Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami ucapkan puji dan syukur pada Allah SWT, karena atas
rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
Penyakit Epilepsi dengan baik.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakoterapi
tentang penyakit Epilepsi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihakpihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih belum sempurna
karena menemukan berbagai kesulitan. Sehingga Penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun.
Kendari, September 2016
PENULIS

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Pada dasarnya
epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang timbul akibat
adanya ketidak seimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidak seimbangan polarisasi
listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif pada neuron sehingga
menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau
seluruh daerah yang ada di dalam otak. Epilepsi sering dihubungkan dengan
disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi
penyandangnya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial,
rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya).
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun 2000,
diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta
orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang.
Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang
epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000
penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara
berkembang.
Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang
tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan
gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan
yang terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Apa definisi dari penyakit epilepsi?
2. Apa penyebab epilepsi?
3. Bagaimana patofisiologi dari epilepsi?
4. Apa saja klasifikasi dari penyakit epilepsi?

5. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari penyakit epilepsi ?


6. Bagaimana pengobatan epilepsi?
7. Contoh kasus epilepsi ?

BAB II
KONSEP DASAR EPILEPSI

A. PENGERTIAN
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat
cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut
dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih
luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum).
Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulangulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang
tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,
2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan
listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi
(Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan
ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik
neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan
laboratorik.
Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran,
gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas otonom dan
berbagai gangguan fisik.
Epilepsy adalah merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi
berulang-ulang. Diagnosa ditegakkan paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab
(Jastremski, 1988).
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai gejala
klinis, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari neuron-neuron otak secara
berlebihan dan berkala tetapi reversibel dengan berbagai etiologi.
B. ETIOLOGI
1. Idiopatik.

2. Acquerit : kerusakan otak, keracunan obat, metabolik, bakteri.


trauma lahir
trauma kepala
tumor otak
stroke
cerebral edema
hypoxia
keracunan
gangguan metabolik
infeksi.
C. PATOFISIOLOGI
Menurut para penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari
sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas muatan secara
berlebihan dan hypersinkron. Kelompok sel neuron yang abnormal ini, yang disebut
juga sebagai fokus epileptik mendasari semua jenis epilepsi, baik yang umum
maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini kemudian dapat menyebar
melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis dan melibatkan daerah disekitarnya atau daerah
yang lebih jauh letaknya di otak.
Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan
epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan. Sel neuron
diserebellum di bagian bawah batang otak dan di medulla spinalis, walaupun mereka
dapat melepaskan muatan listrik berlebihan, namun posisi mereka menyebabkan tidak
mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan
pasti mekanisme apa yang mencetuskan sel-sel neuron untuk melepas muatan secara
sinkron dan berlebihan (mekanisme terjadinya epilepsi).
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta
neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas
listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps
terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)

bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
D. KLASIFIKASI EPILEPSI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan klasifikasi
sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe
bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan
situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut
bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
Data 2. Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma
Symptomatic
a. Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi
anatomi yang diperkirakan berdasarkan riwayat klinis, tipe kejang
predominan, EEG interiktal dan iktal, gambaran neuroimejing.
b. Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder
berasal dari lobus frontal, parietal, temporal, oksipital, fokus multipel
atau fokus tidak diketahui.
c. Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik
(Octaviana, 2008).
E. PENGOBATAN/TERAPI EPILEPSI

Tujuan terapi epilepsi adalah untuk mengontrol atau mengurangi frekuensi


kejang

dan

memastikan

kepatuhan

pasien

terhadap

pengobatan,dan

memungkinkan pasien dapat hidup dengan normal. Khusus untuk status


epileptikus, terapi sangat penting untuk menghindarkan pasien dari keparahan
akibat serangan kejang yang berlangsung lama.
1. Terapi Non-Farmakologi
Terapi nonfarmakologis untuk epilepsi meliputi diet, operasi dan Vagal
Stimulasi Saraf( VNS), yang merupakan implantasi dari saraf vagal
stimulator. Sebuah stimulator saraf vagus adalah perangkat medis implant
disetujui untuk digunakan pada epilepsi. System NCP (Neuro Cybemetic
Prosthesis) diindikasikan untuk digunakan sebagai terapi tambahan dalam
mengurangi frekuensi kejang pada orang dewasa dan remaja yang lebih tua
dari 12 tahun usia dengan kejanh parsial onset yang tahan untuk AED.

a. Pembedahan
Merupakan opsi pada pasien yang tetap mengalami kejang meskipun sudah
mendapat lebih dari 3 agen antikonvunsan, adanya abnomarlitas fokal, lesi
epiletik yang menjadi pusat abnormalitas epilepsi.berikut ini merupakan jenis
bedah epilepsy berdasarkan letak focus infeksi:

Lobektomi temporal
Eksisi korteks ekstratemporal
Hemisferektomi
Callostomi
Terapi nutrisi

b. Diet ketogenik

Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein, dan rendah
karbohidrat, yang akan menyediakan cukup protein untuk pertumbuhan, terapi
kurang karbohidrat untuk kebutuhan metabolisme tubuh. Dengan demikan
tubuh akan menggunakan lemak sebagai sumber energy,yang pada gilirannya
akan menghasilkan senyawa keton. Mekanisme diet kategonik sebagai
antiepilepsi masih belum diketahui secara pasti, namun senyawa keton ini
diperkirakan berkontribusi terhadap pengontrol kejang.
2. Terapi Farmakologi
Penanganan yang optimal terhadap epilepsi memerlukan terapi anti epilepsi
yang disesuaikan untuk masing-masing individu khususnya pada kelompok
pasien tertentu (seperti anak, wanita yang beresiko melahirkan dan orang tua).
Terapi lebih diutamakan dengan satu jenis obat berdasarkan pada tipe kejang
dan resiko terjadinya efek samping obat.

Obat-obat Antiepilepsi
1. Carbamazepine
Carbamazepin (CBZ) merupakan derivat iminostibene yang berhubungan
dengan antidepresan trisiklik yang digunakan untuk mengobati tonik klonik
Range teraupetik CBZ yang diterima untuk pengobatan kejang adalah 4-12
mg/ml. ikatan protein plasma berbeda pada masing-masing pasien hal ini
karena CBZ terikat pada albumin dan 1-acid glycoprotein (AAG). Pada
pasien yang konsentrasinya normal ikatan proteinnya adalah 75-80%. AAG
meningkat pada pasien stress, penyakit seperti trauma, gagal jantung dan
infark miokard. Pada pasien ini ikatan proteinnya sampai 85-90%.
Walaupun ikatan protein plasma CBZ tinggi tetapi sulit untuk dilepaskan
oleh obat lain.
Farmakologi dan mekanisme kerja:
Mekanisme nyata Carbamazepine menakan kejang belum jelas, walaupun
CBZ diyakini dapat menghambat channel Na.

Farmakokinetika:
Absorpsi CBZ dalam bentuk tablet lambat dan tidak teratur karena memiliki
kelarutan yang rendah. CBZ tidak melewati firs past metabolism. Makanan
dapat meningkatkan bioavailabilty dari obat. Bentuk suspense lebih cepat
diabsorpsi dari pada bentuk tablet. CBZ juga tersedia dalam bentuk tablet
lepas

lambat

dan

lepas

control.

CBZ

lebih

bersifat

lipofil.

Lebih dari 98-99 % dari dosis CBZ yang diberikan dimetabolisme di hati,
khususnya

dengan

CYP3A4.

Metabolit

umum

dari

CBZ

adalah

carbamazepine-10,11-epokside yang mempunyai aktivitas antikonvulsan


pada

hewan

dan

manusia.

CBZ

bersifat

autoinduksi.

Efek Samping Obat:


Metabolit CBZ adalah karbamazepin-10,11-epoxide yang memiliki efek dan
juga bersifat toksik. Konsentrasi epoxide ini bisa lebih tinggi pada pasien
dengan penginduksi enzim dan bisa lebih rendah pada pasien dengan
inhibitor enzim. Gejala yang berhubungan dengan efek samping obat antara
lain mual, muntah, letargi, dizziness, diplopia, unsteadiness, ataksia, dan
incoordination. Carbamazepin sendiri juga menginduksi enzim metabolisme
hati2.
Parameter monitor klinik yang harus diukur pada pasien ini adalah
o Efek samping yang berhubungan dengan konsentrasi
o karena carbamazepin memiliki efek antidiuretik yang berhubungan
dengan penurunan kadar hormon antidiuretik, beberapa pasien
mungkin mengalami hiponatrium selama penggunaan terapi jangka
panjang, dan konsentrasi serum natrium perlu di ukur secara
periodic.
o Efek samping hematologi dapat dibagai menjadi dua yaitu
a. Leukopenia yang terjadi pada kebanyakan pasien yang tidak
membutuhkan intervensi terapi
b. Efek hematologi yang berat dan membutuhkan terapi untuk
dihentikan yaitu trombositopenia, leukopenia (sel darah putih

kurang dari 2500 cell/mm2) atau netrofil kurang dari 1000


cel/mm2

atau

anemia.

Efek

samping

yang

jarnag

bisa

menyebabkan anemia aplastik, dan agranulositosis.


o Obat menginduksi hepatitis juga pernah dilaporkan pada pasien yang
menggunakan CBZ2.
2. Phenobarbital
Mekanisme kerja: Menghentikan kejang dengan menurunkan eksitasi
postsinaptik, kemungkinan melalui respon stimulasi inhibitor GABAergic
post sinaptik.
o Efek antikonvulsi yang selektif terutama diberikan oleh gugus 5fenil. Barbiturate bekerja pada seluruh SSP, walaupun pada semua
tempat tidak sama kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan
respon pasca sinaps. Penghambatan hanya terjadi pada sinaps
GABA-nergik, walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak
semuanya

melalui

GABA

sebagai

mediator.

Barbiturat

memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan


inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas barbiturate membantu kerja
GABA sebagian menyerupai benzodiazepine, namun pada dosis
yang lebih tinggi bersifat sebagai agonis GABA-nergik, sehingga
pada dosis tinggi barbiturate dapat menimbulkan depresi SSP yang
berat.
Phenobarbital meningkatkan ambang kejang dengan berinteraksi
dengan reseptor GABA untuk memfasilitasi fungsi saluran Clintrasel, menghambat saluran Ca yang mengaktivasi tegangan tinggi.
Beberapa

aktivitas

obat

disebabkan

oleh

kemampuannya

menghambat receptor AMPA (amino-3-hydroxy-5-methylisoxazol-4propionic acid) dan reseptor kainate.


o Efek samping fenobarbital yang umum adalah ataxia, sakit kepala,
sedasi, konfusi, dan letargi, nausea, irritabilitas dan hiperaktif,
gangguan

berpikir

dan

memori.

Penggunaan

jangka

lama

mengakibatkan defisiensi asam folat dan efek samping yang jarang


menyebabkan anemia megaloblastik. Tujuan terapi antikejang ini
adalah untuk mengurangi frekuensi kejang dan meningkatkan
kualitas hidup, dengan efek samping yang minimum. Parameter
klinik yang harus dimonitor pada pemakaian obat ini antara lain efek
samping, gastrointestinal upset (mual, muntah) ketika menggunakan
obat ini. Reaksi idiosinkratik (sangat jarang) yaitu connective tissue
disorder, lesi kulit dan blood dyscrasia. Parameter farmakokinetik
klinik dasar dari fenobarbital sebagai berikut :
o Dieliminasikan terutama melalui (65-70%) melalui metabolisme hati
menjadi metabolit inaktif. Lebih kurang 30-35% fenobarbital
dikeluarkan melalui urin dalam bentuk yang tidak berubah . Ekresi
renal terhadap unchanged fenobarbital tergantung kepada pH, pada
pH basa akan meningkatkan klirens ginjal.
o Fenobarbital terikat dengan protein plasma sekitar 50%
o Bioavailabilitas oral fenobarbital mencapai 100%
o Clearence rate (Cl) fenobarbital untuk anak adalah 8 mL/jam/kg,
volume distribusinya adalah 0.7 L/kg dan T1/2 nya adalah 60 jam
pada anak-anak. Fenobarbital merupakan penginduksi yang poten
terhadap obat yang dimetabolisme dihati yaitu enzim CYP1A2,
CYP2C9, dan CYP3A4. Oleh karena itu perlu diperhatikan interaksi
obat yang mungkin muncul pada pasien yang menggunakan obat ini.
Berikut adalah obat-obat yang clearencenya meningkat karena
pemakaian bersama dengan fenobarbital yaitu karbamazepin,
lamotigrin,

asam

valproat,

siklosporin,

nifedipin,

diltiazem,

verapamil, kontrasepsi oral, antidepresan trisiklik, quinidin, teofilin


dan warfarin.
o Toleransi terhadap barbiturate dapat terjadi secara farmakodinamik
dan

farmakokinetik.

Farmakodinamik

lebih

berperan

dalam

penurunan efek dan berlangsung lebih lama daripada toleransi

farmakokinetik. Toleransi terhadap efek sedasi dan hipnosis terjadi


lebih segera dan lebih kuat daripada efek antikonvulsinya. Penderita
yang toleran terhadap barbiturat juga toleran terhadap senyawa yang
mendepresi SSP, seperti alcohol. Bahkan dapat juga terjadi toleransi
silang terhadap senyawa dengan efek farmakologi yang berbeda
seperti opioid.
o Keuntungan:
Phenobarbital mempunyai farmakokinetika linear dimana jika dosis
digandakan, maka konsentrasi serum juga akan meningkat dua kali
lipat. Obat tersedia dalam bentuk oral, solid, oral liquid, IM, IV.
Harga obat mudah dijangkau.
o Kerugian :
ESO yang sangat signifikan. Obat ini dapat menginduksi enzim dan
berinteraksi dengan banyak obat yang dimetabolisme oleh enzim
Cytochrome P450. Phenobarbital mempunyai waktu paruh yang
panjang.
3. Ethosuximide
Mekanisme kerja:
Menghambat enzim NHDPH aldehyd reductase, inhibisi sistem Na K
ATPase, menurunkan aktivasi arus Na menghambat channel Ca2+ yang
tergantung pada channel K+, inhibisi arus Ca2+ tipe T.
Farmakokinetik:
Metabolisme terjadi di hati melalui hidroksilasi, menghasilkan metabolit
inaktif.
Efek samping obat:
Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah mual dan muntah (lebih
dari 40 %) efek ini dapat diminimalisir dengan pemberian dosis yang lebih
kecil dan frekuensi pemakaian yang lebih sering. Efek samping lain meliputi
mengantuk, lelah, lethargy, pusing, cegukan dan sakit kepala. Efek yang
jarang timbul adalah reaksi idiosinkratik, seperti ruam, lupus dan kelainan
darah.

Keuntungan:
Obat ini sangat befektif pada pengobatan pilepsi tanpa kejang, mempunyai
toleransi yang baik dan mempunyai interaksi farmakokinetik.
Kerugian:
Obat ini mempunyai efektifitas spektrum yang sempit.
4. Felbamate
Mekanisme kerja:
Bekerja sebagai antagonis reseptor glisin pada reseptor N-methyl D-aspartat
(NMDA). Aksi ini menghambat inisiasi dan perkembangan kejang. Obat ini
juga menghambat peningkatan stimulasi NMDA/glycine pada Ca2+ intrasel.
Farmakokinetik:
Absorbsi felbamate cepat dan baik. Absorbsi tidak dipengaruhi oleh
makanan dan antasid. 40-50 % dosis felbamate dimetabolisme melalui
hidroksilasi dan konyugasi di hati. Metabolisme dieksresikan melalui urin.
Felbamate menggambarkan farmakokinetik linier.
Efek samping obat:
Anorexia, turunnya berat badan, insomnia, mual, sakit kepala. Anorexia dan
turunnya berat badan terjadi terutama pada anak-anak dan pasien dengan
intake kalori yang sedikit.
Keuntungan:
Felbamate mempunyai mekanisme kerja yang unik. Obat ini dapat
digunakan untuk pengobatan kejang atonik dan efektif pada pengobatan
kejang parsial.
Kelemahan:
Penggunaan felbamate dibatasi pada pasien dengan anemia aplastik dan
hepatotoksisitas.
F. DESKRIPSI KASUS
An. Manis berusia 8 tahun, berat badan 40 kg, tiba-tiba terjatuh, kehilangan
kesadaran dan mengalami kejang disekolahnya. Kejang terjadi kurang lebih 5

menit setelah An. Manis bermain kejar-kejaran dengan teman sekelasnya. Ibu
guru langsung membawa An. Manis ke ruang kesehatan. 15 menit kemudian An.
Manis kembali kejang dan segera An. Manis dilarikan ke rumah sakit.
Berdasarkan informasi dari orang tua An. Manis 2 tahun lalu An Manis
mengalami kejang akibat demam tinggi. Tetapi kejang terjadi hanya beberapa
detik saja, hampir 3 bulan terakhir kejang sudah tidak lagi terjadi sehingga orang
tua An.Manis tidak memberikan obat yang biasa diminumnya (Dilantin 300
mg/hari) untuk mengontrol kejangnya.
Analisis dan Pembahasan Kasus dengan Metode Soap
1. Subjektif
Nama pasien

: An.Manis
:

Umur
Berat Badan
Keluhan

:
:
:

8 tahun
40 kg
Tiba-tiba

terjatuh,

hilang

kesadaran,

dan

mengalami kejang disekolahnya kurang lebih 5


Riwayat penyakit

menit, dan kejang kembali setelah 15 menit.


2 tahun yang lalu sudah mengalami kejang
akibat demam tinggi selama beberapa detik saja.

Riwayat pengobatan

Dilatin 300 mg/kg

2. Objektif
3. Assesment
Berdasarkan keluhan pasien, diduga pasien bernama An.Manis menderita
status epileptikus.

Hal ini dapat dilihat dari keadaan An.Manis yang tibaa-tiba

terjatuh lalu kehilangan kesadaran dan mengalami kejang lebih kurang 5 menit,
dimana 15 menit kemudian An.Manis kembali mengalami kejang. Hal ini dapat
menunjukkan bahwa pasien terkena bangkitan status epileptikus, karena adanya dua

rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesdaran diantara kejang, dan


kesadarannya belum pulih setelah 5 menit.
Setelah epileptikus yang dialami An.Manis dapat disebebkan oleh faktor
pencetus yang diduga disebabkan oleh pengobatan yang tiba-tiba dihentikan 3 bulan
terakhir dan kejang akibat demam tinggi. Hal ini dapat menimbulkan bangkitan
epilepsi yang lama bahkan menjadi buruk.
4. Plan
a.

b.

Terapi non-farmakologi
Pembedahan
Diet ketogenik
Terapi Farmakologi

Prehospital
Pada kasus diatas, dapat diberikan diazepam rectal 10 mg yang

merupakan terapi utama dan pertahanan patensi jalan napas, berikan


oksigen, periksa fungsi kardiorespirasi.

In Hospital
Lorazepam 0,1 mg/kg intravena diberikan 4 mg bolus, diulang satu
kali setelah 10-20 menit jika tidak ada dapat diberikan diazepam intravena
0,5 mg/kg. berikan obat antiepilepsi yang biasa digunakan bila pasien
sudah pernah mendapat terapi obat antiepilepsi. Terapi obat darurat
tambahan mungkin tidak diperlukan jika kejang berhenti dan penyebab
status epileptikus cepat diperbaiki.
Obat- obat diatas diberikan dengan alasan dimana mekanisme kerjanya
memberikan hambatan dari GABA oleh ikatan pada benzodiazepine
GABA dan kompleks resptor barbiturate. Sehingga kejang berhenti.
Ketika kejamg sudah tidak kambuh lagi dapat diberikan obat
antiepilepsi yang bisa digunakan untuk mengontrol epilepsinya dan
mengatasi serangan primer maupun sekunder, yaitu fenitoin Na dosis 300
mg/hari 3 kali sehari dalam dosis terbagi.

Jika sudah bebas kejang selama 2 tahun pengobatan yang bisa


dibuktikan secara klinis melalui EEG dengan hasil baik. Penghentian
dilakukan secara bertahap, setidaknya selama 3 bulan dengan cara
menurunkan dosisnya. Tidak boleh dihentikan secara mendadak karena
akan menyebabkan terjadinya kejang hebat pada pasien.
5. Pemilihan Obat Rasional
Pemilihan obat rasional dilakukan dengan menganalisis obat-obat yang
digunakan dengan lima kategori yaitu tpat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat
dosis dan waspadah terhadap efek samping obat (4H1W).
a. Tepat Indikasi
Nama Obat
Diazepam Feniton

Indikasi
Status epileptikus

Mekanisme Aksi
Menigkatkan

semua jenis

hambatan dari

kecuali petit mal

GABA oleh ikatan

dan status

pada

epileptikus

benzodiazepine
GABA dan
kompleks resptor
barbiture.
Sehingga kejang
berhenti. Inaktivasi
kanal NA sehingga
menurunkan
kemampuan syaraf
untuk
menghangtarkan
muatan listrik

Keterangan
Tepat indikasi

b. Tepat Obat
Nama obat
Diazepam

Alasan sebagai drug of choice


Dapat menobati serangan status

Fenitoin

epileptikus dan banyak digunakan

Keterangan
Tepat obat

dalam pengobatan.merupakan
OAE yang pernah digunakan
untuk terapi pemeliharaan dan
pengontroalan
c. Tepat Pasien
Nama obat
Diazepam Fenitoin

Kontra indikasi
Hipersensitif dengan

Keterangan
Tepat pasien tidak ada

diazepam dan fenitoin

riwayat alergi

d. Tepat Dosis
Nama Obat
Diazepam
Fenitoin

Dosis Standar
0,3-0,5 mg/kg i.v
200-300 mg/hari

Dosis yang diberikan


keterangan
0,5 mg/kg i.v
Tepat dosis
300 mg/hari

e. Waspada Efek Samping


Nama Obat
Diazepam Fenitoin

Efek Samping Obat


Menimbulkan rasa

Saran
Beristrahat yang cukup

kantuk, konsentrasi

dan jangan melakukan

berkurang, mual, edema.

aktifitas diluar rumah.

Nyeri kepala, insomnia,

Untuk mengatasi demam

ruam, akne demam efek

yang bila timbul dapat

hematologic

diberikan ibuprofen
sirup. Dan berikan vit B
complex jika efek

samping fenitoin anemia


terjadi

Evaluasi Obat

Diazepam rectal 10 mg (stesolid) 1 suppos Rp 25.500


Diazepam I,v 0,5 mg/kg (valium) 1 ampul injeksi Rp 10.250
Terapi pemeliharaan/pengontrolan untuk 1 bulan : Fenitoin na Kapsul
100 mg(Dilatin) 1 botol Rp 287.775
Jumlah Rp 323.025
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Pasien

Beritahu orang tua agar dapat memberikan makanan yang tidak menyebabkan
kenaikan beratbadan pada anak seperti makanan yang banyak mengandung

lemak
Sarankan kepada orang tua agar anaknya tidak terlalu kecapean, dan tidur

yang cukup
Pengguanaan obat harus sehemat mungkin dan sedapat mungkin dalam

jangka waktu pendek


Jika terjadi kambuhan SE segera hubungi dokter
Berikan informasi kepada orang tua pasien seputar SEO yang potensial

terjadi
Jangan berikan obat melebihi dosis yang ditentukan
Jangan mengganti sediaan obat ataupun dosis tanpa sepengetahuan dokter.

BAB III
PENUTUP
A.

KESIMPULAN
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat

cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut
dapat melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih
luas pada kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis
yang kompleks yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai
dengan cetusan neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis,
rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di
otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu
episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu
kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan
bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya
konsekuensi sosial yang diakibatkannya.
Berdasarkan penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu epilepsi
primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan penyebabnya dan

epilepsi sekunder atau simtomatik yaitu yang penyebabnya diketahui. Penyebab


spesifik dari epilepsi adalah kelainan yang terjadi selama perkembangan
janin/kehamilan ibu, seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak
janin, menglami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera. Kelainan yang
terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia),
kerusakan karena tindakan. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada
otak. Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama pada
anak-anak. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak.
Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak. Penyakit seperti fenilketonuria
(FKU), sclerosis tuberose dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang
yang berulang.
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor
tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia
dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi
menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara
lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset
dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien
bengong dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian
kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis
mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain
mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks
serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat
adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar,
dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,
stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang

tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan


mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke
ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan
struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di
sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar
pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi
efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang
ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat
antie- pilepsi. Penggunaan levetirasetam sebagai obat antikonvulsan mendasar pada
ikatan dengan protein SV2A di vsikel. Efektivitas levetirasetam sebagai anti
konvulsan dapat digunakan pada penderita-penyakit susunan saraf lainnya yang tidak
berefek pada gangguan kognitif.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Epilepsi.http://medicafarma.blogspot.com/. diakses 24 september
2016
Baiquni, mulki.2010. Patofisiologi Epilepsi. http://www.scribd.com/doc/37947482/patofisiologiepilepsi diakses 17 April 2011

Eren. 2016. Farmakoterapi Epilepsi.


https://www.scribd.com/doc/304977698/FARMAKOTERAPI-EPILEPSI. Diakses pada
24 september 2016

Oktaviana, Fitri. 2008. Epilepsi. Medicinus Scientific Journal of Pharmaceutical


Development and Medical application Vol. 2,No.4 Edisi November - Desember
2008.
Sudir Purba, Jan. 2008. Epilepsi: Permasalahan di Reseptoratau Neurotransmitter.
Medicinus Scientific Journal of Pharmaceutical Development and Medical
application Vol. 2, No.4 Edisi November - Desember 2008.

FARMAKOTERAPI
EPILEPSI

OLEH :
KELOMPOK III

ULFI DWI CAHYANI


F201501069
KHARISMA ANDI PARAJA
F201501070
AMELINDA
F201501071
ELISA
F201501072
SRI RAHAYU
F201501073
ADE SAFITRI
F201501074
ANGGUN SRI RAMADANI
F201501075
AULIA AGUSMIN
F201501076
WINDA SRI WULAN
F201501077

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MANDALA WALUYA
KENDARI

Anda mungkin juga menyukai