Anda di halaman 1dari 30

TEORI MIGRASI, FENOMENA MIGRASI

dan
PERGERAKAN MIGRASI

Oleh :
Baiq Siti Noer Azima
Abdul Haris
Wildan Hakim
Khaerul Maidi
Faruq Awaluddin
TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM
2015
BAB I
PEMBAHASAN
A. Teori Migrasi
1. Teori Dorong-Tarik (Everet S. Lee).
Menurut Everet S. Lee migrasi dalam arti luas adalah perubahan
tempat tinggal secara permanen atau semi permanen. Disini tidak ada
pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah
1

perbedaan itu bersifat sukarela atau terpaksa. Jadi migrasi adalah gerakan
penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan ada niatan menetap di
daerah tujuan. Tanpa mempersoalkan jauh dekatnya perpindahan, mudah
atau sulit, setiap migrasi mempunyai tempat asal, tempat tujuan dan
bermacam-macam rintangan yang menghambat.. Factor jarak merupakan
factor yang selalu ada dari beberapa factor penghalang . Factor-faktor
migrasi :
a. factor-faktor yang terdapat di daerah asal.
b. factor-faktor yang terdapat di daerah tujuan.
c. factor penghalang antara.
d. factor-faktor pribadi (individu).
Dalam setiap daerah banyak sekali factor yang mempengaruhi
orang untuk menetap di suatu tempat atau menarik orang untuk pindah
ketempat itu. Beberapa factor mempunyai pengaruh yang sama terhadap
beberapa orang, sedangkan ada factor yang mempunyai pengaruh berbeda
terhadap seseorang. Perbedaan sikap antara setiap migrant dan calon
migrant terdapat factor positif dan factor negative, yang terdapat baik
ditempat asal maupun tujuan. Factor positif (+) daerah asal berarti
mempunyai daya dorong terhadap seseorang untuk pergi meninggalkan
daerah tersebut, sebaliknya factor positif di daerah tujuan berarti
mempunyai daya tarik terhadap seseorang untuk datang ke daerah
tersebut. Sedangkan factor negative (-) di daerah asal akan berfungsi
sebagai penghambat seseorang untuk pindah ke daerah lain. Begitupula
factor negative (-) di daerah tujuan adalah fajtor yang tidak disenangi oleh
seseorang, demgam demikian juga akan menghambat masuknya seseorang
ke daerah tersebut. Factor netral (0) pada dasarnya tidak berpengaruh
terhadap seseorang untuk bermigrasi.
Penilaian seseorang terhadap suatu factor tertentu dapat positif (+),
negative (-), atau netral (0). Hal ini bergantung kepada keadaan pribadi
orang tersebut yang dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman, kebutuhan
dan sifat-sifat pribadi. Begitu pula persepsi seseorang terhadap factor
penghalang berbeda-beda dengan orang lain. Beberapa jenis penghalang
adalah jarak, penghalang alami, biaya perjalanan, peraturan atau undangundang imigrasi, dan besarnya anggota keluarga.
2

2. Teori Gravitasi Zipl Zipl (dalam jones 1981,214)


Mengemukakan suatu model gravitasi klasik dalam kaitannya
dengan migrasi. Dikatakan bahwa jumlah migran di antara dua tempat
adalah berbanding lurus dengan hasil kali jumlah penduduk dua tempat
tersebut dan berbanding terbalik dengan jarak transportasi terpendek
antara dua tempat itu. Secara matematis formula zipf adalah sebagai
berikut :
Pi . Pj Mij = K Dij
Dimana :
Mij = jumlah migran suatu tempat antara
i-j Pi = Jumlah penduduk tempat
i Pj = Jumlah penduduk tempat
j D = Jarak transportasi terdekat antara tempat i dan j.
Lowry dan rogers (dalam jones 1981, 214) mengadakan modifikasi
formula Zipf dengan memasukkan unsure pendapatan perkapita, tingkat
pengangguran dan jumlah angkatan kerja, sehingga formula itu seperti
tersebut dibawah ini : Ui WSi LFi . LFj Mij = k . . Ui WSj Dij Dimana :
Mij = jumlah migran suatu tempat I ke j U = tingkat pengangguran LF =
angkatan kerja WS = income perkapita Dij = jarak antara tempat I dan j
Teori Zipf serta Lowry dan Rogers yang matematis itu hanya
dipergunakan untuk menghitung jumlah migran antara dua tempat. Namun
begitu teori ini mangabaikan factor yang penting artinya bagi intensitas
migrasi yaitu informasi daerah tujuan dan hubungan dengan kawan atau
famili yang telah tinggal lebih dahulu di daerah tujuan. Untuk Indonesia
hal ini sangat besar peranannya sebab beradanya kawan atau famili di
daerah tujuan mendorong seseorang untuk meninggalkan daerahnya.
3. Teori Gravitasi Ravenstein pada tahun 1889

Menguraikan pendapatnya tentang migrasi yang disusun dalam


hukum-hukum migrasi yang terkenal sampai sekarang. diantaranya
adalah :
1. semakin jauh jarak, semakin berkurang volume migran. Teori ini
2.

dikenal sebagai distance-decay theory.


setiap arus migrasi yang benar, akan menimbulkan arus balik sebagai

penggantinya.
3. adanya perbedaan desa dengan kota akan mengakibatkan timbulnya
migrasi.
4. wanita cenderung bermigrasi ke daerah-daerah yang dekat letaknya.
5. kemajuan teknologi akan meningkatkan intensitas migrasi.
6. motif utama migrasi adalah ekonomi.
Teori-teori Ravenstein tersebut ternyata masih relevan sampai
sekarang, meskipun sudah satu abad yang lalu. Norris mengembangkan
lebih lanjut hokum ravenstein dan teori Lee, dengan memasukkan factor
kesempatan antara (intervening opportunities) yang terdapat diantara
daerah asal dan daerah tujuan. Norris berpendapat bahwa fenomena
migrasi merupakan interaksi keruangan, yaitu interaksi antara daerah asal
dan daerah tujua. Namun juga diakui akan pentingnya factor penghalang
yang terdapat diantara daerah asal dan daerah tujuan. Secara diagramatis
teori Norris dapat digambarkan sebagai berikut : Kesempatan antara
migran kembali daerah tujuan dorongan migrasi daerah asal penghalang

4. Teori migrasi menurut Jones (1981, 25)


Dalam bukunya Jones mendiskripsikan bahwa migrasi merupakan
salah

satu

proses

modernisasi.

Jones

juga

berpendapat

bahwa

meningkatnya modernisasi tidak saja akan menarik penduduk dari daerah


lain tetapi juga akan mempertinggi motivasi penduduk di daerah itu untuk
bermigrasi, karena semakin meningkatnya pendidikan sarana transportasi
dan komunikasi. Hal ini terjadi karena untuk bermigrasi sarananya
semakin mudah dengan adanya perkembangan di bidang teknologi
transportasi dan juga teknologi komunikasi.
5. Teori Lewis-Fei-Ranis
4

Dalam Model ini ekonomi yang belum berkembang terdiri dari dua
sector, yaitu:
a. Sektor subsistem pertanian yang tradisional dengan ciri produktivitas
nol atau rendah sekali.
b. Sektor industri modern di kota dengan produktivitas tinggi yang mana
tenaga kerjanya merupakan transfer secara gradual dari sektor
subsistem Jumlah transfer tenaga kerja dan tingkat pertumbuhan
lapangan kerja berkaitan dengan perluasan industri. Cepatnya transfer
tenaga kerja dan pertumbuhan lapangan kerja berkaitan dengan
perluasan industri. Cepatnya transfer tenaga kerja dan pertumbuhan
lapangan kerja ini bergantung kepada besarnya investasi . diasumsikan
bahwa semua keuntungan yang diperoleh, diinvestasikan kembali, dan
upah buruh adalah tetap, dalam arti bahwa upah beruh disektor industri
lebih tinggi dari upah buruh rata-rata di sector pertanian. Dalam
keadaan seperti ini pasaran tenaga kerja yang berasal dari desa akan
sangat longgar (perfecky elastic).
6. Teori Income Harapan
Teori ini dikemukakan oleh Tadaro. Tadaro mengasumsikan bahwa
keputusan migrasi adalah merupakan fenomena ekonomi yang rasional.
Walaupun pengangguran di kota bertumpuk, tetapi postulat model tadaro
adalah bahwa seseorang yang mempunyai harapan untuk mendapatkan
income yang lebih tinggi dari pada upah di sector pertanian. Karena alasan
inilah maka sebagian orang berbondong- bondong bermigrasi untuk
mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan penghasilan lebih banyak
walaupun pada kenyataannya tidak selalu demikian.
7. Robert Norris (1972)
Menurut Robert Norris (1972), diagram yang dibuat Evereet Lee perlu
ditambahi dengan tiga komponen yaitu migrasi kembali, kesempatan antara
dan migrasi paksaan. Norris berpendapat bahwa faktor terpenting dalam
terjadinya migrasi adalah daerah asal. Di dalam digram Norris, kesempatan
antara merupakan kota-kota kecil atau sedng yang terletak antara desa
pengirim migran dan kota tujuan migrasi. Migrasi kembali adalah proses
migrasi migran kembali ke daerah asal karena berbagai alasan, semisal karena
migrant tersebut sudah sukses didaerah tujuan dan karena daerah asal
merupakan rumah pertama bagi mereka maka mereka ingin menghabiskan
5

masa hidupnya kembali di daerah asal. Sedangkan alasan lainnya misalnya


karena migran tersebut tidak dapat menyesuaikan dan mendapatkan apa yang
dia inginkan di kota tujuan maka migran tersebut akan kembali ke daerah asal.
Yang dimaksud dengan migrasi terpaksa adalah migrasi yang dilakukan
karena keadaan darurat semisal terjadinya perang ataupun bencana alam.
8. Todaro (1998)
Todaro (1998) menyatakan migrasi merupakan suatu proses yang sangat
selektif
mempengaruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi, sosial, pendidikan
dan demografi tertentu, maka pengaruhnya terhadap faktor-faktor ekonomi
dan non ekonomi dari masing-masing individu juga bervariasi. Variasi
tersebut tidak hanya terdapat pada arus migrasi antar wilayah pada negara
yang sama, tetapi juga pada migrasi antar negara. Beberapa faktor non
ekonomis yang mempengaruhi keinginan seseorang melakukan migrasi
adalah:
a. Faktor-faktor

sosial,

termasuk

keinginan

para

migran

untuk

melepaskan dari kendala-kendala tradisional yang terkandung dalam


organisasi-organisasi sosial yang sebelumnya mengekang mereka.
b. Faktor-faktor fisik, termasuk pengaruh iklim dan bencana
meteorologis, seperti banjir dan kekeringan.
c. Faktor-faktor demografi, termasuk penurunan tingkat kematian yang
kemudian mempercepat laju pertumbuhan penduduk suatu tempat.
d. Faktor-faktor kultural, termasuk pembinaan kelestarian hubungan
keluarga besar yang berada pada tempat tujuan migrasi
e. Faktor-faktor komunikasi, termasuk kualitas seluruh

sarana

transportasi, sistem pendidikan yang cenderung berorientasi pada


kehidupan kota dan dampak-dampak modernisasi yang ditimbulkan
oleh media massa atau media elektronik.
9. Teori E.G. Ravenstein
E.G. Ravenstein mengemukakan tujuh

teori

yang

merupakan

penggenerasian dari migrasi, adalah :


a. Migrasi dan jarak, artinya (a) banyak migran pada jarak yang dekat, dan (b)
migran jarak jauh lebih tertuju ke pusat-pusat perdagangan dan industri yang
penting
b. Migrasi Bertahap, artinya (a) adanya arus migrasi yang terarah, dan (b)
adanya migrasi dari desa-kota kecil-kota besar
c. Arus dan Arus Balik, artinya setiap arus migrasi utama menimbulkan arus
balik penggantiannya
6

d. Perbedaan antara desa dan kota mengenai kecenderungan melakukan


migrasi.
e. Wanita melakukan nigrasi pada jarak yang dekat dibandingkan pria
f. Teknologi dan migrasi, artinya bahwa teknologi menyebabkan migrasi
meningkat
g. Motif ekonomi merupakan dorongan utama orang melakukan migrasi.
10. Teori The System of Migration dari A.L Mabogunje
Menurut Mabogunje ( 1970 ) hubungan migran dengan desa dapat dilihat
dari materi informasi yang mengalir dari kota atau daerah tujuan ke desa asal.
Jenis informasi itu bersifat positif dan negatif. Informasi positif biasanya
datang

dari

para

migran

yang

berhasil.

Hal

ini

berakibat

a.Stimulus untuk pindah semakin kuat di kalangan migran potensial di desa.


b.Pranata sosial yang mengontrol mengalirnya warga desa ke luar semakin
longgar.
c.Arah pergerakan penduduk tertuju ke kota-kota atau daerah tertentu.
d.Perubahan pola investasi dan pemilikan tanah di desa karena tanah mulai
dilihat sebagai suatu komoditi pasar.
Sementara itu informasi negatif biasanya datang dari para migran yang
gagal atau kurang berhasil sehingga mengakibatkan dampak sebaliknya.
Namun sebagian besar migran yang gagal memiliki gengsi yang besar ketika
harus mengatakan mereka gagal di daerah perantauan, sehingga informasi
positif lebih mudah menyebar daripada informasi negatif.
Mabogunje melihat bahwa kontribusi migran terdahulu di kota sangat
besar dalam membantu migran baru yang berasal dari desa atau daerah yang
sama dengan mereka, terutama pada tahap-tahap awal dari mekanisme
penyesuaian diri di daerah tujuan. Hal ini menyebabkan lapangan pekerjaan
tertentu di suatu kota atau daerah sering didominasi oleh migran yang berasal
dari desa atau daerah tertentu pula karena proses mencari pekerjaan itu
biasanya berkisar antar relasi migran sedaerah juga.
A. Fenomena Migrasi
1. Fenomena Migrasi Dalam Skala Nasional
Para pakar dan pemerhati masalah kependudukan menyadani bahwa ada
hubungan timbal balik antara pembangunan dengan kependudukan. Di satu
pihak

pembangunan

mempengaruhi

variabel

kependudukan,

namun

sebaliknya variabel kependudukan mempengaruhi pembangunan. Migrasi


sebagai komponen kunci dalam dinamika penduduk telah mengakibatkan
berbagai perubahan dalam masyarakat misalnya perubahan komposisi
7

penduduk, dan perubahan tingkat pertumbuhan penduduk. Sebagai contoh, di


Batam dan Bontang-Sangatta sebagai daerah kawasan investasi industry telah
menimbulkan dampak masuknya arus migrasi tenaga kerja dari berbagai
daerah di Indonesia, bahkan luar negeri ke daerah tersebut dalam jumlah yang
besar. Penduduk kawasan tersebut lantas tumbuh dengan pesat. Adapun
masuknya sejumlah migran yang kurang selektif ke daerah tersebut telah
menimbulkan permukiman kumuh, sehingga telah mempengaruhi ketertiban
lingkungan sehingga pada gilirannya telah mempengaruhi kenyamanan iklim
investasi.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang mempunyai wilayah yang luas
dan terletak di daerah tropika, di samping mempunyai keuntungan berupa
kekayaan sumberdaya alami yang potensial, juga memiliki jumlah penduduk
terbesar ke empat di dunia, dan mempunyai jumlah etnis yang paling besar,
kurang lebih sebanyak 360. Indonesia merupakan salah satu anggota warga
dunia yang tidak dapat menghindar dari arus globalisasi. Globalisasi berarti
bukan hanya arus modal, produk, teknologi dan informasi yang akan
bertambah besar masuk ke Indonesia, tetapi juga arus manusia. Hal ini berarti
bahwa Indonesia mempunyai peluang dan tantangan internal dan internasional
untuk pembangunan.
Di Indonesia baik potensi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia
yang ternyata tidak merata untuk semua daerah sehingga telah menimbulkan
perbedaan kemampuan antara daerah satu dengan daerah yang lain. Pulau
Jawa yang hanya mempunyai luas 6,9 persen dari luas daratan Indonesia
namun mempunyai penduduk hampir duapertiganya. Ketimpangan distribusi
penduduk tersebut tidak mengalami perubahan yang berarti dalam empat
dasawarsa terakhir. Persentase penduduk di Pulau Jawa hanya mengalami
penurunan dan 64, 9 persen pada tahun 1961 menjadi 59, 3 persen pada tahun
2000. Persentase penduduk

yang tinggal di luar Jawa dengan sendirinya mengalaini penambahan dan


35,1 persen menjadi 40,7 persen pada kurun waktu yang sama. Penurunan
proporsi penduduk di Pulan Jawa tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama
angka pertambahan penduduk alami di Jawa lebih rendah daripada
pertambahan penduduk alami di luar Jawa, kedua karena perpindahan
penduduk ke luar Jawa lebih besar daripada yang masuk ke Pulau Jawa
(migrasi netto negatif). Oleh karena itu angka kepadatan penduduk di Pulan
Jawa jauh lebih tinggi daripada kepadatan penduduk di luar Jawa. Pada tahun
2000, kepadatan penduduk di Pulau Jawa telah mencapai di atas 870
sedangkan di luar Jawa kepadatan penduduknya baru mencapai 47 jiwa per
kilometer persegi.
Perbedaan tersebut tentunya merefleksikan perbedaan kondisi ekologis
sehingga mempengaruhi kemampuan daya tampung terutama dalam
menyediakan kebutuhan pangan. Distribusi penduduk antarwilayah yang
belum seimbang dikaitkan dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungan alam maupun

buatan tentunya berkatian erat dengan

kesejahteraan penduduk. Oleh karena itu baik secara individu maupun secara
kelompok, orang akan merespon adanya perbedaan peluang dan perbedaan
kemampuan tersebut dengan melakukan migrasi. Hal ini dapat terjadi karena
mereka yang mempunyai akses informasi akan pilihan-pilihan di daerah lain
yang dianggap mempunyai peluang lebih baik akan melakukan migrasi dari
pada harus tinggal di daerahnya. Kendati keputusan seseorang untuk pindah
adalah bervariasi, namun umumnya alasan utama adalah ekonomi.
Migrasi sebagai faktor penentu dalam distribusi penduduk telah
menyebabkan perubahan jumlah penduduk di Indonesia. Hal ini tercermin
dan data distribusi penduduk Indonesia menurut pulau besar yang
menunjukkan perubahan sebagai berikut:
1. Distribusi penduduk Indonesia tidak pernah merata.
2. Persentase penduduk di Jawa terus mengaiami penurunan.
3. Persentase penduduk di Sumatera dan di Kalimantan terus naik.
9

4. Persentase penduduk di Sulawesi mengalami penurunan, kecuali pada


periode 1990-2000.
5. Persentase penduduk di pulau lainnya mengalami penurunan, kecuali
pada periode 1980- 1990.

10

a. Distribusi Penduduk Di Indonesia 1961-2000


Persentase terhadap penduduk

Perubahan dalam persentase

196

1961

1971

1980

1990

Pulau

1971

1980

1990

2000

Jawa

64,9

63,8

62,1

60,0

59,3

1971
-1,1

1980
-1,7

1990
-2,1

2000
-0,7

Sumatera

16,2

17,4

19,1

20,3

21,0

+1,2

+1,7

+1,2

+0,7

Kalimanta

4,2

4,3

4,6

5,1

5,4

+0,1

+0,3

+0,5

+0,3

Sulawesi

7,3

7,2

7,1

7,0

7,1

-0,1

-0,1

-0,1

-0,1

Pulau

7,4

7,3

7,1

7,6

7,2

-0,1

-0,2

+0,5

-0,4

100

100

100

100

100

(90,

(119,

(146,

(179,

(201,

lainnya
Indonesia

Sumber:Dihitung dari hasil Sensus Penduduk tahun 1961, 1971, 1980, 1990, 2000
Catatan:

sensus penduduk 1980 dan 1990, termasuk Timor Timur, Sensus

Penduduk 2000, tidak termasuk Timor Timur

Meskipun usaha untuk melakukan redistribusi penduduk di Indonesia sudah


dilaksanakan sejak pemerintahan Hindia-Belanda baik secara langsung maupun secara
tidak langsung namun apabila dilihat dan segi demografi tingkat migrasi seumur hidup
di Indonesia masih rendah. Hasil Sensus

1971 menunjukkan bahwa hanya ada

5.703.037 atau 4,8 persen penduduk Indonesia bertempat tinggal di propinsi yang
berbeda dengan propinsi di mana mereka dilahirkan (lifetime migrants). Pada tahun
11

1985 baru mencapai 7 persen, dan pada tahun 2000 migrasi seumur hidup sebesar 10,1
persen. Rendahnya tingkat mobilitas tersebut tentunya dilatarbelakangi oleh kegiatan
ekonomi penduduk yang umumnya masih berbasis pertanian. sehingga mereka
terikat dengan kegiatannya, meskipun ada kelompok etnis yang tergolong mobilitasnya
tinggi yaitu Bugis, Makasar, Banjar, Madura dan Minangkabau. Penduduk dan Sulawesi
Selatan yang umumnnya adalah etnis Bugis dan etnis Makasar telah merantau ke
provinsi lain terutama daerah pesisir, mulai dan Papua sampai dengan Sumatera bagian
timur. Adapun penduduk etnis Minangkabau kebanyakan merantau ke daerah perkotaan
di provinsi luar Sumatera Barat, terutama di Jawa, Provinsi Riau dan bahkan ke
Malaysia. Fenomena orang merantau ke negeri lain untuk memperbaiki nasibnya telah
menjadi tradisi.
Hasil analisis Bandiyono (1999) berdasarkan hasil Sensus Penduduk 1990 dan
Supas 1995 menunjukkan perubahan pola migrasi berdasarkan Kawasan Barat Indonesia
(KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Perbedaan kondisi kependudukan dan
perekonomian antardaerah dapat menjadi faktor pendorong atau faktor penarik bagi
peududuk untuk melakukan mobilitas. Data Sensus Penduduk 1990 menunjukkan
bahwa ada 54 persen migran masuk KTI berasal daii provinsi-provinsi KBI. Pada tahun
80 an KTI adalah daerah utama penempatan transmigrasi,terutama menuju Irian Jaya.
Demikian pula banyak pegawai dan Bali, Jawa dan Sumatera yang ditempatkan di
Timor Timur. Sebaliknya migrasi keluar dari KTI ke KBI hanya 36 persen. Adapun pada
tahun 1995 anis migrasi masuk ke KTI turun menjadi 49 persen, dan sebaliknya aras
migrasi keluar KTI menuju KBI mengalami peningkatan menjadi 47 persen. Meskipun
ada peningkatan arus migrasi keluar dan KTI menuju KBI namun anus migrasi ke KTI
masih lebih besar.

b. Fenomena Ketenaga Kerjaan


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Indonesia tahun
2004 kurang lebih 217 juta jiwa, dengan tingkat partumbuhan penduduk yang sangat
tinggi yaitu sekitar 1,7 persen/tahun. Hal ini menyebabkan kecenderungan
12

penambahan penduduk termasuk yang tertinggi di dunia. Pada saat ini dengan
pecahnya Uni Sovyet, Indonesai menjadi Negara ke empat terpadat penduduknya di
dunia setelah RRC (sekitar 1,3 milyar), India (1 milyar), dan Amerika Serikat (270
juta).
Masalah ketenagakerjaan ini muncul antara lain karena kualitas Sumberdaya
Manusia (SDM) Indonesia sangat rendah, yang di sebabkan oleh tingkat pendidikan
penduduk dan angkatan kerja pada umumnya berpendidikan di bawah standar,
dibandingkan kualifikasi dan kompetensi yang di inginkan oleh badan usaha.
Indikator lain adalah Human Development Index (HDI) atau Indek Kualitas
Manusia yang di kembangkan oleh UNDP, melukiskan kondisi pendidikan, harapan
hidup atau kesehatan, dan tingkat pertumbuhan ekonomi masing-masing Negara.
Indeks tersebut menunjukkan bahwa kualitas SDM Indonesia semakin merosot dari
tahun ke tahun. Sempitnya lapangan kerja yang tersedia mendorong pencari tenaga
kerja khususnya tenaga kerja Indonesia (TKI) melakukan migrasi untuk mencari
hidup di Negara lain. Tingginya penghasilan/gaji yang diperoleh juga menjadi daya
dorong terjadinya migrasi tersebut (Lee dalam Adi, 1998:17).
Tenaga kerja akan pindah dari tempat dengan kapital langka dan tenaga
kerja banyak (karenanya upah rendah) ke tempat dengan kapital banyak dan tenaga
kerja langka (karenanya upah tinggi). Oleh karenanya Spengler dan Myers (1977)
dalam Wood (1982) mengemukakan migrasi dapat dipandang sebagai suatu proses
yang membantu pemerataan pembangunan yang bekerja dengan cara memperbaiki
ketidakseimbangan hasil faktor produksi antar daerah.
Migrasi yang terjadi di negara-negara sedang berkembang dipandang
memiliki efek yang sama. Namun, terdapat fenomena khusus dari migrasi di
negara-negara ini, yang diperkirakan lebih mempercepat pemerataan pembangunan.
Fenomena tersebut berbentuk transfer pendapatan ke daerah asal (baik berupa uang
ataupun barang),

yang dalam teori migrasi dikenal dengan istilah remitan

(remittance). Menurut Connel (1980), di negara-negara sedang berkembang terdapat


hubungan yang sangat erat antara migran dengan daerah asalnya, dan hal
13

tersebutlah yang memunculkan fenomena remitan.


Remitan dalam konteks migrasi di negara-negara sedang berkembang
merupakan bentuk upaya migran dalam menjaga kelangsungan ikatan sosial
ekonomi dengan daerah asal, meskipun secara geografis mereka terpisah jauh.
Selain itu, migran mengirim remitan karena secara moral maupun sosial mereka
memiliki tanggung jawab terhadap keluarga yang ditinggalkan (Curson,1983).
Kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang migran, sudah ditanamkan sejak
masih kanak-kanak. Masyarakat akan menghargai migran yang secara rutin
mengirim remitan ke daerah asal, dan sebaliknya akan merendahkan migran yang
tidak bisa memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya.
Dalam perspektif yang lebih luas, remitan dari migran dipandang sebagai
suatu instrumen dalam memperbaiki keseimbangan pembayaran, dan merangsang
tabungan dan investasi di daerah asal. Oleh karenanya dapat dikemukakan bahwa
remitan menjadi komponen penting dalam mengkaitkan mobilitas pekerja dengan
proses pembangunan di daerah asal.
Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan di daerah Jatinom
Jawa Tengah (Effendi, 1993). Sejak pertengahan tahun 1980an, seiring dengan
meningkatnya mobilitas pekerja, terjadi perubahan pola makanan keluarga migran
di daerah asal menuju pada pola makanan dengan gizi sehat. Perubahan ini tidak
dapat dilepaskan dari peningkatan daya beli keluarga migran di daerah asal, sebagai
akibat adanya remitan.
Peningkatan daya beli tidak hanya berpengaruh pada pola makanan, namun
juga berpengaruh pada kemampuan membeli barang-barang konsumsi rumah
tangga lainnya, seperti pakaian, sepatu, alat-alat dapur, radio, televisi dan sepeda
motor. Permintaan akan barang-barang tersebut telah memunculkan peluang
berusaha di sektor perdagangan, dan pada tahap selanjutnya berefek ganda pada
peluang berusaha di sektor lainnya.
Namun di sisi lain, remitan ternyata tidak hanya mempengaruhi pola
14

konsumsi keluarga migran di daerah asal. Dalam kerangka pemupukan remitan,


migran berusaha melakukan berbagai kompromi untuk mengalokasikan sumberdaya
yang dimilikinya, dan mengadopsi pola konsumsi tersendiri di daerah tujuan. Para
migran akan melakukan "pengorbanan" dalam hal makanan, pakaian, dan
perumahan supaya bisa menabung dan akhirnya bisa mengirim remitan ke daerah
asal. Secara sederhana para migran akan meminimalkan pengeluaran untuk
memaksimalkan pendapatan. Migran yang berpendapatan rendah dan tenaga kerja
tidak terampil, akan mencari rumah yang paling murah dan biasanya merupakan
pemukiman miskin di pusat-pusat kota.
Bijlmer (1986) mengemukakan bahwa untuk memperbesar remitan, ada
kecenderungan migran mengadopsi sistem pondok, yakni tinggal secara bersamasama dalam satu rumah sewa atau bedeng di daerah tujuan. Sistem pondok
memungkinkan para migran untuk menekan biaya hidup, terutama biaya makan dan
penginapan selama bekerja di kota.
Hal yang sama juga ditemukan oleh Mantra (1994) dalam penelitiannya di
berbagai daerah di Indonesia. Buruh-buruh bangunan yang berasal dari Jawa Timur
yang bekerja di proyek pariwisata Nusa Dua Bali, tinggal di bedeng-bedeng yang
kumuh untuk mengurangi pengeluaran akomodasi. di berbagai daerah di Indonesia.
Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim ditemukan pada tukang becak di
Yogyakarta yang berasal dari Klaten. Pada waktu malam hari tidur di becaknya
untuk menghindari pengeluaran menyewa pondokan.
Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa besarnya remitan yang
dikirimkan migran ke daerah asal relatif bervariasi. Penelitian yang dilakukan Rose
dkk (1969) dalam Curson (1983) terhadap migran di Birmingham menemukan
bahwa remitan migran India sebesar 6,3 persen dari penghasilannya sedangkan
migran

Pakistan mencapai 12,1%. Bahkan dalam penelitian yang dilakukan

Jellinek (1978) dalam Effendi (1993) menemukan bahwa remitan yang dikirimkan
para migran penjual es krim di Jakarta mencapai 50 persen dari penghasilan yang
diperolehnya.
15

Besar kecilnya remitan ditentukan oleh berbagai karakteristik migrasi


maupun migran itu sendiri. Karakteristik tersebut mencakup sifat mobilitas/migrasi,
lamanya di daerah tujuan, tingkat pendidikan migran, penghasilan migran serta sifat
hubungan migran dengan keluarga yang ditinggalkan di daerah asal.
Berkaitan

dengan

sifat

mobilitas/migrasi

dari

pekerja,

terdapat

kecenderungan pada mobilitas pekerja yang bersifat permanen, remitan lebih kecil
dibandingkan dengan yang bersifat sementara (sirkuler) (Connel,1980). Hugo
(1978) dalam penelitian di 14 desa di Jawa Barat menemukan bahwa remitan
yang dikirimkan oleh migran sirkuler merupakan 47,7 persen dari pendapatan
rumah tangga di daerah asal, sedangkan pada migran permanen hanya 8,00%.
Sejalan dengan hal tersebut, besarnya remitan juga dipengaruhi oleh
lamanya migran menetap (bermigrasi) di daerah tujuan. Lucas dkk (1985)
mengemukakan bahwa semakin lama migran menetap di daerah tujuan maka akan
semakin kecil remitan yang dikirimkan ke daerah asal.
Adanya arah pengaruh yang negatif ini selain disebabkan oleh semakin
berkurangnya beban tanggungan migran di daerah asal (misalnya anak-anak migran
di daerah asal sudah mampu bekerja sendiri), juga disebabkan oleh semakin
berkurangnya ikatan sosial dengan masyarakat di daerah asal. Migran yang telah
menetap lama umumnya mulai mampu menjalin hubungan kekerabatan baru
dengan masyarakat/lingkungan di daerah tujuannya.
Tingkat pendidikan migran lebih cenderung memiliki pengaruh yang positif
terhadap remitan. Rempel dan Lobdell (1978) mengemukakan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan migran, maka akan semakin besar remitan yang
dikirimkan ke daerah asal. Hal ini pada dasarnya berkaitan dengan fungsi remitan
sebagai pembayaran kembali (repayment) investasi pendidikan yang telah
ditanamkan keluarga kepada individu migran. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan
migran menunjukkan besar kecilnya investasi pendidikan yang ditanamkan
keluarga, dan pada tahap selanjutnya berdampak pada besar kecilnya "repayment"
yang diwujudkan dalam remitan.
16

Pengaruh positif juga ditemukan antara penghasilan migran dan remitan


(Wiyono,1994). Remitan pada dasarnya adalah bagian dari penghasilan migran
yang disisihkan untuk dikirimkan ke daerah asal. Dengan demikian, secara logis
dapat dikemukakan semakin besar penghasilan migran maka akan semakin besar
remitan yang dikirimkan ke daerah asal.
Besarnya remitan juga tergantung pada hubungan migran dengan keluarga
penerima remitan di daerah asal. Keluarga di daerah asal dapat dibagi atas dua
bagian besar, yaitu keluarga inti (batih) yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak,
serta keluarga di luar keluarga inti. Dalam konteks ini, Mantra (1994)
mengemukakan bahwa remitan akan lebih besar jika keluarga penerima remitan di
daerah asal adalah keluarga inti. Sebaliknya, remitan akan lebih kecil jika keluarga
penerima remitan di daerah asal bukan keluarga inti.
Tujuan pengiriman remitan akan menentukan dampak remitan terhadap
pembangunan daerah asal. Berbagai pemikiran dan hasil penelitian telah
menemukan

keberagaman

tujuan

remitan

ini,

namun

demikian

dapat

dikelompokkan atas tujuan- tujuan sebagai berikut:


a. Kebutuhan hidup sehari-hari keluarga
Sejumlah besar remitan yang dikirim oleh migran berfungsi untuk
menyokong kerabat/keluarga migran yang ada di daerah asal. Migran mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab untuk mengirimkan uang/barang untuk menyokong
biaya hidup sehari- hari dari kerabat dan keluarganya, terutama untuk anak-anak
dan orang tua. Hal ini ditemukan Caldwell (1969) dalam Mantra (1994) pada
penelitian di Ghana, Afrika. Di daerah ini, 73 persen dari total remitan yang
dikirimkan oleh migran ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dari
keluarga di daerah asal.
b. Peringatan hari-hari besar yang berhubungan dengan siklus hidup manusia
Di samping mempunyai tanggung jawab terhadap kebutuhan hidup seharihari keluarga dan kerabatnya, seorang migran juga berusaha untuk dapat pulang ke
17

daerah asal pada saat diadakan peringatan hari-hari besar yang berhubungan dengan
siklus hidup manusia, misalnya kelahiran, perkawinan, dan kematian. Menurut
Curson (1983) pada saat itulah, jumlah remitan yang dikirim atau ditinggalkan lebih
besar daripada hari-hari biasa.
c. Investasi
Bentuk investasi adalah perbaikan dan pembangunan perumahan, membeli
tanah, mendirikan industri kecil, dan lain-lainnya. Kegiatan ini tidak hanya
bersifat ekonomi, tetapi juga sebagai sarana sosial dan budaya dalam menjaga
kelangsungan hidup di daerah asal, tetapi juga bersifat psikologis, karena erat
hubungannya dengan prestise seseorang.
Effendi (1993) dalam penelitiannya di tiga desa Jatinom, Klaten menemukan
bahwa remitan telah digunakan untuk modal usaha pada usaha-usaha skala kecil
seperti pertanian jeruk, peternakan ayam, perdangan dan bengkel sepeda.
d. Jaminan hari tua
Migran mempunyai keinginan, jika mereka mempunyai cukup uang atau
sudah pensiun, mereka akan kembali ke daerah asal. Hal ini erat kaitannya dengan
fungsi investasi, mereka akan membangun rumah atau membeli tanah di daerah asal
sebagai simbol kesejahteraan, prestisius, dan kesuksesan di daerah rantau. Lee
(1992) mengemukakan bahwa berbagai pengalaman baru yang diperoleh di tempat
tujuan, apakah itu keterampilan
menyebabkan

orang

khusus

atau

kekayaan,

sering

dapat

kembali ke tempat asal dengan posisi yang lebih

menguntungkan Selain itu, tidak semua yang bermigrasi bermaksud menetap


selama- lamanya di tempat tujuan.
2. Fenomena Migrasi Dalam Skala Internasional
Migrasi sendiri didefinisikan sebagai suatu bentuk perpindahan seseorang atau
kelompok orang baik lintas batas atau di dalam teritorial negara, yang meliputi berbagai
bentuk, tempo, komposisi, dan faktor penyebab perpindahan manusia. Termasuk dalam
18

definisi di sini juga perpindahan pengungsi, orang yang kehilangan tempat tinggal,
migran ilegal dan juga migran ekonomi. Diperkirakan terdapat sekitar 214 juta orang
tinggal di luar negara pengirim atau daerah asalnya.
Perkembangan teknologi telekomunikasi dan transportasi tak pelak membuat
masyarakat dunia menjadi lintas batas, atau dalam bahasa Kenichi Ohmae (1999),
borderless society. Periode modern perpindahan manusia ditandai tidak hanya semakin
tingginya angka migrasi manusia lintas batas negara, tetapi juga pertumbuhan
signifikan migrasi dalam secara ekonomis, sosial, kultural, dan politik (Castles dan
Miller 2009 dalam Heywood 2011). Perdagangan dunia yang meniscayakan
perpindahan modal, barang, dan jasa juga mengikutsertakan perpindahan manusia.
Dengan semakin derasnya arus informasi yang masuk dan semakin mudahnya
akses transportasi mendorong arus perpindahan manusia menjadi semakin massif.
Laporan dari IOM menyebutkan bahwa hingga hari ini terdapat 214 juta migran
internasional, meningkat lebih dua kali lipat dari sebelumnya tahun 1975 sebanyak 85
juta orang. Ini berarti 1 dari 35 orang di dunia ini adalah migran. Angka sebesar ini
merepresentasikan 3 % dari keseluruhan populasi dunia.
Castells dan Miller (2003 dalam Krally 2008) mengidentifikasi lima
kecenderungan umum perpindahan manusia kontemporer. Pertama adalah perpindahan
manusia kontemporer melibatkan sejumlah besar negara, baik sebagai negara pengirim
maupun penerima. Fenomena ini bisa disebut globalization of migrations. Kedua arus
perpindahan manusia diprediksi akan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ketiga,
migrasi internasional tidak memiliki pola sama, seperti adanya migrasi musiman
disamping migrasi permanen. Keempat tidak seperti di masa lalu yang hanya
melibatkan laki-laki, di era sekarang, migrasi juga dilakukan oleh kaum hawa. Kelima,
akibat-akibat yang ditimbulkan migrasi internasional menjadi isu politik di banyak
negara.Imigrasi dalam jumlah besar dan berkelanjutan akan merubah komposisi
demografis negara penerima. Imigran yang awalnya datang sebagai pekerja atau
pengungsi tidak mau kembali ke negara asalnya. Mereka lebih memilih tetap tinggal di
host country selepas kontrak kerja mereka selesai. Mereka yang tinggal dalam waktu
19

lama, akan mendapatkan kewarganegaraan. Pada masa selanjutnya, warganegara


keturunan asing ini akan membentuk minoritas dengan jumlah signifikan yang rentan
diskriminasi, terlebih jika mereka memiliki latar belakang politik dan kultural dengan
negara tempat tinggal.
Menurut Sita Bali (1997) perhatian dunia internasional mengenai isu migrasi
terjadi baru-baru saja, tepatnya dekade 1980-an. Ini disebabkan bahwa pada masa
sebelumnya persoalan yang timbul akibat migrasi belum dirasakan. Baru pada tahun
1980-an ketika terjadi resesi pada banyak negara industri menyebabkan tingginya angka
pengangguran, instabilitas ekonomi dan politik. Pada saat itulah pemerintah baru
menyadari bahwa mereka menanggung beban tingginya angka pengangguran yang
menimpa baik masyarakat asli maupun pendatang. Masyarakat asli cenderung
menyalahkan migran, karena dianggap mengambil peluang kerja mereka. Kondisi ini
seperti memberikan daya dorong bagi munculnya sentimen anti imigran dan
xenophobia yang diusung kelompok-kelompok rasis Neo Nazi di Jerman dan Austria,
Sayap Kanan di Inggris, dan kebijakan anti migran oleh pemerintah Perancis.
Faktor Push and Pull Migrasi Kontemporer
Perpindahan manusia tersebut bisa dibedakan antara mereka yang berpindah atas
pilihan sendiri (voluntary migration) dan mereka yang terpaksa meninggalkan tanah
kelahiran ( involuntary migration) sebagai pekerja (migrant worker), pengungsi (refugee)
atau pencari suaka (asylum seeker). Banyak faktor-faktor yang membuat mereka
bermigrasi. Faktor dari negara asal bisa berupa bencana alam, pengangguran, tekanan
pemerintah, perang. Sedangkan faktor penarik dari negara tujuan seperti daya tarik
ekonomi, kesamaan kultur, mengenyam pendidikan, kesempatan mendapatkan kebebasan
yang lebih dari yang didapatkan di negara asal.
Teori tentang migrasi manusia pertama kali diperkenalkan oleh Ernest Ravenstein
pada tahun 1889. Setelah memperhatikan data sensus penduduk di Inggris dan Wales kala
itu, dia menyimpulkan bahwa migrasi dipengaruhi oleh proses push-pull, dimana
kondisi tidak menguntungkan di satu tempat mendorong manusia untuk keluar.
Sebaliknya, kondisi yang menguntungkan di tempat lain akan menarik manusia untuk
20

pergi ke daerah tersebut. Banyak teoritisi mengikuti jejak Ravenstein. Teori-teori


dominan yang diusung para akademisi kontemporer kurang lebih merupakan variasi dari
kesimpulannya.
Salah satu turunan dari teori Ravenstein seperti dituturkan Andrew Heywood
(2011), bahwa secara umum terdapat dua teori tentang migrasi. Teori Individual
menyatakan bahwa perpindahan manusia terjadi atas pertimbangan rasional individu
yang didorong oleh harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Teori ini
menekankan pada daya tarik ekonomi yang terdapat pada negara tujuan sebagai faktor
penarik (pulled) seseorang untuk bermigrasi. Teori kedua adalah teori struktural yang
menekankan pada pertimbangan struktur sosial, politik, ekonomi di negara asal yang
mengharuskan seseorang meninggalkan negaranya. Dalam teori ini dikatakan bahwa
seseorang pushed (terdorong) bermigrasi karena persoalan seperti bencana alam,
kemiskinan, instabilitas politik dan sosial di negara mereka.
Di masa sebelumnya teori migrasi struktural lebih mendominasi ketimbang
migrasi individual. Faktor yang menyebabkan perpindahan manusia kebanyakan
didorong oleh kondisi yang mengharuskan seseorang untuk berpindah disebabkan oleh
invasi, kolonialisme, dan perdagangan budak. Tercatat 15 juta budak dari Afrika Barat
dibawa ke Amerika dan sejumlah besar orang Jawa yang dipekerjakan secara paksa di
Suriname sepanjang abad 18-19 oleh Belanda. Tekanan politik penguasa seperti yang
dialami bangsa Yahudi di abad pertengahan dan gelombang emigrasi bangsa Eropa ke
Amerika disebabkan oleh kemiskinan dan kejaran kaum puritan yang berkuasa di Eropa
ketika itu. Contoh diatas menunjukkan bahwa migrasi pada masa dahulu lebih didominasi
faktor struktural yang membuat seseorang mau tidak mau meninggalkan negaranya.
Sedangkan di era kontemporer cukup banyak faktor yang membuat manusia
bermigrasi. Meskipun tidak lagi mendominasi, namun faktor struktural masih berperan
dalam mendorong seseorang untuk bermigrasi. Faktor-faktor pendorong (pushed) seperti
kemiskinan, bencana alam, tekanan pemerintah, berkait kelindan dengan faktor penarik
(pulled) berupa daya tarik ekonomi di negara-negara maju.

21

Kedua faktor diatas berperan bersama-sama dalam membentuk tingginya angka


perpindahan manusia di masa modern. Masa setelah PD II ditandai masifnya gelombang
pengungsi dari negara-negara dunia ketiga diakibatkan oleh konflik etnis, perang sipil,
dan instabilitas politik. Hingga tahun 1990-an, gelombang pengungsi yang meninggalkan
negaranya mencapai 15 juta orang. Kombinasi dari pengungsi dan migran yang pindah
akibat kemiskinan akut, pengangguran, kerusakan lingkungan mendorong arus migrasi
semakin meningkat.
Eropa pasca PD II merasakan tingkat pertumbuhan industri yang sangat tinggi.
Pertumbuhan ekonomi tinggi yang dicapai Eropa tak pelak menjadi daya tarik orangorang dari negara berkembang untuk ikut menikmati kemakmuran. Untuk menopang
proses industrialisasi tersebut, Pemerintah negara-negara Eropa, khususnya Eropa Barat
mengimpor pekerja dari luar Eropa. Pemerintah Perancis, misalnya membuka pintu
negaranya bagi orang-orang dari negara bekas koloninya di Afrika Utara. Pemerintah
Inggris juga menggunakan tenaga dari bekas koloninya di anak benua India, Afrika, dan
Karibia. Untuk pemerintah Jerman, karena mereka tidak mempunyai koloni di luar benua
Eropa, mereka mengundang guest-worker dari Turki dan Yugoslavia untuk mendorong
tumbuhnya industri di negara tersebut (Bali 1997; Heywood 2011).
Dampak ekonomi dari migrasi cukup signifikan. Pengiriman uang (dikirim ke
negara asal oleh para migran) merupakan sumber pendapatan penting bagi keluarga dan
untuk negara berkembang. Bahkan, jumlah tahunan remitansi (diperkirakan lebih dari US
$ 337 miliar pada tahun 2007) lebih dari jumlah tahunan aliran bantuan luar negeri (Sens
et.al, 2009). Bagi negara penerima (terutama negara-negara dengan populasi orang tua
tinggi), migrasi umumnya bermanfaat karena para pekerja migran memiliki keterampilan
yang dapat mengisi posisi kosong yang ditinggalkan masyarakat asli negara tersebut.
Dengan tingkat perpindahan manusia ke Eropa yang semakin tinggi, kemudian
muncul suara-suara yang menentang imigrasi ke Eropa. Mereka melihat bahwa migrasi
tidak hanya menjanjikan keuntungan bagi negara penerima, tapi ekses negatif dari
migrasi jauh lebih banyak. Dampak negatif tersebut meluas dalam berbagai sektor
(politik, ekonomi, sosial, budaya), tapi argumen utama dari kalangan oposan imigrasi
22

adalah kekhawatiran bahwa semakin bertambahnya jumlah migran mengancam


ketahanan negara. Para migran tersebut dianggap tidak memiliki nasionalisme seperti
masyarakat asli. Inilah yang kemudian membuahkan disahkannya sejumlah peraturan
diskriminatif bagi para migran di negara-negara Eropa. Seperti misalnya dikeluarkannya
kebijakan anti simbol agama di Perancis pada masa pemerintahan Jacques Chirac.
Penerus Chirac, Nicholas Sarkozy juga mengumumkan sikap permusuhan kepada
imigran pada pemilu presiden 2007. Sementara di Italia, politisi Italia menyalahkan
imigran pada kejadian terbunuhnya seorang wanita di Roma tahun 2007. Isu ini
kemudian memantik kekerasan terhadap imigran di Italia.
Perpindahan Imigran Turki ke Jerman
Sejarah

migrasi

Turki

ke

Eropa

dimulai

pada

tahun

1963,

dengan

penandatanganan perjanjian bilateral dengan Jerman (dan bebarapa negara-negara


Eropa). Perjanjian ini menciptakan apa yang disebut program guestworker. Dalam
program tersebut para pekerja dari Turki ( dan dari beberapa negara lain seperti
Yugoslavia) diharapkan untuk mendorong proses industrialisasi Jerman yang tengah
berkembang. Pemerintah Jerman meminta pekerja asing untuk datang bekerja lantaran
kekurangan stok buruh murah, terutama di sektor industri. Program tersebut awalnya
didesain sebagai program temporer dan berotasi. Pekerja tamu yang datang diasumsikan
setelah mendapatkan uang kemudian kembali ke rumah selepas kontrak kerja habis.
Setelah pekerja tamu dari satu negara kembali ke negara mereka, maka diberlakukan
kebijakan rotasi dengan mengambil pekerja tamu dari negara lainnya. Namun kebijakan
ini tidak berjalan, lantaran banyak pengusaha enggan memberikan pelatihan lagi untuk
para pekerja baru. Mereka lebih memilih tetap mempekerjakan pekerja lama untuk
menghemat biaya.
Dari dalam negeri Turki sendiri, selama tahun 1960-an mengalami perubahan
politik yang bervariasi; rezim Menderes digulingkan oleh tentara, konstitusi yang baru
memberikan warga Turki hak untuk bepergian ke luar negeri. Perubahan politik 1960
memfasilitasi gerakan migrasi lebih lanjut sebagai bagian dari kebijakan "perencanaan
populasi" dan "pertumbuhan ekonomi".
23

Pada gelombang pertama, sekitar 7 ribu pekerja Turki pergi menuju Jerman.
Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki berusia antara 20 sampai 35 yang datang sendiri
tanpa keluarga. Pada periode antara 1963-1966 total sekitar 180.000 pekerja Turki
kemudian menyusul ke Jerman Barat, sebagian kecil lainnya ke Belgia, Belanda dan
Austria. Pada tahun 1966-1967 pemerintah Jerman menghentikan perekrutan pekerja
migran menyusul krisis ekonomi. Krisis ini kemudian mendorong banyak pekerja Turki
yang memutuskan kembali ke negaranya.
Namun, setelah tahun 1968, migrasi tenaga kerja dari Turki ke Eropa Barat terus
tumbuh hingga mencapai 525.000 pekerja, 80% di antaranya bermigrasi ke Jerman.
Setelah periode ini, arus migrasi didominasi oleh migrasi dari anggota keluarga dari
guestworker. Pada tahun 1974, reunifikasi keluarga meningkat menyebabkan satu juta
penduduk kebangsaan Turki menetap di Jerman, dengan hanya 600.000 yang merupakan
pekerja. Besarnya arus migrasi dalam proses reunifikasi tersebut salah satunya juga
didorong instabilitas ekonomi dan politik dalam negeri Turki. Faktor tersebut membuat
keluarga dari pekerja migran Turki memilih menyusul ke Jerman.
Kebijakan pemerintah Jerman yang sebenarnya menghendaki pekerja Turki
bekerja secara temporal kemudian berkembang menjadi permanen. Sebenarnya
pemerintah Jerman telah berusaha memulangkan warga Turki ke negara asalnya melalui
program Return and Emigration of Assylum Seekers (READ). Namun absennya
mekanisme insentif ditambah dengan mudahnya peraturan untuk pengajuan izin tempat
tinggal, membuat imigran Turki memilih untuk tetap tinggal di Jerman. Guestworker
Turki kemudian berkembang menjadi Inlander Jerman.
Sementara itu, sebagai akibat dari reunifikasi keluarga pekerja yang terus
berkelanjutan dan tingkat kelahiran yang tinggi di kalangan imigran Turki, total
penduduk Turki di Eropa meningkat menjadi 3 juta orang di awal 2000-an, dengan
Jerman menjadi tuan rumah terbanyak, yaitu sekitar 2 juta orang. Dari jumlah tersebut,
hanya 732.000 yang menjadi pekerja. Dengan jumlah sebesar itu, ekspatriat Turki di
Eropa menyumbang 5% dari keseluruhan populasi nasional (Icduygu, 2004 dalam BAMF
2005.).
24

B. Pola dan Arus Migrasi


1. Pola dan Arus Migrasi Dalam Skala Nasional
a. Migrasi Semasa Hidup Antar Pulau
Selama 24 tahun terakhir secara absolut Pulau Jawa adalah pulau yang
paling banyak mengeluarkan migran, yaitu: pada tahun 1971 sebanyak 1.935 ribu,
tahun 1980 sebanyak 3.584,9 ribu, dan tahun 1990 sebanyak 3.053,2 ribu, yang
kemudian pada tahun 1995 menjadi 5.5330,2 ribu. Dari sebanyak migran keluar
tersebut sampai tahun 1980 sebagian besar menuju Pulau Sumatera, yaitu sebesar
89,66 persen pada tahun 1971 dan 81,06 persen pada tahun 1980. Namun
demikian mulai tahun 1990 terjadi penurunan arus migran dari Pulau Jawa ke
Sumatera yaitu menjadi hanya sebesar 69,73 persen, dan tahun 1995
persentasenya menurun lagi menjadi 68,28 persen. Kondisi ini memperlihatkan
bahwa mulai dekade 1980 1990 penyebaran penduduk dari Pulau Jawa sudah
mulai menyebar ke pulaupulau lain, tidak hanya terpusat di Pulau Sumatera saja.
Berikutnya Pulau Sumatera yang menduduki urutan kedua dalam besarnya
migrasi keluar, pada tahun 1971 mempunyai migran keluar sebesar 369 ribu,
kemudian pada tahun 1980 naik menjadi 786,4 ribu migran keluar dan naik lagi
menjadi 1.175,7 ribu pada tahun 1990. Selanjutnya pada tahun 1995 naik lagi
menjadi sekitar 1.534 ribu.
Sebagian besar migran keluar dari Pulau Sumatera menuju Pulau Jawa yaitu 94,31
persen pada tahun 1971,91,35 persen pada tahun 1980,90,94 persen pada tahun
1990 dan 91,94 persen pada tahun 1995. Dari data tersebut terlihat arus migrasi
dari Pulau Sumatera ke Pulau Jawa boleh dikatakan hampir tidak ada perubahan.
Kecendrungan orang Sumatera pergi (pindah) menuju Pulau Jawa masih tetap
merupakan prioritas utama.
Seperti halnya Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Kepulauan lain juga
merupakan daerah yang migran keluarnya kebanyakan menuju Pulau Jawa. Arus
yang terjadi dari Pulau Kalimantan dan Kepulauan lain menuju Pulau Jawa
25

cenderung tidak berubah sejak tahun 1971 sampai tahun 1995 atau penurunan
persentase yang terjadi relatif kecil. Berbeda dengan Pulau Sulawesi, arus migran
yang keluar dari pulau ini hampir tersebar secara merata ke pulau-pulau lain dan
kecenderungan ini berjalan sejak tahun 1971 yang berlangsung secara terus
sampai tahun 1995.
Dapat dimaklumi mengapa Pulau Jawa sebagai pulau yang menjadi daerah
tujuan utama migran dari pulau-pulau yang lain karena pulau ini merupakan
tempat pusat perekonomian, pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat
kegiatan-kegiatan sosial ekonomi lainnya, sehingga penduduk dari pulau-pulau di
luar Jawa ingin menetap (tinggal) di Pulau Jawa.
b. Migrasi Semasa Hidup Antar Provinsi
Pola dan arus migrasi seumur hidup per propinsi sangat bervariasi dan
besarnya tidak selalu sama antara satu propinsi dengan propinsi lain. Secara
umum propinsi-propinsi di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara merupakan propinsipropinsi pengirim migran, baik pada tabun 1971 1980, 1990 maupun pada tahun
1995 kecuali DKI Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat dan Timor Timur.
DKI Jakarta sejak tahun 1971 hingga pada tahun 1995 merupakan propinsi
penerima migran. Sedangkan Jawa Barat pada tahun 1971 dan 1980 merupakan
propinsi pengirim migran, tetapi pada tahun 1990 dan 1995 menjadi propinsi
penerima migran.
Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian sejak tahun 1971 hingga
tahun 1990 DKI Jakarta adalah propinsi yang paling banyak didatangi oleh
migran, dengan jumlahnya yang semakin membesar dari tahun ke tahun. Pada
tahun 1971 DKI Jakarta menerima sekitar 1,8 juta migran, tahun 1980 menerima
sekitar 2,6 juta migran, tahun 1990 menerima 3,1 juta migran dan pada tahun
1995 menerima 3,4 juta migran. Jika dilihat asal migran yang ke DKI Jakarta,
yang paling banyak adalah migran yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Pada tahun 1990 clan 1995. Dan sisanya adalah berasal dari 24 propinsi lainnya
yang persentasenya relatif kecil. Propinsi kedua terbesar yang didatangi migran
26

pada tahun 1990 adalah Jawa Barat, dengan jumlah migran sebesar 2,4 juta orang.
Selanjutnya hasil SUPAS95 menunjukkan bahwa dengan jumlah migran masuk
sebesar 3,6 juta orang. Propinsi Jawa Barat telah menggeser kedudukan DKI
Jakarta sebagai penerima migran terbesar. Migran yang masuk ke Jawa Barat ini
sebagian besar berasal dari propinsi tetangganya yaitu Jawa Tengah dan DKI
Jakarta dengan persentase masing-masing sebesar 30,25 persen dan 35,09 persen
pada tahun 1995.
Pada tahun 1971 dan 1980 Lampung merupakan merupakan propinsi
kedua terbesar yang menjadi daerah tujuan migran dengan jumlah migran tidak
kurang dari 1 juta orang pada tahun 1971 dan 1,8 juta migran pada tahun 1980
masuk ke propinsi ini. Tetapi pada tahun 1990 dan 1995, Lampung tergeser oleh
Jawa Barat menjadi propinsi ketiga terbesar yang didatangi oleh migran.
Walaupun demikian dalam jumlah absolut sebagai penerima migran, Lampung
tetap merupakan propinsi penerima migran terbesar di luar Pulau Jawa sejak
tahun 1971. Hal ini dapat mengerti karena Lampung rnerupakan daerah tujuan
transmigrasi terbesar di Indonesia pada saat itu. Pada tahun 1971 Lampung
menerima tidak kurang dari 1 juta migran, yang kemudian meningkat menjadi 1,7
juta orang pada tahun 1980 dan 1990, dan hampir 2 juta orang pada tahun 1995.
Ada tiga propinsi yang merupakan propinsi asal sebagian besar migran masuk ke
Lampung, yaitu Jawa Tengah (33,50%), Jawa Timur (28,20%) dan Jawa Barat
(13,35%).
2. Pola dan Arus Migrasi Dalam Skala Internasional
Penelitian M.Arif Nasution, 1997; tentang Aliran Pekerja Indonesia ke
Malaysia (Arus migrasi pekerja Indonesia ke Malaysia) yang bertujuan untuk
mengkaji aspek sejarah, proses kemasukan, penyesuaian di kawasan tujuan, serta
kesannya terhadap masyarakat Malaysia dan Indonesia. Survey dilakukan
terhadap 300 pekerja dalam sektor pembinaan (baca: pekerja buruh bangunan) di
Kuala Lumpur. Intisari temuan studinya itu dapat dikutip kembali sebagai berikut;
... kemasukan migran Indonesia ke Malaysia telah berlaku sejak sebelum abad
27

19, terutama wujudnya hubungan antara beberapa kerajaan di waktu itu, pengaruh
penyebaran

agama

Islam

dan

impak

daripada

proses

pembangunan

kolonial.Setakat ini, kemajuan yang dicapai Malaysia berbanding Indonesia akibat


daripada proses globalisasi ekonomi telah mendorong orang Indonesia yang
terpinggir untuk bekerja di Malaysia. Pekerjaan yang diceburi umumnya adalah
jenis pekerjaan kolar biru yang sudah tidak diminati penduduk tempatan
Malaysia. Kemasukan para migran ini lazimnya melalui beberapa kawasan
tertentu dengan bantuan ejen resmi dan tidak resmi. Setelah di Malaysia, migran
cenderung berpindah-pindah kerana ingin memperolehi pendapatan yang lebih
tinggi atau kerana jenis pekerjaan yang diceburi. Perpindahan tersebut biasanya
dibantu oleh kawan, ahli keluarga ataupun majikan. Sebagai kelompok minoriti,
para migran lazimnya membina hubungan yang rapat dengan penduduk tempatan
dengan cara turut berpartisipasi dalam acara keagamaan, gotong royong dan
memberi sumbangan wang.
Dikalangan migran mereka cenderung memasuki organisasi formal yang
telah wujud di Malaysia atau mewujudkan arisan di tempat kongsi. Dari segi
impaknya, hasil kajian mendapati, taraf pendapatan migran telah meningkat
berbanding ketika mereka masih di Indonesia. Kemasukan ramai migran secara
tidak resmi ke Malaysia melahirkan imej yang kurang baik terutamanya kerana
berlaku rasuah di kalangan pegawai kerajaan serta wujudnya ejen-ejen pengirim
tenaga kerja yang tidak resmi (Nasution, 1997 : iv)
riantoro, (1999:1-16) juga melakukan penelitian tentang migrasi legal dan
ilegal ke Malaysia Barat; dengan mengambil kasus migrasi internasional di Pulau
Lombok, Nusa Tenggara Barat. Triantoro menyimpulkan bahwa, tujuan program
pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, yang meliputi peningkatan penggunaan
jalur resmi oleh para migran pekerja, belum dapat dicapai, baik dari aspek
responsivitas, responsibilitas maupun akuntabilitas. Menurut hasil temuan
Triantoro (1999: 14) prosedur pelayanan program dirasakan masih terlalu
birokratis, tidak efisien, berbiaya tinggi dengan waktu tunggu pemberangkatan
yang sangat lama, bahkan cenderung tidak pasti, serta menyulitkan calon migran
28

sebagai pengguna program. Migran yang menggunakan jalur resmi, dalam


kenyataannya selama proses perekrutan, tidak bisa lepas dari jeratan eksploitasi
mekanisme calo terselubung yang dikemas melalui sistem perekrutan sponsor
secara resmi yakni PJTKI.

29

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.

http://dokumen.tips/documents/teori-teori-migrasi-ibnu.html
http://panjinurrahmat.blogspot.co.id/2009/10/review-beberapa-teori-migrasi.html
https://drsuryaperdana.files.wordpress.com/2015/02/kependudukan.pdf
http://ahmad_m-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-67268-Umum-Globalisasi%20dan
%20Migrasi:%20Problematika%20Integrasi%20Imigran%20Turki%20ke%20dalam
%20Masyarakat%20Jerman.html
5. http://adetiapunya.blogspot.co.id/2012/05/migrasi-penduduk.html
6. http://soddis.blogspot.co.id/2015/04/penelitian-migrasi-internasional-di.html

30

Anda mungkin juga menyukai