Patofisiologi Ketoasidosis Diabetik
Patofisiologi Ketoasidosis Diabetik
Disusun oleh :
Rusman Shiddiq
G1A211004
defisiensi kerja insulin. Setelah kadar tertentu glukosa plasma dicapai (pada manusia
umumnya > 180 mg/dl), taraf maksimal reabsorbsi glukosa pada tubulus renalis akan
dilampaui, dan gula akan diekskresikan ke dalam urin (glikouria). Volume urin meningkat
akibat terjadinya diuersis osmotik dan kehilangan air yang bersifat obligatorik pada saat yang
bersamaan
(poliuria),
kejadian
ini
selanjutnya
akan
menimbulkan
dehidrasi
yaitu suatu enzim yang ditemukan dalam hati tetapi tidak terdapat pada otot. Karena glukosa
6 fosfat tidak dapat keluar dari membran plasma, kerja insulin ini mengakibatkan retensi
glukosa dalam sel hati.
Dalam otot skeletal, insulin meningkatkan aliran masuk glukosa lewat pengangkut
dan juga menaikkan kadar enzim heksokinase II yang melakukan fosforilasi pada glukosa
serta memulai metabolisme glukosa. Insulin merangsang lipogenesis dalam jaringan adiposa
dengan 1) menyediakan asetil KoA dan NADPH yang diperlukan bagi sintesis asam lemak,
2) mempertahankan kadar normal enzim asetil Ko-A karboksilase, yang mengkatalisasi
konversi asetil-KoA menjadi malonil-KOA, dan 3) menyediakan gliserol yang terlibat dalam
sintesis triasilgliserol. Pada keadaan defisiensi insulin, semua ini akan menurun, dengan
demikian, lipogenesis juga akan menurun. Sebab lain yang menimbulkan penurunan
lipogensis pada defisiensi insulin adalah pelepasan asam lemak dalam jumlah besar akibat
pengaruh beberapa hormon yang tidak dilawan oleh insulin, pelepasan asam lemak ini akan
menimbulkan hambatan umpan balik terhadap proses sintesisnya sendiri lewat penghambatan
enzim asetil KoA karboksilase.
Dengan demikian efek netto insulin terhadap lemak bersifat anabolik. Kerja akhir
insulin terhadap penggunaan glukosa melibatkan proses anabolik lainnya. Dalam hati dan
otot, insulin meransang konversi glukosa menjadi glukosa 6-fosfat (masing-masing dengan
kerja enzim gluokinase dan heksokinase II), yang kemudian mengalami isomerisasi menjadi
glukosa I-fosafat dan disatukan kedalam glikogen oleh enzim glikogen sintase yang
aktifitasnya dirangsang oleh insulin. Kerja ini bersifat ganda dan tidak langsung. Insulin
menurunkan kadar cAMP dengan mengaktifkan fosfodiesterase. Karena fosforilasi yang
tergantung pada cAMP meniadakan keaktifan enzim glikogensintase, kadar nukleotida yang
rendah ini memungkinkan enzim tersebut untuk tetap berada dalam bentuk aktif. Insulin juga
mengaktifkan enzim fosfatase yang melaksanakan reaksi defoforilasi glikogensintetase
sehingga mengakibatkan aktivasi enzim ini. Akhirnya, insulin menghambat fosforilase
dengan suatu mekanisme yang melibatkan cAMP dan fosfatase, dan hal ini mengurangi
pembebasan glukosa dari glikogen. Efek netto insulin terhadap metabolisme glikogen, juga
bersifat anabolik.
Efek insulin terhadap glukoneogenesis
Kerja insulin terhadap pengangkutan glukosa, glikolisis dan glikogenesis terjadi
dalam waktu beberapa detik atau beberapa menit, karena semua peristiwa ini terutama
melibatkan akitavsi atau inaktivasi enzim lewat reaksi fosforilasi atau defosforilasi. Efek
yang berlangsung lebih lama terhadap glukosa plasma meliputi inhibisi glukoneogenesis oleh
3. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian
insulin
4. Mengatasi faktor pencetus KAD
5. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta
penyesuaian pengobatan
Pengobatan KAD tidak terlalu rumit. Ada 6 hal yang harus diberikan; % diantaranya ialah:
cairan, garam, insulin, kalium, dan glukosa. Sedangkan terakhir tetapi sangat menentukan
adalah asuhan keperawatan.
Cairan
Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan garam fisiologis. Berdasarkan perkiraan
hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 ml/kgBB, maka pada jam pertama diberikan 1-2
liter, dan jam kedua diberikan 1 liter.
Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang
memadai. Pemberian insulin akan menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga dapat
menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak,
pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan.
Pemberian insulin intravena paling umum digunakan. Insulin intramuskular adalah alternatif
bila pompa infus tidak tersedia atau bila akses vena mengalami kesulitan.
Efek kerja insulin terjadi dalam beberapa menit setelah insulin diberikan dengan
reseptor. Kemudian reseptor yang telah berikatan akan mengalami internalisasi dan insulin
akan mengalami destruksi. Dalam keadaan jormon kontraregulator masih tinggi dalam darah,
dan untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis, pemberian insulin tidak boleh
dihentikan tiba-tiba dan perlu dilanjutkan beberapa jam setelah koreksi hiperglikemia
tercapai. Bersamaan dengan pemberian larutan mengandung glukosa untuk mencegah
hipoglikemia. Kesalahan yang sering terjadi ialah penghentian drip insulin lebih awal
sebelum klirens benda keton darah cukup adekuat tanpa konversi ke insulin kerja panjang.
Tujuan pemberian insulin bukan hanya untuk mencapai kadar glukosa normal, tetapi untuk
mengatasi keadaan ketonemia.
Gunakan human insulin yang dapt larut, misalnya Actrapid. Tidak dibutuhkan
pemberian bolus awal. Berikan insulin 0,1 unit/kg/jam, sesuaikan lagi pemberian infus insulin
sampai dapat menurunkan glukosa darah 4-5 mmol/jam. Cara yang cocok adalah memberikan
larutan salin normal 49,5 ml dan 50 unit insulin menggunakan syringe pump dan konektor Y.
Jangan tambahkan insulin ke dalam kantong cairan. Bila petugas di bangsal tidak bisa
menggunakan pompa infus, insulin dapat diberikan i.m 0,05 unit/kg/jam. Bila kadar glukosa
darah turun sampai 15 mol/L beri insulin subkutan 4 jam pertama, kemudian 6 jam,
selanjutnya tiga kali per hari sebelum makan bila diet ringan dapat ditoleransi.
Kalium
Pada awal KAD biasanya kadar ion K serum meningkat. Hiperkalemia yang fatal sangat
jarang dan bila terjadi harus segera diatasi dengan pemberian bikarbonat. Bila pada
elektrokardiogram ditemukan gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat
segera mengatasi keadaan hiperkalemia tersebut. Perlu menjadi perhatian adalah terjadinya
hipokalemia yang dapat fatal selama pengobatan KAD. Ion kalium terutama terdapat
intraselular. Pada keadaan KAD, ion K bergerak ke luar sel dan selanjutnya dikeluarkan
melalui urin. Total defisit K yang terjadi selama KAD diperkirakan mencapai 3-5
mEq/KgBB. Hasil kalium serum dan keluaran urin yang adekuat harus diperhatikan sebelum
memberikan terpai.
Glukosa
Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah akan turun. Selanjutnya
dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60 mg%/jam.
Bila kadar glukosa darah mencapai <200 mg% maka dapat dimulai infus mengandung
glukosa. Perlu ditekankan disini bahwa tujuan terapi KAD bukan untuk menormalkan kadar
glukosa tetapi untuk menekan ketogenesis.
Pengobatan umum
Disamping hal tersebut di atas pengobatan umumtak kalah penting. Pengobatan umum KAD
terdiri atas: 1) antibiotik yang adekuat, 2) oksigen 10 L/menit, 3) heparin bila ada DIC atau
bila hiperosmolar (>380 mOsm/l).
Pemantauan
Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam pengobatan KAD mengingat
penyesuaian terapi perlu dilakukan selama berlangsung. Untuk itu perlu dilaksanakan
pemeriksaan: 1) kadar glukosa darah tiap jam dengan alat glukometer, 2) elektrolit tiap 6 jam
selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaan, 3) analisis gas darah bila pH<7 waktu masuk
periksa setiap 6 jam sampai pH >7,1, selanjutnya setiap hari sampai stabil, 4) tekanan darah,
nadi, frekuensi pernapasan dan temperatur setiap jam, 5) keadaan hidrasi, balans cairan, 6)
waspada terhadap kemungkinan DIC.
intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi
glomerular, menyebabkan kadar glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak
dibandingkan natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup
untuk menurunkan kadar glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin.
Tidak seperti pasien dengan KAD, pasien HHNK tidak mengalami ketoasidosis,
namun tidak diketahui dengan jelas alasannya. Faktor yang diduga ikut berpengaruh adalah
keterbatasan ketogenesis karena keadaan hiperosmolar, kadar asam lemak bebas yang rendah
untuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk menghambat ketogenesis namun
tidak cukup untuk mencegah hiperglikemi, dan resistensi hati terhadap glukagon.
Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya hiperglikemi.
Penurunan pemakaian glukosa oleh jaringan perifer termasuk oleh sel otot dan sel lemak,
ketidakmampuan menyimpan glukosa sebagai glikogen pada otot dan hati, dan menstimulasi
glukagon pada sel hati untuk glukoneogenesis mengakibatkan semakin naiknya kadar glukosa
darah. Pada keadaan dimana insulin tidak mencukupi, maka besarnya kenaikan kadar glukosa
darah juga tergantung dari status hidrasi dan masukan karbohidrat oral.
Hiperglikemi mengakibakan timbulnya diuresis osmotik, dan mengakibatkan
menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vaskular, dimana glukoneogenesis dan masukan
makanan terus menambah glukosa, kehilangan cairan akan semakin mengakibatkan
hiperglikemia dan hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemi dan peningkatan konsentrasi
protein plasma yang mengikuti hilangnya cairan intravaskular menyebabkan keadaan
hiperosmolar. Keadaan hiperosmolar ini memicu sekresi hormon anti diuretik. Keadaan
hiperosmolar ini juga akan memicu timbulnya rasa haus.
Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan tidak
dikompensasi dengan masukan cairan oral makan akan timbul dehidrasi dan kemudian
hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan
gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir dari proses
hiperglikemik ini, dimana telah timbul ganguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan
hipotensi.
difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1 L normal saline per jam. Jika pasiennya
mengalami syok hipovolemi, mungkin dibutuhkan plasma ekspander.
Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui dengan pasti, karena kadar
kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Kadar kalium yang sebenarnya akan terlihat
ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel.
Kadar elektrolit harus dipantau terus menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor.
Jika kadar kalium awal <3,3 mEq/L, pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3
kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai kadar kalium setidaknya 3,3 mEq/L).
Jika kadar kalium lebih besar dari 5 mEq/L, sebaiknya kadar kalium harus diturunkan sampai
di bawah 5,0 mEq/L dan sebaiknya kadar kalium perlu dimonitor tiap 2 jam. Jika kadar awal
kalium antara 3,3-5 mEq/L, maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan
intravena yang diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan
kadar kalium antara 4 mEq/L dan 5 mEq/L.
Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pemberian cairan yang
adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan akan
berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskular,
atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena,
dan diikuti dengan drip 0,1 U/kgBB per jam sampai kadar glukosa darah turun antara 250
mg/dL sampai 300 mg/dL. Jika kadar glukosa darah tidak turun 50-70 mg/dl per jam, dosis
yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika kadar glukosa darah sudah mencapai dibawah 300
mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrose secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara
sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar.
DAFTAR PUSTAKA
Chiasson et al. 2003. Diagnosis and treatment of diabetic ketoacidosis and the hyperglycemic
hyperosmolar state. CMAJ, vol 7, hh 859-866.
Price, S dan Wilson, L. 2005. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6.
Jakarta: EGC, 1268
Soewondo, P. 2007. Ketoasidosis diabetik. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi IV.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 1874-1877
Soewondo, P. 2007. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid III edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 18781880
Syahputra. 2003. Ketoasidosis diabetik. Diakses dari: http://repository.usu.ac.id. Diakses
pada tanggal 13 Oktober 2011