dan
PERGERAKAN MIGRASI
Oleh :
Baiq Siti Noer Azima
Abdul Haris
Wildan Hakim
Khaerul Maidi
Faruq Awaluddin
TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM
2015
BAB I
PEMBAHASAN
A. Teori Migrasi
1. Teori Dorong-Tarik (Everet S. Lee).
Menurut Everet S. Lee migrasi dalam arti luas adalah perubahan
tempat tinggal secara permanen atau semi permanen. Disini tidak ada
pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah
1
perbedaan itu bersifat sukarela atau terpaksa. Jadi migrasi adalah gerakan
penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan ada niatan menetap di
daerah tujuan. Tanpa mempersoalkan jauh dekatnya perpindahan, mudah
atau sulit, setiap migrasi mempunyai tempat asal, tempat tujuan dan
bermacam-macam rintangan yang menghambat.. Factor jarak merupakan
factor yang selalu ada dari beberapa factor penghalang . Factor-faktor
migrasi :
a. factor-faktor yang terdapat di daerah asal.
b. factor-faktor yang terdapat di daerah tujuan.
c. factor penghalang antara.
d. factor-faktor pribadi (individu).
Dalam setiap daerah banyak sekali factor yang mempengaruhi
orang untuk menetap di suatu tempat atau menarik orang untuk pindah
ketempat itu. Beberapa factor mempunyai pengaruh yang sama terhadap
beberapa orang, sedangkan ada factor yang mempunyai pengaruh berbeda
terhadap seseorang. Perbedaan sikap antara setiap migrant dan calon
migrant terdapat factor positif dan factor negative, yang terdapat baik
ditempat asal maupun tujuan. Factor positif (+) daerah asal berarti
mempunyai daya dorong terhadap seseorang untuk pergi meninggalkan
daerah tersebut, sebaliknya factor positif di daerah tujuan berarti
mempunyai daya tarik terhadap seseorang untuk datang ke daerah
tersebut. Sedangkan factor negative (-) di daerah asal akan berfungsi
sebagai penghambat seseorang untuk pindah ke daerah lain. Begitupula
factor negative (-) di daerah tujuan adalah fajtor yang tidak disenangi oleh
seseorang, demgam demikian juga akan menghambat masuknya seseorang
ke daerah tersebut. Factor netral (0) pada dasarnya tidak berpengaruh
terhadap seseorang untuk bermigrasi.
Penilaian seseorang terhadap suatu factor tertentu dapat positif (+),
negative (-), atau netral (0). Hal ini bergantung kepada keadaan pribadi
orang tersebut yang dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman, kebutuhan
dan sifat-sifat pribadi. Begitu pula persepsi seseorang terhadap factor
penghalang berbeda-beda dengan orang lain. Beberapa jenis penghalang
adalah jarak, penghalang alami, biaya perjalanan, peraturan atau undangundang imigrasi, dan besarnya anggota keluarga.
2
penggantinya.
3. adanya perbedaan desa dengan kota akan mengakibatkan timbulnya
migrasi.
4. wanita cenderung bermigrasi ke daerah-daerah yang dekat letaknya.
5. kemajuan teknologi akan meningkatkan intensitas migrasi.
6. motif utama migrasi adalah ekonomi.
Teori-teori Ravenstein tersebut ternyata masih relevan sampai
sekarang, meskipun sudah satu abad yang lalu. Norris mengembangkan
lebih lanjut hokum ravenstein dan teori Lee, dengan memasukkan factor
kesempatan antara (intervening opportunities) yang terdapat diantara
daerah asal dan daerah tujuan. Norris berpendapat bahwa fenomena
migrasi merupakan interaksi keruangan, yaitu interaksi antara daerah asal
dan daerah tujua. Namun juga diakui akan pentingnya factor penghalang
yang terdapat diantara daerah asal dan daerah tujuan. Secara diagramatis
teori Norris dapat digambarkan sebagai berikut : Kesempatan antara
migran kembali daerah tujuan dorongan migrasi daerah asal penghalang
satu
proses
modernisasi.
Jones
juga
berpendapat
bahwa
Dalam Model ini ekonomi yang belum berkembang terdiri dari dua
sector, yaitu:
a. Sektor subsistem pertanian yang tradisional dengan ciri produktivitas
nol atau rendah sekali.
b. Sektor industri modern di kota dengan produktivitas tinggi yang mana
tenaga kerjanya merupakan transfer secara gradual dari sektor
subsistem Jumlah transfer tenaga kerja dan tingkat pertumbuhan
lapangan kerja berkaitan dengan perluasan industri. Cepatnya transfer
tenaga kerja dan pertumbuhan lapangan kerja berkaitan dengan
perluasan industri. Cepatnya transfer tenaga kerja dan pertumbuhan
lapangan kerja ini bergantung kepada besarnya investasi . diasumsikan
bahwa semua keuntungan yang diperoleh, diinvestasikan kembali, dan
upah buruh adalah tetap, dalam arti bahwa upah beruh disektor industri
lebih tinggi dari upah buruh rata-rata di sector pertanian. Dalam
keadaan seperti ini pasaran tenaga kerja yang berasal dari desa akan
sangat longgar (perfecky elastic).
6. Teori Income Harapan
Teori ini dikemukakan oleh Tadaro. Tadaro mengasumsikan bahwa
keputusan migrasi adalah merupakan fenomena ekonomi yang rasional.
Walaupun pengangguran di kota bertumpuk, tetapi postulat model tadaro
adalah bahwa seseorang yang mempunyai harapan untuk mendapatkan
income yang lebih tinggi dari pada upah di sector pertanian. Karena alasan
inilah maka sebagian orang berbondong- bondong bermigrasi untuk
mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan penghasilan lebih banyak
walaupun pada kenyataannya tidak selalu demikian.
7. Robert Norris (1972)
Menurut Robert Norris (1972), diagram yang dibuat Evereet Lee perlu
ditambahi dengan tiga komponen yaitu migrasi kembali, kesempatan antara
dan migrasi paksaan. Norris berpendapat bahwa faktor terpenting dalam
terjadinya migrasi adalah daerah asal. Di dalam digram Norris, kesempatan
antara merupakan kota-kota kecil atau sedng yang terletak antara desa
pengirim migran dan kota tujuan migrasi. Migrasi kembali adalah proses
migrasi migran kembali ke daerah asal karena berbagai alasan, semisal karena
migrant tersebut sudah sukses didaerah tujuan dan karena daerah asal
merupakan rumah pertama bagi mereka maka mereka ingin menghabiskan
5
sosial,
termasuk
keinginan
para
migran
untuk
sarana
teori
yang
merupakan
dari
para
migran
yang
berhasil.
Hal
ini
berakibat
pembangunan
mempengaruhi
variabel
kependudukan,
namun
kesejahteraan penduduk. Oleh karena itu baik secara individu maupun secara
kelompok, orang akan merespon adanya perbedaan peluang dan perbedaan
kemampuan tersebut dengan melakukan migrasi. Hal ini dapat terjadi karena
mereka yang mempunyai akses informasi akan pilihan-pilihan di daerah lain
yang dianggap mempunyai peluang lebih baik akan melakukan migrasi dari
pada harus tinggal di daerahnya. Kendati keputusan seseorang untuk pindah
adalah bervariasi, namun umumnya alasan utama adalah ekonomi.
Migrasi sebagai faktor penentu dalam distribusi penduduk telah
menyebabkan perubahan jumlah penduduk di Indonesia. Hal ini tercermin
dan data distribusi penduduk Indonesia menurut pulau besar yang
menunjukkan perubahan sebagai berikut:
1. Distribusi penduduk Indonesia tidak pernah merata.
2. Persentase penduduk di Jawa terus mengaiami penurunan.
3. Persentase penduduk di Sumatera dan di Kalimantan terus naik.
9
10
196
1961
1971
1980
1990
Pulau
1971
1980
1990
2000
Jawa
64,9
63,8
62,1
60,0
59,3
1971
-1,1
1980
-1,7
1990
-2,1
2000
-0,7
Sumatera
16,2
17,4
19,1
20,3
21,0
+1,2
+1,7
+1,2
+0,7
Kalimanta
4,2
4,3
4,6
5,1
5,4
+0,1
+0,3
+0,5
+0,3
Sulawesi
7,3
7,2
7,1
7,0
7,1
-0,1
-0,1
-0,1
-0,1
Pulau
7,4
7,3
7,1
7,6
7,2
-0,1
-0,2
+0,5
-0,4
100
100
100
100
100
(90,
(119,
(146,
(179,
(201,
lainnya
Indonesia
Sumber:Dihitung dari hasil Sensus Penduduk tahun 1961, 1971, 1980, 1990, 2000
Catatan:
5.703.037 atau 4,8 persen penduduk Indonesia bertempat tinggal di propinsi yang
berbeda dengan propinsi di mana mereka dilahirkan (lifetime migrants). Pada tahun
11
1985 baru mencapai 7 persen, dan pada tahun 2000 migrasi seumur hidup sebesar 10,1
persen. Rendahnya tingkat mobilitas tersebut tentunya dilatarbelakangi oleh kegiatan
ekonomi penduduk yang umumnya masih berbasis pertanian. sehingga mereka
terikat dengan kegiatannya, meskipun ada kelompok etnis yang tergolong mobilitasnya
tinggi yaitu Bugis, Makasar, Banjar, Madura dan Minangkabau. Penduduk dan Sulawesi
Selatan yang umumnnya adalah etnis Bugis dan etnis Makasar telah merantau ke
provinsi lain terutama daerah pesisir, mulai dan Papua sampai dengan Sumatera bagian
timur. Adapun penduduk etnis Minangkabau kebanyakan merantau ke daerah perkotaan
di provinsi luar Sumatera Barat, terutama di Jawa, Provinsi Riau dan bahkan ke
Malaysia. Fenomena orang merantau ke negeri lain untuk memperbaiki nasibnya telah
menjadi tradisi.
Hasil analisis Bandiyono (1999) berdasarkan hasil Sensus Penduduk 1990 dan
Supas 1995 menunjukkan perubahan pola migrasi berdasarkan Kawasan Barat Indonesia
(KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Perbedaan kondisi kependudukan dan
perekonomian antardaerah dapat menjadi faktor pendorong atau faktor penarik bagi
peududuk untuk melakukan mobilitas. Data Sensus Penduduk 1990 menunjukkan
bahwa ada 54 persen migran masuk KTI berasal daii provinsi-provinsi KBI. Pada tahun
80 an KTI adalah daerah utama penempatan transmigrasi,terutama menuju Irian Jaya.
Demikian pula banyak pegawai dan Bali, Jawa dan Sumatera yang ditempatkan di
Timor Timur. Sebaliknya migrasi keluar dari KTI ke KBI hanya 36 persen. Adapun pada
tahun 1995 anis migrasi masuk ke KTI turun menjadi 49 persen, dan sebaliknya aras
migrasi keluar KTI menuju KBI mengalami peningkatan menjadi 47 persen. Meskipun
ada peningkatan arus migrasi keluar dan KTI menuju KBI namun anus migrasi ke KTI
masih lebih besar.
penambahan penduduk termasuk yang tertinggi di dunia. Pada saat ini dengan
pecahnya Uni Sovyet, Indonesai menjadi Negara ke empat terpadat penduduknya di
dunia setelah RRC (sekitar 1,3 milyar), India (1 milyar), dan Amerika Serikat (270
juta).
Masalah ketenagakerjaan ini muncul antara lain karena kualitas Sumberdaya
Manusia (SDM) Indonesia sangat rendah, yang di sebabkan oleh tingkat pendidikan
penduduk dan angkatan kerja pada umumnya berpendidikan di bawah standar,
dibandingkan kualifikasi dan kompetensi yang di inginkan oleh badan usaha.
Indikator lain adalah Human Development Index (HDI) atau Indek Kualitas
Manusia yang di kembangkan oleh UNDP, melukiskan kondisi pendidikan, harapan
hidup atau kesehatan, dan tingkat pertumbuhan ekonomi masing-masing Negara.
Indeks tersebut menunjukkan bahwa kualitas SDM Indonesia semakin merosot dari
tahun ke tahun. Sempitnya lapangan kerja yang tersedia mendorong pencari tenaga
kerja khususnya tenaga kerja Indonesia (TKI) melakukan migrasi untuk mencari
hidup di Negara lain. Tingginya penghasilan/gaji yang diperoleh juga menjadi daya
dorong terjadinya migrasi tersebut (Lee dalam Adi, 1998:17).
Tenaga kerja akan pindah dari tempat dengan kapital langka dan tenaga
kerja banyak (karenanya upah rendah) ke tempat dengan kapital banyak dan tenaga
kerja langka (karenanya upah tinggi). Oleh karenanya Spengler dan Myers (1977)
dalam Wood (1982) mengemukakan migrasi dapat dipandang sebagai suatu proses
yang membantu pemerataan pembangunan yang bekerja dengan cara memperbaiki
ketidakseimbangan hasil faktor produksi antar daerah.
Migrasi yang terjadi di negara-negara sedang berkembang dipandang
memiliki efek yang sama. Namun, terdapat fenomena khusus dari migrasi di
negara-negara ini, yang diperkirakan lebih mempercepat pemerataan pembangunan.
Fenomena tersebut berbentuk transfer pendapatan ke daerah asal (baik berupa uang
ataupun barang),
Jellinek (1978) dalam Effendi (1993) menemukan bahwa remitan yang dikirimkan
para migran penjual es krim di Jakarta mencapai 50 persen dari penghasilan yang
diperolehnya.
15
dengan
sifat
mobilitas/migrasi
dari
pekerja,
terdapat
kecenderungan pada mobilitas pekerja yang bersifat permanen, remitan lebih kecil
dibandingkan dengan yang bersifat sementara (sirkuler) (Connel,1980). Hugo
(1978) dalam penelitian di 14 desa di Jawa Barat menemukan bahwa remitan
yang dikirimkan oleh migran sirkuler merupakan 47,7 persen dari pendapatan
rumah tangga di daerah asal, sedangkan pada migran permanen hanya 8,00%.
Sejalan dengan hal tersebut, besarnya remitan juga dipengaruhi oleh
lamanya migran menetap (bermigrasi) di daerah tujuan. Lucas dkk (1985)
mengemukakan bahwa semakin lama migran menetap di daerah tujuan maka akan
semakin kecil remitan yang dikirimkan ke daerah asal.
Adanya arah pengaruh yang negatif ini selain disebabkan oleh semakin
berkurangnya beban tanggungan migran di daerah asal (misalnya anak-anak migran
di daerah asal sudah mampu bekerja sendiri), juga disebabkan oleh semakin
berkurangnya ikatan sosial dengan masyarakat di daerah asal. Migran yang telah
menetap lama umumnya mulai mampu menjalin hubungan kekerabatan baru
dengan masyarakat/lingkungan di daerah tujuannya.
Tingkat pendidikan migran lebih cenderung memiliki pengaruh yang positif
terhadap remitan. Rempel dan Lobdell (1978) mengemukakan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan migran, maka akan semakin besar remitan yang
dikirimkan ke daerah asal. Hal ini pada dasarnya berkaitan dengan fungsi remitan
sebagai pembayaran kembali (repayment) investasi pendidikan yang telah
ditanamkan keluarga kepada individu migran. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan
migran menunjukkan besar kecilnya investasi pendidikan yang ditanamkan
keluarga, dan pada tahap selanjutnya berdampak pada besar kecilnya "repayment"
yang diwujudkan dalam remitan.
16
keberagaman
tujuan
remitan
ini,
namun
demikian
dapat
daerah asal pada saat diadakan peringatan hari-hari besar yang berhubungan dengan
siklus hidup manusia, misalnya kelahiran, perkawinan, dan kematian. Menurut
Curson (1983) pada saat itulah, jumlah remitan yang dikirim atau ditinggalkan lebih
besar daripada hari-hari biasa.
c. Investasi
Bentuk investasi adalah perbaikan dan pembangunan perumahan, membeli
tanah, mendirikan industri kecil, dan lain-lainnya. Kegiatan ini tidak hanya
bersifat ekonomi, tetapi juga sebagai sarana sosial dan budaya dalam menjaga
kelangsungan hidup di daerah asal, tetapi juga bersifat psikologis, karena erat
hubungannya dengan prestise seseorang.
Effendi (1993) dalam penelitiannya di tiga desa Jatinom, Klaten menemukan
bahwa remitan telah digunakan untuk modal usaha pada usaha-usaha skala kecil
seperti pertanian jeruk, peternakan ayam, perdangan dan bengkel sepeda.
d. Jaminan hari tua
Migran mempunyai keinginan, jika mereka mempunyai cukup uang atau
sudah pensiun, mereka akan kembali ke daerah asal. Hal ini erat kaitannya dengan
fungsi investasi, mereka akan membangun rumah atau membeli tanah di daerah asal
sebagai simbol kesejahteraan, prestisius, dan kesuksesan di daerah rantau. Lee
(1992) mengemukakan bahwa berbagai pengalaman baru yang diperoleh di tempat
tujuan, apakah itu keterampilan
menyebabkan
orang
khusus
atau
kekayaan,
sering
dapat
definisi di sini juga perpindahan pengungsi, orang yang kehilangan tempat tinggal,
migran ilegal dan juga migran ekonomi. Diperkirakan terdapat sekitar 214 juta orang
tinggal di luar negara pengirim atau daerah asalnya.
Perkembangan teknologi telekomunikasi dan transportasi tak pelak membuat
masyarakat dunia menjadi lintas batas, atau dalam bahasa Kenichi Ohmae (1999),
borderless society. Periode modern perpindahan manusia ditandai tidak hanya semakin
tingginya angka migrasi manusia lintas batas negara, tetapi juga pertumbuhan
signifikan migrasi dalam secara ekonomis, sosial, kultural, dan politik (Castles dan
Miller 2009 dalam Heywood 2011). Perdagangan dunia yang meniscayakan
perpindahan modal, barang, dan jasa juga mengikutsertakan perpindahan manusia.
Dengan semakin derasnya arus informasi yang masuk dan semakin mudahnya
akses transportasi mendorong arus perpindahan manusia menjadi semakin massif.
Laporan dari IOM menyebutkan bahwa hingga hari ini terdapat 214 juta migran
internasional, meningkat lebih dua kali lipat dari sebelumnya tahun 1975 sebanyak 85
juta orang. Ini berarti 1 dari 35 orang di dunia ini adalah migran. Angka sebesar ini
merepresentasikan 3 % dari keseluruhan populasi dunia.
Castells dan Miller (2003 dalam Krally 2008) mengidentifikasi lima
kecenderungan umum perpindahan manusia kontemporer. Pertama adalah perpindahan
manusia kontemporer melibatkan sejumlah besar negara, baik sebagai negara pengirim
maupun penerima. Fenomena ini bisa disebut globalization of migrations. Kedua arus
perpindahan manusia diprediksi akan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ketiga,
migrasi internasional tidak memiliki pola sama, seperti adanya migrasi musiman
disamping migrasi permanen. Keempat tidak seperti di masa lalu yang hanya
melibatkan laki-laki, di era sekarang, migrasi juga dilakukan oleh kaum hawa. Kelima,
akibat-akibat yang ditimbulkan migrasi internasional menjadi isu politik di banyak
negara.Imigrasi dalam jumlah besar dan berkelanjutan akan merubah komposisi
demografis negara penerima. Imigran yang awalnya datang sebagai pekerja atau
pengungsi tidak mau kembali ke negara asalnya. Mereka lebih memilih tetap tinggal di
host country selepas kontrak kerja mereka selesai. Mereka yang tinggal dalam waktu
19
21
migrasi
Turki
ke
Eropa
dimulai
pada
tahun
1963,
dengan
Pada gelombang pertama, sekitar 7 ribu pekerja Turki pergi menuju Jerman.
Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki berusia antara 20 sampai 35 yang datang sendiri
tanpa keluarga. Pada periode antara 1963-1966 total sekitar 180.000 pekerja Turki
kemudian menyusul ke Jerman Barat, sebagian kecil lainnya ke Belgia, Belanda dan
Austria. Pada tahun 1966-1967 pemerintah Jerman menghentikan perekrutan pekerja
migran menyusul krisis ekonomi. Krisis ini kemudian mendorong banyak pekerja Turki
yang memutuskan kembali ke negaranya.
Namun, setelah tahun 1968, migrasi tenaga kerja dari Turki ke Eropa Barat terus
tumbuh hingga mencapai 525.000 pekerja, 80% di antaranya bermigrasi ke Jerman.
Setelah periode ini, arus migrasi didominasi oleh migrasi dari anggota keluarga dari
guestworker. Pada tahun 1974, reunifikasi keluarga meningkat menyebabkan satu juta
penduduk kebangsaan Turki menetap di Jerman, dengan hanya 600.000 yang merupakan
pekerja. Besarnya arus migrasi dalam proses reunifikasi tersebut salah satunya juga
didorong instabilitas ekonomi dan politik dalam negeri Turki. Faktor tersebut membuat
keluarga dari pekerja migran Turki memilih menyusul ke Jerman.
Kebijakan pemerintah Jerman yang sebenarnya menghendaki pekerja Turki
bekerja secara temporal kemudian berkembang menjadi permanen. Sebenarnya
pemerintah Jerman telah berusaha memulangkan warga Turki ke negara asalnya melalui
program Return and Emigration of Assylum Seekers (READ). Namun absennya
mekanisme insentif ditambah dengan mudahnya peraturan untuk pengajuan izin tempat
tinggal, membuat imigran Turki memilih untuk tetap tinggal di Jerman. Guestworker
Turki kemudian berkembang menjadi Inlander Jerman.
Sementara itu, sebagai akibat dari reunifikasi keluarga pekerja yang terus
berkelanjutan dan tingkat kelahiran yang tinggi di kalangan imigran Turki, total
penduduk Turki di Eropa meningkat menjadi 3 juta orang di awal 2000-an, dengan
Jerman menjadi tuan rumah terbanyak, yaitu sekitar 2 juta orang. Dari jumlah tersebut,
hanya 732.000 yang menjadi pekerja. Dengan jumlah sebesar itu, ekspatriat Turki di
Eropa menyumbang 5% dari keseluruhan populasi nasional (Icduygu, 2004 dalam BAMF
2005.).
24
cenderung tidak berubah sejak tahun 1971 sampai tahun 1995 atau penurunan
persentase yang terjadi relatif kecil. Berbeda dengan Pulau Sulawesi, arus migran
yang keluar dari pulau ini hampir tersebar secara merata ke pulau-pulau lain dan
kecenderungan ini berjalan sejak tahun 1971 yang berlangsung secara terus
sampai tahun 1995.
Dapat dimaklumi mengapa Pulau Jawa sebagai pulau yang menjadi daerah
tujuan utama migran dari pulau-pulau yang lain karena pulau ini merupakan
tempat pusat perekonomian, pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat
kegiatan-kegiatan sosial ekonomi lainnya, sehingga penduduk dari pulau-pulau di
luar Jawa ingin menetap (tinggal) di Pulau Jawa.
b. Migrasi Semasa Hidup Antar Provinsi
Pola dan arus migrasi seumur hidup per propinsi sangat bervariasi dan
besarnya tidak selalu sama antara satu propinsi dengan propinsi lain. Secara
umum propinsi-propinsi di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara merupakan propinsipropinsi pengirim migran, baik pada tabun 1971 1980, 1990 maupun pada tahun
1995 kecuali DKI Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat dan Timor Timur.
DKI Jakarta sejak tahun 1971 hingga pada tahun 1995 merupakan propinsi
penerima migran. Sedangkan Jawa Barat pada tahun 1971 dan 1980 merupakan
propinsi pengirim migran, tetapi pada tahun 1990 dan 1995 menjadi propinsi
penerima migran.
Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian sejak tahun 1971 hingga
tahun 1990 DKI Jakarta adalah propinsi yang paling banyak didatangi oleh
migran, dengan jumlahnya yang semakin membesar dari tahun ke tahun. Pada
tahun 1971 DKI Jakarta menerima sekitar 1,8 juta migran, tahun 1980 menerima
sekitar 2,6 juta migran, tahun 1990 menerima 3,1 juta migran dan pada tahun
1995 menerima 3,4 juta migran. Jika dilihat asal migran yang ke DKI Jakarta,
yang paling banyak adalah migran yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Pada tahun 1990 clan 1995. Dan sisanya adalah berasal dari 24 propinsi lainnya
yang persentasenya relatif kecil. Propinsi kedua terbesar yang didatangi migran
26
pada tahun 1990 adalah Jawa Barat, dengan jumlah migran sebesar 2,4 juta orang.
Selanjutnya hasil SUPAS95 menunjukkan bahwa dengan jumlah migran masuk
sebesar 3,6 juta orang. Propinsi Jawa Barat telah menggeser kedudukan DKI
Jakarta sebagai penerima migran terbesar. Migran yang masuk ke Jawa Barat ini
sebagian besar berasal dari propinsi tetangganya yaitu Jawa Tengah dan DKI
Jakarta dengan persentase masing-masing sebesar 30,25 persen dan 35,09 persen
pada tahun 1995.
Pada tahun 1971 dan 1980 Lampung merupakan merupakan propinsi
kedua terbesar yang menjadi daerah tujuan migran dengan jumlah migran tidak
kurang dari 1 juta orang pada tahun 1971 dan 1,8 juta migran pada tahun 1980
masuk ke propinsi ini. Tetapi pada tahun 1990 dan 1995, Lampung tergeser oleh
Jawa Barat menjadi propinsi ketiga terbesar yang didatangi oleh migran.
Walaupun demikian dalam jumlah absolut sebagai penerima migran, Lampung
tetap merupakan propinsi penerima migran terbesar di luar Pulau Jawa sejak
tahun 1971. Hal ini dapat mengerti karena Lampung rnerupakan daerah tujuan
transmigrasi terbesar di Indonesia pada saat itu. Pada tahun 1971 Lampung
menerima tidak kurang dari 1 juta migran, yang kemudian meningkat menjadi 1,7
juta orang pada tahun 1980 dan 1990, dan hampir 2 juta orang pada tahun 1995.
Ada tiga propinsi yang merupakan propinsi asal sebagian besar migran masuk ke
Lampung, yaitu Jawa Tengah (33,50%), Jawa Timur (28,20%) dan Jawa Barat
(13,35%).
2. Pola dan Arus Migrasi Dalam Skala Internasional
Penelitian M.Arif Nasution, 1997; tentang Aliran Pekerja Indonesia ke
Malaysia (Arus migrasi pekerja Indonesia ke Malaysia) yang bertujuan untuk
mengkaji aspek sejarah, proses kemasukan, penyesuaian di kawasan tujuan, serta
kesannya terhadap masyarakat Malaysia dan Indonesia. Survey dilakukan
terhadap 300 pekerja dalam sektor pembinaan (baca: pekerja buruh bangunan) di
Kuala Lumpur. Intisari temuan studinya itu dapat dikutip kembali sebagai berikut;
... kemasukan migran Indonesia ke Malaysia telah berlaku sejak sebelum abad
27
19, terutama wujudnya hubungan antara beberapa kerajaan di waktu itu, pengaruh
penyebaran
agama
Islam
dan
impak
daripada
proses
pembangunan
29
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
http://dokumen.tips/documents/teori-teori-migrasi-ibnu.html
http://panjinurrahmat.blogspot.co.id/2009/10/review-beberapa-teori-migrasi.html
https://drsuryaperdana.files.wordpress.com/2015/02/kependudukan.pdf
http://ahmad_m-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-67268-Umum-Globalisasi%20dan
%20Migrasi:%20Problematika%20Integrasi%20Imigran%20Turki%20ke%20dalam
%20Masyarakat%20Jerman.html
5. http://adetiapunya.blogspot.co.id/2012/05/migrasi-penduduk.html
6. http://soddis.blogspot.co.id/2015/04/penelitian-migrasi-internasional-di.html
30