Catatan Anes 1
Catatan Anes 1
A. Latar Belakang
Seseorang tidak dapat hidup tanpa menghirup oksigen. Begitu esensialnya unsur ini
bagi kehidupan sehingga apabila 10 detik saja otak manusia tidak mendapatkan
oksigen, maka yang akan terjadi kemudian adalah penurunan kesadaran dan apabila
terus berlanjut, otak akan mengalami kerusakan yang lebih berat dan irreversible. Tak
hanya untuk bernafas dan memepertahankan kehidupan, oksigen juga sangat
dibutuhkan untukmetaboloisme tubuh. Oksigen malkah bisa menjadisarana untuk
mengatasi berbagai macam penyakit (admin, 2008).
Dengan penemuan yang sangat penting mengenai molekul oksigen oleh Joseph
Priestley pada tahun 1775 dan bukti adanya pertukaran gas pada proses pernafasan
oleh Lavoisier, oksigen menjadi suatu cara pengobatan dalam perawatan pasien.
Sebelum tahun 1920 suplementasi oksigen dievaluasi oleh Baruch dkk dan akhirnya
pada tahun 1920 ditetapkan suatu konsep bahwa oksigen dapat dipergunakan sebagai
terapi. Sejak itu efek hipoksia lebih dimengerti dan pemberian oksigen pada pasien
A. Rongga Toraks
Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam rongga
dada atau toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh
darah besar memisahkan paru tersebut. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas
paru) dan dasar. Pembuluh darah paru dan bronchial, bronkus, saraf dan pembuluh
limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan
lebih besar dari paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobaris. Paru kiri
dibagi menjadi dua lobus.
kedua permukaan itu bergerak selama pernafasan dan untuk mencegah pemisahan
toraks dan paru. Tidak ada ruangan yang sesungguhnya memisahkan kedua pleura
tersebut sehingga apa yang disebut dengan rongga pleura atau kavitas pleura hanyalah
suatu ruangan potensial. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan
atmosfer, sehingga mencegah kolaps paru. Bila terserang penyakit, pleura mungkin
mengalami peradangan, atau udara ataupun cairan dapat masuk ke dalam rongga
pleura, menyebabkan paru tertekan atau kolaps.
Ada tiga faktor yang mempertahankan tekanan negatif yang normal ini. Pertama,
jaringan elastic paru memberikan kekuatan kontinu yang cenderung menarik paru jauh
dari rangka toraks. Setelah lahir, paru cenderung mengerut ke ukuran aslinya yang
lebih kecil daripada bentuknya sebelum mengembang. Tetapi, permukaan pleura
viseralis dan pleura parietalis yang saling menempel itu tidak dapat dipisahkan,
sehingga tetap ada kekuatan kontinu yang cenderung memisahkannya. Kekuatan ini
dikenal sebagai tekanan negatif dari ruang pleura. Tekanan intrapleura secara terusmenerus bervariasi sepanjang siklus pernafasan, tetapi selalu negatif.
Faktor utama kedua dalam mempertahankan tekanan negatif intrapleura adalah
kekuatan osmotik yang terdapat di seluruh membrane pleura. Cairan dalam keadaan
normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke ruang pleura dan
kemudian diserap kembali melalui pleura viseralis. Pergerakan cairan pleura dianggap
mengikuti hukum Starling tentang pertukaran transkapiler; yaitu, pergerakan cairan
bergantung pada selisih perbedaan antara tekanan hidrostatik darah yang cenderung
mendorong cairan keluar dan tekanan onkotik dari protein plasma yang cenderung
menahan cairan agar tetap di dalam. Selisih perbedaan absorbsi cairan pleura melalui
pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura
parietalis sehingga pada ruang pleura dalam keadaan normal hanya terdapat beberapa
milliliter cairan.
Faktor ketiga yang mendukung tekanan negatif intrapleura adalah kekuatan pompa
limfatik. Sejumlah kecil protein secara normal memasuki ruang pleura tapi akan
dikeluarkan oleh sistem limfatik dalam pleura parietalis; terkumpulnya protein di dalam
ruang
intrapleura
akan
mengacaukan
keseimbangan
osmotik
normal
tanpa
pengeluaran limfatik.
Ketiga faktor ini kemudian, mengatur dan mempertahankan tekanan negatif
intrapleura normal.
B. Kontrol Pernafasan
Terdapat beberapa mekanisme yang berperan membawa udara ke dalam paru
sehingga pertukaran gas dapat berlangsung. Fungsi mekanis pergerakan udara masuk
dan keluar dari paru disebut ventilasi dan mekanisme ini dilaksanakan oleh sejumlah
komponen yang saling berinteraksi. Komponen yang berperan penting adalah pompa
yang bergerak maju mundur, disebut pompa pernafasan. Pompa ini mempunyai dua
komponen volume-elastis: paru itu sendiri dan dinding yang mengelilingi paru. Dinding
terdiri dari rangka dan dan jaringan rangka toraks, serta diafragma, isi abdomen dan
dinding abdomen. Otot-otot pernafasan yang merupakan bagian dinding toraks
merupakan sumber kekuatan untuk menghembus pompa. Diafragma (dibantu oleh otototot yang dapat mengangkat tulang iga dan sternum) merupakan otot utama yang ikut
berperan dalam peningkatan volume paru dan rangka toraks selama inspirasi; ekspirasi
merupakan suatu proses pasif pada pernafasan tenang.
Otot-otot pernafasan diatur oleh pusat pernafasan yang terdiri dari neuron dan
reseptor pada pons dan medulla oblongata. Pusat pernafasan merupakan bagian
sistem saraf yang mengatur semua aspek pernafasan. Faktor utama pada pengaturan
pernafasan adalah respon dari pusat kemoreseptor dalam pusat pernafasan terhadap
tekanan parsial (tegangan) karbon diokasida (PaCO2) dan pH darah arteri. Peningkatan
PaCO2 atau penururnan pH merangsang pernafasan.
Penurunan tekanan parsial O2 dalam darah arteri PaO2 dapat juga merangsang
ventilasi. Kemoreseptor perifer yang terdapat dalam badan karotis pada bifurkasio
arteria komunis dan dalam badan aorta pada arkus aorta, peka terhadap penurunan
PaO2 dan pH, dan peningkatan PaCO2. Akan tetapi PaO2 harus turun dari nilai normal
kira-kira sebesar 90-100 mmHg hingga mencapai sekitar 60 mmHg sebelum ventilasi
mendapat rangsangan yang cukup berarti.
Mekanisme lain mengontrol jumlah udara yang masuk ke dalam paru. Pada waktu
paru mengembang, reseptor-reseptor ini mengirim sinyal pada pusat pernafasan agar
menghentikan pengembangan lebih lanjut. Sinyal dari reseptor regang tersebut akan
berhenti pada akhir ekspirasi ketika paru dalam keadaan mengempis dan pusat
pernafasan bebas untuk memulai inspirasi lagi. Mekanisme ini yang dikenal dengan
nama refleks Hering-Breuer, refleks ini tidak aktif pada orang dewasa, kecuali bila
volume tidal melebihi 1 liter seperti pada waktu berolah raga. Refleks ini menjadi lebih
penting pada bayi baru lahir. Pergerakan sendi dan otot (misalnya, sewaktu berolah
raga) juga merangsang peningkatan ventilasi. Pola dan irama pengaturan pernafasan
dijalankan melalui interaksi pusat-pusat pernafasan yang terletak dalam pons dan
medulla oblongata. Keluaran motorik akhir disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf
frenikus yang mempersarafi diafragma, yaitu otot utama ventilasi. Saraf utama lain yang
ikut ambil bagian adalah saraf asesorius dan interkostalis torasika yang mempersarafi
otot bantu pernafasan dan otot interkostalis.
Kontrol pernafasan pada jalan nafas
Otot polos terdapat pada trakea hingga bronkiolus terminalis dan dikontrol oleh
sistem saaraf otonom. Tonus bronkomotorik bergantung pada keseimbangan antara
kekuatan konstriksi dan relaksasi otot polos pernafasan. Persarafan parasimpatis
(kolinergik melalui nervus vagus) memberikan tonus bronkokonstriktor pada jalan
nafas. Rangsangan parasimpatis menyebabkan bronkokonstriksi dan peningkatan
sekresi kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. Rangsangan simpatis terutama ditimbulkan
oleh epinefrin melalui reseptor-reseptor adrenergic-beta2, dan menyebabkan relaksasi
otot polos bronkus,
mempersarafi jalan nafas, namun hanya sedikit. Sekarang ini, komponen ketiga
pengontrolan saraf yan telah digambarkan disebut nonkolinergik, sistem penghambat
nonadrenergik. Stimulasi serat saraf ini terletak pada nerfus vagus dan menyebabkan
bronkodilasi, dan neurotransmitter yang digunakan adalah nitrogen oksida. Reseptorreseptor jalan nafas bereaksi terhadap iritan-iritan mekanik ataupun kimia yang akan
menimbulkan masukan sensoris jaras vagus aferen, dan dapat menyebabkan
bronkokonstriksi, peningkatan sekresi mucus, peningkatan permeabilitas pembuluh
darah.
C. Tinjauan Fisiologi
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O 2 dipindahkan dari udara ke dalam
jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi menjadi tiga
stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke
dalam dan ke luar paru. Stadium kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa
aspek : 1) difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan
antara darah sistemik dan sel-sel jaringan; 2) distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar
dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus; dan 3) reaksi
kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah. Respirasi sel atau respirasi interna
merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan
energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan
oleh paru.
Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan yang terdapat
antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Rangka toraks berfungsi
sebagai pompa. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus
mengangkat sternum keatas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus
mengangkat iga-iga. Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan
vertical. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari
sekitar -4mmHg (relative terhadap terkanan atmosfer) menjadi sekitar -8 mmHg bila
paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama tekanan intrapulmonal
atau tekanan jalan nafas menurun sampai sekitar -2 mmHg dari 0 mmHg pada waktu
mulai inspirasi. Selisih tekanan antara jalan nafas dan atmosfer menyebabkan udara
mengalir ke dalam paru sampai tekanan jalan nafas pada akhir inspirasi sama dengan
tekanan atmosfer.
Definisi-definisi berikut ini akan berguna dalam pembahasan ventilasi yang efektif :
Volume semenit atau ventilasi semenit (VE) adalah volume udara yang terkumpul
selama ekspirasi dalam periode satu menit. V E dapat dihitung dengan mengalikan nilai
VT dengan kecepatan pernafasan. Dalam keadaan istirahat, V E orang dewasa sekitar 6
atau 7 liter/ menit.
Frekuensi pernafasan (f) atau kecepatan; adalah jumlah nafas yang dilakukan per
menit. Pada keadaan istirahat, pernafasan orang dewasa sekitar 10-20 kali per menit.
Volume tidal (VT) adalah banyaknya udara yang diinspirasi atau diekspirasi pada setiap
pernafasan. VT sekitar 8-12 cc/kgBB dan jauh meningkat pada waktu melakukan
kegiatan fisik yaitu bila bernafas dalam.
Ruang mati fisiologis (VD) adalah volume udara inspirasi yang tidak tertukar dengan
udara paru; udara ini dapat dianggap sebagai ventilasi yang terbuang sia-sia. Ruang
mati fisiologis terdiri dari ruang mati anatomis (volume udara dalam saluran nafas
penghantar, yaitu sekitar 1 ml per pon berat badan), ruang mati alveolar (alveolus
mengalami ventilasi tapi tidak mengalami perfusi), dan ventilasi melampaui perfusi.
Perbandingan antara VD dengan VT (VD / VT) menggambarkan bagian dati VT yang tidak
mengadakan pertukaran dengan darah paru. Nilai rasio tersebut tidak melebihi 30%
sampai 40% pada orang yang sehat. Perbandingan ini seringkali digunakan untuk
mengikuti keadaan pasien yang mendapatkan ventilasi mekanik.
Ventilasi alveolar (VA) adalah volume udara segar yang masuk ke dalam alveolus setiap
menit, yang mengadakan pertukaran dengan darah paru. Ini merupakan ventilasi
efektif. Ventilasi alveolar dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
VA= (VT-VD) x f, atau VA= VE-VD.
VA merupakan petunjuk yang lebih baik tentang ventilasi dibandingkan V E atau VT
karena pada pengukuran ini diperhitungkan volume udara yang terbuang dalam
ventilasi VD.
Komplians (C=daya kembang) adalah ukuran sifat elastik (distensibilitas) yang dimilii
oleh paru dan toraks. Didefinisikan sebagai perubahan volume per unit perubahan
dalam tekanan dalam keadaan statis. Komplians total (daya kembang paru dan toraks)
atau komplians paru saja dapat ditentukan. Komplians paru normal dan komplians
melintasi membran alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih cepat dibandingkan O 2 karena
daya larutnya yang lebih besar.
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan antara O 2 di kapiler
darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama
0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru normal memiliki cukup cadangan
waktu difusi. Pada beberapa penyakit (misalnya, fibrosis paru), sawar darah dan udara
dapat menebal dan difusi dapat melambat sehingga keseimbangan mungkin tidak
lengkap, terutama seawktu berolah raga ketika waktu kontak total berkurang. Jadi, blok
difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak dianggap sebagai faktor
utama. Pengeluaran CO2 dianggap tidak dipengaruhi oleh kelainan difusi.
Kurva bergeser ke kanan apabila pH darah menurun atau PCO 2 meningkat. Dalam
keadaan ini, pada PO2 tertentu afinitas Hb terhadap O2 berkurang, sehingga O2 yang
dapat diangkut oleh darah berkurang. Keadaan patologis yang dapat menyebabkan
asidosis metabolic, seperti syok (pembentukan asam laktat berlebihan akibat
metabolisme anaerobic) atau retensi CO 2 (seperti yang ditemukan pada banyak
penyakit paru) akan menyebabkan pergeseran kurva ke kanan. Pergeseran kurva
sedikit ke kanan seperti pada bagian vena kurva normal (pH 7,38) akan membantu
pelepasan O2 ke jaringan. Pergeseran ini dikenal dengan nama efek Bohr. Faktor lain
yang menyebabkan pergeseran kurva ke kanan adalah peningkatan suhu dan 2,3
difosfogliserat (2,3-DPG) yaitu fosfat organic dalam sel darah merah yang mengikat Hb
dan mengurangi afinitas Hb terhadap O 2. Pada anemia dan hipoksemia kronik, 2,3-DPG
sel darah merah meningkat. Meskipun kemampuan transport O 2 oleh Hb menurun bila
kurva bergeser ke kanan, namun kemampuan Hb untuk melepaskan O 2 ke jaringan
dipermudah. Karena itu, pada anemia dan hipoksemia kronik pergeseran kurva ke
kanan merupakan proses kompensasi. Pergeseran kurva ke kanan yang disertai
kenaikan suhu, selain menggambarkan adanya kenaikan metabolisme sel dan
peningkatan kebutuhan O2, juga merupakan proses adaptasi dan menyebabkan lebih
banyak O2 yang dilepaskan ke jaringan dari aliran darah.
Sebaliknya, peningkatan pH darah (alkalosis) atau penurunan PCO 2, suhu, dan 2,3DPG akan menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin ke kiri.
Pergeseran ke kiri menyebabkan peninkatan afinitas Hb terhadap O 2. Akibatnya
ambilan O2 paru meningkat pada pergeseran ke kiri, namun pelepasan ke jaringan
terganggu. Karena itu secara teoretis dapat terjadi hipoksia (insufisiensi O 2 jaringan
guna memenuhi kebutuhan metabolisme) pada keadaan alkalosis berat, terutama bila
disertai
dengan
hipoksemia. Keadaan
ini
terjadi
selama
proses
mekanisme
overventilasi dengan respirator atau pada tempat yang tinggi akibat hiperventilasi.
Karena hiperventilasi juga diketahui dapat menurunkan aliran darah serebral karena
penurunan PaCO2, iskemia serebral juga bertanggung jawab atas gejala berkunangkunang yang sering terjadi pada kondisi demikian. Darah yang disimpan akan
kehilangan aktifitas 2,3-DPG, sehingga afinitas Hb terhadap O 2 akan meningkat. Oleh
karena itu, pasien yang menerima transfuse darah yang disimpan dalam jumlah banyak
kemungkinan akan mengalami gangguan pelepasan O 2 ke jaringan karena adanya
pergeseran kurva disosiasi HbO2 ke kiri.
Afinitas Hb diberi batasan melalui PO2 yang dibutuhkan untuk menghasilkan
kejenuhan 50% (P50). Dalam keadaan normal, P 50 sekitar 27 mmHg. P50 akan
meningkat, bila kurva disosiasi bergeser ke kanan (pengurangan afinitas Hb terhadap
O2) sedangkan pada pergeseran kurva ke kiri, (peningkatan afinitas Hb terhadap O 2),
P50 akan menurun.
Homeostasis CO2 juga merupakan suatu aspek penting dalam kecukupan respirasi.
Transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara. Sekitar
10% CO2 secara fisik larut dalam plasma, karena tidak seperti O 2, CO2 mudah larut
dalam plasma. Sekitar 20% CO2 berikatan dengan gugus amino pada Hb
(karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut dalam
bentuk bikarbonat plasma (HCO3-). CO2 berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini :
CO2 + H2O H2CO3 H+ + HCO3-
Informasi penting lain yang diperlukan untuk menilai status respirasi pasien adalah
konsentrasi Hb serta persentase kejenuhan Hb. Persentase kejenuhan Hb tidak
bergantung pada konsentrasi Hb, sedangkan kandungan O 2 dalam volume persen
berhubungan langsung dengan konsentrasi Hb. Volume persen menunjukkan berapa
banyak O2 yang dapat dihantarkan ke jaringan pada PaO 2 tertentu.
E. Analisa Gas Darah
Untuk menilai fungsi pernafasan secara adekuat, perlu juga mempelajari hal-hal di
luar paru seperti volume dan distribusi gas yang diangkut oleh sistem sirkulasi.
PaCO2 merupakan petunjuk VA yang terbaik. Bila PaCO2 meningkat, penyebab
langsung selalu hipoventilsai alveolar. Hipoventilasi menyebabkan asidosis respiratorik
dan penurunan pH darah. Penyebab langsung penurunan PaCO 2 adalah selalu
hiperventilasi alveolar. Hiperventilasi menyebabkan alkalosis resiratorik dan kenaikan
pH darah.
Bila PaO2 turun sampai di bawah nilai normal, terjadi hipoksemia. Pada gagal
pernafasan yang berat, PaO2 makin turun sampai 30-40 mmHg. Hipoksemia akibat
penyakit paru disebabkan oleh salah satu atau lebih dari mekanisme di bawah ini : 1)
ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi (penyebab tersering), 2) hipoventilasi
alveolar, 3)gangguang difusi, atau 4) pirau anatomic intrapulmonar. Hipoksemia akibat
tiga kelainan yang pertama dapat diperbaiki dengan pemberian O 2. Tetapi pirau
anatomic intrapulmonar (pirau arteriovenosa) tidak dapat diatasi dengan terapi O 2.
Perubahan gas darah arteri merupakan hal yang kritis dalam diagnosis kegagalan
pernafasan atau ventilasi yang mungkin timbul secara perlahan-lahan. Apabila kadar
PaO2 tutun di bawah normal, terjadi insufisiensi pernafasan, dan terjadi kegagalan
pernafasan bila PaO2 turun sampai 50 mmHg. PaCO 2 dapat meningkat atau turun
sampai di bawah nilai normal pada insufisiensi atau kegagalan pernafasan.
Simbol
PaCO2
Tekanan O2
Persentase kejenuhan O2
Konsentrasi ion hydrogen
Bikarbonat
PaO2
SaO2
pH
HCO3-
Nilai normal
35-45 mmHg
(rata-rata, 40)
80-100 mmHg
97
7,35-7,45
22-26 mEq/L
F. Terapi Oksigen
Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai suatu intervensi medis,
dengan konsentrasi yang lebih tinggi disbanding yang terdapat dalam udara untuk
terapi dan pencegahan terhadap gejala dan menifestasi dari hipoksia. Oksigen sangat
penting untuk metabolisme sel, dan lebih dari itu, oksigenasi jaringan sangat penting
untuk semua fungsi fisiologis normal.
Oksigen dapat diberikan secara temporer selama tidur maupun selama beraktivitas
pada penderita dengan hipoksemia. Selanjutnya pemberian oksigen dikembangkan
terus ke arah ventilasi mekanik, pemakaian oksigen di rumah. Untuk pemberian oksigen
dengan aman dan efektif perlu pemahaman mengenai mekanisme hipoksia, indikasi,
efek terapi, dan jenis pemberian oksigen serta evaluasi penggunaan oksigen tersebut.
Hipoksemia
Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan konsentrasi oksigen
dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2) dibawah nilai normal.
Hipoksemia dibedakan menjadi ringan sedang dan berat berdasarkan nilai PaO 2 dan
SaO2, yaitu:
1. Hipoksemia ringan dinyatakan pada keadaan PaO 2 60-79 mmHg dan SaO2 90-94%
2. Hipoksemia sedang PaO2 40-60 mmHg, SaO2 75%-89%
3. Hipoksemia berat bila PaO2 kurang dari 40 mmHg dan SaO2 kurang dari 75%.
Hipoksia
Hipoksia adalah kekurangan O2 ditingkat jaringan. Istilah ini lebih tepat dibandingkan
anoksia, sebab jarang dijumpai keadaan dimana benar-benar tidak ada O2 tertinggal
dalam jaringan. Jaringan akan mengalami hipoksia apabila aliran oksigen tidak adekuat
dalam memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan, hal ini dapat terjadi kira-kira 4-6
menit setelah ventilasi spontan berhenti. Secara tradisional, hipoksia dibagi dalam 4
jenis.
Hipoksia hipoksik (anoksia anoksik) yaitu apabila PO2 darah arteri berkurang.
Merupakan masalah pada individu normal pada daerah ketinggian serta merupakan
penyulit pada pneumonia dan berbagai penyakit sistim pernafasan lainnya. Gejala yang
muncul pada keadaan ini antara lain iritabilitas, insomnia, sakit kepala, sesak nafas,
mual dan muntah.
2.
Hipoksia anemik yaitu apabila O2 darah arteri normal tetapi mengalami denervasi.
Sewaktu istirahat, hipoksia akibat anemia tidaklah berat, karena terdapat peningkatan
kadar 2,3-DPG didalam sel darah merah, kecuali apabila defisiensi hemoglobin sangat
besar. Meskipun demikian, penderita anemia mungkin mengalami kesulitan cukup
besar sewaktu melakukan latihan fisik karena adanya keterbatasan kemampuan
meningkatkan pengangkutan O2 ke jaringan aktif.
3. Hipoksia stagnan; akibat sirkulasi yang lambat merupakan masalah bagi organ seperti
ginjal dan jantung saat terjadi syok. Hipoksia akibat sirkulasi lambat merupakan
masalah bagi organ seperti ginjal dan jantung saat terjadi syok. Hati dan mungkin
jaringan otak mengalami kerusakan akibat hipoksia stagnan pada gagal jantung
kongestif. Pada keadaan normal, aliran darah ke paru-paru sangat besar, dan
dibutuhkan hipotensi jangka waktu lama untuk menimbulkan kerusakan yang berarti.
Namun, syok paru dapat terjadi pada kolaps sirkulasi berkepanjangan,terutama
didaerah paru yang letaknya lebih tinggi dari jantung.
4.
Kardiovaskuler
Metabolik
efektif digunakan untuk evaluasi kebutuhan oksigen selama latihan, dan untuk
mengevaluasi dan memastikan dosis oksigen bagi pasien yang menggunakan terapi
oksigen di rumah.
Gagal Nafas
Gagal nafas merupakan suatu keadaan kritis yang memerlukan perawatan di
instansi perawatan intensif. Diagnosis gagal nafas ditegakkan bila pasien kehilangan
kemampuan ventilasi secara adekuat atau tidak mampu mencukupi kebutuhan oksigen
darah dan sistem organ. Gagal nafas terjadi karena disfungsi sistem respirasi yang
dimulai dengan peningkatan karbondioksida dan penurunan jumlah oksigen yang
diangkut kedalam jaringan. Gagal nafas akut sebagai diagnosis tidak dibatasi oleh usia
dan dapat terjadi karena berbagai proses penyakit. Gagal nafas hampir selalu
dihubungkan dengan kelainan diparu,tetapi keterlibatan organ lain dalam proses
respirasi tidak boleh diabaikan.
Tujuan
terapi
oksigen
adalah
mengoptimalkan
oksigenasi
jaringan
dan
tidak adekuat akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini, oksigen
harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek sampai kondisi membaik
dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan dengan dosis yang
dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan,
oksigen harus diberi secara terus-menerus.
Untuk pedoman indikasi terapi oksigen jangka pendek terdapat rekomendasi dari
The American College of Chest Physicians dan The National Heart, Lung, and Blood
Institute (tabel 4).
survival
lebih
besar
telah
ditunjukkan
dengan
pemberian
oksigen
berkesinambungan.
Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa terapi oksigen jangka panjang
dapat memperbaiki harapan hidup. Karena adanya perbaikan dengan terapi oksigen
jangka panjang, maka direkomendasikan untuk pasien hipoksemia (PaO 2 < 55 mmHg
atau saturasi oksigen < 88%) oksigen diberikan secara terus-menerus 24 jam dalam
sehari. Pasien dengan PaO 2 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 88%, kor pulmonal
atau polisitemia juga memerlukan terapi oksigen jangka panjang.
Pada keadaan ini, awal pemberian oksigen harus dengan konsentrasi rendah (FiO 2
24-28%) dan dapat ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil pemeriksaan analisis gas
darah, dengan tujuan mengoreksi hipoksemia dan menghindari penurunan pH dibawah
7,26. Oksigen dosis tinggi yang diberikan kepada pasien PPOK yang sudah mengalami
gagal nafas tipe II (peningkatan karbondioksida oleh karena kegagalan ventilasi dengan
oksigen yang relatif cukup) akan dapat mengurangi efek hipoksik untuk pemicu gerakan
bernafas dan meningkatkan mismatch ventilasi-perfusi. Hal ini akan menyebabkan
retensi CO2 dan akan menimbulkan asidosis respiratorik yang berakibat fatal.
Pasien yang menerima terapi jangka panjang harus dievaluasi ulang dalam 2 bulan
untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan dan apakah masih
dibutuhkan terapi oksigen. Hingga 40% pasien yang mendapat terapi oksien mengalami
perbaikan setelah 1 bulan dan tidak perlu lagi meneruskan suplemen oksigen.
Berikut ini adalah indikasi terapi oksigen jangka panjang yang telah
direkomendasi :
Tabel 5. Indikasi terapi oksigen jangka panjang
Pemberian oksigen secara kontinyu :
PaO2 istirahat 55 mmHg atau saturasi oksigen 88%
PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 89% pada satu
keadaan :
o Edema yang disebabkan karena CHF
o P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3mm pada lead II, III,
aVF
Eritrositoma (hematokrit > 56%)
PaO2 > 59 mmHg atau saturasi oksigen > 89%
Pemberian oksigen tidak kontinyu :
Selama latihan : PaO2 55 mmHg atau saturasi oksigen 88%
Selama tidur : PaO2 55 mmHg atau saturasi oksigen 88% dengan
komplikasi seperti hipertensi pulmoner, somnolen, dan artimia
Tabel 6. Indikasi terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK
Indikasi
PaO2 55 mmHg or SaO2 88%
Pencapaian terapi
- PaO2 60 mmHg atau SaO2
90%
Dosis oksigen sebaiknya
89%
90%
hematokrit > 55% dan gagal jantung disesuaikan saat tidur dan latihan
kongestif
Indikasi khusus
Nocturnal hypoxemia
Kontraindikasi
Suplemen oksigen tidak direkomendasi pada :
Pasien dengan keterbatasan jalan nafas yang berat dengan keluhan utama dispneu,
tetapi dengan PaO2 lebih atau sama dengan 60 mmHg dan tidak mempunyai hipoksia
kronik.
Pasien yang meneruskan merokok, karena kemungkinan prognosis yang buruk dan
tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing diatasi melalui proses
pendorongan dengan arus tinggi tersebut.
Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40L/menit oksigen melalui mask, yang
umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi.
Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi adalah pasien dengan
hipoksia yang memerlukan pengendalian FiO 2, dan pasien hipoksia dengan ventilasi
abnormal.
Penderita PPOK dengan retensi CO2 sering bergantung pada hypoxic drive untuk
mempertahankan ventilasinya. Konsentrasi O2 yang tinggi dapat mengurangi drive ini.
Oksigen sebaiknya hanya diberikan dengan persentase rendah dan pasien diobservasi
secara ketat untuk menilai adanya retensi CO2.
2.
KESIMPULAN
Oksigen merupakan unsur yang paling dibutuhkan bagi kehidupan manusia,
sebentar saja manusia tak mendapat oksigen maka akan langsung fatal akibatnya. Tak
hanya untuk bernafas dan mempertahankan kehidupan, oksigen juga sangat
dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Pembarian oksigen dapat memperbaiki keadaan
umum, mempermudah perbaikan penyakit dan memperbaiki kualitas hidup. Oksigen
dapat diberikan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk pemberian oksigen kita
harus mengerti indikasi pemberian oksigen, teknik yang akan dipakai, dosis oksigen
yang akan diberikan, dan lamanya oksigen yang akan diberikan serta waktu pemberian.
Pemberian oksigen perlu selalu dievaluasi sehingga dapat mengoptimalkan pemberian
oksigen
dan
mencegah
terjadinya
retensi
CO2...
DAFTAR PUSTAKA
AARC CPG, 2002, AARC Clinical Practice Guideline : Oxygen Therapy for Adults in the Acute
Care Facility, diakses dari www.rcjournal.com pada tanggal 12 Januari 2010.
Admin, 2008, Oksigen, diakses dari www.healthcare.wordpress.com pada tanggal 16 Januari
2010.
Anonymous, Stress and Health Solution, diakses dari www.MedDzik.org pada tanggal 15
Januari 2010.
Astowo, Pudjo, 2005, Terapi oksigen, Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi. Jakarta: FK UI.
Ganong, F. William, 2003, Fisiologi Kedokteran, Edisi 20, Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9, Jakarta: EGC.
Latief, A. Said, 2002, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intesif,
Jakarta: FK UI.
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., 2006, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
Singh, CP., Brar, Gurmeet K., et al, 2001, Emergency Medicine: Oxygen Therapy, Journal,
Indian
Academy
of
Clinical
Medicine
Vol.
2,
No.
3,
diakses
dari