Anda di halaman 1dari 47

Laporan Studi Pustaka (KPM 403)

DAMPAK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR SECARA


KOLABORATIF TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI
MASYARAKAT PESISIR

Oleh
SORAYA FERUZIA
I34110105

Dosen
Dr Arif Satria, SP MSi

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN


MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul Dampak
Pengelolaan Sumber Daya Pesisir secara Kolaboratif terhadap Kondisi Sosial
Ekonomi Masyarakat Pesisir benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah
diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak
mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali
sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya
buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini.
Bogor, Januari 2015

Soraya Feruzia
NIM. I34110105

3
ABSTRAK
SORAYA FERUZIA. Dampak Pengelolaan Sumber Daya Pesisir secara Kolaboratif
terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir. Dibawah bimbingan ARIF
SATRIA
Ko-manajemen merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumber daya perikanan. Komanajemen adalah pengelolaan sumber daya dimana pemerintah membagi kekuasaan
dan tanggung jawab kepada masyarakat pesisir. Ko-manajemen berusaha mewujudkan
keseimbangan ekonomi dan sosial agar terwujudnya kelestarian ekosistem dan sumber
daya. Sebagian besar masyarakat pesisir menggantungkan hidup dengan memanfaatkan
secara langsung sumber daya pesisir. Akses langsung terhadap sumber daya tidak
memberikan kesempatan bagi masyarakat pesisir keluar dari kemiskinan. Kondisi
ekologi pesisir bahkan semakin rusak. Kualitas lingkungan yang menurun akan
memengaruhi produksi perikanan. Ko-manajemen adalah salah satu solusi
menyelesaikan permasalahan kemiskinan masyarakat pesisir dan degradasi lingkungan.
Keberhasilan ko-manajemen sebagai model pengelolaan sumber daya memberikan
dampak positif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kearifan lokal masyarakat
dijadikan sumber acuan untuk melindungi ekosistem pesisir. Pemberdayaan masyarakat
dilakukan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi pada masyarakat pesisir.
Kata kunci: ko-manajemen, masyarakat pesisir, kearifan lokal
ABSTRACT
SORAYA FERUZIA. The Impact of Coastal Resource Management in Collaborative
Way on Socio-Economic Conditions of Coastal Community. Supervised by ARIF
SATRIA
Co-management is one of type fisheries resource management. Co-management is a
resource management that government gives power and authority to coastal community.
Co-management would like to accomplish the balance between economic and social so
that the ecosystem and natural resource will be sustainable. Most of coastal community
lives relying on extracting directly coastal resource. Direct access to coastal resource
doesnt give a chance coastal community to quit from poverty. Coastal ecology
condition is getting worse. The declining environmental quality will affect the fisheries
production. Co-management is one of solutions to overcome the poverty of coastal
community and environmental degradation. The success of co-management as the
model of resource management will give positive impact to socio-economic conditions
of coastal community. Local wisdom will be functioned as main reference to conserve
coastal ecosystem. Community empowerment will increase economy activities to
coastal community.
Keywords: co-management, coastal community, local wisdom

4
DAMPAK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR SECARA
KOLABORATIF TERHADAP KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
PESISIR

Oleh:
SORAYA FERUZIA
I34110105

Laporan Studi Pustaka

sebagai syarat kelulusan KPM 403


pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor

LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Soraya Feruzia
Nomor Pokok
: I34110105
Judul
: Dampak Pengelolaan Sumber Daya Pesisir secara Kolaboratif
terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Dr Arif Satria, SP MSi


NIP. 19710917 199702 1 003

Mengetahui,
Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Dr Ir Siti Amanah, MSc


NIP. 19670903 199212 2 001

Tanggal Pengesahan :

7
PRAKATA
Syukur kepada Allah SWT atas nikmat dan rezeki kepada penulis sehingga
penulis menyelesaikan studi pustaka yang berjudul Dampak Pengelolaan Sumber Daya
Model Ko-Manajemen terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir. Laporan
studi pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM
403) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Arif Satria, M.Sc selaku dosen
pembimbing. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada papa M. Yusuf ZE, SE
dan mama Elita Sari serta ketiga saudara kandung, Arief Rahman Hakim, Shadilla
Shavera dan Shantika Amanda juga nenek tercinta Fatimah Ahmad. Terima kasih selalu
mendoakan penulis agar lancar mengerjakan laporan Studi Pustaka ini. Ucapan terakhir
diberikan penulis kepada semua sahabat, teman dan rekan penulis yang selalu
mendukung dan mendoakan penulis dalam penyelesaian laporan Studi Pustaka ini.
Nama kalian terlalu banyak untuk dituliskan satu persatu dalam sepetik prakata. Penulis
juga ingin meminta maaf jika terdapat kesalahan selama proses pembuatan studi pustaka
hingga hasil akhir studi pustaka.
Penulis berharap agar studi pustaka ini dapat memberikan manfaat baik bagi
penulis maupun kepada pembaca dalam memahami Dampak Pengelolaan Sumber Daya
Model Ko-Manajemen terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir.
Bogor, Januari 2015

Soraya Feruzia
NIM. I34110105

8
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL............................................................................................................10
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................10
PENDAHULUAN...........................................................................................................11
Latar Belakang.............................................................................................................11
Tujuan Penulisan.........................................................................................................12
Metode Penelitian........................................................................................................12
RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA..................................................................13
Marine protected areas in a welfare-based perspective...............................................13
Pesisir dan laut untuk rakyat........................................................................................14
Dampak Pariwisata terhadap Peluang Usaha dan Kerja Luar Pertanian di Daerah
Pesisir..........................................................................................................................15
Perceived risks and benefits of recreational visits to the marine environment:
Integrating impacts on the environment and impacts on the visitor............................17
Pembangunan wilayah pesisir dan lautan dalam perspektif negara kepulauan
Republik Indonesia......................................................................................................19
Strategi nafkah berkelanjutan bagi rumah tangga miskin di daerah pesisir................21
Kajian keterpaduan kegiatan pengelolaan lingkungan pesisir di Kelurahan
Mangunharjo, Kota Semarang.....................................................................................23
Perspektif co-management dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di
Nanggroe Aceh Darussalam (studi kasus di Kota Sabang).........................................24
Poverty and protected areas: an evaluation of a marine integrated conservation and
development project in Indonesia................................................................................26
Fisheries and coastal ecosystems: the need for integrated management.....................28
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN........................................................................31
Model Pengelolaan Sumber Daya Pesisir....................................................................31
Ko-Manajemen........................................................................................................32
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir...............................................................36
Masyarakat Pesisir...................................................................................................36
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir...........................................................37
Dampak Ko-Manajemen terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir.......38
SIMPULAN.....................................................................................................................40

9
Usulan Kerangka Analisis untuk Penelitian................................................................41
Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian..........................................................42
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................43
LAMPIRAN....................................................................................................................46
RIWAYAT HIDUP.......................................................................................................46

10

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Bentuk Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Berdasarkan Rezim/Aktor.........32
Tabel 2 Definisi Ko-manajemen......................................................................................33
Tabel 3 Tipologi Spektrum Ko-Manajemen....................................................................34
Tabel 4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat..................................................................37
Tabel 5 Dampak Ko-Manajemen terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
.........................................................................................................................................38

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Marine Protected Areas in a Welfare-Based Perspective................................14
Gambar 2 Pesisir dan Laut untuk Rakyat........................................................................15
Gambar 3 Dampak Pariwisata terhadap Peluang Usaha dan Kerja Luar Pertanian di
Daerah Pesisir........................................................................................................16
Gambar 4 Perceived risks and benefits of recreational visits to the marine environment:
Integrating Impacts on the Environment and Impacts on the Visitor.....................19
Gambar 5 Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Perspektif Negara
Kepulauan Republik Indonesia..............................................................................21
Gambar 6 Strategi Nafkah Berkelanjutan bagi Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir
................................................................................................................................23
Gambar 7 Kajian Keterpaduan Kegiatan Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kelurahan
Mangunharjo, Kota Semarang...............................................................................24
Gambar 8 Perspektif Co-Management dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan di Nanggroe Aceh Darussalam (Studi Kasus di Kota Sabang).............26
Gambar 9 Poverty and Protected Areas: an Evaluation of a Marine Integrated
Conservation and Development Project in Indonesia............................................27
Gambar 10 Fisheries and Coastal Ecosystems: the Need for Integrated Management...30
Gambar 11 Kerangka Analisis.........................................................................................41

11

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi sumber daya pesisir Indonesia sangat luas mulai dari potensi sumber daya
hayati, potensi wilayah, potensi sumber daya mineral dan energi, potensi industri,
potensi transportasi dan jasa lingkungan (Lasabuda 2013). Salah satu potensi besar
sumber daya hayati Indonesia adalah perikanan. Luas perairan laut 5,8 juta km2 (75
persen dari total wilayah Indonesia) yang terdiri dari 0,3 juta km 2 perairan laut
territorial; 2,95 juta km2 perairan laut Nusantara; dan 2,55 juta km 2 laut ZEEI (Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia) merupakan sebuah potensi besar negara Indonesia (KKP
2013). Potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia sebesar 6.258 juta ton/tahun
sementara Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB) sebesar 5.006 juta ton/tahun.
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia memiliki potensi sumber daya ikan sebesar 1.858
juta ton/tahun sedangkan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan sebesar 1.487 juta
ton/tahun (Sulistiyo dan Trismadi 2011). Sektor perikanan tangkap memiliki potensi
produksi lestari sumber daya ikan laut Indonesia yang mencapai 6,5 juta ton/tahun atau
7,2 persen dari potensi lestari ikan laut dunia 90 juta ton/tahun (FAO 2008 dalam
Adrianto et al 2011). Produksi perikanan tangkap tahun 2013 baru mencapai 5,86 juta
ton (KKP 2013)
Luas terumbu karang di Indonesia mencapai 50.875 km2 atau sekitar 18 persen
dari total kawasan terumbu karang dunia (Greenpeace 2013). Terdapat 1.113 lokasi
terumbu karang tersebar di Indonesia pada tahun 2012 namun hanya 5,3 persen terumbu
karang yang dinyatakan sangat baik (KKP 2013). Luas mangrove di Indonesia mencapai
3.852.223 hektar (KKP 2013) atau sekitar 60 persen luas total mangrove Asia Tenggara
(Greenpeace 2013). Namun hanya 303.680 hektar atau sekitar 8 persen yang dinyatakan
dalam keadaan baik. Luas ekosistem padang lamun Indonesia diperkirakan 30.000 km 2
dan 30 dari 60 spesies di dunia terdapat di Indonesia (Greenpeace 2013). Kerusakan
ekologi baik dari ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem padang
lamun merupakan ancaman terhadap biodiversitas ekosistem dunia. Hal tersebut juga
berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Menurunnya kualitas
lingkungan juga memengaruhi menurunnya produksi perikanan di Indonesia.
Akar krisis ekologi beberapa diantaranya adalah kemiskinan dan degradasi
keanekaragaman hayati. Konsep Deep Ecology menjelaskan bahwa krisis ekologi tidak
hanya diselesaikan secara linier dan parsial karena hanya menyelesaikan masalah
ekologi dan sosial secara pendek (Naess 1976 dalam Adiwibowo 2013). Pembangunan
berkelanjutan adalah sebuah konsep kontemporer dimana pemanfaatan dan
perlindungan harus seimbang dengan memperhitungkan keberlangsungan di masa
depan. Prinsip fundamental dari pembangunan berkelanjutan adalah memerhatikan antar
keberlanjutan antar generasi (intergenerational) dan memerhatikan keberlanjutan dalam
generasi itu sendiri (intragenerational). Selain itu, pasal 2 UU Nomor 45 Tahun 2009
menyatakan bahwa pengelolaan perikanan harus memerhatikan asas kelestarian dan
pembangunan yang berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya pesisir harusnya dapat
menyejahterakan masyarakat pesisir terlebih potensi pesisir Indonesia sangat banyak
dan masih di bawah produksi potensi lestari ikan sehingga masih bisa ditingkatkan. Komanajemen merupakan salah satu konsep pengelolaanj sumber daya yang memerhatikan
tiga pilar konservasi, yaitu ekologi, ekonomi dan sosial.

12
Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka tujuan dari
penulisan Studi Pustaka ini adalah untuk:
1. Mengidentifikasi model pengelolaan sumber daya pesisir;
2. Mengidentifikasi kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir;
3. Menganalisis dampak ko-manajemen terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
Metode Penelitian
Metode penulisan studi pustaka ini adalah dengan menggunakan studi literatur
yaitu dengan mengumpulkan data sekunder terkait dengan pengelolaan sumber daya
pesisir oleh masyarakat pesisir. Data yang digunakan dalam penulisan studi pustaka ini
diperoleh dari berbagai sumber rujukan seperti buku, jurnal, laporan penelitian, skripsi,
tesis, dan disertasi yang sesuai dengan topik yang diangkat. Kemudian data sekunder
yang diperoleh disajikan dalam bentuk pemaparan secara deskriptif dengan cara
mengikhtisarkan beberapa rujukan yang berkaitan dengan topik, kemudian disusun
menjadi tulisan ilmiah sesuai dengan sistematika penulisan yang terdiri dari
pendahuluan, ringkasan, analisis dan sintesis, serta simpulan.

13

RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA


Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume(Edisi):h
al
Alamat URL/doi
Tanggal
diunduh

: Marine protected areas in a welfarebased perspective


: 2014
: Jurnal
: Elektronik
: Siv Reithe, Claire W. Armstrong, Ola
Flaaten
: Marine Policy
: 49(2014): 29-36
:
: 25 September 2014 pukul 13.26 WIB

Pengelolaan sumber daya perikanan memiliki dua perspektif jika ditilik dari sisi
ekonomi. Kedua perspektif tersebut adalah berdasar pendekatan kekayaan (wealth
approach) dan juga pendekatan kesejahteraan (welfare approach). Wealth approach
menggunakan pendekatan mikro ekonomi dimana usaha harus dibatasi dalam rangka
menghasilkan sewa perikanan. Welfare approach menyatakan bahwa perikanan yang
memiliki akses terbuka memberikan manfaat bagi masyarakat miskin seperti sebagai
sumber ketahanan makanan (food security), juga sebagai sumber pendapatan dan
penyangga pasar buruh.
MPA (Marine Protected Areas) merupakan suatu kombinasi antara daerah yang
bersifat akses terbuka dengan zona pemanfaatan (harvest zone). Karakteristik biologis
dari MPA adalah memberikan hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable
Yield) dan juga memberikan perlindungan kepada sumber daya. Sebagai instrument
kebijakan, MPA juga berkontribusi dalam ketahanan pangan dan juga ketenagakerjaan
dan meningkatkan surplus konsumen (SK) juga surplus produsen jika dilihat dari sisi
ekonomi. Oleh para peneliti dari ranah biologi, MPA dinilai efektif dalam manajemen
perikanan dan konservasi sementara para ekonom mengkritisi bahwa peneliti dari ranah
biologi terlalu menyederhanakan model perilaku manusia. Para peneliti biologi juga
mengatakan bahwa para ekonom gagal memperhitungkan kompleksitas ekologi dalam
analisis mereka dalam menilik keuntungan potensial yang didapatkan dari MPA.
Keuntungan dari MPA adalah sebagai konservasi dan restorasi, sebagai ketahanan
pangan dan hasil tangkapan yang berkelanjutan, sebagai sumber mata pencarian,
sebagai surplus konsumen, juga sebagai surplus produsen. Fungsi konservasi dan
restorasi mengasumsikan bahwa semakin banyak wilayah yang tidak dijamah untuk
ditangkap ikannya, semakin terlindungi suatu ekosistem dan memberikan persediaan
distribusi stok perikanan dalam ambang batas lestari. Pemilihan bentuk dari MPA juga
harus didasari atas migrasi dari ikan, pertumbuhan intrinsik juga ukuran stok cadangan
sebelum ditetapkannya MPA yang tentunya akan menentukan efisiensi hasil tangkapan,
harga ikan dan nilai usaha. Tentunya perlu disadari bahwa jika usaha perikanan rendah
dalam suatu kawasan, maka MPA tidak perlu melindungi stok ikan tersebut karena MPA
hanya sebatas pembatasan tanpa manfaat.

14
Bagi negara-negara sedang berkembang dimana kecenderungan karakter
ekosistem tropis yang memiliki banyak spesies dan sumber daya yang tersedia terbatas
dalam pengelolaan manajemen serta nelayan yang hidup masih subsisten dengan
perikanan skala kecil, pengelolaan MPA seperti yang diterapkan negara industry tidak
cocok digunakan.
MPA berbeda dengan Daerah Perlindungan Laut. Meski jika dialih bahasa,
keduanya jenis yang berbeda. DPL merupakan salah satu jenis dari Kawasan Konservasi
Laut yang memang bertujuan konservasi. Sedangkan konsep MPA yang digunakan di
dunia barat adalah suatu perlindungan kepada suatu wilayah agar tidak diambil
manfaatnya dan dijaga kelestariannya. Konsep tersebut berbeda dengan MPA yang ada
pada jurnal ini sehingga perlu diperbanyak mengenai MPA dan penerapan MPA di
Indonesia apakah sama dengan DPL atau berbeda.
Manajemen perikanan pada negara berkembang

Wealth based approach

Welfare based approach

Gambar 1 Marine Protected Areas in a Welfare-Based Perspective

Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Judul Bab

:
:
:
:

Pesisir dan laut untuk rakyat


2009
Buku
Cetak
: Arif Satria
: Krisis Ekosistem Pesisir: Pengelolaan
vs Pembangunan

Kerusakan alam semakin menjadi-jadi. Hal tersebut disebabkan oleh perilaku


manusia yang cenderung destruktif. Krisis ekologis tersebut beriringan dengan krisis
sosial ekonomi seperti kemiskinan terutama pada masyarakat nelayan di pesisir.
Sekarang ini berkembang dua paradigma dalam menyikapi masalah ekologi sosial
ekonomi pesisir. Paradigma pertama adalah coastal management (coast-man) yaitu
paradigma yang mengagungkan kepentingan darat semata. Mulanya paradigma tersebut
seperti itu hingga ahli lingkungan, biologi dan ekologi mengkritisi bahwa pandangan
tersebut sangatlah antroposentrik. Coast-man selanjutnya berkembang pada orientasi
konservasi dan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan (Visser dalam Satria
2009). Integrated Coastal Management (ICM) akhirnya mulai memfokuskan kepada
aspek sosial ekonomi, namun penanggulangan kemiskinan tidak menjadi fokus utama
mereka karena kelestarian wilayah pesisirlah yang menjadi tujuan utama mereka.
Selanjutnya, ada paradigma coastal development (coast-dev) yaitu pemikiran

15
pengelolaan sumber daya pesisir oleh masyarakat dan pengelolaan kolaboratif.
Intergrated Coastal Development (ICD) menekankan kepada keseimbangan sosial
ekonomi dan ekologi dalam pembangunan. ICD merupakan koreksi terhadap ICM yang
semula mengabaikan isu kemiskinan dan masyarakat miskin menjadi penyebab utama
kerusakan ekologis. ICD juga mengembangkan paradigm tata kelola yang baik dan
memerhatikan relasi kekuasaan antar-aktor (pemerintah, swasta dan masyarakat)
Coast-man dan coast-dev sesungguhnya bukanlah paradigma yang saling
kontradiktif melainkan saling mengisi kekurangan. Isu kemiskinan juga sangat penting
bagi negara-negara berkembang sama juga dengan begitu pentingnta isu kelestarian
ekologi. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 menjadi acuan yang begitu kuat untuk
menjaga kelestarian alam dan mengentaskan kemiskinan yaitu dengan mewajibkan tiap
daerah untuk membuat rencana strategis pengelolaan pesisir, rencana pengelolaan serta
rencana aksi dengan diberikannya masyarakat ruang untuk turut andil membuat
perencanaan tersebut.
Perdebatan apakah pembangunan ataukah pengelolaan dapat diambil jalan tengah
yaitu dengan dikenalnya salah satu teori kontemporer, pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan dengan mengindahkan daya
guna sumber daya agar dapat dirasakan manfaatnya tidak hanya sekarang tetapi juga
hingga nanti bagi anak cucu manusia.
Tulisan ini menjadi pijakan penting sebelum mengenal lebih lanjut tentang
pembangunan berkelanjutan dan mengetahui cikal bakal terciptanya teori tersebut.
Konsep ICD belum tertulis dengan rinci sehingga perlu literatur lain untuk memahami
konsep ICD.
Coastal management

Coastal development
Integrated Coastal Development

Gambar 2 Pesisir dan Laut untuk Rakyat

Judul

Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume
(Edisi):hal

: Dampak Pariwisata terhadap


Peluang Usaha dan Kerja Luar
Pertanian di Daerah Pesisir
: 2011
: Jurnal
: Cetak
: Dian Widya Setiyani dan Dwi
Sadono
: Sodality
: 5(2011): 259-272

Kegiatan pariwisata merupakan salah satu bentuk dari pengelolaan sumber


daya dan lingkungan. Kegiatan pariwisata saat ini gencar menjadi nadi dari kehidupan
manusia karena manusia menyadari kebutuhan untuk bersantai dan melepas penat dari
rutinitas. Kegiatan pariwisata menjadi salah satu sumber devisa negara. Pendit dalam
Setiyani dan Sadono (2011) menyatakan bahwa kehadiran pariwisata mampu

16
mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, meningkatkan
penghasilan, meningkatkan standar hidup serta, menstimulasi sektor-sektor produktif
lainnya.
Pulau Pramuka merupakan salah satu pulau yang berpenduduk di Kepulauan
Seribu dan juga merupakan daerah wisata di pesisir Jakarta. Adanya kegiatan pariwisata
mengakibatkan perubahan sosial dan ekonomi terhadap masyarakat. Struktur sosial
masyarakat dibedakan berdasarkan stratifikasi kekayaan yang diambil dari hasil
pendapatan pelaku yang berkecimpung langsung dengan kegiatan pariwisata. Unit
analisis penelitian tersebut adalah nelayan, pemilik usaha homestay, para pedagang,
pemilik rumah makan, dan penyedia layanan transportasi dan jasa. Sifat kegiatan usaha
pariwisata di Pulau Pramuka dominan pada sifat kegiatan informal (73%) dimana usaha
belum dikelola secara profesional dan lebih mengutamakan asas kekeluargaan dalam
pengelolaannya. Dari unit analisis tersebut didapat fakta bahwa sebesar 63% pemanfaat
peluang usaha dan kerja pariwisata adalah penduduk asli dari Pulau Pramuka.
Masyarakat yang berusia lebih dari 40 tahun cenderung bekerja pada jenis kegiatan
pedagang, rumah makan dan homestay sedangkan masyarakat yang berusia 31-40 tahun
lebih memanfaatkan peluang bekerja di bidang transportasi dan jasa yang lebih banyak
menguras kekuatan fisik. Suplai bahan makanan didapatkan masyarakat dari pasar
Muara Angke dan dari nelayan sendiri untuk perikanan juga dipasok dari pulau lain
yang berdekatan. Kegiatan pariwisata di Pulau Pramuka sangat diandalkan sebagai
pendapatan utama dari rumah tangga terutama dari kalangan kelas menengah dan
bawah. Kepemilikan lahan cenderung milik pribadi dan dimiliki oleh penduduk asli.
Sementara warga pendatang memiliki status sewa atas lahan di Pulau Pramuka.
Dampak pariwisata terhadap peluang usaha di luar pertanian di Pulau Pramuka
memiliki nilai ekonomi yang positif. Kebutuhan pangan meningkat karena kehadiran
wisatawan; berkembangnya homestay, travel agent, jasa transportasi dan pedagang
menjadi salah dua dari peluang usaha di luar pertanian dan menjadi sumber penghasilan
utama bagi kebanyakan masyarakat di Pulau Pramuka.
Dampak pariwisata bagi perekonomian masyarakat lokal adalah multiplier
effect. Tidak hanya sektor pertanian yang diuntungkan justru sektor lain seperti jasa dan
transportasi berkembang pesat. Permintaan pengunjung meningkat terlebih ketika
musim liburan. Pulau Pramuka yang letaknya strategis dekat dengan kota memudahkan
pengunjung yang ingin melepas penat mengakses pulau tersebut. Akses menuju pulau
tidak sulit sehingga jumlah pengunjung bisa berkali kali lipat dan makin mempercepat
roda perekonomian masyarakat di pulau tersebut. Konsep pariwisata sudah tidak lagi
relevan dipakai pada Pulau Pramuka. Pasalnya, Pulau Pramuka sudah ditetapkan
sebagai salah satu kawasan konservasi sehingga kegiatan pariwisata disana berubah
menjadi kegiatan ekowisata dengan lebih mengindahkan keberlanjutan dan kelestarian
sumber daya hayati.

17

Peluang usaha
Unsur pariwisata
Unsur manusia
Unsur kegiatan
Unsur motivasi
Unsur sasaran
Unsur usaha

Sektor formal
Sektor nonformal

Tingkat Pendapatan

Peluang usaha
Sektor pertanian
Sektor non-pertanian

Gambar 3 Dampak Pariwisata terhadap Peluang Usaha dan Kerja Luar Pertanian di
Daerah Pesisir

Judul

Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume(Edisi):h
al
Alamat URL/doi
Tanggal
diunduh

: Perceived risks and benefits of


recreational visits to the marine
environment: Integrating impacts on
the environment and impacts on the
visitor
: 2013
: Jurnal
: Elektronik
: Kayleigh J. Wyles, Sabine Pahl,
Richard C. Thompson
: Ocean & Coastal Management
: 88(2014): 53-63
:
: 14 April 2014 pukul 14.45 WIB

Pesisir memberikan manfaat baik dalam bentuk barang maupun jasa kepada
manusia. Keberlanjutan lingkungan dapat dicapai dengan integrasi pemahaman dari
kegiatan manusia (kunjungan rekreasi) di lingkungan pesisir. Penelitian ini
memfokuskan kepada pantai berbatu, daerah intertidal pesisir yang kaya akan
keanekaragaman biota. Daerah intertidal pesisir menawarkan jasa penting seperti
makanan, pertahanan laut alami dan tempat untuk rekreasi (Branch et al 2008 dalam
Wyles et al).
Jurnal ini mengulas mengenai dampak negatif terhadap lingkungan yang sering
terjadi dari kunjungan wisata dan dampak positif mengunjungi daerah wisata terhadap
pengunjung itu sendiri. Dua penelitian dilakukan untuk memeriksa persepsi dari resiko
dan manfaat wisata baik bagi lingkungan maupun pengunjung yang datang. Penelitian
pertama melibatkan ahli kelautan dan pengguna jasa wisata (masyarakat awam yang
berkunjung ke daerah pantai berbatu), penelitian pertama memfokuskan kepada
kunjungan rekreasi di pantai berbatu Inggris. Sedangkan, penelitian kedua yang bersifat

18
lebih global melibatkan pakar ekologi kelautan dari seluruh dunia yang mempelajari
lingkungan pantai berbatu. Penelitian tersebut berusaha membandingkan persepsi antar
ketiga pihak tersebut terhadap kegiatan rekreasi yang seperti apa yang berbahaya
terhadap lingkungan sehingga butuh pengelolaan lebih lanjut. Selain itu untuk
membuktikan pernyataan Steel (2005) dapat terbukti di Inggris bahwa orang yang
tinggal dekat dengan pantai memiliki level kesadaran mengenai laut lebih tinggi, apakah
kesadaran itu juga dapat dimiliki oleh mereka yang melakukan kunjungan rekreasi di
pantai. Pernyatan tesebut berkembang dari pertanyaan apakah kunjungan wisata ke
pantai berbatu bermanfaat bagi pengunjung. Keseluruhan penelitian ini akan digunakan
unttuk memaksimalkan manfaat rekreasi bagi pengunjung dan meminimalisir dampak
negative bagi lingkungan dari kegiatan rekreasi tersebut.
Priskin dalam Wyles (2014) menyebutkan bahwa terdapat aktivitas yang
berbahaya di pantai yang sering dilakukan oleh pengunjung. Makna berbahaya disini
adalah kegiatan yang memiliki potensi merusak lingkungan. Menurutnya, sangat
penting untuk memahami dampak tersebut sehingga dapat memperbaiki teknik
pengelolaan daerah wisata terutama pantai berbatu. Lingkungan alam juga memiliki
manfaat psikologi bagi pengunjung tempat tersebut seperti meningkatkan suasana hati,
meningkatkan kemampuan tugas kognitif, mempercepat proses penyembuhan pasca
operasi, meningkatkan psikologis dan kesehatan fisik. Lebih spesifiknya lagi,
lingkungan air/biru lebih memberikan dampak positif terhadap suasana hati dan
relaksasi ketimbang lingkungan hijau seperti hutan.
Coombes dan Jones (2010) dalam Wyles (2014) menyebutkan bahwa terdapat
lima belas kegiatan yang dilakukan di area intertidal, yaitu: berjalan-jalan, dog-walking,
jogging, berenang, snorkeling, crabbing, memancing, bermain bersama keluarga,
berjemur/relaksasi, rock pooling, memandang alam (bird watching), piknik, berburu
fosil dan bersepeda. Kelima belas kegiatan tersebut memiliki potensi merusak
lingkungan. Selain itu, partisipan juga ditanya mengenai perasaan mereka setelah
melakukan aktivitas kunjungan wisata.
Hasil dari dua penelitian menyebutkan bahwa kunjungan ke pantai berbatu
bermanfaat bagi pengunjung baik bagi kesejahteraan maupun kesadaran kepedulian
mengenai kelautan. Dampak negatif bagi lingkungan dari kegiatan kunjungan ke daerah
pantai berbatu adalah membuang sampah. Dampak positif yang diterima pengunjung
dari berkunjung ke pantai berbatu adalah menjadi lebih bahagia dari sebelum datang
setelah melakukan aktivitas seperti memandang alam, selain itu kesadaran akan
kepedulian terhadap laut menjadi lebih meningkat bahkan tanpa pengunjung
mendapatkan pengajaran formal mengenai pentingnya menjaga alam. Dari kegiatan
kunjungan tersebut pengunjung diharapkan memiliki sikap yang lebih pro-lingkungan.
Kegiatan yang dinilai memiliki dampak positif bagi pengunjung dan sedikit
dampak negative bagi lingkungan adalah berjemur/relaksasi. Sementara aktivitas yang
dinilai merusak lingkungan dan tidak bermanfaat bagi pengunjung adalah memancing.
Meski begitu, penelitian ini hanya mengungkapkan persepsi pengunjung bukan berdasar
pengalaman actual. Selain itu, hasil penelitian bukan merupakan representative dari
masyarakat.
Pantai berbatu yang memang banyak ada di Inggris merupakan aset berharga
bukan hanya bagi ranah biologi laut, sumber daya dan perekonmian dari kegiatan wisata
melainkan juga bermanfaat bagi kesejahteraan psikologis pengunjung. Teknik
pengelolaan yang disarankan peneliti dari menyampah yang merupakan dampak
negative dari kegiatan rekreasi adalah memberikan edukasi pencgahan buang sampah
sembarang, menerapkan denda dan juga menyediakan fasilitas tong sampah. Selain itu
untuk meningkatkan kesadaran kepedulian lingkungan, peneliti menyarankan dibuatkan

19
papan informasi, pamphlet atau pameran. Pada akhirnya, pendekatan baru dari
pemahaman dan pengelolaan biaya dan manfaat dari aktivitas yang dilakukan
pengunjung saat rekreasi di pantai berbatu dapat memberikan kontribusi terhadap
keberlanjutan lingkungan dan manfaat untuk pengunjung sendiri.
Ternyata tidak perlu konsep ekowisata, penelitian ini membuktikan bahwa
kegiatan pariwisata yang ada di pantai berbatu Inggris dapat menimbulkan kesadaran
kepedulian lingkungan bagi pengunjung. Pengunjung pantai berbatu di Inggris sudah
menyadari betapa rentan rusaknya suatu ekosistem jika membuang sampah sembarang
dan memindahkan spesies dari tempatnya. Namun karakteristik warga Inggris, negara
maju berbeda dengan kondisi masyarakaat Indonesia, negara sedang berkembang
sehingga belum tentu hanya dengan kegiatan pariwisata dapat meningkatkan kepedulian
dan kecintaan lingkungan pengunjung pantai.
Pariwisata pantai berbatu

Dampak pada lingkungan

Dampak pada pengunjung

Ancaman rusaknya biodiversitas


Sampah

Relaksasi
Meningkatkan suasana hati
Kepedulian terhadap lingkungan

Gambar 4 Perceived risks and benefits of recreational visits to the marine environment:
Integrating Impacts on the Environment and Impacts on the Visitor

Judul

Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume(Edisi):h
al
Alamat URL/doi
Tanggal
diunduh

: Pembangunan wilayah pesisir dan


lautan dalam perspektif negara
kepulauan Republik Indonesia
: 2013
: Jurnal
: Elektronik
: Ridwan Lasabuda
: Platax
: I-2(2013): 92-101
:
: 12 November 2014 pukul 18.23 WIB

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (UNCLOS 1982)


memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang sangat besar dan belum
dimanfaatkan secara optimal. Dalam artikel ilmiah ini dipaparkan sejumlah potensi
sumber daya pesisir dan lautan Indonesia, isu-isu pembangunan wilayah pesisir dan

20
lautan Indonesia, serta pengenalan paradigma baru demi terciptanya pembangunan
wilayah pesisir dan lautan Indonesia yang berkelanjutan dan lestari.
Potensi dan keunggulan sumber daya pesisir dan lautan Indonesia terdiri dari
beberapa jenis potensi. Pertama, potensi wilayah dimana Indonesia sangat strategis
sebagai pusat lalu lintas maritim antar benua dan juga memiliki kedaulatan terhadap laut
yang sudah diakui dunia. Kedaulatan tersebut meliputi: perairan pedalaman, perairan
nusantara, laut teritorial (12 mil darigaris dasar) dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI) sejauh 200 mil dari garis pangkal. Kedaulatan tersebut berupa kekayaan alam
(perikanan), kewenangan memelihara lingkungan laut, mengatur dan mengizinkan
penelitian ilmiah kelautan, pemberian ijin pembuatan pulau buatan, instalasi dan
bangunan lainnya. Kedua, potensi sumber daya hayati dimana 2000 jenis ikan dari 7000
di dunia ada di Indonesia. Jumlah potensi lestari sumber daya perikanan laut Indonesia
berupa 6,4 juta ton (ikan pelagis, demersal, udang, lobster, cumi-cumi dan ikan karang).
Dari jumlah tersebut, jumlah tangkapan yang boleh ditangkap (JTB) sebanyak 5,12 juta
ton atau 80% dari potensi lestari. Jumlah tersebut belum termasuk potensi budidaya laut
dan tambak. Potensi lainnya adalah perairan Indonesia merupakan tempat bertelur ikanikan yang bermigrasi (highly migratory species) seperti tuna, lumba-lumba dan penyu.
Ketiga, potensi sumber daya mineral dan energi dimana 70% produksi minyak berasal
dari kawasan pesisir dan laut. Enam puluh cekungan yang potensial memiliki nilai 11,3
miliar barel minyak bumi. Selain itu, energy baru pengganti BBM yaitu gas hidrat dan
gas bionik di lepas pantai barat Sumatera, selatan Jawa Barat. Gas tersebut berpotensi
besar melebihi seluruh potensi minyak dan gas bumi Indonesia. Sumber energy lainnya
yang berasal dari pesisir dan laut Indonesia adalah mineral (emas, perak, timah, bijih
besi dan mineral berat), energi pasang surut, energi gelombang, OTEC (Ocean Thermal
Energy Conversion), tenaga surya dan angin serta potensi sumber daya mineral lainnya
yaitu: air laut dalam (deep ocean water) yang memiliki karakteristik berguna bagi
kepeningan perikanan, kosmetik dan air mineral. Keempat, potensi industri dan jasa
maritim dimana luasnya perairan Indonesia sangat berpotensi dalam pengembangan
industri kapal (galang kapal), industri peralatan kapal, indsutri alat penangkapan ikan,
industri kincir air tambak, offshore engineering, coastal engineering and structures,
kabel bawah laut dan fiber optics dan remote sensing. Kelima, potensi transportasi laut
dan jasa lingkungan dimana Indonesia memiliki peluang besar sebagai salah satu sentral
transportasi pengangkutan kapal asing. Poros perekonomian dunia sudah bergeser dari
poros Atlantik menjadi Asia-Pasifik. Potensi total muatan nasional 5002 juta ton per
tahun sehingga diperlukan sekitar 650 kapal tambahan dengan total investasi US$ 5
miliar. Penambahan 650 armada perairan bukan hanya akan meningkatkan devisa
negara tetapi menambah sedikitnya satu juta lapangan pekerjaan, mendongkrak daya
saing bangsa dan multiplier effects lainnya. Potensi jasa lingkungan berupa estetika
lingkungan dan kekayaan keanekaragaman sumber daya yang sulit ditandingi oleh
negara kepulauan lain. Potensi ini menjanjikan potensi ekonomi dari kegiatan pariwisata
terlebih kebutuhan masyarakat saat ini kembali ke poros back to nature. Estimasi nilai
potensi ekonomi pariwisata bahari di Indonesia sebesar US$ 54,3 miliar per tahun
(PKSPL 2009 dalam Dahuri 2010 dalam Lasabuda 2013). Keenam, potensi cultural
dimana masih banyak Benda Muatan Kapal Tenggelam (BKMT) yang belum diambil
manfaatnya oleh masyarakat dengan potensi nilai ekonomi sebesar US$ 40 juta.
Isu pembangunan wilayah pesisir dan lautan Indonesia adalah kemiskinan
masyarakat pesisir, konflik pemanfaatan ruang, penurunan kualitas lingkungan,
pengelolaan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau kecil di perbatasan, pengelolaan sumber
daya perikanan yang tidak berkelanjutan dan perubahan iklim global. Kesejahteraan
masyarakat pesisir menjadi fokus utama dari UU 27 Tahun 2007. Pengelolaan sumber

21
daya perikanan yang tidak berkelanjutan memiliki keterkaitan dengan penurunan
kualitas lingkungan. Oleh sebabnya peneliti menawarkan paradigma pengeelolaan yang
berkelanjutan dan dapat menyejahterakan masyarakat. Penerapan paradigma tersebut
harus didukung oleh kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan melalui
pendekatan ekologi, sosial dan ekonomi, penguatan kelembagaan (UU pengelolaan
pesisir dan pulau-pulau kecil), mitigasi dan adaptasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, pemberdayaan masyarakat pesisir, serta kerjasama regional dan internasional
seperti pengelolaan sumber daya berbasis ekoregion. Pengelolaan sumber daya kelautan
dan perikanan membutuhkan kebijakan yang komprehensif, terintegrasi dan tepat
sasaran juga sesuai dengan pilar pembangunan nasional (pro growth strategy, pro job
strategy, dan pro poor strategy). Perubahan paradigma dengan menjadikan laut orientasi
sehingga dapat mengoptimalkan sumber daya wilayah pesisir dan laut.
Potensi pesisir Indonesia menjadi sebuah aset besar yang harus segera dikelola
secara berkelanjutan demi mengupayakan cita cita utopis bangsa. Kesejahteraan
masyarakat dan juga kelestarian lingkungan menjadi dua hal yang harus diperhatikan
dalam setiap pengelolaan sumber daya hayati dan non-hayati.

Judul

Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume(Edisi):h
al
Alamat URL/doi

Tanggal
diunduh

: Strategi nafkah berkelanjutan bagi


rumah tangga miskin di daerah
pesisir
: 2011
: Jurnal
: Elektronik
: Slamet Widodo
: Makara, Sosial Humaniora
: 15 No. 1 (Juli 2011): 10-20
:
journal.ui.ac.id/index.php/humanities
/article/view/890
: 10 Desember 2014 pukul 12.08 WIB

22

Potensi pesisir Indonesia


Isu pembangunan pesisir Indonesia
Potensi wilayah
Kemiskinan
Potensi sumber daya hayati
Konflik pemanfaatan ruang
Potensi industri dan jasa maritim
Penurunan kualitas lingkungan
Potensi transportasi laut dan jasa lingkungan Pengelolaan pulau-pulau kecil
Potensi kultural
Pengelolaan yang tidak berkelanjutan

Paradigma pembangunan wilayah pesisir dan lautan yang berkelanjutan


Kebijakan pembangunan
Penguatan kelembagaan
Mitigasi dan adaptasi
Pemberdayaan masyarakat pesisir
Kerjasama regional dan internasional
Gambar 5 Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Perspektif Negara
Kepulauan Republik Indonesia

Masyarakat yang hidup menggantungkan langsung dari hasil pertanian biasanya


hidup dalam kemiskinan salah satunya masyarakat pesisir. Mereka menggantungkan
hidupnya dari pemanfaatan sumber daya laut dan sangat bergantung pada musim.
Sebagian besar masyarakat pesisir bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan,
pengolah ikan skala kecil dan pedagang kecil karena kemampuan investasi terbatas.
Hasil tangkapan juga mudah rusak sehingga melemahkan posisi tawar mereka dalam
transaksi penjualan.
Penelitian dilakukan di Desa Kwanyar Barat, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten
Bangkalan, Madura. Rendahnya produktivitas nelayan disebabkan oleh over fishing.
Ikan pelagis di perairan Selat Madura menunjukkan over fishing sejak tahun 1997
sedangkan ikan demersal di perairan Madura mengalami kelebihan tangkap sejak tahun
2003 (Muhsoni 2006). Rendahnya produktifitas menjadi penyebab utama kemiskinan di
daerah pesisir Madura. (Satria 2001; Muhsoni 2006).
Pendekatan nafkah berkelanjutan berusaha mencapai derajat pemenuhan
kebutuhan sosial, ekonomi dan ekologi secara adil dan seimbang. Pencapaian derajat

23
kesejahteraan sosial didekati melalui kombinasi aktivitas dan utilisasi modal-modal
yang ada dalam tata nafkah (Ellis 2000). Strategi yang dapat dilakukan oleh rumah
tangga miskin pedesaan antara lain: 1) melakukan beraneka ragam pekerjaan meskipun
dengan upah yang rendah, 2) memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbale
balik dalam pemberian rasa aman dan perlindungan dan 3) melakukan migrasi ke daerah
lain (Carner 1984). Alasan utama strategi nafkah ganda pada rumah tangga berbeda
pada masing-masing lapisan. Rumah tangga lapisan atas berpola nafkah ganda sebagai
strategi akumulasi modal dan lebih bersifat ekspansi usaha. Lapisan menengah
melakukan pola nafkah ganda sebagai upaya konsolidasi mengembangkan ekonomi
rumah tangga. Sebaliknya, lapisan bawah melakukan strategi pola nafkah ganda sebagai
strategi bertahan hidup pada tngkat subsistensi dan upaya keluar dari kemiskinan
(Sajogyo 1982).
Secara alami ada interaksi yang sangat kuat antara ketersediaan sumber daya ikan,
jumlah, perilaku dan kapasitas nelayan serta ekonomi dari hasil usaha penangkapan.
Oleh karena itu, kemiskinan nelayan harus dipandang sebagai suatu sistem yang
memiliki komponen yang saling berinteraksi.
Faktor penyebab kemiskinan disebabkan akumulasi modal sangat terbatas
sehingga untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Akses pendapatan masyarakat pesisir
di Bangkalan habis untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Selain itu, kualitas
modal manusia di Kwanyar barat masih rendah akibat tingkat pendidikan dan
keterampilan kerja terbatas dan tidak memadai. Konflik dengan nelayan lain dalam
akses perairan perikanan juga menjadi faktor kemiskinan di Kwanyar Barat. Pasalnya,
Selat Madura tidak cukup luas bagi nelayan desa satu dengan desa lainnya sehingga
harus saling berebut lahan tangkap.
Strategi ekonomi rumah tangga miskin di Kwanyar Barat terdiri atas tiga yaitu
pola nafkah ganda (jasa perbaikan perahu dan jarring serta menarik becak), optimalisasi
tenaga kerja rumah tangga (terlibat dalam penangkapan ikan dan membantu dalam
perbaikan jarring atau perahu) dan migrasi (bekerja sebagai pedagang dan pengumpul
besi tua). Namun, strategi nafkah yang dominan dilakukan adalah migrasi. Anggota
rumah tangga nelayan miskin pergi ke kota besar seperti Surabaya dan Jakarta.
Sebagian besar pelaku migrasi adalah laki-laki dan masih berusia muda. Mereka tidak
tertarik dengan bekerja sebagai nelayan dengan alasan rendahnya pendapatan menjadi
nelayan. Strategi sosial pada rumah tangga miskin adalah menggunakan kelembagaan
tradisional yang berlaku (sumbangan pada saat hajatan dan arisan) serta modal sosial
yang berasal dari ikatan kekerabatan (tukar menukar informasi, tenaga kerja atau
berhutang).
Strategi nafkah berkelanjutan adalah pemanfaatan modal sosial yang ada pada
masyarakat. Modal sosial dapat dirupakan dalam bentuk pemanfaatan ikatan sosial,
lembaga kesejahteraan tradisional maupun pola-pola transaksi sosial yang telah
melembaga di masyarakat. Kunci utama modal sosial adalah trust (rasa percaya).
Kekuatan modal sosial dapat dimanfaatkan untuk memberikan kesempatan akses
terhadap modal lainnya seperti modal finansial, modal fisik, modal alam dan modal
manusia. Akses terhadap modal finansial yang terbatas perlu ditingkatkan melalui
pembentukan lembaga keuangan mikro. Peran perempuan dalam pengembangan strategi
nafkah berkelanjutan sangatlah penting. Pemanfaatan ikatan sosial antar penduduk
perempuan perlu ditingkatkan seperti pemberian fasilitas bagi istri untuk melaksanakn
kegiatan produktif seperti arisan, pelatihan, dan simpan pinjam.
Artikel ini bagus terutama dalam mengkaji strategi nafkah berkelanjutan yang
ternyata sudah ada pada masyarakat desa Kwanyar Barat. Namun teori penguasaan
sumber daya milik Bromley yang ditulis penulis pada pendahuluan, tidak

24
mencantumkan nama penulisnya. Secara keseluruhan, artikel ilmiah ini sangat cocok
digunakan untuk referensi dalam kajian strategi bertahan hidup masyarakat miskin di
daerah pesisir sehingga saat penelitian mengenai dampak kepada masyarakat pesisir
terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir, kajian strategi nafkah berkelanjutan ini dapat
dipakai.
Faktor kemiskinan

Strategi nafkah Strategi nafkah berkelanjutan

StrategiAkumulasi
ekonomi: modal
pola nafkah
rendah
ganda, optimalisasi
Pemanfaatan
tenaga
modal
kerja
sosial
rumah tangga, migrasi
Rendahnya Strategi
pendidikan
sosial: modal
Lembaga
sosial, kelembagaan
keuangan mikro
sosial
berbasis rasa percaya (trust)
Akses teknologi sulit
Peran perempuan

Gambar 6 Strategi Nafkah Berkelanjutan bagi Rumah Tangga Miskin di Daerah Pesisir

Judul

Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Nama Jurnal
Volume(Edisi):h
al
Alamat URL/doi
Tanggal
diunduh

: Kajian keterpaduan kegiatan


pengelolaan lingkungan pesisir di
Kelurahan Mangunharjo, Kota
Semarang
: 2013
: Jurnal
: Elektronik
: Fransisca Situmorang dan
Wiwandari Handayani
: Teknik PWK
: 2 No. 4(2013): 885-894
:
: 14 April 2014 pukul 14.45 WIB

Penurunan kualitas lingkungan akibat kegiatan antropogenik dan juga bencana


alam menyebabkan kondisi kawasan pesisir di Mangunharjo, Semarang menurun. Salah
satu masalah utama dalam pengembangan sumber daya wilayah pesisir khususnya di
Indonesia adalah kurangnya integrasi antar pemangku kepentingan. Pembangunan
sumber daya pesisir hanya dikembangkan berdasarkan kepentingan sektoral tanpa
mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Kondisi kritis Kelurahan Mangunharjo terjadi
karena abrasi yang merusak pantai yang tidak hanya merugikan nelayan tambak tetapi
juga rumah penduduk. Abrasi yang terjadi akibat pencemaran limbah pabrik. Kegiatankegiatan pengelolaan khususnya penanaman mangrove sangat sering dilakukan.

25
Terdapat empat pemangku kepentingan yaitu pemerintah, swasta, komunitas, akademisi
dan masyarakat.
Integrated Coastal Management (ICM) merupakan pendekatan yang memberikan
arah bagi pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan
berbagai perencanaan sektoral. Artikel ilmiah ini bertujuan mengidentifikasikan sampai
pada tahap apa integrasi antar pemangku kepentingan demi efektifitas pengelolaan
lingkungan pesisir di Kelurahan Mangunharjo, Kota Semarang. Indikator dalam
menentukan keterpaduan/integrasi terdiri dari lima tahap: fragmented approach,
communication, coordination, harmonization, integrated approach. Berdasarkan
keseluruhan hasil analisis, kegiatan pengelolaan lingkungan pesisir yang ada di
Kelurahan Mangunharjo sudah baik dengan persentase 73%. Namun, dalam
pelaksanaan ditemukan bahwa terdapat pengelompokkan kerjasama antar pemangku
kepentingan. Namun antar pemangku kepentingan masih belum terdapat pembagian
kerja yang jelas berdasarkan fungsi masing-masing kelompok pemangku kepentingan.
Pemangku kepentingan tertinggi sesungguhnya pemerintah sehingga seharusnya
pemerintah membuat data perencanaan untuk mengembalikan keseimbangan
lingkungan Mangunharjo sehingga ketika ada stakeholder ingin melakukan kegiatan
alam dan pemerintah terbatas dana, dapat dilakukan kegiatan yang sesuai dengan data
perencanaan pengelolaan Kelurahan Mangunharjo sehingga terlihat harmonisasi
kegiatan satu dengan kegiatan lainnya. Unit analisis di tingkat individu, penulis tidak
mencantumkan keterangan tambahan mengenai asal responden dari pemangku
kepentingannya.
Indikator integrasi pengelolaan pesisir

Stakeholder

Fragmented approach
Communication
Coordination
Harmonization
Integrated approach

Pemerintah
Non pemerintah (LSM)
Swasta (CSR)
Akademisi
Masyarakat

Gambar 7 Kajian Keterpaduan Kegiatan Pengelolaan Lingkungan Pesisir di Kelurahan


Mangunharjo, Kota Semarang

Judul

Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis

: Perspektif co-management dalam


pengelolaan sumber daya kelautan
dan perikanan di Nanggroe Aceh
Darussalam (studi kasus di Kota
Sabang)
: 2006
: Jurnal
: Cetak
: Andrian Ramadhan, Manadiyanto,
Zahri Nasution

26
Nama Jurnal
Volume(Edisi):h
al

: Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial


Ekonomi Kelautan dan Perikanan
: 1 No.2 (2006): 141-152

Salah satu bentuk pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang
dilakukan oleh masyarakat Kota Sabang, NAD adalah panglima laot. Panglima laot
merupakan salah satu jenis kearifan lokal yang berlaku di Aceh. Artikel ilmiah ini
bertujuan untuk mengetahui nilai nilai apa yang berlaku di dalam panglima laot dan tipe
pengelolaan sumber daya kelautan dalam perspektif co-management. Program
pengelolaan sumber daya akan berjalan dengan baik jika masyarakat ikut dilibatkan.
Salah satu bentuk pengelolaan sumber daya adalah community based management
dimana masyarakat turut andil mengatur sumber daya yang mereka miliki dan
pemerintah menjadi pemantau pengelolaan sumber daya. Namun kelemahan dari model
community based management adalah kadar kemampuan masyarakat yang minim serta
tidak merata sehingga keberhasilan pengelolaan dari suatu wilayah sulit dicapai. Konsep
co-management muncul dengan memiliki arti susunan dimana tanggung jawab terhadap
pengelolaan sumber daya dibagi antara pemerintah dan kelompok pengguna (Send an
Raakjer Nielsen dalam Nielsen dan Thomas Vedsman dalam Satria 2002). Hubungan
pemerintah dan masyarakat akan berupa mitra kerjasama dengan porsi yang setara.
Kearifan lokal panglima laot tidak hanya meliputi tata pergaulan masyarakat
sehari-hari tetapi juga mengelola sumber daya. Masyarakat Aceh menyadari rusaknya
lingkungan akan berdampak negatif kepada hasil tangkapan ikan mereka yang berarti
menurunnya pendapatan ekonomi mereka. Kearifan lokal merupakan modal besar
dalam pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat karena nilai-nilai kearifan sudah
tumbuh dari dalam masyarakat itu sendiri dan mengikutsertakan mereka dalam menjaga
peraturan di dalamnya. Perspektif co-management terdiri atas beberapa tipe berdasarkan
tingkat keterlibatan masyarakat. Ada lima tipe yaitu instructive, consultative,
cooperative, advisory dan informative. Tahap instructive dimana peran pemerintah
sangat dominan dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan. Tahap tertinggi yaitu
informative dimana masyarakat memiliki peran lebih dominan dalam pengambilan
kebijakan. Kondisi ideal adalah cooperative bila tercapai kondisi yang relatif setara
antara pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan penelitian, tipe pengelolaan sumber
daya perikanan dan kelautan yang ada di Kota Sabang, NAD adalah tipe kooperatif.
Koordinasi antara pihak pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya
perikanan dan kelautan sudah berjalan dengan baik. Pengumpulan data artikel ilmiah ini
menggunakan data sekuner dan data primer. Data sekunder didapatkan dari dokumentasi
dan publikasi hasil pengkajian dan pendataan yang telah dilakukan. Data primer
menggunakan metode wawancara mendalam dan FGD (Focus Group Discussion).
Rencana pengembangan perikanan dan kelautan memang memfokuskan Kota
Sabang dan Kabupaten Aceh Besar. Potensi sumber daya ikan Kota Sabang mencapai
220.090 ton dan jumlah tersebut belum termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI). Penangkapan ikan oleh nelayan di Kota Sabang belum terlalu besar. Hal
tersebut disebabkan jumlah penduduk di Kota Sabang belum begitu banyak dan hanya
sebagian kecil masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan.
Panglima laot sendiri memiliki dua bentuk kewenangan yaitu, mengatur tata tertib
penangkapan ikan dan menyelesaikan konflik yang terjadi di antara sesame nelayan di
dalam satu lhok maupun antar lhok (kuala/teluk). Salah satu momentum besar dari
aktivitas panglima laot adalah penangkapan kapal kapal nelayan dari Thailand yang
memasuki perairan Indonesia. Kapal tersebut dijual dan keuntungannya dijadikan kas

27
abadi panglima laot. Tata organisasi panglima laot telah tersusun dengan baik.
Pengaturan fungsi dan tugas telah dibentuk dari tingkat provinsi sampai dengan tingkat
lhok.
Pengetahuan masyarakat Aceh dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
kelautan dan perikanan didapat dari warisan orang-orang terdahulu dan juga
pengalaman yang mereka lalui contohnya sistem navigasi alami yang mengandalkan
posisi bintang. Selain itu, masyarakat Aceh dikenal dengan sikap terbuka terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan sehingga mendorong masyarakat untuk bersikap
rasional. Nilai religious juga melekat erat pada kehidupan masyarakat Aceh. Terdapat 61
hari larangan melaut dalam setahun yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan.
Larangan melaut pada hari raya Islam, hari jumat, hari kemerdekaan Indonesia dan hari
berkabung tsunami. Adanya hari larangan melaut tersebut akan berdampak pada
berkurangnya tekanan terhadap sumber daya perairan.
Pengelolaan sumber daya kelautan berbasis co-management dalam hal ini kearifan
lokal bernama Panglima Laot merupakan salah satu bentuk pengelolaan yang cocok
menjadi contoh bagi pengembangan perencanaan pengelolaan sumber daya kelautan
berbasis co-management. Studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk menganalisis peran
masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumber daya kelautan yang berkelanjutan.

Perspektif co-management

Pengelolaan Sumber daya Pesisir

Instructive
Consultative
Cooperative
Advisory
Informative

Kearifan lokal: Panglima Laot

Gambar 8 Perspektif Co-Management dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan


Perikanan di Nanggroe Aceh Darussalam (Studi Kasus di Kota Sabang)

Judul

Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis

Nama Jurnal
Volume
(Edisi):hal
Alamat URL
Tanggal diunduh

: Poverty and protected areas: an


evaluation of a marine integrated
conservation and development project
in Indonesia
: 2014
: Jurnal
: Elektronik
: Georgina G. Gurney, Joshua Cinner,
Natalie C. Ban, Robert L. Pressey,
Richard Polnac, Stuart J. Campbell,
Sonny Tasidjawa, Fakhrizal Setiawan
: Global Environmental Change
: 26 (2014): 98-107

: 11 Desember 2014 pukul 10.32 WIB

28
Penelitian dilakukan untuk menganalisis dampak Proyek Pesisir terhadap
kemiskinan di wilayah Sulawesi Utara. Proyek Pesisir merupakan implementasi dari
Marine Protected Area yang berlangsung selama 1997-2002. Tujuan dari praktik
konservasi (MPA) di negara-negara sedang berkembang adalah konservasi dan
pengentasan kemiskinan. Penelitian ini meneliti empat desa Proyek Pesisir selama
sebelum, saat dan pasca implementasi (1997, 2000, 2002 dan 2012) dan empat desa lain
sebagai variabel kontrol dari empat desa Proyek Pesisir.
Konsep kemiskinan menggunakan definisi dari World Bank (2001) dimana
kemiskinan dibagi atas tiga domain: keamanan, kesempatan dan pemberdayaan. Ketiga
domain direpresentasikan oleh sepuluh komponen. Ketiga domain tersebut bersifat
komplementari dan saling berkaitan. Domain keamanan terdiri atas empat komponen
yaitu: keragaman pola nafkah, ketergantungan terhadap sumber daya, konflik dan
kesejahteraan. Domain kesempatan terdiri atas tiga komponen untuk dianalisis yaitu:
modal finansial, modal manusia dan modal alam. Domain pemberdayaan terdiri atas
tiga komponen yaitu akses terhadap sumber daya, pengaruh di masyarakat dan
mekanisme tata kelola peraturan MPA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Proyek Pesisir (MPA) tidak berkelanjutan.
Proyek Pesisir hanya berjalan selama lima tahun yaitu pada tahun 1997 hingga 2002.
Lima tahun waktu yang terlalu singkat untuk mengembangkan sikap, perilaku
masyarakat dan perubahan sosial ekonomi pada masyarakat pesisir. Proyek Pesisir juga
berdampak positif terhadap keragaman pola nafkah bagi masyarakat pesisir.
Kemiskinan berkurang hanya pada saat implementasi proyek yaitu tahun 1997 hingga
2002. Penguatan kelembagaan agar proyek sukses berjalan dalam jangka waktu yang
panjang perlu didesain sejak awal dan dikelola dengan baik. Dibalik gagalnya MPA
dalam upaya pengurangan kemiskinan di Sulawesi Utara terdapat beberapa penemuan
bahwa terjadi penyalahgunaan dana proyek, ketidakseimbangan pembagian keuntungan
dan hak property yang memusingkan masyarakat lokal. Selain itu pada saat awal
dibuatnya proyek, masyarakat diiming-imingi bahwa berdirinya MPA akan
memunculkan bisnis pariwisata namun nyatanya hal tersebut tidak terjadi. Namun
domain pemberdayaan menemukan sebuah fakta yang baik bahwa pasca implementasi
MPA tahun 2012 terjadi peningkatan kesadaran dan pengetahuan mengenai lingkungan
pesisir.
Hasil perbandingan ketergantungan terhadap sumber daya perikanan antara desa
yang terimplementasi dengan Proyek Pesisir dan desa sebagai variabel kontrol tidak
dijelaskan bagaimana keragaman pola nafkah berpengaruh terhadap ketergantungan
masyarakat kepada sumber daya perikanan. Selain itu, proyek yang didanai oleh
lembaga internasional ini seharusnya dimanfaatkan secara bijaksana dengan tidak hanay
memperhatikan output melainkan proses pembuatan wilayah konservasi ini. Sebaiknya
Proyek Pesisir seperti ini lebih baik jika digunakan pendekatan co-management dan
community based management agar proyek lima tahun ini dapat berkelanjutan.

29

Proyek Pesisir

1997
Desa MPA
Desa kontrol

2000-2002
Desa MPA
Desa kontrol

2012
Desa MPA
Desa kontrol

Kemiskinan
Segi Keamanan
Segi Kesempatan
Segi Pemberdayaan

Gambar 9 Poverty and Protected Areas: an Evaluation of a Marine Integrated


Conservation and Development Project in Indonesia

Judul

: Fisheries and coastal ecosystems:


the need for integrated management
Tahun
: 2007
Jenis Pustaka
: Monograf
Bentuk Pustaka
: Cetak
Editor
: Peter N. Nemetz
Judul
: Sustainable Resource Management:
reality or illusion?
Penulis
: Daniel Pauly dan Ratana
Chuenpagdee
Halaman
: 171-185
Modernisasi dalam bidang perikanan berupa penemuan dan peningkatan alat
tangkap yang makin canggih. Penyebaran secara gradual oleh armada kapal Eropa pada
abad ke 17 dan 18 menjadi titik awal eksploitasi ikan kod dan populasi ikan lainnya di
perairan Eropa. Pengurangan stok ikan mulai terjadi. Hal tersebut semakin menjadi jadi
ketika Revolusi Industri. Perkembangan teknis seperti penemuan mesin hidrolik untuk
mengangkat jarring, mesin pendingin di kapal, mesin akustik pencari ikan dan lain
sebagainya meningkatkan kemampuan sebuah kapal untuk menentukan lokasi ikan. Hal
semacam ini menjadi eksploitasi terhadap sumber daya secara besar-besaran. Negaranegara lain seperti negara di Asia Tenggara juga mengalami industrialisasi perikanan.
Hasil tangkapan global pada tahun 1950 dan 1960 menjadi meningkat pesat dan jumlah
tangkapan berkurang peningkatannya pada tahun 1970 dan mengalami kemandekan
pada tahun 1980. Permasalahan tersebut harus dicegah agar situasi tidak semakin
memburuk, harus dicari alat ukur integratif untuk mengelola kegiatan perikanan dan
kelautan juga untuk mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem pesisir. Ada tiga isu
penting mengapa pengelolaan sumber daya perikanan integratif sangat urgen.
Pertama, implikasi hilir dari dampak perikanan pada ekosistem laut. Penangkapan
perikanan laut secara global mencapai 80 juta ton per tahun. Jumlah tersebut adalah
jumlah yang dilaporkan di darat, belum termasuk ghost fisheries. Angka tersebut terus

30
meningkat sejak Perang Dunia II dan stagnan diakhir tahun 1980. Peristiwa ini terjadi
akibat penanaman modal swasta secara besar-besaran dan subsidi pemerintah yang
meningkatkan kapasitas penangkapan perikanan. Dampak perikanan menyebabkan
perubahan komposisi spesies, dan perubahan trofik level karena dengan perkembangan
teknologi, alat tangkap dapat menjangkau perairan hingga 200 meter kedalam dan hal
tersebut menyebabkan ikan ikan kecil (juvenile) ikut tereksploitasi sehingga trofik
diatasnya terancam kekurangan makanan. Selain itu dampak hilir dari perikanan adalah
menurunnya biomassa organism perairan.
Kedua, dampak kegiatan perikanan dan manusia pada sistem pesisir. Ekosistem
pesisir menjadi terancam akibat peningkatan jumlah penduduk, pada negara
berkembang dengan iklim tropis terjadi perluasan wilayah kota, perluasan secara besar
besaran budidaya udang air payau yang mengeksploitasi ekosistem mangrove,
eksploitasi langsung terumbu karang untuk kegiatan antropogenik, pengerukan pasir
wilayah pesisir dan lainnya. Terjadi kesepakatan antara konservasionis dan ahli biologi
bahwa pengelolaan berbasis ekosistem haruslah memerhatikan:
Hubungan trofik antara spesies yang tereksploitasi dan sumber makanan mereka
Kompetisi antar armada kapal atau sektor yang mengekspresikan diri mereka
melalu mata rantai trofik dengan ekosistem
Dampak habitat baik secara langsung atau tidak langsung dari penangkapan ikan.
Ketiga, pengurangan penangkapan perikanan dan dampak lainnya pada level lokal
dan regional. Perikanan dengan sistem open-access lebih memunculkan persaingan
antar nelayan. Perlu dikaji ulang aktor-aktor yang terlibat dalam mengakses sumber
daya perairan. Pengkajian ulang perlu pasalnya actor-aktor yang terlibat baik langsung
maupun tidak langsung tersebut diperhitungkan dalam tata kelola perikanan atau justru
diabaikan. Masyarakat pesisir merupakan aktor utama yang bergantung langsung
dengan sumber daya perikanan. Terdapat beberapa kesepakatan dalam tata kelola
sumber daya perikanan seperti gaya pembangunan top-down, pendekatan sentralisasi
untuk pengelolaan bottom-up, pengelolaan berbasis masyarakat, pendekatan comanagement. Salah satu pendekatan pengelolaan sumber daya adalah model community
based management (CBM) yang menyarankan bahwa nelayan dan pengguna sumber
daya lainnya serta masyarakat bekerja sama dalam proses pembuatan keputusan dan
mengambil kepemimpinan dalam pengelolaan. Model ini menjelaskan bagaimana
pemerintah memberikan kekuasaan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya
(power-sharing). Isu yang berkembang dalam pengelolaan CBM adalah inklusifitas
aktor pada sebuah masyarakat. Inklusifitas aktor dan interaksinya dapat bernilai positif
atau juga negatif. Bermakna positif jika terjadi dialog terbuka, komunikasi, negosiasi
dan juga transparansi menghasilkan resolusi konflik dan juga kolaborasi. Bermakna
negatif jika sebagian masyarakat termarjinalkan ketika interaksi aktor tidak lagi
dipertimbangkan secara adil. Hal ini berdampak terhadap krisis kepercayaan.
Penangkapan perikanan laut secara global mengalami penurunan yang disebabkan
oleh overfishing (tangkap berlebih) walaupun dampak antropogenik pada daerah pesisir
juga berkontribusi pada menurunnya produktifitas perikanan. Mempertahankan level
tangkapan perikanan tidak akan mungkin jika tren penangkapan ikan masa kini terus
menerus meningkat. Kesimpulan berakhir pada pengelolaan perikanan berkelanjutan
tidak bisa dicapai tanpa persetujuan bahwa tujuan pengelolaan perikanan sama dengan
tujuan konservasi lingkungan.
Pengelolaan sumber daya perikanan berkelanjutan yang dijelaskan pada tulisan ini
berlandaskan tujuan konservasi. Permasalahan yang dipaparkan merupakan masalah
dalam kegiatan perikanan yang sering kali ditemui di Indonesia. Namun, tulisan ini
mengabaikan sisi sosio-kultural manusia terhadap alam pasalnya masyarakat Indonesia

31
merupakan masyarakat dengan tingkat sosio-kultural yang tinggi. Pengelolaan sumber
daya perikanan berkelanjutan tidak akan terimplementasi berkelanjutan di Indonesia
jika dalam implementasinya, masyarakat tidak diturutsertakan.
Sumber daya perikanan berkelanjutan

Implikasi hilir
Dampak
dari dampak
manusia
perikanan
Pengurangan
dan kegiatan
perikanan
perikanan
tangkap
di sistem
danpesisir
dampak di tingkat lokal dan r
perubahan komposisi spesies
Eksploitasi ekosistem pesisir
perubahan trofik level

Gambar 10 Fisheries and Coastal Ecosystems: the Need for Integrated Management

32

RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN


Model Pengelolaan Sumber Daya Pesisir
Menurut UU Nomor 1 Tahun 2014, pengelolaan wilayah pesisir adalah suatu
pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumber
daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan
manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sedangkan, sumber daya pesisir
dan pulau-pulau kecil merupakan sumber daya hayati, sumber daya nonhayati, sumber
daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu
karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi
pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang
terkait dengan kelautan dan perikanan dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam,
permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan
perikanan serta energy gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir (UU Nomor 1
Tahun 2014).
Pengelolaan sumber daya dalam jangka pendek dan tidak berkelanjutan
menyebabkan perubahan ekologis sumber daya pesisir. Hasil International Workshop
on Factors Contributing to Unsustainability and Overexploitation in Fisheries tahun
2002 dalam Widodo dan Suadi (2006) menyatakan faktor kunci ketidakberlanjutan
pengelolaan perikanan yaitu:
1. Keterbatasan laju peningkatan sumber daya ikan.
2. Kapasitas kapal dan over capacity.
3. Aspek sosial, budaya dan pemerintah yang berbeda secara geografis.
4. Minimnya insentif untuk konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan.
5. Permintaan terhadap sumber daya ikan yang tidak berkelanjutan, seperti telur
ikan.
6. Keterbatasan sistem pemerintah dalam mendukung perikanan berkelanjutan
(legitimasi).
7. Teknologi tangkap yang menuai konflik
8. Biaya oportunitas rendah dan keterbatasan ketersediaan lapangan kerja
alternatif.
9. Ancaman internal dan eksternal terhadap ekosistem.
10. Terbatasnya perhatian pemerintah terhadap agenda perikanan yang
berkelanjutan.
11. Ketidakpastian pada perikanan dan terbatasnya data tentang perikanan.
12. Psikologi perikanan, seperti motivasi dan kepercayaan.
13. Akuntabilitas pemerintah dalam upaya pengelolaan sumber daya.
Pengelolaan sumber daya perikanan berdasarkan aktornya terdiri atas empat yaitu,
pemerintah, masyarakat dan ko-manajemen (Jentoft 1989 dalam Satria 2002).
Pengelolaan sumber daya perairan laut tidak hanya berbasis kepada sumber daya alam
(natural resource based development) tetapi juga harus berbasis kepada masyarakat
(community based development). Jika hanya berbasis pada sumber daya alam maka
sering terjadi kecenderungan pemanfaatan sumber daya perairan laut dilakukan secara
berlebihan, tidak efisien, terkonsentrasi pada beberapa kelompok tertentu dan
berorientasi pada kepentingan jangka pendek yang mengakibatkan terjadinya
pengurasan secara tidak terkendali (Adisasmita 2006).
Pengelolaan sumber daya perikanan oleh pemerintah atau biasa disebut command
and control. Rezim command and control bertugas mengatur sumber daya dan

33
mewujudkan keadilan dalam pendistribusian sumber daya (Nikijuluw 2001 dalam Satria
2002). Berdasarkan faktor ketidakberlanjutan pengelolaan hasil International Workshop
on Factors Contributing to Unsustainability and Overexploitation in Fisheries tahun
2002, terdapat lima dari tiga belas faktor kunci ketidakberlanjutan perikanan yang
disebabkan oleh pemerintah. Kelima faktor tersebut adalah: minimnya insentif untuk
konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan; terbatasnya legitimasi dan fungsi
sistem pemerintah; terbatasnya perhatian pemerintah terhadap agenda perikanan yang
berkelanjutan; terbatasnya data tentang perikanan; dan akuntabilitas pemerintah dalam
upaya pengelolaan sumber daya.
Pengelolaan sumber daya perikanan oleh masyarakat atau biasa disebut
community based management (CBM). Pengelolaan sumber daya dilakukan secara
bottom-up. Masyarakat pesisir terutama nelayan berperan penting dalam pengelolaan.
Ciri utama dari pengelolaan sumber daya perikanan model community based
management ini adalah partisipasi masyarakat yang tinggi. Keuntungan model CBM ini
(Satria 2002) adalah tingginya rasa kepemilikan masyarakat terhadap sumber daya;
aturan dibuat sesuai kondi lapangan dan; rendahnya biaya transaksi karena proses
pengelolaan berasal dari masyarakat. Menurut Satria (2002), model CBM merupakan
model pengelolaan yang berbasis hak ulayat laut. Kearifan lokal seperti awig-awig,
panglima laot dan sasi merupakan contoh dari CBM.
Berikut merupakan Tabel 1 yang merupakan bentuk pengelolaan sumber daya
perikanan berdasarkan rezim/aktor
Tabel 1 Bentuk Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Berdasarkan Rezim/Aktor
Bentuk Pengelolaan Sumber Daya
Contoh Pengelolaan Sumber Daya di Indonesia
Model Command and Control

Model Pengelolaan Berbasis Masyarakat


Model Ko-manajemen

Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil


(KKP3K), Kawasan Konservasi Maritim, Kawasan
Konservasi Perairan dan Sempadan Pantai (Permen
No 17 Tahun 2008)
Sasi, Awig-awig, Panglima Laot, Manee (Adrianto
et al 2011)
Mina Bada Lestari di danau Maninjau dan
Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Irwor
Ikwan Iba dan Sea Farming di Pulau Panggang
(Adrianto et al 2011)

Ko-Manajemen
Pengelolaan sumber daya perikanan model ko-manajemen merupakan sintesis
dari model command and control dan model community based management (CBM)
(Satria 2002). Model ko-manajemen dinilai sebagai model pengelolaan sumber daya
perikanan yang paling efektif karena menjamin hubungan antar sektor publik, swasta
dan masyarakat (Widodo dan Suadi 2006). Tanpa keterlibatan pemerintah dalam
implementasinya, terjadi banyak ketimpangan dalam pengelolaan model CBM
(Purnomowati 2001). Menurut Send dan Nielsen (1997) dalam Bengen (2004), komanajemen berbeda dari pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat (CBM) karena
unsur pemerintah juga terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan
dengan pengelolaan perikanan dan kelautan. Menurut Nikijuluw (2002), terdapat dua
bentuk ko-manajemen. Pertama, keberadaan ko-manajemen berdasarkan pada adat
budaya serta praktik-praktik yang lazim atau telah ada di masyarakat sejak lama disebut
dengan ko-manajemen tradisional. Kedua, ko-manajemen yang keberadaannya karena
sengaja dilahirkan berdasarkan aturan-aturan baru yang ditetapkan masyarakat sendiri
atau karena difasilitasi pemerintah dikenal dengan ko-manajemen neotradisional.

34
Terdapat beberapa pakar berpendapat mengenai ko-manajemen seperti yang
tercantum dalam Tabel 2.
Tabel 2 Definisi Ko-manajemen
Definisi Ko-manajemen
Widodo dan Suadi (2006)

Pendekatan pengelolaan yang memberikan ruang bagi


adanya pembagian tugas dan tanggung jawab antara
pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.

Rettig et al dalam Satria (2002)

Pembagian kekuasaan dan tanggung jawab melalui


delegasi dalam proses perencanaan kepada kelompok
nelayan

Barkes & Kislalioglu and Feeny


dalam Satria (2002)
Borrini-Feyabarend et al (2001)
dalam Adrianto et al (2011)

Pembagian manajemen kekuasaan dan tanggung jawab


antara pemerintah dan masyarakat nelayan.
Situasi dimana lebih dari satu pihak (stakeholders)
bernegosiasi mendefinisikan dan menjamin pembagian
peran dalam pengelolaan dan tanggung jawab di antara
mereka terhadap sebuah area atau sistem sumber daya.

Nielsen (1996) dalam Adrianto et


al (2011)

Pola pengelolaan dimana pemerintah dan pelaku


pemanfaatan sumber daya berbagi tanggung jawab dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan
dengan tujuan mewujudkan keseimbangan tujuan ekonomi
dan sosial dalam kerangka kelestarian ekosistem dan
sumber daya perikanan
Pembagian tanggung jawab dan wewenang antara
pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumber
daya alam seperti perikanan, terumbu karang, mangrove
dan sumber hayati lainnya.

Pomeroy dan Williams (1994)

Berdasarkan definisi ko-manajemen di atas, ko-manajemen adalah pengelolaan


sumber daya dimana pemerintah membagi kekuasaan dan tanggung jawab kepada
masyarakat pesisir. Ko-manajemen berusaha mewujudkan keseimbangan ekonomi dan
sosial agar terwujudnya kelestarian ekosistem dan sumber daya. Ko-manajemen
merupakan singkatan dari kolaboratif manajemen yang artinya bahwa kolaborasi antara
pemerintah dan masyarakat. Namun, hadirnya aktor lain seperti pihak swasta sangat
memungkinkan terjadi dalam praktik ko-manajemen. Pengelolaan lingkungan pesisir di
Mangunharjo, Semarang merupakan contoh pengelolaan yang melibatkan banyak
stakeholders (Situmorang dan Handayani 2013).
Penerapan ko-manajemen akan berbeda-beda dan tergantung pada kondisi
spesifik lokasi sehingga ko-manajemen hendaknya tidak dipandang sebagai strategi
tunggal untuk menyelesaikan seluruh masalah dari pengelolaan sumber daya perikanan;
tetapi dipandang sebagai alternative pengelolaan yang sesuai untuk situasi dan lokasi
tertentu (Pomeroy dan Williams 1994). Hal tersebut dipertegas bahwa ko-manajemen
bukanlah alat pengelolaan perikanan melainkan sebuah proses pengelolaan yang adaptif
terhadap perubahan yang terjadi di lapangan (Adrianto et al 2011). Pembagian
kekuasaan dan tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat pesisir dibedakan atas
lima tingkatan. Menurut Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006) dalam Adrianto et al (2011),
terdapat lima tipe besar ko-manajemen berdasarkan peran dari pemerintah dan pelaku
perikanan yaitu instruktif, konsultatif, kooperatif, advisori dan informatif. Berikut
adalah tipologi spektrum ko-manajemen menurut Adrianto et al (2011) yang diadopsi
dari Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006).

35
Tabel 3 Tipologi Spektrum Ko-Manajemen
Tipologi Ko-Manajemen
Peran
Peran
Tipe
pemerintah
Masyarakat
Maksimum
Minimum
Instruktif
Keputusan dibuat oleh
pemerintah dan
diinstruksikan kepada
masyarakat sebelum
dilaksanakan
Konsultatif
Pandangan lokal mulai
dipertimbangkan sebelum
membuat keputusan

Keterangan
Komunikasi dan tukar
informasi terjadi namun
dalam konteks instruksi
informasi dari apa yang telah
diputuskan oleh pemerintah.

Terdapat mekanisme dialog


antara pemerintah dan pelaku
perikanan tetapi pengambilan
keputusan masih dilakukan
oleh pemerintah.
Kooperatif
Pemerintah dan pelaku
Pertukaran informasi awal,
perikanan bekerja sama dalam
pandangan masyarakat mulai
mengambil keputusan sebagai
masuk dalam agenda dan isu
partner yang memiliki posisi
tawar menawar yang sama.
Advisori
Pelaku perikanan memberikan
Keterlibatan masyarakat
input bagi pengambilan
dalam hal-hal tertentu dalam
keputusan tentang perikanan
proses kebijakan;
kemudian pemerintah
pengambilan keputusan
menetapkan keputusan
bersama dimulai
tersebut.
Minimum
Maksimum
Informatif
Pemerintah mendelegasikan
Masyarakat diberi hak penuh
pengambilan keputusan
untuk turut merencanakan
kepada pelaku perikanan
dan mengambil keputusan
untuk kemudian
diinformasikan kembali
kepada pemerintah
Sumber: Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006) diadopsi Adrianto et al (2011)

Beberapa kearifan lokal yang termasuk model CBM sudah mulai memudar.
Model pengelolaan sumber daya ko-manajemen menutupi kelemahan model CBM.
Kelemahan model CBM tersebut adalah kurang terakomodasinya pertimbangan
saintifik dalam pengelolaan sumber daya (Satria 2002), tidak mampu mengatasi
masalah interkomunitas dan tingginya biaya institusionalisasi (proses edukasi,
penyadaran dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai urgensi CBM) (Nikijuluw
2002 dalam Satria 2002). Ko-manajemen sangat penting terutama bagi perikanan skala
kecil karena beberapa hal, yaitu (Widodo dan Suadi 2006):
1. Kondisi lokal dan sejarah usaha nelayan memiliki arti penting sebagai pra
kondisi pengembangan ko-manajemen.
2. Pengelolaan yang efektif diperlukan karena kedekatan dengan sumber daya
(pantai) yang bersifat fragile.
3. Alat dan proses pengelolaan yang secara tradisional berkembang terbukti tidak
cukup mampu menanggulangi laju peningkatan entry, capitalization dan
exploitation.
4. Masyarakat memiliki tanggung jawab bagi pemberdayaan berbagai aturan dan
resolusi konflik.
5. Perikanan skala kecil memiliki kepentingan lokal dan regional yang sering
tidak proporsional dengan ukuran sumber daya ikan.

36

Menurut Pomeroy dan Williams (1994), terdapat 11 kunci keberhasilan komanajemen, yaitu:
1. Batas wilayah yang jelas
Batas wiilayah yang dikelola harus jelas sehingga nelayan dan petani ikan
dapat memiliki pengetahuan yang akurat tentang sumber daya yang mereka
kelola. Batas wilayah harus berdasarkan ekosistem dimana nelayan dan petani
ikan dapat secara mudah mengamati dan memahaminya.
2. Keangggotaan yang jelas
Nelayan yang mempunyai hak untuk memanfaatkan dan mengelola sumber
daya di suatu wilayah harus secara jelas didefinisikam. Jumlah keanggotaan
yang terbatas akan memudahkan proses komunikasi dan pengambilan
keputusan.
3. Kohesi kelompok
Anggota organisasi seharusnya tinggal di dekat area. Kedekatan tempat
tinggal memungkinkan tingginya tingkat homogenitas (secara kekeluargaan,
etnik, agama dan macam peralatan tangkap antar anggota kelompok).
4. Organisasi yang ada sekarang
Para nelayan harus memiliki pengalaman sebelumnya dengan sistem
pengelolaan tradisional dan pengorganisasian yang berbasiskan masyarakat.
Keanggotaan organisasi harus mengakomodasikan semua stakeholders yang
ada.
5. Manfaat melebihi biaya
Manfaat yang diperoleh melebihi biaya yang dikeluarkan. Biaya administrasi
ko-manajemen dapat lebih tinggi karena proses perumusan kebijaksanaan
lebih banyak membutuhkan waktu dan emlibatkan banyak kelompok
kepentingan.
6. Partisipasi pihak yang terlibat
Semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya harus
diikutsertakan dalam kelompok dan semua pihak memiliki hak dalam
pengambilan keputusan.
7. Penegakan aturan manajemen
Aturan manajemen sebaiknya sederhana. Monitoring dan penegakan hak
dapat dilakukan oleh semua anggota kelompok.
8. Hak hukum pengorganisasian
Kelompok nelayan dan organisasi mempunyai hak hukum untuk membuat
peraturan yang mengikat pada para anggotanya.
9. Kerjasama dan kepemimpinan pada level masyarakat
Ada insentif dan kemauan para nelayan untuk berpartisipasi secara aktif baik
dalam waktu, tenaga dan uang.
10. Desentralisasi dan delegasi wewenang (otoritas)
Pemerintah memiliki kebijakan yang formal dan hukum-hukum yang
berkaitan dengan desentralisasi fungsi-fungsi administrasi dan delgasi
tanggung jawab manajemen atau otoritas kepada pemerintah lokal dan tingkat
organisasi lokal.
11. Koordinasi antar pemerintah dan masyarakat
Lembaga koordinasi eksternal harus didirikan. Kelompok yang ada harus
menempatkan wakilnya dalam lembaga kordinasi ini. Lembaga koordinasi
bertugas untuk emmonitor pengaturan manajemen lokal, menyelesaikan
masalah konflik dan menegakkan peraturan-peraturan yang disepakati.

37

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir


Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama
mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yan khas yang terkait
dengan ketergantungannya pada pemanfaatan pesisir (Satria dalam Satria 2009).
Masyarakat pesisir dapat diklasifikasikan menjadi masyarakat yang bergantung secara
ekonomi terhadap sumber daya pesisir dan masyarakat yang bergantung secara spasial
terhadap sumber daya pesisir. Perbedaan sosiologi antara masyarakat pesisir dan
masyarakat pedesaan adalah pada rekonstruksi masyarakat (Satria 2000). Masyarakat
pesisir berbasis sumber daya sementara masyarakat pedesaan berbasis komunitas.
Menurut Satria (2009), karakteristik masyarakat pesisir sebagai representasi
komunitas desa-pantai dan desa terisolasi, berikut adalah karakteristik dari berbagai
aspek:
a. Sistem pengetahuan
Pengetahuan tenatang teknik penangkapan ikan pada umumnya didapat
dari warisan orang tua atau pendahulu mereka berdasarkan pengalaman
empiris. Kuatnya pengetahuan lokal tersebut yang selanjutnya menjadis alah
satu faktor penyebab terjaminnya kelangsungan hidup mereka selaku nelayan.
b. Sistem kepercayaan
Secara teologis, nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa
laut masih memiliki kekuatan magis sehingga perlu perlakuan-perlakuan
khusus dalam melakukan aktvitas penangkapan ikan agar keselamatan dan
hasil tangkapan semakin terjamin.
c. Peran wanita
Aktivitas ekonomi wanita merupakan gejala yang sudah umum bagi
kalangan masyarakat strata bawah, tidak terkecuali wanita yang berstatus
sebagai isteri nelayan. Umumnya, selain banyak bergelut dalam urusan
domestik rumah tangga, istri nelayan tetap menjalankan juga fungsi-fungsi
ekonomi dalam kegiatan penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan,
maupun kegiatan jasa dan perdagangan. Menurut Pollnac (1988) dalam Satria
(2002), pembagian keluarga nelayan adalah pria menangkap ikan dan anggota
keluarga wanita menjual ikan hasil tangkapan tersebut.
d. Struktur sosial
Struktur sosial merupakan pola perilaku berulang-ulang yang
memunculkan hubungan antarindividu dan antarkelompok dalam masyarakat.
Dalam mengkaji struktur sosial, ada dua elemen penting yang harus
diperhatikan yaitu status dan peranan.
e. Posisi sosial nelayan
Posisi sosial nelayan berkaitan dengan peranan dan status nelayan
sehingga struktur sosial dan posisi sosial nelayan sangat berkaitan erat
hubungannya. Pada masyarakat pesisir, ciri umum yang dapat dikenali dari
hubungan masyarakat pesisir adalah hubungan patron klien.
Menurut Satria (2002), berdasarkan status penguasaan modal, nelayan dibedakan
menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah orang yang
memiliki sarana penangkapan seperti perahu, jarring dan alat tangkap lainnya.
Sedangkan nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh

38
dalam kegiatan penangkapan ikan di laut. Klasifikasi nelayan berdasarkan kapasitas
teknologi, orientasi pasar dan hubungan produksi (Satria 2002), yaitu:
a. Peasant-fisher adalah nelayan tradisional yang biasanya berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten).
b. Post-peasant fisher adalah nelayan yang sudah menggunakan teknologi dalam
penangkapan ikan seperti motor temple/kapal motor.
c. Commercial fisher adalah nelayan yang sduah berorientasi pada peningkatan
keuntungan. Skala usaha sudah besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah
tenaga kerja dengan status yang berbeda.
d. Industrial fisher adalah nelayan yang menggunakan teknologi penangkapan
dan jumlah armada yang canggih, bekerja dengan orientasi keuntungan dan
memiliki buruh nelayan sebagai anak buah kapal dengan organisasi kerja yang
kompleks.
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
Sebagian masyarakat pesisir bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan,
pengolah ikan skala kecil dan pedagang kecil. Kemiskinan menjadi masalah utama bagi
nelayan di Indonesia sebab sebagian nelayan di Indonesia merupakan masyarakat
miskin. Hal tersebut di dukung oleh data BPS 2014 bahwa jumlah penduduk miskin di
pedesaan sebesar 17 juta orang tersebar di pedesaan pesisir (11.884 desa) dan pedesaan
non-pesisir (66.725 desa). Sedangkan menurut Widodo (2011), faktor penyebab
kemiskinan masyarakat pesisir adalah akumulasi modal yang sangat terbatas dan
rendahnya kualitas modal manusia.
Akumulasi modal yang sangat terbatas
mengakibatkan sulitnya masyarakat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Rendahnya
kualitas modal manusia terjadi akibat tingkat pendidikan dan keterampilan kerja
terbatas dan tidak memadai.
Masyarakat pesisir merupakan representasi komunitas desa-pantai dan desa
terisolasi (Satria 2002). Interaksi antar masyarakat erat terjadi sehingga ikatan
emosional sangat tinggi. Komunitas yang kecil bersifat homogen tersebut memiliki
identitas yang khas. Mereka umumnya hidup selaras dengan alam (Satria 2002). Praktik
pengelolaan sumber daya perikanan yang tidak destruktif timbul dikarenakan sifat open
access. Siapa pun dapat mengambil sumber daya sehingga persaingan di antara nelayan
semakin meruncing. Terlebih jika terdapat perbedaan teknologi antarnelayan.
Tabel 4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir
Modal sosial (Widodo 2011) Ikatan sosial
Lembaga kesejahteraan tradisional
Pola-pola transaksi yang melembaga di masyarakat
Solidaritas mekanik (Johnson Pembagian kerja rendah
1986 dalam Satria 2002)
Kesadaran kolektif kuat
Hukum represif dominan
Konsensus terhadap pola-pola normatif masih dianggap penting
Saling ketergantungan rendah secara relatif
Bersifat primitif atau pedesaan
Stratifikasi sosial (Sorokin
Stratifikasi berdasar ekonomi
1962 dalam Satria 2002)
Stratifikasi berdasarkan politik
Stratifikasi berdasarkan pekerjaan
Strategi ekonomi (Widodo
Pola nafkah ganda
2011)

39
Optimalisasi tenaga kerja rumah tangga
Migrasi

Dampak Ko-Manajemen terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir


Konsep ko-manajemen berkembang berdasarkan pemahaman bahwa pengelolaan
sumber daya model community based management (CBM) memiliki beberapa
kelemahan. Keterbatasan dana merupakan salah satu kelemahan pengelolaan sumber
daya perikanan model community based management. Praktek pengelolaan sumber daya
perikanan yang masih sangat murni oleh masyarakat (CBM) merupakan cikal bakal
penerapan konsep ko-manajemen (Purnomowati 2001). Ko-manajemen tidak akan
berjalan dengan baik tanpa dukungan masyarakat begitu pula dengan dukungan
pemerintah. Pengelolaan sumber daya perikanan akan berdampak kepada kondisi sosial
ekonomi masyarakat. Berikut Tabel 5 mengenai Dampak Ko-Manajemen terhadap
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
Tabel 5 Dampak Ko-Manajemen terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
Dampak Sosial
Dampak Ekonomi
Kesadaran mengenai pentingya pendidikan pada
Peningkatan jenis kegiatan ekonomi (Adrianto et al
masyarakat lebih tinggi (Mustamin 2003)
2011)
Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
praktek perikanan secara destruktif (Pranoto 2003)

Peningkatan pendapatan cukup signifikan (Pranoto


2003; Mustamin 2003)

Perpindahan mata pencarian dari nelayan menjadi


penyedia jasa pariwisata (Mahmud 2014)

Masyarakat yang terlibat ko-manajemen memiliki


tingkat kesejahteraan lebih tinggi dibandingkan
masyarakat yang tidak mengikuti (Mustamin 2003)

Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam


pengelolaan terumbu karang (Nikijuluw 1996
dalam Muqorrobin 2013)
Pandangan tradisional masyarakat mengenai laut
berubah sejak adanya berbagai peraturan
pemerintah dan undang-undang otonomi daerah
(Mustamin 2003)

Keberhasilan ko-manajemen sebagai model pengelolaan sumber daya


memberikan dampak positif terhadap pendapatan masyarakat, keragaman produktivitas
ekonomi masyarakat pesisir dan peningkatan stok sumber daya perikanan (Adrianto et
al 2011; Mustamin 2003; Pranoto 2003; Purnomowati 2001). Keragaman kegiatan
ekonomi akan meningkatkan pemasukan pendapatan bagi masyarakat pesisir dan
merupakan salah satu strategi ekonomi yang dijalankan masyarakat pesisir yaitu pola
nafkah ganda (Pranoto 2003). Pengelolaan sea farming di Pulau Panggang, Kepulauan
Seribu merupakan salah satu contoh ko-manajemen dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir sekaligus meningkatkan stok sumber daya ikan (Adrianto 2011).
Masyarakat di Pulau Panggang memiliki permasalahan ekonomi dikarenakan stok ikan
berkurang. Pemerintah dan PKSPL IPB menginisiasikan sistem agribisnis dalam sea
farming. Masyarakat mendapatkan pelatihan budidaya dan menjual langsung ikan
mereka di Jakarta. Permasalahan seperti harga jual ke penampung yang rendah dapat
diselesaikan. Kasus pengelolaan sea farming di Kepulauan Seribu membuktikan bahwa
ko-manajemen memengaruhi tingkat pendapatan masyarakat.
Menurut Mustamin (2003), tingkat kesejahteraan masyarakat yang berpartisipasi
program ko-manajemen lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang tidak berpartisipasi.
Selain itu, adanya interupsi berupa undang-undang dari pemerintah menggeser

40
pandangan tradisional masyarakat tentang laut milik bersama. Pembatasan akses
melalui undang-undang bertujuan untuk melindungi spesies tertentu seperti abalone dan
upaya memberantas penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan. Namun,
aturan adat masih berlaku di masyarakat Pulau Sembilan, Sinjai, Sulawesi Selatan.
Aturan tersebut berupa pemasangan alat tangkap Bagang dan rumpon. Jika masyarakat
menemukan Bagang atau rumpon orang lain, maka mereka tidak boleh menempatkan
milik mereka berdekatan sejauh setengah mil dari bagang lain.

41

SIMPULAN
Menurut pasal 2 UU Nomor 45 Tahun 2009, pengelolaan perikanan harus
dilakukan berasaskan: manfaat, keadilan, kebersamaan, kemitraan, kemandirian,
pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, kelestarian dan pembangunan yang
berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya perikanan berdasarkan aktor/rezim menurut
Satria (2002) terdiri atas pengelolaan sumber daya model command and control,
pengelolaan sumber daya model community based management dan pengelolaan
sumber daya model ko-manajemen. Pengelolaan sumber daya perikanan model
command and control selama ini mengabaikan asas kemitraan dan keterpaduan, begitu
pula dengan pengelolaan sumber daya perikanan model community based management
(CBM).
Ko-manajemen merupakan pengelolaan sumber daya dimana pemerintah
membagi kekuasaan dan tanggung jawab kepada masyarakat pesisir. Ko-manajemen
berusaha mewujudkan keseimbangan ekonomi dan sosial agar terwujudnya kelestarian
ekosistem dan sumber daya.. Namun, hadirnya aktor lain seperti pihak swasta sangat
memungkinkan terjadi dalam praktik ko-manajemen. Ko-manajemen idealnya berada
pada tipe kooperatif dimana pengelolaan sumber daya perikanan terjadi jika setidaknya
pemerintah dan masyarakat pesisir terjadi pertukaran informasi dan kedua pihak berada
dalam posisi tawar menawar yang sama.
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang menggantungkan hidupnya secara
langsung terhadap pemanfaatan sumber daya pesisir. Sebagian masyarakat pesisir
bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil dan pedagang
kecil. Sebagian besar masyarakat pesisir hidup dalam kemiskinan. Akumulasi modal
yang sangat terbatas mengakibatkan sulitnya masyarakat untuk keluar dari lingkaran
kemiskinan. Rendahnya kualitas modal manusia terjadi akibat tingkat pendidikan dan
keterampilan kerja terbatas dan tidak memadai.
Keberhasilan ko-manajemen memberikan manfaat kepada kondisi sosial ekonomi
masyarakat pesisir. Selain itu upaya perlindungan ekosistem pesisir juga tujuan utama
dari pengelolaan sumber daya ko-manajemen. Terjaganya kelestarian ekosistem baik
ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem lamun juga akan
memberikan pendapataan tertahan kepada masyarakat pesisir. Pendapatan tertahan
adalah pendapatan yang akan didapatkan tidak sekaligus melainkan pendapatan yang
terus menerus akibat keberlangsungan kelestarian ekosistem pesisir. Selain itu
diakuinya hak ulayat laut masyarakat pesisir diakui secara legal oleh pemerintah.
Masyarakat yang memiliki kearifan lokal dapat menggunakannya sebagai aturan dalam
pengelolaan sumber daya persisir. Oleh karenanya, pengelolaan sumber daya perikanan
model ko-manajemen sudah menerapkan pilar konservasi yaitu keseimbangan ekologi,
ekonomi dan sosial.

42
Usulan Kerangka Analisis untuk Penelitian
Pengelolaan Pesisir

Karakteristik Masyrakat Pesisir

Sistem pengetahuan
Sistem kepercayaan
Peran wanita
Struktur sosial
Model Command
Model and
Community
Control Based
Model
Management
Co-Management
Model Swasta
Posisi sosial nelayan (patron-client)

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir


Stratifikasi sosial
Strategi ekonomi
Jenis kegiatan Ekonomi

Gambar 11 Kerangka Analisis

Keterangan:
Berpengaruh
Tidak Diteliti

43
Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan hasil studi pustaka yang telah disimpulkan dan digambarkan pada
kerangka pemikiran di atas, didapatkan pertanyaan mengenai analisis masyarakat pesisir
terhadap pengelolaan sumber daya pesisir, yakni:
1. Bagaimana pengelolaan sumber daya perikanan model ko-manajemen?
2. Bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir?
3. Bagaimana dampak pengelolaan sumber daya perikanan ko-manajemen
terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir?

44

DAFTAR PUSTAKA
Adrianto L, Amin MAA, Solihin A, Hartoto DI. 2011. Konstruksi lokal pengelolaan
sumberdaya perikanan di Indonesia. Bogor (ID): IPB Press.
Bengen, Dietriech G. 2004. Ragam pemikiran: menuju pembangunan pesisir dan laut
berkelanjutan berbasis eko-sosiosistem. Bogor (ID): Pusat Pembelajaran dan
Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L).
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Jumlah dan persentase penduduk miskin, garis
kemiskinan, indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan menurut
provinsi, Maret 2014. [internet]. [diunduh tanggal 9 Januari 2015] dapat diunduh di:
http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_subyek=56&notab=9
______. Jumlah desa menurut provinsi dan letak geografi, 2003-2011. [internet].
[diunduh tanggal 9 Januari 2015] dapat diunduh di: http://bps.go.id/tab_sub/view.php?
kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=153&notab=2
______. Jumlah rumah tangga /perusahaan perikanan tangkap menurut provinsi dan
jenis penangkapan, 2000-2013. [internet]. [diunduh pada 9 Januari 2015] dapat diunduh
di: http://bps.go.id/tab_sub/view.php?
kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23&notab=1
Carles. 2014. Strategi pengelolaan perikanan tangkap skala kecil di perairan laut
Kabupaten Simeulue [tesis]. Bogor (ID): IPB.
Greenpeace. 2013. Laut Indonesia dalam krisis. Jakarta: Greenpeace. [internet]
[diunduh
pada
13
Januari
2015]
dapat
diunduh
di:
http://www.greenpeace.org/seasia/id/PageFiles/533771/Laut%20Indonesia%20dalam
%20Krisis.pdf
Gurney GG, Cinner J, Ban NC, Pressey RL, Polnac R, Campbell SJ, Tasidjawa S,
Setiawan F. 2014. Poverty and protected areas: an evaluation of a marine integrated
conservation and development project in Indonesia. Global Environmental Change.
Volume: 26 (2014): 98-107. [internet].
Helmi, Alfian. 2011. Strategi adaptasi nelayan terhadap perubahan ekologis kawasan
pesisir [skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Hermawan, Maman. 2006. Keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil (kasus
perikanan pantai di Serang dan Tegal [skripsi]. Bogor (ID): IPB.
Ilham. 2009. Kajian dampak kawasan konservasi laut daerah terhadap kondisi ekologi
terumbu karang: studi kasus Pulau Natuna Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau
[tesis]. Bogor (ID): IPB.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2013. Kelautan dan perikanan dalam
angka 2013. Indonesia: Pusat data, Statistik dan Informasi.

45

Lasabuda, Ridwan. 2013. Pembangunan wilayah pesisir dan lautan dalam perspektif
negara kepulauan Republik Indonesia. Platax. Volume edisi I-2: 92-101. [internet]
Mahmud, Amir. 2014. Dinamika tata kelola kawasan konservasi Taman Nasional Bali
Barat [tesis]. Bogor (ID): IPB.
Muqorrobin, Ahmad. 2013. Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis co-management
di Desa Pasarbanggi, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): IPB
Murniatmo G, Tashadi, Muryantoro H, Taryati, Suyami. 1993. Dampak pengembangan
pariwisata terhadap kehidupan sosial budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta
(ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mustamin, Andi. 2003. Analisis dampak ko-manajemen terhadap tingkat kesejahteraan
nelayan di Kecamatan Pulau-Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan [tesis].
Bogor (ID): IPB.
Nikijuluw, Victor PH. 2002. Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan. Jakarta:
Cidesindo.
Pauly D, Chuenpagdee R. 2007. Fisheries and coastal ecosystems: the need for
integrated management.
[Permen] Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pomeroy RS, Williams MJ. 1994. Fisheries co-management and small-scale fisheries: a
policy brief. Manila: ICLARM. [internet] diunduh pada 13 Januari 2014 di
http://www.worldfishcenter.org/libinfo/Pdf/Pub%20M5P65%201994.pdf
Pranoto, Aris Kabul. 2003. Dampak penerapan ko-manajemendalam pengelolaan
sumberdaya pesisir di Kabupaten Lombok Timur [tesis]. Bogor(ID): IPB.
Purnomowati, Rahmi. 2001. Kajian pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis
masyarakat [tesis]. Bogor (ID): IPB.
Ramadhan A, Manadiyanto, Nasution Z. 2006. Perspektif co-management dalam
pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Nanggroe Aceh Darussalam (studi
kasus di Kota Sabang). Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.
Volume: 1 No. 2 (2006): 141-152.
Reithe S, Armstrong CW, Flaaten O. 2014. Marine protected areas in a welfare-based
perspective. Marine Policy. Volume 49 (2014): 29-36. [internet] dapat diunduh di:
Reid C, Marshall J, Logan D, Kleine D. 2011. Terumbu karang dan perubahan iklim.
Australia: CoralWatch.
Romimohtarto K, Juwana S. 2001. Biologi laut: ilmu pengetahuan tentang biota laut.
Jakarta: Djambatan.

46

Ruslan, Budi M. 2010. Kajian pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis


masyarakat di Pulau Pasi kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor
(ID): IPB.
Satria, Arif. 2002. Sosiologi masyarakat pesisir. Jakarta Selatan (ID): Cidesindo.
Satria, Arif. 2009. Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor (ID): IPB Press.
Setiyani DW, Sadono D. 2011. Dampak pariwisata terhadap peluang usaha dan kerja
luar pertanian di daerah pesisir. [jurnal] Sodality 5(2011): 259-272.
Siahaan, NHT. 2004. Hukum lingkungan dan ekologi pembangunan. Jakarta (ID):
Erlangga.
Situmorang F, Handayani W. 2013. Kajian keterpaduan kegiatan pengelolaan
lingkungan pesisir di Kelurahan Mangunharjo, Kota Semarang. Teknik PWK. Volume 2
No. 4 (2013): 885-894. [internet]. Dapat diunduh di:
Sulaksmi, Rita. 2007. Analisis dampak pariwisata terhadap pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh Kota
Sabang [tesis]. Bogor (ID): IPB.
Sulistiyo B, Trismadi. 2011. Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (edisi
2010). Indonesia: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir,
Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Supriharyono. 2007. Pengelolaan ekosistem terumbu karang. Jakarta (ID): Djambatan.
[UU] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
[UU] Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
[UU] Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Widodo J, Suadi. 2006. Pengelolaan sumber daya perikanan laut. Yogyakarta (ID):
Gadjah Mada University Press.
Widodo, Slamet. 2011. Strategi nafkah berkelanjutan bagi rumah tangga miskin di
daerah pesisir. Makara. Volume 15 No. 1 (Juli 2011): 10-20. [internet]. [diunduh pada
10
Desember
2014]
dapat
diunduh
di:
journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/view/890
Wyles KJ, Pahl S, Thompson RC. 2013. Perceived risks and benefits of recreational
visits to the marine environment: integrating impacts on the environment and impacts
on the visitor. Ocean & Coastal Management. Volume 88(2014): 53-63. [internet]

47
Yoeti, Oka A. 2010. Dasar-dasar pengertian hospitaliti dan pariwisata. Bandung (ID):
Alumni.

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
Soraya Feruzia dilahirkan di Bandar Lampung, 8 September 1993. Penulis
merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan M. Yusuf ZE, SE dan
Elita Sari. Penulis mengenyam pendidikan di TK Kartika II-5 pada tahun 1999-2000,
kemudian dilanjutkan di SD KARTIKA II-5 pada tahun 2000-2005. Masa remaja
dihabiskan penulis di SMP Negeri 1 Bandar Lampung pada tahun 2005-2008 dan SMA
Negeri 9 Bandar Lampung pada tahun 2008-2011. Penulis melanjutkan pendidikannya
di Institut Pertanian Bogor dengan jurusan Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia melalui jalur tes SBMPTN Tertulis (Seleksi
Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) pada tahun 2011.
Semasa kuliah, penulis turut bergabung ke dalam beberapa organisasi yaitu
AIESEC IPB, Bina Desa BEM KM dan Kemala (paguyuban mahasiswa daerah asal
Lampung). Penulis bergabung dengan AIESEC sejak 2011 dengan menjabat posisi
sebagai Manager of Outgoing Exchange Asia Pacific Region (2011-2012), Vice
President of Outgoing Exchange (2012-2013) dan kembali menjadi Manager of
Outgoing Exchange 2013-2014). Penulis tergabung dalam divisi Pengembangan
Sumber daya Anggota pada organisasi Bina Desa BEM KM 2011-2012. Penulis aktif
berpartisipasi di paguyuban mahasiswa daerah asal Lampung yaitu Kemala (Keluarga
Mahasiswa Lampung) dan pernah menjabat sebagai Ketua Divisi Rekreasi dan Variatif
pada tahun 2012-2013. Penulis pernah berkesempatan menjadi exchange participant
Indonesia di Kamboja pada tahun 2013 dan mengenalkan budaya Indonesia dan berbagi
pengalaman dengan mahasiswa asing di National University of Management, Phnom
Penh, Kamboja.
Minat penulis terhadap lingkungan sudah ada sejak SMA dengan beberapa kali
mengikuti kegiatan lingkungan yang diadakan di sekolah. Sedangkan minat penulis
untuk mempelajari daerah pesisir timbul karena daerah asal penulis yang pesisir dan
bergabungnya penulis dalam kelompok minor Manajemen Sumber daya Perikanan.
Program mayor minor yang ditawarkan oleh departemen SKPM tersebut memberikan
kesempatan bagi penulis untuk mempelajari pesisir lebih kompleks dan mendalam serta
memiliki pengalaman turun lapang ke beberapa wilayah pesisir melihat kondisi biologis
maupun sosial masyarakat pesisir.

Anda mungkin juga menyukai