Anda di halaman 1dari 101

Ikatan Dokter Indonesia Departemen Kesehatan - UNICEF 2003

Buku Pedoman Pelatihan

DETEKSI DINI &


PENATALAKSANAAN
KORBAN CHILD ABUSE and
NEGLECT
Bagi
TENAGA PROFESIONAL
KESEHATAN
Buku II: Bahan Bacaan

Kata Pengantar
Pertama-tama puji syukur kami persembahkan kepada Allah yang maha besar dan
maha kuasa sehingga atas ijinNya maka buku Panduan Pelatihan tentang Deteksi Dini
dan Penatalaksanaan Child Abuse and Neglect untuk para Profesional Kesehatan
dapat diterbitkan setelah melalui masa pembuatan yang hampir satu tahun lamanya.
Istilah Child Abuse and Neglect telah dicari padanannya dalam bahasa Indonesia,
seperti kekerasan dan penelantaran terhadap anak, penderaan dan penelantaran
terhadap anak, atau penganiayaan dan penelantaran terhadap anak, namun masingmasing istilah tersebut memiliki kelemahan pengertian, sehingga diputuskan oleh
kelompok kerja untuk tetap menggunakan istilah aslinya dan disingkat menjadi CAN.
Kelompok kerja penyusun buku ini terdiri dari para dokter dari Ikatan Dokter Indonesia
(IDI), ahli hukum, perwakilan dari Departemen Kesehatan dan dari PPNI, serta didukung
oleh pakar pelatihan / aktivis hak anak dan pakar perlindungan anak dari UNICEF.
Kelompok kerja tersebut mengembangkan buku panduan pelatihan melalui studi
literatur, diskusi kelompok, Workshop Nasional dengan menghadirkan berbagai pakar

dan pemerhati masalah CAN, uji coba pelatihan di Surabaya dan di Jakarta, serta uji
training of trainers (TOT) di Karawaci. Masukan yang sangat berharga diperoleh dari
para pakar dan pemerhati tersebut di atas dan juga dari pakar psikologi pelatihan Unicef
Amanda M. dan Bernadette J Madrid, MD direktur eksekutif Child Protection Unit Public
General Hospital di Manila.
Oleh karena itu dalam kesempatan ini kami sebagai kelompok kerja penyusun buku
menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada banyak pihak, yang pada
dasarnya adalah para pembela Hak Anak dan aktivis Perlindungan Anak, yang telah
menyumbangkan pikiran, keahlian dan pengalamannya dari berbagai sudut sehingga
kami berhasil menyelesaikan tugas ini. Perhargaan dan terima kasih juga kami
sampaikan kepada rekan-rekan dari Unicef Jakarta oleh karena buku ini tidak mungkin
terbit tanpa dukungan dan komitmen dari mereka.
Buku Panduan Pelatihan ini diharapkan menjadi awal dari suatu langkah besar yang
harus kita laksanakan, yaitu terbentuknya suatu Sistem Perlindungan Anak di seluruh
wilayah negara Republik Indonesia. Kami mengharapkan agar buku Pedoman Pelatihan
ini benar-benar dapat diterapkan dalam pelatihan-pelatihan bagi para profesional di
bidang kesehatan, sehingga akan terbentuk armada tenaga kesehatan yang memahami
hak anak dan CAN, sebagai bagian dari profesional multidisiplin pelindung anak
Indonesia, yang bertekad untuk mempromosikan hak dan perlindungan anak serta
mencegah dan menatalaksana korban CAN secara tepat.
Melindungi Anak Indonesia adalah menciptakan Masa Depan Indonesia
Jakarta, Januari 2004.

Kelompok Kerja Penyusun.

Kelompok Kerja Penyusun :


Kelompok Inti :
Budi Sampurna
Suryo Dharmono
Rita Serena Kalibonso
Tjhin Wiguna
Rini Sekartini
Ahmad Suryawan
Yupi Supartini

Penasehat Teknis :
Yan Prasetio
Bambang Permono

Penasehat Pelatihan :
Mansour Fakih

Departemen Kesehatan :
Regina Penina

Asisten:
Oktavinda Safitry

Daftar Isi
Halaman

Kata Pengantar

Daftar isi

Pendahuluan

Bab I.

5
5
11
14

CAN dan Aspek Hukum


Pengertian
Aspek Etik dan Hukum
Sistem Perlindungan Anak
Peran Tenaga Profesional Kesehatan Dalam Kerjasama Multidisiplin
Penanganan CAN

19

BAB II. Tumbuh Kembang dan Siklus Kehidupan Anak


Tahap Tahap Tumbuh Kembang Anak

23
25

BAB III. Faktor Risiko Terjadinya CAN


Dampak CAN Pada Tumbuh Kembang Anak

36
39

BAB IV. Pemeriksaan


Pemeriksaan Kasus Kekerasan Fisik
Pemeriksaan Kasus Kekerasan Seksual
Teknik Wawancara dan Evaluasi Mental Emosional
Pemeriksaan Penunjang
Interpretasi Hasil Pemeriksaan Medikolegal
Sistem Klasifikasi ADAMS
Rekam Medis

44
44
47
49
55
55
59
64

BAB V. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan Psikososial
Asuhan Keperawatan
Sistim Rujukan
Pendekatan Multidisiplin

66
66
66
68
73
75

Kepustakaan

79

Pendahuluan
Buku II dari Panduan Pelatihan tentang Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Child Abuse
and Neglect untuk para Profesional Kesehatan adalah buku bahan bacaan yang
berisikan tentang materi Child Abuse and Neglect (CAN) sebagai kelengkapan dari
Panduan pelatihan itu sendiri.
Buku bahan bacaan ini tidak dimaksudkan sebagai suatu buku teks, melainkan hanya
memberikan bahan bacaan yang esensial saja mengenai CAN yang harus diketahui
secara ringkas guna dapat mengikuti Pelatihan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa buku bahan bacaan ini merupakan komplemen dari Buku Panduan Pelatihan
yang wajib dibaca sebelum mengikuti pelatihan. Tanpa membaca buku bahan bacaan
ini maka pelatihan menjadi tidak berisi.
Buku bahan bacaan ini secara sistematis menguraikan CAN mulai dari pemahaman
awalnya, seperti pengertian anak, hak anak, perlindungan anak, dan CAN, kemudian
tentang aspek etik dan hukum yang terkait, serta sistem perlindungan anak, baik yang
berlaku di Indonesia sekarang dan masa yang akan datang berdasarkan UU
Perlindungan Anak, maupun sistem tersebut di negara tetangga.
Selanjutnya sebelum mempelajari secara rinci CAN, buku ini mengupas tentang tumbuh
kembang anak dan kaitannya dengan CAN, faktor risiko atau indikator risiko, serta
dampak CAN terhadap tumbuh kembang anak.
CAN sendiri dibahas ciri-cirinya untuk dapat dideteksi secara dini, apa pemeriksaan
yang diperlukan dan bagaimana pelaksanaannya, mulai dari teknik wawancara,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan ginekologis bila diperlukan, pemeriksaan penunjang
yang diperlukan, hingga ke pemeriksaan status mental pasien. Guna memperjelas
gambaran besar pemeriksaan, buku ini juga memaparkan foto-foto contoh kasus yang
diambil dari pengalaman penyusun dan dari berbagai kepustakaan. Interpretasi hasil
pemeriksaan medikolegal untuk kepentingan pembuktian di sistem peradilan Indonesia
juga dibahas.
Buku ini juga menawarkan suatu bentuk rekam medis yang khusus, yang di dalam
praktek akan dapat memberikan arahan tentang informasi apa saja yang sebaiknya
diperoleh dan didokumentasikan. Rekam medis khusus tersebut merupakan tambahan
dari rekam medis umum yang biasa digunakan di dalam sarana kesehatan tempat
pemeriksaan dilakukan.
Akhirnya dalam bahan bacaan ini juga dikupas penatalaksanaan korban CAN yang di
dalamnya termasuk sistem rujukan dan pelaporannya. Penatalaksanaan korban
dilakukan secara multidisipliner, melibatkan berbagai disiplin ilmu dan profesi yang
pada garis besarnya diuraikan dalam penatalaksanaan medis, psikososial dan asuhan
keperawatannya.

BAB I
CHILD ABUSE AND NEGLECT (CAN)
DAN ASPEK HUKUMNYA

PENGERTIAN
Anak, Hak Anak dan Perlindungan Anak
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan, demikian disebutkan di dalam Pasal 1 UU No 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Sayangnya dalam UU tersebut belum dijelaskan
apakah status seorang anak yang belum berusia 18 tahun tetapi telah menikah, dan
bagaimana pula bila ia kemudian telah bercerai.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha
Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat,
dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan
bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 45, Konvensi Hak Anak dan
UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung-jawab untuk menjaga dan
memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.
Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan
pemerintah bertanggung-jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak,
terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan
terarah.
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin
dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Bertitik tolak dari konsepsi
perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, kewajiban memberikan
perlindungan anak didasarkan atas asas-asas : non diskriminatif, kepentingan yang
terbaik bagi anak, hak untuk hidup kelangsungan hidup dan perkembangan, dan
penghargaan terhadap pendapat anak.
Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana telah diamandemen hingga tahun 2002,
telah memberikan perlindungan kepada setiap orang, termasuk anak-anak, atas hakhaknya yang asasi, yang diantaranya adalah sebagai berikut:
Pasal 28B ayat (2) : Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Pasal 28D ayat (1) : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum

Pasal 28G ayat (1): Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuatt atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi; ayat (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28H ayat (1): Setiap orang behak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan
Pasal 28I ayat (1): Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun; ayat
(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindunagn terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.
Pasal 34: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara
Konvensi Hak Anak disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tanggal 20 November 1989 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No 36
tahun 1990. Dalam Konvensi Hak Anak, anak didefinisikan sebagai setiap orang yang
berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak
ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Sementara itu, KUH Perdata
menyatakan bahwa seseorang menjadi dewasa apabila telah pernah menikah meskipun
usianya belum cukup 18 tahun.
Konvensi menghormati hak-hak anak dan perlindungan terhadap anak, pentingnya
peran keluarga, serta pengembangan sumber daya untuk kepentingan anak. Pasal 18
mengharuskan negara-negara peserta untuk melakukan upaya-upaya yang menjamin
agar kedua orang tua bertanggungjawab bersama untuk membesarkan dan
mengembangkan anak dan kepentingan terbaik anak akan dijadikan perhatian
utamanya.
Sementara itu pasal 19 secara khusus menyebutkan perlunya upaya untuk melindungi
anak dari kekerasan, penyalahgunaan, penelantaran dan eksploitasi, serta menguraikan
langkah-langkah dalam mencapai perlindungan tersebut. Pasal-pasal lainnya
menekankan pentingnya peran komunitas pelayanan kesehatan di dalam pemantauan
dan pelaporan kekerasan terhadap anak. Untuk itu WHO telah merekomendasikan
intervensi praktisnya.
Bidang lain yang berkaitan dengan anak dengan kecacatan, tanggungjawab orangtua,
eksploitasi anak, anak-anak dalam daerah konflik bersenjata, rehabilitasi anak dan lainlain diuraikan dalam pasal yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup, tumbuhkembang dan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
Dalam membahas berbagai hak dan tanggungjawab, Konvensi menegaskan bahwa
hak-hak tersebut merujuk kepada childs social, spiritual and moral well being and
physical and mental health and to achievement of fullest possible individual development
in all areas (kondisi sosial,spiritual dan moral anak serta kondisi fisik dan mental yang
baik yang memungkingkan anak mampu mengembangkan diri sesuai kemampuan
dengan sebaik-baiknya di segala bidang).

Kesadaran akan faktor budaya harus tetap tinggi karena budaya mempengaruhi semua
segi dari suatu masalah, mulai dari kejadian dan pengertian kekerasan terhadap anak,
hingga penatalaksanaan dan perlindungannya. Semua tindakan dalam bentuk
pengumpulan data, perlindungan dan peningkatan kesadaran masyarakat harus
memperhatikan lingkungan budaya.
Latar belakang keadaan yang diluar kendali keluarga seperti kemiskinan,
keterjangkauan layanan kesehatan, nutrisi yang tak adekuat, ketidaktersediaan sarana
pendidikan dapat menjadi faktor kontribusi terjadinya kekerasan dan penelantaran
terhadap anak. Demikian pula ketidakstabilan politik, konflik bersenjata, dan perang.
Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah banyak
menyerap ketentuan di dalam UUD 45 dan Konvensi Hak Anak. Undang-Undang ini
memiliki asas-asas : non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk
hidup-kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat
anak.
Dalam Undang-undang ini tidak hanya hak anak yang diatur, melainkan juga kewajiban
anak, kewajiban dan tanggung-jawab negara, kewajiban dan tanggungjawab
masyarakat, serta kewajiban dan tanggung jawab orangtua. UU juga mengatur tentang
pengasuhan, perwalian dan pengangkatan anak. Anak dilindungi di bidang agama,
kesehatan, pendidikan, sosial dan perlindungan khusus pada keadaan-keadaan
tertentu.
Perlindungan khusus dimaksudkan untuk melindungi anak dalam situasi darurat, anak
yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya,
anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik
dan/atau mental, anak penyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan
penelantaran.
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan yang menjadi korban tindak pidana
diatur dalam pasal 64 ayat (3) melalui upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di
luar lembaga, upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi, pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan
saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial, dan pemberian aksesibilitas untuk
mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan anak,
anak korban kekerasan, anak korban perlakuan salah dan penelantaran, dilakukan
melalui berbagai upaya seperti sosialisasi peraturan perundang-undangan,
pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi, baik dilakukan
oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.

Pengertian Child Abuse and Neglect


Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum memberikan definisi ataupun
pengertian atas istilah child abuse and neglect dalam bahasa Indonesia. Beberapa
istilah sempat diajukan namun belum pernah disepakati secara nasional istilah mana
yang disepakati sebagai istilah pengganti child abuse and neglect. Beberapa istilah
tersebut adalah penganiayaan dan penelantaran anak, kekerasan terhadap anak,
perlakuan salah terhadap anak atau penyalahgunaan anak.

Dalam Pedoman Pelatihan ini tetap digunakan istilah child abuse and neglect yang
bila diindonesiakan menjadi kekerasan terhadap anak. Istilah kekerasan terhadap anak
memang dianggap telah mewakili segala kekerasan, baik fisik, seksual, emosional,
ataupun penelantaran, namun kurang mencerminkan sifat perlakuan salah atau
penyalahgunaan anak, dimana terdapat hubungan khas antara pelaku dengan
korbannya. Meskipun harus diakui pula bahwa kekerasan terhadap anak dengan sifat
khusus tersebut sudah termasuk ke dalam pengertian kekerasan terhadap anak yang
lebih umum sifatnya.
Di dalam Pedoman Pelatihan ini pengertian CAN adalah mengacu definisi WHO:
Child abuse and neglect adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara
fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi
komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera/ kerugian nyata
ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuhkembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan
tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Physical abuse terhadap anak adalah kekerasan yang mengakibatkan cedera
fisik nyata ataupun potensial terhadap anak, sebagai akibat dari interaksi atau
tidak adanya interaksi, yang layaknya berada dalam kendali orang tua atau
orang dalam posisi hubungan tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Orang tua ataupun pengasuh dapat memiliki atau tidak memiliki niat untuk
menyakiti anaknya, atau cedera dapat pula merupakan hasil dari hukuman
disiplin yang berlebihan.
Sexual abuse terhadap anak adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual,
dimana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi
persetujuan, atau oleh karena perkembangannya belum siap atau tidak dapat
memberi persetujuan, atau yang melanggar hukum atau pantangan masyarakat.
Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak
dengan orang dewasa atau anak lain yang baik dari usia ataupun
perkembangannya memiliki hubungan tanggungjawab, kepercayaan atau
kekuasaan; aktivitas tersebut ditujukan untuk memberikan kepuasan bagi orang
tersebut.
Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi,
pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan
kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan
(molestation, fondling), memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain,
hubungan seksual, incest, perkosaan, dan sodomi.
Emotional abuse terhadap anak adalah meliputi kegagalan penyediaan
lingkungan yang mendukung dan memadai bagi perkembangannya, termasuk
ketersediaan seorang yang dapat dijadikan figure primer, sehingga anak dapat
berkembang secara stabil dan dengan pencapaian kemampuan sosial dan
emosional yang diharapkan sesuai dengan potensi pribadinya dan dalam
konteks lingkungannya. Kekerasan emosional dapat juga merupakan suatu
perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat mungkin akan
mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual,
moral dan sosial. Perbuatan-perbuatan tersebut harus dilakukan dalam kendali
orang tua atau orang lain dalam posisi hubungan tanggung-jawab, kepercayaan
atau kekuasaan terhadap si anak.

Beberapa contoh kekerasan emosional adalah pembatasan gerak, sikap tindak


yang meremehkan anak, memburukkan atau mencemarkan, mengkambinghitamkan, mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau
mentertawakan, atau perlakuan lain yang kasar atau penolakan.
Penelantaran anak (child neglect) adalah kegagalan dalam menyediakan segala
sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh kembangnya, seperti : kesehatan,
pendidikan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau tempat bernanung,
dan keadaan hidup yang aman, di dalam konteks sumber daya yang layaknya
dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang mengakibatkan atau sangat mungkin
mengakibatkan gangguan kesehatan atau gangguan perkembangan fisik,
mental, spiritual, moral dan sosial. Termasuk didalamnya adalah kegagalan
dalam mengawasi dan melindungi secara layak dari bahaya atau gangguan.
Kelalaian di bidang kesehatan terjadi apabila terjadi kegagalan untuk
memperoleh perawatan medis, mental dan gigi pada keadaan-keadaan, yang
bila tidak dilakukan akan dapat mengakibatkan penyakit atau gangguan tumbuhkembang.
Kelalaian di bidang pendidikan meliputi pembolehan mangkir sekolah yang
kronis, tidak menyekolahkan pada pendidikan yang wajib diikuti setiap anak,
atau kegagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus.
Kelalaian di bidang fisik meliputi penolakan atau penundaan memperoleh
layanan kesehatan, penelantaran/pembiaran, pengusiran dari rumah atau
penolakan kembalinya anak sepulang dari kabur, dan pengawasan yang tak
memadai.
Kelalaian di bidang emosional meliputi kurangnya perhatian atas kebutuhan anak
akan kasih sayang, penolakan atau kegagalan memberikan perawatan
psikologis, kekerasan terhadap pasangan di hadapan anak, dan pembolehan
penggunaan alkohol dan narkoba oleh si anak.
Eksploitasi anak (child exploitation) adalah penggunaan anak dalam pekerjaan
atau aktivitas lain untuk keuntungan orang lain. Hal ini termasuk, tetapi tidak
terbatas pada, pekerja anak dan prostitusi. Kegiatan ini merusak atau merugikan
kesehatan fisik dan kesehatan mental anak, merugikan perkembangan
pendidikan, spiritual, moral dan sosial-emosional anak.
Eksploitasi anak biasanya tidak termasuk ke dalam CAN yang dipahami oleh
tenaga profesional kesehatan, sehingga selanjutnya eksploitasi anak tidak akan
dibahas lagi.

Pengertian lain dalam UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri,
atau suami-isteri dengan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan
anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai
dengan derajat ketiga
Orangtua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau
ayah dan/atau ibu angkat.
Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan
kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak;

10

Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar,
baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial;
Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan;
Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk
diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan,
karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin
tumbuh kembang anak secara wajar;
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi,
dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara;
Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional
dalam bidangnya;

11

ASPEK ETIK DAN HUKUM


Tenaga profesional kesehatan seringkali menjadi pihak pertama yang menemukan
kasus CAN, baik pada saat ia melakukan prakteknya di institusi kesehatan atau di
tempat praktek pribadi, atau juga pada saat ia melakukan kunjungan ke lapangan.
Demikian pula tenaga profesional pendidikan, pengasuh anak, konselor, dan
agamawan. Merekalah yang seharusnya dapat mendeteksi dini dan menangani atau
merujuk kasus CAN sesuai dengan prosedur dalam sistem perlindungan anak yang
berlaku. Namun demikian fakta menunjukkan bahwa angka kejadian CAN yang
dilaporkan dan tercatat di Indonesia sangatlah rendah dibandingkan dengan di negaranegara lain. Hal ini membawa asumsi bahwa kasus CAN yang tercatat adalah hanya
merupakan ujung atas/ kecil dari gunung es kasus yang sebenarnya ada di dalam
masyarakat (iceberg phenomenon).
Para ahli pendidikan kedokteran melihat sistem pendidikan kedokteran dan kesehatan
yang diberlakukan saat ini cenderung untuk menghasilkan tenaga kesehatan yang
bersikap hanya melihat sisi medis pasien saja (medicalization). Padahal pada banyak
kasus, termasuk kasus CAN, masalah utamanya bukanlah masalah medis, melainkan
masalah hukum dan psiko-sosial. Oleh karena itu pendekatan multidisipliner harus
diterapkan untuk dapat menangani kasus CAN secara komprehensif.
Tenaga kesehatan dituntut untuk memahami juga bidang kerja disiplin lain yang terkait
dengan masalah CAN, seperti aspek kesehatan masyarakat dan keluarga, aspek etik
dan hukum, aspek psikososial, ataupun aspek budaya. Pemahaman tentang aspekaspek lain di luar kesehatan dan kedokteran diharapkan akan mempererat dan
mengefektifkan kerjasama tim yang multidisipliner tersebut.
Di bawah ini akan diulas berbagai bahasan hukum dan etik profesi yang berkaitan
dengan CAN secara singkat, sedangkan bunyi pasal-pasal tersebut diuraikan pada
lampiran buku bahan bacaan ini.

Ketentuan Pidana Kekerasan Terhadap Anak


a) Kekerasan seksual
Hukum Pidana mengancam siapa saja (laki-laki) yang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seseorang anak (perempuan) berhubungan
seksual dengannya (pasal 285 KUHP) atau berbuat cabul dengannya (pasal 289
KUHP). Pasal 81 dan 82 UU 23 / 2002 tentang Perlindungan Anak bahkan
mengancam pelakunya dengan hukuman yang lebih berat.
Seseorang juga diancam pidana apabila melakukan hubungan seksual tanpa
paksaan dengan seorang anak perempuan yang usianya belum cukup 12 tahun,
dan mengancam sebagai delik aduan bila usianya antara 12 15 tahun (pasal
287 KUHP). Delik biasa juga diberlakukan apabila si anak perempuan yang
berusia 12-15 tahun tersebut menderita luka berat atau mati sebagai akibatnya,
atau ternyata anak tersebut adalah anak, anak tiri, anak angkat atau anak yang
berada di bawah pengawasan si pelaku (pasal 287 jo pasal 291 dan 294 KUHP).
Pasal lain dalam KUHP juga mengancam pidana bagi orang yang melakukan
perbuatan cabul dengan anak yang belum berusia 15 tahun, atau membujuknya
untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul dengan orang
lain (pasal 290 KUHP), atau dengan penyesatan atau menyalahgunakan

12

perbawanya (pasal 293 KUHP), atau memudahkan dilakukannya perbuatan


cabul (pasal 295 KUHP).
Pidana juga diberikan kepada orang yang melakukan perbuatan cabul dengan
sesama jenis kelamin yang usianya belum dewasa (pasal 292 KUHP).
b) Kekerasan fisik
Seluruh pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan penganiayaan (pasal
351, 352, 353, 354, 355 KUHP) juga berlaku bagi penganiayaan terhadap anak,
bahkan memberinya pemberatan pidana (pasal 356 KUHP) bagi pelaku tindak
pidana pasal 351, 353, 354, dan 355 yang merupakan orangtua korban. Pasal 80
UU 23 / 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan ancaman pidana yang
lebih berat untuk itu.
Pidana juga diberikan kepada mereka yang karena kelalaiannya telah
mengakibatkan seseorang (anak) luka, luka berat atau mati (pasal 359, 360
KUHP), bahkan memberikan pemberatan bila dilakukan oleh orang yang sedang
melakukan jabatan / pekerjaannya (termasuk pekerjaan di bidang kesehatan)
(pasal 361 KUHP).
c) Penculikan dan Perdagangan Anak
KUHP mengancam orang yang melakukan perdagangan anak perempuan
ataupun laki-laki (pasal 297 KUHP), sementara itu Pasal 83 UU 23 / 2002
tentang Perlindungan Anak memberikan ancaman pidana yang lebih berat untuk
itu.
Penculikan anak diancam dengan pidana (pasal 328 KUHP), demikian pula bagi
orang yang membawa seorang anak keluar dari kekuasaan orangtua atau
walinya (pasal 330 KUHP), atau membawa lari seorang anak perempuan (pasal
332 KUHP), atau melakukan ancaman melakukan perbuatan kejahatan susila
(pasal 336 KUHP).
d) Penelantaran, diskriminasi dan pidana lain
UU 23 / 2002 tentang Perlindungan Anak mengancam pidana bagi pelaku
tindakan diskriminasi, penelantaran, pembiaran anak yang dalam keadaan
darurat, tindakan kekerasan, jual-beli organ anak, eksploitasi ekonomi dan/atau
seksual, pemanfaatan anak dalam kegiatan napza, dll. (pasal 77, 78, 80, 85, 88,
dan 89). Sementara itu pasal 304-308 KUHP juga mengancam pelepasan dari
tanggung-jawab perawatan anak yang belum cukup usia 7 tahun.

Kewajiban moral dan kewajiban hukum tenaga kesehatan


The World Medical Association (WMA) telah mengeluarkan pernyataan
(Statement on Child Abuse and neglect), terakhir dalam sidang ke 44 nya di
Marbella, Spanyol, September 1992.
Dalam pernyataan tersebut disebutkan bahwa peran para dokter adalah menemukan
kasus kekerasan terhadap anak dan menolong anak tersebut beserta keluarganya
dalam menempuh proses pemulihan. Untuk mencapai peran tersebut para dokter
dan tenaga kesehatan harus memperoleh pelatihan khusus agar dapat memiliki
kemampuan yang dibutuhkan, serta membentuk tim yang multidisiplin guna

13

menangani CAN. Dalam hal ini anak adalah pasiennya, sehingga segala yang
terbaik buat si anak adalah perhatian utama dokter.
Dalam menemukan kasus CAN, tindakan dini yang dilakukan dapat meliputi: (a)
melaporkan kasus tersebut ke Komisi Perlindungan Anak, (b) merawat inap korban
CAN yang membutuhkan perlindungan pada tahap evaluasi awal, dan (c)
memberitahukan diagnosis dan diferensial diagnosis anak kepada orang tua anak
secara obyektif tanpa bersifat menuduh.
Evaluasi medis pada kasus dugaan kekerasan fisik terhadap anak sebaiknya
meliputi: (a) riwayat cedera, (b) pemeriksaan fisik, (c) survei radiologis terhadap
trauma, (d) pemeriksaan kelainan perdarahan, (e) pemotretan berwarna, (f)
pemeriksaan fisik saudara kandungnya, (g) laporan medis tertulis resmi, (h) skrining
perilaku, (i) skrining tumbuh kembang pada bayi dan anak pra-sekolah.
Disebutkan pula bahwa penanganan medis kasus kekerasan seksual terhadap anak
meliputi 3 hal: (a) pengobatan trauma fisik dan psikologis, (b) pengumpulan dan
pemrosesan bukti (evidence), dan (c) penanganan dan/atau pencegahan kehamilan
dan penyakit hubungan seksual.
Pasal 108 KUHAP memberikan hak kepada setiap orang untuk melaporkan adanya
tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) apabila ia mengetahuinya
sebagai saksi, dan memberikan kewajiban bagi pegawai negeri yang mengetahui
adanya tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) pada waktu ia
menjalankan tugasnya.
Pasal 78 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan
ancaman pidana bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak
dalam situasi darurat (termasuk anak korban kekerasan) padahal anak tersebut
memerlukan pertolongan dan harus dibantu.
Baik pasal dalam KUHAP maupun pasal dalam UU No 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak di atas memang belum secara tegas mewajibkan kepada setiap
orang untuk melaporkan kasus kekerasan terhadap anak, namun secara implisit
telah menyatakannya demikian. UU No 23 tahun 2002 misalnya, kata-kata
membiarkan anak dalam situasi darurat dapat dianggap telah mencakup
membiarkan dengan tidak melaporkannya kepada pihak yang seharusnya atau
seyogyanya dilapori.
Akhirnya, dengan merangkainya dengan isi pernyataan WMA di atas, maka dapatlah
dikatakan bahwa adalah kewajiban moral dan hukum bagi para profesional
kesehatan yang mengetahui adanya korban kekerasan terhadap anak, untuk
menindaklanjutinya sesuai prosedur termasuk melaporkannya ke Komisi
Perlindungan Anak setempat.

Prinsip-prinsip penatalaksanaan kasus


Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara tegas
mengutamakan prinsip-prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak dan
penghargaan terhadap pendapat anak di dalam menatalaksana perlindungan anak.
Prinsip lain yang harus diperhatikan adalah penatalaksanaan kasus yang segera,
komprehensif dan holistik.

14

Salah satu ketentuan yang perlu diperhatikan dalam menatalaksana kasus


kekerasan terhadap anak adalah bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang
tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah
menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan
merupakan pertimbangan terakhir (pasal 14 UU No 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak).
Dalam hal anak adalah korban tindak pidana, maka tatalaksananya meliputi: (a)
upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga, (b) upaya
perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi, (c) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan
saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial, dan (d) pemberian aksesibilitas untuk
mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara (Pasal 64 ayat (3) UU No
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Dalam hal anak adalah korban kekerasan dan/atau korban perlakuan salah atau
penelantaran, maka tatalaksananya meliputi : (a) penyebarluasan dan sosialisasi
ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak, (b) pemantauan,
pelaporan dan pemberian sanksi, dan (c) pengawasan, pencegahan, perawatan,
dan rehabilitasi baik oleh pemerintah ataupun masyarakat (Pasal 69 dan 71 UU No
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Bukti, Penelitian dan Visum et Repertum


Profesional kesehatan dalam menangani anak dugaan korban kekerasan terhadap
anak sedapat mungkin mencari bukti fisik (physical evidence) yang nantinya dapat
digunakan dalam upaya pembuktian di pengadilan. Penelitian dapat dilakukan
dengan melakukan anamnesis yang mendalam, pemeriksaan fisik yang teliti,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya, serta uji psikologis
dan psikiatris yang diperlukan. Lebih lanjut akan dibahas di bab yang terkait.

SISTEM PERLINDUNGAN ANAK


Sebagaimana diuraikan sebelumnya, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak beserta hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dengan
demikian sistem perlindungan anak adalah suatu sistem yang kompleks, dimulai dari
adanya kemauan politik yang kuat, dijabarkan di dalam peraturan perundang-undangan,
diimplementasikan dalam bentuk program-program yang mendukung perlindungan anak
dan program yang mencegah atau menghindari kekerasan, diskriminasi dan
penelantaran anak.
UUD 45, Konvensi Hak Anak dan UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak
sudah menunjukkan kemauan politik bangsa Indonesia dalam menuju ke suatu sistem
perlindungan anak. Doktrin parens patriae mewajibkan negara untuk membela dan
memperhatikan penduduknya yang paling rentan, yaitu anak-anak. Untuk itu kerjasama
diantara aparat penegak hukum, pekerja sosial, profesional kesehatan dan anggota
masyarakat lain diperlukan guna mencegah CAN dan eksploitasi terhadap anak.

15

Kemudian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang pembentukannya


dimandatkan oleh UU Perlindungan Anak, beserta institusi yang terkait, baik pemerintah
maupun non pemerintah, harus mengembangkan dan menerapkan program-program
yang memastikan kesehatan dan tumbuh kembang anak berjalan dengan baik di
Indonesia, serta melindungi anak dari segala bentuk diskriminasi, abuse dan eksploitasi.
Institusi pemerintah yang terkait dalam sistem perlindungan anak antara lain
Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Kesehatan, Departemen Sosial,
Departemen Kehakiman, Departemen Tenaga Kerja, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung,
Mahkamah Agung, dan mungkin juga Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara itu institusi
non pemerintah dapat merupakan institusi pendidikan, organisasi profesi, dunia usaha,
institusi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat yang
bergerak di bidang terkait, rumah sakit dan institusi layanan lainnya.
Dalam kaitannya dengan child abuse and neglect (CAN), KPAI harus mampu membuat
jaringan kerja yang mapan dan tajam agar mampu menemukan kasus CAN yang terjadi
di dalam masyarakat, baik melalui pemberdayaan dan peningkatan kemampuan deteksi
dini maupun melalui sistem pelaporan kasus yang teratur dan baku. KPAI juga harus
membangun sistem penanganan kasus CAN yang cepat dan akurat, yang dilakukan
dengan pendekatan yang multi-disiplin dan multi-instansi. Penatalaksanaan medis,
meskipun penting dan kadang harus dilakukan pada langkah pertama, hanyalah
merupakan salah satu bidang dari suatu rangkaian penyelesaian kasus yang kompleks.
Penanganan kasus CAN
Secara umum, penanganan kasus CAN akan melibatkan serangkaian proses yang
berawal dari suatu tindakan identifikasi kasus yang dicurigai sebagai kasus CAN dan
diakhiri dengan penutupan kasus.
Secara skematik, kegiatan penanganan kasus CAN dapat digambarkan seperti pada
gambar di bawah ini :
Proses penangan kasus dalam Sistem perlindungan anak
Laporan
Masukan
Rujukan
Initial Assesment

Family assessment

Perencanaan kasus

Penanganan dan Penatalaksanaan kasus

Evaluasi kemajuan keluarga

Kasus ditutup

16

Identifikasi
Langkah awal sistem respons perlindungan anak adalah adanya proses identifikasi
adanya kemungkinan terjadinya kasus CAN. Proses ini dapat dilakukan oleh kalangan
profesional medis, pengajar dan pendidik, pengasuh anak, profesional di bidang
kesehatan mental, profesional penegak hukum, agamawan, dan profesional lainnya
yang dalam posisi dapat melakukan pengamatan terhadap anak atau keluarga tertentu.
Bahkan orang awampun, seperti anggota keluarga yang lain, teman atau tetangga,
dapat melakukan tindakan identikasi ini.
Luasnya spektrum proses identifikasi ini mengharuskan para profesional kesehatan
untuk dapat mengenali indikator-indikator CAN, faktor-faktor risiko terjadinya CAN serta
dampak CAN bagi anak, keluarga dan bagi masyarakat. Adanya kampanye yang
meningkatkan kesadaran masyarakat akan CAN beserta aspek terkait akan
menajamkan proses identifikasi kasus CAN.
Pelaporan
Tahap berikutnya adalah pelaporan (reporting). Pada tahap ini, unsur hukum dalam arti
keberadaan peraturan perundang-undangan beserta petunjuk pelaksanaannya, sangat
bermakna peranannya. Kajian hukum di bidang CAN, baik skala lokal, regional, nasional
maupun internasional mutlak dikuasai dan dikaji lebih dalam. Di negara maju, tindakan
pelaporan yang berdasarkan hukum sudah begitu memasyarakat, baik dalam hal
prosedur pelaporan, substansi pelaporan, kepada siapa melaporkan, perlindungan
hukum bagi orang yang melaporkan atas itikad baik, maupun adanya sanksi hukum bagi
orang yang tidak melaporkannya.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, UU No 23 tahun 2002 telah mengancam
dengan hukuman bagi mereka yang membiarkan anak dalam situasi darurat dapat
dianggap juga mengancam mereka yang membiarkan dengan tidak melaporkannya
kepada pihak yang seharusnya atau seyogyanya dilapori. Sayangnya memang
petunjuk pelaksanaan wajib lapor ini masih belum diuraikan secara panjang lebar,
seperti pada kasus apa seseorang harus melapor, kapan harus melapor, kepada siapa
melapornya, apa yang harus dilaporkannya, bagaimana bila profesinya mempunyai
wajib simpan rahasia, bagaimana perlindungan hukumnya dan bagaimana respons
institusi yang dilaporinya.
Setelah melalui tahap pelaporan, idealnya kasus CAN akan berlanjut ke arah tahapan
yang relatif sama.
Masukan / Intake
Masukan / Intake merupakan tahapan dimana sebuah laporan kecurigaan kasus CAN
diterima oleh suatu lembaga penyedia CPS (Child Protection Service) yang telah
ditunjuk resmi oleh pemerintah setempat berdasarkan undang-undang. Di Indonesia,
lembaga tersebut mungkin adalah KPAI atau LPA, baik di tingkat pusat ataupun di
daerah.
Pada tahap masukan ini harus dibuat dua keputusan primer, yaitu:
1. Apakah laporan atau informasi tersebut memenuhi kriteria sebagaimana dalam
pedoman? Keputuan ini harus diambil setelah melalui 3 langkah penting, yaitu
pengumpulan informasi dari pelapor, evaluasi informasi untuk menentukan apakah
memenuhi peraturan perundang-undangan dan pedoman lembaga penyedia CPS,
dan penilaian atas kredibilitas pelapor;
2. Seberapa darurat (urgent) untuk memperoleh rujukan? Hal ini ditentukan oleh
keparahan cedera dan / atau tingkat risiko mengakibatkan cedera bagi anak. Apabila
kasus dinyatakan berrisiko tinggi maka lembaga CPS harus melaksanakan respons
segera.

17

Di beberapa negara maju, time respons tindakan intake ini untuk kasus yang tergolong
risiko tinggi umumnya tidak lebih dari 24 jam setelah adanya pelaporan.
Penilaian awal dan Penyelidikan (Initial Assessment / Investigation)
Initial assessment dari sebuah kasus CAN juga secara umum dapat dikatakan sebagai
proses investigasi. Profesional penegak hukum dan petugas lembaga CPS akan
mengawali tindakan ini, yang secara simultan akan didukung oleh profesional lain yang
bekerja sesuai disiplin bidangnya masing-masing. Setiap kasus akan bersifat sangat
individual meskipun berasal dari suatu komunitas yang sama dengan kasus lainnya.
Apabila semua profesioanal dari segala disiplin bekerja dibawah satu atap, maka
tahapan ini akan berlangsung cepat, efektif dan lebih terfokus.
Isu penting yang harus dinilai pada tahap ini adalah antara lain:
e) Apakah anak mengalami CAN yang memenuhi UU 23 tahun 2002?
f) Apakah telah terjadi tindak pidana?
g) Apakah orang tua atau wali bertanggungjawab?
h) Siapakah tersangka pelakunya?
i) Apakah saksi-saksi yang mendukung ditemukan?
j) Apakah barang bukti yang mendukung diperoleh dan disimpan?
k) Apakah terdapat korban lain?
l) Apakah abuse atau penelantaran masih akan terjadi di kemudian hari?
m) Apakah terdapat bukti yang cukup untuk menahan tersangka?
n) Apakah anak dalam keadaan aman sekarang? Bila tidak, perlukah dilakukan
tindakan perlindungan (protective custody)?
o) Adakah kebutuhan darurat keluarga?
p) Apakah diperlukan layanan khusus terhadap anak dan keluarga untuk
memastikan tidak terjadinya kejadian serupa atau lanjutan?
Penilaian keluarga (Family Assessment)
Apabila adanya unsur CAN sudah dapat dipastikan, maka proses selanjutnya adalah
memasuki tahapan tindakan pengamanan korban dan tindakan suportif untuk keluarga
maupun komunitas disekelilingnya. Tujuan dari tahapan ini adalah mengetahui sebisa
mungkin secara lengkap dan jelas proses kejadian CAN, dampak dan faktor-faktor yang
memberikan kontribusi terhadap terjadinya CAN. Dengan demikian tindakan treatment
atau intervensi nantinya menjadi lebih tepat.
Keputusan dan pertimbangan yang diharapkan pada tahap ini adalah:
a) Apakah sifat, besaran dan penyebab faktor kontribusi dari risiko terjadinya CAN?
b) Apakah dampak CAN dan apakah penanganan diperlukan bagi semua anggota
keluarga?
c) Apakah kekuatan individu dan keluarga yang dapat dimanfaatkan dalam proses
intervensi keluarga?
d) Kondisi atau perilaku apakah yang harus diubah untuk menurunkan risiko CAN?
e) Bagaimanakah prognosis bagi perubahan tersebut?
Informasi diperoleh melalui wawancara dan pengamatan atas seluruh anggota keluarga,
menggunakan alat evaluasi lain, dan melihat catatan lembaga lain (CPS atau sekolah).
Hasil akhir yang diharapkan dalam tahap ini adalah kesepahaman yang menguntungkan
antara petugas lembaga CPS, penyelenggara pelayanan masyarakat dan keluarga,
berkaitan dengan kebutuhan utama yang harus diperhatikan dan kekuatan keluarga
yang harus dibangun.

18

Case Planning (Perencanaan kasus)


Ini adalah tahapan perencanaan tindakan apa yang harus dilakukan secara bersama
dan simultan setelah mengetahui faktor-faktor yang meringankan dan memperberat
terhadap intervensi atau treatment yang akan dilakukan. Profesional dibidang kesehatan
mental dan atau hukum seringkali menjadi ujung tombak tahapan ini.
Isu yang harus dipertimbangkan adalah :
a) Apakah tujuan yang harus dicapai untuk mengurangi risiko CAN dan yang sesuai
dengan kebutuhan penanganan?;
b) Apakah prioritas diantara sekian tujuan yang ingin dicapai?
c) Intervensi atau pelayanan apa yang akan digunakan untuk mencapai tujuan?
d) Langkah-langkah apa yang harus dilalui? Apa tanggungjawab lembaga CPS?
Apa tanggungjawab anggota keluarga? Apa tanggungjawab pemberi layanan
lainnya?
e) Bagaimana penjadwalannya?
f) Bagaimana dan kapan kasus ini dievaluasi?
Hal yang patut dicatat adalah profesional dari semua disiplin harus mempunyai tujuan
akhir yang sama dalam merencanakan tindakan intervensinya, yakni mengembalikan
korban dalam lingkungan keluarga dan komunitasnya sendiri secara aman, setelah
memberikan tindakan intervensi suportif kepada keluarga atau komunitas tersebut.
Penanganan (Treatment)
Tahapan ini merupakan tahapan yang paling kompleks dimana semua disiplin dapat
mengambil peran. Sejak dahulu penanganan medis terhadap para korban kekerasan
fisik dan atau seksual telah dilakukan oleh para profesional kesehatan, namun jarang
dilakukan penanganan terhadap dampak psikologisnya. Korban CAN umumnya merasa
marah, bercuriga, terisolasi, dan ketakutan. Campuran emosi tersebut akan mengubah
perilaku korban.
Kekuatan kerja multidisiplin sangat tergantung adanya komunikasi terbuka antara
korban, keluarga, komunitas dan CPS itu sendiri yang terdiri dari berbagai profesional
disiplin ilmu. Komunikasi harus berkembang secara terus menerus, berkesinambungan
melalui serangkaian proses evaluasi dan monitoring bersama. Tindakan bekerja
dibawah satu atap secara multidisiplin akan menyebabkan tahapan ini dapat berjalan
dengan lebih efektif.
Evaluasi kemajuan keluarga (Evaluation of Family Progress)
Tahapan ini berlangsung kontinyu selama tahapan treatment berlangsung. Tindakan
evaluasi ini bertujuan untuk melakukan pengukuran parameter mengenai keamanan dan
keselamatan anak, pencapaian tujuan dan tugas, penurunan risiko pengulangan kasus
dalam keluarga atau komunitas disekelilingnya, dan mengembalikan korban dalam
kehidupan yang wajar/normal dalam lingkungannya sendiri.
Penutupan kasus (Case Closure)
Suatu kasus CAN dianggap dapat ditutup apabila dapat dipastikan bahwa risiko CAN
telah menurun secara bermakna atau dapat dihilangkan, sehingga keluarga dapat
memenuhi kebutuhan anak dalam proses TUMBUH KEMBANG dan melindungi anak
dari CAN tanpa intervensi masyarakat. Seringkali penutupan kasus CAN bersifat parsial
apabila keluarga asal tidak lagi dipandang bisa melindungi dan memenuhi kebutuhan
dasar tumbuh kembang anak. Dengan demikian, proses hukum untuk perwalian menjadi
pertimbangan team CAN demi terjaminnya tumbuh kembang korban.

19

PERAN TENAGA PROFESIONAL KESEHATAN DALAM


KERJASAMA MULTIDISIPLIN PENANGANAN CAN
Hal-hal Esensial Penanganan CAN Multidisiplin
CAN merupakan permasalahan komunitas yang sangat kompleks. Setiap profesional
hendaknya mencoba membangun koordinasi multidisiplin mulai pada level lokal terlebih
dahulu.
Untuk dapat bekerja lintas disiplin secara efektif, maka beberapa hal esensial harus
dimiliki oleh setiap profesional yang terlibat didalam jaringan koordinasi tersebut, antara
lain :
1. Kesepakatan akan kesamaan tujuan
2. Pemahaman tanggung jawab masing-masing disiplin
3. Komunikasi terbuka
4. Adanya formalitas kebijakan, protokol dan prosedur
Bekerja secara bersama akan mengeliminasi adanya perbedaan persepsi antar individu
dalam disiplin tertentu maupun antar disiplin satu dengan lainnya. Sistem intervensi
secara multidisplin menghindarkan diri dari unsur-unsur kompetisi dan pembagian
wilayah, dan akan saling menutup kekurangan satu sama lain.

Fungsi dan Tanggung Jawab Profesional Multidisipliner dalam Penanganan


CAN
Adanya sebuah organisasi layanan perlindungan anak (CPS) merupakan salah satu titik
penentu untuk dapat menjalankan sistem yang responsif terhadap adanya kasus CAN.
Organisasi CPS ini hendaknya diberikan mandat berdasarkan hukum oleh pemerintah
setempat yang didukung oleh kalangan swasta atau organisasi non pemerintah untuk
melakukan tindakan awal (initial asessment) pada kasus kasus kecurigaan CAN.
Namun, organisasi CPS bukanlah satu-satunya pihak yang mempunyai fungsi dan
tanggung jawab untuk tindakan perlindungan anak. Semua profesional dibidang disiplin
yang relevan dengan CAN harus berperan didalamnya. Setiap disiplin tertentu akan
memainkan peran secara spesifik sesuai ilmu dan ketrampilannya. Masing-masing
disiplin juga harus mengetahui satu sama lain fungsi dan tanggung jawab dari displin
lainnya, sehingga dapat bekerja secara terkoordinir dalam arah tujuan yang sama.
Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah memandatkan
dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang di tingkat pusat diharapkan
dapat menjadi organisasi pembuat kebijakan, perencana dan koordinator pelaksana
program-program perlindungan anak, pemantau dan pengawas pelaksanaan
perlindungan anak, sekaligus pemberi layanan perlindungan anak terutama di tingkat
daerah.
KPAI harus mampu mendirikan sebuah sistem perlindungan anak yang kokoh dan
mampu-laksana, serta harus mampu menjadi koordinator bagi terselenggaranya
layanan perlindungan anak yang multidisipliner.
Di negara yang telah mapan sistem CPSnya, kita bisa mengambil contoh secara garis
besar fungsi dan tanggung jawab setiap disiplin ini sebagai berikut :

20

PERAN DAN TANGGUNGJAWAB BERBAGAI KELOMPOK PROFESI DALAM MENANGGAPI CHILD ABUSE AND NEGLECT
Identifika-si
Masukan,
Family
ManajeTatalaksa
Persidang- Pencegah- Pencegahdan
initial
assesment
men kasus
na dan
an
an
an primer
pelaporan
assesmen
dan peevaluasi
sekunder
t, investirencanaan
kasus
dan pergasi
kasus
tolongan
sendiri
Agensi CPS
lokal
Sistem
penatalaksa
naan
kesehatan
Sistem
kesehatan
mental

Pemimpin

Peningkat
an sumber
daya,
evaluasi
dan
pelatihan

Pemimpin

Pemimpin

Pemimpin

Penyedia

Penyedia

Penyedia

Pemimpin

Pemimpin

Penyedia

Penganjur

Pemimpin

Penganjur

Pemimpin

Pemimpin

Pemimpin

Pemimpin

Penyedia

Penganjur

Pemimpin

Penganjur

Pemimpin

Pemimpin

Pemimpin

Sistem
pendidikan

Pemimpin

Penyedia

Penganjur

Pemimpin

Penganjur

Pemimpin

Pemimpin

Pemimpin

Sistem
hukum

Pemimpin

Penyedia

Penganjur

Penganjur

Pemimpin

Penganjur

Penyedia

Pemimpin

Sistem
Pemimpin
Penyedia*
Penyedia
Penganjur
Penganjur
Penyedia
Penyedia
Penyedia
Pemimpin
aparat
penegak
hukum
Pelayanan
pemimpin
Penganjur
Pemimpin
Pemimpin
Penyedia
Penyedia
pendukung
Definisi
Pemimpin: bertanggungjawab untuk memulai aksi dan/atau mengkoordinasikan kegiatan, termasuk fungsi penyediaan dan penganjuran
Penyedia: bertanggungjawab untuk partisipasi dalam aksi yang berhubungan dengan fungsi ini termasuk fungsi pengankur
Penganjur: bertanggungjawab untuk memberikan masukan sehubungan dengan aksi kegiatan dalam fungsi ini
* pada yurisdiksi tertentu, aparat penegak hukum memiliki peran sebagai pemimpin besama-sama dengan agensi CPS sebagai asisten
dalam proses investiasi terutama dalam kasus abuse fisik dan seksual.

Layanan Perlindungan Anak


Layanan perlindungan anak secara umum dapat dikatakan sebagai tujuan utama dalam
lingkup Sistem perlindungan anak. Sistem perlindungan anak bertanggungjawab
menerima laporan kasus CAN, menyelenggaralan assessment awal, melakukan family
assessment, membuat rencana kasus individual; memberikan layanan langsung dan
mengkoordinasikan layanan yang diselenggarakan oleh tenaga profesional lainnya;
melengkapi fungsi manajemen kasus seperti penyimpanan catatan status kasus,
meninjau ulang rencana kasus individual secara sistematis; dan membuat laporan
pengadilan; mendidik masyarakat mengenai CAN; dan membangun serta meningkatkan
sumber daya pencegahan dan penatalaksanaan CAN dalam masyarakat.
Aparat Penegak Hukum
Pada tahap awal pengembangan sistem perlindungan anak, aparat penegak hukum dan
sistem perlindungan anak seringkali memiliki tanggungjawab yang sama. Keterlibatan
aparat penegak hukum pada assessment awal/ investigasi CAN bervariasi pada
masyarakat yang berbeda. Apakah masyarakat memiliki protokol assessment awal/
investigasi yang terpisah atau tergabung, koordinasi yang baik antara sistem
perlindungan anak dan aparat penegak hukum sangat diperlukan untuk mengurangi
kebingungan dan trauma pada anak sebagai akibat intervensi sistem.
Tanggung jawab utama aparat penegak hukum termasuk mengidentifikasi dan
melaporkan adanya kecurigaan kasus CAN; menerima laporan kasus CAN,

21

menyelenggarakan investigasi terhadap laporan adanya CAN. Jika ada kecurigaan telah
terjadi tindak pidana; mengumpulkan barang bukti fisik; menentukan apakah bukti-bukti
telah cukup untuk mengajukan tersangka ke pengadilan; meng-asistensi adanya
kebutuhan untuk melindungi dan memberikan keamanan pada anak; memberikan
perlindungan pada staf sistem perlindungan anak apabila keamanan pekerja kasus
terancam jika terjadi konfrontasi dengan pelaku kekerasan; mendukung korban dalam
melalui proses pengadilan; dan berpartisipasi dalam kegiatan tim multidisiplin.
Pendidik
Kepala sekolah, guru, konselor/guru BP, dan staf sekolah lainnya serta pendidik di
tingkat pra-sekolah berperan penting dalam lingkup sistem perlindungan anak. Mereka
bertanggung jawab dalam mengidentifikasi dan melaporkan kecurigaan CAN dalam
keluarga; mengenali dan melaporkan CAN yang terjadi di sekolah; membangun
peraturan sekolah /program sekolah untuk pelaporan segera CAN dan kekerjasama
dalam investigasi dalam Sistem Perlindungan Anak.
Setelah melaporkan, mereka tetap memberikan informasi pada CPS terhadap
perubahan atau perkembangan perilaku dan kondisi anak; memberikan input layanan
diagnosis dan tatalaksana; mendukung anak dalam melewati peristiwa-peristiwa yang
potensial membawa trauma pada anak, seperti pemberian kesaksian di pengadilan dan
pada saat penempatan di rumah penampungan sementara; memberikan tatalaksana
pada orangtua dalam bentuk program sekolah atau self-help groups; membangun dan
melaksanakan program pencegahan bagi anak dan orangtua; dan bergabung dalam tim
multidisiplin penanganan CAN.
Pemberi Layanan Kesehatan
Dokter, perawat, dan staf kesehatan lainnya memainkan peran penting dalam sistem
perlindungan anak di setiap komunitas. Peran kunci pemberi layanan kesehatan
termasuk mengidentifikasi dan melaporkan kecurigaan kasus CAN; mendiagnosis dan
melakukan tatalaksana (medis dan psikiatris) bagi anak korban CAN dan keluarganya;
memberikan konsultasi pada CPS menyangkut aspek medis CAN; berpartisipasi dalam
tim konsultan kasus multidisiplin dalam masyarakat; memberikan kesaksian ahli pada
proses pengadilan perlindungan anak; memberikan pendidikan bagi orangtua mengenai
kebutuhan, cara menjaga, dan tatalaksana anak; mengenali dan memberikan dukungan
bagi keluarga yang memiliki faktor risiko CAN; membangun dan melaksanakan program
pencegahan primer; dan memberikan pelatihan bagi tenaga profesional medis dan
nonmedis menyangkut aspek medis CAN.
Tenaga Profesional Kesehatan Mental
Layanan kesehatan mental adalah PREREQUISITE untuk semua sistem komunitas
yang dibuat untuk mencegah dan menatalaksana CAN. Psikiater, psikolog, pekerja
sosial, dan tenaga profesional kesehatan mental lainnya harus mampu mengenali dan
melaporkan kasus yang dicurigai CAN; melakukan evaluasi yang diperlukan bagi anak
korban CAN dan keluarganya; memberikan terapi pada anak koban CAN dan
keluarganya; memberikan konsultasi klinis pada CPS; memberikan kesaksian ahli pada
proses pengadilan perlindungan anak; menyelenggarakan self-help groups untuk
orangtua yang menjadi pelaku atau memiliki risiko melakukan CAN pada anaknya;
membentuk dan melaksanakan program pencegahan; dan berpartisipasi dalam tim
multidisiplin.

22

Tenaga profesional Hukum


Tanggungjawab pejabat hukum bervariasi tergantung siapa klien jaksa dan tingkat
proses peradilannya. Jaksa yang mewakili CPS mengajukan kasus CAN di pengadilan
harus yakin bahwa staf CPS telah mendapatkan nasihat dan konsultasi hukum,
contohnya dalam memutuskan pengambilan darurat anak dari keluarganya;
berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan tim multidisiplin ketika tindakan hukum yang
menyangkut si anak dibutuhkan; mempersiapkan tenaga CPS, saksi ahli, dan saksisaksi alinnya, terutama anak-anak, untuk bersaksi di pengadilan.
Penuntut umum harus selalu berkoordinasi dengan Perlindungan Anak Sipil (KPAI)
mengenai tindakan kriminal apapun yang dilakukan yang menyangkut anak yang sama;
mempersiapkan anak untuk bersaksi; menjamin bahwa anak telah mendapat layanan
advokasi korban jika dibutuhkan; jika terdapat tuduhan, menjamin pengadilan akan
menjatuhkan hukuman yang adil dan menjamin tatalaksana yang benar telah tersedia;
dan berpartisipasi dalam pertemuan tim multidisiplin apabila kemungkinan tindakan
hukum mewakili si anak diperlukan.

23

BAB II
TUMBUH KEMBANG DAN
SIKLUS KEHIDUPAN ANAK
TUMBUH KEMBANG
Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup 2 peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi
saling berkaitan. Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah,
ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu. Dapat diukur dengan ukuran
berat (gram, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang, dan lain-lain.
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang
lebih kompleks dalam pola yang teratur, termasuk aspek sosial atau emosional akibat
pengaruh lingkungan.
Pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik, sedangkan
perkembangan berkaitan
dengan fungsi pematangan intelektual dan emosional
individu. Proses ini terjadi atau berlangsung sejak saat konsepsi (pembuahan) sampai
akhir masa adolesen. Proses ini memerlukan waktu 18 tahun 40 minggu.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Tumbuh Kembang


Kualitas tumbuh kembang anak tergantung interaksi antara faktor genetik
(heredokonstitusional) dan faktor lingkungan (ekosistem). Faktor genetik merupakan
faktor bawaan anak, yaitu potensi anak yang akan menjadi ciri khasnya. Faktor
lingkungan yang sering disebut milieu merupakan tempat anak tersebut hidup, dan
berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar anak.
Fungsi lingkungan sebagai penyedia (provider) kebutuhan dasar anak.
Lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam 4 macam lingkungan, yaitu : lingkungan
keluarga, lingkungan perlindungan kesehatan anak, lingkungan masyarakat, dan
lingkungan stimulasi atau pendidikan.
Lingkungan diharapkan mampu menyediakan ketiga kebutuhan dasar anak.
Kobayashi membagi lingkungan dalam 4 ekosistem, yaitu seperti gambar diagram di
bawah ini.
1. Ekosistem mikro. Ekosistem ini merupakan ekosistem terkecil, tetapi
berhubungan sangat erat dengan anak. Interaksi ekologinya berjalan terutama
melalui kontak kulit dan fungsi sensoris lain.
2. Ekosistem mini. Ekosistem ini dicerminkan oleh keluarga dan tempat tinggal
yang merupakan suatu unit dalam masyarakat.
3. Ekosistem meso. Ekosistem ini meliputi kelompok bermain, sekolah dan sarana
lainnya. Faktor sosial budaya terutama di bidang pendidikan memegang peran
penting.
4. Ekosistem makro. Ekosistem ini dicerminkan oleh keadaan masyarakat dan
lembaga-lembaga yang ada di dalamnya.

Kebutuhan Dasar Anak


Kebutuhan dasar anak secara garis besar adalah kebutuhan fisis biomedis (asuh),
emosi/kasih sayang (asih), dan kebutuhan akan stimulasi mental (asah). Ketiga
kebutuhan dasar tersebut saling berkaitan.

24

Ibu,
Pengganti Ibu

Ayah, adik, kakak, pengasuh,


Mainan, norma, aturan stimulasi,
Tetangga, teman

Kebijakan pemerintah, profesi,


WH0, ekonomi, politik, sosbud

Kebutuhan fisis biomedis (Asuh) meliputi pangan, yaitu kebutuhan gizi,


perawatan kesehatan dasar seperti pemberian ASI, imunisasi, penimbangan teratur dan
periodik, sandang, papan, higiene dan sanitasi, kesegaran jasmani serta rekreasi.
Emosi atau kasih sayang (Asih) merupakan ikatan yang erat, serasi dan
selaras antara ibu dan anaknya. Hal ini mutlak diperlukan pada tahun-tahun pertama
kehidupan anak untuk menjamin mantapnya tumbuh kembang fisis, mental dan
psikososial anak.
Pemberian stimulasi (Asah) kepada anak merupakan proses pembelajaran,
pendidikan, dan pelatihan kepada anak. Hal ini harus dilakukan sedini mungkin, dan
sangat penting pada 4 tahun pertama kehidupan. Stimulasi mental dini mengembangkan
perkembangan mental psikososial yaitu kecerdasan, budi luhur, moral dan etika,
kepribadian, ketrampilan berbahasa, kemandirian, kreativitas, produktivitas, dan lainlain. Kebutuhan akan stimulasi mental dapat diberikan baik secara formal, informal
maupun non formal.

Prinsip-prinsip Tumbuh Kembang Anak


Para ahli menyebutkan pada proses tumbuh kembang anak terdapat beberapa prinsip.
Prinsip-prinsip tersebut saling berkaitan dan merupakan prinsip dasar tumbuh kembang
anak secara umum.
Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Perkembangan melibatkan perubahan. Pertumbuhan berkaitan dengan
perubahan kuantitatif, peningkatan struktur dan ukuran. Perkembangan berkaitan
dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif.

25

2. Perkembangan tahap awal lebih kritis dibandingkan perkembangan selanjutnya.


Tahun-tahun pertama merupakan saat kritis bagi perkembangan anakl. Erikson
mengatakan bahwa masa kanak-kanak merupakan gambaran awal manusia
sebagai seorang manusia.
3. Perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan belajar. Kematangan
merupakan proses intrinsik yang terjadi dengan sendirinya, sesuai dengan
potensi yang ada pada individu. Belajar merupakan perkembangan yang berasal
dari latihan dan usaha. Melalui belajar anak memperoleh kemampuan
menggunakan sumber yang diwariskan.
4. Pola perkembangan dapat diramalkan. Penting diketahui bahwa terdapat
persamaan pola perkembangan bagi semua anak. Perkembangan berlangsung
dari tahapan umum ke tahapan spesifik, dan terjadi berkesinambungan.
5. Terdapat periode pola perkembangan. Perkembangan terbagi dalam beberapa
periode, yaitu mulai pranatal, masa neonatus, masa bayi, masa kanak-kanak,
dan masa remaja. Pada setiap tahapan perkembangan terdapat ciri-ciri yang
membedakan tahapan perkembangan satu dengan lainnya.
6. Pada setiap periode perkembangan terdapat harapan sosial. Harapan sosial ini
berbentuk tugas perkembangan yang memungkinkan orang tua dan guru
mengetahui pada usia berapa anak mampu menguasai berbagai pola perilaku.

TAHAP-TAHAP TUMBUH KEMBANG ANAK


Kurun waktu pertumbuhan dan perkembangan anak adalah 18 tahun 40 minggu, yaitu
kurun waktu dari saat konsepsi sampai akhir masa remaja atau adolesen.
Secara garis besar dibedakan 3 aspek tumbuh kembang anak yaitu tumbuh
kembang fisis, intelektual, dan psikososial.
Pertumbuhan fisis
Pertumbuhan fisis dapat dinilai melalui ukuran berat badan, panjang atau tinggi
badan, lingkar kepala, dan lingkar lengan atas. Berat badan merupakan tanda
pertumbuhan yang paling sering digunakan, karena mudah berubah dan mudah diukur.
Berat badan mencerminkan kesehatan dan keadaan gizi anak saat itu. Berat badan
sangat terpengaruh oleh keadaan sehat tidaknya seorang anak. Pertumbuhan fisis
dapat dinilai baik dengan pemeriksaan klinis maupun dengan metode antropometri yang
disebut status gizi.
Pada masa pranatal pertumbuhan janin sangat dipengaruhi oleh asupan
makanan ibu. Pertumbuhan cepat terjadi terutama pada trimester terakhir kehamilan ibu.
Berat lahir sangat penting diketahui karena penggambaran secara sederhana
pertumbuhan intra uterin. Berat lahir bayi cukup bulan berkisar antara 3000-3500 gram.
Selanjutnya pada triwulan pertama penambahan berat badan berkisar antara 10001250 gram/bulan, triwulan kedua 500-600 gram/bulan, triwulan ketiga 350-450
gram/bulan, dan triwulan akhir 250-350 gam/bulan. Perlu dilakukan pengamatan secara
berkala dan teratur sehingga diperoleh kurva berat badan yang mengikuti pertumbuhan
normal sesuai usia dan jenis kelamin.
Pada masa pra sekolah kenaikan berat badan rata-rata 2 kg/tahun. Pertumbuhan
konstan mulai berakhir dan dimulai pacu tumbuh pra remaja dengan kenaikan berat
badan 3-3,5 kg/tahun. Selanjutnya diikuti dengan pacu tumbuh adolesen. Pada anak
perempuan mulai usia 8-10 tahun sedangkan anak laki-laki usia 10-12 tahun.

26

Panjang badan merupakan ukuran yang sangat terpercaya sebagai indikator


pertumbuhan. Pada pengukuran panjang badan sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin,
suku bangsa, dan sosial ekonomi. Tinggi badan merupakan indikator yang baik untuk
gangguan pertumbuhan fisis yang sudah lewat (stunting). Tinggi badan pengukurannya
lebih sukar dilakukan, dan pertambahannya relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan
pertambahan berat badan . Panjang badan saat lahir berkisar antara 45 cm 55 cm,
rata-rata 50 cm. Pada usia 1 tahun panjang badan sekitar 2 kali panjang lahir. Untuk
usia di atas 1 tahun dapat dipergunakan rumus sebagai berikut : usia (tahun) x 6 + 77
cm.
Lingkar kepala mencerminkan volume intrakranial, dan dapat dipakai untuk
penilaian pertumbuhan otak. Pertumbuhan lingkar kepala yang paling pesat adalah pada
6 bulan pertama kehidupan. Oleh karena itu manfaat pengukuran terbatas pada 6 bulan
pertama sampai usia 3 tahun. Kurva L.K. Nellhaus dapat dipergunakan sebagai acuan
pengukuran lingkar kepala.
Dari penelitian-penelitian neurofisiologi penglihatan diketahui bahwa
perkembangan penglihatan sangat pesat terjadi dalam 6 bulan pertama sesudah bayi
lahir, dan masih terus berkembang sampai sempurna pada usia 8-10 tahun. Fiksasi
monokular sudah ada sejak bayi lahir dan berkembang sempurna usia 6 9 minggu.
Pada usia 2-3 bulan bayi sudah dapat mengikuti dengan baik benda-benda yang
digerakkan di depannya.
Pendengaran merupakan salah satu panca indera manusia. Segera setelah lahir
memperlihatkan refleks moro atau refleks kejut bila mendengar bunyi dengan intensitas
tinggi. Usia 4 bulan bayi bereaksi dengan senyuman. Pada usia 4-6 bulan bayi mulai
memutar kepala ke arah sumber bunyi. Usia 10-12 bulan bayi sudah dapat melokalisir
bunyi dari segala arah, verbalisasi mulai berkembang untuk satu kata seperti ma-ma,
pa-pa.
Perkembangan Motorik Kasar dan Motorik Halus
Ketrampilan motorik atau gerak pada anak dibagi dalam 2 katagori, yaitu ketrampilan
tangan dan ketrampilan kaki. Perkembangan motorik kasar adalah ketrampilan anak
untuk menggunakan otot-otot besar dari anak tersebut. Secara garis besar rata-rata usia
pencapaian kemampuan motorik kasar pada bayi dan anak adalah sebagai dalam tabel
dibawah ini.
Pencapaian kemampuan tersebut mempunyai variasi luas, setiap anak berbeda
dalam pencapaian kemampuan tersebut. Masing-masing perkembangan mempunyai
kurun waktu pencapaian atau milestones perkembangan. (lihat Tabel 1)
Perkembangan motorik halus mencakup kemampuan gerak tangan dan jari serta
koordinasi antara penglihatan dan kemampuan gerakan tangan dan jari. Contohnya
seperti menjimpit, menggenggam atau menggambar. Kemampuan pemecahan masalah
visual-motorik halus merupakan indikator yang baru dari intelegensi di kemudian hari.
Kemampuan ini dipengaruhi oleh matangnya fungsi motorik berupa postur dan
koordinasi saraf otot yang baik, fungsi penglihatan yang akurat, dan kecerdasan. (lihat
Tabel 2)

27

Tabel 1. Tahapan perkembangan motorik kasar


Jenis perkembangan
Tengkurap
Terlentang dari tengkurap
Duduk ditopang
Duduk tanpa ditopang
Merayap
Duduk sendiri
Merangkak
Rambatan
Berjalan
Berjalan mundur
Berlari
Berjalan naik tangga
Melompat

Umur
4 bulan
5 bulan
5 bulan
6 bulan
7 bulan
8 bulan
8 bulan
9 bulan
12 bulan
14 bulan
16 bulan
20 bulan
27 bulan

Tabel 2. Tahapan perkembangan motorik halus


Umur
VISUAL
- fiksasi pandangan
- mengikuti benda melalui garis tengah
- mengetahui adanya benda kecil

lahir
2 bulan
5 bulan

MOTORIK HALUS
- telapak tangan terbuka
- menyatukan kedua tangan
- memindahkan benda antara ke dua tangan
- meraih unilateral
- pincer grasp imatur
- pincer grasp matur dengan jari
- melepaskan kubus di bawah gelas

3 bulan
4 bulan
5 bulan
6 bulan
9 bulan
11 bulan
12 bulan

MENGGAMBAR
- mencoret
- meniru membuat garis
- membuat garis spontan
- membuat garis horizontal & vertikal
- meniru membuat lingkaran
- membuat lingkaran spontan tanpa melihat contoh

12 bulan
15 bulan
18 bulan
25-27 bulan
30 bulan
3 tahun

PEMECAHAN MASALAH
- memeriksa benda
- melemparkan benda
- membuka penutup mainan
- meletakkan kubus di bawah gelas

7-8 bulan
9 bulan
10 bulan
11 bulan

MELAKSANAKAN TUGAS
- memasukkan biji ke dalam botol
- melepaskan biji dengan meniru
- melepaskan biji spontan

12 bulan
14 bulan
16 bulan

28

MENYUSUN KUBUS (SISI KUBUS 2,5 cm)


- menyusun 2 kubus
- menyusun 3 kubus
- kereta api dengan 4 kubus
- kereta api dengan cerobong asap
- jembatan dari 3 kubus
- pintu gerbang dari 5 kubus
- tangga dan dinding dari beberapa kubus tanpa melihat contoh

15 bulan
16 bulan
2 tahun
2 tahun
3 tahun
4 tahun
6 tahun

MAKAN
- makan biskuit yang dipegang
- minum dari gelas sendiri/menggunakan sendok

9 bulan
12 bulan

BERPAKAIAN
- membuka baju sendiri
- memakai baju
- membuka kancing
- memasang kancing
- mengikat tali sepatu

24 bulan
36 bulan
36 bulan
48 bulan
60 bulan

Perkembangan Bahasa
Fungsi berbahasa merupakan proses paling kompleks di antara fase perkembangan.
Perkembangan kemampuan berbahasa memerlukan fungsi reseptif (pengertian) dan
ekspresif (reaksi). Bahasa reseptif adalah kemampuan anak untuk mengenal dan
bereaksi terhadap seseorang atau kejadian lingkungan. Bahasa ekspresif adalah
kemampuan anak mengutarakan pikirannya.
Tabel 3. Perkembangan fungsi berbahasa
Kemampuan berbahasa
Reaksi terhadap suara
Senyum sosial
Mengeluarkan suara agguu-aguu
Menggumam
Mengucapkan dadada, dada
Kata pertama yang benar
Kata kedua yang benar
Kata baru 4-6 kata
Menguasai 7 20 kata
Menguasai 50 kata, kalimat pertama (2 kata)
Kalimat terdiri dari 3 kata
Perbendaharaan sampai 14.000 kata, menyebut 3 kata sifat,
kegunaan benda, bicara sebagian / seluruhnya dimengerti,
menyebut 4 warna, menyebut jenis kegiatan
Pengertian akan bahasa lebih kompleks, ucapan dan nada
sudah lebih jelas dan bulat

Usia
0,5 bulan
5 minggu
2 bulan
6 bulan
8 bulan
11 bulan
12 bulan
12-15 vulan
16-17 bulan
18 30 bulan
2 3 tahun
3 5 tahun

6 tahun

29

Perkembangan Psikososial, kognitif dan moral


Perkambangan psikososial adalah proses perkembangan mental emosional seseorang
dalam usahanya menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pengalamanpengalamannya. Sedangkan perkembangan kognitif meliputi pengembangan proses
pikir dan kemampuan intelektual / inteligentif lainnya. Perkembangan moral meliputi
proses belajar menyesuaikan dengan norma perilaku yang diterima lingkungan
masyarakat / budaya di mana seseorang itu hidup.
Tabel 4. Tahap perkembangan emosi anak
Usia
0 2 tahun
0 > 2 bulan

Kemampuan emosional

Perilaku emosional

Cinta kasih di timbulkan oleh sentuhan


Rasa takut ditimbulkan oleh suara keras
Kemarahan ditimbulkan oleh retriksi
tubuh

Senyum sosial & dapat me-nunjukkan


reaksi gembira
Berespons terhadap emosi orang lain
Semua warna emosi sudah ada

3 - > 4 bulan

Jaras-jaras otak untuk emosi mulai


terbentuk
Regulasi diri untuk emosi mulai muncul

Dapat tertawa dan senyum yang lebih


terkontrol, dapat menunjukkan reaksi
marah

7 12 bulan

Regulasi diri untuk emosi mulai tumbuh


Peningkatan intensitas dari 3 jenis emosi;
rasa malu, bangga, dan iri hati
Dapat menggantikan posisi anak lain

Dapat meningkatkan respon yang


lebih baik
Menolak untuk beradaptasi dengan
stress
Mulai menunjukkan empati, mengekspresikan perasaannya
Suka mencari perhatian dan minta
persetujuan, senang main sendiri
atau dengan sedikit teman

Dapat mengerti penyebab dari berbagai


respon emosi
Mulai dapat mencari cara untuk mengatur
emosinya & mengekspresi-kannya
Beridentifikasi dengan orang dewasa
untuk dapat beradaptasi

Empati meningkat sejalan dengan


pengertiannya dengan sekeliling
Lebih banyak berespon dan sedikit
reaksi; pengaturan diri lebih baik
Agresifitas mulai berkurang dan
digantikan oleh sikap kompetisi
Setelah mencapai usia 5 tahun, anak
mampu menunjukkan sensitifitas
terhadap kritik dan lebih
memperdulikan perasaan terhadap
orang lain.
Empai berkembang menjadi lebih
altruism
Dominasi superego lebih terarah

1 2 tahun

Masa kanak
awal
2 5 tahun
3 6 tahun

7-11 tahun

Anak mampu bereaksi terhadap


perasaan orang lain, anak lebih aware
terhadap perasaan orang lain

30

Tabel 5. Tahap perkembangan sosial anak


Usia
Masa 0-2 thn
0 6 minggu

Perilaku sosial
Bayi mengenali pengasuhnya melalui organ penciuman dan pendengarannya

6 mgg 8 bln

Bayi dapat membedakan pengasuhnya atau bukan

5 bln 1 thn

Bayi dapat membedakan anatara dirinya dan pengasuhnya/di luar dirinya

8 bln 2 thn

Bayi mulai menunjukkan cemas perpisahan

18 bln - 2 thn

Anak kembali lengket dengan orang tuanya, sudah terbentuk kelekatan yang mantap
dengan objek tertentu

0 1 tahun

Bayi mampu mengembangkan rasa percaya terhadap sekelilingnya berdasarkan sikap dan
perilaku pengasuhnya

Masa 2-5 thn


> 2 tahun

Anak mampu berpisah dengan pengasuhnya jika diberikan alasan yang jelas

1 3 thn

Anak mulai mengembangkan rasa otonominya jika ia dibiarkan melakukan sesuatu tanpa
paksaan dan bantuan dari pengasuhnya

3- 6 thn

Anak mulai dapat berasumsi bahwa teman-temannya dapat merasakan apa yang ia rasakan
Perasaan anak tentang perlunya sesuatu mulai berkembang
Anak mulai membanding-bandingkan antara dirinya dengan teman-temannya

4 9 thn

Anak mulai dapat mengerti tentang berbagai sudut pandang dari satu hal yang sama
Anak mampu mengerti bahwa setiap orang mempunyai kebiasaan dan kesukaan yang
berbeda-beda

6-11 thn

Konpetensi anak telah berkembang dengan baik


Dapat terjadi penurunan harga diri oleh karena pengaruh lingkungan sosial

7-12 thn

Mampu mengerti titik pandang orang lain


Mampu menggunakan orang lain di luar orang tua sebagai model kehidupan

Remaja
11-19 thn

Mampu mengerti sudut pandang orang ke tiga


Mampu mengerti keinginan peer grup
Mempunyai identitas diri yang lebih konsisten
Mengerti nilai-nilai dan cita-cita
Mampu mengerti berbagai sistim nilai yang mempengaruhi masyarakat

31

Tabel 6. Tahap perkembangan kognitif anak


Usia
Masa dalam
kandungan
Masa bayi 2 tahun

Kemampuan kognitif
Janin mampu belajar mengenali suara dan memberikan respons yang berbeda
setelah ia lahir
Bayi berpikir melalui mata, telinga dan perasaanya

Lahir 1 bulan

Bayi baru lahir mampu belajar membedakan antara belaian dengan isapan

1 4 bulan

Bayi mampu belajar menghisap untuk menghasilkan suara-suara tertentu

4 8 bulan

Dapat mengingat hal-hal yang terjadi dalam kurun 1 bulan yang lalu
Dapat bermain dengan orang tuanya dalam mencari objek yang disembunyikan

8 12 bulan

Daya ingat bertambah kuat

12 18 bulan

Bagian tubuhnya dapat digunakan sebagai mainannya


Dapat menumpuk satu benda di atas benda lainnya
Dapat mengingat objek yang disembunyikan
Membuang/melempar objek dengan tangannya

18 bulan 2 tahun

Mengenali berbagai jenis suara binatang, nama-nama objek


Mengetahui nama-nama bagian tubuhnya dan gambar-ganbar yang sudah
dikenalinya
Dapat mengenali beberapa penyebab yang tidak tampak

Masa kanak awal


2 5 tahun

Mulai mampu mempelajari dan mengerti akan berbagai simbul dalam kehidupan
sehari-hari

2 7 tahun

Mulai terjadi perkembangan berbahasa dan permaian make believe


Logika belum berjalan ;
Anak berusia 3 tahun mampu menghitung 2-3 objek, dapat mengenali warna
dan usia
Anak berusia 4 tahun dapat berfantasi dengan tanpa adanya benda atau alat
bantu lain yang nyata
Anak berusia 5 6 tahun mampu membuat humor, mengerti akan konsep baik
dan buruk, dapat mengerjakan beberapa tugas tertentu

6-11 tahun

Mempunyai daya ingat yang cukup baik


Anak mulai berpikir secara logika
Anak mulai mengerti komunikasi interaktif
Anak mampu mengelompok berbagai jenis barang sesuai dengan kelompoknya
masing-masing
Anak tampak mulai terprganisasi dan berpikir rational

>11 tahun

Pola pikir abstrak sudah mulai berkembang


Anak mulai mengerti konsep sebab akibat
Anak mampu berpikir akan berbagai kemungkinan akan satu hal tertentu

32

Tabel 7. Tahap perkembangan moral pada anak

Usia
4 tahun

Kemampuan moral yang dikuasai


Anak pertama kali mampu membuat observasi dari perilaku orang dan
lingkungan di sekitarnya
Anak mampu menunda pemuasan dari keinginan dalam dirinya

4 7 tahun

Terdapat perkembangan kontrol diri


Anak mampu menghubungkan antara perilaku dengan moral yang berlaku, ideide dalam dirinya bertambah tajam dan mulai berbentuk
Sudah ada perkembangan perasaan rasa bersalah dalam diri anak

7-11 tahun

Anak mempunyai kontrol diri yang lebih baik


Anak mengerti akan berbagai motif
Anak mampu bermpati

Usia remaja

Prinsip-prinsip moral lebih berkembang


Konsep abstrak moral telah berkembang
Altruism
Mampu mengerti hak-hak individu lainnya
Mengerti konsep-konsep hukum

Tumbuh Kembang usia sekolah


Pada awal masa sekolah merupakan masa pertumbuhan fisis yang relatif mantap, yang
berakhir dengan suatu percepatan tumbuh sekitar usia 10 tahun untuk anak perempuan
dan 12 tahun untuk anak laki-laki. Penambahan berat badan sekitar 2,5 kg pertahun dan
untuk tinggi badan sekitar 5 cm pertahun. Pada usia ini gigi tetap pertama yaitu geraham
pertama tumbuh pada usia sekitar 7 tahun. Pergantian gigi susu ke gigi tetap
berlangsung dengan kecepatan kira-kira 4 gigi / tahun selama 5 tahun berikutnya.
Perkembangan motorik kasar seperti berlari, dan naik tangga akan lebih
ditujukan ke arah suatu kegiatan dan permainan yang memerlukan gerakan otot secara
khusus.
Pada masa sekolah terjadi pergeseran peri kehidupan anak dari lingkungan
rumah ke lingkungan sekolah. Anak mulai merasakan kehidupan mandiri dan akan
terbentuk watak anak karena pengaruh lingkungannya. Anak diharapkan mulai timbul
rasa percaya diri dan tanggung jawab terhadap tugas yang akan dilaksanakan secara
tuntas.
Tumbuh kembang masa remaja
Masa remaja (10 18 tahun)
Masa remaja ditandai oleh adanya kematangan fungsi seksual dan tercapainya bentuk
tubuh dewasa yang terjadi karena pematangan fungsi endokrin. Pada masa ini terjadi
pula pacu tumbuh, yaitu pertumbuhan terus berlangsung sampai epifise menutup dan
pertumbuhan tinggi berhenti.
Pada anak perempuan tanda pubertas petama pada umumnya adalah
pertumbuhan payudara stadium 2 atau breast bud yaitu terdiri dari penonjolan puting
disertai pembesaran areola mamae pada usia 8-12 tahun. Menstruasi pertama
(menarche) terjadi pada tahap selanjutnya dan sangat bervariasi umur berapa masingmasing individu mengalaminya, rata-rata usia 10,5 15,5 tahun. Hubungan antara
menarche dengan pacu tumbuh sangat erat, haid pertama ini pada setiap anak
perempuan terjadi bila kecepatan pertumbuhan tinggi badan mulai menurun. Pada anak
laki-laki pubertas ditandai pula dengan keluarnya air mani pertama. Masa pubertas

33

muncul dan berkembang dalam rentang usia kronologis yang lebar dan berbeda
menurut jenis kelaminnya.
Gambaran perkembangan remaja memperlihatkan hubungan yang lebih erat
dengan tingkat perkembangan pubertas atau tingkat maturitas kelamin (TMK, sex
maturity rating). Yang paling sering dipergunakan untuk menandai TMK adalah skema
Tanner. Tingkat TMK 1 dan 2 merupakan masa remaja awal, TMK 3 dan 4 masa remaja
menengah, dan TMK 5 adalah masa remaja lanjut dan maturitas seksual penuh (tabel 8
dan 9)
Tabel 8. Klasifikasi tingkat maturitas kelamin anak perempuan
TMK
1
2
3.
4.
5.

Rambut pubis
Pra remaja
Jarang,berpigmen

sedikit

Buah dada
,lurus,

atas

medial labia
Lebih hitam, mulai ikal, jumlah
bertambah
Kasar, keriting, banyak tapi belum
sebanyak dewasa
Bentuk
segitiga
seperti
pada
perempuan dewasa, tersebar sampai
pada medial paha

Pra remaja
Menonjol seperti bukit kecil,areola melebar
Payudara dan areola membesar, tak ada
kontur pemisah
Areola dan papila membentuk bukit kedua
Matang, papila menonjol, areola sebagai
bagian dari kontur buah dada

Tabel 9. Klasifikasi tingkat maturitas kelamin anak lelaki


TMK
1
2
3
4

Rambut pubis
Tidak ada
Sedikit, panjang, pigmen sedikit
Sedikit, lebih gelap, mulai ikal
Seperti tipe dewasa tetapi lebih
sedikit, kasar, keriting
Seperti
dewasa,
menyebar
sampai medial paha

Penis
Pra remaja
Sedikit membesar
Lebih panjang

Testis
Pra remaja
Skrotum membesar, warna
merah muda
Lebih besar

Lebih besar, ukuran glans


dan lebar penis bertambah
Ukuran dewasa

Lebih besar, skrotum lebih


gelap
Ukuran dewasa

Masa remaja awal (TMK 2) pada anak perempuan biasanya mempunyai awal
tumbuh antara usia 10 13 tahun, berlangsung selama 6 bulan sampai 1 tahun. Pada
anak lelaki awal tumbuh tersebut terjadi antara usia 10,5 15 tahun dan berlangsung
selama 6 bulan sampai 2 tahun. Masa remaja menengah anak perempuan timbul pada
usia 11 14 tahun yang berlangsung rata-rata 2-3 tahun. Pada anak lelaki masa remaja
menengah mulai usia 12 15,5 tahun dan berlangsung antara 6 bulan sampai 3 tahun.
Sedangkan masa remaja akhir atau lanjut anak perempuan rata-rata tercapai pada usia
antara 13 17 tahun, dan anak lelaki antara usia 14 16 tahun.
Tahapan tumbuh kembang remaja dibagi menjadi 3 tahapan yaitu remaja awal
(usia 10-13 tahun), remaja pertengahan (usia 14-16 tahun) dan remaja lanjut (usia 17-20
tahun). Perbedaan aspek tumbuh kembang masing-masing tahap dapat dilihat pada
tabel 10.

34

Tabel 10. Perbedaan tahapan tumbuh-kembang masa remaja


Variabel
Usia
Maturitas seks
Somatik

Remaja awal
10-13
1-2
karakteristik seksual
sekunder, percepatan
tumbuh

Seksual

tertarik
masalah
seksual
operasional
konkrit,
moral konvensional

Kognitif dan moral

Keluarga

ambivalen

Teman sebaya

teman sesama jenis


kelamin

Remaja menengah
14-16
3-5
percepatan tinggi
badan, bentuk tubuh,
jerawat, bau badan,
haid pertama, mimpi
basah
eksperimen
banyak bertanya,
berpihak pada diri
sendiri,
berusaha untuk
mendapat otonomi

teman sebaya lebih


dipentingkan

Remaja lanjut
17-20
5
pertumbuhan
melambat

konsolidasi identitas
seksual
idealisme & absolut

lebih bebas, keluarga


memberikan
rasa
aman
lebih
intim,
lebih
komitment

35

36

BAB III
FAKTOR RISIKO DAN DAMPAK
CHILD ABUSE AND NEGLECT
FAKTOR RISIKO CAN
Faktor risiko (ISPCAN akhir-akhir ini menggunakan istilah indikator risiko) adalah faktorfaktor yang dapat berkontribusi untuk terjadinya suatu masalah atau kejadian. Variabel
dalam faktor risiko secara signifikan/bermakna mempunyai asosiasi dengan hasil akhir
yang buruk. Sedangkan dampak adalah hasil akhir dari suatu proses atau masalah.
Dampak dapat dibagi menjadi dampak langsung atau dampak tidak langsung; dampak
saat ini (akut) dan dampak jangka panjang (kronik)
Faktor-faktor risiko terhadap kejadian child abuse dapat ditinjau dari 3 aspek, yaitu faktor
masyarakat atau sosial, faktor orang tua atau situasi keluarga dan faktor anak. Faktorfaktor risiko tersebut adalah:
1. Faktor masyarakat / sosial
Tingkat kriminalitas yang tinggi
Layanan sosial yang rendah
Kemiskinan yang tinggi
Tingkat pengangguran yang tinggi
Adat istiadat mengenai pola asuh anak
Pengaruh pergeseran budaya
Stres para pengasuh anak
Budaya memberikan hukuman badan kepada anak
Pengaruh media massa
2.

Faktor orangtua atau situasi keluarga


Riwayat orang tua dengan kekerasan fisik atau seksual pada masa kecil
Orangtua atau orang dewasa yang pernah mengalami penganiayaan
di masa kecilnya dapat beranggapan bahwa tindakan tersebut wajar
dilakukan terhadap anak.
Orang tua remaja
Imaturitas emosi
Kurangnya kemampuan merawat anak
Kepercayaan diri yang rendah
Dukungan sosial rendah
Keterasingan dari masyarakat
Kemiskinan
Kepadatan hunian (rumah tempat tinggal)
Masalah interaksi dengan lingkungan
Kekerasan dalam rumah tangga

37

Riwayat depresi dan masalah kesehatan mental lainnya (ansietas,


skizoprenia, dll)
Mempunyai banyak anak balita
Kehamilan yang tidak diinginkan
Riwayat penggunaan zat atau obat-obatan terlarang (NAPZA) atau
alkohol
Orangtua yang kecanduan narkotik/zat adiktif lainnya, serta yang
menderita gangguan mental seringkali tidak dapat berfikir dan bertindak
wajar dalam banyak hal, termasuk masalah mengasuh dan mendidik
anak. Mereka cenderung melakukan tindak kekerasan atau
menelantarkan anak
Kurangnya dukungan sosial bagi keluarga
Diketahui adanya riwayat child abuse dalam keluarga
Kurangnya persipan menghadapi stress saat kelahiran anak
Kehamilannya disangkal
Orangtua tunggal
Riwayat bunuh diri pada orangtua / keluarga
Pola asuh dan mendidik anak
Orang tua yang tidak mengetahui cara yang baik dan benar dalam
mengasuh dan mendidik anak, akan cenderung memperlakukan anak
secara salah
Nilai nilai hidup yang dianut orangtua
Harapan orangtua yang terlampau tinggi tanpa mengetahui batas
kemampuan anak adalah hak milik, pandangan bahwa anak merupakan
aset ekonomi bagi orangtua
Kurangnya pengertian mengenai perkembangan anak
Kurangnya pengetahuan mengenai perkembangan anak, menyebabkan
orangtua tidak mengerti akan kebutuhan dan kemampuan anak sesuai
umurnya, sehingga memperlakukan anak secara salah
3.

Faktor anak
Prematuritas
Berat badan lahir rendah
Cacat
Anak dengan masalah perilaku / emosi

38

Faktor-faktor risiko CAN

Faktor Sosiokultural
1. Nilai/ norma yang ada di
masyarakat
2. hubungan antar manusia
3. Kemajuan zaman: pendidikan,
hiburan, olahraga, kesehatan,
hukum, dsb
Stress berasal dari anak
1. Fisik berbeda
(mis: cacat)
2. Mental berbeda
(mis: retardasi)
3. Temperamen
berbeda (mis:
sukar)
4. Tingkah laku
berbeda (mis:
rehiperaktif)
5. Anak angkat/ tiri
6. dll

Stress keluarga

Stress berasal dari orangtua

1. Kemiskinan,
pengangguran,
mobilitas isolasi,
perumahan tidak
memadai
2. Hubungan orangtuaanak, stress
perinatal, anak yang
tidak diharapkan,
prematuritas, dll
3. Perceraian
4. dll

1. Rendah diri
2. Waktu kecil
mendapat perlakuan
salah
3. Depresi
4. Harapan pada anak
yang tidak realistis
5. Kelainan karakter/
gangguan jiwa
6. dll

Situasi pencetus
-

Disiplin
Konflik keluarga/ pertengkaran
Masalah lingkungan yang
mendadak

Sikap/ perbuatan keliru


-

penganiayaan
ketidakmampuan merawat
peracunan
teror mental

39

DAMPAK CAN PADA TUMBUH KEMBANG ANAK


Anak anak tumbuh dan berkembang dengan baik bila mereka menerima segala
kebutuhannya dengan optimal. Jika salah satu kebutuhan baik Asuh, Asih maupun Asah
tidak terpenuhi maka akan terjadi kepincangan dalam tumbuh kembang mereka.
Dampak yang terjadi dapat secara langsung maupun tidak langsung atau dampak
jangka pendek dan dampak jangka panjang. Pertumbuhan dan perkembangan anak
yang mengalami child abuse, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu :
1. Dampak langsung terhadap kejadian child abuse 5 % mengalami kematian, 25 %
mengalami komplikasi serius seperti patah tulang, luka bakar, cacat menetap dll.
2. Terjadi kerusakan menetap pada susunan saraf yang dapat mengakibatkan
retardasi mental, masalah belajar / kesulitan belajar, buta, tuli, masalah dalam
perkembangan motor / pergerakan kasar dan halus, kejadian kejang, ataksia,
ataupun hidrosefalus
3. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya.
Penelitan oleh Oates dkk tahun 1984 mengatakan bahwa tidak ada perbedaan
yang bermakna dalam tinggi badan dan berat badan dengan anak yang normal
4. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu :
Dampak lain yang dapat ditemui pada kasus child abuse dan neglect :
Kecerdasan
Berbagai penelitan melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembangan kognitif,
bahasa, membaca dan motor
Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena
malnutrisi
Dari lingkungan anak kurang mendapat stimulasi adekuat karena gangguan emosi
Emosi
Masalah yang sering dijumpai adalah gangguan emosi, kesulitan belajar / sekolah,
kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan teman, kehilangan kepercayaan diri,
phobia dan cemas
Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan
dengan orang dewasa, atau menarik diri / menjauhi pergaulan. Anak suka mengompol,
hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, temper tantrum.
Konsep diri
Anak yang mendapat kejadian child abuse merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak
dikehendaki, muram dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan
percobaan bunuh diri
Agresif
Anak yang mendapat kejadian child abuse lebih agresif terhadap teman sebaya. Sering
tindakan agresif tersebut meniru tindakan orangtua mereka atau mengalihkan perasaan
agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil kurangnya konsep diri
Hubungan sosial
Pada anak-anak tersebut kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan
orang dewasa, misalnya melempari batu atau perbuatan kriminal lainnya.

40

3. Akibat dari seksual abuse


Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, seperti nyeri perineal, sekret vagina, nyeri
dan perdarahan anus
Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi kurang, enuresis, enkopresis,
anoreksia dan perubahan tingkah laku, kurang percaya diri, sering menyakiti diri
sendiri dan sering mencoba bunuh diri.
Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan
umurnya.
Dampak tidak langsung masalah child abuse dan neglect dan reaksi yang ditimbulkan
berdasarkan pembagian usia adalah sebagai berikut :

Beberapa problem perilaku dan emosi yang mungkin terjadi sebagai


dampak kekerasan pada anak
1. Reaksi pada anak yang sangat kecil (2-5 tahun)
Setelah mengalami suatu kejadian yang menimbulkan stress, anak-anak balita
menjadi sangat takut terhadap hal-hal nyata di lingkungannya dan/atau terhadap halhal yang idbayangkannya. Anak-anak biasanya akan memberikan reaksi yang
berlebihan terhadap semua hal yang secara langsung atau tidak langsung
mengingatkan mereka pada pengalaman yang menimbulkan stress tersebut. Anakanak yang mengalami kekerasan seksual mungkin menunjukkan ketakutan yang
berlebihan terhadap orang yang berjenis kelamin sama dengan orang yang
melakukan kegiatan seksual tersebut. Anak-anak balita dapat pula menjadi takut
terhaap hal-hal yang tidak nyata, seperti nenek sihir yang mendatangi mereka di
malam hari atau orang jahat yang akan mencelakakan mereka.
Perilaku dan reaksi emosi yang harus di amati:
a. Cemas perpisahan, anak-anak balita bereaksi terhadap stress dengan
menempel terus pada orang tuanya karena takut berpisah. Mereka menempel
terus pada orang tuanya karena takut, takut tidur sendirian dan mengamuk bila
ditinggalkan
b. Perilaku regresif, kembali ke tahap perkembangan yang lebih awal, seperti
kembali ke benda pengganti ibu(transactional object), misalnya mengisap
jempol, bantal kesayangan, dan lain lain. Kadang-kadang perilaku regresif ini
juga dapat terlihat dengan adanya kemunduran dalam kemampuan berbicara,
kondisi ini merupakan tanda adanya penderitaan anak-anak seumur ini.
c. Kehilangan kemampuan lain yang baru dicapainya, misalnya jadi mengompol
lagi atau tak dapat menahan buang air besar. Semua ini merupakan gejala khas
kelompok usia ini.
d. Mimpi buruk dan mengigau. Kelompok anak balita ini biasanya sering mengalami
mimpi buruk dan mengigau karena mereka tidak mampu memahami peristiwa
yang sangat menekan
2. Reaksi pada anak usia 6-12 tahun
Anak-anak berusia 6-12 tahun lebih mampu menggunakan kemampuan berpikir,
perasaan dan tingkah lakunya ketika bereaksi terhadap kejadian yang menimbulkan
stress. Mereka mampu mengingat kejadian dengan benar dan dapat memahami
makna peristiwa yang telah menimpa mereka.
Sehubungan dengan alam pikir, anak-anak sering berkhayal untuk menghadapi
kejadian yang menimbulkan stress. Mereka akan berkhayal bahwa mereka mampu
menghadapi kejadian buruk, misalnya mereka mampu menghadapi si pelaku

41

kekerasan dengan kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya, mereka merasa


mampu menipu si pelaku kekerasan seksual dengan mudah, dan lain-lain. Adanya
kemampuan ini membuat anak dapat melawan rasa tidak berdayanya. Namun cara
berpikir seperti ini membuat anak-anak lebih mudah timbul perasaan berdosa dan
mennyalahkan diri sendiri. Hal ini terjadi karena pada saat anak membayangkan
dirinya dapat mencegah terjadinya peristiwa yang mengerikan, mereka juga
meyalahkan diri mereka karena tidak melakukan hal tersebut.
Setelah melewati pengalaman yang sangat mencekam, anak-anak menjadi
ketakutan terhadap lingkungan sekitarnya dan terhadap orang lain. Sebagai contoh,
setelah mengalami perkosaan, anak merasa bahwa harga dirinya telah diinjak-injak
dan keamanannya terancam, mereka menjadi sangat lemah dan terus menerus
berpikir bahwa hal-hal buruk akan terjadi kembali pada mereka. Pemahaman anak
akan keadilan, moral dan ketulusan dapat mengalami perubahan oleh karena
kenyataan yang ada di sekitarnya yang dipenuhi oleh kekerasan baik di dalam
rumah atau di lingkungan sekitarnya.
Perilaku dan reaksi emosi yang harus diamati:
a. Kesulitan belajar, sulit konsentrasi dan kegelisahan. Anak-anak seusia ini akan
menjadi gelisah, sulit konsentrasi dan akhirnya akan menimbulkan kesulitan
belajar yang berakibat penurunan dalam prestasi belajarnya. Turunnya
kemampuan konsentrasi ini seringkali disebabkan oleh ingatan akan kejadian
yang menyebabkan stress dan kesedihan. Mereka menjadi mudah terpecah
perhatiannya, gelisah, tidak mampu memusatkan perhatiannya dan tidak mampu
menyelesaikan tugas-tugasnya.
b. Cemas pasca trauma. Kecemasan pada kelompok ini dapat dilihat melalui
tingkah laku yang gugup, seperti menggoyang-goyangkan badan, gagap, atau
menggigit kuku. Sebagai tambahan, pada usia ini anak juga sudah bisa
menunjukkan keluhan-keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya,
seperti pusing, sakit perut, atau masalah makan.
c. Agresif, anak-anak sering menampakkan perubahan tingkah laku yang sangat
jauh berbeda dari tingkah lakunya yang dulu. Mereka bias berubah menjadi
agresif dan rewel (banyak maunya), misalnya menjadi sangat kasar dan rebut
saat bermain atau bertingkah semaunya sendiri dan nakal, berteriak dan
menjerit-jerit.
d. Depresi, anak tampak menarik diri, iritabel dan pasif, misalnya mereka menjadi
sangat pendiam dan penurut, tidak pernah mengungkapkan perasaan, tidak mau
bermain dengan teman-temannya serta mudah menjadi marah. Pergaulan anak
dengan teman sebayanya menjadi terganggu dan menyebabkan anak terasing
dari lingkungannya.
e. Sulit tidur.
f. Bertingkah laku seperti anak yang lebih kecil, misalnya sering mengompol di
malam hari atau lengket dengan orang tuanya.
3. Reaksi pada anak usia 13-18 tahun
Masa remaja adalah masa kehidupan dimana terjadi banyak perubahan dalam hal
penampilan dan perasaan. Mereka juga sedang dalam masa memisahkan diri dari
keluarga sebagai sumber rasa aman dan mulai membangun hubungan yang mandiri
dengan dunia luar. Dibandingkan dengan anak-anak yang lebih muda, remaja
sebenarnya lebih mudah terpengaruh oleh kejadian yang penuh stress. Hal ini
karena mereka sudah memiliki kemampuan berpikir yang dewasa dan mampu

42

berlogika serta dapat memahami akibat jangka panjang dari konflik dan kekerasan
yang dialami.
Tidak seperti anak-anak, remaja pada umumnya tidak mengatasi stress dengan cara
berimajinasi atau bermain. Mereka sudah lebih mampu menceritakan kejadian yang
telah menimpa mereka, tetapi masih memerlukan bimbingan untuk dapat
mengeluarkan perasaannya secara terbuka. Mereka sudah mampu memikirkan apa
yang dapat dan tidak dapat dilakukan untuk merubah peristiwa yang sudah terjadi,
namun tetap ada rasa bersalah karena tidak berbuat sesuatu untuk mencegah
sesuatu yang buruk tidak terjadi.
Perilaku dan reaksi emosi yang harus diamati:
a. Merusak diri sendiri, remaja akan melakukan tindakan yang merusak diri sendiri
sebagai cara mengatasi rasa marah dan depresi. Setelah kejadian yang
menimbulkan stress, banyak remaja melakukan perbuatan yang berisiko tinggi
seperti berontak terhadap oarng-orang yang punya wibawa, menyalahgunakan
napza, bergabung dengan para pencuri dan menjarah. Remaja bisa memahami
sejauh apa akibat kekerasan yang akan mempengaruhi kehidupan mereka.
Mereka merasa diri mereka tidak kebal terhadap hal tersebut. Setelah kejadian
yang menimbulkan stress, mereka bisa menjadi tertutup, menarik diri, curiga
terhadap orang lain dan berpikir bahwa hal buruk akan menimpa mereka lagi.
b. Keluhan fisik yang tidak jelas penyebabnya, kecemasan yang terus menerus
serta kegugupan dan keluhan fisik yang tidak jelas penyebabnya juga cukup
umum terjadi pada kelompok usia ini.
Dampak jangka panjang dari kasus Child Abuse
Korban atau kasus anak yang mengalami kejadian Child Abuse akan mengalami
dampak, baik dampak jangka pendek ataupun dampak jangka panjang. Beberapa
penelitian menemukan dampak jangka panjang yang dapat terjadi pada kasus Child
Abuse sebagai berikut :
1. Adanya distorsi kognitif, seperti merasa salah, malu, menyalahkan diri sendiri
2. Gangguan perasaan (mood disturbance), seperti ansietas atau depresi
3. kehilangan minat untuk bersekolah seperti sering melamun atau tidak
memperhatikan pelajaran, menghindari sekolah atau membolos, tidak perduli
terhadap hasil ulangan atau ujian
4. Stres pasca trauma seperti terus menerus memikirkan peristiwa traumatis yang
dialaminya, merasa gelisah dan cemas menghadapi lingkungan yang agak
berubah.
5. Masalah / problem diri sendiri (interpersonal), seperti melakukan isolasi terhadap
diri sendiri, rasa dendam, takut terhadap sikap ramah / kehangatan / kemesraan
dari orang lain
6. Perilaku membahayakan atau menyakiti diri sendiri, seperti percobaan bunuh
diri, mutilasi / membuat cacat diri sendiri
7. perilaku regresif seperti mengompol, menempel atau melekatkan diri pada orang
dewasa, menarik diri dari pergaulan, menjadi hiperaktif dan menunjukkan
aktivitas berlebihan, menunjukkan perilaku tantrum contohnya mengamuk,
menangis berlebihan atau berguling-guling.
8. Menggunakan narkotik dan zat adiktif lainnya
9. Gangguan personalitas
10. gangguan tidur dan mimpi buruk
11. Masalah psikosomatik seperti nyeri daerah pelvis

43

12. Problem / gangguan makan


13. Lebih lanjut korban dapat menjadi psikosis
14. Adanya gangguan personalitas multipel.
15. Dampak kecacatan pada fisik yang dapat mengganggu fungsi tubuh atau
anggota tubuh tersebut
16. Anak yang mengalami abuse dapat menjadi abuser nantinya bila dewasa
Dampak jangka panjang yang mungkin timbul pada kasus chil abuse tidak dapat
ditentukan kapan waktu terjadinya, oleh sebab itu perlu dilakukan pemantauan jangka
panjang terhadap anak yang mengalami child abuse. Hal ini bertujuan untuk deteksi dini
terjadinya dampak baik fisik maupun psikososial.
Dampak masalah CAN terhadap keluarga

Peran dalam keluarga dan tanggung jawab secara dramatis berubah


Orangtua yang mengalami trauma seringkali kemampuannya untuk mendukung dan
melindungi anak secara emosional berkurang
Gangguan yang dialami orangtua (seperti tindak kekerasan) dapat menjadi trauma
baru bagi anak
Kesulitan keuangan dan konflik antar generasi memberi beban tambahan bagi
semua anggota keluarga
Anak diajari untuk tidak percaya siapapun
Rasa bersalah yang berkaitan dengan tindakan meninggalkan keluarga
mengganggu pemulihan emosional untuk semua anggota keluarga

Dampak masalah CAN terhadap masyarakat

Produktivitas masyarakat menurun sehingga kesejahteraan masyarakat menurun


Bertambahnya pengangguran sehingga mempengaruhi berbagai masalah sosial
seperti pencurian, perampokan dll

44

BAB IV
PEMERIKSAAN
PEMERIKSAAN KASUS KEKERASAN FISIK
Pendahuluan
Perlakuan salah meliputi perbuatan ataupun penelantaran anak yang mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas. Perlakuan salah dapat bersifat fisik, emosional atau seksual.
Definisi perlakuan salah (child abuse) bervariasi. Perlakuan salah fisik dapat
didefinisikan sebagai trauma yang disengaja pada anak oleh pengasuh yang
menimbulkan memar, laserasi, luka tusuk, luka bakar, fraktur dan kerusakan organ.
Definisi yang lebih luas meliputi gangguan emosi yang pendek dan jangka panjang,
yang dapat lebih berat daripada kelainan fisik. Namun definisi yang lebih sederhana
adalah trauma pada anak yang disengaja. Penelantaran anak (child neglect) adalah
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar anak yang mungkin megakibatkan gangguan
tumbuh kembang dan gangguan belajar. Kebutuhan dasar anak meliputi asuh, asih dan
asah.
Anamnesis
Bila dijumpai satu atau lebih indikator pada anamnesis, dapat dipikirkan adanya child
abuse pada anak.
1. Riwayat kecelakaan tidak cocok dengan jenis atau beratnya trauma. Misalnya
distribusi atau jenis lesi tidak sesuai dengan riwayat kejadian yang diceritakan atau
riwayat kejadian menyatakan trauma ringan tetapi dijumpai trauma yang berat.
2. Riwayat bagaimana kecelakaan terjadi tidak jelas atau pengasuh (orangtua) tidak
tahu bagaiama terjadinya kecelakaan.
3. Riwayat kecelakaan berubah-ubah ketika diceritakan kepada petugas kesehatan
yang berlainan.
4. Orangtua jika ditanya secara terpisah memberi keterangan yang saling
bertentangan.
5. Riwayat yang tidak masuk akal. Anak dikatakan mengerjakan sesuatu yang tidak
mugkin untuk tahap perkembangannya. Misalnya, anak dikatakan terjatuh ketika
memanjat, padahal duduk pun belum bisa.
Observasi
1. Adanya keterlambatan yang bermakna antara saat kecelakaan dan saat mencari
pertolongan medis.
2. Orangtua mungkin tidak memperlihatkan kepedulian yang memadai sesuai dengan
derajat berat trauma.
3. Interaksi pengasuh(orangtua)-anak yang patologis. Mungkin dijumpai terlihat
pengharapan yang tidak realistis, keinginan yang tidak memadai atau perilaku marah
yang impulsif yang diperlihatkan oleh pengasuh (orangtua). Pengasuh (orangtua)
sering tidak sadar akan kebutuhan anak.

45

Pemeriksaan Fisik
1. Presentasi klinis perlakuan salah pada anak bervariasi dari memar ringan sampai
dengan keadaan yang mengancam kehidupan. Perlakuan mungkin juga disertai
tanda-tanda penelantaran. Temuan yang umum adalah memar, hematoma, abrasi.
Lokasi stadium penyembuhan dan konfigurasi perlukaan ini khas. Perlakuan salah
pada anak ditandai oleh adanya memar atau jejas lain di kulit pada daerah yang
tidak lazim terkena kecelakaan seperti pipi, lengan atas, paha, pantat, dan genital.
Sebaliknya, pada kecelakaan sering terjadi memar pada dahi, tibia anterior ataupun
tonjolan tulang lainnya. Perlukaan multipel dengan
berbagai tingkat
penyembuhan dan tanda dengan konfigurasi sesuai jari tangan, tali atau kabel,
kepala, ikat pinggang atau bahkan gigi orang dewasa dapat ditemukan pada kasus
perlakuan salah pada anak. Laserasi ataupun abrasi dapat ditemukan pila pada
mulut, atau orifisium lainnya.
2. Tamparan meninggalkan memar pada pipi dengan 2 atau 3 garis pararel
didalamnya.
3. Usaha paksa mendiamkan anak yang menangis, atau memberi makan secara paksa
dapat menimbulkan memar pada bibir atas maupun frenulum.
4. Tanda gigitan manusia berupa memar jelas, berbentuk bulan sabit yang
berhadapan.
5. Jika benda tumpul digunakan untuk menghukum, memar sering menyerupai benda
tersebut. Tanda loop akibat kabel atau tali yang dilipat dua. Tanda pukulan (lash)
terjadi setelah dipukul dengan ikat pinggang, ranting pohon, atau mistar yang keras
6. Tanda cekikan mungkin terlihat di leher atau terlihat tanda lingkaran dari tali yang
mengelilingi tumit atau pergelangan kaki.
7. Alopesia traumatis mungkin terjadi ketika rambut putus dengan panjang yang
bervariasi. Hematoma subgaleal mungkin terbentuk dibawahnya.
8. Petekie di wajah dan bahu dapat terjadi setelah muntah-muntah atau menangis yang
hebat.
9. Sekitar 10% perlakuan salah secara fisik meliputi luka bakar. Luka bakar karena
terkena benda padat panas mudah didiagnosis. Kelanan tersebut biasanya berupa
luka bakar derajat II tanpa blister dan hanya meliputi satu sisi tubuh. Bentuk luka
bakar biasanya khas menyerupai benda panas, seperti bila anak dikenai alat
pemanas ataupun alat pemanas elektris. Luka bakar rokok menimbulkan lesi bulat,
cekung dan berukuran sama yang dapat ditemukan di tangan dan kaki serta dapat
dikacaukan dengan impetigo bulosa. Luka bakar karena air panas paling sering
terjadi. Dunking burn terjadi ketika orangtua menekan paha anak dan menaruh
pantat serta perineum dalam air panas sebagai hukuman untuk enuresis. Hal ini
menyebabkan luka bakar di seluruh pantat. Bila pencelupan terjadi lebih dalam, luka
bakar meluas kearah paha dan pinggang dengan terlihat air yang lebih jelas. Tangan
dan kaki tidak terkena. Hal ini tidak cocok dengan jatuh ke dalam bak air panas atau
membuka kran air panas saat mandi dalam bak. Pencelupan paksa tangan dan kaki
ke air panas dapat dicurigai bila luka bakar tidak terjadi diatas pergelangan tangan
maupun kaki. Toksik epidermal nekrolisis dapat dikacaukan dengan luka bakar.
10. Hematoma subdural merupakan jenis perlakuan salah yang paling berbahaya, sering
menyebabkan kematian atau gejala sisa serius. Lebih dari 95% trauma intrakranial
serius yang terjadi dalam tahun pertama kehidupan adalah akibat perlakuan salah.
Bayi sering datang dalam keadaan koma, kejang dan mengalami peningkatan
tekanan intrakranial. Hematoma subdural mungkin akibat fraktur tengkorak sekunder
terhadap pukulan kepala yang langsung, tetapi lebih dari setengah kasus ini terjadi
akibat trauma kocokan, whiplash yang keras. Akselerasi dan deselerasi kepala
dengan cepat, mengakibatkan robekan bridging cerebral vein, selanjutnya terjadi

46

perdarahan ke ruang subdural yang biasanya terjadi bilateral. Perdarahan retina


hampir selalu terjadi, dan mugkin terdapat tanda cengkeraman pada ekstremitas
atas, bahu atau dada.
11. Trauma intraabdominal merupakan penyebab kedua tersering pada anak yang
diperlakukan salah. Anak mengalami muntah berulang, distensi perut fleksibel, gaya
pukulan atau diserap oleh organ interna dan kulit diatasnya bebas memar. Temuan
tersering adalah ruptur hepar atau limpa. Robekan usus kecil yang berhubungan
dengan lingkungan seperti duodenum dan jejunum proksimal lebih jarang terjadi.

Indikator Kemungkinan Terjadinya Kekerasan Fisik Pada Anak


1.

2.

3.

4.

5.

6.

Memar dan bilur


a. Pada wajah, bibir/mulut, bagian tubuh lainnya seperti di punggung, bokong, paha, betis, dll.
b. Terdapat baik memar/bilur yang baru maupun yang sudah mulai menyembuh.
c. Corak-corak memar/bilur yang menunjukkan benda tertentu yang dipakai untuk kekerasan.
Luka lecet dan luka robek
a. Di mulut, bibir, mata, kuping, lengan, tangan, dsb.
b. Di genitalia
c. Luka akibat gigitan oleh manusia.
d. Di bagian tubuh lain, terdapat baik luka yang baru atau yang berulang.
Patah tulang
a. Setiap patah tulang pada anak di bawah tiga tahun.
b. Patah tulang baru dan lama (dalam penyembuhan) yang ditemukan bersamaan.
c. Patah tulang ganda
d. Patah tulang spiral pada tulang-tulang panjang lengan dan tungkai.
e. Patah tulang pada kepala, rahang dan hidung serta patahnya gigi.
Luka bakar
a. Bekas sundutan rokok
b. Luka bakar pada tangan, kaki, atau bokong akibat kontak bagian-bagian tubuh tersebut
dengan benda panas.
c. Bentuk luka yang khas sesuai dengan bentuk benda panas yang dipakai untuk menimbulkan
luka tersebut.
Cedera pada kepala
a. Perdarahan (hematoma) subkutan dan atau subdural, yang dapat dilihat pada foto rontgen.
b. Bercak/area kebotakan akibat tertariknya rambut.
c. Terdapat baik yang baru atau berulang.
Lain-lain
a. Dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau pinggul (kemungkinan akibat tarikan).
b. Tanda-tanda luka yang berulang.

47

PEMERIKSAAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL


Sikap pemeriksa
Dokter harus bersikap membantu korban dalam mengatasi perasaan tidak berdaya
sebagai akibat kekerasan seksual yang dialaminya, jangan sampai korban menganggap
pemeriksaan fisik yang dilakukan sebagai lanjutan kekerasan seksual yang dialaminya.
Sebaiknya pemeriksaan dilakukan setelah korban tenang, dan disaksikan oleh keluarga,
serta dibantu oleh tenaga paramedis yang memberi dukungan mental kepada korban.
Informed consent mengenai maksud, tujuan proses dan lama pemeriksaan perlu
diberikan baik kepada anak maupun kepada orang tuanya serta minta korban dan orang
tua/wali/keluarganya menandatangani informed consent tersebut.
Anamnesis
Untuk kelengkapan rekam medik, tanyakan kembali identitas yang bersangkutan,
terutama umur dan perkembangan seks, serta kegiatan seksualnya selama dua minggu
terakhir (hubungan seksual terakhir sebelum kejadian, siklus haid, haid terakhir, dan
apakah masih haid saat kejadian). Tanyakan pula waktu kejadian, lokasi kejadian, ada
tidaknya kekerasan sebelum kejadian, segala bentuk kegiatan seksual yang terjadi,
termasuk bagian-bagian tubuh yang terlibat, ada tidaknya penetrasi. Dokter harus
menanyakan apa yang dilakukan korban setelah kejadian kekerasan seksual tersebut,
apakah korban mengganti pakaian, buang air kecil, membersihkan bagian
kelamin/dubur, mandi atau gosok gigi.
Pemeriksaan fisik
Selain pemeriksaan fisik lazimnya, khusus pada korban kekerasan seksual perlu
dilakukan pemeriksaan lainnya seperti:
a. Tanda-tanda perlawanan atau kekerasan, seperti;
Gigitan, cakaran, ekimosis, hematome dan perhatikan kesesuaian tanda
kekerasan dengan jalannya kejadian kekerasan. Kadang-kadang tanda ini tidak
muncul dengan segera, tetapi muncul beberapa waktu kemudian.
Lukiskan penampilan korban (rambut dan wajah), rapi atau kusut, keadaan
emosional, tenang atau sedih/gelisah, dsb.
Adakah tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran atau diberikan obat bius/tidur,
apakah ada tanda bekas suntikan jarum suntik. Bila ada, ini merupakan indikasi
untuk pemeriksaan darah dan urin.
Lakukan pemeriksaan pertumbuhan gigi geligi dan seks sekunder untuk
konfirmasi usia korban atau kepantasan dinikahkan sebagaimana diminta oleh
undang-undang.
Kuku jari tangan dipotong dan dimasukkan ke dalam amplop terpisah kana dan
kiri, bubuhkan label identitas
Dalam hal adanya riwayat persetubuhan dubur, pemeriksaan colok dubur dan
proktoskopi perlu dipertimbangkan untuk melihat adanya luka baru dan
gambaran rugae.
Bila diduga ada persetubuhan oral, periksa adanya lecet, bintik perdarahan atau
memar pada palatum, kemudian lakukan swab pada laring dan tonsil.
Rambut pubis disisir; rambut lepas yang ditemukan ( mungkin milik tersangka
pelaku) dimasukkan ke dalam amplop; cabut 3-5 lembar rambut pubis korban
dan masukkan ke dalam amplop lain, bubuhkan label identitas.

48

Bila pada tubuh korban ditemukan adanya kerak (bercak), maka kerak tersebut
dikerok dengan skapel dan masukkan ke dalam amplop, bubuhkan label
identitas.
Jika pada pakaian korban dicurigai adanya bercak air mani berupa bercak kaku,
maka bila mungkin pakaian tersebut diminta dan dimasukkan ke dalam kantung.
Beri pakaian pengganti.
b. Pemeriksaan ginekologik pada korban anak perempuan
Periksa adanya luka di daerah sekitar vulva, perineum dan saluran vagina; serta
robekan selaput dara.
Pada selaput dara, tentukan ada atau tidaknya robekan. Robekan juga ditentukan
baru atau lama, lokasinya dan dilihat secara teliti sampai ke dasar atau tidak.
Dalam hal tidak terdapat robekan, padahal diperoleh informasi terjadinya
peneterasi, maka lakukan pemeriksaan besarnya lingkaran lubang dengan
mencoba memasukkan satu jari kelingking. Bila kelingking dapat masuk tanpa
hambatan dan nyeri lakukan uji dengan satu jari telunjuk (pada anak, diameter
horizontal hymen sama atau lebih dari 10 mm, menunjukkan telah terjadi
peneterasi oleh jari, dan bentuk hymen seperti hymen rudimenter).
c. Pemeriksaan dubur pada anak laki-laki
Kekerasan seksual pada anak laki-laki seringkali dalam bentuk persetubuhan dubur.
Pemeriksaan colok dubur dan proktoskopi perlu dilakukan untuk melihat adanya luka
baru dan gambaran rugae. Jangan lupa lakukan pengambilan bahan untuk
pemeriksaan laboratorium dengan lidi kapas, menyusuri celah pada rugae tersebut.
d. Pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboratorium
Dilakukan jika waktu kejadian belum lebih dari 7 (tujuh) hari sebelum waktu
pemeriksaan, dokter yang menangani korban harus mengambil sample untuk
pemeriksaan laboratorium.
Semen (air mani) akan berflourosensi dengan penyinaran ultra violet dalam kamar
yang agak gelap. Sifat berflourosensi yang khusus ini digunakan untuk melokalisasi
semen yang masih basah atau yang sudah mengering, juga pada tempat di luar tubuh
misalnya pakaian.
Untuk membuktikan adanya ejakulasi, bahan di ambil dari dalam vagina (forniks
posterior, lihat gambar) dengan cara: masukkan lidi kapas bersih ke dalam vagina
menelusuri dinding posterior vagina, basahkan kapas dengan cairan vagina
dengan cara memutarnya beberapa kali, dan biarkan di forniks posterior selama
satu menit.
Pada persetubuhan dubur, bahan diambil dari rugae dengan menggunakan kapas
lidi menelusuri rugae-rugae
Buat 2 (dua) buah sediaan hapus. Keringkan di udara dalam suhu kamar.
Setelah sediaan kering, masukkan ke dalam amplop terpisah, satu untuk
pemeriksaan mikrobiologi (adanya penyakit menular seksual seperti GO) dan
yang lain untuk pemeriksaan forensik klinik (pemeriksaan adanya spermatozoa,
fosfatase asam, uji Berberio dan uji Florence, Malacite Green, uji PAN untuk
adanya Zn, pemeriksaan antigen ABO serta persiapan pemeriksaan DNA dari
cairan mani).
Terdapatnya spermatozoa yang bergerak (motil) menunjukkan bahwa terjadinya
persetubuhan dalam waktu 24 jam yang lalu. Terdapatnya spermatozoa nonmotil
tidak mempunyai arti banyak. Tidak terdapatnya spermatozoa belum berarti tidak

49

terjadi persetubuhan, sebab pemerkosa bisa seorang penderita azoospermia,


oligospermia, telah menjalani vasektomi atau memakai kondom.
Fosfatase asam terdapat pada cairan tubuh lain seperti urin, cairan vagina dan
lain-lain. Namun konsentrasi terbanyak dari fosfatase asam adalah di dalam
cairan semen. Pada cairan semen semen yang baru diejakulasi konsentrasi
fosfatase asam berkisar antara 4000-8000 King Armstrong Unit/ml, sehingga
dapat dibedakan dengan cairan tubuh lain. Sekitar 80% laki-laki mengeluarkan
antigen ABO melalui cairan tubuhnya, termasuk cairan semen.
e. Tes kehamilan dilakukan bila ada indikasi (terlambat haid)

INDIKATOR KEMUNGKINAN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK


Adanya penyakit hubungan seksual, paling sering infeksi gonokokus.
Infeksi vaginal yang rekuren/berulang pada anak di bawah 12 tahun.
Rasa nyeri, perdarahan dan atau keluarnya sekret dari vagina.
Gangguan dalam mengendalikan buang air besar dan atau buang air kecil.
Kehamilan pada usia remaja.
Cedera pada buah dada, bokong, perut bagian bawah, paha, sekitar alat kelamin atau
dubur.
Pakaian dalam robek dan atau adanya bercak darah pada pakaian dalam.
Ditemukannya cairan manin/semen di sekitar mulut, genitali, anus atau pakaian.
Rasa nyeri bila buang air besar atau buang air kecil.
Promiskuitas yang terlalu dini.

TEKNIK WAWANCARA & EVALUASI MENTAL EMOSIONAL


Melakukan pemeriksaan mental emosional pada anak maupun orang dewasa secara
umum mempunyai dasar yang hampir sama. Terapis harus menunjukkan keprihatinan,
respek, empati dan kompetensi agar terbina rapport dan kepercayaan, sehingga pasien
dapat berbicara jujur dan intim/pribadi. Walaupun demikian, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan pada waktu berhadapan dengan seorang anak;
1. Sejak lahir anak sudah mempunyai temperamen dan perasaan yang unik tentang
dirinya, sehingga setiap anak akan bereaksi dengan cara yang berbeda terhadap
stressor yang sama. Sebagian anak mungkin mampu beradaptasi dengan stressor
ini, sebagian lagi mungkin akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan konflik
yang dihadapinya.
Dengan demikian anak dengan tingkat perkembangan yang sama belum tentu akan
mengekspresikan problem yang dihadapinya dengan cara yang sama pula.
Sebagian anak mungkin akan mengekspresikan problem ini melalui kata-kata,
sebagian lain mungkin melalui keluhan-keluhan fisik atau tingkah laku yang tidak
sesuai dengan usia perkembangannya.
2. Lingkungan dimana anak berada juga dapat mempengaruhi perasaan, temperamen
dan reaksi-reaksi anak terhadap suatu stressor. Reaksi timbal balik antara faktor
lingkungan dengan anak sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan fisik, mental
emosional serta intelektual anak yang masih berkembang.
3. Anak merupakan individu yang masih tumbuh dan berkembang jika dibandingkan
dengan orang dewasa yang sudah lebih mantap pola kepribadiannya. Oleh karena

50

itu dengan penanganan sedini dan seoptimal mungkin maka sebagian besar
problem perilaku emosional anak cenderung lebih mudah di atasi.
4. Deteksi dan penanganan problem perilaku dan emosional pada anak lebih kompleks
dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh:
a. Anak belum mempunyai pengertian yang baik bahwa dirinya sakit atau
membutuhkan pertolongan
b. Fungsi kognitif anak masih dalam perkembangan, sehingga masih sulit untuk
menerima berbagai konsep sebab akibat dalam kehidupannya
c. Anak masih belum mengantisipasi masa depan
Tujuan dari evaluasi psikiatrik adalah untuk:
a. Untuk mengumpulkan data dalam usaha membuat diagnosis problem atau
gangguan mental emosional yang dialami oleh anak.
b. Untuk menentukan kekuatan dan kelemahan psikologik anak dalam kaitannya
dengan perencanaan tatalaksana yang akan dilakukan.
c. Sebagai landasan dalam perencanaan psikoterapi yang akan dilakukan.
Deteksi problem perilaku dan emosi anak
Dalam pengertian yang luas, perilaku seorang anak tidak hanya mencakup fungsi
motorik saja, seperti bermain, berlari, berjalan, tidur makan, tetapi juga meliputi
kemampuan berbahasa dan interaksi sosial (yang juga dipengaruhi oleh kondisi
emosional seseorang). Perilaku dan emosi anak dikatakan abnormal jika perilaku dan
reaksi emosi anak tidak lagi sesuai dengan dengan tingkat perkembangan dan
lingkungan sosial dimana anak itu berada. Dengan demikian, tidaklah mudah untuk
mendefinisikan secara eksplisit problem perilaku dan emosi pada seorang anak. Untuk
mempermudah proses ini maka dibutuhkan pengetahuan mengenai teori perkembangan
anak baik fisik maupun mental emosional dan keterampilan untuk melakukan
wawancara psikiatrik yang cukup baik. Agar deteksi ini dapat dilakukan oleh para tenaga
kesehatan yang bekerja di pusat-pusat pelayanan kesehatan primer ataupun oleh
tenaga-tenaga pendidik, maka World Health Organization (WHO) mengeluarkan suatu
alat bantu yang disebut Reporting Questionnaire on Children (RQC). RQC ini terdiri dari
10 buah pertanyaan, jika dalam evaluasi anak ditemukan adanya jawaban positif dari
minimal satu buah pertanyaan maka anak tersebut memerlukan evaluasi lanjutan untuk
masalah tersebut.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan wawancara psikiatrik
pada anak:
a. Menjadi pendengar yang aktif dan bersifat fleksibel sewaktu berkomunikasi dengan
pasien.
b. Mampu berempati.
c. Menggunakan cara dan tehnik yang tepat (sesuai dengan tingkat perkembangan
anak) dalam berelasi dengan anak sehingga anak merasa nyaman dan dapat
mengekspresikan apa yang dirasakan dan pengalaman-pengalamannya dengan
pemeriksa. Sebagai contoh, ada anak yang merasa nyaman untuk berkomunikasi
dengan pemeriksa jika hanya didampingi oleh boneka/mainan kesayangannya. Anak
lain mungkin mungkin perlu didampingi oleh orang tua atau orang terdekatnya untuk
mengurangi kecemasan pada waktu berhadapan dengan pemeriksa. Disamping itu
perlu diingat bahwa tidak semua anak mampu berkomunikasi verbal dengan lancar
pada waktu pemeriksaan, sebagian anak mungkin membutuhkan media gambar
atau bermain dalam usaha untuk membentuk relasi yang optimal dengan pemeriksa.

51

d. Mampu mendeteksi kata-kata kunci dan tema-tema ypikiran yang tidak disadari
anak.
e. Jika memungkinkan maka proses wawancara direkan baik secara audio atau video.
f. Frekuensi wawancara dilakukan seminimal mungkin (2-3 kali) untuk mencegah
timbulnya konfabulasi pada anak.
g. Hindari mengulang-ulang pertanyaan yang sama, atau memberi beberapa
pertanyaan sekaligus.
h. Hindari pertanyaan yang bersifat sugesti atau yang akan mengarahkan pasien pada
satu jawaban tertentu.
i. Ulangi pertanyaan dengan format pertanyaan yang berbeda untuk menilai
konsistensi anak dalam memberi jawaban.
j. Ulangi pernyataan anak dalam usaha untuk meyakinkan anak bahwa pemeriksa
mengerti apa yang dikemukakannya.
k. Jika memungkinkan lakukan wawancara pada anak tanpa didampingi oleh orang
tuanya. Pada anak yang masih kecil dapat dipertimbangkan untuk didampingi oleh
anggota keluarga dekat lainnya (bukan orang tua).
Langkah-langkah dalam melakukan pemeriksaan psikiatrik pada anak
a. Bina rapport sedini mungkin, disamping itu lakukan juga observasi informal perilaku,
keterampilan sosial dan kemampuan kognitif anak.
b. Mintalah anak untuk menceritakan dua kejadian spesifik yang pernah dialaminya.
Hal ini dilakukan untuk menilai daya ingat anak. Disamping itu juga bertujuan untuk
menentukan tehnik dan model wawancara yang akan dilakukan selanjutnya.
Tanyakan pertanyaan yang bersifat terbuka dan tidak mensugesti sehingga pola
wawancara akan mengalir dengan sendirinya.
c. Buat kesepakatan dengan anak bahwa hanya pernyataan yang benar saja yang
akan didiskusikan, bukan fantasi atau pernyataan yang bersifat kebohongan.
Katakan kepada anak jika ia tidak mengetahui jawaban yang ditanyakan, tidak
menjadi masalah kalau ia menjawab tidak tahu. Jika ia lupa dengan suatu kejadian
juga merupakan hal yang lazim, sehingga anak akan memberikan jawaban yang
jujur.
d. Mulailah wawancara dengan topik yang umum baru kemudian menjurus ke arah
yang lebih spesifik sesuai dengan keperluan. Misalnya; apakah kamu tahu
alasannya kenapa hari ini kamu bertemu dengan saya? atau yang lebih spesifik;
apakah telah terjadi sesuatu dengan kehidupan kamu? atau apakah ada orang
yang melakukan perbuatan buruk kepadamu? Mungkin diperlukan bantuan
gambar atau bermain dalam usaha untuk membantu anak mengemukakan
masalahnya. Misalnya pemeriksa membuat gambar muka orang dan anak akan
melengkapinya dengan anggota tubuh orang tersebut. Hal ini sangat membantu
dalam wawancara kasus yang dicurigai kasus kekerasan seksual. Melalui kegiatan
ini pemeriksa dapat mengajukan pertanyaan;apakah anak pernah melihat bagian
tubuh orang seperti yang ada dalam gambar?, bagian tubuh apa yang pernah
dilihatnya?, apakah ada orang yang pernah menyentuh bagian tubuhnya itu
atau apakah ia pernah menyentuh bagian yang ditunjukkan itu?. Jika kasus
merupakan kasus kekerasan fisik, pemeriksa juga dapat bertanya apakah bagian
tubuh orang yang ada dalam gambar tersebut pernah disakiti dengan berbagai
cara?
e. Biarkan anak mulai bercerita. Jika topik spesifik kekerasan sudah dikemukakan,
dukung dan bantu anak untuk menceritakan kejadiannya lebih runut tanpa
meninggalkan detail. Anak dibiarkan dulu bercerita, jangan diinterupsi atau dikoreksi.
Jika peristiwa kekerasan yang dialami anak sudah berlangsung lama, tanyakan juga

52

mengenai pola kekerasan dan jumlah episode yang pernah dialami. Tanyakan juga
mengenai perasaan yang dirasakan saat itu dan saat ini. Pada kesempatan ini juga
dilakukan observasi status mentalis anak yang meliputi:
a. Penampilan dan perilaku anak saat wawancara
Penampilan dapat menggambarkan fungsi ego, seperti identifikasi bentuk
tubuh anak sehingga mampu memberikan gambaran secara keseluruhan
dari sang anak. Kepatuhan dan ketidakpatuhan anak juga digambarkan serta
kondisi gizi anak. Keadaan fisik/gizi, jerawat pada wajah, keadaan cacat fisik,
kecemasan/murung, dan gangguan perkembangan lain juga sebaiknya
digambarkan, seperti keterlambatan bahasa dan tumbuh kembang lainnya.
Kerapian dan batas kewajaran berpakaian juga dijelaskan pada kesempatan
ini.
b. Proses Pikir dan Verbalisasi
Pembicaraan spontan dan verbalisasi selama bermain merupakan bagian
dari proses berpikir spontan. Tema yang berulang-ulang dalam permainan
berkaitan dengan permasalahan uang sedang dihadapinya dan juga
merupakan mekanisme penghindaran dari masalah yang dihadapinya.
Pemeriksa mengupayakan supaya dapat memasuki kepada topik
pembicaraan yang bersifat spontan yang dapat menimbulkan minat pada
anak. Pemeriksa membiarkan anak bercerita sesuai dengan kata-katanya,
lingkungan sosial budayanya, minat dan segala kemampuan dalam
mengorganisir pikirannya.
c. Orientasi dan Persepsi
Orientasi lebih mencerminkan pemahaman anak terhadap realitas.
Pemeriksa dapat membandingkan kemampuan intelektualitas anak dengan
anak lain yang mempunyai usia yang sebanding dengan anak yang
bersangkutan. Orientasi ini termasuk orientasi waktu, tempat, dan orang.
Orientasi dapat diperiksa dengan menanyakan tentang waktu, alamat
rumahnya, hari ulang tahun, cuaca, dan lain-lain.
Persepsi lebih menunjukkan kesan indera yang ditangkap oleh si anak.
Dalam menilai persepsi, pemeriksa perlu mengetahui perbedaan yang jelas
mengenai kemampuan anak untuk membedakan antara fantasi dan realitas.
Pada anak berusia 3-4 tahun, kemampuan ini masih samar. Kemampuan ini
akan bertambah dan anak sudah mampu membedakan kedua hal tersebut
pada usia 6-7 tahun. Gangguan persepsi dapat terjadi pada seluruh indera,
misalnya pendengaran, penglihatan, pengecapan, dan lain-lain.
d. Mood dan afek
Mood dan afek menunjukkan perasaan si anak. Hal yang perlu diperhatikan
adalah fluktuasi dan perubahan mood dan afek selama wawancara terutama
pada perubahan satu topik ke topik lainnya. Afek didefinisikan sebagai
kondisi emosi seseorang yang bersifat singkat dan umumnya distimulasi oleh
suatu keadaan atau situasi tertentu. Mood digambarkan sebagai suasana
perasaan yang menetap dan berkepanjangan yang mewarnai seluruh
kehidupan anak.
e. Fungsi kognitif dan Integritas Neuromuskuler
Lihat teori tumbuh kembang

53

f.

Fantasi dan persepsi anak tentang diri dan lingkungannya


Fantasi adalah bagian dari proses pikir yang merefleksikan fungsi ego.
Sering fantasi digunakan sebagai mekanisme coping, menggambarkan
kemampuan persepsi dan intelektual. Fantasi dalam bermain atau bercerita
biasanya menggambarkan area problematik intrapsikik dan pengalaman
interpersonal anak. Kualitas materi fantasi dapat menjadi berkurang oleh
kondisi cemas atau kondisi gangguan jiwa berat lainnya. Fantasi dapat
diungkapkan melalui permainan bebas, menggambar, mimpi atau bercerita
dan juga harapan-harapan anak. Bagi pemeriksa hal yang penting diketahui
adalah membedakan antara fantasi dengan realitas atau gangguan proses
pikir lainnya seperti waham.

f.

Dalam tahap ini juga dapat digunakan mainan-mainan yang disukai anak untuk
membantu proses pemeriksaan. Misalnya pada kasus kekerasan fisik, boneka
mungkin berguna dalam usaha mengkonkritkan kejadian yang di alami anak. Mainan
ini bukan digunakan sebagai pemeriksaan penunjang diagnostik, melainkan hanya
bertujuan untuk mengklarifikasikan apa yang sebenarnya terjadi pada anak.
g. Akhiri pemeriksaan ini dengan mengajukan pertanyaan yang bersifat umum kembali,
serta beri kesempatan kepada anak untuk mengajukan pertanyaan. Pemeriksa
jangan memberikan janji-janji tertentu kepada anak, dukung kemampuan anak yang
masih ada.

Indikator kemungkinan terjadinya emotional abuse pada anak


Gejala-gejala fisik dari emotional abuse seringkali tidak sejelas gejala-gejala kekerasan lainnya.
Penampilan anak seringkali tidak memperlihatkan derajat penderitaan yang dialaminya. Cara
berpakaian, keadaan gizi dan kondisi fisik pada umumnya cukup memadai, namun ekspresi
wajah, gerak gerik bahasa tubuhnya seringkali dapat mengungkapkan adanya kesedihan,
keraguan diri, kebingungan, kecemasan, ketakutan atau amarah yang terpendam.

Indikator kemungkinan terjadinya neglect pada anak


Gagal tumbuh fisik maupun mental
Malnutrisi, tanpa dasar organik yang sesuai
Dehidrasi
Luka atau penyakit yang dibiarkan tidak diobati
Kulit kotor tidak terawat, rambut dengan kutu-kutu
Pakaian lusuh dan kotor
Keterlambatan perkembangan
Keadaan umum yang lemah, letargik, lelah berkepanjangan
(sumber Bays, 1993; Oates 1984; and Wheeler and Hobbs, 1988)

54

Tips wawancara pada anak;


1. Tanyakan pertanyaan terbuka dan konkrit yang saling berkaitan, misalnya
Apa yang kamu rasakan?
Apa yang kamu lihat?
Apa yang kamu cium?
2. Dalam melakukan wawancara usahakan untuk membantu pasien agar ia mampu mengingat
suatu kejadian tertentu, misalnya
Ketika kamu ada di dalam rumah Bapak A, apa yang pertama kali terjadi?
3. Gunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak, jangan gunakan bahasa yang jarang
digunakan atau tidak populer
4. Gunakan nama panggilan dari pada nama resminya
5. Usahakan menggunakan kata-kata konkrit dalam mengajukan pertanyaan, misalnya hari sabtu
yang lalu, apa yang terjadi di dalam kamar Andi? Daripada, kemarin apa yang terjadi di dalam
kamar kamu?
6. Jika perlu dapat digunakan pertanyaan tertutup, misalnya
Apakah kamu merasa lelah?
Apakah kamu memerlukan istirahat?
Apakah kamu merasa telah dipukul oleh pak A?
Apakah kamu merasa telah di peluk oleh pak A?
dll

55

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiologis
Gambaran radiologis tertentu dapat merupakan indikator kuat adanya perlakuan yang
salah pada anak secara fisik; a.l fraktur metafisis corner atau fraktur bucklet handle pada
tulang panjang bayi yang belum bisa jalan, fraktur multipel iga atau tulang panjang bayi,
fraktur spiral tulang panjang pada bayi yang belum bisa jalan, fraktur multipel iga atau
tulang panjang dengan berbagai derajat penyembuhan. Temuan ini mengharuskan
dokter untuk mencari penjelasan penyebab trauma tersebut. Survei tulang secara
radiologis perlu dilakukan pada anak yang diduga diperlakukan salah tetap belum dapat
berbicara. Perdarahan subdural yang didapat melalui CT atau MRI berhubugan erat
dengan perlakuan salah pada anak. USG berguna untuk mendiagnosis trauma
abdomen pada anak, tetapi tidak berguna untuk mendiagnosis perdarahan subdural.
Laboratoris
Pemeriksaan koagulasi berguna untuk anak yang mengalami banyak memar pada
berbagai tingkat umur yang berbeda. Berbagai kelainan koagulasi dapat mengacaukan
diagnosis, tetapi perlakuan salah pada anak dan koagulopati merupakan satuan klinis
yang berlainan.
Anak dengan sepsis polimikroba, apnea rekuren, dehidrasi kronis tanpa penyebab yang
diketahui, atau kelainan laboratoris lain yang berat harus dicurigai sebagai sindrom
Munchausen by proxy.

INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN MEDIKOLEGAL


Hasil pemeriksaan medikolegal terhadap korban adalah dokumentasi seluruh hasil
temuan pemeriksaan medis pada korban yang kemudian dituangkan di dalam sebuah
keterangan yang di Indonesia disebut sebagai visum et repertum. Keterangan tersebut
memberikan bukti bahwa benar telah terjadi kekerasan dan seberapa parah akibat
kekerasan tersebut, atau pada kasus kekerasan seksual dapat pula menjelaskan
apakah telah terjadi persetubuhan ataukah penetrasi. Bahkan dengan menggunakan
teknik mutakhir (pemeriksaan DNA), pemeriksaan medikolegal secara praktis dapat
menunjuk siapa pelaku kekerasan seksual tersebut.
Seberapa jauh visum et repertum membantu proses peradilan sangat bergantung
kepada seberapa lengkap dan spesifiknya temuan medikolegalnya sehingga dapat
diinterpretasikan sebagai bukti yang determinatif.
Bukti medis bukanlah satu-satunya komponen dalam pembuktian adanya CAN dalam
perkara pidana. Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP), kesaksian, dan
pemeriksaan barang bukti lain memiliki nilai yang sama sebagai alat bukti yang sah.
Selain itu, wawancara forensik, penilaian sikap perilaku korban pasca kekerasan,
pemeriksaan laboratorium forensik seringkali sangat mendukung pembuktian.
Pemeriksaan Fisik
Perlukaan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi, mulai dari memar,
lecet, luka bakar, dan luka terbuka, hingga ke cedera yang lebih dalam letaknya seperti
patah tulang ataupun cedera alat-alat dalam tubuh.

56

Memar umumnya diakibatkan oleh kekerasan tumpul yang memiliki permukaan yang
relatif rata atau lunak, seperti tangan kosong atau tendangan. Memar seringkali dapat
menunjukkan bentuk atau pola permukaan kontak benda penyebabnya. Memar yang
berbentuk garis sejajar (tramline atau railway haematome) menunjukkan cedera yang
diakibatkan oleh pukulan tongkat atau benda sejenis. Bila bentuknya dua garis sejajar
melengkung mungkin disebabkan oleh benda berupa tali yang cukup kuat seperti kabel.
Memar kadangkala tidak terjadi di lokasi trauma, misalnya apabila terjadi di daerah dahi
yang memarnya dapat terlihat di kelopak mata atau di daerah tungkai bawah daerah
tulang kering yang memarnya dapat terlihat di pergelangan kaki. Perkiraan kapan
terjadinya memar kadang membantu menegakkan kesimpulan ada atau tidaknya
kekerasan berulang. Dengan berjalannya waktu, memar akan berubah warna dari
merah ungu menjadi kehijauan, coklat kekuningan dan akhirnya hilang. Satuan waktu
yang dibutuhkan untuk masing-masing perubahan warna tersebut sangat bergantung
kepada intensitas memar itu sendiri. Pada umumnya apabila memar telah dikelilingi
warna kuning menunjukkan bahwa memar telah berumur setidaknya 18 jam.
Luka lecet tekan hanya terlihat dengan baik pada korban yang telah meninggal oleh
karena terjadi pengeringan epidermis, sedangkan pada korban hidup tidak terlihat
dengan jelas oleh karena pengeringan dicegah dengan adanya perfusi jaringan. Luka
lecet tekan biasanya diakibatkan oleh benda tumpul yang permukaannya relatif rata dan
relatif lunak dengan gaya yang relatif ringan. Bentuk luka lecet tekan juga dapat
memperlihatkan bentuk permukaan kontak benda penyebabnya. Luka lecet geser
diakibatkan oleh geseran benda tumpul dengan permukaan yang relatif tidak rata.
Luka terbuka (vulnus apertura) harus dapat dibedakan antara luka terbuka akibat
kekerasan tajam (vulnus scissum) dengan luka terbuka akibat kekerasan tumpul (vulnus
laceratum). Vulnus scissum memperlihatkan ciri-ciri luka dengan bentuk seperti garis
lurus atau lengkung, tepi luka atau dinding luka yang rata, dan pada sekitar lukanya
tidak ditemukan lecet atau memar. Apabila terjadi di daerah berambut maka besar
kemungkinan terlihat adanya folikel rambut yang terpotong rata. Vulnus Laceratum
menunjukkan ciri-ciri luka sebaliknya, dan seringkali masih terlihat adanya jembatan
jaringan (ikat) yang menghubungkan kedua tepi / dinding luka.
Beberapa luka menunjukkan ciri khas akibat kekerasan yang bukan akibat kecelakaan.
Luka-luka seperti tramline hematome di atas, luka dengan bentuk dan pola tertentu yang
khas, luka bakar akibat sundutan rokok, dan memar berbentuk telapak tangan, adalah
sebagian contohnya. Luka-luka juga terkadang memperlihatkan luka yang tidak sama
usianya, misalnya terdapat memar yang merah ungu dan memar lainnya berwarna hijau
kekuningan. Keadaan ini menunjukkan adanya kekerasan yang berulang yang sangat
mungkin bukan akibat kecelakaan. Hal sama juga bisa ditemukan dalam bentuk luka
lecet, luka terbuka dan bahkan patah tulang, yang terlihat dari perbedaan masa
penyembuhannya.
Hal penting lainnya adalah bahwa bukti adanya kekerasan tersebut harus relevan
dengan keterangan yang diberikan oleh saksi korban. Suatu luka memar atau lecet kecil
di daerah pipi, leher, pergelangan tangan atau paha mungkin tidak khas dan tidak
bermakna dari segi kedokteran, namun bermakna bagi hukum apabila relevan dengan
riwayat terjadinya peristiwa, seperti ditampar, dicekik, dipegangi dengan keras atau
dipaksa diregangkan pahanya (pada kasus kejahatan seksual). Adanya sindroma
mental tertentu dapat mendukung relevansi temuan bukti fisik tersebut dari sisi
psikologis.

57

Pemeriksaan status tumbuh kembang dan status gizi anak sangat relevan dalam upaya
menegakkan ada atau tidaknya penelantaran. Beberapa pengukuran dan parameter
dapat digunakan sebagai alat ukurnya.
Pemeriksaan fisik pada korban kekerasan seksual
Dalam hal kekerasan seksual yang diduga terjadi, maka pemeriksaan anogenital yang
teliti dan pemeriksaan laboratorik harus dilakukan sesuai dengan prosedur baku
pemeriksaan. Ditemukannya memar, lecet dan atau laserasi di sekitar kemaluan, seperti
di daerah vulva, vagina dan selaput dara, dapat membawa kita kepada kesimpulan
bahwa cedera tersebut adalah sebagai tanda kekerasan. Perlu diingat bahwa daerah
yang paling sering mengalami cedera adalah daerah posterior fourchette, selaput dara,
fosa naviculare dan labium minus. Cedera yang sering terlihat adalah memar, lecet,
laserasi dangkal, dan robekan selaput dara.
Dalam hal tanda kekerasan tersebut terletak di daerah yang lebih dalam seperti di
selaput dara atau vagina, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kemungkinan besar
atau hampir pasti telah terjadi penetrasi (dengan pengertian bahwa penetrasi tersebut
tidak harus berupa penetrasi lengkap, dan tidak harus oleh penis).
Memang harus diakui bahwa masih ada kelemahan dari kesimpulan ini, yaitu kita tidak
dapat memastikan kapan terjadinya kekerasan tersebut apalagi bila cedera tersebut
adalah cedera lama. Robekan selaput dara yang telah berusia lebih dari lima hari
umumnya memiliki ciri yang sama dengan robekan lama lainnya.
Sebaliknya, tidak ditemukannya tanda kekerasan di atas tidak dapat langsung diartikan
bahwa tidak pernah ada kekerasan. Hal ini disebabkan oleh sifat dari kekerasan
tersebut, jarak waktu antara saat kekerasan dengan saat pemeriksaan, dan tindakan
terapi yang pernah diberikan. Demikian pula tidak ditemukannya tanda penetrasi tidak
berarti bahwa tidak pernah terjadi penetrasi atau persetubuhan. Hal ini sebagai akibat
dari penetrasi yang hanya sebagian, penetrasi oleh benda yang ukurannya terlalu
kecil, atau selaput dara elastis sehingga tidak robek meskipun telah terjadi penetrasi.
Ditemukannya sel sperma di dalam sediaan yang diambil dari vagina membawa kita
kepada kesimpulan pasti bahwa korban telah bersetubuh atau disetubuhi. Demikian pula
bila ditemukan hasil positip pada uji fosfatase asam (berubah warna dalam waktu
kurang dari 30 detik), uji kristal (Berberio dan Florence) dan uji PAN (kadar Zn),
menunjukkan adanya cairan mani. Namun demikian identitas si pelaku belum dapat
ditentukan sebelum dilakukan pemeriksaan DNA dari sel sperma dan pemeriksaan DNA
dari si tersangka pelaku, serta pembandingan keduanya.
Sebaliknya, tidak ditemukannya sel sperma atau cairan mani tidak berarti bahwa tidak
pernah terjadi persetubuhan. Hal ini sebagai akibat dari jarak waktu antara saat
persetubuhan dengan saat pemeriksaan, atau persetubuhan tanpa ejakulasi,
persetubuhan dengan kondom, dan pencucian pasca persetubuhan. Bahkan literatur
mengatakan bahwa sel sperma hanya ditemukan pada 50% dari seluruh pemeriksaan
medis yang dilakukan segera setelah terjadi perkosaan. Penelitian awal menunjukkan
bahwa pemeriksaan adanya DNA laki-laki di dalam vagina ternyata lebih sensitif dan
lebih akurat dalam memastikan adanya persetubuhan.
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap sediaan apus dari vagina ditujukan untuk
menemukan ada atau tidaknya salah satu penyakit akibat hubungan seksual, yaitu
misalnya Gonorrhoe. Penyakit GO ini adalah penyakit yang paling sering tertularkan dari
suatu hubungan seksual (1:30). Apabila ditemukan adanya penyakit ini maka dokter
dapat menyimpulkan bahwa kemungkinan besar memang telah terjadi persetubuhan,
dan dokter akan memberikan pengobatan. Adanya kuman GO ekstrasel saja

58

menunjukkan bahwa pasien relatif baru terinfeksi, sedangkan adanya kuman GO


intrasel menunjukkan waktu infeksi yang lebih lama. Sebaiknya diagnostik GO
ditegakkan melalui pemeriksaan kultur.
Penyakit akibat hubungan seksual lainnya tidak rutin diperiksa oleh karena frekuensi
terjadinya di dalam masyarakat yang sangat rendah, sehingga hanya akan dilakukan
apabila terdapat indikasi ke arah hal tersebut.
Atas permintaan resmi dari penyidik, dokter dapat membuat visum et repertum
berdasarkan hasil pemeriksaan medis tersebut di atas. Permintaan penyidik tersebut
dapat diajukan sebelum dilakukannya pemeriksaan maupun sesudahnya, asalkan tidak
terlalu lama jarak waktunya. Visum et repertum harus dibuat dalam bentuk surat resmi,
menggunakan kertas berkepala surat, bernomor dan bertanggal, diakhiri dengan
tandatangan, nama jelas dan NIP/NRP pembuatnya, serta stempel dinas. Visum et
repertum harus diserahkan hanya kepada institusi penyidik pemintanya. Visum et
repertum ditulis dengan format yang baku sebagaimana pada lampiran.
Visum et repertum harus dibuat oleh dokter. Undang-undang tidak menunjuk kepada
dokter dengan spesialisasi tertentu yang harus membuat visum et repertum tertentu.
Setiap dokter berwenang membuat visum et repertum dengan memperhatikan
ketentuan bahwa dokter yang akan membuat visum et repertum harus memahami
prosedur medikolegal dan terlatih secara teknis melakukan pemeriksaan yang
diperlukan serta mampu menginterpretasikannya dengan tepat.
Atas permintaan tertulis dari pasien dan/atau keluarganya dokter dapat menerbitkan
Surat Keterangan Medis yang menerangkan tentang ringkasan keadaan pasien saat itu,
yang dapat bermanfaat untuk kepentingan perujukan ke dokter lain atau ke seseorang
ahli non medis yang diperlukan.

59

SISTEM KLASIFIKASI ADAMS


Untuk menilai Informasi anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratoris
Pada Dugaan Child Sexual Abuse
(Joyce Adams (2001): Evolution of a classification scale: Medical Evaluation of
Suspected Child Abuse)

Bagian I: Temuan pada pemeriksaan Anogenital


Normal

Temuan yang terlihat pada neonatus


Garis (bands) peri-uretral atau vestibuler
Tonjolan (ridges atau columns) longitudinal intravagina
Jumbai (tags) pada selaput dara
Penebalan (bump atau mound) pada selaput dara
Linea vestibularis
Belahan (cleft atau notch) di anterior setengah dari lebar
selaput dara, pada atau lebih atas dari garis jam 3 9,
diamati pada pasien telentang
Tonjolan (ridges) pada bagian luar selaput dara

Varian Normal

Selaput dara berseptum


Kegagalan fusi di garis tengah
Lekuk (groove) di fossa pada pubertal
Diastasis ani
Jumbai kulit (skin tag) perianal
Peningkatan pigmentasi kulit perianal

Kondisi lain

Hemangioma labia, selaput dara atau daerah sekitarnya


(dapat memberikan gambaran seperti hematom atau
perdarahan submukosa)
Lichen sclerosus et atrophicus (dapat mudah ruptur dan
perdarahan)
Bechets disease (mengakibatkan ulkus oral dan genital,
dapat disalahartikan sebagai lesi Herpes Simpleks)
Cellulitis streptokokus pada jaringan perianal (terlihat
kemerahan, jaringan yang meradang)
Molluscum contagiosum (lesi kutil)
Verruca vulgaris (kutil biasa)
Vaginitis akibat streptokokus atau organisme usus
Prolaps urethral (mengakibatkan perdarahan, tampak
seperti akibat trauma)
Benda asing di vagina (dapat akibatkan perdarahan atau
duh / discharge)

60

Temuan tidak spesifik

Temuan yang mungkin sebagai akibat dari sexual abuse,


tergantung kepada jarak saat pemeriksaan dan saat
abuse, tetapi mungkin juga akibat sebab lain atau
merupakan varian yang normal
Eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar
anus (dapat akibat zat iritan, infeksi atau trauma)
Pelebaran pembuluh darah vestibulum (akibat iritans)
Adesi labia (mungkin akibat iritasi atau rabaan)
Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi,
infeksi, atau karena traksi labia mayor pada pemeriksaan)
Penebalan selaput dara (mungkin akibat estrogen,
terlipatnya tepi selaput, bengkak karena infeksi atau
trauma)
Kutil genital semu (mungkin jumbai kulit, atau kutil bukan
genital, mungkin condyloma acuminata yang didapat
bukan dari seksual)
Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal)
Pendataran lipatan anus (akibat relaksasi sphincter
eksternal)
Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal)
Kongesti vena atau pooling vena (biasanya akibat posisi
anak, juga ditemukan pada konstipasi)
Perdarahan per-vaginam (mungkin berasal dari sumber
lain, seperti uretra, atau mungkin akibat infeksi vagina,
benda asing atau trauma yang aksidental)

61

Dugaan abuse
(Suggestive of abuse)

Temuan pada anak yang telah memiliki riwayat abuse,


dan mungkin ada abuse, tetapi tidak cukup data yang
menunjukkan bahwa abuse adalah satu-satunya
penyebab. Riwayat sangat krusial dalam menentukan
makna keseluruhannya
Pelebaran anus yang nyata (marked, immediate), tanpa
terlihat/teraba adanya tinja di daerah rektum bagian
bawah, pada pemeriksaan dengan posisi knee-chest,
tanpa riwayat adanya encopresis, konstipasi kronik,
gangguan nerologis, atau sedasi)
Belahan (notch atau cleft) selaput dara di daerah
posterior, mencapai dekat dasar (sering merupakan
artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi bila
konsisten pada beberapa posisi, maka mungkin akibat
kekerasan tumpul atau penetrasi sebelumnya)
Lecet akut, laserasi atau memar labia, jaringan sekitar
selaput dara, atau perineum (mungkin akibat trauma
aksidental, keadaan dermatologis seperti lichen sclerosus
atau hemangioma)
Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau paha bagian
dalam
Jaringan parut atau laserasi baru daerah posterior
fourchette tanpa mengenai selaput dara (dapat akibat
trauma aksidental)
Jaringan parut perianal (jarang, mungkin akibat keadaan
medis lain seperti Crohns disease, atau akibat tindakan
medis sebelumnya)

Bukti nyata kekerasan Temuan yang tidak dapat dijelaskan bukan karena trauma
tumpul
atau
trauma yang mengenai selaput dara atau daerah perianal
penetrasi
Robekan baru selaput dara
Ekimosis (hematom) pada selaput dara
Laserasi perianal yang dalam meliputi juga sphincter ani
eksternal
Robekan lama selaput dara hingga ke dasar (transeksi),
sehingga tidak ada lagi jaringan selaput dara antara
dinding vagina dengan fossa atau dinding vestibulum
Hilangnya jaringan selaput dara yang luas di daerah
posterior, hingga ke dasar, yang dikonfirmasi pada posisi
knee-chest

62

Bagian II: Penilaian keseluruhan kemungkinan ada tidaknya abuse


Tak ada indikasi abuse

Hasil pemeriksaan normal, tidak ada riwayat, tidak ada


perubahan perilaku, tidak ada saksi
Temuan tidak spesifik dengan penjelasan yang cukup,
tanpa ada riwayat abuse atau perubahan perilaku
Anak dipertimbangkan sebagai berrisiko sexual abuse,
tetapi tak ada riwayat dan hanya ditemukan perubahan
perilaku yang tidak spesifik
Temuan cedera fisik yang sesuai dengan riwayat trauma
aksidental yang jelas dan dapat dipercaya

Mungkin abuse
Possible abuse

Temuan normal, varian normal atau tidak spesifik,


dikombinasi dengan perubahan perilaku yang bermakna,
terutama perilaku yang terseksualisasi, tetapi si anak tak
bisa memberi riwayat abuse
Lesi anogenital Herpes tipe I, tanpa adanya riwayat abuse
dan temuan pemeriksaan lainnya normal
Condyloma accuminata, dengan temuan lainnya normal,
tak ada penyakit hubungan seksual lain, tak ada riwayat
abuse dari anak, (bila ditemukan pada anak berusia 3
tahun atau lebih, cenderung akibat aktivitas seksual,
sehingga perlu penelitian lebih lanjut)
Anak memberi informasi, tetapi tidak cukup detil bila
dibandingkan dengan usia perkembangan anak, atau tidak
konsisten, atau yang diperoleh dengan menggunakan
pertanyaan yang mengarah pada temuan fisik tanpa
penjelasan adanya abuse

Sangat mungkin abuse


Probable abuse

Anak memberikan uraian yang detil, spontan, jelas dan


konsisten tentang (molested) abuse, dengan atau tanpa
temuan abnormal atau positif
Kultur Chlamydia (bukan rapid antigen test) dari daerah
genital pada anak prepuber, atau dari cervix anak
perempuan remaja (adolesen) , dengan mengasumsikan
bahwa transmisi perinatal telah disingkirkan
Kultur Herpes Simpleks tipe II dari lesi genital atau anal
positip
Infeksi Trichomonas, didiagnosis dengan sediaan basah
atau kultur dari swab vagina, apabila transmisi perinatal
telah dapat disingkirkan

63

Bukti definitif adanya


abuse / kontak seksual

Bukti fisik yang jelas adanya kekerasan tumpul atau


trauma penetrasi, tanpa adanya riwayat kecelakaan
Ditemukannya sperma atau semen dalam vagina atau
pada tubuh anak
Kehamilan
Positif adanya N.gonorrhea, dikonfirmasi dengan kultur,
dari sediaan vagina, urethra, anal atau faring
Bukti adanya sifilis yang didapat pasca kelahiran (bukan
perinatal)
Kasus dengan bukti fotografik atau video sedang di-abuse
Infeksi HIV, dengan tidak adanya kemungkinan akibat
transmisi perinatal atau transmisi melalui produk darah
atau jarum yang terkontaminasi

64

REKAM MEDIS
Rekam medis memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis sebagaimana disebut di
dalam Permenkes RI No 749a/MENKES/PER/XII/1989, yaitu sebagai dasar
pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien, sebagai bahan pembuktian dalam
perkara hukum, sebagai bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan, sebagai
dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan, dan sebagai bahan untuk menyiapkan
statistik kesehatan.
Untuk mencapai peran dan fungsi di atas, rekam medis harus dibuat sedemikian rupa,
mengikuti suatu prosedur baku yang telah diakui, serta disimpan dan hanya
dipergunakan sesuai dengan prosedur baku tersebut.
Permenkes No 749a/MENKES/PER/XII/1989 tentang rekam medis telah menguraikan
berbagai ketentuan yang harus dilaksanakan berkaitan dengan pembuatan,
penyimpanan dan pemanfaatan rekam medis.
Permenkes No. 749x\a/MENKES/PER/XII/1989 dalam ketentuan umum pasal 1
menyebutkan bahwa rekam medis merupakan berkas berisi catatan dan dokumen
penting tentang :
1. Identitas pasien
2. Pemeriksaan
3. pengobatan
4. Tindakan lain
5. Pelayanan lain
Setiap isian harus jelas, terbaca, dan tidak menimbulkan keragu-raguan, akurat, adekuat
dan appropriate.
Akurat berarti berisikan catatan yang memang tepat untuk digunakan sebagai dasar
pengobatan. Pengisian harus ditulis dengan tinta (pena, termasuk ballpoint) atau diketik.
Bila terdapat kesalahan penulisan maka cukup dicoret, dikoreksi, diparaf dan diberi
tanggal koreksi. Pengisian harus sesegera mungkin dan dibuat berurutan sesuai waktu
kejadiannya / kronologis.
Adekuat berarti berisikan seluruh informasi yang diperlukan, baik untuk diagnostik
maupun untuk pengobatan / tindakan, dan harus cukup rinci untuk dapat dimengerti.
Appropriate berarti hanya berisikan informasi yang layak dimuat di dalam rekam medis,
tidak diisikan dengan komentar yang non medis, misalnya pasien ini cerewet dan
resek, hati-hati .
Dalam kaitannya dengan penatalaksanaan kasus CAN, maka perlu diupayakan
jalan keluar agar kemultidisiplinan tidak dianggap sebagai pelanggaran wajib simpan
rahasia kedokteran. Profesional kesehatan harus memahami bahwa penanganan kasus
CAN bukanlah hanya dari aspek medis saja melainkan dari berbagai aspek, dan bahwa
aspek-aspek tersebut saling berkaitan, sehingga transfer informasi di antara para
profesional dari berbagai disiplin tersebut diperlukan.
Rekam medis sama sekali tidak boleh dipalsukan. Rekam medis yang sengaja
dipalsukan merupakan perbuatan kriminal dan dapat dihukum pidana.
Kerahasiaan informasi Medis
Para profesional yang bekerja di bidang kedokteran umumnya telah memahami
benar tentang adanya kewajiban untuk menyimpan sebagai rahasia segala sesuatu
yang diketahuinya selama ia bekerja di bidang kedokteran. Pengetahuan ini kita biasa
sebut sebagai rahasia kedokteran. Pelanggaran atas kewajiban menyimpan rahasia
kedokteran ini akan menghadapi sanksi administratif dan atau sanksi pidana. Selain itu,
pihak yang merasa dirugikan oleh pembukaan rahasia ini juga dapat mengajukan
gugatan perdata berupa tuntutan ganti rugi.

65

Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966 yang mengatur tentang wajib simpan


rahasia kedokteran ini mewajibkan seluruh tenaga kesehatan untuk menyimpan segala
sesuatu yang diketahuinya selama melakukan pekerjaan di bidang kedokteran sebagai
rahasia. Namun PP tersebut memberikan pengecualian sebagaimana terdapat dalam
pasal 2, yaitu apabila terdapat peraturan perundang-undangan yang sederajat (PP) atau
yang lebih tinggi (UU) yang mengaturnya lain. Ketentuan ini juga ditunjang oleh pasal 50
KUHP yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan dipidana oleh karena melakukan
suatu perbuatan untuk menjalankan undang-undang. Hal ini mengakibatkan bebasnya
para dokter dan tenaga administrasi kesehatan dalam membuat visum et repertum
(kewajiban dalam KUHAP), dan dalam menyampaikan pelaporan tentang statistik
kesehatan, penyakit wabah dan karantina, termasuk pelaporan kasus CAN.
Permenkes menyebutkan bahwa rekam medis harus disimpan setidaknya hingga
5 tahun sejak kunjungan terakhir pasien. Setelah itu rekam medis dapat dimusnahkan
dengan mengikuti suatu ketentuan tertentu, yaitu yang diatur dalam Pedoman yang
diterbitkan oleh Departemen Kesehatan. Penyimpanan juga dapat dilakukan dengan
mikrofilm atau media penyimpanan lain, yang hingga saat ini belum diuraikan mediamedia apa saja yang diperbolehkan.
Pemusnahan harus mengikuti prosedur yang benar, melalui suatu skrining terlebih
dahulu, memperoleh persetujuan dari dokter yang merawatnya, tercatat dalam beritaacara pemusnahan, dll.
Rekam medis berisikan berbagai informasi milik pasien, baik yang berasal dari pasien
maupun hasil analisis para tenaga kesehatan. Informasi tersebut tidak hanya berupa
informasi medis, melainkan juga informasi tentang tumbuh-kembang anak, aspek
psikososial dan asuhan keperawatan. Pengisian rekam medis harus dilakukan oleh
tenaga medis / kesehatan dan dilakukan sesegera mungkin.

66

BAB V
PENATALAKSANAAN
Anak korban kekerasan pada umumnya dibawa ke fasilitas pelayanan medis karena
cedera fisik akibat berbagai perlakuan kekerasan yang dialaminya. Kebanyakan korban
datang diantar oleh orang tuanya (seringkali adalah pelaku kekerasan) dengan riwayat
kejadian cedera akibat kecelakaan yang umum terjadi pada anak-anak seperti: jatuh dari
tangga, tersiram air panas, tertabrak sepeda, dan sebagainya. Kekurangpahaman
dokter dan tenaga kesehatan lainnya terhadap permasalahan Child Abuse
menyebabkan penatalaksanaan kasus Child Abuse disamakan dengan pertolongan
terhadap cedera kecelakaan biasa. Oleh sebab itu keterampilan deteksi dini kasus Child
Abuse merupakan langkah awal dari penatalaksanaan yang benar.
Ruang lingkup penatalaksanaan anak korban kekerasan meliputi banyak aspek, yaitu:
aspek medik, aspek psikososial, dan aspek legal. Dengan demikian penatalaksanaan
anak korban kekerasan haruslah merupakan kerjasama multidisiplin. Pertolongan medis
merupakan salah satu bagian dari alur penatalaksanaan paripurna terhadap anak
korban kekerasan. Dokter dan tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan
primer (PHC Worker) adalah bagian dari jejaring terdepan penangkap kasus,
seyogyanya mereka mempunyai pemahaman yang cukup akan alur penatalaksanaan
anak korban kekerasan, meliputi: Deteksi dini, pertolongan darurat medik, rujukan medik
spesialistik, intervensi keluarga, rujukan psikososial, dan akses terhadap jejaring
perlindungan anak.

PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medik khususnya pada kasus kekerasan fisik dan kekerasan seksual,
merupakan prioritas pertama penyelamatan anak korban kekerasan. Dokter dan tenaga
kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan primer selain mampu mendeteksi kasus
atau suspek kasus anak korban kekerasan, seyogyanya mampu menetapkan status
klinis korban (gawat darurat medik, darurat medik, medik spesialistik), mengambil
keputusan kritis, melakukan tindakan medis praktis sesuai fasilitas dan kompetensi
medik yang dimilikinya, menyusun rencana tindak lanjut termasuk pemeriksaan
penunjang dan rujukan kasus.
Kasus gawat darurat medik pada anak korban kekerasan fisik yang perlu diwaspadai
antara lain: trauma kepala berat yang dapat menimbulkan perdarahan epidural atau
epidural, kontusio serebri, delirium sampai koma dan kematian. Fraktur komplikata pada
anggota gerak atau tulang rusuk, luka bakar luas akibat siraman air panas, atau
perdarahan masif tersembunyi misalnya perdarahan intra abdominal akibat trauma
tumpul di abdomen. Tenaga kesehatan harus segera memberikan pertolongan life
saving dengan mengacu pada prinsip A-B-C pertolongan gawat darurat medik,
melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan sesuai fasilitas yang ada (darah
lengkap, elektrolit, asam-basa, kimia darah, X Ray, bila mungkin CT Scan). Setelah
kondisi gawat darurat teratasi, korban dirujuk sesuai prioritas masalah medis (spesialis
anak, ortopedi, bedah saraf). Untuk semua tindakan medis di atas informed consent
dimintakan pada orang tua atau wali korban atau lembaga perwalian yang sah. Proses
ini seringkali tidak sederhana khususnya bila pelaku kekerasan adalah orang tua

67

korban, namun tindakan penyelamatan kondisi darurat medik tetap menjadi prioritas
utama.
Pada kasus anak korban kekerasan seksual, prinsip penatalaksanaan sama dengan
kasus korban kekerasan fisik, yakni deteksi kondisi gawat darurat medik, dilanjutkan
dengan pertolongan life saving, dan persiapan rujukan spesialistik. Pada korban
kekerasan seksual cedera fisik terutama di daerah anogenital. Kasus gawat darurat
medik dapat timbul sebagai akibat cedera berat pada organ reproduksi, perdarahan
masif, dan emboli. Selain itu perlu diwaspadai kemungkinan infeksi oleh penyakit
menular seksual, infeksi oleh benda-benda tertentu yang dimasukkan ke organ genital
ataupun anus korban. Perlu juga diwaspadai kemungkinan terjadinya kehamilan akibat
perkosaan yang dialaminya. Pemeriksaan penunjang sama dengan pemeriksaan pada
kekerasan fisik ditambah test kehamilan, pemeriksaan biakan cairan genital dan urin,
HIV dan Hepatitis C (untuk deteksi PMS).
Pada kasus anak korban kekerasan fisik dan atau kekerasan seksual, anak tidak hanya
menderita cedera fisik tapi juga mengalami perubahan perilaku dan mental emosional.
Pada anak korban kekerasan seksual seringkali justru problem mental ini lebih
menonjol. Oleh sebab itu penatalaksanaan medik pada anak korban kekerasan harus
mencakup evaluasi dan penatalaksanaan problem mental dan perilaku yang
menyertainya. Ketakutan, cemas berlebih, gangguan tidur (nightmare), regresi perilaku,
hiperaktif, agresif, menarik diri, depresi (perlu diwaspadai risiko suicide), gangguan stres
pasca trauma (PTSD), adalah problem mental yang biasa dijumpai pada anak korban
kekerasan. Pada kasus yang mengalami gangguan psikiatrik berat seperti PTSD,
depresi berat, serangan panik, atau histeria akut, atau keadaan darurat psikiatrik
lainnya, Tenaga kesehatan dapat melakukan pertolongan darurat psikiatrik dengan
memberikan obat-obat psikofarmaka seperti diazepam, haloperidol, klorpromazin.
Selanjutnya kasus dapat dirujuk ke Psikiater atau Psikolog.

PENATALAKSANAAN PSIKOSOSIAL
Penatalaksanaan psikososial adalah upaya pertolongan terhadap anak korban
kekerasan yang ditujukan pada pembenahan aspek psikoedukatif dan sosiokultural yang
berperanan terhadap kejadian kekerasan pada korban. Termasuk dalam upaya ini
adalah intervensi psikososial terhadap keluarga korban, mengamankan anak dari pelaku
kekerasan, membebaskan anak dari siklus kekerasan, pendampingan psikologik dan
upaya rehabilitasi psikososial, serta upaya hukum terhadap korban (misalnya
pengalihan hak asuh) maupun pelaku (sangsi hukum).
Sebagian besar perlakuan kekerasan terhadap anak terjadi dalam keluarga, dan
melibatkan salah satu atau kedua orang tua sebagai pelakunya. Anak korban kekerasan
seringkali berasal dari keluarga dengan pola relasi yang patologik antara anggota
keluarganya khususnya antara kedua orang tuanya. Sering ditemukan salah satu atau
kedua orang tuanya mempunyai gangguan kepribadian yang cenderung mudah
melakukan kekeraan (abusive parent). Intervensi psikososial terhadap keluarga dari
anak korban kekerasan mutlak harus dilakukan. Pada kasus kekerasan yang bukan
dilakukan dalam keluarga, intervensi keluarga tetap harus dilakukan karena dalam hal
ini keluarga menjadi korban tak langsung yang membutuhkan pertolongan. Intervensi
awal berupa evaluasi dan tindakan persuasi terhadap orang tua korban dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan. Hal ini penting untuk merencanakan langkah perlindungan anak
dari berulangnya perlakuan kekerasan terhadap dirinya. Pada situasi sederhana dimana
tindakan kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak disebabkan pengetahuan

68

yang salah tentang pola asuhan anak, maka tenaga kesehatan dapat melakukan
konseling dan psikoedukasi terhadap keluarga. Pada situasi disfungsi keluarga yang
kompleks atau abusive parents perlu rujukan ahli jiwa (psikiater atau psikolog) untuk
melakukan terapi keluarga. Pada kasus ini juga diperlukan rujukan aspek hukum untuk
proses pengalihan hak asuh (sementara atau tetap), sanksi hukum terhadap pelaku,
penetapan keluarga dibawah pengawasan, dan sebagainya.
Tenaga kesehatan dalam menyusun rencana penatalaksanaan terhadap anak korban
kekerasan, seyogyanya mempunyai pengetahuan dan memiliki akses terhadap
lembaga-lembaga perlindungan anak. Hal ini perlu untuk tindak lanjut bagi kasus yang
secara medik sudah selesai namun masih membutuhkan bantuan untuk pemulihan
aspek psikososial, pengamanan korban dari pelaku, bantuan kesejahteraan sosial
(misalnya anak terlantar), dan perlindungan serta pembelaan hukum.

ASUHAN KEPERAWATAN
Prinsip prinsip asuhan keperawatan pada anak
Keperawatan anak konsisten dengan prinsip caring yaitu memberi penekanan pada
perumusan diagnosa keperawatan dan tindakan untuk mengatasi respon klien (anak
dan keluarga) terhadap masalah yang aktual maupun potensial.
Dalam merawat anak dengan child abuse/neglect, perawat harus memperhatikan prinsip
prinsip keperawatan anak sebagai berikut:
1. Menggunakan pendekatan asuhan yang berpusat pada keluarga dimana keluarga
dipandang sebagai pusat perhatian dalam melaksanakan asuhan dan keluarga
harus diberdayakan dalam perawatan anak. Konsekuansi dari pendekatan ini adalah
tidak membatasi orang tua untuk ikut terlibat merawat anak di rumah sakit, dengan
pemikiran bahwa orang tua dapat dibelajarkan dalam merawat anak. Perawat harus
dapat memberi pendidikan kesehatan pada orang tua terkait dengan perawatan
anaknya dengan terlebih dahulu mengkaji kemampuan belajar mereka.
2. Memberikan tindakan terapeutik (pendekatan atraumatic care), dimana segala
bentuk tindakan keperawatan yang diberikan harus dapat mengurangi atau
menghilangkan distress fisik maupun psikologis yang dialami anak maupun
keluarganya. Tindakan dapat mencakup perawatan langsung pada anak terutama
pada saat mempersiapkan anak untuk dilakukan prosedur khusus, memfasilitasi
orang tua untuk dapat merawat anaknya, memodifikasi lingkungan perawatan yang
kondusif bagi perawatan anak termasuk sikap/perilaku petugas kesehatan dalam
merawat anak

Peran perawat dalam penatalaksanaan anak dengan CAN.


Pada prinsipnya perawat anak mempunyai peran sebagai berikut::
1. Pembina hubungan yang terapetik dengan anak/keluarganya. Selama
perawatan berlangsung, perawat harus menciptakan suasana hubungan antara
perawat dan tenaga kesehatan lain terhadap pasien tetap dalam keadaan yang
kondusif untuk pencapaian tujuan terapi.
2. Pemberi Advocacy (perlindungan). Perawat harus mengupayakan adanya
pendekatan yang dapat mengakomodasikan adanya kebijakan pelayanan
kesehatan yang dapat melindungi hak pasien untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang terbaik.

69

3. Pendidik. Dengan memberikan penyuluhan atau pendidikan kesehatan, perawat


dapat mentransfer ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan
pemahaman tentang CAN dan dampaknya pada anak dan keluarga serta aspek
perawatan pada umumnya sehingga anak atau keluarga tidak mempunyai
persepsi yang salah, dengan bersikap sensitif terhadap budaya yang ada pada
keluarga.
4. Konselor. Dengan memberikan konseling perawat dapat membantu anak dan
keluarganya untuk dapat mengambil keputusan yang tepat berkaitan dengan
pemecahan masalah berkaitan dengan perawatan anaknya baik selama di
rumah sakit maupun untuk di rumah atau di masyarakat.
5. Membantu keluarga memelihara kesehatan. Bantuan pemeliharaan kesehatan
terutama dilakukan dengan memperhatikan asupan nutrisi yang adekwat,
imunisasi dan personal hygiene. Serta pemeliharaan lingkungan yang sehat dan
aman bagi anak. Untuk itu perawat dapat menyakinkan bahwa anak
mendapatkan kebutuhan-kebutuhan tersebut.
6. Kolaborator dengan disiplin ilmu lain. Sebagai tenaga kesehatan yang 24 jam
berada disamping pasien, perawat harus dapat berperan untuk memfasilitasi
terjadinya proses kolaborasi yang baik dari semua disiplin ilmu yang diperlukan
anak. Terlebih lagi pada kasus anak dengan CAN dimana penanganannya
memerlukan pendekatan multidisiplin, termasuk semua dokumen anak sebagai
dari hasil upaya kolaborasi tersebut harus dijaga kelengkapan dan
keamanannya.
7. Pembuat keputusan etik bagi anak dan keluarganya. Pada dasarnya peran ini
berkaitan dengan peran sebagai advocacy tetapi lebih menekankan pada aspek
etik, karena pada dasarnya perawat harus menyadari bahwa perawatan anak
dengan CAN sangat banyak bersinggungan dengan aspek etik, tentunya dengan
cara berkolaborasi dengan tenaga professional kesehatan lain.
8. Penyulit. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan perawatan,
perawat mempunyai peran sebagai peneliti terutama dengan fenomena sentral
adalah kebutuhan anak dan keluarga dengan berfokus pada area praktek
keperawatan.
9. Perencanaan pelayanan kesehatan. Pada level tertentu seperti kepala
ruangan, pengawas atau kepala bidang perawatan, perawat harus berperan
dalam merumuskan kebijakan dalam perencanaan pelayanan kesehatan, baik
pad aspek sumber daya keperawatan, sarana dan prasarana perawatan dan
kebijakan pelayanan perawatan lainnya.
Berdasarkan uraian peran tersebut diatas, maka tindakan yang dapat dilakukan perawat
dalam merawat anak dengan CAN pada tiga tingkat pencegahan adalah sebagai
berikut:
1.
Pencegahan tingkat pertama (prevensi primer)
a. Memberikan pendidikan kesehatan pada kelompok atau komunitas tenatng
hal yang berkaitan dengan pemahaman CAN dan dampaknya bagi anak dan
keluarga, dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya CAN
bagi anak maupun keluarga.
b. Memberikan perlindungan pada anak dengan cara membantu keluarga
mengantisipasi hal-hal yang dapat menimbulkan CAN (anticipatoru guidance
program).

70

2. Pencegahan tingkat kedua (prevensi sekunder)


a. Melakukan deteksi dini terhadap anak dengan CAN, dengan cara sensitive pada
saat melakukan pengkajian ataupun observasi terhadap anak yang datang untuk
meminta perawatan di klinik atau ruang perawatan.
b. Memberikan konseling pada anak/keluarga.
c. Meluangkan waktu bersama keluarga untuk dapat mengidentifikasi kebutuhan
kebutuhan perawatan dalam mengatasi masalah anak dengan CAN.
d. Melaksanakan perawatan langsung pada anak korban abuse/neglect dengan
penekanan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar anak yang terganggu,
yang mencakup kegiatan sebagai berikut:
Pemenuhan kebutuhan dasar fisiologis baik dalam keadaan akut maupun
perawatan lanjutan mencakup :
o Oksigenisasi : bernapas normal
o Nutrisi dan cairan
o Eliminasi
o Istirahat dan tidur
o Mobilitas/gerak
o Personal hygiene
o Termoregulasi : suhu tubuh yang normal
o Perawatan luka
Pemenuhan kebutuhan dasar psikososial mencakup :
o Rasa aman (terhindar dari rasa takut) dengan memberikan dukungan
psikologis pada anak dan memfasilitasi keluarga untuk berada didekat
anak, apabila tidak ada indikasi untuk mendapatkan intervensi khusus.
o Manajemen nyeri : distraksi/relaksasi dan pemberian obat sesuai dengan
program pengobatan.
o Meyakinkan anak terhindar dari bahaya lingkungan dan menghindari
melukai diri sendiri atau orang lain.
o Rujukan pada psikolog/psikiater bila anak memerlukan rujukan pada LPA
untuk proses perlindungan hokum yang diperlukan.
3. Pencegahan tingkat kedua (prevensi skunder)
a. Membantu anak untuk pemulihan kesehatan dengan memperhatikan konsumsi
nutrisi yang adekwat dan pengobatan yang diperlukan.
b. Membantu anak untuk dapat kembali ke liingkungan keluarga dan masyarakat
dengan percaya diri dan penuh harapan menghadapi masa depannya. Dorong
anak untuk mengembangkan sikap positip terhadap dirinya dengan menguatkan
segala kelebihan yang dimilikinya.

Proses keperawatan sebagai pendekatan dalam merawat anak dengan CAN


Proses keperawatan adalah metoda pemecahan masalah pasen yang menggambarkan
rangkaian tindakan keperawatan yang sistimatis dan terarah terdiri dari pengkajian,
perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan tindakan, implementasi dan evaluasi.
1. Pengkajian
Tahap pengkajian menggambarkan proses berkesinambungan pada semua fase
pemecahan masalah sebagai dasar dalam mengambil keputusan. Kegiatan ini terdiri
dari pengumpulan data, klasifikasi data, dan analisa data dari berbagai sumber data
yang dapat digunakan yaituanak, keluarga, tenaga kesehatan lain, hasil hasil
pemeriksaan diagnostik dan dokumen medik lainnya yang relevan. Data yang

71

dikumpulkan terdiri dari data dasar pada saat pertama pasen masuk dan data focus
yaitu yang mengarah pada perumusan masalah
Data focus yang harus dikaji adalah sebagai berikut:
a. Riwayat pre natal, yang mencakup
Kemampuan ibu menjalankan tugas selama mengalami kehamilan
Masalah masalah yang dialami berhubungan dengan peran menjadi
orang tua
Kemampuan orang tua dalam mengatasi masalah
b. Adanya Riwayat abuse/neglect
c. Interaksi suami istri dan antar anggota keluarga yang tidak adekwat
d. Adanya konflik emosional pada keluarga dan kemampuan koping yang
dimiliki
e. Adanya krisis situasional (PHK, perceraian, kelahiran yang tidak diinginkan,
kelahiran dengan masalah penyakit, salah satu anggota keluarga menderita
penyakit serius
f. Orang tua tidak memahami arti pertumbuhan dan perkembangan anak
g. Orang tua tidak mengetahui cara cara yang dapat dilakukan untuk stimulasi
tumbuh kembang anak
h. Harapan hidup orang tua yang tidak realistic
i. Perilaku yang ditunjukkan anak dan tanda tanda gangguan harga diri rendah
j. Tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak yang tidak sesuai usia
k. Kondisi psikososial yang ditunjukan anak dan orang tua seperti marah, sedih,
cemas, takut, depresi dan harga diri rendah
2. Diagnosa keperawatan
Tahap kedua dari proses keperawatan adalah perumusan diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinik perawat tentang respon individu,
keluarga atau masyarakat terhadap kondisi masalah yang sedang berlangsung atau
yang potensial terjadi. Tahap ini paling kritikal bagi perawat karena menjadi dasar dalam
pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan pada pasen. Diagnosa keperawatan
terdiri dari rumusan masalah (problem=P), penyebab (etiologi=E) dan faktor faktor yang
berkontribusi atau data pendukung masalah (symphtom=S). Pernyataan masalah (P)
menyatakan respon anak atau keluarga terhadap gangguan dalam proses
kehidupannya, pola fungsi atau perkembangan, etiologi (E) menggam,barkan faktor fisik,
situasi dan maturasi yang menyebabklan timbulnya masalah dan tanda/gejala (S)
berhubungan dengan sekumpulan tanda tanda dan gejalayang ditunjukkan pasen yang
menunjukkan adanya masalah kesehatan.
Pada kasus anak dengan CAN maka kemungkinan diagnosa keperawatan yang dapat
muncul adalah sebagai berikut:
1. Nyeri berhubungan dengan cedera akiba abuse
2. Risiko tinggi injuri berhubungan dengan adanya riwayat abuse, adanya ancaman dari
keluarga
3. Perubahan pada pertumbuhan dan perkembangan anak berhubungan dengan tidak
adekwatnya pola asuh dan pola didik serta interaksi keluarga yang tidak efektif
4. Gangguan harga diri berhubungan dengan adanya abuse emosional dan tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar anak
5. Cemas berhubungan dengan akan terulangnya abuse,
6. Gangguan body image berhubungan dengan cidera akibat abuse

72

7. Tidak efektifnya koping keluarga berhubungan dengan konflik emosional, hubungan


yang ambivalen dalam kluarga dan krisis situasional
8. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang pertumbuhan dan perkembangan anak dan
upaya stimulasitumbuh kembang yang dapat dilakukan
3. Perencanaan tindakan
Setelah diagnosa keperawatan dirumuskan, maka disusun rencana tindakan
keperawatan yang merupakan petunjuk bagi perawat untuk membantu pasen dalam
memecahkan masalahnya.
Pada langkah perencanaan keperawatan dilakukan sebagai berikut:
Perumusan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat berdasarkan masalah atau
diagnosa keperawatan yang telah diprioritaskan berdasar pada tingkatan
kebutuhan dasar manusia dan mempertimbangkan tingkat kegawatannya
Identifikasi jenis tindakan keperawatan yang dapat dipilih, bisa sebagai tindakan
mendiri perawat atau tindakan kolaboratif dengan anggota tim kesehatan lain,
misalnya dokter, psikolog, psikiater, praktisi hukum dan profesi lainnya yang
terkait dengan penatalaksanaan anak dengan child abuse
Berdasarkan contoh diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada point 2 diatas
maka contoh rencana keperawatan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan
dengan cedera akibat
abuse

TUJUAN & KRITERIA HASIL


Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang
setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria hasil:
Anak tidak mengeluh nyeri
Ekspresi wajah tenang
Skala nyeri berkurang dari
nyeri berat (skala 8-10) ke
nyeri sedang (skala 4-7) atau
nyeri sedang ke ringan (1-3).

TINDAKAN KEPERAWATAN
1.1.
1.2.
1.3.

1.4.

Berikan analgetik sesuai program


pengobatan
Lakukan teknik distraksi dengan mengajak
anak bermain
Pada anak usia sekolah dan remaja ajarkan
teknik relaksasi dengan menarik nafas dalam
saat terasa nyeri
Fasilitasi orang tua untuk selalu berada di
dekat anaknya

2. Risiko tinggi terjadi


injuri sehubungan
dengan adanya riwayat
abuse, adanya
ancaman dari keluarga

Tujuan: Injuri tidak terjadi setelah


tindakan keperawatan dilakukan
Kriteria Hasil:
Anak tidak mengalami injuri
Orang tua mengekspresikan
persepsinya tentang kebutuhan untuk
meminta pertolongan pada orang yang
tepat

2.1. Catat dan laporkan apabila ada gejala injuri


pada anak
2.2. Rujuk keluarga pada agensi yang ada yang
memberi layanan perlindungan anak
2.3. Observasi sikap keluarga dalam kaitannya
dengan kemungkinan terjadinya injuri pada
anak
2.4. Rujuk keluarga pada tenaga ahli lain yang
tepat dalam kaitannya dengan persepsinya
terhadap kebutuhannya
2.5. Observasi dan catat kondisi interaksi antara
anak dan orang tua
2.6. Diskusikan dengan orang tua tentang
komitmen untuk belajar dan menjalankan
strategi koping yang efektif.

3. Perubahan pada
pertumbuhan dan
perkembangan anak
sehubungan dengan
tidak adekuatnya pola
asuh dan pola didik
serta interaksi keluarga
yang tidak efektif

Tujuan: Anak menunjukkan pola


pertumbuhan dan perkembangan yang
normal setelah dilakukan tindakan
keperawatan
Kriteria hasil:
Pada hasil penilaian tumbuh
kembang anak menunjukkan pola
tumbang yang normal sesuai usianya
Orang tua dan anak menunjukkan
perubahan yang adaptif dalam
interaksinya

3.1.Kaji tingkat pertumbuhan dan perkembangan


anak ,baik mencakup komponen fisik (BB
dan TB), ketrampilan motorik, kognitif,
interaksi sosial dan perilaku/moral
3.2. Yakinkan bahwa anak dapat berada dalam
pengawasan perawat
3.3. Tunjukan perilaku bahwa perawat menerima
kondisi anak dengan melakukan interaksi
yang efektif dan harapan yang konsisten
3.4. Berikan respon yang konsisten pada anak
atas kemampuan tumbang yang dicapai dan
berikan reinforcement

73

3.5. Rujuk anak pada dokter/psikolog untuk


mendapatkan dukungan atas pertumbuhan
dan perkembangan yang dicapai dan apabila
tingkat tumbang anak tidak sesuai dengan
usianya
4.Cemas pada anak
berhubungan dengan
akan terulangnya
abuse

Tujuan: Cemas berkurang atau hilang


setelah tindakan keperawatan
Kriteria hasil:
Anak menunjukkan ekspresi muka
wajar
Tidak gelisah
Tidak mengajukan pertanyaan yang
mencerminkan rasa takut
Anak mau kembali pada lingkungan
keluarganya/masyarakat dimana dia
tinggal

4.1.Lakukan deteksi dini terhadap kemungkinan


akan berulangnya abuse pada anak dengan
cara mengidentifikasi factor penyebab abuse
yang baru terjadi dan respon/perilaku keluarga
pada anak
4.2. Berikan konseling pada anakdan atau
keluarga
4.3.Luangkan waktu bersama anak dan keluarga
untuk mengidentifikasi kebutuhan kebutuhan
dalam mengatasi masalah anak dengan CAN

4. Implementasi keperawatan
Pada tahap ini rencana tindakan yang telah disusun sebelumnya, dilaksanakan dengan
mempertimbangkan prinsip efektifitas dan efisiensinya. Setiap melakukan tindakan pada
anak.keluarga harus diobservasi bagaimana respon mereka terhadap tindakan yang
dilakukan. Tindakan keperawatan ditekankan pada keamanan anak dan rasa tenang
serta nyaman berada di lingkungan perawatan.
5. Evaluasi
Merupakan langkah terakhir dalam asuhan keperawatan anak dengan CAN.
Kemungkinan yang dapat didapat dari hasil evaluasi adalah masalah dapat teratasi,
masalah belum dapat teratasi dan muncul masalah baru. Kriteria hasil yang diharapkan
secara umum pada perawatan anak dengan CAN adalah sebagai berikut:
1. Rasa nyeri akibat perlukaan hilang
2. Anak menunjukkan rasa percaya diri
3. Tidak ada kecemasan yang ditunjukkan anak maupun keluarganya
4. Anak dapat kembali ke lingkungan keluarga/masyarakat dan berinteraksi seperti
sediakala
5. Keluarga dapat meneruskan tugas dalam membantu anak untuk tumbuh dan
berkembang sesuai usianya
6. Keluarga menerima anak apa adanya dan meminta pertolongan kepada tenaga
professional secara tepat
7. Pertumbuhan dan perkembangan anak berjalan sesuai usianya

SISTEM RUJUKAN
Sistem rujukan pada kasus child abuse adalah, suatu pola kerjasama lintas sektoral dan
multidisiplin, yang bertujuan memberikan layanan dan perlindungan secara optimal pada
anak korban kekerasan, sesuai dengan kapasitas dan bidang keahlian masing-masing.
Sistem rujukan yang baik akan membantu mereka yang membutuhkan pertolongan
mendapatkan pelayanan yang benar, efektif dan efisien.
Tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan primer (Puskesmas, Klinik 24
Jam, Balai Pengobatan, Dokter Praktik Swasta) seringkali menjadi pintu masuk atau

74

rujukan awal dari kasus child abuse. Kasus bisa datang langsung dari masyarakat
umum yang menemukan korban (misal pada anak korban kekerasan nondomestik) atau
dari keluarga korban atau bahkan dari pelaku kekerasan (misalnya pada kasus
kekerasan domestik). Kasus juga bisa berasal dari lembaga lembaga perlindungan
anak, atau dari aparat kepolisian. Pada kasus yang dibawa oleh masyarakat pada
umumnya bertujuan untuk mendapatkan pertolongan medis. Sedang pada kasus yang
berasal dari lembaga perlindungan anak, lembaga hukum, dan kepolisian, selain
bertujuan untuk mendapatkan pertolongan medis, juga untuk mendapatkan data medis
adanya tindak penganiayaan guna pembuktian hukum.
Dalam kerangka pertolongan medis alur rujukan kasus mengacu pada pertimbangan
rasional antara status medis korban, kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan, dan
kompetensi tenaga kesehatan yang ada. Pada umumnya jenjang rujukan sesuai dengan
peringkat fasilitas pelayanan kesehatan, misalnya ; Puskesmas dan Balai Pengobatan
hanya melakukan tindak medis dasar. Rumah Sakit Tipe C memberikan layanan
spesialistik dasar, Rumah Sakit Tipe B menyediakan layanan spesialistik lengkap,
sedangkan Rumah Sakit tipe A adalah pusat rujukan akhir yang mampu melakukan
layanan spesialistik secara paripurna. Meskipun demikian masih sangat sedikit pusat
layanan kesehatan yang mempunyai fasilitas layanan terpadu bagi anak korban
kekerasan.
Selain pertolongan medis, kasus child abuse membutuhkan intervensi psikososial,
perlindungan dan bantuan hukum. Oleh sebab itu proses rujukan tidak cukup sampai
pertolongan medis saja. Pada beberapa kasus, misalnya pada anak korban kekerasan
domestik, seringkali intervensi psikososial justru merupakan komponen mendasar dari
penyelesaian kasus. Pada kasus perdagangan anak aspek hukum menjadi komponen
yang dominan dari upaya perlindungan anak. Oleh sebab itu proses rujukan kasus
seyogyanya merupakan kajian tim multidisiplin.
Kasus child abuse yang membutuhkan pendampingan psikososial, dapat dirujuk pada
lembaga-lembaga pemerhati anak seperti Lembaga Perlindungan Anak, Women Crisis
Center, Yayasan Kesejahteraan Anak dan sebagainya. Seyogyanya pemerintah melalui
Komisi Perlindungan Anak Indonesia melakukan identifikasi dan stratifikasi peran dan
kapasitas masing-masing lembaga pemerhati anak dan menyusun directory yang
disosialisasikan ke masyarakat. Dengan demikian akan mempermudah proses rujukan
kasus (seperti stratifikasi Pusat Layanan Kesehatan).
Pendampingan psikososial pada kasus kekerasan domestik seringkali
merupakan masalah yang kompleks. Menjauhkan anak dari pelaku kekerasan berarti
memisahkan anak dari keluarganya. Atau mengembalikan anak ke keluarganya berarti
memulangkan anak pada siklus kekerasan yang terus akan mengancam kehidupannya.
Dalam hal ini lembaga perlindungan anak yang menyediakan layanan rujukan
psikososial diharapkan mempunyai kapasitas dan legalitas untuk melakukan intervensi
keluarga, seperti merekomendasikan keluarga untuk menjalani terapi, menyediakan
rumah aman dan orang tua pengganti (foster parent) bagi anak yang sementara
terpaksa dipisahkan dari keluarganya, dan memberikan layanan rehabilitasi mental
untuk memulihkan anak dari dampak perlakuan kekerasan yang dialaminya.
Pada kasus yang membutuhkan bantuan/perlindungan hukum, misalnya
mengajukan pelaku pemerkosaan ke pengadilan, atau pencabutan hak asuh orang tua
terhadap anak, dan keputusan-keputusan hukum lain yang dibutuhkan bagi
penyelamatan anak dari tindak kekerasan, diperlukan rujukan ke lembaga bantuan
hukum atau badan hukum lainnya (termasuk Kepolisian).

75

Secara ringkas sistem rujukan sebetulnya merupakan implementasi dari child


protection system dalam penanganan korban child abuse. Alur rujukan dimulai dari
laporan kasus oleh masyarakat atau lembaga. Selanjutnya dilakukan penilaian awal
terhadap kasus untuk menentukan status prioritas pertolongan. Bila terdapat masalah
medis lakukan pertolongan sesuai alur rujukan medis, kemudian lakukan penilaian
terhadap keluarga, apabila perlu intervensi keluarga rujuk pada lembaga yang
berwenang (atau ahli terapi keluarga). Apabila diperlukan proses hukum, rujuk ke badan
hukum yang berwenang (Lembaga Bantun Hukum, Kepolisian, dsb). Perencanaan
pertolongan terhadap kasus secara paripurna dilakukan oleh tim multidisiplin dengan
mempertimbangkan semua aspek medikopsikososial di atas. Selanjutnya tim melakukan
evaluasi dan monitoring terhadap perjalanan penyelesaian kasus sesuai rencana yang
disepakati.

PENDEKATAN MULTIDISIPLINER
Penatalaksanaan kasus anak korban kekerasan merupakan pengelolaan multidisiplin,
melibatkan kerjasama dari lembaga pelayanan kesehatan, lembaga perlindungan anak,
lembaga bantuan hukum, aparat penegak hukum, dan lembaga-lembaga sosial
masyarakat yang bergerak dalam perlindungan anak.
Dokter dan tenaga kesehatan lain yang bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan
primer (Primary Health Care Worker / tenaga kesehatan) sering merupakan tangan
terdepan dalam menghadapi kasus anak korban kekerasan. Mereka seyogyanya
memiliki keterampilan dalam melakukan deteksi dini kasus anak korban kekerasan,
melakukan tindakan pertolongan gawat darurat, intervensi psikososial awal terhadap
pasien maupun keluarganya, melakukan rujukan medik spesialistik, serta melakukan
rujukan psikososial. Dalam hal ini tenaga kesehatan seyogyanya mempunyai akses
dengan lembaga-lembaga multidisiplin yang bergerak dibidang perlindungan anak.
Dengan demikian penatalaksanaan paripurna terhadap kasus anak korban kekerasan
merupakan alur hubungan timbal balik antara pertolongan medik dasar rujukan medik
spesialistik rujukan pelayanan psikososial (termasuk intervensi keluargga) rujukan
perlindungan dan bantuan hukum.

76

Pedoman Ringkas Penatalaksanaan Anak Korban Kekerasan


Kekerasan Fisik
Aspek Klinis
Emergensi medik (syok, perdarahan masif, kejang)
1. Cedera kompleks non emergensi (luka bakar
luas, fraktur multipel)
2. Cedera sederhana (luka bakar ringan, laserasi
superfisial)
Penatalaksanaan Medik
Life saving (A,B,C), pemeriksaan penunjang,
observasi ketat rujuk
Pertolongan awal (perawatan luka, fiksasi)
pemeriksaan penunjang rujuk sesuai indikasi
Perawatan paripurna sesuai fasilitas PHC

Kekerasan Seksual
Aspek Klinis
Emergensi medik (perdarahan masif area
anogenital, emboli, sepsis)
Cedera / infeksi ano-uro-genital kompleks non
emergensi (termasuk kehamilan)
Cedera / infeksi sederhana (laserasi ringan,
simple STD)
Penatalaksanaan
Life saving stabilisasi KU rujukan
darurat
Pertolongan awal pemeriksaan
penunjang rujukan elektif
Pengobatan paripurna pemeriksaan
penunjang ( evaluasi kehamilan

Kekerasan Emosional & Penelantaran


Aspek Klinis
Pada kasus penelantaran sering tampil
sebagai malnutrisi, defisiensi gizi, failure to
trive.
Keluhan keluhan psikosomatis kronis
Penatalaksanaan
Perawatan kondisi medik umum, perbaiki
asupan gizi
Pemeriksaan penunjang untuk
menyingkirkan penyakit organik (
penelusuras aspek psikososial

Psikososial
Aspek Problem perilaku & emosi pada anak
(cemas, ketakutan, depresi, iritabilitas
Problem keluarga (family disfunction, abusive
parent)
Problem sosial (anak jalanan, kriminalitas)
Penatalaksanaan
Pendampingan psikologis sesuai usia anak
rujuk psikolog atau psikiater
Intervensi keluarga, anak di amankan, rujuk ke
lembaga perlindungan anak
Anak diamankan, rujuk ke LPA proses
perlindungan hukum

Aspek Psikososial
Problem perilaku & emosi pd anak
(ketakutan, agresif, depresi, PTSD)
Problem keluarga (abusive parent, family
disfunction)
Problem sosial (child trafficing, perkosaan
kriminal)
Penatalaksanaan
Pendampingan psikologis sesuai usia
anak( rujukan ke Psikolog /Psikiater
Intervensi keluarga, amankan anak( rujuk
ke LPA, proses hukum
Amankan anak ( rujuk LPA, perlindungan
hukum

Aspek Psikososial
Problem perilaku dan emosi (gangguan
belajar, hiperaktif, cemas menghindar,
psikosomatis )
Problem keluarga (family disfunction,
persepsi pola asuh yg salah )
Problem sosial ( anak jalanan )
Penatalaksanaan
Dalam kasus kekerasan emosional
seringkali anak belum perlu dipisahkan dari
keluarga, umumnya pendampingan
psikologis terhadap anak dan keluarga
dilakukan simultan.
Pada kasus penelantaran anak dan anak
terlantar diupayakan orang tua pengganti.

77

ALUR TATALAKSANA CAN DI RUMAH SAKIT

LAPORAN CAN
(datang sendiri, dilaporkan masyarakat,
rujukan dokter, puskesmas dan lainlain)

MASUKAN

PENILAIAN

DITERIMA KOMITE / TIM CAN

DIBAHAS & DIPUTUSKAN

TIDAK DILANJUTKAN

DILANJUTKAN

PELAPORAN KASUS CAN

PENANGANAN
KASUS
DITUTUP

TIDAK ADA
PENANGANAN
PENILAIAN

DIULAS OLEH KOMITE CAN

KASUS
DITUTUP

PENANGANAN
LANJUTAN

78

KEPUSTAKAAN
1. American Medical Association : Facts about child abuse and neglect ; available
at http://www.ama.assn.org/ama/pub/category/4715.html
2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of pediatrics.
Philadelphia: WB Saunders company, 2001.
3. Bernet, W : Child maltreatment, In Kaplan & Sadocks Comprehensive Textbook
of Psychiatry, 7th ed; Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2000, chapter
49 :2878 2889
4. Bethea L. Primary Prevention of Child Abuse. American Family Physician, 1999;
59:1-4.
5. Budhiman M. Tumbuh Kembang. Dalam : Markum AH, Ismael S, Alatas H, dkk,
penyunting. Buku ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta : Fakultas Kedokteran
UI, 1991; 9-69.
6. Clunn, P. (1995). Child Psychiatric Nursing. St. Louis: Mosby Co.
7. Dhama A. Perkembangan anak; edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Erlangga, 1988;
22-280.
8. Emans S.J, Laufer M.R., Goldstein D.P., Pediatric and Adolescent Gynecology.
Fourth edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 1998
9. Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM. Current pediatric Diagnosis &
Treatment. Toronto, Lange Medical Books, edisi ke-15, 2001.h 190-1.
10. Johnson CF. Child maltreatment 2002 : recognition, reporting and risk. Pediatr Int
2002; 44:554-60
11. Kessen W, Scott D. the development of behaviour : problem, theories and
findings. Dalam : Levine MD, Carey WB dkk, penyunting. Developmental
behavioral pediatrics. Philadelphia : Saunders, 1983; 27-48.
12. Kitab Undang Undang Hukum Pidana
13. Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
14. Konvensi Hak Anak setelah diratifikasi dengan Keppres No. 19 tahun 1990.
15. Leskauskas D. Relationship between the suicidal attempts of adolescent girls
and risk factors in the family. Medicina (Kaunas) 2002; 38:387-92
16. Lewis Melvin, A Comprehensive Text Book of Child and Adolescent Psychiatry,
William & Wilkins
17. Litt IF, Vaughan VC. Growth and development. Dalam : Behrman RE. K Iregman
RM, Jenson, penyunting. Textbook of pediatrics; edisi ke-4. Philadelphia :
Saunders, 1992; 13-32.
18. Mayers, M & Jacobson, A. (1998). Clinical Care Plans Pediatric Nursing. New
York: Mc. Graw Hill
19. Meadow Roy, ABC of Child Abuse, 3rd ed. BMJ Publ.Co, Bristol, 1997
20. Monteleone J.A., Child Maltreatment. St. Louis : G.W. Medical Publishing, Inc,
1994
21. Passat J. Kelainan perkembangan motorik. Dalam : Pusponegoro HD, Passat J,
Mangunatmaja I, dkk, penyunting. Neurologi Anak dalam praktek sehari-hari.
Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Anak XXXIV. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI, 1995; 23-43.
22. Pollak M. Textbook of development pediatrics : development and motor
development; edisi pertama. Dinburg : Churchill livingstone, 1993; 19-187.
23. Rawlins, R.P., Wiliams, S.R. and Beck, C.K. (1993). Mental Health Psychiatric
Nursing. A Holistic Life cycle Approach. St. Louis: Mosby Company

79

24. Soetjiningsih, Ranuh IG.N G. Tumbuh kembang anak. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC, 1998: 165-75.
25. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Dalam : Gde Ranuh IGD, penyunting.
Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC, 1995; 1-32.
26. Stuart, G.W & Sundeen, S.J. (1995) Principles & Practice of Psychiatric Nursing.
St Louis: Mosby
27. Stuart, G.W &Laraia, M.T. (1998). Principles and Practice of psychiatric Nursing,
St.Louis: Mosby Co
28. The Future of children : Domestic violence and children ; available at
http://www.futureofchildren.org/dvc/exsum_23htm
29. Turner Js, Helms DB. Lifespan development, edisi ke-3. New York : CBS college
publishing, 1987; 131-78.
30. Undang Undang Dasar 1945 sesudah diamandemen.
31. Undang Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak
32. United Nation, ESCAP HRD Course on Psychosocial and Medical Services for
Sexually Exploited Children and Youth
33. Vizcarra MB, Cortes J, Bustos L, Alarcon M, Munoz S. Child abuse in the city
Temuco. Prevalence study and associated factors. Rev Med Child 2001;
129:1425-32
34. Watson RI, Lindgren HC. Psychology of the child, edisi ke-3. New York : John
Wiley & Sons Inc, 1973; 58-186.
35. WHO, The Effect of Trauma & Violence on Children & Adolescents, World Mental
Health Day 2002
36. Widiatmaka W, Gunardi H. Buku Panduan Tatalaksana kasus penganiayaan dan
penelantaran anak. Jakarta, IDI, 2000.
37. Williams, JJ : The Circle of Abuse, In : A Clinical Guide and Reference , chapter
16: 285 299
38. Wilson, H.S & Knelisl, C.R. (1996). Psychiatric Nursing. California: Addison
Wesley
39. WMA Statement on Child Abuse and Neglegt
40. Wong, D.L. (2001). Essentials of Pediatric Nursing. St Louis; Mosby

80

LAMPIRAN

SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA


Sejarah lahirnya HAM sesungguhnya sudah dimulai tahun 1776 yang dikenal dengan
the rights of man Yang dalam perkembangannya bergeser menjadi human rights.
Peristiwa penting dalam gerakan memajukan ham adalah disetujuinya oleh Sidang
Umum Perserikatan Bangsa-bangsa Deklarasi Universal HAM (DUHAM) pada tahun
1948. DUHAM sendiri secara legal tidak mengikat 48 negara yang menyetujui dan tidak
dirancang sebagai dokumen legal yang mengikat tetapi merupakan sebuah pernyataan
bersama untuk mengakhiri segala bentuk penindasan, perbudakan dan tindakan
sewenang-wenang yang menyebabkan penderitaan umat manusia terutama pada
perang dunia I dan II. DUHAM kemudian diikuti oleh 2 Kovenan Internasional yaitu
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Kovenan
Internasional tentang Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kedua kovenan tersebut telah
disetujui pada tahun 1966 dan mulai berlaku pada tahun 1976. DUHAM dan kedua
kovenan disebut sebagai International Bill of Rights atau Undang-Undang Tentang
Internasional Hak Asasi Manusia. Perkembangan penting lain yang harus dicatat dalam
perkembangan HAM adalah bertemuanya 185 negara pada untuk mengikuti konferensi
dunia tentang hak asasi manusia di Wina. Konferensi Wina telah melahirkan Deklarasi
Wina dan Program Aksi yang diterima secara aklamasi pada Juni 1993.
Indonesia sendiri telah membuat langkah-langkah kongkrit dalam upaya pemajuan dan
perlindungan HAM melalui ratifikasi sejumlah konvensi internasional yaitu: Konvensi
Hak Politik Perempuan (1958), Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan (1984), Konvensi Hak Anak (1990), Konvensi
tentang Anti penyiksaan (1998) dan Konvensi Anti Rasial (1999) dan Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 1998-2003. Namun sampai saat ini(2003),
Indonesia belum meratifikasi kedua Kovenan Internasional HAM tersebut. Dari sejarah
HAM ini dapat dilihat sejauhmana komitmen peserta dalam mengaplikasi setiap
permasalah-permasalahan yang terjadi dalam upaya pemajuan hak asasi manusia di
Indonesia.
TAHUN
1958

PERISTIWA
Konvensi Hak-hak Politik Perempuan; UU No. 68 Th. 1958

PASAL
3 Pasal

Konvensi tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi


terhadap Wanita
1984

UU No. 7 Th. 1984

16 Pasal

Konvensi tentang Hak-hak Anak


Keppres no. 36 Th. 1990
1990

Konvensi Anti-apartheid dalam Olahraga

1993

Keppres No. 48 Th. 1993

45 Pasal

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau


Hukuman Lain yang kejam, Tidak Manusiawi dan
1998

Merendahkan Martabat Manusia


UU. No. 5 Th. 1998
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

33 Pasal

Rasial
1999

UU. 29 Th. 1999

25 pasal

81

LAMPIRAN

Peraturan Perundang-undangan Yang


Berhubungan dengan Hak Anak dan Child Abuse
and Neglect

Pasal 285 KUHP


Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan,
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 287 KUHP


(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun,
atau kalau umurnya tidak ternyata bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal tersebut pada pasal 291 dan
294.

Pasal 289 KUHP


Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan
perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun.

Pasal 291 KUHP


(1) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 289, 290
mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
(2) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287 dan 290
itu mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 290 KUHP


Diancam dengan pidana penjra paling lama tujuh tahun:
(1) -(2) barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau
umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin.
(3) Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga
bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa
belum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

82

Pasal 292 KUHP


Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama
kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa belum cukup umur,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
Pasal 293 KUHP
(1) Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan
penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum cukup umur dan bai tingkahlakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia,
padahal tentang belum cukup umurnya itu diketahui atau selayaknya harus diduga,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan
kejahatan itu;
(3) Tenggang tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing
sembilan bulan dan dua belas bulan.

Pasal 294 KUHP


(1) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak
angkatnya, anak di bawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan
orang yang belum cukup umur yang pemeiharaannya, pendidikan dan penjagaannya
diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum
cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Diancam
dengan pidana yang sama:
(2) pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah
bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan
kepadanya
(3) seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara,
tempat pekerjaan negara, tempat pemudikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit
jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
dimasukkan ke dalamnya
Pasal 295 KUHP
(1) Diancam:
Ke-1: Dengan pidana penjara paling lama lima tahun, barangsiapa dengan
sengaja menghubungkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh
anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya
yang belum cukup umur, atau oleh orang yang belum cukup umur yang
pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya,
ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan
orang lain;
Ke-2: Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barangsiapa dengan
sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul kecuali ke-1 di
atas yang dilakukan oleh orang yang diketahui belum cukup umurnya atau yang
sepatutnya harus diduga demikian, dengan orang lain.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan,
maka pidana dapat ditambah sepertiga.

83

Pasal 297 KUHP


Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur diancam
dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Pasal 305 KUHP
Barangsiapa menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemukan
atau meninggalkan anak itu dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan
Pasal 308 KUHP
Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya, tidak
lama setelah melahirkan,
menempatkan anaknya untuk ditemukan atau
meninggalkannya dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, maka maksimum
pidana tersebut pada pasal 305 dan 306 dikurangi separuh
Pasal 328 KUHP
Barangsiapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya
sementara, dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum di
bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam
keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.
Pasal 330 KUHP
(1) Barangsiapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari
kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari
pengawasan orang yang wenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun;
(2) Bilamana dalam hal ini dilakukan dengan tipu-muslihat, kekerasan atau ancaman
kekerasan, atau bilamana anaknya belum cukup umur dua belas tahun, dijatuhkan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 332 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara:
Ke-1: paling lama tujuh tahun, barangsiapa membawa pergi seorang wanita yang
belum cukup umur, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan
persetujuannya (wanita tersebut), dengan maksud untuk memastikan
penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan.
Ke-2: paling lama sembilan tahun barangsiapa membawa pergi seorang

Pasal 338 KUHP


Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan penjara paling lama lima belas tahun.

84

Pasal 340 KUHP


Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Pasal 351 KUHP
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun;
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjarapaling lama tujuh tahun;
(4) Dengan penganiayaan disamakan dengan sengaja merusak kesehatan;
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 352 KUHP


(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling
lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap
orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 353 KUHP


(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang ebrslah dikenakan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 354 KUHP
(1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan
penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal 355 KUHP


(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.

85

Pasal 356 KUHP


Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan
sepertiga:
(1) Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah,
isterinya atau anaknya;
(2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena
menjalankan tugasnya yang sah;
(3) Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi
nyawa atau kesehatan untuk dilaksanakan atau diminum.
Pasal 359 KUHP
Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun.
Pasal 360 KUHP
(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebutkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjan
jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau
pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 4 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi
Pasal 5 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan
Pasal 6 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua

Pasal 7 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang
anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau
diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat ......

86

Pasal 8 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial
Pasal 9 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khusus bagi anak
penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi
anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus

Pasal 10 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasannya dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan

Pasal 11 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luangnya, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat,
bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri

Pasal 12 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial,
dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial
Pasal 13 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun
yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:
a. diskriminasi
b. eksploitasi, ekonomi atau seksual
c. penelantaran
d. kekejaman, kekerasan dan penganiayaan
e. ketidakadilan
f. perlakuan salah lainnya
Pasal 14 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan
atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir

87

Pasal 15 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari;
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial
d. pelibatan dalam peristiwa kekerasan
e. pelibatan dalam peperangan

Pasal 16 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidfak manusiawi
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum
(3) Penangkapan, penahanan dan pidana penjara hanya dilakukan apabila sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya sebagai upaya terakhir
Pasal 17 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari
orang dewasa
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya ....
c. membela diri dan memperoleh keadilan
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan

Pasal 18 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan
bantuan huklum dan bantuan lainnya
Pasal 19 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Setiap anak berkewajiban untuk:
a. menghormati orang tua, wali dan guru
b. mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman
c. mencintai tanah air, bangsa dan negara
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamnya
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia
Pasal 21 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan
menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan
kondisi fisik dan/atau mental.
Pasal 22 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan
sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

88

Pasal 23 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


(1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan
kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali,
atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.
(2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
Pasal 24 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam
menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.

Pasal 25 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan
melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 26 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
(2)

Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena
suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka
kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih
kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 54 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Anak di dalam dan di lingkungan sekolah, wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang
bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.
Pasal 77 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:
a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik
materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau
b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau
penderitaan, baik fisik, mental maupun sosial,
Dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak
seratus juta rupiah.

89

Pasal 78 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak
dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak
korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan
pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun
dan/atau denda paling banyak seratus juta rupiah.
Pasal 80 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekertasan atau ancaman kekerasan,
atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga
tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak tujuh puluh dua juta rupiah.
(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling
banyak seratus juta rupiah.
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau denda paling banyak
dua ratus juta rupiah.
(4) Pidana ditambah dengan sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang
tuanya.

Pasal 81 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan paling singkat tiga
tahun dan denda paling banyak tuga ratus juta rupiah dan paling sedikit enam puluh
juta rupiah.
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling
banyak tiga ratus juta rupiah dan paling sedikit enam puluh juta rupiah.
Pasal 83 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri
atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara p[aling lama lima belas tahun dan
paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak tiga ratus juta rupiah dan paling
sedikit enam puluh juta rupiah.

90

Pasal 88 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun dan/atau denda paling banyak dua ratus juta rupiah.
Pasal 1 Konvensi Hak Anak
Yang dimaksud anak dalam Konvensi ini adalah setiap orang yang berusia di bawah 18
tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa
usia dewasa dicapai lebih awal.
Pasal 3 Konvensi Hak Anak
Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah
atau badan legislatif, kepentingan terbaik anak akan merupakan pertimbangan utama.
Pasal 9 Konvensi Hak Anak
Negara-negara peserta akan menjamin bahwa seorang anak tidak akan dipisahkan dari
orang tuanya bertentangan dengan keinginan anak, kecuali bila penguasa yang
berwenang yang tunduk pada peninjauan kembali oleh pengadilan menetapkan, sesuai
dengan undang-undang dan prosedur yang berlaku, bahwa pemisahan tersebut
diperlukan untuk kepentingan yang terbaik dari anak itu sendiri. Penetapan seperti itu
mungkin diperlukan dalam kasus khusus seperti kasus yang melibatkan
penyalahgunaan atau penelantaran anak oleh orangtuanya, atau kasus dimana kedua
orangtuanya hidup terpisah, dan keputusan harus menetapkan tempat tinggal anak
tersebut.

Pasal 19 Konvensi Hak Anak


1. Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah legistatif, administratif,
sosial, dan pendidikan yang layak guna melindungi anak dari semua bentuk
kekerasan fisik atau mental, atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan
lalai, dilukai, atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, sementara mereka
dalam pemeliharaan orang tua, wali yang sah atau setiap orang lain yang
memelihara anak.
2. langkah-langkah perlindungan seperti itu hendaknya, jika dianggap layak,
mencakup prosedur-prosedur yang efektif dalam menetapkan program-program
sosial guna memberi dukungan yang diperlukan bagi anak,dan mereka yang berhak
memelihara anak dan juga dalam menetapkan bentuk-bentuk pencegahan dan bagi
kepentingan identifikasi, pelaporan, rujukan, pemeriksaan, perlakuan, dan tindak
lanjut dari contoh-contoh pemeliharaan yang salah seperti yang telah diuraikan
diatas, dan jika perlu bagi kepentingan proses pribadi, untuk keterlibatan peradilan.
Pasal 24 Konvensi Hak Anak
Negara-negara peserta mengakui hak anak untuk menikmati norma kesehatan tertinggi
yang bisa dicapai dan fasilitas perawatan sakit dan pemulihan kesehatan.

91

Pasal 28 Konvensi Hak Anak


2. Negara-negara Peserta akan mengambil semua langkah yang layak untuk menjamin
bahwa disiplin sekolah dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan martabat
kemanusiaan anak dan sesuai dengan Konvensi ini.
Pasal 34 Konvensi Hak Anak
Negara-negara peserta berusaha untuk melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi
anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual.
Pasal 38 Konvensi Hak Anak
1. Negara-negara peserta berupaya untuk menghormati dan menjamin penghargaan
terhadap ketentuan-ketentuan hukum kemanusiaan internasional dan yang berlaku
bagi anak-anak dalam masa pertentangan bersenjata.
2. Negara-Negara Peserta akan mengambil semua langkah yang mungkin guna
menjamin bahwa mereka yang belum mencapai usia lima belas tahun tidak terlibat
secara langsung dalam permusuhan.
3. Negara-Negara Peserta akan menahan diri untuk tidak merekrut orang yang belumn
mencapai usia lima belas tahun dalam angkatan bersenjata mereka. Dalam merekrut
orang orang yang sudah berusia delapan belas tahun, Para Negara Peserta akan
berusia untuk memberi prioritras kepada mereka yang tertua.
4. sesuai dengan kewajiban kewajiban berdasarkan hukum kemanusiaan internasional
untuk melindungi penduduk sipil dalam pertentangan bersenjata, Para Negara
Peserta akan mengambil semua langkah yang mungkin untuk menjamin
perlindungan dan pemeliharaan bagi anak-anak yang terpengaruh oleh suatu
pertentangan bersenjata.

Pasal 108 KUHAP


(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban
peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau
pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis
(2) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui
tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan
hal itu kepada penyelidik atau penyidik.

92

Pasal 52 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM


(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan
negara.
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hidup, dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
Pasal 53 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM
(1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup,
dan meningkatkan taraf kehidupannya.
(2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status
kewarganegaraannya.

Pasal 54 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM


Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan,
pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin
kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan,meningkatkan rasa percaya diri,
dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Pasal 55 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi
sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan
atau wali.

Pasal 56 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM


(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal orang tua tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan
baik dan sesuai dengan Undang-Undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau
diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 57 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM
(1) Setiap anak berhak dibesarkan, dipelihara, dirawat, didiik, diarahkan, dan dibimbing
kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan
putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena
sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.
(3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) harus
menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.

93

Pasal 58 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM


(1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk
kekerasan fisik atau mintal, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual
selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut.
(2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan
seksual termasuk pemerkosaan dan atau pembunuhan terhadap anak yang
seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 59 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM
(1) setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya, secara bertentangan
dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah
yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi
anak.
(2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap
bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap
dijamin oleh Undang-Undang.

Pasal 60 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM


(1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendiidkan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.
(2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan
tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai
dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 61 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM


Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain,
bereaksi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan dirinya.
Pasal 62 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM
Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara
layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya.

Pasal 63 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM


Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa
bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.
Pasal 64 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi
dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu
pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.

94

Pasal 65 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM


Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan
pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk
penyalahgunaan narkotik, psikotropika dan zat aditif lainnya.
Pasal 66 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM
(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku
tindak pidana yang masih anak.
(3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
(4) Penangkapan penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya akhir.
(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara
manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai
dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi
kepentingannya.
(6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum
dan bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang
berlaku.
(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan
memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak
dalam sidang yang tertutup untuk umum.

95

Petunjuk Bagi Dokter dalam menangani CAN menurut


Asosiasi Dokter Sedunia (WMA)
1. Dokter memiliki peran unik dan spesial dalam mengidentifikasi dan membantu anak
korban abuse dan keluarganya yang bermasalah.
2. Dokter harus mengikuti pelatihan khusus untuk mengidentifikasi child abuse.
Pelatihan ini tersedia di berbagai program pendidikan berkelanjutan.
3. Para dokter sangat disarankan untuk selalu berhubungan dengan tim multidisiplin
yang berpengalaman di bidang ini. Sebuah tim umumnya terdiri dari kalangan
profesional seperti dokter, pekerja sosial, psikiater anak dan dewasa, ahli tumbuh
kembang, psikolog, dan pengacara. Jika tim tidak memungkinkan untuk dibentuk
atau tidak tersedia, maka dokter harus berkonsultasi dengan tenaga medis lainnya,
pekerja sosial, penegak hukum, dan tenaga kesehatan jiwa.
4. Dokter pada tingkat pelayanan primer (dokter keluarga, dokter penyakit dalam,
dokter anak), spesialis gawat darurat, ahli bedah, psikiater dan spesialis lainnya
yang menangani anak harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam
assessment fisik CAN; assessment tumbuhkembang anak dan keterampilan sebagai
orangtua; penggunaan sumber daya dalam masyarakat; dan tanggungjawab hukum
dokter.
5. Evaluasi medis anak yang mengalami abuse fisik harus terdiri dari: (1) anamnesis
riwayat perlukaan; (2) pemeriksaan fisik korban; (3) Rontgen survey trauma; (4)
skrining kelainan darah; (5) foto berwarna (6) pemeriksaan fisik keluarga korban; (7)
laporan medis tertulis resmi (8) skrining perilaku (9) skrining pertumbuhan dan
perkembangan bayi dan anak usia prasekolah.
6. Assessment dan manajemen medis anak korban kekerasa seksual terdiri dari: (1)
pengobatan trauma fisik dan psikososial; (2) pengumpulan dan pemrosesan barang
bukti; (3) pengobatan dan tindak pencegahan kehamilan dan penyakit menular
seksual.
7. Dokter perlu menentukan penyebab dan derajat fungsi-fungsi keluarga karena hal
tersebut berhubungan dengan perlindungan anak. Dokter harus mengerti dan
sensitif terhadap kualitas hubungan marital, tipe disiplin yang diterapkan, stress
ekonomi yang dialami, masalah emosi dan penyalahgunaan alkohol, obat, dan zatzat lainnya, dan bentuk stress lainnya yang berhubungan dengan child abuse.
8. Dokter harus memiliki pengetahuan tentang CAN. Seringkali bukti-bukti fisik tidak
jelas, dan hanya melalui wawancara anak dan orangtua yang menyeluruh dan teliti
dapat ditemukan ketidakkonsistenan antara riwayat penyakit dengan data obyektif
yang ditemukan.
9. Dalam mendeteksi anak dengan dugaan abuse tindakan segera yang harus
dilakukan oleh dokter meliputi: (1) melaporkan semua kecurigaan kasus pada
Layanan Perlindungan Anak; (2) merawat inapkan anak korban abuse yang
memerlukan perlindungan pada masa pemeriksaan awal; dan (3) memberitahukan
orangtua perihal diagnosis yang dibuat dan melaporkan luka-luka yang terjadi pada
Layanan Perlindungan Anak.
10. Anak adalah pasien karena itu juga harus menjadi perhatian dokter. Maka, menjadi
tanggungjawab dokter untuk melakukan apapun di dalam batas kesanggupannya
untuk melindungi anak dari ancaman/bahaya lebih lanjut. Menghubungi pihak yang
menangani perlindungan anak, diwajibkan oleh hukum. Pada beberapa kasus,
memasukkan anak dalam perawatan rumah sakit juga diperlukan.

96

11. Jika diperlukan rawat inap, evaluasi terhadap masalah fisik, emosional, dan
tumbuhkembang anak perlu segera dilakukan. Jika dokter yang pertama menangani
dan memiliki kecurigaan tidak mampu melakukan evaluasi tersebut, maka ia harus
berkonsultasi pada tim multidisiplin RS atau dokter lain yang telah menjalani
pelatihan khusus di bidang Child Abuse.
12. Jika dicurigai adanya CAN, dokter harus mendiskusikan pada orangtua bahwa CAN
menjadi salah satu diagnosis yang ditegakkan pada kasus anaknya. Pada diskusi
tersebut, sangat penting bagi dokter untuk tetap obyektif dan menghindari sikap
menghujat serta menghindari ucapan-ucapan yang menghakimin saat berbicara
dengan orangtua.
13. Dokter harus mencatat proses evaluasi. Rekam medis seringkali memberikan bukti
kritis di dalam sidang pengadilan.
14. Dokter harus berpartisipasi dalam tiap tingkatan pencegahan dengan memberikan
konseling keluarga prenatal dan postnatal; mengidentifikasi masalah dalam
pengasuhan anak, dan memberikan nasihat tentang keluarga berencana.
15. Dokter harus mendukung tindakan-tindakan kesehatan masyarakat seperti
kunjungan rumah oleh perawat, memberikan petunjuk penanganan segera pada
orangtua, serta pemeriksaan berkala anak dan bayi sehat.
16. Dokter harus mengerti bahwa CAN adalah masalah kompleks dan lebih dari satu
macam terapi atau layanan yang dibutuhkan untuk menolong anak korban CAN dan
keluarganya. Pembentukan sistem tatalaksana yang tepat membutuhkan kontribusi
dari berbagai profesi termasuk kedokteran, hukum, keperawatan, pendidikan,
psikologi, dan pekerja sosial.
17. Dokter harus mempromosikan pembuatan program-program inovatif yang dapat
meningkatkan pengetahuan dan kompetensi medis di bidang CAN.
18. Kerahasian pasien dapat dibatalkan pada kasus CAN. Tugas utama dokter adalah
melindungi pasiennya apabila terdapat dugaan CAN. Apapun tipe kekerasan yang
dicurigai (fisik, mental, atau seksual), laporan resmi harus diberikan kepada pihak
yang berwenang.
19. Dokter harus mendukung pengesahan peraturan di negara masing-masing, yang
efektif dalam mengidentifikasi dan melindungi anak koprban kekerasan. Peraturan
tersebut juga harus dapat melindungi dokter dan tenaga kesehatan profesional
lainnya dalam melaksanakan tugas identifikasi, merawat, dan menatalaksana anak
korban kekerasan.
20. Dokter harus mendukung prosedur hukum yang membantu anak korban kekerasan
menjalani proses hukum melawan pelaku selama periode tertentu setelah anak
cukup umur. Dokter juga harus mendukung prosedur hukum yang adil dan obyektif
yang mencari pencegahan yang layak terhadap tuduhan CAN yang tidak didukung
bukti, dan memerlukan bukti obyektif untuk memulai setiap langkah hukum terhadap
tersangka pelaku CAN.

97

Contoh Visum et Repertum 1


Nama sarana kesehatan
Nomor
:
/PKT/06/2003
Lampiran
: -.Perihal
: Hasil Pemeriksaan atas _____
PRO JUSTITIA

Jakarta, Juni 2003

VISUM ET REPERTUM
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, ......., dokter pada nama sarana kesehatan,
atas permintaan tertulis dari Kepolisian Resort Metro Jakarta Timur dengan suratnya
tertanggal 11 Juni 2003 nomor :......., maka pada tanggal sebelas Juni tahun dua ribu
tiga, pukul sebelas waktu indonesia barat, telah memeriksa seorang korban yang
menurut surat tersebut adalah :
Nama
: xxx
Jenis kelamin
: Perempuan
Tempat/Tgl Lahir
:
Agama
: ...
Pekerjaan
: Pelajar
Tempat tinggal
:
Yang tercatat sebagai pasien dengan nomor registrasi ............
Orang tersebut datang diantar oleh petugas kepolisian Resort Metro Jakarta Timur,
nama ..... pangkat ...... NRP ......
Dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut :
1. Korban datang dalam keadaan sadar, keadaan umum baik , korban mengaku
dipukul di pipi kanan delapan jam sebelum masuk ke rumah sakit. Korban juga
mengaku bahwa ia sering mengalami kekerasan di keluarganya, .... kali dalam
......, dimulai sejak .........
2. Pada pemeriksaan fisik ditemukan luka-luka sebagai berikut :
a. Pada pipi kanan bawah, tiga sentimeter dibawah telinga kanan, tiga
sentimeter dari garis pertengahan depan, terdapat memar warna
kemerahan ukuran tiga sentimeter kali tiga sentimeter, dikelilingi bengkak
dan nyeri bila ditekan.--------------------------------------------------------------------b. Pada punggung kaki kanan, dua sentimeter dari ujung kelingking kanan,
terdapat luka lecet ukuran satu sentimeter kali setengah sentimeter dan
dikelilingi memar warna kemerahan, ukuran dua sentimeter kali dua
sentimeter dengan bengkak dan nyeri pada penekanan.
Kesimpulan :
Korban adalah seorang anak perempuan yang menurut surat keterangan penyidik
berumur .... tahun. Pada pemeriksaan fisik ditemukan memar, bengkak, serta nyeri
tekan di pipi kanan dan punggung kaki kanan akibat kekerasan tumpul yang tidak
menyebabkan penyakit/halangan dalam menjalankan pekerjaan / jabatan pencaharian.
Demikian visum et repertum ini dibuat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan
kedokteran dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan UU no.8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
Jakarta, 11 Juni 2003
Dokter Pemeriksa,

98

Contoh Visum et Repertum 2


Nma sarana kesehatan
Nomor
:
/PKT/06/2003
Lampiran
: -.Perihal
: Hasil Pemeriksaan atas _____
PRO JUSTITIA

Jakarta, Juni 2003

VISUM ET REPERTUM
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, ......., dokter pada nama sarana kesehatan,
atas permintaan tertulis dari Kepolisian Resort Metro Jakarta Timur dengan suratnya
tertanggal 11 Juni 2003 nomor :......., maka pada tanggal sebelas Juni tahun dua ribu
tiga, pukul sebelas waktu indonesia barat, telah memeriksa seorang korban yang
menurut surat tersebut adalah :
Nama
Umur
Jenis kelamin
Warganegara
Pekerjaan
Agama
Alamat

: mmmm
: 7 tahun
: Perempuan
: Indonesia
: Pelajar
: ....
:

Tercatat sebagai pasien dengan nomor registrasi 003.980000, orang tersebut datang
diantar oleh anggota Kepolisian Resort Jakarta Barat, Sektor Tanjungduren, nama .....
pangkat ...... NRP ......
Saksi selama pemeriksaan adalah ...............
Hasil Pemeriksaan
1. Korban datang dalam keadaan sadar, dengan keadaan umum baik, penampilan
umum/sikap tenang, pakaian rapi.
2. Korban mengaku disetubuhi pada tanggal ....... kurang lebih pukul 02.00 wib .
Sebelumnya ia diancam akan dibunuh apabila tidak mau. Ia tidak mengalami
kekerasan fisik ataupun diberi minum/makan sesuatu sebelumnya.
3. Pada tubuh korban tidak ditemukan luka ataupuin cedera (tanda kekerasan).
4. Pada pemeriksaan genitalia
Terdapat darah disekitar bibir kemaluan dan mulut vagina, tampak luka lecet di
pertemuan bibir kemaluan bagian belakang (posterior fourchette), ukuran satu
sentimeter kali setengah sentimeter. Selaput dara berbentuk anuler, terdapat
robekan baru pada tempat yang sesuai dengan arah jam tiga dan sembilan, yang
mencapai dasar. Bagian dalam kemaluan tidak ada kelainan. Daerah anus dan
sekitarnya tidak terdapat kelainan.
5. Pemeriksaan laboratorium terhadap sediaan hapus vagina:
Fosfatase asam positip, berberio/Florence positip, sperma positip.
Gonorrhoe negatip.
KESIMPULAN
Korban adalah seorang anak perempuan yang menurut surat keterangan penyidik
berumur tujuh tahun. Pada pemeriksaan ditemukan luka lecet di bagian belakang bibir
kemaluan dan robekan baru pada selaput dara akibat kekerasan tumpul yang melalui

99

liang senggama (penetrasi). Selain itu tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada
bagian tubuh lainnya. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan tanda-tanda
persetubuhan baru.
Demikian visum et repertum ini dibuat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan
kedokteran dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan UU no.8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
Jakarta, 11 Juni 2003
Dokter Pemeriksa,

Dr. .
.

100

Anda mungkin juga menyukai