Anda di halaman 1dari 21

Referat Kepaniteraan Klinik Farmasi Kedokteran

PENGGUNAAN METILDOPA PADA HIPERTENSI DALAM


KEHAMILAN

Oleh:
Yosefin Rosalina Kristian

12700442

Dwiyunia A.R.T.I. Hilungara

12700448

Eufemia Maria Imakulata Theo Lolita

12700483

Anastasia Dewi Elita Araminta

12700502

Ni Made Karlinda Utari K.

12700505

Pembimbing :
dr. Haryanto Husein, MS, AFK, AKK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
APRIL 2016

Lembar Pengesahan

PENGGUNAAN METILDOPA PADA HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Makalah ini diajukan untuk memenuhi


Persyaratan Kepaniteraan Klinik Farmasi Kedokteran

Disusun oleh :
Yosefin Rosalina Kristian

12700442

Dwiyunia A.R.T.I. Hilungara

12700448

Eufemia Maria Imakulata Theo Lolita

12700482

Anastasia Dewi Elita Araminta

12700502

Ni Made Karlinda Utari Karyadi

12700505

Telah diseminarkan tanggal 26 April 2016


Pembimbing,

Dr. Haryanto Husein, MS, AFK, AKK

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya yang telah memberikan berbagai kemudahan kepada penulis untuk
menyelesaikan Referat Kepaniteraan Klinik Farmasi dengan judul Penggunaan
Metildopa pada Hipertensi dalam Kehamilan. Adapun penulisan Tugas ini
merupakan salah satu syarat untuk lulus dari stase farmasi di Jurusan Pendidikan
Dokter Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Dalam proses penyusunan tugas ini tentunya tidak lepas dari dorongan dan
bantuan berbagai pihak, maka dari itu penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. dr. Soedarto, DTM & H, Ph.D, Sp.ParK., Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya yang telah memberi kesempatan kepada
penulis menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya.
2. Dr. Haryanto Husein, MS, AFK, AKK selaku dosen pembimbing kuliah farmasi
kedokteran yang telah sabar membimbing serta mengarahkan untuk penulisan
tugas ini.
3. Dosen-dosen pengajar kepaniteraan klinik farmasi

kedokteran yang telah

membimbing.
4. Teman-teman angkatan 2012 khususnya kelompok C yang memberikan inspirasi
dan semangatnya selama proses penyusunan Tugas farmasi ini.
5. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang juga
membantu menyelesaikan Referat ini.
Penulis menyadari Referat ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu
penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dalam
rangka penyempurnaan penulisan berikutnya. Semoga Tugas Farmasi ini dapat
dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih.
Surabaya, April 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Judul............ i
3

Lembar Pengesahan ..... ii


Kata Pengantar............ iii
Daftar Isi................. iv
BAB I

PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.

BAB II
A.
1.
2.
3.
B.
C.
D.
E.
1.
2.

4.

Latar Belakang.........
Rumusan Masalah.......................................................................
Tujuan..........
Manfaat........

1
3
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Farmasi-Farmakologi .................... 5
Sifat fisikokimia dan rumus kimia obat.....
5
Farmasi Umum ..................
5
Farmakologi umum....
6
Farmakodinamik........... 7
Farmakokinetik......... 8
Toksisitas........... 8
Penyelidikan dan Penelitian yang Telah Dilakukan ..... 10
Methyldopa Hepatotoxicity: A Paradoxical High-Risk
Pregnancy..... 10
Study of Methyl Dopa Versus Labetalol in management
of Preeclampsia and Gestational Hypertension............ 10
3. Increased Autonomic Dysfunction in Subjects Treated with AlphaMethyldopa.................................................................................
Analytical Method Development for Simultaneous Estimation
of Saxagliptin and Methyldopa..................................................

11
11

BAB III PEMBAHASAN


A. Pembahasan................................................................

12

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ... 14
B. Saran ............ 14
CONCLUSION.............................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ......... 16

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Hipertensi merupakan penyakit umum yang didefinisikan secara
sederhana sebagai peningkatan tekanan darah. Hipertensi adalah adanya
kenaikan tekanan darah melebihi batas normal yaitu tekanan darah 140/90
mmHg. Hipertensi dalam kehamilan, relatif merupakan kejadian umum yang
ditemukan pada 10% dari seluruh kehamilan 1. Di Inggris dan di Amerika
Serikat, hipertensi merupakan komplikasi medis kehamilan yang sangat
bermakna dan menjadi penyebab kedua kematian maternal 2. Di negara-negara
berkembang, komplikasi ini menyumbang lebih dari seperempat dari seluruh
kematian maternal3. Penyakit tersebut dapat menjadi penyebab tingginya
angka kesakitan dan kematian baik pada ibu dan janin/ bayi yang dilahirkan.
Hipertensi yang terjadi pada kehamilan hendaknya diobservasi dengan
cermat, baik di rumah sakit atau di rumah. Ibu hamil yang mengalami
hipertensi dan terus memburuk biasanya dianjurkan untuk beristirahat di
tempat tidur dan membatasi aktivitas.4
Sebagian besar ibu hamil tidak menyadari bahwa mereka mengalami
hipertensi karena ibu hamil terlihat sehat dan tidak menunjukkan gejala yang
spesifik. Oleh karena itu diperlukan monitoring terhadap tekanan darah, yang
dapat diukur menggunakan tensimeter. Pada kehamilan normal tekanan
sistolik sedikit berubah, sedangkan tekanan diastolik menurun kurang lebih
10 mmHg pada awal kehamilan (minggu ke 13-20) dan akan naik kembali
pada trimester ketiga. Hipertensi pada kehamilan digambarkan sebagai
kondisi dengan variasi tekanan darah yang besar.4
Kelainan tekanan darah pada kehamilan dibagi menjadi 4 kategori
menurut National High Blood Pressure Education Program Working Group
on High Blood Pressure in Pregancy, yaitu: hipertensi kronik, preeklamsiaeklamsia, preeklamsia yang ditumpangkan pada hipertensi kronik, serta
1

hipertensi gestasional. Pada tahun 2008, the Society of Obstetricians and


Gynecologist of Canada (SOGC) menyederhanakan kategori hipertensi pada
kehamilan tersebut menjadi 2 kelompok, yakni hipertensi yang telah ada dan
hipertensi gestasional, dengan tambahan preeklamsia yang tergantung hasil
diagnostiknya.5
Diagnosis hipertensi

kronik didasarkan

pada

riwayat

hipertensi

sebelum kehamilan atau kenaikan tekanan darah lebih besar atau sama
dengan 140/90 mmHg sebelum kehamilan minggu ke-20 dengan minimal dua
kali pengukuran menunjukkan hasil yang relatif sama. Hipertensi kronik
sendiri dibagi menjadi dua yaitu hipertensi kronik ringan dengan tekanan
diastolik kurang dari 110 mmHg dan hipertensi kronik parah dengan tekanan
diastolik 110 mmHg atau lebih. Wanita hamil dengan hipertensi kronik ini
dapat meningkatkan resiko terjadinya preeklamsia, pengasaran plasenta,
morbiditas dan mortalitas bayi, penyakit kardiovaskuler dan ginjal. Hipertensi
gestasional sendiri merupakan perkembangan peningkatan tekanan darah
lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg tanpa gejala preeklamsia, setelah
kehamilan minggu ke-20. Umumnya tekanan darah akan kembali normal
tanpa terapi obat.Preeklamsia digambarkan sebagai kejadian hipertensi,
udem, dan proteinuria (protein dalam urin) setelah kehamilan minggu ke-20
dengan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Preeklamsia dapat dibagi
menjadi preeklamsia ringan dan parah. Preeklamsia disebabkan oleh
kegagalan perpindahan trompoblastik ke arteri uterus sehingga terjadi
kerusakan pada plasenta dan kegagalan adaptasi sistem kardiovaskuler
(peningkatan volume plasma dan penurunan resistensi pembuluh sistemik).
Perubahan tersebut menyebabkan pengurangan perfusi pada plasenta, ginjal,
liver, dan otak. Resiko preeklamsia pada ibu hamil adalah kejang, hemoragi
otak, pengasaran plasenta, udem pada paru, gagal ginjal, hemoragi hati dan
kematian. Pada bayi dapat beresiko pertumbuhan yang lambat, hipoksemia,
asidosis, prematur, dan kematian.6
Tatalaksana hipertensi pada kehamilan dilakukan dengan terapi
farmakologi bila terdapat tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg dan
tekanan darah diastoliknya melebihi 100-105 mmHg. Tujuan terapi
2

farmakologi adalah untuk menurunkan tekanan darah sistolik menjadi di


bawah 160 mmHg dan diastolik di bawah 100 mmHg. Akan tetapi bila sudah
ada kerusakan organ akibat hipertensi sebelumnya, maka terapi farmakologi
dimulai bila tekanan darahnya melebihi 139/89 mmHg dengan target
penurunan tekanan darah agar bawah 140/90 mmHg.1
Strategi terapi dapat dilakukan dengan terapi nonfarmakologi maupun
terapi farmakologi. Terapi nonfarmakologis merupakan terapi tanpa obat
yang umum dilakukan pada wanita hamil, terutama pada hipertensi kronik
ringan (tekanan diastolik kurang dari 110 mmHg). Penatalaksanaan yang
dilakukan antara lain pembatasan aktivitas, banyak istirahat, pengawasan
ketat,pembatasan konsumsi garam, mengurangi makan makanan berlemak,
tidak

merokok,

dan

menghindari

minuman

beralkohol. Terapi

farmakologis dapat dilakukan dengan penggunaan obat-obatan antihipertensi


golongan 2-agonis sentral (metildopa), -bloker (labetalol), vasodilator
(hidralazin), dan diuretik (tiazid). Obat antihipertensi golongan AngiotensinConverting Enzym Inhibitor (ACE Inhibitor) dan Angiotensin II Receptor
Blockers (ARBs) mutlak dikontraindikasikan pada ibu hamil dengan
hipertensi. Meskipun ACE Inhibitor dan ARBs memiliki factor resiko
kategori C pada kehamilan trimester satu, dan kategori D pada trimester dua
dan tiga, namun obat tersebut berpotensi menyebabkan tetatogenik. 7
Pedoman yang berbasis bukti (evidence-based) dari American
Association of Clinical Endocrinologists menyarankan penggunaan metildopa
atau nifedipin long acting sebagai obat antihipertensi pada kehamilan yang
dapat menstabilkan aliran darah uteroplasenta dan hemodinamik janin..
Walaupun aman, namun metildopa memiliki khasiat antihipertensi yang
sedang dengan onset kerja yang lama.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana penggunaan Metildopa sebagai obat anti hipertensi bagi inu hamil?
3

1.3 Tujuan Penelitian


Mengetahui penggunaan Metildopa sebagai obat anti hipertensi bagi ibu hamil.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :
(1). Masyarakat
a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang obat anti hipertensi
bagi ibu hamil.
b. Dapat digunakan sebagai informasi pada masyarakat dalam
penggunaan obat anti hipertensi bagi ibu hamil.
(2). Peneliti.
Menambah referensi bidang pengetahuan kesehatan masyarakat.
(3). Instansi Terkait
Dapat sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan, khususnya bagi instansi
kesehatan terkait pemberian obat anti hipertensi bagi ibu hamil.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Farmasi-Farmakologi
1. Sifat Fisiko-Kimia dan Rumus Kimia Obat

Gambar 2.1. Struktur Kimia Metildopa

Metildopa berbentuk serbuk halus berwarna putih atau putih kekuningan.


Metildopa agak sukar larut dalam air, sangat mudah larut dalam asam
klorida 3 N, sukar larut dalam etanol,

praktis tidak larut dalam eter.

Metildopa merupakan obat antihipertensi dengan struktur mirip katekolamin


dan prekursornya.8
a. Farmasi Umum :
Dosis efektif minimal adalah 2x125 mg perhari, dosis yang sering
digunakan 3x250 mg perhari, dosis maksimal 3g perhari. Aturan
pemakaian : oral 3x250 mg perhari setelah makan, infus intravena 250-500
mg diulangi setelah 6 jam jika diperlukan. 9
Sediaan metildopa yang beredar di pasaran adalah Dopamet (Alpharma)
tablet salut selaput 250 mg, Medopa (Armoxindo) tablet salut selaput 250
mg, Tensipas (Kalbe Farma) tablet salut selaput 125 mg, 250 mg, Hyperpax
(Soho) tablet salut selaput 100 mg.
5

Gambar 2.2. Sediaan Metildopa

b. Farmakologi Umum :
Metildopa merupakan prodrug yang dalam SSP menggantikan kedudukan
DOPA dalam sintesis katekolamin dengan hasil -metilnorepinefrin.
Metildopa menurunkan resistensi vaskuler tanpa banyak mempengaruhi
frekuensi dan curah jantung. Obat ini termasuk golongan 2-agonis sentral
yang mempunyai mekanisme kerja dengan menstimulasi reseptor 2adrenergik di otak. Stimulasi ini akan mengurangi aliran simpatik dari pusat
vasomotor di otak. Pengurangan aktivitas simpatik dengan perubahan
parasimpatik akan menurunkan denyut jantung, cardiac output, resistensi
perifer, aktivitas renin plasma, dan refleks baroreseptor. Berbeda dengan
obat-obat antihipertensi yang lain metildopa tidak mengganggu fungsi renal
dan tidak mengurangi curah jantung pada orang muda. Metildopa aman bagi
ibu dan anak, dimana telah digunakan dalam jangka waktu yang lama dan
belum ada laporan efek samping pada pertumbuhan dan perkembangan
anak. Metildopa memiliki faktor resiko B pada kehamilan.9
Metildopa merupakan pilihan utama untuk pengobatan hipertensi pada
kehamilan karena terbukti aman untuk janin, selain itu metildopa juga
diindikasikan untuk hipertensi esensial yang ringan atau yang berat,
hipertensi nefrogenik. Kontra indikasi pemakaian metildopa antara lain
depresi, feokromositoma, porfiria, hipersensitifitas dan pasien dengan
penyakit hati aktif seperti sirosis atau hepatitis akut.
Efek samping yang paling sering adalah sedasi, hipotensi postural, pusing,
mulut kering dan sakit kepala. Efek samping lain adalah depresi, gangguan
tidur, impotensi, kecemasan, penglihatan kabur dan hidung tersumbat. Efek
samping lain yang jarang terjadi adalah anemia hemolitik autoimun,
6

trombositopenia, leukopenia, drug fever dan lupus like syndrome.


Penghentian obat secara mendadak juga dapat menimbulkan rebound
phenomen berupa peningkatan tekanan darah secara mendadak.9
Interaksi obat dapat terjadi jika diberikan bersama preparat besi yang dapat
mengurangi absorbsi metildopa sampai 70%, tapi sekaligus mengurangi
eliminasi dan menyebabkan akumulasi metabolit sulfat. Hal ini perlu
diperhatikan pada kehamilan karena kedua obat ini sering diberikan
bersamaan. Efek metildopa ditingkatkan oleh diuretik dan dikurangi oleh
antidepresan trisiklik dan amin simpatomimetik.9
B. Farmakodinamik
Metildopa merupakan prodrug yang dalam SSP menggantikan kedudukan dopa
dalam sistesis katekolamin dengan hasil akhir -metilnorepinefrin. Diduga efek
antihipertensinya lebih disebabkan karena stimulasi reseptor -2 di sentral
sehingga mengurangi sinyal simpatik ke perifer. Metil dopa menurunkan
frekuensi retensi vaskuler tanpa banyak mempengaruhi frekuensi dan curah
jantung. Tetapi pada pasien usia lanjut, dilatasi vena, penurunan beban hulu dan
penurunan frekuensi jantung dapat menyebabkan curah jantung menurun. Efek
maksimal dapat tercapai 6-8 jam setelah pemberian oral atau i.v. Walaupun
penurunan tekanan darah waktu berdiri lebih besar dibandingkan waktu
berbaring, hipotensi ortostatik lebih jarang terjadi dibandingkan dengan
pemberian obat yang bekerja di perifer atu di ganglion otonom. Aliran darah
ginjal dan fungsiginjal tidak dipengaruhi oleh metildopa. Pada pemakaian jangka
panjang sering terjadi retensi air sehingga efek antihipertensi makin berkurang.
Hal ini disebut dengan toleransi semu (pseudo tolerance) dan dapat diatasi
dengan pemberian diuretik. 9
C. Farmakokinetik
Absorbsi

: melalui saluran cerna bervariasi dan tidak lengkap, hanya sekitar


50%

Distribusi

: peredaran darah, otak, jantung, jaringan adiposa, plasenta

Metabolisme : liver
7

Ekskresi

: 50-70%

melalui

urin

dalam

konjugasi

dengan

sulfat

(methyldopa-o-sulfate) dan 25% dalam bentuk utuh (3-methoxymethyldopa). Proses ekskresi selesai dalam waktu 36 jam
Bioavailabilitas : oral 20-50%
Ikatan Protein : minimal
Waktu Paruh : sekitar 2 jam (105 menit), tetapi efek puncak tercapai setelah 6-8
jam pemberian oral atau iv, efektivitas berlangsung sampai 24
jam
Onset

: per oral 3-6 jam, IV 4-6 jam

Durasi

: per oral 12-24 jam, IV 10-16 jam 9

D. Toksisitas
Kebanyakan efek samping metildopa berhubungan dengan susunan saraf pusat.
Diantaranya , yang sering terjadi adalah sedasi yang jelas, terutama pada
permulaan pengobatan. Pada pengobatan jangka panjang, pasien bias mengeluh
kelemahan mental menetap dan gangguan konsentrasi mental. Bisa timbul
mimpi buruk, depresi mental, vertigo daan tanda ekstrapiramidal meskipun
relative jarang. Laktasi yang berhubungan dengan peningkatan sekresi prolaktin
dapat terjadi pada pria atau wanita yang diobati dengan metildopa. Toksisitas ini
mungkin melalui kerja pada mekanisme dopaminergik di dalam hipotalamus. 10
Efek samping yang paling sering adalah sedasi, hipotensi postural, pusing, mulut
kering dan sakit kepala. Sedasi seringkali hilang setelah minggu pertama terapi,
tetapi dapat terjadi lagi sewaktu dosis ditingkatkan. Ketajaman mental berkurang
pada beberapa penderita, tetapi reversible. Efek samping lainnya adalah
gangguan tidur, depresi mental, impotensi, kecemasan, penglihatan kabur, dan
hidung tersumbat. 9
E. Penyelidikan dan Penelitian yang Telah Dilakukan
1. Methyldopa Hepatotoxicity: A Paradoxical High-Risk Pregnancy 11
Oleh

: Utuama, O., Fasuyi, O., Strayhorn, G. dan Booker, K. L.


8

Kasus

: Pasien umur 38 tahun G5P0130, datang dengan usia kehamilan 18

minggu 4 hari untuk pemeriksaan rutin dengan keluhan mata kekuningan,


diare, dan warna urin yang gelap selama 1 minggu terakhir. Pasien dalam
pengobatan

hipertensi,

lisinopril

dan

hydrochlorothiazide

sebelum

kehamilannya saat ini. Pengobatan tersebut dihentikan dan diganti dengan


metildopa sejak 12 minggu yang lalu hingga saat ini. Dosis metildopa
ditingkatkan pada minggu ke 6 kehamilan dari 500mg 2 kali sehari menjadi 3
kali sehari untuk pengontrol tekanan darah yang lebih baik. Pasien tidak
memiliki riwayat peminum alkohol dan perokok. Tekanan darah saat
pemeriksaan 120/80 dengan BMI 45,4 kg/m2. Pasien mengalami icteric, pada
quadrant abdominal atas teraba masa dan murphys sign negatif. Pemeriksaan
laboratorium menunjukan adanya peningkatan enzim liver. Pemeriksaan
radiologis dengan USG menunjukan adanya perubahan konsistensi dari hepar.
Pasien dirawat inap dan dilakukan biopsi hepar dengan bantuan USG. Hasil
biopsi menunjukan adanya inflamasi lympoplasmacytic, inflamasi lobuler dan
cholestasis sedang. Dokter mendiagnosis pasien mengalami hepatotoksik
akibat induksi obat.
Pemberian metildopa dihentikan dan pemberian prednison taper dimulai
dengan dosis 60mg per hari. Kondisi pasien semakin membaik dengan
penurunan enzim liver dan bilirubin. Namun, pasien mengalami diabetes
melitus akibat induksi steroid dan mulai menerima injeksi insulin.
Pasien dipulangkan pada hari ke 10. Tekanan darah tingginya tetap dikontrol
tanpa menggunakan pengobatan. Pada minggu ke 36 kehamilan pasien
melahirkan dengan proses caesar karena prolong ruptur membran. Ibu dan
anaknya pulang dalam kondisi yang baik pada hari ke 2 post operasi.
2. Study of Methyl Dopa Versus Labetalol in management of Preeclampsia
and Gestational Hypertension 12
Oleh

: Dharwadkar, M. N., Kanakamma, M. K., Dharwadkar, S. N.,


Rajagopal, K., Gopakumar, C., Divya, J. dan Balachandar, V.

Penelitian : Membandingkan efektivitas metildopa dengan labetalol dalam


management preeklamsi dan hipertensi gestational pada delapan puluh pasien
9

dengan PIH yang dipilih secara acak untuk menerima pengobatan labetalol
(grup A) atau metildopa (kelompok B). Penelitian ini menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan pada kelompok yang diberi labetolol dan
metildopa terhadap berat badan lahir, neonatal morbidity, dan status
kehamilan. Namun perbedaan yang signifikan ditemukan pada efektivitas
penurunan tekanan darah, labetolol merupakan obat yang lebih baik dalam
menurunkan tekanan darah dan menjaga level tekanan darah pada kondisi
optimal. Pemberian labetolol juga secara signifikan memperpanjang
kehamilan sehingga fetus dapat mencapai maturitas. Selain itu, dalam
penelitian ini juga dibahas tentang perbandingan efek samping metildopa
seperti pusing, sakit kepala, hidung tersumbat dan postural hipertensi,
sedangkan pada pemberian labetolol pasien hanya mengeluh sesak, efek
samping lain tidak diketahui.
3. Increased Autonomic Dysfunction in Subjects Treated with AlphaMetyldopa13
Oleh : Mariska Kruger, Oppel Greeff, Lizelle Fletcher, Prashilla Soma
Pembahasan : -methyldopa yang digunakan sebagai obat pilihan pertama
antihipertensi pada ibu hamil, khusunya di negara berkembang, belum
diketahui secara pasti mekanisme kerjanya, hanya berdasarkan hipotesis dari
penelitian sebelumnya (Halushka dan Keiser, 1974).

Penelitian yang

dilakukan di Pretoria, Afrika Selatan tahun 2015 ingin mengetahui apakah ada
perubahan pada sistem saraf simpatik yang terlihat pada tekanan darah, nadi,
variabel ECG, dan variabel nadi.
Hasil : Adanya perubahan sistem otonom tubuh pada penderita yang
mengonsumsi -methyldopa. Penelitian yang melibatkan dua kelompok, yang
satu diberi metildopa dan yang lain diberi plasebo, menunjukkan adanya
peningkatan dan penurunan sistem otonom pada kelompok yang diberi
metildopa. Hasil pemberian metildopa ialah adanya penurunan tekanan darah,
nadi, indeks stres jantung (cardio stress index), standard deviasi interval RR,
dan QTc, serta adanya kenaikan kompleks QRS, variabilitas nadi (HRV),
interval QT, konduktansi kulit, dan cortisol pada air liur.
10

4. Analytical Method Development for Simultaneous Estimation of


Saxagliptin and Methyldopa14
Oleh : R.L. Sawant, S.M. Mhaske
Pembahasan : Saxagliptin merupakan monoterapi tunggal dan kombinasi
yang berfungsi menurunkan kadar HbA1C pada penderita diabetes mellitus
tipe 2. Metyldopa merupakan agonis alfa adrenergik yang berfungsi sebagai
simpatolitik dan antihipertensi. Penelitian yang dilakukan Sawant dan
Mhaske di India tahun 2014 coba mengusulkan untuk mengembangkan dan
memvalidasi metode UV untuk estimasi simultan gabungan kedua obat
tersebut.
Hasil : Metode persamaan simultan, rasio penyerapan, area di bawah kurva
(AUC), dan metode dua panjang gelombang yang diajukan kedua peneliti
merupakan metode yang simpel, presisi, dan akurat dan dapat digunakan
untuk analisis kuantitatif rutin obat saxagliptin dan metildopa, baik dalam
bentuk murni maupun campuran.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Pembahasan
Selama kehamilan normal, resistensi vaskular perifer menurun sebagai
akibat vaskulator yang mengalami dilatasi. Jika resistensi perifer meningkat
terjadilah hipertensi. Gangguan hipertensi yang menjadi penyulit dalam
kehamilan sering dijumpai dan termasuk salah satu diantara 3 trias yang
11

mematikan

bersama

dengan

perdarahan

dan

infeksi

yang

banyak

menimbulkan mortalitas dan morbiditas ibu karena kehamilan.


Metildopa merupakan obat pilihan utama untuk hipertensi kronik pada
kehamilan (tekanan diastolik lebih dari 110 mmHg) yang dapat menstabilkan
aliran darah uteroplasenta dan hemodinamik janin. Obat ini termasuk
golongan 2-agonis sentral yang mempunyai mekanisme kerja dengan
menstimulasi reseptor 2-adrenergik di otak. Stimulasi ini akan mengurangi
aliran simpatik dari pusat vasomotor di otak. Pengurangan aktivitas simpatik
dengan perubahan parasimpatik akan menurunkan denyut jantung, cardiac
output, resistensi perifer, aktivitas renin plasma, dan refleks baroreseptor.
Metildopa memiliki faktor resiko B pada kehamilan.
Pada studi kasus yang dilakukan oleh Utuama, et al (2015), ditemukan
pasien hepatotoksik pasca pemberian metildopa selama 12 minggu. Setelah
pemberian metildopa dihentikan kondisi pasien semakin membaik. Metildopa
di metabolisme di liver dan intestinal oleh dopamine-beta hydroxylase
menjadi alpha metil norepinephrine. Mekanisme terjadinya cedera liver masih
belum diketahui dengan jelas. Hal ini menunjukan adanya efek samping
metildopa yang selama ini belum banyak diteliti. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Kruger et al di Pretoria, Afrika Selatan tahun 2015
menunjukkan adanya perubahan sistem otonom tubuh pada penderita yang
mengonsumsi -methyldopa. Penelitian yang melibatkan dua kelompok, yang
satu diberi metildopa dan yang lain diberi plasebo, menunjukkan adanya
peningkatan dan penurunan sistem otonom pada kelompok yang diberi
metildopa. Hasil pemberian metildopa ialah adanya penurunan tekanan darah,
nadi, indeks stres jantung (cardio stress index), standard deviasi interval RR,
dan QTc, serta adanya kenaikan kompleks QRS, variabilitas nadi (HRV),
interval QT, konduktansi kulit, dan cortisol pada air liur. Penelitian yang
dilakukan oleh Dharwadkar, et al (2014) juga membahas efek samping yang
timbul akibat pemakaian metildopa seperti pusing, sakit kepala, hidung
tersumbat dan postural hipertensi.Penelitian ini juga yang membandingkan
efektivitas metildopa dengan labetolol pada hipertensi kehamilan dan

12

preeklamsi didapatkan bahwa labetolol memiliki efektivitas yang lebih baik


daripada metildopa.
Kombinasi Metyldopa dan Saxagliptin telah teruji klinis dapat
mengobati hipertensi diabetik pada ibu hamil. Selama ini pemberian
metyldopa dan saxagliptin diberikan bersamaan secara terpisah. Akan tetapi,
penelitian yang dilakukan oleh Sawant dan Mhaske di India pada tahun 2014
menunjukkan bahwa pencampuran metyldopa dan saxagliptin menggunakan
metode spektroskopi ultraviolet dapat dilakukan sehingga memudahkan terapi
pasien ibu hamil yang mengalami hipertensi diabetik.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

13

1. Metildopa yang merupakan obat pilihan pertama dalam management


hipertensi dalam kehamilan ternyata memiliki efek pada sistem saraf
simpatik yang dapat merugikan penggunanya (ibunya)
2. Metildopa dapat memicu timbulnya hepatotoksik yang berbahaya. Akan
tetapi, penggunaan metildopa masih tetap berlangsung, khususnya di
negara berkembang karena harganya yang terjangkau serta paling aman
untuk bayi dalam kandungan.
B. Saran
1. Sebaiknya pada minggu ke 6-12 penggunaan metildopa, dilakukan evalusi
fungsi hari untuk mengetahui efek obat terhadap liver sehingga bila
terjadi hepar injuri dapat ditangani dengan baik.
2. Penelitian lebih lanjut tetang obat pengganti metildopa sebagai lini
pertama dalam management hipertensi dalam kehamilan harus dilakukan.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap penggunaan metildopa
yang dikombinasikan dengan obat lain untuk mengurangi efek samping
dari metildopa

CONCLUSIONS
1. Methyldopa as the drug of choice for pregnancy hypertension has an effect in
symphatic nerve system which can cause some trouble for the user (the mother)
2. Methyldopa can trigger a dangerous Hepatotoxic. However, methyldopa still
continue to be used especially in developing country for the cheap price and the
safety factor for the baby inside the womb.
14

DAFTAR PUSTAKA

1. May, KA and Mahlmeister, LR. (1994). Maternal and neonatal nursing: Family-

centered care. (Third Edition). Philadelphia.

15

2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1996). Profil kesehatan indonesia


1995. Jakarta: DEPKES RI.maternal dan anak. Jakarta: DEPKES RI
3. Favin, M., et al. (1985). Maternal health in developing countries. Midwifery (1):
75- 85.
4. Saseen, J.J, dan Carter, B.L., 2005, Hypertension, in DiPiro, J.T., Talbert, R.L.,
Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M.,
(Eds.),Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 6th Edition, 202-210,
McGraw-Hill Companies, USA
5. Sibai, B.M., 1996, Treatment of Hypertension in Pregnant Women, The New
England Journal of Medicine, Volume 335, 257-265
6. Sibai, B.M., dan Chames, M., 2003, Treatment of Hypertension in Pregnant
Women, The Journal of Family Practice, Volume 15
7.Rubin, P., 1998, Drug treatment during pregnancy, British Medical Journal, 1-7
8. Anonim. 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Jakarta : Departemen Kesehatan RI
9. Nafrialdi. 2007. Antihipertensi. Dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta :
FK UI, 348
10. Katzung, B. G, alih bahasa. 1989 . Farmakologi Dasar dan Klinik edisi 3. Jakarta
: EGC
11. Utuama, O., Fasuyi, O., Strayhorn, G. dan Booker, K. L. 2015. Methyldopa
Hepatotoxicity: A Paradoxical High-Risk Pregnancy. J Clin Gynecol
Obstet; 4 (3): 271-274
12. Dharwadkar, M. N., Kanakamma, M. K., Dharwadkar, S. N., et al. 2014. Study of
Methyl Dopa Versus Labetalol in management of Preeclampsia and
Gestational Hypertension. Gynecol Obstet; 4 (9): 242

16

13. Kruger M, Greeff O, Fletcher L, and Soma P. 2015. Increased Autonomic


Dysfunction in Subjects Treated with Alpha-Methyldopa. International
Journal of Medicine and Pharmacy 2015 ; 3 (June) : 27-39
14. Sawant R.L., Mhaske S.M. 2014. Analytical Method Development for
Simultaneous Estimation of Saxagliptin and Methyldopa. Asian Journal of
Pharmaceutical Research 2014 ; 4 (June) : 134-40

17

Anda mungkin juga menyukai