Anda di halaman 1dari 9

Tinjauan Fleksibilitas Ruang

II.2.4.1 Pengertian Fleksibilitas


Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), Fleksibel adalah lentur atau
luwes, mudah dan cepat menyesuaikan diri. Sedangkan Fleksibilitas adalah kelenturan atau
keluwesan, penyesuaian diri secara mudah dan cepat. Fleksibilitas penggunaan ruang adalah
suatu sifat kemungkinan dapat digunakannya sebuah ruang untuk bermacam-macam sifat dan
kegiatan, dan dapat dilakukannya pengubahan susunan ruang sesuai dengan kebutuhan tanpa
mengubah tatanan bangunan. Kriteria pertimbangan fleksibilitas adalah:
Segi teknik, yaitu kecepatan perubahan, kepraktisan, resiko rusak kecil, tidak banyak aturan,
memenuhi persyaratan ruang.
Segi ekonomis, yaitu murah dari segi biaya pembuatan dan pemeliharaan.
Ada tiga konsep fleksibilitas, yaitu ekspansibilitas, konvertibilitas, dan versabilitas.
Ekspansibilitas adalah konsep fleksibilitas yang penerapannya pada ruang atau bangunan
yaitu bahwa ruang dan bangunan yang dimaksud dapat menampung pertumbuhan melalui
perluasan. Untuk konsep konvertibilitas, ruang atau bangunan dapat memungkinkan adanya
perubahan tata atur pada satu ruang. Untuk konsep versatibilitas, ruang atau bangunan dapat
bersifat multi fungsi. Fleksbilitas arsitektur dengan menggunakan berbagai macam solusi
dalam mengatasi perubahan-perubahan aspek terbangun di sekitar tapak membuatnya dapat
dianalisa pada kajian temporer yaitu dimana fleksibilitas arsitektur ini dapat berubah sesuai
dengan yang pengguna butuhkan. Sifat temporer ini dapat dianalisa pada tiga aspek temporal
dimension yang diungkapkan oleh Carmona, et al (2003) :
1. Time Cycle and Time management
Activity are fluid in space and time,environments are used differently at different
times. Dari pernyataan ini dapat disarikan bagaimana aktivitas selalu berubah sesuai dengan
ruang maupun sesuai dengan waktu seperti sebuah zat cair yang nantinya akan memerlukan
sebuah wadah untuk memberikan kekuatan aktivitas tersebut. Disinilah arsitek sebagai
pencipta ruang harus selalu kritis melihat celah-celah terbentuknya ruang yang berubah
sesuai dengan perubahan waktu yang juga memberikan reaksi pada penggunaan lingkungan
sekitarnya.
2. Continuity and Stability
Although environments relentlessy change over time,a high value is often placed on
some degree of continuity and stability. Walaupun lingkungan selalu berubah dari waktu ke
waktu sebuah keberadaan desain seharusnya mampu beradaptasi dengan perubahanperubahan lingkungan tersebut, sehingga keberlanjutan desain yang diharapkan dari sebuah

karya arsitektur memiliki fungsi optimal yang stabil dalam bereaksi dengan lingkungan
terbangun.
3. Implemented Over Time
Sebagai seorang Arsitek, perencana ruang, hal ini merupakan hal penting yang harus
diperhatikan. Bagaimana desain nantinya bukan bekerja di jamannya saja tetapi juga justru
bisa melampaui jamnnya. Sehingga pemikiran-pemikiran yang inovatif harus terus dihadirkan
untuk menghadirkan strategi yang dapat mengatasi segala perubahan akan lingkungan.
II.2.4.2 Sifat Fleksibilitas Ruang
Setiap bangunan berpotensi untuk mengakomodasi beberapa perubahan. Namun, tidak
semua bangunan memiliki unsur fleksibel dan tidak semua bangunan dapat pula
memungkinkan terjadinya perubahan guna. Sebagian besar bangunan memiliki ukuran dan
peletakan elemen-elemen seperti jendela dan pintu yang permanen. (Kronenburg, 2007:13).
Ukuran dan letak elemen-elemen bangunan
yang sifatnya permanen ini kemudian menghambat kefleksibelan suatu bangunan. Ruangruang yang luasannya besar cenderung untuk lebih fleksibel dibandingkan dengan ruang yang
luasannya kecil, lose spaces are places of possibility (Franck,2008).
Menurut Kronenburg, bangunan yang fleksibel adalah bangunan yang dapat
mengakomodir kegiatan-kegiatan penghuni dan sangat memungkinkan terjadi perubahan
dalam bangunan (Kronenburg, 2007,7). Berkembangnya kreativitas manusia dalam rangka
memenuhi kebutuhannya agar lebih baik adalah salah satu faktor yang kemudian
mempopulerkan arsitektur fleksibel. Where functional problems have necessisated a
responsive, built environtment.flexible architecture has formed at least a part of the solution
(Kronenburg, 2007,11).
Salah satu kriteria bangunan fleksibel adalah memiliki kapasitas untuk berubah, baik
struktur ruang ataupun kegunaan yang general dibandingkan denganruang-ruang dengan
kegunaan yang spesifik, flexible layouts are those in which the structure is easy to change to
accomodate different needs (Lang, 1987:119). Fleksibilitas dalam arsitektur telah menjadi
perdebatan sejak munculnya revolusi industri. Perdebatan tersebut berakhir pada dua definisi
tentang fleksibilitas.
Fleksibilitas adalah kondisi saat arsitek mendesain bangunan dengan komplit, sehingga
unsur fleksibilitas sudah termasuk di dalamnya.
Fleksibilitas adalah kondisi saat membiarkan bangunan sebagai karya yang belum selesai
(incomplete) untuk kemudian berkembang dimasa depan sesuai kebutuhan penghuni.

Mengenai perdebatan fleksibilitas dalam arsitektur ini, Hertzberger menanggapi


bahwa bangunan yang dapat merespon kemungkinan yang terjadi di masa depan adalah
bangunan yang tanpa dirubah pun tetap dapat digunakan untuk setiap kegiatan. Flexibility
signifies-since there no single solution this is preferable to all others, the absolute denial of a
fixed, clearcut standpoint. The flexible plan starts out from the certainty that the correct
solution does not exist, because the problem requiring solution is in a permanent state of
flux (Hertzberger, 2002). Dari pendapat-pendapat tersebut yang perlu ditekankan adalah
bahwa arsitektur fleksibel adalah suatu usaha yang dilakukan untuk merespon
permasalahanpermasalahan desain yang dengan tujuan utamanya adalah dapat mengakomodir
kebutuhan penghuni/pengguna bangunan.
Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan bermacam-macam cara, Kroenburg(2007).
Merumuskan 4 karakter utama arsitektur fleksibel, yaitu adaptation, transformation,
movability dan interaction.Empat karakter ini adalah kriteria umum yang harus dimiliki oleh
arsitektur fleksibel.
1. Adaptation
Yang berarti bangunan yang dapat merespon perubahan-perubahan yang terjadi,
sehingga perubahan yang terjadi di masa depan dapat diakomodir oleh bangunan tersebut.
Adaptable buildings are intended to respond readily to different functions, patterns of use
and specific users requirements of the building (Kronenburg, 2007:115). Desain yang
adaptable merupakan suatu strategi untuk merespon kondisi dimana suatu bangunan tidak
selalu menjadi bangunan yang akan dihuni seseorang atau sebuah kelompok (keluarga) saja,
melainkan untuk sekumpulan orang lain yang akan menghuni bangunan itu dimasa depan.
Dengan pendekatan adaptable architecture, bangunan berpotensi untuk berubah secara
berkelanjutan. Adaptable architecture juga memungkinkan terjadinya perubahan sistem untuk
teknologi terbaru pada sistem yang telah terpasang sebelumnya. Seiring perkembangan
teknologi, sistem servis, komunikasi dan sekuriti pasti akan mengalami perubahan. Dalam
adaptable architecture, fleksibilitas untuk mengganti dan mengupgrade sistem-sistem tersebut
dapat dimungkinkan.
2. Transformation
Berhubungan dengan perubahan bentuk, volume dan tampak bangunan, In general,
furniture and furnishing are the most usual user-customizable components in building design
and they can, without doubt, dramatically alter the appearance and amcience of a space
(Kronenburg. 2007:145). Sebuah bangunan yang transformable adalah arsitektur yang erat

hubungnanya dengan kinetic atau gerakan-gerakan membuka, menutup, meluas, dan


menyempit.
3. Movability
Dalam hal ini terkait dengan tingkat fleksibilitas peletakan bangunan. Unsurunsur
bangunannya dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Movable architecture
can be defined as buildings specifically designed to move from place to place so that they can
fulfil their function better (Kronenburg, 2007:175). Metode yang diterapkan adalah dengan
membuat bangunan menjadi portable, yaitu, dapat dibongkar bagian per bagian namun
dapat dirakit kembali hingga menjadi utuh seperti semula. Strategi yang digunakan untuk
memindahkan bangunan moveable architecture adalah dengan menggunakan bantuan alat
transportasi.
4. Interaction
Berkaitan dengan aksi dan reaksi manusia dalam upayanya mewujudkan bangunan
pintar (intelligent building). Interactive architecture enables people to engage with
architecture, not as passive creatures existing in static set of conditions, but as proactive
individuals affecting the space they inhabit (Kronenburg, 2007:209). Interactive architecture
adalah arsitektur yang mengandalkan teknologi dalam penerapannya. Tujuannya adalah
membuat bangunan yang pintar sehingga bangunan tersebut secara otomatis dapat
mengakomodir kebutuhan penghuni. Teknologi yang memungkinkan hal itu terjadi adalah
sebuah alat sensor yang menerima sinyal dari penghuni dengan perantara telepon genggam,
PDA, komputer atau alat lainnya. (Kronenburg, 2007,114-230).

Kesimpulan
Secara keseluruhan pada kajian ini mengutarakan bahwa

bangunan beradaptasi dengan penghuni dan juga pada sekitarnya.


Bangunan

mengalami

perubahan

dari

masa

ke

masa,

dimana

perubahan ini akan mengacu pada terwujudnya bangunan dengan


guna yang berkelanjutan. Secara umum yang dibutuhkan bangunan
dengan guna yang berkelanjutan adalah tingkat fleksibilitaS yang
memungkinkan bangunan tersebut digunakan dalam kurun waktu
yang

panjang

dengan

kemampuan

mengakomodir

terjadinya

perubahan-perubahan pada bangunan dan fleksibilitas tersebut


memiliki

tiga

acuan

yang

diantaranya

adalah

ekspansibilitas

(perluasan),

konvertibilitas

(perubahan)

dan

versatibilitas

(multifungsi).

1. External Shading, merupakan sebuah tritisan bangunan pada bagian luar


bangunan, atau dapat dikatakan sebagai penghalang matahari langsung
untuk masuk kedalam bangunan.
Gambar 1 External Shading Diagram
Sumber: http://www.tboake.com/carbon-aia/images/solar/63%20copy_resize.jpg. 2016

2. Thermal Mass, merupakan pendekatan dengan material bangunan dimana


material bangunan tersebut dapat menyerap dan menyimpan hawa panas
dari matahari, namun untuk permasalahan khususnya pada kawasan yang
bersifat tropis sebaiknya tidak menggunakan material yang menyimpan
panas melainkan material yang memiliki nilai thermal mass yang rendah
bahkan tidak ada kalau bias.

Gambar 2 Thermal Mass Diagram


Sumber: http://www.deepgreenarchitecture.com/images/passivesolar/passive-solardiagrams-SN-big.jpg. 2016

3. Low Window to Wall Area Ratio (S/W), merupakan rasio besaran jendela
atau bukaan yang digunakan pada rancangan bangunan khususnya pada
bagian dinding, hal ini sangatlah berpengaruh terhadap pencahayaan,
penghawaan, dan pemandangan.

Gambar 3 Low Window to Wall Area Ratio Diagram


Sumber:http://www.yourhome.gov.au/sites/prod.yourhome.gov.au/files/images/PD-PSHTypicalSourcesAirLeakage_fmt.png. 2016

Rumus perhitungan Window to Wall Area Ratio, menurut Standar National


Indonesia, bagian Illuminating Engineering Society (IES):
WWR = Luas Dinding Pada Fasad
Luas Bukaan Pada Fasad
4. Passive Ventilation, atau dapat dikenal sebagai natural ventilation yang
dimana memanfaatkan tekanan angin sebagai sistem untuk menukar udara
dalam bangunan, seperti halnya perputaran udara.

Gambar 4 Passive Ventilation Diagram


Sumber: letu-cefs.wikispaces.com. 2016

5. Nocturnal Cooling, atau dapat dikenal dengan night flush cooling yang
berfungsi sebagai ventilasi untuk mendingkan bangunan pada malam hari
agar siang harinya bangunan siap menerima panas dari luar bangunan
dengan kondisi temperatur yang rendah.

Gambar 5 Nocturnal Cooling Diagram


Sumber: http://solarwall.com/media/images-main/2products/nightsolar/NightSolarDiagram-daynightsplit.gif. 2016

6. Cross Ventilation, merupakan sistem penghawaan bangunan yang


memberikan bukaan pada kedua sisi yang bersebrangan. Hal ini agar dapat
menerima udara yang datang lalu mendorong udara dalam bangunan
menuju keluar bangunan.

Gambar 6 Cross Ventilation Diagram


Sumber: Passive Design Toolkit. 2016

7. Stacked Window, merupakan sistem penerapan bukaan pada dinding yang


sama (atas dan bawah) hal ini dapat membantu untuk memasukan udara
dingin melalui jendela bawah lalu membuang udara panas dari jendela
atas.

Gambar 7 Stacked Window Diagram


Sumber: Passive Design Toolkit. 2016

8. Passive Evaporative Cooling, merupakan sistem pelepasan panas yang


memanfaatkan penguapan sebagai media pendinginan, seperti halnya
menggunakan kolam dalam bangunan.

Gambar 8 Passive Evaporative Cooling Diagram


Sumber: www.sustainablecitiescollective.com. 2016

9. Orientation, atau dapat dikenal dengan arah hadap bangunan, dimana


dengan arah hadap bangunan tersebut dapat meminimalisir atau
memaksimalkan pemanfaatan dari masuknya matahari dan angin.

Gambar 9 Orientation Diagram


Sumber: Passive Design Toolkit. 2016

10. Double Facades and Buffer Space, berfungsi sebagai secondary skin atau
lapisan kedua pada bangunan. Dengan menggunakan sistem ini maka
dapat memanfaatkan ruang antara kedua kulit bangunan sebagai penyaring
suhu panas yang masuk pada bangunan.

Gambar 10 Double Faade and Buffer Space Diagram


Sumber: Passive Design Toolkit. 2016

11. Central Atria and Lobbies, menggunakan atrium atau lobby yang besar
pada rancangnya agar dapat memusatkan penghawaan pada titik tersebut
seperti mengarahkan udara dingin yang masuk lalu membuangnya yang
keluar melalui atrium, lobby atau void tersebut.

Gambar 11 Central Atri and Lobies Diagram


Sumber: Passive Design Toolkit. 2016

12. Opening to Corridors and Between Seperated Room, memberikan bukaan


pada bagian koridor atau memberikan space antar ruangan agar tidak
mengunci hawa panas pada bangunan dan lebih mudah mengatur sirkulasi
bangunan.

Anda mungkin juga menyukai