Buku Bacaan Lengkap Pelatihan KtA (Kekerasan Terhadap Anak) PDF
Buku Bacaan Lengkap Pelatihan KtA (Kekerasan Terhadap Anak) PDF
Kata Pengantar
Pertama-tama puji syukur kami persembahkan kepada Allah yang maha besar dan
maha kuasa sehingga atas ijinNya maka buku Panduan Pelatihan tentang Deteksi Dini
dan Penatalaksanaan Child Abuse and Neglect untuk para Profesional Kesehatan
dapat diterbitkan setelah melalui masa pembuatan yang hampir satu tahun lamanya.
Istilah Child Abuse and Neglect telah dicari padanannya dalam bahasa Indonesia,
seperti kekerasan dan penelantaran terhadap anak, penderaan dan penelantaran
terhadap anak, atau penganiayaan dan penelantaran terhadap anak, namun masingmasing istilah tersebut memiliki kelemahan pengertian, sehingga diputuskan oleh
kelompok kerja untuk tetap menggunakan istilah aslinya dan disingkat menjadi CAN.
Kelompok kerja penyusun buku ini terdiri dari para dokter dari Ikatan Dokter Indonesia
(IDI), ahli hukum, perwakilan dari Departemen Kesehatan dan dari PPNI, serta didukung
oleh pakar pelatihan / aktivis hak anak dan pakar perlindungan anak dari UNICEF.
Kelompok kerja tersebut mengembangkan buku panduan pelatihan melalui studi
literatur, diskusi kelompok, Workshop Nasional dengan menghadirkan berbagai pakar
dan pemerhati masalah CAN, uji coba pelatihan di Surabaya dan di Jakarta, serta uji
training of trainers (TOT) di Karawaci. Masukan yang sangat berharga diperoleh dari
para pakar dan pemerhati tersebut di atas dan juga dari pakar psikologi pelatihan Unicef
Amanda M. dan Bernadette J Madrid, MD direktur eksekutif Child Protection Unit Public
General Hospital di Manila.
Oleh karena itu dalam kesempatan ini kami sebagai kelompok kerja penyusun buku
menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada banyak pihak, yang pada
dasarnya adalah para pembela Hak Anak dan aktivis Perlindungan Anak, yang telah
menyumbangkan pikiran, keahlian dan pengalamannya dari berbagai sudut sehingga
kami berhasil menyelesaikan tugas ini. Perhargaan dan terima kasih juga kami
sampaikan kepada rekan-rekan dari Unicef Jakarta oleh karena buku ini tidak mungkin
terbit tanpa dukungan dan komitmen dari mereka.
Buku Panduan Pelatihan ini diharapkan menjadi awal dari suatu langkah besar yang
harus kita laksanakan, yaitu terbentuknya suatu Sistem Perlindungan Anak di seluruh
wilayah negara Republik Indonesia. Kami mengharapkan agar buku Pedoman Pelatihan
ini benar-benar dapat diterapkan dalam pelatihan-pelatihan bagi para profesional di
bidang kesehatan, sehingga akan terbentuk armada tenaga kesehatan yang memahami
hak anak dan CAN, sebagai bagian dari profesional multidisiplin pelindung anak
Indonesia, yang bertekad untuk mempromosikan hak dan perlindungan anak serta
mencegah dan menatalaksana korban CAN secara tepat.
Melindungi Anak Indonesia adalah menciptakan Masa Depan Indonesia
Jakarta, Januari 2004.
Penasehat Teknis :
Yan Prasetio
Bambang Permono
Penasehat Pelatihan :
Mansour Fakih
Departemen Kesehatan :
Regina Penina
Asisten:
Oktavinda Safitry
Daftar Isi
Halaman
Kata Pengantar
Daftar isi
Pendahuluan
Bab I.
5
5
11
14
19
23
25
36
39
44
44
47
49
55
55
59
64
BAB V. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan Psikososial
Asuhan Keperawatan
Sistim Rujukan
Pendekatan Multidisiplin
66
66
66
68
73
75
Kepustakaan
79
Pendahuluan
Buku II dari Panduan Pelatihan tentang Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Child Abuse
and Neglect untuk para Profesional Kesehatan adalah buku bahan bacaan yang
berisikan tentang materi Child Abuse and Neglect (CAN) sebagai kelengkapan dari
Panduan pelatihan itu sendiri.
Buku bahan bacaan ini tidak dimaksudkan sebagai suatu buku teks, melainkan hanya
memberikan bahan bacaan yang esensial saja mengenai CAN yang harus diketahui
secara ringkas guna dapat mengikuti Pelatihan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa buku bahan bacaan ini merupakan komplemen dari Buku Panduan Pelatihan
yang wajib dibaca sebelum mengikuti pelatihan. Tanpa membaca buku bahan bacaan
ini maka pelatihan menjadi tidak berisi.
Buku bahan bacaan ini secara sistematis menguraikan CAN mulai dari pemahaman
awalnya, seperti pengertian anak, hak anak, perlindungan anak, dan CAN, kemudian
tentang aspek etik dan hukum yang terkait, serta sistem perlindungan anak, baik yang
berlaku di Indonesia sekarang dan masa yang akan datang berdasarkan UU
Perlindungan Anak, maupun sistem tersebut di negara tetangga.
Selanjutnya sebelum mempelajari secara rinci CAN, buku ini mengupas tentang tumbuh
kembang anak dan kaitannya dengan CAN, faktor risiko atau indikator risiko, serta
dampak CAN terhadap tumbuh kembang anak.
CAN sendiri dibahas ciri-cirinya untuk dapat dideteksi secara dini, apa pemeriksaan
yang diperlukan dan bagaimana pelaksanaannya, mulai dari teknik wawancara,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan ginekologis bila diperlukan, pemeriksaan penunjang
yang diperlukan, hingga ke pemeriksaan status mental pasien. Guna memperjelas
gambaran besar pemeriksaan, buku ini juga memaparkan foto-foto contoh kasus yang
diambil dari pengalaman penyusun dan dari berbagai kepustakaan. Interpretasi hasil
pemeriksaan medikolegal untuk kepentingan pembuktian di sistem peradilan Indonesia
juga dibahas.
Buku ini juga menawarkan suatu bentuk rekam medis yang khusus, yang di dalam
praktek akan dapat memberikan arahan tentang informasi apa saja yang sebaiknya
diperoleh dan didokumentasikan. Rekam medis khusus tersebut merupakan tambahan
dari rekam medis umum yang biasa digunakan di dalam sarana kesehatan tempat
pemeriksaan dilakukan.
Akhirnya dalam bahan bacaan ini juga dikupas penatalaksanaan korban CAN yang di
dalamnya termasuk sistem rujukan dan pelaporannya. Penatalaksanaan korban
dilakukan secara multidisipliner, melibatkan berbagai disiplin ilmu dan profesi yang
pada garis besarnya diuraikan dalam penatalaksanaan medis, psikososial dan asuhan
keperawatannya.
BAB I
CHILD ABUSE AND NEGLECT (CAN)
DAN ASPEK HUKUMNYA
PENGERTIAN
Anak, Hak Anak dan Perlindungan Anak
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan, demikian disebutkan di dalam Pasal 1 UU No 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Sayangnya dalam UU tersebut belum dijelaskan
apakah status seorang anak yang belum berusia 18 tahun tetapi telah menikah, dan
bagaimana pula bila ia kemudian telah bercerai.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha
Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat,
dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan
bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 45, Konvensi Hak Anak dan
UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung-jawab untuk menjaga dan
memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.
Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan
pemerintah bertanggung-jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak,
terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan
terarah.
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin
dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Bertitik tolak dari konsepsi
perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, kewajiban memberikan
perlindungan anak didasarkan atas asas-asas : non diskriminatif, kepentingan yang
terbaik bagi anak, hak untuk hidup kelangsungan hidup dan perkembangan, dan
penghargaan terhadap pendapat anak.
Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana telah diamandemen hingga tahun 2002,
telah memberikan perlindungan kepada setiap orang, termasuk anak-anak, atas hakhaknya yang asasi, yang diantaranya adalah sebagai berikut:
Pasal 28B ayat (2) : Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Pasal 28D ayat (1) : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum
Pasal 28G ayat (1): Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuatt atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi; ayat (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28H ayat (1): Setiap orang behak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan
Pasal 28I ayat (1): Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun; ayat
(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindunagn terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.
Pasal 34: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara
Konvensi Hak Anak disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tanggal 20 November 1989 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No 36
tahun 1990. Dalam Konvensi Hak Anak, anak didefinisikan sebagai setiap orang yang
berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak
ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Sementara itu, KUH Perdata
menyatakan bahwa seseorang menjadi dewasa apabila telah pernah menikah meskipun
usianya belum cukup 18 tahun.
Konvensi menghormati hak-hak anak dan perlindungan terhadap anak, pentingnya
peran keluarga, serta pengembangan sumber daya untuk kepentingan anak. Pasal 18
mengharuskan negara-negara peserta untuk melakukan upaya-upaya yang menjamin
agar kedua orang tua bertanggungjawab bersama untuk membesarkan dan
mengembangkan anak dan kepentingan terbaik anak akan dijadikan perhatian
utamanya.
Sementara itu pasal 19 secara khusus menyebutkan perlunya upaya untuk melindungi
anak dari kekerasan, penyalahgunaan, penelantaran dan eksploitasi, serta menguraikan
langkah-langkah dalam mencapai perlindungan tersebut. Pasal-pasal lainnya
menekankan pentingnya peran komunitas pelayanan kesehatan di dalam pemantauan
dan pelaporan kekerasan terhadap anak. Untuk itu WHO telah merekomendasikan
intervensi praktisnya.
Bidang lain yang berkaitan dengan anak dengan kecacatan, tanggungjawab orangtua,
eksploitasi anak, anak-anak dalam daerah konflik bersenjata, rehabilitasi anak dan lainlain diuraikan dalam pasal yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup, tumbuhkembang dan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
Dalam membahas berbagai hak dan tanggungjawab, Konvensi menegaskan bahwa
hak-hak tersebut merujuk kepada childs social, spiritual and moral well being and
physical and mental health and to achievement of fullest possible individual development
in all areas (kondisi sosial,spiritual dan moral anak serta kondisi fisik dan mental yang
baik yang memungkingkan anak mampu mengembangkan diri sesuai kemampuan
dengan sebaik-baiknya di segala bidang).
Kesadaran akan faktor budaya harus tetap tinggi karena budaya mempengaruhi semua
segi dari suatu masalah, mulai dari kejadian dan pengertian kekerasan terhadap anak,
hingga penatalaksanaan dan perlindungannya. Semua tindakan dalam bentuk
pengumpulan data, perlindungan dan peningkatan kesadaran masyarakat harus
memperhatikan lingkungan budaya.
Latar belakang keadaan yang diluar kendali keluarga seperti kemiskinan,
keterjangkauan layanan kesehatan, nutrisi yang tak adekuat, ketidaktersediaan sarana
pendidikan dapat menjadi faktor kontribusi terjadinya kekerasan dan penelantaran
terhadap anak. Demikian pula ketidakstabilan politik, konflik bersenjata, dan perang.
Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah banyak
menyerap ketentuan di dalam UUD 45 dan Konvensi Hak Anak. Undang-Undang ini
memiliki asas-asas : non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk
hidup-kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat
anak.
Dalam Undang-undang ini tidak hanya hak anak yang diatur, melainkan juga kewajiban
anak, kewajiban dan tanggung-jawab negara, kewajiban dan tanggungjawab
masyarakat, serta kewajiban dan tanggung jawab orangtua. UU juga mengatur tentang
pengasuhan, perwalian dan pengangkatan anak. Anak dilindungi di bidang agama,
kesehatan, pendidikan, sosial dan perlindungan khusus pada keadaan-keadaan
tertentu.
Perlindungan khusus dimaksudkan untuk melindungi anak dalam situasi darurat, anak
yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya,
anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik
dan/atau mental, anak penyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan
penelantaran.
Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan yang menjadi korban tindak pidana
diatur dalam pasal 64 ayat (3) melalui upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di
luar lembaga, upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi, pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan
saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial, dan pemberian aksesibilitas untuk
mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan anak,
anak korban kekerasan, anak korban perlakuan salah dan penelantaran, dilakukan
melalui berbagai upaya seperti sosialisasi peraturan perundang-undangan,
pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi, baik dilakukan
oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
Dalam Pedoman Pelatihan ini tetap digunakan istilah child abuse and neglect yang
bila diindonesiakan menjadi kekerasan terhadap anak. Istilah kekerasan terhadap anak
memang dianggap telah mewakili segala kekerasan, baik fisik, seksual, emosional,
ataupun penelantaran, namun kurang mencerminkan sifat perlakuan salah atau
penyalahgunaan anak, dimana terdapat hubungan khas antara pelaku dengan
korbannya. Meskipun harus diakui pula bahwa kekerasan terhadap anak dengan sifat
khusus tersebut sudah termasuk ke dalam pengertian kekerasan terhadap anak yang
lebih umum sifatnya.
Di dalam Pedoman Pelatihan ini pengertian CAN adalah mengacu definisi WHO:
Child abuse and neglect adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara
fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi
komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera/ kerugian nyata
ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuhkembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan
tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Physical abuse terhadap anak adalah kekerasan yang mengakibatkan cedera
fisik nyata ataupun potensial terhadap anak, sebagai akibat dari interaksi atau
tidak adanya interaksi, yang layaknya berada dalam kendali orang tua atau
orang dalam posisi hubungan tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Orang tua ataupun pengasuh dapat memiliki atau tidak memiliki niat untuk
menyakiti anaknya, atau cedera dapat pula merupakan hasil dari hukuman
disiplin yang berlebihan.
Sexual abuse terhadap anak adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual,
dimana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi
persetujuan, atau oleh karena perkembangannya belum siap atau tidak dapat
memberi persetujuan, atau yang melanggar hukum atau pantangan masyarakat.
Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak
dengan orang dewasa atau anak lain yang baik dari usia ataupun
perkembangannya memiliki hubungan tanggungjawab, kepercayaan atau
kekuasaan; aktivitas tersebut ditujukan untuk memberikan kepuasan bagi orang
tersebut.
Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi,
pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan
kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan
(molestation, fondling), memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain,
hubungan seksual, incest, perkosaan, dan sodomi.
Emotional abuse terhadap anak adalah meliputi kegagalan penyediaan
lingkungan yang mendukung dan memadai bagi perkembangannya, termasuk
ketersediaan seorang yang dapat dijadikan figure primer, sehingga anak dapat
berkembang secara stabil dan dengan pencapaian kemampuan sosial dan
emosional yang diharapkan sesuai dengan potensi pribadinya dan dalam
konteks lingkungannya. Kekerasan emosional dapat juga merupakan suatu
perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat mungkin akan
mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual,
moral dan sosial. Perbuatan-perbuatan tersebut harus dilakukan dalam kendali
orang tua atau orang lain dalam posisi hubungan tanggung-jawab, kepercayaan
atau kekuasaan terhadap si anak.
10
Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar,
baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial;
Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan;
Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk
diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan,
karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin
tumbuh kembang anak secara wajar;
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi,
dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara;
Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional
dalam bidangnya;
11
12
13
menangani CAN. Dalam hal ini anak adalah pasiennya, sehingga segala yang
terbaik buat si anak adalah perhatian utama dokter.
Dalam menemukan kasus CAN, tindakan dini yang dilakukan dapat meliputi: (a)
melaporkan kasus tersebut ke Komisi Perlindungan Anak, (b) merawat inap korban
CAN yang membutuhkan perlindungan pada tahap evaluasi awal, dan (c)
memberitahukan diagnosis dan diferensial diagnosis anak kepada orang tua anak
secara obyektif tanpa bersifat menuduh.
Evaluasi medis pada kasus dugaan kekerasan fisik terhadap anak sebaiknya
meliputi: (a) riwayat cedera, (b) pemeriksaan fisik, (c) survei radiologis terhadap
trauma, (d) pemeriksaan kelainan perdarahan, (e) pemotretan berwarna, (f)
pemeriksaan fisik saudara kandungnya, (g) laporan medis tertulis resmi, (h) skrining
perilaku, (i) skrining tumbuh kembang pada bayi dan anak pra-sekolah.
Disebutkan pula bahwa penanganan medis kasus kekerasan seksual terhadap anak
meliputi 3 hal: (a) pengobatan trauma fisik dan psikologis, (b) pengumpulan dan
pemrosesan bukti (evidence), dan (c) penanganan dan/atau pencegahan kehamilan
dan penyakit hubungan seksual.
Pasal 108 KUHAP memberikan hak kepada setiap orang untuk melaporkan adanya
tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) apabila ia mengetahuinya
sebagai saksi, dan memberikan kewajiban bagi pegawai negeri yang mengetahui
adanya tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) pada waktu ia
menjalankan tugasnya.
Pasal 78 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan
ancaman pidana bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak
dalam situasi darurat (termasuk anak korban kekerasan) padahal anak tersebut
memerlukan pertolongan dan harus dibantu.
Baik pasal dalam KUHAP maupun pasal dalam UU No 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak di atas memang belum secara tegas mewajibkan kepada setiap
orang untuk melaporkan kasus kekerasan terhadap anak, namun secara implisit
telah menyatakannya demikian. UU No 23 tahun 2002 misalnya, kata-kata
membiarkan anak dalam situasi darurat dapat dianggap telah mencakup
membiarkan dengan tidak melaporkannya kepada pihak yang seharusnya atau
seyogyanya dilapori.
Akhirnya, dengan merangkainya dengan isi pernyataan WMA di atas, maka dapatlah
dikatakan bahwa adalah kewajiban moral dan hukum bagi para profesional
kesehatan yang mengetahui adanya korban kekerasan terhadap anak, untuk
menindaklanjutinya sesuai prosedur termasuk melaporkannya ke Komisi
Perlindungan Anak setempat.
14
15
Family assessment
Perencanaan kasus
Kasus ditutup
16
Identifikasi
Langkah awal sistem respons perlindungan anak adalah adanya proses identifikasi
adanya kemungkinan terjadinya kasus CAN. Proses ini dapat dilakukan oleh kalangan
profesional medis, pengajar dan pendidik, pengasuh anak, profesional di bidang
kesehatan mental, profesional penegak hukum, agamawan, dan profesional lainnya
yang dalam posisi dapat melakukan pengamatan terhadap anak atau keluarga tertentu.
Bahkan orang awampun, seperti anggota keluarga yang lain, teman atau tetangga,
dapat melakukan tindakan identikasi ini.
Luasnya spektrum proses identifikasi ini mengharuskan para profesional kesehatan
untuk dapat mengenali indikator-indikator CAN, faktor-faktor risiko terjadinya CAN serta
dampak CAN bagi anak, keluarga dan bagi masyarakat. Adanya kampanye yang
meningkatkan kesadaran masyarakat akan CAN beserta aspek terkait akan
menajamkan proses identifikasi kasus CAN.
Pelaporan
Tahap berikutnya adalah pelaporan (reporting). Pada tahap ini, unsur hukum dalam arti
keberadaan peraturan perundang-undangan beserta petunjuk pelaksanaannya, sangat
bermakna peranannya. Kajian hukum di bidang CAN, baik skala lokal, regional, nasional
maupun internasional mutlak dikuasai dan dikaji lebih dalam. Di negara maju, tindakan
pelaporan yang berdasarkan hukum sudah begitu memasyarakat, baik dalam hal
prosedur pelaporan, substansi pelaporan, kepada siapa melaporkan, perlindungan
hukum bagi orang yang melaporkan atas itikad baik, maupun adanya sanksi hukum bagi
orang yang tidak melaporkannya.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, UU No 23 tahun 2002 telah mengancam
dengan hukuman bagi mereka yang membiarkan anak dalam situasi darurat dapat
dianggap juga mengancam mereka yang membiarkan dengan tidak melaporkannya
kepada pihak yang seharusnya atau seyogyanya dilapori. Sayangnya memang
petunjuk pelaksanaan wajib lapor ini masih belum diuraikan secara panjang lebar,
seperti pada kasus apa seseorang harus melapor, kapan harus melapor, kepada siapa
melapornya, apa yang harus dilaporkannya, bagaimana bila profesinya mempunyai
wajib simpan rahasia, bagaimana perlindungan hukumnya dan bagaimana respons
institusi yang dilaporinya.
Setelah melalui tahap pelaporan, idealnya kasus CAN akan berlanjut ke arah tahapan
yang relatif sama.
Masukan / Intake
Masukan / Intake merupakan tahapan dimana sebuah laporan kecurigaan kasus CAN
diterima oleh suatu lembaga penyedia CPS (Child Protection Service) yang telah
ditunjuk resmi oleh pemerintah setempat berdasarkan undang-undang. Di Indonesia,
lembaga tersebut mungkin adalah KPAI atau LPA, baik di tingkat pusat ataupun di
daerah.
Pada tahap masukan ini harus dibuat dua keputusan primer, yaitu:
1. Apakah laporan atau informasi tersebut memenuhi kriteria sebagaimana dalam
pedoman? Keputuan ini harus diambil setelah melalui 3 langkah penting, yaitu
pengumpulan informasi dari pelapor, evaluasi informasi untuk menentukan apakah
memenuhi peraturan perundang-undangan dan pedoman lembaga penyedia CPS,
dan penilaian atas kredibilitas pelapor;
2. Seberapa darurat (urgent) untuk memperoleh rujukan? Hal ini ditentukan oleh
keparahan cedera dan / atau tingkat risiko mengakibatkan cedera bagi anak. Apabila
kasus dinyatakan berrisiko tinggi maka lembaga CPS harus melaksanakan respons
segera.
17
Di beberapa negara maju, time respons tindakan intake ini untuk kasus yang tergolong
risiko tinggi umumnya tidak lebih dari 24 jam setelah adanya pelaporan.
Penilaian awal dan Penyelidikan (Initial Assessment / Investigation)
Initial assessment dari sebuah kasus CAN juga secara umum dapat dikatakan sebagai
proses investigasi. Profesional penegak hukum dan petugas lembaga CPS akan
mengawali tindakan ini, yang secara simultan akan didukung oleh profesional lain yang
bekerja sesuai disiplin bidangnya masing-masing. Setiap kasus akan bersifat sangat
individual meskipun berasal dari suatu komunitas yang sama dengan kasus lainnya.
Apabila semua profesioanal dari segala disiplin bekerja dibawah satu atap, maka
tahapan ini akan berlangsung cepat, efektif dan lebih terfokus.
Isu penting yang harus dinilai pada tahap ini adalah antara lain:
e) Apakah anak mengalami CAN yang memenuhi UU 23 tahun 2002?
f) Apakah telah terjadi tindak pidana?
g) Apakah orang tua atau wali bertanggungjawab?
h) Siapakah tersangka pelakunya?
i) Apakah saksi-saksi yang mendukung ditemukan?
j) Apakah barang bukti yang mendukung diperoleh dan disimpan?
k) Apakah terdapat korban lain?
l) Apakah abuse atau penelantaran masih akan terjadi di kemudian hari?
m) Apakah terdapat bukti yang cukup untuk menahan tersangka?
n) Apakah anak dalam keadaan aman sekarang? Bila tidak, perlukah dilakukan
tindakan perlindungan (protective custody)?
o) Adakah kebutuhan darurat keluarga?
p) Apakah diperlukan layanan khusus terhadap anak dan keluarga untuk
memastikan tidak terjadinya kejadian serupa atau lanjutan?
Penilaian keluarga (Family Assessment)
Apabila adanya unsur CAN sudah dapat dipastikan, maka proses selanjutnya adalah
memasuki tahapan tindakan pengamanan korban dan tindakan suportif untuk keluarga
maupun komunitas disekelilingnya. Tujuan dari tahapan ini adalah mengetahui sebisa
mungkin secara lengkap dan jelas proses kejadian CAN, dampak dan faktor-faktor yang
memberikan kontribusi terhadap terjadinya CAN. Dengan demikian tindakan treatment
atau intervensi nantinya menjadi lebih tepat.
Keputusan dan pertimbangan yang diharapkan pada tahap ini adalah:
a) Apakah sifat, besaran dan penyebab faktor kontribusi dari risiko terjadinya CAN?
b) Apakah dampak CAN dan apakah penanganan diperlukan bagi semua anggota
keluarga?
c) Apakah kekuatan individu dan keluarga yang dapat dimanfaatkan dalam proses
intervensi keluarga?
d) Kondisi atau perilaku apakah yang harus diubah untuk menurunkan risiko CAN?
e) Bagaimanakah prognosis bagi perubahan tersebut?
Informasi diperoleh melalui wawancara dan pengamatan atas seluruh anggota keluarga,
menggunakan alat evaluasi lain, dan melihat catatan lembaga lain (CPS atau sekolah).
Hasil akhir yang diharapkan dalam tahap ini adalah kesepahaman yang menguntungkan
antara petugas lembaga CPS, penyelenggara pelayanan masyarakat dan keluarga,
berkaitan dengan kebutuhan utama yang harus diperhatikan dan kekuatan keluarga
yang harus dibangun.
18
19
20
PERAN DAN TANGGUNGJAWAB BERBAGAI KELOMPOK PROFESI DALAM MENANGGAPI CHILD ABUSE AND NEGLECT
Identifika-si
Masukan,
Family
ManajeTatalaksa
Persidang- Pencegah- Pencegahdan
initial
assesment
men kasus
na dan
an
an
an primer
pelaporan
assesmen
dan peevaluasi
sekunder
t, investirencanaan
kasus
dan pergasi
kasus
tolongan
sendiri
Agensi CPS
lokal
Sistem
penatalaksa
naan
kesehatan
Sistem
kesehatan
mental
Pemimpin
Peningkat
an sumber
daya,
evaluasi
dan
pelatihan
Pemimpin
Pemimpin
Pemimpin
Penyedia
Penyedia
Penyedia
Pemimpin
Pemimpin
Penyedia
Penganjur
Pemimpin
Penganjur
Pemimpin
Pemimpin
Pemimpin
Pemimpin
Penyedia
Penganjur
Pemimpin
Penganjur
Pemimpin
Pemimpin
Pemimpin
Sistem
pendidikan
Pemimpin
Penyedia
Penganjur
Pemimpin
Penganjur
Pemimpin
Pemimpin
Pemimpin
Sistem
hukum
Pemimpin
Penyedia
Penganjur
Penganjur
Pemimpin
Penganjur
Penyedia
Pemimpin
Sistem
Pemimpin
Penyedia*
Penyedia
Penganjur
Penganjur
Penyedia
Penyedia
Penyedia
Pemimpin
aparat
penegak
hukum
Pelayanan
pemimpin
Penganjur
Pemimpin
Pemimpin
Penyedia
Penyedia
pendukung
Definisi
Pemimpin: bertanggungjawab untuk memulai aksi dan/atau mengkoordinasikan kegiatan, termasuk fungsi penyediaan dan penganjuran
Penyedia: bertanggungjawab untuk partisipasi dalam aksi yang berhubungan dengan fungsi ini termasuk fungsi pengankur
Penganjur: bertanggungjawab untuk memberikan masukan sehubungan dengan aksi kegiatan dalam fungsi ini
* pada yurisdiksi tertentu, aparat penegak hukum memiliki peran sebagai pemimpin besama-sama dengan agensi CPS sebagai asisten
dalam proses investiasi terutama dalam kasus abuse fisik dan seksual.
21
menyelenggarakan investigasi terhadap laporan adanya CAN. Jika ada kecurigaan telah
terjadi tindak pidana; mengumpulkan barang bukti fisik; menentukan apakah bukti-bukti
telah cukup untuk mengajukan tersangka ke pengadilan; meng-asistensi adanya
kebutuhan untuk melindungi dan memberikan keamanan pada anak; memberikan
perlindungan pada staf sistem perlindungan anak apabila keamanan pekerja kasus
terancam jika terjadi konfrontasi dengan pelaku kekerasan; mendukung korban dalam
melalui proses pengadilan; dan berpartisipasi dalam kegiatan tim multidisiplin.
Pendidik
Kepala sekolah, guru, konselor/guru BP, dan staf sekolah lainnya serta pendidik di
tingkat pra-sekolah berperan penting dalam lingkup sistem perlindungan anak. Mereka
bertanggung jawab dalam mengidentifikasi dan melaporkan kecurigaan CAN dalam
keluarga; mengenali dan melaporkan CAN yang terjadi di sekolah; membangun
peraturan sekolah /program sekolah untuk pelaporan segera CAN dan kekerjasama
dalam investigasi dalam Sistem Perlindungan Anak.
Setelah melaporkan, mereka tetap memberikan informasi pada CPS terhadap
perubahan atau perkembangan perilaku dan kondisi anak; memberikan input layanan
diagnosis dan tatalaksana; mendukung anak dalam melewati peristiwa-peristiwa yang
potensial membawa trauma pada anak, seperti pemberian kesaksian di pengadilan dan
pada saat penempatan di rumah penampungan sementara; memberikan tatalaksana
pada orangtua dalam bentuk program sekolah atau self-help groups; membangun dan
melaksanakan program pencegahan bagi anak dan orangtua; dan bergabung dalam tim
multidisiplin penanganan CAN.
Pemberi Layanan Kesehatan
Dokter, perawat, dan staf kesehatan lainnya memainkan peran penting dalam sistem
perlindungan anak di setiap komunitas. Peran kunci pemberi layanan kesehatan
termasuk mengidentifikasi dan melaporkan kecurigaan kasus CAN; mendiagnosis dan
melakukan tatalaksana (medis dan psikiatris) bagi anak korban CAN dan keluarganya;
memberikan konsultasi pada CPS menyangkut aspek medis CAN; berpartisipasi dalam
tim konsultan kasus multidisiplin dalam masyarakat; memberikan kesaksian ahli pada
proses pengadilan perlindungan anak; memberikan pendidikan bagi orangtua mengenai
kebutuhan, cara menjaga, dan tatalaksana anak; mengenali dan memberikan dukungan
bagi keluarga yang memiliki faktor risiko CAN; membangun dan melaksanakan program
pencegahan primer; dan memberikan pelatihan bagi tenaga profesional medis dan
nonmedis menyangkut aspek medis CAN.
Tenaga Profesional Kesehatan Mental
Layanan kesehatan mental adalah PREREQUISITE untuk semua sistem komunitas
yang dibuat untuk mencegah dan menatalaksana CAN. Psikiater, psikolog, pekerja
sosial, dan tenaga profesional kesehatan mental lainnya harus mampu mengenali dan
melaporkan kasus yang dicurigai CAN; melakukan evaluasi yang diperlukan bagi anak
korban CAN dan keluarganya; memberikan terapi pada anak koban CAN dan
keluarganya; memberikan konsultasi klinis pada CPS; memberikan kesaksian ahli pada
proses pengadilan perlindungan anak; menyelenggarakan self-help groups untuk
orangtua yang menjadi pelaku atau memiliki risiko melakukan CAN pada anaknya;
membentuk dan melaksanakan program pencegahan; dan berpartisipasi dalam tim
multidisiplin.
22
23
BAB II
TUMBUH KEMBANG DAN
SIKLUS KEHIDUPAN ANAK
TUMBUH KEMBANG
Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup 2 peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi
saling berkaitan. Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah,
ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu. Dapat diukur dengan ukuran
berat (gram, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang, dan lain-lain.
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang
lebih kompleks dalam pola yang teratur, termasuk aspek sosial atau emosional akibat
pengaruh lingkungan.
Pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik, sedangkan
perkembangan berkaitan
dengan fungsi pematangan intelektual dan emosional
individu. Proses ini terjadi atau berlangsung sejak saat konsepsi (pembuahan) sampai
akhir masa adolesen. Proses ini memerlukan waktu 18 tahun 40 minggu.
24
Ibu,
Pengganti Ibu
25
26
27
Umur
4 bulan
5 bulan
5 bulan
6 bulan
7 bulan
8 bulan
8 bulan
9 bulan
12 bulan
14 bulan
16 bulan
20 bulan
27 bulan
lahir
2 bulan
5 bulan
MOTORIK HALUS
- telapak tangan terbuka
- menyatukan kedua tangan
- memindahkan benda antara ke dua tangan
- meraih unilateral
- pincer grasp imatur
- pincer grasp matur dengan jari
- melepaskan kubus di bawah gelas
3 bulan
4 bulan
5 bulan
6 bulan
9 bulan
11 bulan
12 bulan
MENGGAMBAR
- mencoret
- meniru membuat garis
- membuat garis spontan
- membuat garis horizontal & vertikal
- meniru membuat lingkaran
- membuat lingkaran spontan tanpa melihat contoh
12 bulan
15 bulan
18 bulan
25-27 bulan
30 bulan
3 tahun
PEMECAHAN MASALAH
- memeriksa benda
- melemparkan benda
- membuka penutup mainan
- meletakkan kubus di bawah gelas
7-8 bulan
9 bulan
10 bulan
11 bulan
MELAKSANAKAN TUGAS
- memasukkan biji ke dalam botol
- melepaskan biji dengan meniru
- melepaskan biji spontan
12 bulan
14 bulan
16 bulan
28
15 bulan
16 bulan
2 tahun
2 tahun
3 tahun
4 tahun
6 tahun
MAKAN
- makan biskuit yang dipegang
- minum dari gelas sendiri/menggunakan sendok
9 bulan
12 bulan
BERPAKAIAN
- membuka baju sendiri
- memakai baju
- membuka kancing
- memasang kancing
- mengikat tali sepatu
24 bulan
36 bulan
36 bulan
48 bulan
60 bulan
Perkembangan Bahasa
Fungsi berbahasa merupakan proses paling kompleks di antara fase perkembangan.
Perkembangan kemampuan berbahasa memerlukan fungsi reseptif (pengertian) dan
ekspresif (reaksi). Bahasa reseptif adalah kemampuan anak untuk mengenal dan
bereaksi terhadap seseorang atau kejadian lingkungan. Bahasa ekspresif adalah
kemampuan anak mengutarakan pikirannya.
Tabel 3. Perkembangan fungsi berbahasa
Kemampuan berbahasa
Reaksi terhadap suara
Senyum sosial
Mengeluarkan suara agguu-aguu
Menggumam
Mengucapkan dadada, dada
Kata pertama yang benar
Kata kedua yang benar
Kata baru 4-6 kata
Menguasai 7 20 kata
Menguasai 50 kata, kalimat pertama (2 kata)
Kalimat terdiri dari 3 kata
Perbendaharaan sampai 14.000 kata, menyebut 3 kata sifat,
kegunaan benda, bicara sebagian / seluruhnya dimengerti,
menyebut 4 warna, menyebut jenis kegiatan
Pengertian akan bahasa lebih kompleks, ucapan dan nada
sudah lebih jelas dan bulat
Usia
0,5 bulan
5 minggu
2 bulan
6 bulan
8 bulan
11 bulan
12 bulan
12-15 vulan
16-17 bulan
18 30 bulan
2 3 tahun
3 5 tahun
6 tahun
29
Kemampuan emosional
Perilaku emosional
3 - > 4 bulan
7 12 bulan
1 2 tahun
Masa kanak
awal
2 5 tahun
3 6 tahun
7-11 tahun
30
Perilaku sosial
Bayi mengenali pengasuhnya melalui organ penciuman dan pendengarannya
6 mgg 8 bln
5 bln 1 thn
8 bln 2 thn
18 bln - 2 thn
Anak kembali lengket dengan orang tuanya, sudah terbentuk kelekatan yang mantap
dengan objek tertentu
0 1 tahun
Bayi mampu mengembangkan rasa percaya terhadap sekelilingnya berdasarkan sikap dan
perilaku pengasuhnya
Anak mampu berpisah dengan pengasuhnya jika diberikan alasan yang jelas
1 3 thn
Anak mulai mengembangkan rasa otonominya jika ia dibiarkan melakukan sesuatu tanpa
paksaan dan bantuan dari pengasuhnya
3- 6 thn
Anak mulai dapat berasumsi bahwa teman-temannya dapat merasakan apa yang ia rasakan
Perasaan anak tentang perlunya sesuatu mulai berkembang
Anak mulai membanding-bandingkan antara dirinya dengan teman-temannya
4 9 thn
Anak mulai dapat mengerti tentang berbagai sudut pandang dari satu hal yang sama
Anak mampu mengerti bahwa setiap orang mempunyai kebiasaan dan kesukaan yang
berbeda-beda
6-11 thn
7-12 thn
Remaja
11-19 thn
31
Kemampuan kognitif
Janin mampu belajar mengenali suara dan memberikan respons yang berbeda
setelah ia lahir
Bayi berpikir melalui mata, telinga dan perasaanya
Lahir 1 bulan
Bayi baru lahir mampu belajar membedakan antara belaian dengan isapan
1 4 bulan
4 8 bulan
Dapat mengingat hal-hal yang terjadi dalam kurun 1 bulan yang lalu
Dapat bermain dengan orang tuanya dalam mencari objek yang disembunyikan
8 12 bulan
12 18 bulan
18 bulan 2 tahun
Mulai mampu mempelajari dan mengerti akan berbagai simbul dalam kehidupan
sehari-hari
2 7 tahun
6-11 tahun
>11 tahun
32
Usia
4 tahun
4 7 tahun
7-11 tahun
Usia remaja
33
muncul dan berkembang dalam rentang usia kronologis yang lebar dan berbeda
menurut jenis kelaminnya.
Gambaran perkembangan remaja memperlihatkan hubungan yang lebih erat
dengan tingkat perkembangan pubertas atau tingkat maturitas kelamin (TMK, sex
maturity rating). Yang paling sering dipergunakan untuk menandai TMK adalah skema
Tanner. Tingkat TMK 1 dan 2 merupakan masa remaja awal, TMK 3 dan 4 masa remaja
menengah, dan TMK 5 adalah masa remaja lanjut dan maturitas seksual penuh (tabel 8
dan 9)
Tabel 8. Klasifikasi tingkat maturitas kelamin anak perempuan
TMK
1
2
3.
4.
5.
Rambut pubis
Pra remaja
Jarang,berpigmen
sedikit
Buah dada
,lurus,
atas
medial labia
Lebih hitam, mulai ikal, jumlah
bertambah
Kasar, keriting, banyak tapi belum
sebanyak dewasa
Bentuk
segitiga
seperti
pada
perempuan dewasa, tersebar sampai
pada medial paha
Pra remaja
Menonjol seperti bukit kecil,areola melebar
Payudara dan areola membesar, tak ada
kontur pemisah
Areola dan papila membentuk bukit kedua
Matang, papila menonjol, areola sebagai
bagian dari kontur buah dada
Rambut pubis
Tidak ada
Sedikit, panjang, pigmen sedikit
Sedikit, lebih gelap, mulai ikal
Seperti tipe dewasa tetapi lebih
sedikit, kasar, keriting
Seperti
dewasa,
menyebar
sampai medial paha
Penis
Pra remaja
Sedikit membesar
Lebih panjang
Testis
Pra remaja
Skrotum membesar, warna
merah muda
Lebih besar
Masa remaja awal (TMK 2) pada anak perempuan biasanya mempunyai awal
tumbuh antara usia 10 13 tahun, berlangsung selama 6 bulan sampai 1 tahun. Pada
anak lelaki awal tumbuh tersebut terjadi antara usia 10,5 15 tahun dan berlangsung
selama 6 bulan sampai 2 tahun. Masa remaja menengah anak perempuan timbul pada
usia 11 14 tahun yang berlangsung rata-rata 2-3 tahun. Pada anak lelaki masa remaja
menengah mulai usia 12 15,5 tahun dan berlangsung antara 6 bulan sampai 3 tahun.
Sedangkan masa remaja akhir atau lanjut anak perempuan rata-rata tercapai pada usia
antara 13 17 tahun, dan anak lelaki antara usia 14 16 tahun.
Tahapan tumbuh kembang remaja dibagi menjadi 3 tahapan yaitu remaja awal
(usia 10-13 tahun), remaja pertengahan (usia 14-16 tahun) dan remaja lanjut (usia 17-20
tahun). Perbedaan aspek tumbuh kembang masing-masing tahap dapat dilihat pada
tabel 10.
34
Remaja awal
10-13
1-2
karakteristik seksual
sekunder, percepatan
tumbuh
Seksual
tertarik
masalah
seksual
operasional
konkrit,
moral konvensional
Keluarga
ambivalen
Teman sebaya
Remaja menengah
14-16
3-5
percepatan tinggi
badan, bentuk tubuh,
jerawat, bau badan,
haid pertama, mimpi
basah
eksperimen
banyak bertanya,
berpihak pada diri
sendiri,
berusaha untuk
mendapat otonomi
Remaja lanjut
17-20
5
pertumbuhan
melambat
konsolidasi identitas
seksual
idealisme & absolut
35
36
BAB III
FAKTOR RISIKO DAN DAMPAK
CHILD ABUSE AND NEGLECT
FAKTOR RISIKO CAN
Faktor risiko (ISPCAN akhir-akhir ini menggunakan istilah indikator risiko) adalah faktorfaktor yang dapat berkontribusi untuk terjadinya suatu masalah atau kejadian. Variabel
dalam faktor risiko secara signifikan/bermakna mempunyai asosiasi dengan hasil akhir
yang buruk. Sedangkan dampak adalah hasil akhir dari suatu proses atau masalah.
Dampak dapat dibagi menjadi dampak langsung atau dampak tidak langsung; dampak
saat ini (akut) dan dampak jangka panjang (kronik)
Faktor-faktor risiko terhadap kejadian child abuse dapat ditinjau dari 3 aspek, yaitu faktor
masyarakat atau sosial, faktor orang tua atau situasi keluarga dan faktor anak. Faktorfaktor risiko tersebut adalah:
1. Faktor masyarakat / sosial
Tingkat kriminalitas yang tinggi
Layanan sosial yang rendah
Kemiskinan yang tinggi
Tingkat pengangguran yang tinggi
Adat istiadat mengenai pola asuh anak
Pengaruh pergeseran budaya
Stres para pengasuh anak
Budaya memberikan hukuman badan kepada anak
Pengaruh media massa
2.
37
Faktor anak
Prematuritas
Berat badan lahir rendah
Cacat
Anak dengan masalah perilaku / emosi
38
Faktor Sosiokultural
1. Nilai/ norma yang ada di
masyarakat
2. hubungan antar manusia
3. Kemajuan zaman: pendidikan,
hiburan, olahraga, kesehatan,
hukum, dsb
Stress berasal dari anak
1. Fisik berbeda
(mis: cacat)
2. Mental berbeda
(mis: retardasi)
3. Temperamen
berbeda (mis:
sukar)
4. Tingkah laku
berbeda (mis:
rehiperaktif)
5. Anak angkat/ tiri
6. dll
Stress keluarga
1. Kemiskinan,
pengangguran,
mobilitas isolasi,
perumahan tidak
memadai
2. Hubungan orangtuaanak, stress
perinatal, anak yang
tidak diharapkan,
prematuritas, dll
3. Perceraian
4. dll
1. Rendah diri
2. Waktu kecil
mendapat perlakuan
salah
3. Depresi
4. Harapan pada anak
yang tidak realistis
5. Kelainan karakter/
gangguan jiwa
6. dll
Situasi pencetus
-
Disiplin
Konflik keluarga/ pertengkaran
Masalah lingkungan yang
mendadak
penganiayaan
ketidakmampuan merawat
peracunan
teror mental
39
40
41
42
berlogika serta dapat memahami akibat jangka panjang dari konflik dan kekerasan
yang dialami.
Tidak seperti anak-anak, remaja pada umumnya tidak mengatasi stress dengan cara
berimajinasi atau bermain. Mereka sudah lebih mampu menceritakan kejadian yang
telah menimpa mereka, tetapi masih memerlukan bimbingan untuk dapat
mengeluarkan perasaannya secara terbuka. Mereka sudah mampu memikirkan apa
yang dapat dan tidak dapat dilakukan untuk merubah peristiwa yang sudah terjadi,
namun tetap ada rasa bersalah karena tidak berbuat sesuatu untuk mencegah
sesuatu yang buruk tidak terjadi.
Perilaku dan reaksi emosi yang harus diamati:
a. Merusak diri sendiri, remaja akan melakukan tindakan yang merusak diri sendiri
sebagai cara mengatasi rasa marah dan depresi. Setelah kejadian yang
menimbulkan stress, banyak remaja melakukan perbuatan yang berisiko tinggi
seperti berontak terhadap oarng-orang yang punya wibawa, menyalahgunakan
napza, bergabung dengan para pencuri dan menjarah. Remaja bisa memahami
sejauh apa akibat kekerasan yang akan mempengaruhi kehidupan mereka.
Mereka merasa diri mereka tidak kebal terhadap hal tersebut. Setelah kejadian
yang menimbulkan stress, mereka bisa menjadi tertutup, menarik diri, curiga
terhadap orang lain dan berpikir bahwa hal buruk akan menimpa mereka lagi.
b. Keluhan fisik yang tidak jelas penyebabnya, kecemasan yang terus menerus
serta kegugupan dan keluhan fisik yang tidak jelas penyebabnya juga cukup
umum terjadi pada kelompok usia ini.
Dampak jangka panjang dari kasus Child Abuse
Korban atau kasus anak yang mengalami kejadian Child Abuse akan mengalami
dampak, baik dampak jangka pendek ataupun dampak jangka panjang. Beberapa
penelitian menemukan dampak jangka panjang yang dapat terjadi pada kasus Child
Abuse sebagai berikut :
1. Adanya distorsi kognitif, seperti merasa salah, malu, menyalahkan diri sendiri
2. Gangguan perasaan (mood disturbance), seperti ansietas atau depresi
3. kehilangan minat untuk bersekolah seperti sering melamun atau tidak
memperhatikan pelajaran, menghindari sekolah atau membolos, tidak perduli
terhadap hasil ulangan atau ujian
4. Stres pasca trauma seperti terus menerus memikirkan peristiwa traumatis yang
dialaminya, merasa gelisah dan cemas menghadapi lingkungan yang agak
berubah.
5. Masalah / problem diri sendiri (interpersonal), seperti melakukan isolasi terhadap
diri sendiri, rasa dendam, takut terhadap sikap ramah / kehangatan / kemesraan
dari orang lain
6. Perilaku membahayakan atau menyakiti diri sendiri, seperti percobaan bunuh
diri, mutilasi / membuat cacat diri sendiri
7. perilaku regresif seperti mengompol, menempel atau melekatkan diri pada orang
dewasa, menarik diri dari pergaulan, menjadi hiperaktif dan menunjukkan
aktivitas berlebihan, menunjukkan perilaku tantrum contohnya mengamuk,
menangis berlebihan atau berguling-guling.
8. Menggunakan narkotik dan zat adiktif lainnya
9. Gangguan personalitas
10. gangguan tidur dan mimpi buruk
11. Masalah psikosomatik seperti nyeri daerah pelvis
43
44
BAB IV
PEMERIKSAAN
PEMERIKSAAN KASUS KEKERASAN FISIK
Pendahuluan
Perlakuan salah meliputi perbuatan ataupun penelantaran anak yang mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas. Perlakuan salah dapat bersifat fisik, emosional atau seksual.
Definisi perlakuan salah (child abuse) bervariasi. Perlakuan salah fisik dapat
didefinisikan sebagai trauma yang disengaja pada anak oleh pengasuh yang
menimbulkan memar, laserasi, luka tusuk, luka bakar, fraktur dan kerusakan organ.
Definisi yang lebih luas meliputi gangguan emosi yang pendek dan jangka panjang,
yang dapat lebih berat daripada kelainan fisik. Namun definisi yang lebih sederhana
adalah trauma pada anak yang disengaja. Penelantaran anak (child neglect) adalah
tidak terpenuhinya kebutuhan dasar anak yang mungkin megakibatkan gangguan
tumbuh kembang dan gangguan belajar. Kebutuhan dasar anak meliputi asuh, asih dan
asah.
Anamnesis
Bila dijumpai satu atau lebih indikator pada anamnesis, dapat dipikirkan adanya child
abuse pada anak.
1. Riwayat kecelakaan tidak cocok dengan jenis atau beratnya trauma. Misalnya
distribusi atau jenis lesi tidak sesuai dengan riwayat kejadian yang diceritakan atau
riwayat kejadian menyatakan trauma ringan tetapi dijumpai trauma yang berat.
2. Riwayat bagaimana kecelakaan terjadi tidak jelas atau pengasuh (orangtua) tidak
tahu bagaiama terjadinya kecelakaan.
3. Riwayat kecelakaan berubah-ubah ketika diceritakan kepada petugas kesehatan
yang berlainan.
4. Orangtua jika ditanya secara terpisah memberi keterangan yang saling
bertentangan.
5. Riwayat yang tidak masuk akal. Anak dikatakan mengerjakan sesuatu yang tidak
mugkin untuk tahap perkembangannya. Misalnya, anak dikatakan terjatuh ketika
memanjat, padahal duduk pun belum bisa.
Observasi
1. Adanya keterlambatan yang bermakna antara saat kecelakaan dan saat mencari
pertolongan medis.
2. Orangtua mungkin tidak memperlihatkan kepedulian yang memadai sesuai dengan
derajat berat trauma.
3. Interaksi pengasuh(orangtua)-anak yang patologis. Mungkin dijumpai terlihat
pengharapan yang tidak realistis, keinginan yang tidak memadai atau perilaku marah
yang impulsif yang diperlihatkan oleh pengasuh (orangtua). Pengasuh (orangtua)
sering tidak sadar akan kebutuhan anak.
45
Pemeriksaan Fisik
1. Presentasi klinis perlakuan salah pada anak bervariasi dari memar ringan sampai
dengan keadaan yang mengancam kehidupan. Perlakuan mungkin juga disertai
tanda-tanda penelantaran. Temuan yang umum adalah memar, hematoma, abrasi.
Lokasi stadium penyembuhan dan konfigurasi perlukaan ini khas. Perlakuan salah
pada anak ditandai oleh adanya memar atau jejas lain di kulit pada daerah yang
tidak lazim terkena kecelakaan seperti pipi, lengan atas, paha, pantat, dan genital.
Sebaliknya, pada kecelakaan sering terjadi memar pada dahi, tibia anterior ataupun
tonjolan tulang lainnya. Perlukaan multipel dengan
berbagai tingkat
penyembuhan dan tanda dengan konfigurasi sesuai jari tangan, tali atau kabel,
kepala, ikat pinggang atau bahkan gigi orang dewasa dapat ditemukan pada kasus
perlakuan salah pada anak. Laserasi ataupun abrasi dapat ditemukan pila pada
mulut, atau orifisium lainnya.
2. Tamparan meninggalkan memar pada pipi dengan 2 atau 3 garis pararel
didalamnya.
3. Usaha paksa mendiamkan anak yang menangis, atau memberi makan secara paksa
dapat menimbulkan memar pada bibir atas maupun frenulum.
4. Tanda gigitan manusia berupa memar jelas, berbentuk bulan sabit yang
berhadapan.
5. Jika benda tumpul digunakan untuk menghukum, memar sering menyerupai benda
tersebut. Tanda loop akibat kabel atau tali yang dilipat dua. Tanda pukulan (lash)
terjadi setelah dipukul dengan ikat pinggang, ranting pohon, atau mistar yang keras
6. Tanda cekikan mungkin terlihat di leher atau terlihat tanda lingkaran dari tali yang
mengelilingi tumit atau pergelangan kaki.
7. Alopesia traumatis mungkin terjadi ketika rambut putus dengan panjang yang
bervariasi. Hematoma subgaleal mungkin terbentuk dibawahnya.
8. Petekie di wajah dan bahu dapat terjadi setelah muntah-muntah atau menangis yang
hebat.
9. Sekitar 10% perlakuan salah secara fisik meliputi luka bakar. Luka bakar karena
terkena benda padat panas mudah didiagnosis. Kelanan tersebut biasanya berupa
luka bakar derajat II tanpa blister dan hanya meliputi satu sisi tubuh. Bentuk luka
bakar biasanya khas menyerupai benda panas, seperti bila anak dikenai alat
pemanas ataupun alat pemanas elektris. Luka bakar rokok menimbulkan lesi bulat,
cekung dan berukuran sama yang dapat ditemukan di tangan dan kaki serta dapat
dikacaukan dengan impetigo bulosa. Luka bakar karena air panas paling sering
terjadi. Dunking burn terjadi ketika orangtua menekan paha anak dan menaruh
pantat serta perineum dalam air panas sebagai hukuman untuk enuresis. Hal ini
menyebabkan luka bakar di seluruh pantat. Bila pencelupan terjadi lebih dalam, luka
bakar meluas kearah paha dan pinggang dengan terlihat air yang lebih jelas. Tangan
dan kaki tidak terkena. Hal ini tidak cocok dengan jatuh ke dalam bak air panas atau
membuka kran air panas saat mandi dalam bak. Pencelupan paksa tangan dan kaki
ke air panas dapat dicurigai bila luka bakar tidak terjadi diatas pergelangan tangan
maupun kaki. Toksik epidermal nekrolisis dapat dikacaukan dengan luka bakar.
10. Hematoma subdural merupakan jenis perlakuan salah yang paling berbahaya, sering
menyebabkan kematian atau gejala sisa serius. Lebih dari 95% trauma intrakranial
serius yang terjadi dalam tahun pertama kehidupan adalah akibat perlakuan salah.
Bayi sering datang dalam keadaan koma, kejang dan mengalami peningkatan
tekanan intrakranial. Hematoma subdural mungkin akibat fraktur tengkorak sekunder
terhadap pukulan kepala yang langsung, tetapi lebih dari setengah kasus ini terjadi
akibat trauma kocokan, whiplash yang keras. Akselerasi dan deselerasi kepala
dengan cepat, mengakibatkan robekan bridging cerebral vein, selanjutnya terjadi
46
2.
3.
4.
5.
6.
47
48
Bila pada tubuh korban ditemukan adanya kerak (bercak), maka kerak tersebut
dikerok dengan skapel dan masukkan ke dalam amplop, bubuhkan label
identitas.
Jika pada pakaian korban dicurigai adanya bercak air mani berupa bercak kaku,
maka bila mungkin pakaian tersebut diminta dan dimasukkan ke dalam kantung.
Beri pakaian pengganti.
b. Pemeriksaan ginekologik pada korban anak perempuan
Periksa adanya luka di daerah sekitar vulva, perineum dan saluran vagina; serta
robekan selaput dara.
Pada selaput dara, tentukan ada atau tidaknya robekan. Robekan juga ditentukan
baru atau lama, lokasinya dan dilihat secara teliti sampai ke dasar atau tidak.
Dalam hal tidak terdapat robekan, padahal diperoleh informasi terjadinya
peneterasi, maka lakukan pemeriksaan besarnya lingkaran lubang dengan
mencoba memasukkan satu jari kelingking. Bila kelingking dapat masuk tanpa
hambatan dan nyeri lakukan uji dengan satu jari telunjuk (pada anak, diameter
horizontal hymen sama atau lebih dari 10 mm, menunjukkan telah terjadi
peneterasi oleh jari, dan bentuk hymen seperti hymen rudimenter).
c. Pemeriksaan dubur pada anak laki-laki
Kekerasan seksual pada anak laki-laki seringkali dalam bentuk persetubuhan dubur.
Pemeriksaan colok dubur dan proktoskopi perlu dilakukan untuk melihat adanya luka
baru dan gambaran rugae. Jangan lupa lakukan pengambilan bahan untuk
pemeriksaan laboratorium dengan lidi kapas, menyusuri celah pada rugae tersebut.
d. Pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboratorium
Dilakukan jika waktu kejadian belum lebih dari 7 (tujuh) hari sebelum waktu
pemeriksaan, dokter yang menangani korban harus mengambil sample untuk
pemeriksaan laboratorium.
Semen (air mani) akan berflourosensi dengan penyinaran ultra violet dalam kamar
yang agak gelap. Sifat berflourosensi yang khusus ini digunakan untuk melokalisasi
semen yang masih basah atau yang sudah mengering, juga pada tempat di luar tubuh
misalnya pakaian.
Untuk membuktikan adanya ejakulasi, bahan di ambil dari dalam vagina (forniks
posterior, lihat gambar) dengan cara: masukkan lidi kapas bersih ke dalam vagina
menelusuri dinding posterior vagina, basahkan kapas dengan cairan vagina
dengan cara memutarnya beberapa kali, dan biarkan di forniks posterior selama
satu menit.
Pada persetubuhan dubur, bahan diambil dari rugae dengan menggunakan kapas
lidi menelusuri rugae-rugae
Buat 2 (dua) buah sediaan hapus. Keringkan di udara dalam suhu kamar.
Setelah sediaan kering, masukkan ke dalam amplop terpisah, satu untuk
pemeriksaan mikrobiologi (adanya penyakit menular seksual seperti GO) dan
yang lain untuk pemeriksaan forensik klinik (pemeriksaan adanya spermatozoa,
fosfatase asam, uji Berberio dan uji Florence, Malacite Green, uji PAN untuk
adanya Zn, pemeriksaan antigen ABO serta persiapan pemeriksaan DNA dari
cairan mani).
Terdapatnya spermatozoa yang bergerak (motil) menunjukkan bahwa terjadinya
persetubuhan dalam waktu 24 jam yang lalu. Terdapatnya spermatozoa nonmotil
tidak mempunyai arti banyak. Tidak terdapatnya spermatozoa belum berarti tidak
49
50
itu dengan penanganan sedini dan seoptimal mungkin maka sebagian besar
problem perilaku emosional anak cenderung lebih mudah di atasi.
4. Deteksi dan penanganan problem perilaku dan emosional pada anak lebih kompleks
dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh:
a. Anak belum mempunyai pengertian yang baik bahwa dirinya sakit atau
membutuhkan pertolongan
b. Fungsi kognitif anak masih dalam perkembangan, sehingga masih sulit untuk
menerima berbagai konsep sebab akibat dalam kehidupannya
c. Anak masih belum mengantisipasi masa depan
Tujuan dari evaluasi psikiatrik adalah untuk:
a. Untuk mengumpulkan data dalam usaha membuat diagnosis problem atau
gangguan mental emosional yang dialami oleh anak.
b. Untuk menentukan kekuatan dan kelemahan psikologik anak dalam kaitannya
dengan perencanaan tatalaksana yang akan dilakukan.
c. Sebagai landasan dalam perencanaan psikoterapi yang akan dilakukan.
Deteksi problem perilaku dan emosi anak
Dalam pengertian yang luas, perilaku seorang anak tidak hanya mencakup fungsi
motorik saja, seperti bermain, berlari, berjalan, tidur makan, tetapi juga meliputi
kemampuan berbahasa dan interaksi sosial (yang juga dipengaruhi oleh kondisi
emosional seseorang). Perilaku dan emosi anak dikatakan abnormal jika perilaku dan
reaksi emosi anak tidak lagi sesuai dengan dengan tingkat perkembangan dan
lingkungan sosial dimana anak itu berada. Dengan demikian, tidaklah mudah untuk
mendefinisikan secara eksplisit problem perilaku dan emosi pada seorang anak. Untuk
mempermudah proses ini maka dibutuhkan pengetahuan mengenai teori perkembangan
anak baik fisik maupun mental emosional dan keterampilan untuk melakukan
wawancara psikiatrik yang cukup baik. Agar deteksi ini dapat dilakukan oleh para tenaga
kesehatan yang bekerja di pusat-pusat pelayanan kesehatan primer ataupun oleh
tenaga-tenaga pendidik, maka World Health Organization (WHO) mengeluarkan suatu
alat bantu yang disebut Reporting Questionnaire on Children (RQC). RQC ini terdiri dari
10 buah pertanyaan, jika dalam evaluasi anak ditemukan adanya jawaban positif dari
minimal satu buah pertanyaan maka anak tersebut memerlukan evaluasi lanjutan untuk
masalah tersebut.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan wawancara psikiatrik
pada anak:
a. Menjadi pendengar yang aktif dan bersifat fleksibel sewaktu berkomunikasi dengan
pasien.
b. Mampu berempati.
c. Menggunakan cara dan tehnik yang tepat (sesuai dengan tingkat perkembangan
anak) dalam berelasi dengan anak sehingga anak merasa nyaman dan dapat
mengekspresikan apa yang dirasakan dan pengalaman-pengalamannya dengan
pemeriksa. Sebagai contoh, ada anak yang merasa nyaman untuk berkomunikasi
dengan pemeriksa jika hanya didampingi oleh boneka/mainan kesayangannya. Anak
lain mungkin mungkin perlu didampingi oleh orang tua atau orang terdekatnya untuk
mengurangi kecemasan pada waktu berhadapan dengan pemeriksa. Disamping itu
perlu diingat bahwa tidak semua anak mampu berkomunikasi verbal dengan lancar
pada waktu pemeriksaan, sebagian anak mungkin membutuhkan media gambar
atau bermain dalam usaha untuk membentuk relasi yang optimal dengan pemeriksa.
51
d. Mampu mendeteksi kata-kata kunci dan tema-tema ypikiran yang tidak disadari
anak.
e. Jika memungkinkan maka proses wawancara direkan baik secara audio atau video.
f. Frekuensi wawancara dilakukan seminimal mungkin (2-3 kali) untuk mencegah
timbulnya konfabulasi pada anak.
g. Hindari mengulang-ulang pertanyaan yang sama, atau memberi beberapa
pertanyaan sekaligus.
h. Hindari pertanyaan yang bersifat sugesti atau yang akan mengarahkan pasien pada
satu jawaban tertentu.
i. Ulangi pertanyaan dengan format pertanyaan yang berbeda untuk menilai
konsistensi anak dalam memberi jawaban.
j. Ulangi pernyataan anak dalam usaha untuk meyakinkan anak bahwa pemeriksa
mengerti apa yang dikemukakannya.
k. Jika memungkinkan lakukan wawancara pada anak tanpa didampingi oleh orang
tuanya. Pada anak yang masih kecil dapat dipertimbangkan untuk didampingi oleh
anggota keluarga dekat lainnya (bukan orang tua).
Langkah-langkah dalam melakukan pemeriksaan psikiatrik pada anak
a. Bina rapport sedini mungkin, disamping itu lakukan juga observasi informal perilaku,
keterampilan sosial dan kemampuan kognitif anak.
b. Mintalah anak untuk menceritakan dua kejadian spesifik yang pernah dialaminya.
Hal ini dilakukan untuk menilai daya ingat anak. Disamping itu juga bertujuan untuk
menentukan tehnik dan model wawancara yang akan dilakukan selanjutnya.
Tanyakan pertanyaan yang bersifat terbuka dan tidak mensugesti sehingga pola
wawancara akan mengalir dengan sendirinya.
c. Buat kesepakatan dengan anak bahwa hanya pernyataan yang benar saja yang
akan didiskusikan, bukan fantasi atau pernyataan yang bersifat kebohongan.
Katakan kepada anak jika ia tidak mengetahui jawaban yang ditanyakan, tidak
menjadi masalah kalau ia menjawab tidak tahu. Jika ia lupa dengan suatu kejadian
juga merupakan hal yang lazim, sehingga anak akan memberikan jawaban yang
jujur.
d. Mulailah wawancara dengan topik yang umum baru kemudian menjurus ke arah
yang lebih spesifik sesuai dengan keperluan. Misalnya; apakah kamu tahu
alasannya kenapa hari ini kamu bertemu dengan saya? atau yang lebih spesifik;
apakah telah terjadi sesuatu dengan kehidupan kamu? atau apakah ada orang
yang melakukan perbuatan buruk kepadamu? Mungkin diperlukan bantuan
gambar atau bermain dalam usaha untuk membantu anak mengemukakan
masalahnya. Misalnya pemeriksa membuat gambar muka orang dan anak akan
melengkapinya dengan anggota tubuh orang tersebut. Hal ini sangat membantu
dalam wawancara kasus yang dicurigai kasus kekerasan seksual. Melalui kegiatan
ini pemeriksa dapat mengajukan pertanyaan;apakah anak pernah melihat bagian
tubuh orang seperti yang ada dalam gambar?, bagian tubuh apa yang pernah
dilihatnya?, apakah ada orang yang pernah menyentuh bagian tubuhnya itu
atau apakah ia pernah menyentuh bagian yang ditunjukkan itu?. Jika kasus
merupakan kasus kekerasan fisik, pemeriksa juga dapat bertanya apakah bagian
tubuh orang yang ada dalam gambar tersebut pernah disakiti dengan berbagai
cara?
e. Biarkan anak mulai bercerita. Jika topik spesifik kekerasan sudah dikemukakan,
dukung dan bantu anak untuk menceritakan kejadiannya lebih runut tanpa
meninggalkan detail. Anak dibiarkan dulu bercerita, jangan diinterupsi atau dikoreksi.
Jika peristiwa kekerasan yang dialami anak sudah berlangsung lama, tanyakan juga
52
mengenai pola kekerasan dan jumlah episode yang pernah dialami. Tanyakan juga
mengenai perasaan yang dirasakan saat itu dan saat ini. Pada kesempatan ini juga
dilakukan observasi status mentalis anak yang meliputi:
a. Penampilan dan perilaku anak saat wawancara
Penampilan dapat menggambarkan fungsi ego, seperti identifikasi bentuk
tubuh anak sehingga mampu memberikan gambaran secara keseluruhan
dari sang anak. Kepatuhan dan ketidakpatuhan anak juga digambarkan serta
kondisi gizi anak. Keadaan fisik/gizi, jerawat pada wajah, keadaan cacat fisik,
kecemasan/murung, dan gangguan perkembangan lain juga sebaiknya
digambarkan, seperti keterlambatan bahasa dan tumbuh kembang lainnya.
Kerapian dan batas kewajaran berpakaian juga dijelaskan pada kesempatan
ini.
b. Proses Pikir dan Verbalisasi
Pembicaraan spontan dan verbalisasi selama bermain merupakan bagian
dari proses berpikir spontan. Tema yang berulang-ulang dalam permainan
berkaitan dengan permasalahan uang sedang dihadapinya dan juga
merupakan mekanisme penghindaran dari masalah yang dihadapinya.
Pemeriksa mengupayakan supaya dapat memasuki kepada topik
pembicaraan yang bersifat spontan yang dapat menimbulkan minat pada
anak. Pemeriksa membiarkan anak bercerita sesuai dengan kata-katanya,
lingkungan sosial budayanya, minat dan segala kemampuan dalam
mengorganisir pikirannya.
c. Orientasi dan Persepsi
Orientasi lebih mencerminkan pemahaman anak terhadap realitas.
Pemeriksa dapat membandingkan kemampuan intelektualitas anak dengan
anak lain yang mempunyai usia yang sebanding dengan anak yang
bersangkutan. Orientasi ini termasuk orientasi waktu, tempat, dan orang.
Orientasi dapat diperiksa dengan menanyakan tentang waktu, alamat
rumahnya, hari ulang tahun, cuaca, dan lain-lain.
Persepsi lebih menunjukkan kesan indera yang ditangkap oleh si anak.
Dalam menilai persepsi, pemeriksa perlu mengetahui perbedaan yang jelas
mengenai kemampuan anak untuk membedakan antara fantasi dan realitas.
Pada anak berusia 3-4 tahun, kemampuan ini masih samar. Kemampuan ini
akan bertambah dan anak sudah mampu membedakan kedua hal tersebut
pada usia 6-7 tahun. Gangguan persepsi dapat terjadi pada seluruh indera,
misalnya pendengaran, penglihatan, pengecapan, dan lain-lain.
d. Mood dan afek
Mood dan afek menunjukkan perasaan si anak. Hal yang perlu diperhatikan
adalah fluktuasi dan perubahan mood dan afek selama wawancara terutama
pada perubahan satu topik ke topik lainnya. Afek didefinisikan sebagai
kondisi emosi seseorang yang bersifat singkat dan umumnya distimulasi oleh
suatu keadaan atau situasi tertentu. Mood digambarkan sebagai suasana
perasaan yang menetap dan berkepanjangan yang mewarnai seluruh
kehidupan anak.
e. Fungsi kognitif dan Integritas Neuromuskuler
Lihat teori tumbuh kembang
53
f.
f.
Dalam tahap ini juga dapat digunakan mainan-mainan yang disukai anak untuk
membantu proses pemeriksaan. Misalnya pada kasus kekerasan fisik, boneka
mungkin berguna dalam usaha mengkonkritkan kejadian yang di alami anak. Mainan
ini bukan digunakan sebagai pemeriksaan penunjang diagnostik, melainkan hanya
bertujuan untuk mengklarifikasikan apa yang sebenarnya terjadi pada anak.
g. Akhiri pemeriksaan ini dengan mengajukan pertanyaan yang bersifat umum kembali,
serta beri kesempatan kepada anak untuk mengajukan pertanyaan. Pemeriksa
jangan memberikan janji-janji tertentu kepada anak, dukung kemampuan anak yang
masih ada.
54
55
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiologis
Gambaran radiologis tertentu dapat merupakan indikator kuat adanya perlakuan yang
salah pada anak secara fisik; a.l fraktur metafisis corner atau fraktur bucklet handle pada
tulang panjang bayi yang belum bisa jalan, fraktur multipel iga atau tulang panjang bayi,
fraktur spiral tulang panjang pada bayi yang belum bisa jalan, fraktur multipel iga atau
tulang panjang dengan berbagai derajat penyembuhan. Temuan ini mengharuskan
dokter untuk mencari penjelasan penyebab trauma tersebut. Survei tulang secara
radiologis perlu dilakukan pada anak yang diduga diperlakukan salah tetap belum dapat
berbicara. Perdarahan subdural yang didapat melalui CT atau MRI berhubugan erat
dengan perlakuan salah pada anak. USG berguna untuk mendiagnosis trauma
abdomen pada anak, tetapi tidak berguna untuk mendiagnosis perdarahan subdural.
Laboratoris
Pemeriksaan koagulasi berguna untuk anak yang mengalami banyak memar pada
berbagai tingkat umur yang berbeda. Berbagai kelainan koagulasi dapat mengacaukan
diagnosis, tetapi perlakuan salah pada anak dan koagulopati merupakan satuan klinis
yang berlainan.
Anak dengan sepsis polimikroba, apnea rekuren, dehidrasi kronis tanpa penyebab yang
diketahui, atau kelainan laboratoris lain yang berat harus dicurigai sebagai sindrom
Munchausen by proxy.
56
Memar umumnya diakibatkan oleh kekerasan tumpul yang memiliki permukaan yang
relatif rata atau lunak, seperti tangan kosong atau tendangan. Memar seringkali dapat
menunjukkan bentuk atau pola permukaan kontak benda penyebabnya. Memar yang
berbentuk garis sejajar (tramline atau railway haematome) menunjukkan cedera yang
diakibatkan oleh pukulan tongkat atau benda sejenis. Bila bentuknya dua garis sejajar
melengkung mungkin disebabkan oleh benda berupa tali yang cukup kuat seperti kabel.
Memar kadangkala tidak terjadi di lokasi trauma, misalnya apabila terjadi di daerah dahi
yang memarnya dapat terlihat di kelopak mata atau di daerah tungkai bawah daerah
tulang kering yang memarnya dapat terlihat di pergelangan kaki. Perkiraan kapan
terjadinya memar kadang membantu menegakkan kesimpulan ada atau tidaknya
kekerasan berulang. Dengan berjalannya waktu, memar akan berubah warna dari
merah ungu menjadi kehijauan, coklat kekuningan dan akhirnya hilang. Satuan waktu
yang dibutuhkan untuk masing-masing perubahan warna tersebut sangat bergantung
kepada intensitas memar itu sendiri. Pada umumnya apabila memar telah dikelilingi
warna kuning menunjukkan bahwa memar telah berumur setidaknya 18 jam.
Luka lecet tekan hanya terlihat dengan baik pada korban yang telah meninggal oleh
karena terjadi pengeringan epidermis, sedangkan pada korban hidup tidak terlihat
dengan jelas oleh karena pengeringan dicegah dengan adanya perfusi jaringan. Luka
lecet tekan biasanya diakibatkan oleh benda tumpul yang permukaannya relatif rata dan
relatif lunak dengan gaya yang relatif ringan. Bentuk luka lecet tekan juga dapat
memperlihatkan bentuk permukaan kontak benda penyebabnya. Luka lecet geser
diakibatkan oleh geseran benda tumpul dengan permukaan yang relatif tidak rata.
Luka terbuka (vulnus apertura) harus dapat dibedakan antara luka terbuka akibat
kekerasan tajam (vulnus scissum) dengan luka terbuka akibat kekerasan tumpul (vulnus
laceratum). Vulnus scissum memperlihatkan ciri-ciri luka dengan bentuk seperti garis
lurus atau lengkung, tepi luka atau dinding luka yang rata, dan pada sekitar lukanya
tidak ditemukan lecet atau memar. Apabila terjadi di daerah berambut maka besar
kemungkinan terlihat adanya folikel rambut yang terpotong rata. Vulnus Laceratum
menunjukkan ciri-ciri luka sebaliknya, dan seringkali masih terlihat adanya jembatan
jaringan (ikat) yang menghubungkan kedua tepi / dinding luka.
Beberapa luka menunjukkan ciri khas akibat kekerasan yang bukan akibat kecelakaan.
Luka-luka seperti tramline hematome di atas, luka dengan bentuk dan pola tertentu yang
khas, luka bakar akibat sundutan rokok, dan memar berbentuk telapak tangan, adalah
sebagian contohnya. Luka-luka juga terkadang memperlihatkan luka yang tidak sama
usianya, misalnya terdapat memar yang merah ungu dan memar lainnya berwarna hijau
kekuningan. Keadaan ini menunjukkan adanya kekerasan yang berulang yang sangat
mungkin bukan akibat kecelakaan. Hal sama juga bisa ditemukan dalam bentuk luka
lecet, luka terbuka dan bahkan patah tulang, yang terlihat dari perbedaan masa
penyembuhannya.
Hal penting lainnya adalah bahwa bukti adanya kekerasan tersebut harus relevan
dengan keterangan yang diberikan oleh saksi korban. Suatu luka memar atau lecet kecil
di daerah pipi, leher, pergelangan tangan atau paha mungkin tidak khas dan tidak
bermakna dari segi kedokteran, namun bermakna bagi hukum apabila relevan dengan
riwayat terjadinya peristiwa, seperti ditampar, dicekik, dipegangi dengan keras atau
dipaksa diregangkan pahanya (pada kasus kejahatan seksual). Adanya sindroma
mental tertentu dapat mendukung relevansi temuan bukti fisik tersebut dari sisi
psikologis.
57
Pemeriksaan status tumbuh kembang dan status gizi anak sangat relevan dalam upaya
menegakkan ada atau tidaknya penelantaran. Beberapa pengukuran dan parameter
dapat digunakan sebagai alat ukurnya.
Pemeriksaan fisik pada korban kekerasan seksual
Dalam hal kekerasan seksual yang diduga terjadi, maka pemeriksaan anogenital yang
teliti dan pemeriksaan laboratorik harus dilakukan sesuai dengan prosedur baku
pemeriksaan. Ditemukannya memar, lecet dan atau laserasi di sekitar kemaluan, seperti
di daerah vulva, vagina dan selaput dara, dapat membawa kita kepada kesimpulan
bahwa cedera tersebut adalah sebagai tanda kekerasan. Perlu diingat bahwa daerah
yang paling sering mengalami cedera adalah daerah posterior fourchette, selaput dara,
fosa naviculare dan labium minus. Cedera yang sering terlihat adalah memar, lecet,
laserasi dangkal, dan robekan selaput dara.
Dalam hal tanda kekerasan tersebut terletak di daerah yang lebih dalam seperti di
selaput dara atau vagina, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kemungkinan besar
atau hampir pasti telah terjadi penetrasi (dengan pengertian bahwa penetrasi tersebut
tidak harus berupa penetrasi lengkap, dan tidak harus oleh penis).
Memang harus diakui bahwa masih ada kelemahan dari kesimpulan ini, yaitu kita tidak
dapat memastikan kapan terjadinya kekerasan tersebut apalagi bila cedera tersebut
adalah cedera lama. Robekan selaput dara yang telah berusia lebih dari lima hari
umumnya memiliki ciri yang sama dengan robekan lama lainnya.
Sebaliknya, tidak ditemukannya tanda kekerasan di atas tidak dapat langsung diartikan
bahwa tidak pernah ada kekerasan. Hal ini disebabkan oleh sifat dari kekerasan
tersebut, jarak waktu antara saat kekerasan dengan saat pemeriksaan, dan tindakan
terapi yang pernah diberikan. Demikian pula tidak ditemukannya tanda penetrasi tidak
berarti bahwa tidak pernah terjadi penetrasi atau persetubuhan. Hal ini sebagai akibat
dari penetrasi yang hanya sebagian, penetrasi oleh benda yang ukurannya terlalu
kecil, atau selaput dara elastis sehingga tidak robek meskipun telah terjadi penetrasi.
Ditemukannya sel sperma di dalam sediaan yang diambil dari vagina membawa kita
kepada kesimpulan pasti bahwa korban telah bersetubuh atau disetubuhi. Demikian pula
bila ditemukan hasil positip pada uji fosfatase asam (berubah warna dalam waktu
kurang dari 30 detik), uji kristal (Berberio dan Florence) dan uji PAN (kadar Zn),
menunjukkan adanya cairan mani. Namun demikian identitas si pelaku belum dapat
ditentukan sebelum dilakukan pemeriksaan DNA dari sel sperma dan pemeriksaan DNA
dari si tersangka pelaku, serta pembandingan keduanya.
Sebaliknya, tidak ditemukannya sel sperma atau cairan mani tidak berarti bahwa tidak
pernah terjadi persetubuhan. Hal ini sebagai akibat dari jarak waktu antara saat
persetubuhan dengan saat pemeriksaan, atau persetubuhan tanpa ejakulasi,
persetubuhan dengan kondom, dan pencucian pasca persetubuhan. Bahkan literatur
mengatakan bahwa sel sperma hanya ditemukan pada 50% dari seluruh pemeriksaan
medis yang dilakukan segera setelah terjadi perkosaan. Penelitian awal menunjukkan
bahwa pemeriksaan adanya DNA laki-laki di dalam vagina ternyata lebih sensitif dan
lebih akurat dalam memastikan adanya persetubuhan.
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap sediaan apus dari vagina ditujukan untuk
menemukan ada atau tidaknya salah satu penyakit akibat hubungan seksual, yaitu
misalnya Gonorrhoe. Penyakit GO ini adalah penyakit yang paling sering tertularkan dari
suatu hubungan seksual (1:30). Apabila ditemukan adanya penyakit ini maka dokter
dapat menyimpulkan bahwa kemungkinan besar memang telah terjadi persetubuhan,
dan dokter akan memberikan pengobatan. Adanya kuman GO ekstrasel saja
58
59
Varian Normal
Kondisi lain
60
61
Dugaan abuse
(Suggestive of abuse)
Bukti nyata kekerasan Temuan yang tidak dapat dijelaskan bukan karena trauma
tumpul
atau
trauma yang mengenai selaput dara atau daerah perianal
penetrasi
Robekan baru selaput dara
Ekimosis (hematom) pada selaput dara
Laserasi perianal yang dalam meliputi juga sphincter ani
eksternal
Robekan lama selaput dara hingga ke dasar (transeksi),
sehingga tidak ada lagi jaringan selaput dara antara
dinding vagina dengan fossa atau dinding vestibulum
Hilangnya jaringan selaput dara yang luas di daerah
posterior, hingga ke dasar, yang dikonfirmasi pada posisi
knee-chest
62
Mungkin abuse
Possible abuse
63
64
REKAM MEDIS
Rekam medis memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis sebagaimana disebut di
dalam Permenkes RI No 749a/MENKES/PER/XII/1989, yaitu sebagai dasar
pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien, sebagai bahan pembuktian dalam
perkara hukum, sebagai bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan, sebagai
dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan, dan sebagai bahan untuk menyiapkan
statistik kesehatan.
Untuk mencapai peran dan fungsi di atas, rekam medis harus dibuat sedemikian rupa,
mengikuti suatu prosedur baku yang telah diakui, serta disimpan dan hanya
dipergunakan sesuai dengan prosedur baku tersebut.
Permenkes No 749a/MENKES/PER/XII/1989 tentang rekam medis telah menguraikan
berbagai ketentuan yang harus dilaksanakan berkaitan dengan pembuatan,
penyimpanan dan pemanfaatan rekam medis.
Permenkes No. 749x\a/MENKES/PER/XII/1989 dalam ketentuan umum pasal 1
menyebutkan bahwa rekam medis merupakan berkas berisi catatan dan dokumen
penting tentang :
1. Identitas pasien
2. Pemeriksaan
3. pengobatan
4. Tindakan lain
5. Pelayanan lain
Setiap isian harus jelas, terbaca, dan tidak menimbulkan keragu-raguan, akurat, adekuat
dan appropriate.
Akurat berarti berisikan catatan yang memang tepat untuk digunakan sebagai dasar
pengobatan. Pengisian harus ditulis dengan tinta (pena, termasuk ballpoint) atau diketik.
Bila terdapat kesalahan penulisan maka cukup dicoret, dikoreksi, diparaf dan diberi
tanggal koreksi. Pengisian harus sesegera mungkin dan dibuat berurutan sesuai waktu
kejadiannya / kronologis.
Adekuat berarti berisikan seluruh informasi yang diperlukan, baik untuk diagnostik
maupun untuk pengobatan / tindakan, dan harus cukup rinci untuk dapat dimengerti.
Appropriate berarti hanya berisikan informasi yang layak dimuat di dalam rekam medis,
tidak diisikan dengan komentar yang non medis, misalnya pasien ini cerewet dan
resek, hati-hati .
Dalam kaitannya dengan penatalaksanaan kasus CAN, maka perlu diupayakan
jalan keluar agar kemultidisiplinan tidak dianggap sebagai pelanggaran wajib simpan
rahasia kedokteran. Profesional kesehatan harus memahami bahwa penanganan kasus
CAN bukanlah hanya dari aspek medis saja melainkan dari berbagai aspek, dan bahwa
aspek-aspek tersebut saling berkaitan, sehingga transfer informasi di antara para
profesional dari berbagai disiplin tersebut diperlukan.
Rekam medis sama sekali tidak boleh dipalsukan. Rekam medis yang sengaja
dipalsukan merupakan perbuatan kriminal dan dapat dihukum pidana.
Kerahasiaan informasi Medis
Para profesional yang bekerja di bidang kedokteran umumnya telah memahami
benar tentang adanya kewajiban untuk menyimpan sebagai rahasia segala sesuatu
yang diketahuinya selama ia bekerja di bidang kedokteran. Pengetahuan ini kita biasa
sebut sebagai rahasia kedokteran. Pelanggaran atas kewajiban menyimpan rahasia
kedokteran ini akan menghadapi sanksi administratif dan atau sanksi pidana. Selain itu,
pihak yang merasa dirugikan oleh pembukaan rahasia ini juga dapat mengajukan
gugatan perdata berupa tuntutan ganti rugi.
65
66
BAB V
PENATALAKSANAAN
Anak korban kekerasan pada umumnya dibawa ke fasilitas pelayanan medis karena
cedera fisik akibat berbagai perlakuan kekerasan yang dialaminya. Kebanyakan korban
datang diantar oleh orang tuanya (seringkali adalah pelaku kekerasan) dengan riwayat
kejadian cedera akibat kecelakaan yang umum terjadi pada anak-anak seperti: jatuh dari
tangga, tersiram air panas, tertabrak sepeda, dan sebagainya. Kekurangpahaman
dokter dan tenaga kesehatan lainnya terhadap permasalahan Child Abuse
menyebabkan penatalaksanaan kasus Child Abuse disamakan dengan pertolongan
terhadap cedera kecelakaan biasa. Oleh sebab itu keterampilan deteksi dini kasus Child
Abuse merupakan langkah awal dari penatalaksanaan yang benar.
Ruang lingkup penatalaksanaan anak korban kekerasan meliputi banyak aspek, yaitu:
aspek medik, aspek psikososial, dan aspek legal. Dengan demikian penatalaksanaan
anak korban kekerasan haruslah merupakan kerjasama multidisiplin. Pertolongan medis
merupakan salah satu bagian dari alur penatalaksanaan paripurna terhadap anak
korban kekerasan. Dokter dan tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan
primer (PHC Worker) adalah bagian dari jejaring terdepan penangkap kasus,
seyogyanya mereka mempunyai pemahaman yang cukup akan alur penatalaksanaan
anak korban kekerasan, meliputi: Deteksi dini, pertolongan darurat medik, rujukan medik
spesialistik, intervensi keluarga, rujukan psikososial, dan akses terhadap jejaring
perlindungan anak.
PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medik khususnya pada kasus kekerasan fisik dan kekerasan seksual,
merupakan prioritas pertama penyelamatan anak korban kekerasan. Dokter dan tenaga
kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan primer selain mampu mendeteksi kasus
atau suspek kasus anak korban kekerasan, seyogyanya mampu menetapkan status
klinis korban (gawat darurat medik, darurat medik, medik spesialistik), mengambil
keputusan kritis, melakukan tindakan medis praktis sesuai fasilitas dan kompetensi
medik yang dimilikinya, menyusun rencana tindak lanjut termasuk pemeriksaan
penunjang dan rujukan kasus.
Kasus gawat darurat medik pada anak korban kekerasan fisik yang perlu diwaspadai
antara lain: trauma kepala berat yang dapat menimbulkan perdarahan epidural atau
epidural, kontusio serebri, delirium sampai koma dan kematian. Fraktur komplikata pada
anggota gerak atau tulang rusuk, luka bakar luas akibat siraman air panas, atau
perdarahan masif tersembunyi misalnya perdarahan intra abdominal akibat trauma
tumpul di abdomen. Tenaga kesehatan harus segera memberikan pertolongan life
saving dengan mengacu pada prinsip A-B-C pertolongan gawat darurat medik,
melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan sesuai fasilitas yang ada (darah
lengkap, elektrolit, asam-basa, kimia darah, X Ray, bila mungkin CT Scan). Setelah
kondisi gawat darurat teratasi, korban dirujuk sesuai prioritas masalah medis (spesialis
anak, ortopedi, bedah saraf). Untuk semua tindakan medis di atas informed consent
dimintakan pada orang tua atau wali korban atau lembaga perwalian yang sah. Proses
ini seringkali tidak sederhana khususnya bila pelaku kekerasan adalah orang tua
67
korban, namun tindakan penyelamatan kondisi darurat medik tetap menjadi prioritas
utama.
Pada kasus anak korban kekerasan seksual, prinsip penatalaksanaan sama dengan
kasus korban kekerasan fisik, yakni deteksi kondisi gawat darurat medik, dilanjutkan
dengan pertolongan life saving, dan persiapan rujukan spesialistik. Pada korban
kekerasan seksual cedera fisik terutama di daerah anogenital. Kasus gawat darurat
medik dapat timbul sebagai akibat cedera berat pada organ reproduksi, perdarahan
masif, dan emboli. Selain itu perlu diwaspadai kemungkinan infeksi oleh penyakit
menular seksual, infeksi oleh benda-benda tertentu yang dimasukkan ke organ genital
ataupun anus korban. Perlu juga diwaspadai kemungkinan terjadinya kehamilan akibat
perkosaan yang dialaminya. Pemeriksaan penunjang sama dengan pemeriksaan pada
kekerasan fisik ditambah test kehamilan, pemeriksaan biakan cairan genital dan urin,
HIV dan Hepatitis C (untuk deteksi PMS).
Pada kasus anak korban kekerasan fisik dan atau kekerasan seksual, anak tidak hanya
menderita cedera fisik tapi juga mengalami perubahan perilaku dan mental emosional.
Pada anak korban kekerasan seksual seringkali justru problem mental ini lebih
menonjol. Oleh sebab itu penatalaksanaan medik pada anak korban kekerasan harus
mencakup evaluasi dan penatalaksanaan problem mental dan perilaku yang
menyertainya. Ketakutan, cemas berlebih, gangguan tidur (nightmare), regresi perilaku,
hiperaktif, agresif, menarik diri, depresi (perlu diwaspadai risiko suicide), gangguan stres
pasca trauma (PTSD), adalah problem mental yang biasa dijumpai pada anak korban
kekerasan. Pada kasus yang mengalami gangguan psikiatrik berat seperti PTSD,
depresi berat, serangan panik, atau histeria akut, atau keadaan darurat psikiatrik
lainnya, Tenaga kesehatan dapat melakukan pertolongan darurat psikiatrik dengan
memberikan obat-obat psikofarmaka seperti diazepam, haloperidol, klorpromazin.
Selanjutnya kasus dapat dirujuk ke Psikiater atau Psikolog.
PENATALAKSANAAN PSIKOSOSIAL
Penatalaksanaan psikososial adalah upaya pertolongan terhadap anak korban
kekerasan yang ditujukan pada pembenahan aspek psikoedukatif dan sosiokultural yang
berperanan terhadap kejadian kekerasan pada korban. Termasuk dalam upaya ini
adalah intervensi psikososial terhadap keluarga korban, mengamankan anak dari pelaku
kekerasan, membebaskan anak dari siklus kekerasan, pendampingan psikologik dan
upaya rehabilitasi psikososial, serta upaya hukum terhadap korban (misalnya
pengalihan hak asuh) maupun pelaku (sangsi hukum).
Sebagian besar perlakuan kekerasan terhadap anak terjadi dalam keluarga, dan
melibatkan salah satu atau kedua orang tua sebagai pelakunya. Anak korban kekerasan
seringkali berasal dari keluarga dengan pola relasi yang patologik antara anggota
keluarganya khususnya antara kedua orang tuanya. Sering ditemukan salah satu atau
kedua orang tuanya mempunyai gangguan kepribadian yang cenderung mudah
melakukan kekeraan (abusive parent). Intervensi psikososial terhadap keluarga dari
anak korban kekerasan mutlak harus dilakukan. Pada kasus kekerasan yang bukan
dilakukan dalam keluarga, intervensi keluarga tetap harus dilakukan karena dalam hal
ini keluarga menjadi korban tak langsung yang membutuhkan pertolongan. Intervensi
awal berupa evaluasi dan tindakan persuasi terhadap orang tua korban dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan. Hal ini penting untuk merencanakan langkah perlindungan anak
dari berulangnya perlakuan kekerasan terhadap dirinya. Pada situasi sederhana dimana
tindakan kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak disebabkan pengetahuan
68
yang salah tentang pola asuhan anak, maka tenaga kesehatan dapat melakukan
konseling dan psikoedukasi terhadap keluarga. Pada situasi disfungsi keluarga yang
kompleks atau abusive parents perlu rujukan ahli jiwa (psikiater atau psikolog) untuk
melakukan terapi keluarga. Pada kasus ini juga diperlukan rujukan aspek hukum untuk
proses pengalihan hak asuh (sementara atau tetap), sanksi hukum terhadap pelaku,
penetapan keluarga dibawah pengawasan, dan sebagainya.
Tenaga kesehatan dalam menyusun rencana penatalaksanaan terhadap anak korban
kekerasan, seyogyanya mempunyai pengetahuan dan memiliki akses terhadap
lembaga-lembaga perlindungan anak. Hal ini perlu untuk tindak lanjut bagi kasus yang
secara medik sudah selesai namun masih membutuhkan bantuan untuk pemulihan
aspek psikososial, pengamanan korban dari pelaku, bantuan kesejahteraan sosial
(misalnya anak terlantar), dan perlindungan serta pembelaan hukum.
ASUHAN KEPERAWATAN
Prinsip prinsip asuhan keperawatan pada anak
Keperawatan anak konsisten dengan prinsip caring yaitu memberi penekanan pada
perumusan diagnosa keperawatan dan tindakan untuk mengatasi respon klien (anak
dan keluarga) terhadap masalah yang aktual maupun potensial.
Dalam merawat anak dengan child abuse/neglect, perawat harus memperhatikan prinsip
prinsip keperawatan anak sebagai berikut:
1. Menggunakan pendekatan asuhan yang berpusat pada keluarga dimana keluarga
dipandang sebagai pusat perhatian dalam melaksanakan asuhan dan keluarga
harus diberdayakan dalam perawatan anak. Konsekuansi dari pendekatan ini adalah
tidak membatasi orang tua untuk ikut terlibat merawat anak di rumah sakit, dengan
pemikiran bahwa orang tua dapat dibelajarkan dalam merawat anak. Perawat harus
dapat memberi pendidikan kesehatan pada orang tua terkait dengan perawatan
anaknya dengan terlebih dahulu mengkaji kemampuan belajar mereka.
2. Memberikan tindakan terapeutik (pendekatan atraumatic care), dimana segala
bentuk tindakan keperawatan yang diberikan harus dapat mengurangi atau
menghilangkan distress fisik maupun psikologis yang dialami anak maupun
keluarganya. Tindakan dapat mencakup perawatan langsung pada anak terutama
pada saat mempersiapkan anak untuk dilakukan prosedur khusus, memfasilitasi
orang tua untuk dapat merawat anaknya, memodifikasi lingkungan perawatan yang
kondusif bagi perawatan anak termasuk sikap/perilaku petugas kesehatan dalam
merawat anak
69
70
71
dikumpulkan terdiri dari data dasar pada saat pertama pasen masuk dan data focus
yaitu yang mengarah pada perumusan masalah
Data focus yang harus dikaji adalah sebagai berikut:
a. Riwayat pre natal, yang mencakup
Kemampuan ibu menjalankan tugas selama mengalami kehamilan
Masalah masalah yang dialami berhubungan dengan peran menjadi
orang tua
Kemampuan orang tua dalam mengatasi masalah
b. Adanya Riwayat abuse/neglect
c. Interaksi suami istri dan antar anggota keluarga yang tidak adekwat
d. Adanya konflik emosional pada keluarga dan kemampuan koping yang
dimiliki
e. Adanya krisis situasional (PHK, perceraian, kelahiran yang tidak diinginkan,
kelahiran dengan masalah penyakit, salah satu anggota keluarga menderita
penyakit serius
f. Orang tua tidak memahami arti pertumbuhan dan perkembangan anak
g. Orang tua tidak mengetahui cara cara yang dapat dilakukan untuk stimulasi
tumbuh kembang anak
h. Harapan hidup orang tua yang tidak realistic
i. Perilaku yang ditunjukkan anak dan tanda tanda gangguan harga diri rendah
j. Tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak yang tidak sesuai usia
k. Kondisi psikososial yang ditunjukan anak dan orang tua seperti marah, sedih,
cemas, takut, depresi dan harga diri rendah
2. Diagnosa keperawatan
Tahap kedua dari proses keperawatan adalah perumusan diagnosa keperawatan.
Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinik perawat tentang respon individu,
keluarga atau masyarakat terhadap kondisi masalah yang sedang berlangsung atau
yang potensial terjadi. Tahap ini paling kritikal bagi perawat karena menjadi dasar dalam
pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan pada pasen. Diagnosa keperawatan
terdiri dari rumusan masalah (problem=P), penyebab (etiologi=E) dan faktor faktor yang
berkontribusi atau data pendukung masalah (symphtom=S). Pernyataan masalah (P)
menyatakan respon anak atau keluarga terhadap gangguan dalam proses
kehidupannya, pola fungsi atau perkembangan, etiologi (E) menggam,barkan faktor fisik,
situasi dan maturasi yang menyebabklan timbulnya masalah dan tanda/gejala (S)
berhubungan dengan sekumpulan tanda tanda dan gejalayang ditunjukkan pasen yang
menunjukkan adanya masalah kesehatan.
Pada kasus anak dengan CAN maka kemungkinan diagnosa keperawatan yang dapat
muncul adalah sebagai berikut:
1. Nyeri berhubungan dengan cedera akiba abuse
2. Risiko tinggi injuri berhubungan dengan adanya riwayat abuse, adanya ancaman dari
keluarga
3. Perubahan pada pertumbuhan dan perkembangan anak berhubungan dengan tidak
adekwatnya pola asuh dan pola didik serta interaksi keluarga yang tidak efektif
4. Gangguan harga diri berhubungan dengan adanya abuse emosional dan tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar anak
5. Cemas berhubungan dengan akan terulangnya abuse,
6. Gangguan body image berhubungan dengan cidera akibat abuse
72
TINDAKAN KEPERAWATAN
1.1.
1.2.
1.3.
1.4.
3. Perubahan pada
pertumbuhan dan
perkembangan anak
sehubungan dengan
tidak adekuatnya pola
asuh dan pola didik
serta interaksi keluarga
yang tidak efektif
73
4. Implementasi keperawatan
Pada tahap ini rencana tindakan yang telah disusun sebelumnya, dilaksanakan dengan
mempertimbangkan prinsip efektifitas dan efisiensinya. Setiap melakukan tindakan pada
anak.keluarga harus diobservasi bagaimana respon mereka terhadap tindakan yang
dilakukan. Tindakan keperawatan ditekankan pada keamanan anak dan rasa tenang
serta nyaman berada di lingkungan perawatan.
5. Evaluasi
Merupakan langkah terakhir dalam asuhan keperawatan anak dengan CAN.
Kemungkinan yang dapat didapat dari hasil evaluasi adalah masalah dapat teratasi,
masalah belum dapat teratasi dan muncul masalah baru. Kriteria hasil yang diharapkan
secara umum pada perawatan anak dengan CAN adalah sebagai berikut:
1. Rasa nyeri akibat perlukaan hilang
2. Anak menunjukkan rasa percaya diri
3. Tidak ada kecemasan yang ditunjukkan anak maupun keluarganya
4. Anak dapat kembali ke lingkungan keluarga/masyarakat dan berinteraksi seperti
sediakala
5. Keluarga dapat meneruskan tugas dalam membantu anak untuk tumbuh dan
berkembang sesuai usianya
6. Keluarga menerima anak apa adanya dan meminta pertolongan kepada tenaga
professional secara tepat
7. Pertumbuhan dan perkembangan anak berjalan sesuai usianya
SISTEM RUJUKAN
Sistem rujukan pada kasus child abuse adalah, suatu pola kerjasama lintas sektoral dan
multidisiplin, yang bertujuan memberikan layanan dan perlindungan secara optimal pada
anak korban kekerasan, sesuai dengan kapasitas dan bidang keahlian masing-masing.
Sistem rujukan yang baik akan membantu mereka yang membutuhkan pertolongan
mendapatkan pelayanan yang benar, efektif dan efisien.
Tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan primer (Puskesmas, Klinik 24
Jam, Balai Pengobatan, Dokter Praktik Swasta) seringkali menjadi pintu masuk atau
74
rujukan awal dari kasus child abuse. Kasus bisa datang langsung dari masyarakat
umum yang menemukan korban (misal pada anak korban kekerasan nondomestik) atau
dari keluarga korban atau bahkan dari pelaku kekerasan (misalnya pada kasus
kekerasan domestik). Kasus juga bisa berasal dari lembaga lembaga perlindungan
anak, atau dari aparat kepolisian. Pada kasus yang dibawa oleh masyarakat pada
umumnya bertujuan untuk mendapatkan pertolongan medis. Sedang pada kasus yang
berasal dari lembaga perlindungan anak, lembaga hukum, dan kepolisian, selain
bertujuan untuk mendapatkan pertolongan medis, juga untuk mendapatkan data medis
adanya tindak penganiayaan guna pembuktian hukum.
Dalam kerangka pertolongan medis alur rujukan kasus mengacu pada pertimbangan
rasional antara status medis korban, kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan, dan
kompetensi tenaga kesehatan yang ada. Pada umumnya jenjang rujukan sesuai dengan
peringkat fasilitas pelayanan kesehatan, misalnya ; Puskesmas dan Balai Pengobatan
hanya melakukan tindak medis dasar. Rumah Sakit Tipe C memberikan layanan
spesialistik dasar, Rumah Sakit Tipe B menyediakan layanan spesialistik lengkap,
sedangkan Rumah Sakit tipe A adalah pusat rujukan akhir yang mampu melakukan
layanan spesialistik secara paripurna. Meskipun demikian masih sangat sedikit pusat
layanan kesehatan yang mempunyai fasilitas layanan terpadu bagi anak korban
kekerasan.
Selain pertolongan medis, kasus child abuse membutuhkan intervensi psikososial,
perlindungan dan bantuan hukum. Oleh sebab itu proses rujukan tidak cukup sampai
pertolongan medis saja. Pada beberapa kasus, misalnya pada anak korban kekerasan
domestik, seringkali intervensi psikososial justru merupakan komponen mendasar dari
penyelesaian kasus. Pada kasus perdagangan anak aspek hukum menjadi komponen
yang dominan dari upaya perlindungan anak. Oleh sebab itu proses rujukan kasus
seyogyanya merupakan kajian tim multidisiplin.
Kasus child abuse yang membutuhkan pendampingan psikososial, dapat dirujuk pada
lembaga-lembaga pemerhati anak seperti Lembaga Perlindungan Anak, Women Crisis
Center, Yayasan Kesejahteraan Anak dan sebagainya. Seyogyanya pemerintah melalui
Komisi Perlindungan Anak Indonesia melakukan identifikasi dan stratifikasi peran dan
kapasitas masing-masing lembaga pemerhati anak dan menyusun directory yang
disosialisasikan ke masyarakat. Dengan demikian akan mempermudah proses rujukan
kasus (seperti stratifikasi Pusat Layanan Kesehatan).
Pendampingan psikososial pada kasus kekerasan domestik seringkali
merupakan masalah yang kompleks. Menjauhkan anak dari pelaku kekerasan berarti
memisahkan anak dari keluarganya. Atau mengembalikan anak ke keluarganya berarti
memulangkan anak pada siklus kekerasan yang terus akan mengancam kehidupannya.
Dalam hal ini lembaga perlindungan anak yang menyediakan layanan rujukan
psikososial diharapkan mempunyai kapasitas dan legalitas untuk melakukan intervensi
keluarga, seperti merekomendasikan keluarga untuk menjalani terapi, menyediakan
rumah aman dan orang tua pengganti (foster parent) bagi anak yang sementara
terpaksa dipisahkan dari keluarganya, dan memberikan layanan rehabilitasi mental
untuk memulihkan anak dari dampak perlakuan kekerasan yang dialaminya.
Pada kasus yang membutuhkan bantuan/perlindungan hukum, misalnya
mengajukan pelaku pemerkosaan ke pengadilan, atau pencabutan hak asuh orang tua
terhadap anak, dan keputusan-keputusan hukum lain yang dibutuhkan bagi
penyelamatan anak dari tindak kekerasan, diperlukan rujukan ke lembaga bantuan
hukum atau badan hukum lainnya (termasuk Kepolisian).
75
PENDEKATAN MULTIDISIPLINER
Penatalaksanaan kasus anak korban kekerasan merupakan pengelolaan multidisiplin,
melibatkan kerjasama dari lembaga pelayanan kesehatan, lembaga perlindungan anak,
lembaga bantuan hukum, aparat penegak hukum, dan lembaga-lembaga sosial
masyarakat yang bergerak dalam perlindungan anak.
Dokter dan tenaga kesehatan lain yang bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan
primer (Primary Health Care Worker / tenaga kesehatan) sering merupakan tangan
terdepan dalam menghadapi kasus anak korban kekerasan. Mereka seyogyanya
memiliki keterampilan dalam melakukan deteksi dini kasus anak korban kekerasan,
melakukan tindakan pertolongan gawat darurat, intervensi psikososial awal terhadap
pasien maupun keluarganya, melakukan rujukan medik spesialistik, serta melakukan
rujukan psikososial. Dalam hal ini tenaga kesehatan seyogyanya mempunyai akses
dengan lembaga-lembaga multidisiplin yang bergerak dibidang perlindungan anak.
Dengan demikian penatalaksanaan paripurna terhadap kasus anak korban kekerasan
merupakan alur hubungan timbal balik antara pertolongan medik dasar rujukan medik
spesialistik rujukan pelayanan psikososial (termasuk intervensi keluargga) rujukan
perlindungan dan bantuan hukum.
76
Kekerasan Seksual
Aspek Klinis
Emergensi medik (perdarahan masif area
anogenital, emboli, sepsis)
Cedera / infeksi ano-uro-genital kompleks non
emergensi (termasuk kehamilan)
Cedera / infeksi sederhana (laserasi ringan,
simple STD)
Penatalaksanaan
Life saving stabilisasi KU rujukan
darurat
Pertolongan awal pemeriksaan
penunjang rujukan elektif
Pengobatan paripurna pemeriksaan
penunjang ( evaluasi kehamilan
Psikososial
Aspek Problem perilaku & emosi pada anak
(cemas, ketakutan, depresi, iritabilitas
Problem keluarga (family disfunction, abusive
parent)
Problem sosial (anak jalanan, kriminalitas)
Penatalaksanaan
Pendampingan psikologis sesuai usia anak
rujuk psikolog atau psikiater
Intervensi keluarga, anak di amankan, rujuk ke
lembaga perlindungan anak
Anak diamankan, rujuk ke LPA proses
perlindungan hukum
Aspek Psikososial
Problem perilaku & emosi pd anak
(ketakutan, agresif, depresi, PTSD)
Problem keluarga (abusive parent, family
disfunction)
Problem sosial (child trafficing, perkosaan
kriminal)
Penatalaksanaan
Pendampingan psikologis sesuai usia
anak( rujukan ke Psikolog /Psikiater
Intervensi keluarga, amankan anak( rujuk
ke LPA, proses hukum
Amankan anak ( rujuk LPA, perlindungan
hukum
Aspek Psikososial
Problem perilaku dan emosi (gangguan
belajar, hiperaktif, cemas menghindar,
psikosomatis )
Problem keluarga (family disfunction,
persepsi pola asuh yg salah )
Problem sosial ( anak jalanan )
Penatalaksanaan
Dalam kasus kekerasan emosional
seringkali anak belum perlu dipisahkan dari
keluarga, umumnya pendampingan
psikologis terhadap anak dan keluarga
dilakukan simultan.
Pada kasus penelantaran anak dan anak
terlantar diupayakan orang tua pengganti.
77
LAPORAN CAN
(datang sendiri, dilaporkan masyarakat,
rujukan dokter, puskesmas dan lainlain)
MASUKAN
PENILAIAN
TIDAK DILANJUTKAN
DILANJUTKAN
PENANGANAN
KASUS
DITUTUP
TIDAK ADA
PENANGANAN
PENILAIAN
KASUS
DITUTUP
PENANGANAN
LANJUTAN
78
KEPUSTAKAAN
1. American Medical Association : Facts about child abuse and neglect ; available
at http://www.ama.assn.org/ama/pub/category/4715.html
2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of pediatrics.
Philadelphia: WB Saunders company, 2001.
3. Bernet, W : Child maltreatment, In Kaplan & Sadocks Comprehensive Textbook
of Psychiatry, 7th ed; Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2000, chapter
49 :2878 2889
4. Bethea L. Primary Prevention of Child Abuse. American Family Physician, 1999;
59:1-4.
5. Budhiman M. Tumbuh Kembang. Dalam : Markum AH, Ismael S, Alatas H, dkk,
penyunting. Buku ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta : Fakultas Kedokteran
UI, 1991; 9-69.
6. Clunn, P. (1995). Child Psychiatric Nursing. St. Louis: Mosby Co.
7. Dhama A. Perkembangan anak; edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Erlangga, 1988;
22-280.
8. Emans S.J, Laufer M.R., Goldstein D.P., Pediatric and Adolescent Gynecology.
Fourth edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 1998
9. Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM. Current pediatric Diagnosis &
Treatment. Toronto, Lange Medical Books, edisi ke-15, 2001.h 190-1.
10. Johnson CF. Child maltreatment 2002 : recognition, reporting and risk. Pediatr Int
2002; 44:554-60
11. Kessen W, Scott D. the development of behaviour : problem, theories and
findings. Dalam : Levine MD, Carey WB dkk, penyunting. Developmental
behavioral pediatrics. Philadelphia : Saunders, 1983; 27-48.
12. Kitab Undang Undang Hukum Pidana
13. Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
14. Konvensi Hak Anak setelah diratifikasi dengan Keppres No. 19 tahun 1990.
15. Leskauskas D. Relationship between the suicidal attempts of adolescent girls
and risk factors in the family. Medicina (Kaunas) 2002; 38:387-92
16. Lewis Melvin, A Comprehensive Text Book of Child and Adolescent Psychiatry,
William & Wilkins
17. Litt IF, Vaughan VC. Growth and development. Dalam : Behrman RE. K Iregman
RM, Jenson, penyunting. Textbook of pediatrics; edisi ke-4. Philadelphia :
Saunders, 1992; 13-32.
18. Mayers, M & Jacobson, A. (1998). Clinical Care Plans Pediatric Nursing. New
York: Mc. Graw Hill
19. Meadow Roy, ABC of Child Abuse, 3rd ed. BMJ Publ.Co, Bristol, 1997
20. Monteleone J.A., Child Maltreatment. St. Louis : G.W. Medical Publishing, Inc,
1994
21. Passat J. Kelainan perkembangan motorik. Dalam : Pusponegoro HD, Passat J,
Mangunatmaja I, dkk, penyunting. Neurologi Anak dalam praktek sehari-hari.
Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Anak XXXIV. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI, 1995; 23-43.
22. Pollak M. Textbook of development pediatrics : development and motor
development; edisi pertama. Dinburg : Churchill livingstone, 1993; 19-187.
23. Rawlins, R.P., Wiliams, S.R. and Beck, C.K. (1993). Mental Health Psychiatric
Nursing. A Holistic Life cycle Approach. St. Louis: Mosby Company
79
24. Soetjiningsih, Ranuh IG.N G. Tumbuh kembang anak. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC, 1998: 165-75.
25. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Dalam : Gde Ranuh IGD, penyunting.
Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC, 1995; 1-32.
26. Stuart, G.W & Sundeen, S.J. (1995) Principles & Practice of Psychiatric Nursing.
St Louis: Mosby
27. Stuart, G.W &Laraia, M.T. (1998). Principles and Practice of psychiatric Nursing,
St.Louis: Mosby Co
28. The Future of children : Domestic violence and children ; available at
http://www.futureofchildren.org/dvc/exsum_23htm
29. Turner Js, Helms DB. Lifespan development, edisi ke-3. New York : CBS college
publishing, 1987; 131-78.
30. Undang Undang Dasar 1945 sesudah diamandemen.
31. Undang Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak
32. United Nation, ESCAP HRD Course on Psychosocial and Medical Services for
Sexually Exploited Children and Youth
33. Vizcarra MB, Cortes J, Bustos L, Alarcon M, Munoz S. Child abuse in the city
Temuco. Prevalence study and associated factors. Rev Med Child 2001;
129:1425-32
34. Watson RI, Lindgren HC. Psychology of the child, edisi ke-3. New York : John
Wiley & Sons Inc, 1973; 58-186.
35. WHO, The Effect of Trauma & Violence on Children & Adolescents, World Mental
Health Day 2002
36. Widiatmaka W, Gunardi H. Buku Panduan Tatalaksana kasus penganiayaan dan
penelantaran anak. Jakarta, IDI, 2000.
37. Williams, JJ : The Circle of Abuse, In : A Clinical Guide and Reference , chapter
16: 285 299
38. Wilson, H.S & Knelisl, C.R. (1996). Psychiatric Nursing. California: Addison
Wesley
39. WMA Statement on Child Abuse and Neglegt
40. Wong, D.L. (2001). Essentials of Pediatric Nursing. St Louis; Mosby
80
LAMPIRAN
PERISTIWA
Konvensi Hak-hak Politik Perempuan; UU No. 68 Th. 1958
PASAL
3 Pasal
16 Pasal
1993
45 Pasal
33 Pasal
Rasial
1999
25 pasal
81
LAMPIRAN
82
83
84
85
86
87
88
Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena
suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka
kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih
kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
89
90
91
92
93
94
95
96
11. Jika diperlukan rawat inap, evaluasi terhadap masalah fisik, emosional, dan
tumbuhkembang anak perlu segera dilakukan. Jika dokter yang pertama menangani
dan memiliki kecurigaan tidak mampu melakukan evaluasi tersebut, maka ia harus
berkonsultasi pada tim multidisiplin RS atau dokter lain yang telah menjalani
pelatihan khusus di bidang Child Abuse.
12. Jika dicurigai adanya CAN, dokter harus mendiskusikan pada orangtua bahwa CAN
menjadi salah satu diagnosis yang ditegakkan pada kasus anaknya. Pada diskusi
tersebut, sangat penting bagi dokter untuk tetap obyektif dan menghindari sikap
menghujat serta menghindari ucapan-ucapan yang menghakimin saat berbicara
dengan orangtua.
13. Dokter harus mencatat proses evaluasi. Rekam medis seringkali memberikan bukti
kritis di dalam sidang pengadilan.
14. Dokter harus berpartisipasi dalam tiap tingkatan pencegahan dengan memberikan
konseling keluarga prenatal dan postnatal; mengidentifikasi masalah dalam
pengasuhan anak, dan memberikan nasihat tentang keluarga berencana.
15. Dokter harus mendukung tindakan-tindakan kesehatan masyarakat seperti
kunjungan rumah oleh perawat, memberikan petunjuk penanganan segera pada
orangtua, serta pemeriksaan berkala anak dan bayi sehat.
16. Dokter harus mengerti bahwa CAN adalah masalah kompleks dan lebih dari satu
macam terapi atau layanan yang dibutuhkan untuk menolong anak korban CAN dan
keluarganya. Pembentukan sistem tatalaksana yang tepat membutuhkan kontribusi
dari berbagai profesi termasuk kedokteran, hukum, keperawatan, pendidikan,
psikologi, dan pekerja sosial.
17. Dokter harus mempromosikan pembuatan program-program inovatif yang dapat
meningkatkan pengetahuan dan kompetensi medis di bidang CAN.
18. Kerahasian pasien dapat dibatalkan pada kasus CAN. Tugas utama dokter adalah
melindungi pasiennya apabila terdapat dugaan CAN. Apapun tipe kekerasan yang
dicurigai (fisik, mental, atau seksual), laporan resmi harus diberikan kepada pihak
yang berwenang.
19. Dokter harus mendukung pengesahan peraturan di negara masing-masing, yang
efektif dalam mengidentifikasi dan melindungi anak koprban kekerasan. Peraturan
tersebut juga harus dapat melindungi dokter dan tenaga kesehatan profesional
lainnya dalam melaksanakan tugas identifikasi, merawat, dan menatalaksana anak
korban kekerasan.
20. Dokter harus mendukung prosedur hukum yang membantu anak korban kekerasan
menjalani proses hukum melawan pelaku selama periode tertentu setelah anak
cukup umur. Dokter juga harus mendukung prosedur hukum yang adil dan obyektif
yang mencari pencegahan yang layak terhadap tuduhan CAN yang tidak didukung
bukti, dan memerlukan bukti obyektif untuk memulai setiap langkah hukum terhadap
tersangka pelaku CAN.
97
VISUM ET REPERTUM
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, ......., dokter pada nama sarana kesehatan,
atas permintaan tertulis dari Kepolisian Resort Metro Jakarta Timur dengan suratnya
tertanggal 11 Juni 2003 nomor :......., maka pada tanggal sebelas Juni tahun dua ribu
tiga, pukul sebelas waktu indonesia barat, telah memeriksa seorang korban yang
menurut surat tersebut adalah :
Nama
: xxx
Jenis kelamin
: Perempuan
Tempat/Tgl Lahir
:
Agama
: ...
Pekerjaan
: Pelajar
Tempat tinggal
:
Yang tercatat sebagai pasien dengan nomor registrasi ............
Orang tersebut datang diantar oleh petugas kepolisian Resort Metro Jakarta Timur,
nama ..... pangkat ...... NRP ......
Dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut :
1. Korban datang dalam keadaan sadar, keadaan umum baik , korban mengaku
dipukul di pipi kanan delapan jam sebelum masuk ke rumah sakit. Korban juga
mengaku bahwa ia sering mengalami kekerasan di keluarganya, .... kali dalam
......, dimulai sejak .........
2. Pada pemeriksaan fisik ditemukan luka-luka sebagai berikut :
a. Pada pipi kanan bawah, tiga sentimeter dibawah telinga kanan, tiga
sentimeter dari garis pertengahan depan, terdapat memar warna
kemerahan ukuran tiga sentimeter kali tiga sentimeter, dikelilingi bengkak
dan nyeri bila ditekan.--------------------------------------------------------------------b. Pada punggung kaki kanan, dua sentimeter dari ujung kelingking kanan,
terdapat luka lecet ukuran satu sentimeter kali setengah sentimeter dan
dikelilingi memar warna kemerahan, ukuran dua sentimeter kali dua
sentimeter dengan bengkak dan nyeri pada penekanan.
Kesimpulan :
Korban adalah seorang anak perempuan yang menurut surat keterangan penyidik
berumur .... tahun. Pada pemeriksaan fisik ditemukan memar, bengkak, serta nyeri
tekan di pipi kanan dan punggung kaki kanan akibat kekerasan tumpul yang tidak
menyebabkan penyakit/halangan dalam menjalankan pekerjaan / jabatan pencaharian.
Demikian visum et repertum ini dibuat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan
kedokteran dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan UU no.8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
Jakarta, 11 Juni 2003
Dokter Pemeriksa,
98
VISUM ET REPERTUM
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, ......., dokter pada nama sarana kesehatan,
atas permintaan tertulis dari Kepolisian Resort Metro Jakarta Timur dengan suratnya
tertanggal 11 Juni 2003 nomor :......., maka pada tanggal sebelas Juni tahun dua ribu
tiga, pukul sebelas waktu indonesia barat, telah memeriksa seorang korban yang
menurut surat tersebut adalah :
Nama
Umur
Jenis kelamin
Warganegara
Pekerjaan
Agama
Alamat
: mmmm
: 7 tahun
: Perempuan
: Indonesia
: Pelajar
: ....
:
Tercatat sebagai pasien dengan nomor registrasi 003.980000, orang tersebut datang
diantar oleh anggota Kepolisian Resort Jakarta Barat, Sektor Tanjungduren, nama .....
pangkat ...... NRP ......
Saksi selama pemeriksaan adalah ...............
Hasil Pemeriksaan
1. Korban datang dalam keadaan sadar, dengan keadaan umum baik, penampilan
umum/sikap tenang, pakaian rapi.
2. Korban mengaku disetubuhi pada tanggal ....... kurang lebih pukul 02.00 wib .
Sebelumnya ia diancam akan dibunuh apabila tidak mau. Ia tidak mengalami
kekerasan fisik ataupun diberi minum/makan sesuatu sebelumnya.
3. Pada tubuh korban tidak ditemukan luka ataupuin cedera (tanda kekerasan).
4. Pada pemeriksaan genitalia
Terdapat darah disekitar bibir kemaluan dan mulut vagina, tampak luka lecet di
pertemuan bibir kemaluan bagian belakang (posterior fourchette), ukuran satu
sentimeter kali setengah sentimeter. Selaput dara berbentuk anuler, terdapat
robekan baru pada tempat yang sesuai dengan arah jam tiga dan sembilan, yang
mencapai dasar. Bagian dalam kemaluan tidak ada kelainan. Daerah anus dan
sekitarnya tidak terdapat kelainan.
5. Pemeriksaan laboratorium terhadap sediaan hapus vagina:
Fosfatase asam positip, berberio/Florence positip, sperma positip.
Gonorrhoe negatip.
KESIMPULAN
Korban adalah seorang anak perempuan yang menurut surat keterangan penyidik
berumur tujuh tahun. Pada pemeriksaan ditemukan luka lecet di bagian belakang bibir
kemaluan dan robekan baru pada selaput dara akibat kekerasan tumpul yang melalui
99
liang senggama (penetrasi). Selain itu tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada
bagian tubuh lainnya. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan tanda-tanda
persetubuhan baru.
Demikian visum et repertum ini dibuat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan
kedokteran dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan UU no.8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
Jakarta, 11 Juni 2003
Dokter Pemeriksa,
Dr. .
.
100