Anda di halaman 1dari 11

Farmakokinetik dan Farmakodinamik Sianida

Beberapa bentuk-bentuk sianida yaitu:


a. Hidrogen Sianida (HCN) adalah cairan atau gas yang tidak berwarna atau
biru pucat dengan bau seperti almond. Nama lainnya adalah asam
hidrosianik dan asam prussik. HCN dipakai sebagai stabilizer untuk
mencegah pembusukan.
b. Sodium Sianida adalah bubuk kristal putih dengan bau seperti almond.
Nama lainnya adalah asam hidrosianik,sodium. Bentuk cair dari bahan ini
sangat alkalis dan cepat berubah menjadi hidrogen sianida jika kontak
dengan asam atau garam dari asam.
c. Potasium Sianida (KCN) adalah bahan padat berwarna putih dengan bau
sianida yang khas. Nama lainnya adalah asam hidrosianik, garam potasium.
Bentuk cair dari bahan ini sangat alkalis dan cepat berubah menjadi
hidrogen sianida jika kontak dengan asam atau garam dari asam.
d. Kalsium Sianida (Ca(CN)2) dikenal juga dengan nama calsid atau calsyan
adalah bahan padat kristal berwarna putih. Dalam bentuk cairnya secara
bertahap membentuk hidrogen sianida. Keempat bahan diatas membentuk
ikatan yang kuat dengan metal.
e. Sianogen adalah gas beracun yang tidak berwarna dengan bau seperti
almond. Nama lainnya adalah karbon nitril, disianogen, etane dinitril, dan
asam oksalat dinitril. Bahan ini secara perlahan terhidrolisis pada bentuk
cair menjadi asam oksalat dan amonia.
f. Sianogen Klorida adalah gas tidak berwarna. Nama lainya adalah klorin
sianida (nama dagang Caswell no. 267). Bahan ini melepaskan hidrogen
sianida saat terhidrolisis.
g. Glikosida Sianogenik diproduksi secara natural oleh berbagai jenis
tumbuhan. Saat terhidrolisis membentuk hidrogen sianida.4
Sianida selalu ada dalam konsentrasi kecil (trace) pada banyak macam
tumbuh-tumbuhan. Pada rumput, kacang-kacangan, umbi-umbian dan biji
tertentu ditemukan sianida dalam kadar yang relatif tinggi seperti singkong
(pada daun dan akar), ubi jalar,"yam" (dyoscoreaceae) pada umbinya, butir

jagung, butir cantel, rempah rempah, tebu, kacang-kacangan (peas & beans),
terutama koro krupuk, & almonds. Pada buah sianida ditemukan pada jeruk,
apel, pear, cherry, apricot, prune, plum. Dari berbagai tanaman yang
mengandung sianida ini, keracunan sianida paling banyak dilaporkan setelah
memakan singkong dan kacang. Hal ini mungkin disebabkan karena singkong
pada beberapa negara yang baru berkembang masih menjadi makanan utama.3
Terdapat beberapa cara masuknya sianida ke dalam tubuh yaitu,
1. Inhalasi. Pada pembakaran yang tidak sempurna dari produk sintetis yang
mengandung carbn dan nitrogen seperti plastik, hidrogen sianida dilepas
ke udara.4 Zat ini sangat mudah terdispersi dalam udara dan mengakibatkan
munculnya gejala dalam hitungan detik hingga menit.
2. Kontak langsung hidrogen sianida dalam bentuk cair pada kulit dapat
menimbulkan iritasi. Efek yang muncul tergantung dari kemampuan
penetrasi epidermal sianida, kelarutannya dalam lemak, kelembapan kulit,
luas dan lama area kontak, serta konsentrasi cairan yang mengenai korban
Gejala muncul segera setelah paparan atau paling lambat 30 sampai 60
menit.3
3. Tertelan bentuk garam sianida sangat fatal. Karena sianida sangat mudah
terserap masuk ke dalam saluran pencernaan. Tidak perlu melakukan atau
merangsang korban untuk muntah, karena sianida sangat cepat berdifusi ke
jaringan. Gejala muncul paling lambat pada rute ini. Berat ringanya gejala
sangat tergantung dari jumlah zat yang masuk dan kemampuan
detoksifikasi tubuh.3
Setelah terabsorpsi, inhalasi dan percutaneus sianida secara cepat akan
terdistribusi di sirkulasi. Sementara peroral sodium dan potasium sianida akan
melewati detoksifikasi hati terlebih dahulu. Distribusi sianida sangat cepat dan
merata di seluruh jaringan akan tetapi pada beberapa tempat konsentrasinya
tinggi seperti pada hati, paru, darah, otak. Pada orang yang meninggal karena
inhalasi sianida, kadar sianida dalam jaringan paru, darah, otak masing-masing

0,75; 0,41; 0,32mg/100g. Dalam darah sianida akan terkonsentrasi pada sel
darah merah dan sedikit di plasma maka dari itu konsentrasi sianida plasma
menggambarkan konsentrasi sianida jaringan.4

Gambar 1. Skema Metabolisme Sianida Dalam Tubuh10


Dalam tubuh sianida akan cepat bereaksi membentuk hidrogen sianida
yang mempunyai afinitas kuat terhadap gugus Fe heme dari sitokrom a3 atau
yang lebih dikenal dengan sitokrom c oksidase, oksidase terminal pada rantai
transfer electron. Pembentukan ikatan sitokrom c oksidase CN yang stabil
pada mitokondria akan menghambat transfer oksigen dan menghentikan
respirasi selular yang menyebabkan hipoksia sitotoksik, walaupun terdapat
HbO2 dalam jumlah yang cukup. Anoksia jaringan yang diinduksi oleh
inaktivasi dari sitokrom oksidase mengakibatkan perubahan pada metabolisme
sel, dari aerobik menjadi anareobik. Hal ini nantinya akan menyebabkan
berkurangnya glikogen, fosfoceratin , dan ADP seiring dengan akumulasi dari
laktat dan penurunan pH darah. Kombinasi dari hipoksia sitotoksik dengan

asidosis laktat akan menekan CNS, area paling sensitif terhadap anoksia, yang
menyebabkan henti nafas dan kematian.4
Pada kasus keracunan sianida peroral, efek racun menjadi lebih kronis
dan ringan karena pada jalur ini, sianida terlebih dahulu melewati detoksifikasi
hati. Akan tetapi paparan sianida yang terus menerus dapat mengakibatkan
berkurangnya dopamine yang diasosiasikan dengan timbulnya parkinson yang
progresif. Intoksikasi sub letal dari sianida juga dapat menimbulkan distonia.
Detoksifikasi sianida oleh hati melibatkan enzim mitokondria rhodanese yang
mengkatalisasi transfer gugus sulfur dari thiosulfate menjadi thiosianat yang
merupakan rate limiting step. Sebanyak 80% metabolisme sianida melaui jalur
ini. Jalur lain, sianida didetoksifikasi melalui penggabungan gugus sian (CN)
dengan hidroksikobalamin menjadi cyanocobalamin (vitamin B12). Thiosianat
nantinya akan dibuang melalui urine sementara cyanocobalamin akan dipakai
sebagai kofaktor berbagai reaksi lain di tubuh. Walaupun sebagian besar HCN
telah dibuang dalam bentuk tiosianat ke urine, bentuk bebasnya masi terdapat di
paru, air liur dan keringat.4

Pemeriksaan Jenazah Kasus Keracunan Sianida Pemeriksaan Luar


Pada pemeriksaan luar dapat ditemukan bau sianida pada tubuh yang
dapat dikenali seperti bau almond akan tetapi banyak orang tidak bisa
mendeteksi bau ini sebagian karena kemampuan adaptasi indera penciuman
dengan cepat akan menghilangkan bau tersebut. Selain itu, secara genetik 40%
populasi tidak dapat mencium bau tersebut. Penampakan lebam mayat pada
kondisi ini cukup bervariasi. Yang klasik dikatakan menjadi berwarna merah
bata, sesuai dengan kelebihan oksi hemoglobin atau sianmethemoglobin
(karena jaringan tidak dapat menggunakan oksigen). Banyak deskripsi lebam
mayat yang mengarah pada kulit yang berwarna merah muda gelap atau bahkan
merah terang, terutama bergantung pada daerahnya, yang dapat dibingungkan

dengan karboksi hemoglobin (HbCO). Terdapat pula kemungkinan muntahan


hitam disekitar bibir. Hal lain dapat dilihat adanya tanda-tanda sianosis seperti
kebiruan pada bibir dan ujung jari-jari. Akan tetapi jika lebih dari 24 jam maka
tanda ini akan dikacaukan oleh perubahan postmortal. Tanda lain adalah adanya
perdarahan berbintik pada selaput biji mata dan kelopak mata.1
Pemeriksaan Dalam
Sebelum pemeriksaan dalam dilakukan sangat penting diketahui bahwa
pemeriksaan dalam (autopsi) korban dengan keracunan sianida cukup beresiko
karena pemeriksa akan terpapar sianida dalam waktu yang cukup lama.5
Kematian oleh karena sianida disebabkan oleh karena histotoksik
hipoksia maka tanda-tanda asfiksia dapat dilihat pada pemeriksaan dalam
seperti adanya kongesti organ-organ dalam akibat perbendungan sistemik.
Organ dalam terlihat membesar dan jaringan di dalam mungkin juga menjadi
berwarna merah muda terang disebabkan karena oksi-hemoglobin yang tidak
dapat digunakan oleh jaringan - yang mungkin lebih umum terjadi dari pada
karena sianmethemoglobin. Selain itu terjadi kongesti pada paru-paru dan
dilatasi jantung kanan.1
Striae pada lambung dapat mengalami kerusakan hebat dan terlihat
menutupi permukaan, selain itu terdapat resapan darah pada lekukan mukosa.
Ini terutama disebabkan kekuatan alkali yang kuat dari hidrolisa garam-garam
natrium dan kalium sianida. Pada kasus keracunan berat, lambung akan ditandai
dengan striae berwarna merah gelap. Lambung dapat berisi darah maupun
rembesan darah akibat erosi maupun pendarahan di dindingnya. Jika sianida
berada dalam larutan encer, kerusakan yang terjadi lebih minimal. Apabila
racun masuk secara oral maka kekuatan alkali dari sianida akan mengiritasi
saluran cerna. Esofagus dapat mengalami kerusakan, terutama pada bagian
mukosa pada sepertiga distal, terutama saat post mortem dimana terjadi
regurgitasi isi perut karena relaksasi dari sphincter. Organ lain tidak
menunjukkan perubahan yang spesifik dan diagnosis dibuat berdasarkan bau
dan warna kemerahan pada jaringan dalam tubuh.5

Verslag dalam bukunya mengatakan terdapat beberapa perubahan


histologis yang mengindikasikan adanya kematian akibat defisiensi oksigen
melalui asfiksia yaitu:
1. Hilangnya lemak terutama pada vakuola sitoplasma dari epitel pada
jaringan hati, sel otot jantung, dan sel pada tubulus renal
2. Pembengkakan sel endotel pada otak dan otot jantung
3. Mobilisasi dan proliferasi dari makrofag alveolar dengan pembentukan
sel raksasa polinuklear (hanya terjadi pada paru-paru yang sehat)
4. Presipitasi droplet hialin pada epitel hati
5. Perdarahan pada paru-paru dan otak
6. Degenarasi sel ganglion dan hilangnya substansi Nissl terutama pada
girus hippocampus
7. Emfisema akut pada jaringan interstistial dan alveolar paru.8
Pemeriksaan Toksikologi Kasus Keracunan Sianida
Jumlah sianida yang ditemukan dalam pemeriksaan tergantung jumlah
sianida yang masuk dalam tubuh dan waktu antara masuknya sianida dengan
kematiannya. Yang mana akhir-akhir ini biasanya diukur dalam menit, atau
pada kasus dengan dosis rendah dan sempat diterapi, korban dapat bertahan
hidup dalam jam bahkan hari. Sianida yang ditemukan dalam jumlah cukup
adalah bukti bahwa sianida telah masuk dalam tubuh yang mana hal itu sendiri
tidak normal dan dikonfermasi sebagai barang bukti dari terjadinya keracunan.
Akan tetapi, Karhunen et al telah melaporkan kasus dimana seorang tersangka
pembunuhan terbakar dan pada post mortemnya menunjukkan tingkat sianida
dalam darah 10 mg/l, yang diperkirakan sesuai dengan difusi pasif dari sianida
melalui seluruh cavitas tubuh yang terbuka saat terjadinya kebakaran. Maka
dari itu sangat penting untuk mengidentifikasi sumber pasti sianida pada kasuskasus keracunan dan rute masuknya zat ke dalam tubuh sehingga dapat
diketahui penyebab kematiannya.5

Beberapa spesimen yang dapat diambil untuk pemeriksaan laboratorium


adalah
1. Lambung (isi dan jaringannya). Material ini berguna untuk mengetahui
keracunan sianida peroral atau pada kasus mati mendadak dimana terdapat
sejumlah besar obat-obat yang tidak terabsorpsi pada lambung. Pada kasuskasus overdosis obat maka lambung harus diambil seluruhnya. Jika
terdapat tablet atau capsul pada lambung maka harus ditempatkan di
kontainer terpisah dan dikirim bersama specimen lambung.
2. Hati. Specimen ini berguna untuk kasus keracunan yang kompleks.
Biasanya diambil 100 gram pada dari lobus kanan karena tidak
terkontaminasi dengan empedu.
3. Darah. Dianjurkan untuk mengambil spesimen darah dari berbagai
pembuluh darah perifer. Khasnya, tingkat sianida darah dalam 1 serial
kasus yang fatal antara 1-53 mg/l, dengan rata-rata 12 mg/L. 9 Kadar sianida
normal dalam darah sebesar 0,016-0,014mg/L.10 Selain pemeriksaan kadar
sianida dapat juga dilakukan pemeriksaan pH darah yang akan menjadi
lebih asam karena peningkatan asam laktat.
4. Otak. Pada kasus-kasus dimana sumber sianida tidak diketahui, dianjurkan
untuk mengambil sampel otak kurang lebih 20 gram dari bagian dalam
untuk mengkorfirmasi keberadaan sianida.
5. Paru-paru. Jika kematian mungkin disebabkan oleh inhalasi gas hidrogen
sianida, paru-parunya harus dikirim utuh, dibungkus dalam kantong yang
terbuat dari nilon (bukan polivinil klorida).
6. Limpa merupakan jaringan dengan konsentrasi sianida yang paling tinggi,
diperkirakan karena limpa banyak mengandung sel darah merah, dalam 1
serial seperti diatas, tingkat sianida limpa berkisar antara 0,5-398 mg/l,
dengan rata-rata 44 mg/l. Dalam serial lain, tingkat sianida darah rata-rata
37 mg/l.

7. Urine. Ekskresi sianida pada urine dalam beberapa bentuk salah satunya
adalah tiosianat.9 Pada orang yang tidak merokok konsentrasi tiosianat
berkisar antara 1-4mg/L sementara pada perokok konsentrasinya hingga 312mg/L.10
Penting untuk membawa sampel ke laboratorium sesegera mungkin
(dalam beberapa hari) untuk menghindari struktur sianida yang tidak seperti
aslinya lagi dalam sampel darah yang telah disimpan. Hal ini biasanya dapat
terjadi akibat suhu ruangannya, sehingga jika ada penundaan, sampel darah dan
jaringan sebaiknya disimpan pada suhu 4 derajat celcius dan harus dianalisa
sesegera mungkin. Akan tetapi kualitas sampel telah menurun walaupun dengan
adanya pendingin. Lebih dari 70% isi sianida dapat hilang setelah beberapa
minggu, akibat reaksi dengan komponen jaringan dan konversi menjadi
thiosianad. Sebaliknya, sampel postmortem yang terlalu lama disimpan dapat
menghasilkan sianida akibat reaksi dari bakteri. Pencegahan terhadap hal ini
dengan mempergunakan kontainer yang berisi 2% sodium flourida.9
Metode Analisa Kimia
a. Uji Kertas Saring. Kertas saring dicelupkan ke dalam asam pikrat jenuh
dan dibiarkan hingga lembap. Teteskan 1 tetes isi lambung, diamkan
hingga agak kering lalu ditetesi NA2CO3 10%. Uji positif bila terbentuk
warna ungu. Metode lain adalah dengan mempergunakan larutan KCl.
Kertas saring dicelupkan dalam larutan ini lalu dikeringkan dan dipotong
kecil. Kertas lalu dicelupkan ke dalam darah korban. Hasil positif jika
warna berubah merah terang. Apabila terjadi keracunan masal dapat
dipakai cara pemeriksaaan menggunakan kertas saring dengan metode
berbeda yaitu kertas saring dicelupkan ke dalam larutan HJO3 1%
kemudian larutan kanji 1% dan keringkan. Setelah kertas kering dapat
dipotong kecil-kecil seperti kertas lakmus. Letakkan dibawah lidah hingga

terbasahi oleh air liur. Uji positif bila warna berubah biru, dan negatif bila
tidak berubah.2
b. Reaksi Schonbein-Pagentecher (Reaksi Guacajol) dapat dipakai untuk
skrining. Metode ini akan memberikan hasil positif jika jaringan atau isi
lambung mengandung sianida, klorin,nitrogen oksida, atau ozon.
Masukkan 50mg isi atau jaringan lambung ke dalam botol elenmeyer.
Kertas saring dicelupkan ke dalam larutan guacajol 10% dalam alkohol lalu
dikeringkan. Celupkan lagi kertas saring ke dalam larutan 0,1%CuSO4
dalam air dan gantungkan diatas jaringan dalam botol elenmeyer. Bila isi
lambung alkalis dapat ditambahkan asam tartrat untuk mengasamkan
sehingga KCN mudah terurai. Botol lalu dihangatkan. Jika terbentuk warna
biru-hijau pada kertas saring maka hasil reaksi positif.2
c. Metode mempergunakan isi atau jaringan lambung dapat pula memakai
reaksi Prussian Blue. Isi atau jaringan lambung didestilasi dengan destilator
yaitu 5ml destilat, 1ml NaOH 50%, 3 tetes FeSO4 10% dan 3 tetes FeCl
5%. Panaskan hingga hampir mendidih lau dinginkan dan tambahkan HCl
pekat hingga terbentuk endapan Fe(OH)3. teruskan hingga endapan larut
kembali dan terbentuk warna biru berlin.2
d. Gettler-Goldbaum mempergunakan 2 flange atau piringan yang diantaranya
diselipkan kertas saring wathon no 50 yang digunting sebesar flange.
Kertas saring lalu dicelupkan kedalam larutan FeSO4 10% selama 5 menit
keringkan lalu dicelupkan ke dalam larutan NaOH 20% selama beberapa
detik. Letakkan dan jepit kertas saring diantara kedua flange. Panskan
bahan dan salurkan uap yang terbentuk hingga melewati kertas saring jika
berubah menjadi biru maka hasil dinyatakan positif.2
Analisa Sianida pada darah dapat mempergunakan metode calorimetrik.
Metode ini yang mempergunakan reagent pyrazolone merupakan teknik
konvensional untuk kuantifikasi sianida pada darah dan jaringan. Kelemahan
utama dari teknik ini adalah pengerjaannya yang rumit dan memakan waktu.
Cara yang lebih simpel, cepat dan tetap dapat dipercaya untuk kuantifikasi dari

sianida dalam darah adalah dengan mempergunakan Gas Cromatography


Nitrogen Phosporus Detection (GC-NPD). Metode ini jika dibandingkan
dengan metode standar calorimetric mempunyai hasil yang serupa sehingga
dapat dipergunakan untuk mendeteksi dan kuantifikasi sianida pada sampel
darah postmortem.11
Cara lain penentuan kasus keracunan sianida dikemukakan oleh Varnell
pada penelitiannya yang memperlihatkan bahwa gambaran CT Scan kranial
setelah 3 hari kematian terlihat berbeda dengan kasus dengan hipoksia dan
iskemia serebral. Terlihat pembengkakan cerebral dengan hilangnya batas
antara substantia alba dan subtansia nigra dengan onset yang cepat menjadi
petunjuk dari diagnosis keracunan sianida akut. Kebanyakan kasus dengan
gangguan serebral seperti hipoksia dan iskemia tidak memperlihatkan
perubahan ini pada waktu yang sama cepatnya.12

DAFTAR PUSTAKA
1. Idries, AM. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Binarupa
Aksara: Jakarta.
2. Budiyanto A, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
3. Utama,

Harry

Wahyudy,

2006,

Keracunan

Sianida,

http/klikharry.wordpress.com, diakses pada 26 Oktober 2014-10-26


4. ATSDR. 1997. Toxicology profile for cyanide. Atlanta, GA, United
States Department of Health and Human Service, Public Health Service,
Agency for Toxic Substance and Disease Registry.
5. ATSDR. 2004. Draft toxicology profile for cyanide. Atlanta, GA, United
States Department of Health and Human Service, Public Health Service,
Agency for Toxic Substance and Disease Registry.

8. Bismuth, C., Clarmann, M.V., Dijk, A.V., Mallinckrodt, M.G.V., Hall., Heijst,
A.N.P., Marrs, T.C., Meredith, T.J., Parren, A.C.G.M., Persson, H., Taitelman,
U., 1993, Antidote for Poisoning by Cyanide, Cambrige University Press.
9. Chishiro T, 2000. Clinical Aspect of Accidental Poisoning with Cyanide.
Asian Medical Journal 43(2) : 59-64.
10. IPCS. 2004. Hydrogen cyanide and cyanide : Human health aspect. Geneva,
World Health Organization, International Programme on Chemical Safety
(Concise International Chemical Assessment Document No. 61). Diakses pada
tanggal 23 Juni 2016.
11. Knight, B., 1996. Forensic Pathology. Edward Arnold, A Division of Hodder
and Stonghton. London.
12. Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., 2005.Robbins and Cotran: Pathologic
Basis of Disease Seventh Edition. Elsevier Saunders Inc. Philadelphia.

Anda mungkin juga menyukai