis obat terapi yang sama dengan pasien lain.
a. Lingkungan
b. Kondisi penyakit
c. Variasi genetika
Keberagaman genetic terjadi untuk semua protein tanpa kecuali termasuk enzim
enzimnya yang mengkatalisis reaksi obat metabolism. Perbedaan melibatkan berbagai
macam mekanisme molecular seperti, berkurangnya kemampuan katalitik, kecepatan
aktifitas dll. Sifat ini diturunkan dengan cara resesif mendel autosomal (tunggal)
menurut penelitian. Kemampuan metabolism obat yang berbeda beda ini dinamakan
polimorfisme genetic.
Polimorfisme genetic terjadi pada beberapa sitokrom P450 yang menyebabkan
perubahan kemampuan metabolism obat. Yang paling jelas adalah CYP2D6 yang
mmengakibatkan enzim tidak aktif, penurunan aktifitas katalitik. Akibatnya terdapat 4
fenotip subpopulasi pemetabolisme: lemah (PM), sedang (IM), ekstensi (EM), dan
ultracepat (UM) dan frekuensinya bervariasi menurut latar belakang ras. 5 10 %
keturunan kaukasia dan eropa adalah fenotip PM

Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi dasar & klinik vol 1. Ed 12. Jakarta: The
McGraw Hill Companies, Inc dan EGC Penerbit Buku Kedokteran; 2014; h. 57 71.
Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi dasar & klinik vol 2. Ed 12. Jakarta: The
McGraw Hill Companies, Inc dan EGC Penerbit Buku Kedokteran; 2014; h. 950 1.

Anda mungkin juga menyukai