Anda di halaman 1dari 45

SISTEM MINERALISASI EPITHERMAL

Diposkan oleh Fattahillah Halim on Rabu, 25 November 2015


Istilah lingkungan epitermal pertama kali diperkenalkan oleh Lindgren (1922),
sebagai suatu lingkungan dangkal, yang terutama mengandung bijih Au, Ag, dan
logam dasar (Tabel 1); dengan kedalaman dan tekanan maksimum masingmasing 1.000 m dan 100 atm, bersalinitas rendah, dan temperatur berkisar 50200oC. Sistem epitermal juga selama ini telah dieksploitasi untuk berbagai jenis
logam dan mineral, meliputi Hg, Sb, S, kaolinit, alunit, dan silika. Berdasarkan
hasil studi dan penemuan endapan-endapan epitermal di Sirkum Pasifik dan
sekitarnya selama bebapa dekade terakhir, saat ini diketahui bahwa endapan
dengan tekstur dan kumpulan mineral yang mencirikan lingkungan epitermal
mengandung mineral dan inklusi fluida yang merekam temperatur maksimum
sekitar 300oC, sebagian besar di antaranya terbentuk pada kisaran (160-270)oC
yang berkorespondensi dengan kedalaman (50-700) m di bawah muka air tanah
purba (Hedenquist et al., 1996, 2000; Robb, 2005; Harijoko et al., 2007; Syafrizal
et al., 2007).

Tabel 1. Istilah-istilah yang telah digunakan untuk kedua lingkungan epitermal


(Hedenquist et al., 2000).

Secara genetik, endapan epitermal berhubungan dengan intrusi sub-volkanik


dangkal (Gambar 1). Proses pengendapan bijih pada lingkungan epitermal terjadi
karena larutan pembawa bijih yang terfokus dan sedang bergerak naik ke
permukaan, mengalami perubahan komposisi dengan cepat, pada jarak 1 km
dari sumbernya, atau di permukaan. Perubahan komposisi ini disebabkan oleh
boiling (pendidihan), suatu proses yang paling memungkinkan untuk terjadinya

presipitasi logam kompleks-bisulfida seperti emas. Proses pendidihan yang


diikuti dengan pendinginan yang cepat ini juga menghasilkan berbagai fitur yang
berhubungan, seperti pengendapan mineral gangue kuarsa dengan tekstur
colloform-nya, adularia dan bladed-calcite, serta pembentukan steam-heated
waters (air uap-panas) yang membentuk alterasi dan halo advanced argillic dan
argillic. Di samping itu, penurunan tekanan yang tajam juga terjadi pada larutan
pembawa bijih akibat hydraulic fracturing, di mana ini juga memfokuskan aliran
fluida yang sedang mendidih tersebut. Untuk alasan-alasan inilah, maka dikenal
istilah lingkungan epitermal untuk pengendapan bijih (Hedenquist et al., 1996,
2000).

Gambar 1. Penampang skematik intrusi sub-volkanik dangkal dan asosiasi


stratovolkanonya, serta lingkungan pembentukan endapan porfiri, dan endapan
bijih epitermal sulfidasi tinggi dan sulfidasi rendah. Sistem volkanik-hidrotermal
meluas mulai dari lingkungan degassing magma hingga ke fumarola dan mataair asam, yang merupakan lingkungan pembentukan bijih porfiri dan/atau
sulfidasi tinggi, sedangkan endapan bijih sulfidasi rendah terbentuk pada sistem
geotermal yang dicirikan oleh cairan ber-pH netral yang termanifestasi di
permukaan sebagai mata-air panas (Hedenquist et al., 1996;2000).

Secara umum endapan epitermal terbagi atas dua tipe (end-members)


berdasarkan tingkat sulfidasinya, atau tingkat oksidasi sulfur di dalam fluida
bijihnya, yaitu endapan tipe high sulfidation (sulfidasi tinggi) dan low sulfidation
(sulfidasi rendah). Endapan epitermal ini, baik tipe sulfidasi tinggi maupun rendah
tersebar luas pada tidak kurang dari 240 lokasi di Sirkum Pasifik dan sekitarnya,

yang merupakan zona subduksi - terluas di dunia - antara lempeng Samudera


Pasifik dengan lempeng-lempeng benua yang ada di sekitarnya, mulai dari
Australia dan Eurasia di barat, Eropa dan Amerika Utara di utara, serta Amerika
dan Amerika Selatan (Andes) di timur. Zona subduksi yang luas ini, dengan
asosiasi magmatisme-volkanisme dan kegempaannya yang aktif, sehingga di
kenal sebagai ring of fire, dari segi genetik merupakan zona yang paling
favorable bagi terbentuknya mineralisasi epitermal (Sillitoe, 1989; Keary and
Vine, 1990; Hedenquist et al., 1996, 2000; Corbett and Leach, 1998; Einaudi et
al.,
2003;
Corbett,
2004;
Robb,
2005).

Reference : Review Sistem Mineralisasi Epithermal di Circum Pacific - Irzal Nur


(dari berbagai sumber)

cvv

FOKUSJabar.com: Negara Indonesia merupakan wilayah pertemuan tiga


lempeng, yakni Indo-australia, Eurasia dan Lempeng Pasifik . Tidak hanya itu,
Indonesia pun dilalui jalur pegunungan aktif dunia, yakni Sirkum Pasifik dan
Sirkum Mediterania.
Kondisi tersebut lah yang menyebabkan Indonesia masuk pada jalur Ring of Fire
atau cincin api pasifik dunia, dan merupakan jalur pegunungan aktif . Tidak heran
jika Indonesia sering mengalami bencana alam berupa gempa bumi baik tektonik
maupun vulkanik.

Ring Of Fire Pasifik (WEB)


Sepertihalnya Pulau Sumatera dan Jawa, Irian, Maluku dan Sulawesi yang
menjadi daerah rawan bencana. Terlebih wilayah itu masih dilewati jalur
pegunungan aktif dan pertemuan lempeng. Hanya Pulau Kalimantan yang bisa
dibilang aman dari gempa bumi dan ancaman tsunami. Adapun banjir yang kerap
terjadi, hal itu karena di wilayah tersebut terdapat banyak sungai bahkan ada tiga
sungai besar yang salah satunya terluas di Indonesia.
Informasi dari Badan Geologi, di Indonesia terdapat empat gunung berapi dengan
status siaga level III, yakni di wilayah Sumatera, Maluku dan Sulawesi. Empat

gunung itu, yakni Soputan di daerah sekitar Minahasa Sulawesi Utara, Gunung
Lokon di Tomohon Sulawesi Utara, Gunung Karangetang di Kepulauan Siau
Sulawesi Utara dan Gunung Sinabung di Tanah Karo Sumatera Utara.
(HEN/LIN)
PENGERTIAN SIRKUM PASIFIK DAN SIRKUM MEDITERANIA
Pegunungan

Daerah pegunungan merupakan daerah yang terdiri atas bukit-bukit dan gununggunung sehingga tampak membentuk suatu rangkaian. Ada dua system
pegunungan lipatan muda di permukaan bumi, yaitu Sirkum Mediterania dan
Sirkum Pasifik.

sirkum mediterania dan sirkum pasifik


a. Sirkum Mediterania
Sirkum Mediterania berawal dari Pegunungan Alpen di Eropa kemudian
menyambung ke Pegunungan Himalaya di Asia dan masuk ke wilayah Indonesia
melalui Pulau Sumatra. Pegunungan Sirkum Mediterania ini terbagi menjadu dua
jalur utama, yakni sebagai berikut :
1. Busur dalam
Busur dalam dari rangkaian Sirkum Mediterania bersifat vulkanis.
2. Busur luar
Busur luar dari rangkaian Sirkum Mediterania, tidak bersiat vulkanis.]
b. Sirkum Pasifik
Sirkum Pasifik dari Pegunungan Andes di Amerika Selatan, kemudian
bersambung ke Pegunungan Rocky di Amerika Utara.

Pengertian Sirkum Mediterania


Sirkum Medetarian berawal dari Pegunungan Alpen di Eropa kemudian
menyambung ke pegunungan Himalaya di Asia lalu memasuki Indonesia melalui
Pulau Sumatra. Jalur Sirkum Medetarian di Indonesia membentang dari Pulau
Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku. Di Indonesia Sirkum
Meditarian di Indonesia terbagi menjadi dua Busur, sebagai berikut :
Busur Dalam Vulkanik
Busur dalam dari rangkaian Meditarian bersifat vulkanis. Yang menyababkan
banyak Gunung api aktif di sekitar rangkaian Sirkum Meditarian. Contoh
gunungapi tersebut adalah :Gunung Kerinci, Gunung Leuseur,dan Gunung
Krakatau
Busur Luar Nonvulkanik
Busur luar dari rangkaian Meditarian tidak bersifat vukanis. Busur luar sirkum
Meditarian membentang di pantai barat Sumatra, seperti Pulau Simeul, Nias,
Mentawai, dan Enggano, pantai selatan Jawa, dan pantai selatan Kepulauan
Nusa Tenggara.
Pengertian Sirkum Pasifik
Sirkum Pasifik berawal dari dari Pegunungan Andes di Amerika Selatan, lalu
bersambung ke pegunugan Rocky di Amerika Utara, lalu ke Jepang, Filipina,
sampai akhirnya sampai ke Indonesia melalui Sulawesi. Sirkum Pasifik juga
bercabang ke Pulau Halmahera dan akhirnya sampai di Papua.

Di sepanjang dua jalur ini membentang gunung api aktif yang siap mengeluarkan
muntahan abu vulkanik kapan saja. Hampir seluruh wilayah di Indonesia dilalui
kedua jalur ini, hanya Pulau Kalimantan yang tidak. Itu sebabnya tidak ada
gunung api di Pulau ini dan wilayah ini aman dari gempa.

BAB V
TIPE EPITHERMAL

5.1.

Asosiasi Geokimia

Endapan epitermal didefinisikan sebagai salah satu endapan dari sistem


hidrotermal yang terbentuk pada kedalaman dangkal yang umumnya pada busur

vulkanik yang dekat dengan permukaan (Simmons et al, 2005 dalam Sibarani,
2008). Penggolongan tersebut berdasarkan temperatur (T), tekanan (P) dan
kondisi geologi yang dicirikan oleh kandungan mineralnya. Secara lebih detailnya
endapan epitermal terbentuk pada kedalaman dangkal hingga 1000 meter dibawah
permukaan dengan temperatur relatif rendah (50-200)0 C dengan tekanan tidak
lebih dari 100 atm dari cairan meteorik dominan yang agak asin (Pirajno, 1992).
Tekstur penggantian (replacement) pada mineral tidak menjadi ciri khas karena
jarang terjadi. Tekstur yang banyak dijumpai adalah berlapis (banded) atau
berupa fissure vein. Sedangkan struktur khasnya adalah berupa struktur
pembungkusan (cockade structure). Asosiasi pada endapan ini berupa mineral
emas (Au) dan perak (Ag) dengan mineral penyertanya berupa mineral kalsit,
mineral zeolit dan mineral kwarsa. Dua tipe utama dari endapan ini adalah low
sulphidation dan high sulphidation yang dibedakan terutama berdasarkan pada
sifat kimia fluidanya dan berdasarkan pada alterasi dan mineraloginya.
Pada daerah volcanic, sistem epithermal sangat umum ditemui dan seringkali
mencapai permukaan, terutama ketika fluida hydrothermal muncul (erupt) sebagai
geyser dan fumaroles. Banyak endapan mineral epithermal tua menampilkan fossil
roots dari sistem fumaroles kuno. Karena mineral-mineral tersebut berada dekat
permukaan, proses erosi sering mencabutnya secara cepat, hal inilah mengapa
endapan mineral epithermal tua relatif tidak umum secara global. Kebanyakan
dari endapan mineral epithemal berumur Mesozoic atau lebih muda.
Terdapat suatu kelompok unsur-unsur yang umumnya berasosiasi dengan
mineralisasi epitermal, meskipun tidak selalu ada atau bersifat eksklusif dalam
sistem epitermal. Asosiasi klasik unsur-unsur ini adalah: emas (Au), perak (Ag),
arsen (As), antimon (Sb), mercury (Hg), thallium (Tl), dan belerang (S). Dalam
endapan yang batuan penerimanya karbonat (carbonat-hosted deposits), arsen dan
belerang merupakan unsur utama yang berasosiasi dengan emas dan perak
(Berger, 1983), beserta dengan sejumlah kecil tungsten/wolfram
,
molybdenum (Mo), mercury (Hg), thallium (Tl), antimon (Sb), dan tellurium (Te);
serta juga fluor (F) dan barium (Ba) yang secara setempat terkayakan.
Dalam endapan yang batuan penerimanya volkanik (volcanic-hosted deposits)
akan terdapat pengayaan unsur-unsur arsen (As), antimon (Sb), mercury (Hg), dan
thallium (Tl); serta logam-logam mulia (precious metals) dalam daerah-daerah
saluran fluida utama, sebagaimana asosiasinya dengan zona-zona alterasi
lempung. Menurut Buchanan (1981), logam-logam dasar (base metals)
karakteristiknya rendah dalam asosiasinya dengan emas-perak, meskipun
demikian dapat tinggi pada level di bawah logam-logam berharga (precious
metals) atau dalam asosiasi-nya dengan endapan-endapan yang kaya perak dimana
unsur mangan juga terjadi. Cadmium (Cd), selenium (Se) dapat berasosiasi
dengan logam-logam dasar; sedangkan fluor (F), bismuth (Bi), tellurium (Te), dan

tungsten

dapat bervariasi tinggi kandungannya dari satu endapan ke

endapan yang lainnya; serta boron (B) dan barium (Ba) terkadang terkayakan.

Gambar 5.1. Sketsa model cebakan endapan ephitermal


5.2. Zonasi Logam

Contoh zonasi logam yang menunjukkan hubungan skematik antara unsur


arsen-antimon-thallium terhadap emas dan perak dapat dilihat dalam Model
Sistem Epitermal Hot Spring (Berger dan Eimon, 1982). Contoh tipikalnya di
distrik McLaughlin (Knoxville), California; yaitu tambang Manhattan (Becker,
1888; Averrit, 1945). Contoh tipikal lainnya, Round Mountain, Nevada (Berger
dan Tingley, 1980), distrik Hasbrouck Peak (Divide), Nevada (Silberman, 1982),
dan Sulphur, Nevada (Wallace, 1980). Dalam contoh-contoh tipikal ini, dikenal
kejadian-kejadian logam berharga pada mata air panas, endapan-endapan bijihnya
terdiri dari bijih-bijih tipe bonanza (bonanza ores) dan bijih bulk berkadar rendah
yang dapat ditambang.
Contoh lainnya, mineralisasi emas di dalam dan di sekitar breksi erupsi dan sinter
purba yang berada di atasnya dapat terlihat pada Model Sistem epitermal aktif, di
broadlands dan waitopu, New Zealand. Mineralisasi di Mc Laughlin, keradaannya
sering dinyatakan dengan adanya sinter. Sinter termineralisasikan bersamaan
dengan mercury. Kebanyakan mineralisasi terjadi pada level dangkal (kedalaman
40-120 meter) dan pada suhu purba 160-200C, serta berasosiasi dengan Zone
Silisifikasi kuat.
Asosiasi silisifikasi kuat dan thallium halo effect dalam lingkungan epitermal
teramati juga dalam sistem aktif di New Zealand (Weisberg, 1969; Ewers dan
Keays, 1977). Dalam sumur 16 (Broadlands), teramati distribusi sulfida dan
konsentrasi Au, Ag, As, Sb, dan Tl dalam sulfida sistem aktif tersebut (Ewer dan
Keay, 1977).
Pola umum logam mulia (precious metals) berada di atas logam dasar (base
metals) dalam Model Sistem Epitermal Aktif (Buchanan, 1981) dengan jelas
terbukti juga di Broadlands maupun di Waiotopu, New Zealand. Arsen, antimon,
dan thallium juga cenderung berkonsentrasi dekat permukaan, demikian juga
mercury. Mercury dan thallium memperlihatkan pengayaannya dekat dengan
permukaan sehubungan dengan volatilitasnya dapat diperkirakan bahwa kedua
unsur ini akan terzonasikan secara lateral menjauhi zone bersuhu tinggi. Perlu
dicatat bahwa, belum banyak informasi mineralogi dan geokimia dari daerahdaerah sistem aktif bersuhu rendah yang dapat membuktikan ini, baik dari sumur
dangkal maupun dari bagian sistem yang lebih dalam ini disebabkan eksplorasi
geotermal hanya mengarah pada sumberdaya suhu yang tinggi dalam sistem aktif
ini. Salah satu petunjuk yang penting, adanya kenaikan yang sangat cepat ke arah
permukaan teramati dari kandungan logam-logam berikut ini, yaitu: mercury,
antimon, thallium, dan arsen.
Dalam fosil sistem epitermal, jelaslah bahwa level erosi (erosion level)
atau kedalaman erosi yang menyingkapkan suatu sistem epitermal yang
teralterasikan dan termineralisasikan akan merupakan faktor yang sangat penting
dalam penentuan level logam-logam anomali di permukaan, dan tentunya tidak
perlu hanya menunjukkan potensi mineral di permukaan, tetapi dapat
mengindikasikan ada atau tidaknya potensi mineralisasi di bawah permukaan.

Bohan dan Giles (1983) membuktikan bahwa adanya atau tidak


adanya unsur-unsur jejak (trace elements) tertentu, misalnya Hg dan W), dalam
suatu sistem epitermal tergantung pada karakteristik batuan sumber (source rock)
setempat. Sedangkan jika membandingkan konsentrasi-konsentrasi logam dalam
endapan permukaan pada tabel distribusi sulfida serta logam-logam dalam sulfida
di sumur 16, sistem epithermal aktif Waimangu, Waitopu, dan Broadlands, New
Zealand (Weisberg, et al., 1979; Ewer dan Keays, 1977) membuktikan
anggapan tersebut keliru. Kesimpulannya, unsur-unsur jejak tidak tergantung pada
karakteristik batuan sumber.
Mineralisasi epitermal memiliki sejumlah fitur umum seperti hadirnya kalsedonik
quartz, kalsit, dan breksi hidrotermal. Selain itu, asosiasi elemen juga merupakan
salah satu ciri dari endapan epitermal, yaitu dengan elemen bijih seperti Au, Ag,
As, Sb, Hg, Tl, Te, Pb, Zn, dan Cu. Tekstur bijih yang dihasilkan oleh endapan
epitermal termasuk tipe pengisian ruang terbuka (karakteristik dari lingkungan
yang bertekanan rendah), krustifikasi, colloform banding dan struktur sisir.
Endapan yang terbentuk dekat permukaan sekitar 1,5 km dibawah permukaan ini
juga memiliki tipe berupa tipe vein, stockwork dan diseminasi.
Dua tipe utama dari endapan ini adalah low sulphidation dan high
sulphidation yang dibedakan terutama berdasarkan pada sifat kimia fluidanya dan
berdasarkan pada alterasi dan mineraloginya (Hedenquist et al., 1996:2000
dalam Chandra,2009).
Dibawah ini digambarkan ciri-ciri umum endapan epitermal (Lingren, 1933
dalam Sibarani, 2008):

Suhu relatif rendah (50-250C) dengan salinitas bervariasi antara 0-5 wt.%

Terbentuk pada kedalaman dangkal (~1 km)

Pembentukan endapan epitermal terjadi pada batuan sedimen atau batuan


beku, terutama yang berasosiasi dengan batuan intrusiv dekat permukaan
atau ekstrusif, biasanya disertai oleh sesar turun dan kekar.

Zona bijih berupa urat-urat yang simpel, beberapa tidak beraturan dengan
pembentukan kantong-kantong bijih, seringkali terdapat pada pipa dan
stockwork. Jarang terbentuk sepanjang permukaan lapisan, dan sedikit
kenampakan replacement(penggantian).

Logam mulia terdiri dari Pb, Zn, Au, Ag, Hg, Sb, Cu, Se, Bi, U

Mineral bijih berupa Native Au, Ag, elektrum, Cu, Bi, Pirit, markasit,
sfalerit, galena, kalkopirit, Cinnabar, jamesonite, stibnite, realgar,
orpiment, ruby silvers, argentite, selenides, tellurides.

Mineral penyerta adalah kuarsa, chert, kalsedon, ametis, serisit, klorit


rendah-Fe, epidot, karbonat, fluorit, barite, adularia, alunit, dickite,
rhodochrosite, zeolit

Ubahan batuan samping terdiri dari chertification(silisifikasi), kaolinisasi,


piritisasi, dolomitisasi, kloritisasi

Tekstur dan struktur yang terbentuk adalah Crustification (banding) yang


sangat umum, sering sebagai fine banding, vugs, urat terbreksikan.

Karakteristik umum dari endapan epitermal (Simmons et al, 2005 dalam Sibarani,
2008) adalah:

Jenis air berupa air meteorik dengan sedikit air magmatik

Endapan epitermal mengandung mineral bijih epigenetic yang pada


umumnya memiliki batuan induk berupa batuan vulkanik.

Tubuh bijih memiliki bentuk yang bervariasi yang disebabkan oleh kontrol
dan litologi dimana biasanya merefleksikan kondisi paleopermeabilitypada kedalaman yang dangkal dari sistem hidrotermal.

Sebagian besar tubuh bijih terdapat berupa sistem urat dengan dip yang
terjal yang terbentuk sepanjang zona regangan. Beberapa diantaranya
terdapat bidang sesar utama, tetapi biasanya pada sesar-sesar minor.

Pada suatu jaringan sesar dan kekar akan terbentuk bijih pada urat.

Mineral gangue yang utama adalah kuarsa sehingga menyebabkan bijih


keras dan realtif tahan terhadap pelapukan.

Kandungan sulfida pada urat relatif sedikit (<1 s/d 20%).

5.3 Alterasi Epithermal


Fluida-fluida hidrotermal menyebabkan alterasi atau ubahan-ubahan pada batuanbatuan penerima (host rock) dan terjadinya mineralisasi unsur-unsur yang terbawa
oleh fluida-fluida dalam bentuk antara lain vein, veinlet, lode, stringer, stockwork,
dan breksi eksplosi. Alterasi dan mineralisasi ini membentuk zona-zona yang
dibedakan sebagai berikut ini: Phyllic, Quartz+Illite, Quartz+Sericite, Adularia,
dan Sulfidasi Rendah atau Sulfidasi Khlorida Netral.

Kebanyakan emas epitermal terdapat dalam vein-vein yang berasosiasi dengan


Alterasi Quartz-Illite yang menunjukkan pengendapan dari fluida-fluida dengan
pH mendekati netral (Fluida-fluida Khlorida Netral). Dalam alterasi dan
mineralisasi dengan jenis fluida ini, emas dijumpai dalam vein, veinlet, breksi
ekplosi atau breksi hidrotermal, dan stockwork atau stringer Pyrite+Quartz yang
berbentuk seperti rambut (hairline).
Emas epitermal juga terdapat dalam Alterasi Advanced-Argillic dan alterasialterasi sehubungan yang terbentuk dari Fluida-fluida asam sulfat. Dalam alterasi
dan mineralisasi dengan jenis fluida ini, emas dijumpai dalam veinlet, batuanbatuan silika masif, atau dalam rekahan-rekahan atau breksi-breksi dalam batuan
yang tersilisifikasikan, serta dapat hadir bijih tembaga seperti enargite, luzonite,
dan covelite.
Mineralisasi epitermal dicirikan oleh berbagai jenis alterasi, yang perbedaannya
ditentukan oleh: pH dan kedalaman yang berbeda dalam sistem epitermal, serta
beberapa variasi komposisi yang luas dari sekitarnya (host rocks). Identifikasi
jenis-jenis alterasi penting dilakukan untuk memahami level erosi sistem tersebut,
penentuan keberadaan titik lokasi di permukaan dalam daerah alterasi tersebut,
dan jenis bijih yang diperkirakan.

5.4 Jenis Alterasi Epithermal


Fluida-fluida hidrotermal menyebabkan alterasi atau ubahan-ubahan pada batuanbatuan penerima (host rock) dan terjadinya mineralisasi unsur-unsur yang terbawa
oleh fluida-fluida dalam bentu k antara lain: vein, veinlet, lode, stringer,
stockwork, dan breksi eksplosi. Alterasi dan mineralisasi ini membentuk zonezone yang dibedakan sebagai berikut ini: phyllic, quartz+illite, quartz+sericite,
adularia, dan sulfidasi rendah.
Kebanyakan emas epitermal terd u Sulfidasi Khlorida Netral. apat dalam veinvein yang berasosiasi dengan Alterasi Quartz-Illite yang menunjukkan
pengendapan dari fluida-fluida dengan pH mendekati netral (Fluida-fluida
Khlorida Netral). Dalam alterasi dan mineralisasi dengan jenis fluida ini, emas
dijumpai dalam vein, veinlet, breksi ekplosi atau breksi hidrotermal, dan
stockwork atau stringer Pyrite+Quartz yang berbentuk seperti rambut (hairline).
Emas epitermal juga terdapat dalam alterasi advanced-argillic dan alterasi-alterasi
sehubungan yang terbentuk dari fluida-fluida asam sulfat. dalam alterasi dan
mineralisasi dengan jenis fluida ini, emas dijumpai dalam veinlet, batuan-batuan
silika masif, atau dalam rekahan-rekahan atau breksi-breksi dalam batuan yang
tersilisifikasikan, serta dapat hadir bijih tembaga seperti enargite, luzonite, dan
covelite.

Jenis Alterasi Epitermal Mineralisasi epitermal dicirikan oleh berbagai jenis


alterasi, yang perbedaannya ditentukan oleh: pH dan kedalaman yang berbeda
dalam sistem epitermal, serta beberapa variasi komposisi yang luas dari sekitarnya
(host rocks). Identifikasi jenis-jenis alterasi penting dilakukan untuk memahami
level erosi sistem tersebut, penentuan keberadaan titik lokasi di permukaan dalam
daerah alterasi tersebut, dan jenis bijih yang diperkirakan.
Jenis alterasi endapan epitermal di daerah volkanik andesitik-dasitik adalah:

Alterasi Fluida Khlorida Netral (Neutral Chloride Fluid Alteration)

Alterasi Fluida Asam Sulfat (Acid Sulphate Fluid Alteration)

5.5. Keterbentukan Endapan Ephitermal


Jika kita berbicara tentang pembentukan endapan, kita dapat membedakannya
menjadi tiga kelas berdasarkan jenis fluida yang membentuk endapan tersebut,
yaitu:

Magmatic

Magmatic-meteoric

Meteoric

1. Magmatic
endapan ini didominasi dari magmatic fluida( dimana yang kita ketahui bahwa
magma juga terdiri dari air) yang berasal dari dalam bumi.
2. Magmatic-Meteoric
Endapan ini terbentuk dari fluida yang merupakan campuran dari Magmatic fluida
dan Meteoric fluida.
3. Meteoric
Endapan ini terbentuk karena dominasi dari Meteoric fluida yang berasal dari
permukaan bumi.

5.6. Proses Terbentuknya Ephitermal

Endapan ini terbentuk jauh dari tubuh intrusi dan terbentuk melalui larutan
sisa magma yang berpindah jauh dari sumbernya kemudian bercampur dengan air
meteorik di dekat permukaan dan membentuk jebakan tipe sulfidasi rendah,
dipengaruhi oleh sistem boiling sebagai mekanisme pengendapan mineral-mineral
bijih. Proses boiling disertai pelepasan unsur gas merupakan proses utama untuk
pengendapan emas sebagai respon atas turunnya tekanan. Perulangan proses
boiling akan tercermin dari tekstur crusstiform banding dari silika dalam urat
kuarsa. Pembentukan jebakan urat kuarsa berkadar tinggi mensyaratkan pelepasan
tekanan secara tiba-tiba dari cairan hidrotermal untuk memungkinkan proses
boiling. Sistem ini terbentuk pada tektonik lempeng subduksi, kolisi dan
pemekaran (Hedenquist dkk., 1996 dalam Pirajno, 1992).
Kontrol utama terhadap pH cairan adalah konsentrasi CO2 dalam larutan dan
salinitas. Proses boiling dan terlepasnya CO2 ke fase uap mengakibatkan kenaikan
pH, sehingga terjadi perubahan stabilitas mineral contohnya dari illit ke adularia.
Terlepasnya CO2 menyebabkan terbentuknya kalsit, sehingga umumnya dijumpai
adularia dan bladed calcite sebagai mineral pengotor (gangue minerals) pada urat
bijih sistem sulfidasi rendah.
Endapan epitermal sulfidasi rendah akan berasosiasi dengan alterasi kuarsa
adularia, karbonat dan serisit pada lingkungan sulfur rendah. Larutan bijih dari
sistem sulfidasi rendah variasinya bersifat alkali hingga netral (pH 7) dengan
kadar garam rendah (0-6 wt)% NaCl, mengandung CO2 dan CH4 yang bervariasi.
Mineral-mineral sulfur biasanya dalam bentuk H2S dan sulfida kompleks dengan
temperatur sedang (150-300 C) dan didominasi oleh air permukaan.
Batuan samping (wallrock) pada endapan epitermal sulfidasi rendah adalah
andesit alkali, riodasit, dasit, riolit ataupun batuan batuan alkali. Riolit sering
hadir pada sistem sulfidasi rendah dengan variasi jenis silika rendah sampai
tinggi. Bentuk endapan didominasi oleh urat-urat kuarsa yang mengisi ruang
terbuka (open space), tersebar (disseminated), dan umumnya terdiri dari urat-urat
breksi (Hedenquist dkk., 1996). Struktur yang berkembang pada sistem sulfidasi
rendah berupa urat, cavity filling, urat breksi, tekstur colloform, dan sedikit vuggy
(Corbett dan Leach, 1996).

5.7. Karakter Endapan Ephitermal


Pada lingkungan epitermal terdapat 2 (dua) kondisi sistem hidrotermal yang
dapat dibedakan berdasarkan reaksi yang terjadi dan keterdapatan mineral-mineral
alterasi dan mineral bijihnya yaitu epitermal low sulfidasi dan high sulfidasi
(Hedenquist et al .,1996; 2000 dalam Sibarani, 2008). Pengklasifikasian
endapan epitermal masih merupakan perdebatan hingga saat ini, akan tetapi
sebagian besar mengacu kepada aspek mineralogi dan gangue mineral, dimana
aspek tersebut merefleksikan aspek kimia fluida maupun aspek perbandingan

karakteristik mineralogi, alterasi (ubahan) dan bentuk endapan pada lingkungan


epitermal. Aspek kimia dari fluida yang termineralisasi adalah salah satu faktor
yang terpenting dalam penentuan kapan mineralisasi tersebut terjadi dalam sistem
hidrotermal.

5.7.1. Karakter Endapan Ephitermal Low sulfidation


Endapan epitermal sulfidasi rendah dicirikan oleh larutan hidrotermal yang
bersifat netral dan mengisi celah-celah batuan. Tipe ini berasosiasi dengan alterasi
kuarsa-adularia, karbonat, serisit pada lingkungan sulfur rendah dan biasanya
perbandingan perak dan emas relatif tinggi. Mineral bijih dicirikan oleh
terbentuknya elektrum, perak sulfida, garam sulfat, dan logam dasar sulfida.
Batuan induk pada deposit logam mulia sulfidasi rendah adalah andesit alkali,
dasit, riodasit atau riolit. Secara genesa sistem epitermal sulfidasi rendah
berasosiasi dengan vulkanisme riolitik. Tipe ini dikontrol oleh struktur-struktur
pergeseran (dilatational jog).
Endapan ini terbentuk jauh dari tubuh intrusi dan terbentuk melalui larutan sisa
magma yang berpindah jauh dari sumbernya kemudian bercampur dengan air
meteorik di dekat permukaan dan membentuk jebakan tipe sulfidasi rendah,
dipengaruhi oleh sistem boiling sebagai mekanisme pengendapan mineral-mineral
bijih. Proses boiling disertai pelepasan unsur gas merupakan proses utama untuk
pengendapan emas sebagai respon atas turunnya tekanan. Perulangan
proses boilingakan tercermin dari tekstur crusstiform banding dari silika dalam
urat kuarsa. Pembentukan jebakan urat kuarsa berkadar tinggi mensyaratkan
pelepasan tekanan secara tiba-tiba dari cairan hidrotermal untuk memungkinkan
proses boiling. Sistem ini terbentuk pada tektonik lempeng subduksi, kolisi dan
pemekaran (Hedenquist dkk., 1996 dalam Pirajno, 1992).
Kontrol utama terhadap pH cairan adalah konsentrasi CO2 dalam larutan dan
salinitas. Proses boiling dan terlepasnya CO2 ke fase uap mengakibatkan kenaikan
pH, sehingga terjadi perubahan stabilitas mineral contohnya dari illit ke adularia.
Terlepasnya CO2 menyebabkan terbentuknya kalsit, sehingga umumnya dijumpai
adularia dan bladed calcite sebagai mineral pengotor (gangue minerals) pada urat
bijih sistem sulfidasi rendah
Endapan epitermal sulfidasi rendah akan berasosiasi dengan alterasi kuarsa
adularia, karbonat dan serisit pada lingkungan sulfur rendah. Larutan bijih dari
sistem sulfidasi rendah variasinya bersifat alkali hingga netral (pH 7) dengan
kadar garam rendah (0-6 wt)% NaCl, mengandung CO2 dan CH4 yang bervariasi.
Mineral-mineral sulfur biasanya dalam bentuk H2S dan sulfida kompleks dengan
temperatur sedang (150-300 C) dan didominasi oleh air permukaan

Batuan samping (wallrock) pada endapan epitermal sulfidasi rendah adalah


andesit alkali, riodasit, dasit, riolit ataupun batuan batuan alkali. Bentuk endapan
didominasi oleh urat-urat kuarsa yang mengisi ruang terbuka (open space),
tersebar (disseminated), dan umumnya terdiri dari urat-urat breksi (Hedenquist
dkk., 1996). Struktur yang berkembang pada sistem sulfidasi rendah berupa
urat, cavity filling, urat breksi, tekstur colloform, dan sedikit vuggy (Corbett dan
Leach, 1996), lihat Tabel 2.1
Tabel 2.1 Karakteristik endapan epitermal sulfidasi rendah (Corbett dan Leach,
1996).
Tipe endapan
Posisi tektonik
Tekstur
Asosiasi mineral
Mineral bijih
Contoh endapan

Sinter breccia, stockwork


Subduction, collision, dan rift
Colloform atau crusstiform
Stibnit, sinnabar, adularia, metal sulfida
Pirit, elektrum, emas, sfalerit, arsenopirit
Pongkor, Hishikari dan Golden Cross

Gambar 5.2. Model endapan emas epitermal sulfidasi rendah


(Hedenquist dkk., 1996 dalam Nagel, 2008).

Karakter Endapan Ephitermal High sulfidation

Endapan epitermal high sulfidation dicirikan dengan host rock berupa


batuan vulkanik bersifat asam hingga intermediet dengan kontrol struktur berupa
sesar secara regional atau intrusi subvulkanik, kedalaman formasi batuan sekitar
500-2000 meter dan temperatur 1000C-3200C. Endapan Epitermal High
Sulfidation terbentuk oleh sistem dari fluida hidrotermal yang berasal dari intrusi
magmatik yang cukup dalam, fluida ini bergerak secara vertikal dan horizontal
menembus rekahan-rekahan pada batuan dengan suhu yang relatif tinggi (2003000C), fluida ini didominasi oleh fluida magmatik dengan
kandungan acidic yang tinggi yaitu berupa HCl, SO2, H2S (Pirajno, 1992).

Gambar 5.3. Keberadaan sulfida tinggi


Endapan epitermal high sulfidation terbentuk dari reaksi batuan induk dengan
fluida magma asam yang panas, yang menghasilkan suatu karakteristik zona
alterasi (ubahan) yang akhirnya membentuk endapan Au+Cu+Ag. Sistem bijih
menunjukkan kontrol permeabilitas yang tergantung oleh faktor litologi, struktur,
alterasi di batuan samping, mineralogi bijih dan kedalaman formasi. High
sulphidation berhubungan dengan pH asam, timbul dari bercampurnya fluida yang
mendekati pH asam dengan larutan sisa magma yang bersifat encer sebagai hasil
dari diferensiasi magma, di kedalaman yang dekat dengan tipe endapan porfiri dan
dicirikan oleh jenis sulfur yang dioksidasi menjadi SO.
Epithermal High Sulphidation terbentuk dalam suatu sistem magmatichydrothermal yang didominasi oleh fluida hidrothermal yang asam, dimana
terdapat fluks larutan magmatik dan vapor yang mengandung H2O, CO2, HCl,
H2S, and SO2, dengan variabel input dari air meteorik lokal.

Gambar 5.4 Sketsa zona endapan ephitermal

Pengertian Sirkum pasifik


Diposkan oleh ni'amul huda di 8:09 AM

Pengertian Sirkum pasifik adalah Rangkaian


pegunungan yang dimulai dari pegunungan Los
Andes di Amerika Selatan, pegunungan di
Amerika Tengah, Rocky Mountain di Amerika
Utara, Kepulauan Aleuten, Jepang, Filipina dan
masuk ke Indonesia melalui tiga jalur, yaitu
Kalimantan, Sulawesi, dan Halmahera berlanjut
ke kepalaburung Papua dan membentuk tulang
punggung pegunungan di Papua, Australia, dan
berakhir di Selandia Baru
Sumber: Eko Sujatmiko, Kamus IPS , Surakarta:
Aksara Sinergi Media Cetakan I, 2014
halaman 323

Mineralisasi dan Alterasi dalam Sistem Hidrotermal


Larutan hidrotermal terbentuk pada fase akhir siklus pembekuan magma. Interaksi
antara larutan hidrotermal dengan batuan yang dilewati akan menyebabkan
terubahnya mineral-mineral penyusun batuan samping dan membentuk mineral
alterasi. Larutan hidrotermal tersebut akan terendapkan pada suatu tempat
membentuk mineralisasi (Bateman, 1981). Faktor-faktor dominan yang
mempengaruhi pengendapan mineral di dalam sistem hidrotermal terdiri dari
empat macam (Barnes, 1979; Guilbert dan Park, 1986), yaitu: (1) Perubahan
temperatur; (2) Perubahan tekanan; (3) Reaksi kimia antara fluida hidrotermal
dengan batuan yang dilewati; dan (4) Percampuran antara dua larutan yang
berbeda. Temperatur dan pH fluida merupakan faktor terpenting yang
mempengaruhi mineralogi sistem hidrotermal. Tekanan langsung berhubungan
dengan temperatur, dan konsentrasi unsur terekspresikan di dalam pH batuan hasil
mineralisasi (Corbett dan Leach, 1996).
Guilbert dan Park (1986) mengemukakan alterasi merupakan perubahan di dalam
komposisi mineralogi suatu batuan (terutama secara fisik dan kimia), khususnya
diakibatkan oleh aksi dari fluida hidrotermal. Alterasi hidrotermal merupakan
konversi dari gabungan beberapa mineral membentuk mineral baru yang lebih
stabil di dalam kondisi temperatur, tekanan dan komposisi hidrotermal tertentu
(Barnes, 1979; Reyes, 1990 dalam Hedenquist, 1998). Mineralogi batuan alterasi
dapat mengindikasikan komposisi atau pH fluida hidrotermal (Henley et al., 1984
dalam Hedenquist, 1998).
Corbett dan Leach (1996) mengemukakan komposisi batuan samping berperan
mengkontrol mineralogi alterasi. Mineralogi skarn terbentuk di dalam batuan
karbonatan. Fase adularia K-feldspar dipengaruhi oleh batuan kaya potasium.
Paragonit (Na-mika) terbentuk pada proses alterasi yang mengenai batuan
berkomposisi albit. Muskovit terbentuk di dalam alterasi batuan potasik.
Sistem pembentukan mineralisasi di lingkaran Pasifik secara umum terdiri dari
endapan mineral tipe porfiri, mesotermal sampai epitermal (Corbett dan Leach,
1996). Tipe porfiri terbentuk pada kedalaman lebih besar dari 1 km dan batuan

induk berupa batuan intrusi. Sillitoe, 1993a (dalam Corbett dan Leach, 1996)
mengemukakan bahwa endapan porfiri mempunyai diameter 1 sampai > 2 km dan
bentuknya silinder.
Tipe mesotermal terbentuk pada temperatur dan tekanan menengah, dan
bertemperatur > 300oC (Lindgren, 1922 dalam Corbett dan Leach, 1996).
Kandungan sulfida bijih terdiri dari kalkopirit, spalerit, galena, tertahidrit, bornit,
dan kalkosit. Mineral penyerta terdiri dari kuarsa, karbonat (kalsit, siderit,
rodokrosit), dan pirit. Mineral alterasi terdiri dari serisit, kuarsa, kalsit, dolomit,
pirit, ortoklas, dan lempung.
Tipe epitermal terbentuk di lingkungan dangkal dengan temperatur < 300oC, dan
fluida hidrotermal diinterpretasikan bersumber dari fluida meteorik. Endapan tipe
ini merupakan kelanjutan dari sistem hidrotermal tipe porfiri, dan terbentuk pada
busur magmatik bagian dalam di lingkungan gunungapi kalk-alkali atau batuan
dasar sedimen (Heyba et al., 1985 dalam Corbett dan Leach, 1996). Sistem ini
umumnya mempunyai variasi endapan sulfida rendah dan sulfida tinggi (gambar
4). Mineral bijih terdiri dari timonidsulfat, arsenidsulfat, emas dan perak, stibnite,
argentit, cinabar, elektrum, emas murni, perak murni, selenid, dan mengandung
sedikit galena, spalerit, dan galena. Mineral penyerta terdiri dari kuarsa, ametis,
adularia, kalsit, rodokrosit, barit, flourit, dan hematit. Mineral alterasi terdiri dari
klorit, serisit, alunit, zeolit, adularia, silika, pirit, dan kalsit.

Gambar 3: Model mineralisasi emas-perak lingkaran Pasifik

(Corbett, 2002)

Gambar 4: Model fluida sulfida tinggi dan rendah (Corbett dan Leach, 1996)
Morrison, 1997, mengemukakan beberapa asosiasi mineral petunjuk sistem
hipogen dalam proses magmatik yang berhubungan dengan mineralisasi
epigenetik sebagai berikut:
Tabel 1: Asosiasi mineral petunjuk sistem hipogen dalam proses magmatik yang
berhubungan dengan mineralisasi epigenetik (Morrison, 1997).

Zonasi alterasi dapat mempunyai bentuk geometri yang berbeda-beda, mulai dari
bentuk konsentris, linier, sampai tidak teratur dan komplek. Zonasi alterasi
endapan Porfiri Cu mempunyai bentuk konsentris. Bagian inti/tengah terdiri dari
alterasi potasik, berkomposisi potasium feldspar dan biotit. Bagian tengah
merupakan zonasi alterasi philik tersusun oleh kuarsa-serisit-pirit. Bagian paling
luar mempuyai alterasi propilitik, mineraloginya tersusun oleh kuarsa-kloritkarbonat, dan setempat-setempat terdapat epidot, albit atau adularia. Endapan
epitermal berbentuk urat/vein yang berasosiasi dengan struktur mayor mempunyai
pola linier dan paralel dengan arah struktur. Urut-urutan zonasi alterasi dari
temperatur tinggi ke temperatur rendah adalah argilik sempurna, serisit, argilik,
dan propilitik.
Mineralisasi/alterasi endapan urat yang berasosiasi dengan endapan logam dasar
dicirikan oleh zonasi pembentukan mineral dari temperatur tinggi sampai rendah.
Urat/vein di daerah proksimal kaya kandungan tembaga dan rasio logam
dibanding sulfur tinggi. Daerah ini dicirikan oleh hadirnya alterasi argillik
sempurna di bagian dalam dan ke arah luar berubah menjadi alterasi serisitik.
Daerah distal kaya kandungan timbal dan zeng, dan terdiri dari mineral sulfida
dengan rasio logam dibanding sulfur rendah. Alterasi yang berkembang di daerah

ini berupa alterasi propilitik, semakin ke arah jauh dari urat tersusun oleh batuan
tidak teralterasi (Panteleyev, 1994; Corbett, 2002).
Tabel 2: Dominasi komposisi mineralisasi/alterasi pada temperatur tinggi dan
rendah
(disederhanakan dari Corbett, 2002)
TEMPERATUR TINGGI
Kalkopirit
Kuarsa kristalin (comb stucture)
Kuarsa butir kasar
Serisit
Philik

TEMPERATUR RENDAH
Galena, spalerit
Kalsedon-opal
Kuarsa butir halus
Smektit-illit
Propilitik

Gambar 5: Zonasi proksimal distal tipe endapan urat logam dasar yang
berasosiasi dengan endapan porfiri tembaga/molibdenum (Panteleyev, 1994)
GuilbertdanPark, 1986, mengemukakan model hubungan antara mineralisasi dan
alterasi dalam sistem epitermal (gambar 6). Beberapa asosiasi mineral bijih
maupun mineral skunder erat hubungannya dengan besar temperatur larutan
hidrotermal pada waktu mineralisasi. Mineral bijih galena, sfalerit dan kalkopirit
terbentuk pada horison logam dasar bagian bawah dengan temperatur 350 oC.
Pada horison ini alterasi bertipe argilik sempurna dan terbentuk mineral alterasi
temperatur tinggi seperti adularia, albit dan feldspar. Fluida hidrotermal di horison
logam dasar (bagian tengah) bertemperatur antara 200 o 400oC. Mineral bijih
terdiri dari argentit, elektrum, pirargirit dan proustit. Mineral ubahan terdiri dari
serisit, adularia, ametis, sedikit mengandung albit. Horison bagian atas terbentuk
pada temperatur < 200oC. Mineral bijih terdiri dari emas di dalam pirit, Aggaramsulfo dan pirit. Mineral ubahan berupa zeolit, kalsit, agat.

Gambar 6: Alterasi hubungannya dengan mineralisasi dalam tipe endapan


epitermal
logam dasar (Guilbert dan Park, 1986)
Berdasarkan pada kisaran temperatur dan pH, komposisi alterasi pada sistem
emas-tembaga hidrotermal di lingkaran Pasifik dapat dikelompokan menjadi 6
tipe alterasi (Corbett dan Leach, 1996), yaitu:
1) Argilik sempurna (silika pH rendah, alunit, dan group mineral alunit-kaolinit.
2) Argilik tersusun oleh anggota kaolin (halosit, kaolin, dikit) dan illit (smektit,
selang-seling illlit-smektit, illit) dan group mineral transisi (klorit-illit).
3) Philik tersusun oleh anggota kaolin (piropilit-andalusit) dan illit (serisit-mika
putih) berasosiasi dengan mineral pada temperatur tinggi seperti serisit-mikaklorit.
4) Subpropilitik tersusun oleh klorit-zeolit yang terbentuk pada temperatur rendah
dan propilitik tersusun oleh klorit-epidot-aktinolit terbentuk pada temperatur
rendah.
5) Potasik tersusun oleh biotit-K-feldspar-aktinolit+klinopiroksen.

6) Skarn tersusun oleh mineral kalk-silikat (Ca-garnet, klinopiroksen, tremolit).

Gambar 7: Mineralogi alterasi di dalam sistem hidrotermal (Corbett dan


Leach, 1996)

Gambar 7: Mineralogi alterasi di dalam sistem hidrotermal (Corbett dan Leach,


1996)

Alterasi dan Mineralisasi Epitermal


by Tito S.L. Soempono

Jenis endapan emas epitermal, pada 500 m bagian atas dari


suatu sistem hidrotermal ini merupakan zone yang menarik dan
terpenting. Disini terjadi perubahan-perubahan suhu dan yang
maksimum dan tekanan mengalami fluktuasi-fluktuasi yang
paling cepat. Fluktuasi-fluktuasi tekanan ini menyebabkan
perekahan hidraulik (hydraulic fracturing), pendidihan (boiling),
dan perubahan-perubahan hidrologi sistem yang mendadak.
Proses-proses fisika ini secara langsung berhubungan dengan
proses-proses kimiawi yang menyebabkan mineralisasi.
Banyak model-model terakhir untuk sistem epitermal dengan
ciri-ciri dan kelemahan-kelemahannya.
Terdapat suatu kelompok unsur-unsur yang umumnya
berasosiasi dengan mineralisasi epitermal, meskipun tidak
selalu ada atau bersifat eksklusif dalam sistem epitermal.
Asosiasi klasik unsur-unsur ini adalah: emas (Au), perak (Ag),
arsen (As), antimon (Sb), mercury (Hg), thallium (Tl), dan
belerang (S).
Dalam endapan yang batuan penerimanya karbonat (carbonathosted deposits), arsen dan belerang merupakan unsur utama
yang berasosiasi dengan emas dan perak (Berger, 1983), beserta
dengan sejumlah kecil tungsten/wolfram (W), molybdenum (Mo),
mercury (Hg), thallium (Tl), antimon (Sb), dan tellurium (Te);
serta juga fluor (F) dan barium (Ba) yang secara setempat
terkayakan.
Dalam endapan yang batuan penerimanya volkanik (volcanichosted deposits) akan terdapat pengayaan unsur-unsur arsen
(As), antimon (Sb), mercury (Hg), dan thallium (Tl); serta logamlogam mulia (precious metals) dalam daerah-daerah saluran

fluida utama, sebagaimana asosiasinya dengan zone-zone


alterasi lempung. Menurut Buchanan (1981), logam-logam
dasar (base metals) karakteristiknya rendah dalam asosiasinya
dengan emas-perak, meskipun demikian dapat tinggi pada level
di bawah logam-logam berharga (precious metals) atau
dalam asosiasi-nya dengan endapan-endapan yang kaya perak
dimana unsur mangan juga terjadi. Cadmium (Cd), selenium
(Se) dapat berasosiasi dengan logam-logam dasar; sedangkan
fluor (F), bismuth (Bi), tellurium (Te), dan tungsten (W) dapat
bervariasi tinggi kandungannya dari satu endapan ke endapan
yang lainnya; serta boron (B) dan barium (Ba) terkadang
terkayakan.
Contoh zonasi logam yang menunjukkan hubungan
skematik antara unsur arsen-antimon-thallium
terhadap emas dan perak dapat dilihat dalam Model
Sistem Epitermal Hot Spring (Berger dan Eimon,
1982). Contoh tipikalnya di distrik McLaughlin
(Knoxville), California; yaitu tambang Manhattan
(Becker, 1888; Averrit, 1945). Contoh tipikal lainnya,
Round Mountain, Nevada (Berger dan Tingley, 1980),
distrik Hasbrouck Peak (Divide), Nevada (Silberman,
1982), dan Sulphur, Nevada (Wallace, 1980). Dalam
contoh-contoh tipikal ini, dikenal kejadian-kejadian
logam berharga pada mata air panas, endapanendapan bijihnya terdiri dari bijih-bijih tipe
bonanza (bonanza ores) dan bijih bulk berkadar
rendah yang dapat ditambang.

Contoh lainnya, mineralisasi emas di dalam dan


di sekitar breksi erupsi dan sinter purba yang
berada di atasnya dapat terlihat pada Model
Sistem Epitermal Aktif, di Broadlands dan
Waitopu, New Zealand.
Mineralisasi di McLaughlin, keradaannya sering
dinyatakan dengan adanya "sinter". Sinter
termineralisasikan bersamaan dengan mercury.
Kebanyakan mineralisasi terjadi pada level
dangkal (kedalaman 40-120 meter) dan pada
suhu purba 160-200C, serta berasosiasi dengan
Zone Silisifikasi kuat.

Asosiasi silisifikasi kuat dan "thallium halo


effect" dalam lingkungan epitermal teramati juga
dalam sistem aktif di New Zealand (Weisberg,
1969; Ewers dan Keays, 1977). Dalam sumur 16
(Broadlands), teramati distribusi sulfida dan
konsentrasi Au, Ag, As, Sb, dan Tl dalam sulfida
sistem aktif tersebut (Ewer dan Keay, 1977).
Pola umum logam mulia (precious metals)
berada di atas logam dasar (base metals)
dalam Model Sistem Epitermal Aktif (Buchanan,
1981) dengan jelas terbukti juga di Broadlands
maupun di Waiotopu, New Zealand. Arsen,
antimon, dan thallium juga cenderung
berkonsentrasi dekat permukaan, demikian juga
mercury. Mercury dan thallium memperlihatkan
pengayaannya dekat dengan permukaan
sehubungan dengan volatilitasnya; dapat
diperkirakan bahwa kedua unsur ini akan
terzonasikan secara lateral menjauhi zone
bersuhu tinggi. Perlu dicatat bahwa, belum
banyak informasi mineralogi dan geokimia dari
daerah-daerah sistem aktif bersuhu rendah yang
dapat membuktikan ini, baik dari sumur dangkal
maupun dari bagian sistem yang lebih dalam; ini
disebabkan eksplorasi geotermal hanya
mengarah pada sumberdaya suhu yang tinggi
dalam sistem aktif ini. Salah satu petunjuk yang
penting, adanya kenaikan yang sangat cepat
ke arah permukaan teramati dari
kandungan logam-logam berikut ini, yaitu:
mercury, antimon, thallium, dan arsen.
Dalam fosil sistem epitermal, jelaslah bahwa
level erosi (erosion level) atau kedalaman
erosi yang menyingkapkan suatu sistem
epitermal yang teralterasikan dan
termineralisasikan akan merupakan faktor yang
sangat penting dalam penentuan level logam-

logam anomali di permukaan, dan tentunya


tidak perlu hanya menunjukkan potensi mineral
di permukaan, tetapi dapat mengindikasikan ada
atau tidaknya potensi mineralisasi di bawah
permukaan.
Bohan dan Giles (1983) membuktikan bahwa
adanya atau tidak adanya unsur-unsur jejak
(trace elements) tertentu, misalnya Hg dan W),
dalam suatu sistem epitermal tergantung pada
karakteristik batuan sumber (source rock)
setempat. Sedangkan jika membandingkan
konsentrasi-konsentrasi logam dalam endapan
permukaan pada tabel distribusi sulfida serta
logam-logam dalam sulfida di sumur 16, sistem
epithermal aktif Waimangu, Waitopu, dan
Broadlands, New Zealand (Weisberg, et al., 1979;
Ewer dan Keays, 1977) membuktikan anggapan
tersebut keliru. Kesimpulannya, unsur-unsur
jejak tidak tergantung pada karakteristik batuan
sumber.
Top

Well guys post sebelumnya gw udah ngenalin ke kalian ttg alterasi


hidrotermal, bagi temen-temen yang belum sempet baca apa sih
alterasi hidrotermal bisa klik disini . Seperti janji gw, gw juga bakal
share ke kalian tentang manfaat atau aplikasi dari belajar alterasi
hidrotermal. Ok., in this post I'll share about that guys,,

Epithermal gold deposit associate with hydrothermal alteration

Sebenarnya apa sih manfaat


belajar alterasi
hidrotermal??
Alterasi hidrotermal memiliki kaitan yang sangat erat dengan
mineralisasi, dikarenakan tipe alterasi tertentu akan dicirikan dengan
hadirnya suatu himpunan mineral yang khas sebagi pencirinya. Atau
suatu endapan mineral tertentu akan dicirikan oleh tipe alterasi
mineral tertentu. Contohnya: endapan porfiri akan dicirikan oleh tipe
alterasi potasik, lalu enadapan epitermal sulfidasi rendah dicirikan oleh
tipe alterasi serisitik, dan endapan epitermal sulfidasi tinggi dicirikan
oleh tipe alterasi argilik lanjut. Dengan demikian makan dengan
mempelajari tipe-tipe alterasi hidrotermal, kita dapat mengetahui
keberadaan mineralisasi mineral-mineral ekonomis tertentu, atau
dapat mengetahui adanya suatu endapan mineral tertentu sehingga
sangat membantu dalam eksporasi endapan mineral.

Lalu apa yang dimaksud dengan


mineralisai??
Mineralisasi adalah proses pembentukan mineral baru pada tubuh
batuan yang diakibatkan oleh proses magmatik ataupun proses yang
lainnya, namun mineral yang dihasilkan bukanlah mineral yang sudah
ada sebelumnya. Alterasi hidrotermal adalah salah satu proses yang
dapat menyebabkan mineralisasi.

Larutan

hidrotermal

yang

melewati

batuan,

ketika

berinteraksi atau kontak dengan batuan tersebut maka larutan


hidrotermal akan membawa ion-ion atau kation-kation yang diambil
dari batuan tersebut, di dalam perjalanannya ion-ion dan kation-kation
tersebut dapat berikatan membentuk senyawa, lalu dalam proses
pendingingan, larutan tersebut menjadi jenuh dan terjadi presipitasi
mineral-mineral baru, dapat berupa mineral-mineral logam atau
mineral-mineral bijih, seperti tembaga, emas, molibdenum dll.

Alterasi dapat menghasilkan mineral bijih dan mineral


penyerta (gangue mineral). Namun demikian, tidak semua batuan
yang mengalami alterasi hidrotermal dapat mengalami mineralisasi
bijih.

Tipe

alterasi

tertentu

biasanya

akan

menunjukan

zonasi

himpunan mineral tertentu akibat ubahan oleh larutan hidrotermal


yang melewati batuan sampingnya (Guilbert dan Park, 1986, Evans,
1993). Himpunan mineral ubahan tersebut terbentuk bersamaan pada
kondisi keseimbangan yang sama (aqulibrium assemblage). Mineralmineral baru yang terbentuk, diendapkan mengisi rekahan-rekahan
halus atau dengan proses penggantian (replacement). Mineral-mineral
baru ini dikenal sebagai mineral sekunder (Anonim, 1996)

Lalu apa yang mempengaruhi proses mineralisasi??

Menurut

Bateman

(1981)

Secara

umum

proses

mineralisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor pengontrol, meliputi :


1.

Larutan hidrotermal yang berfungsi sebagai larutan pembawa

2.

mineral.
Zona lemah yang berfungsi sebagai saluran untuk lewat larutan

3.
4.

hidrotermal.
Tersedianya ruang untuk pengendapan larutan hidrotermal.
Terjadinya reaksi kimia dari batuan induk/host rock dengan larutan
hidrotermal yang memungkinkan terjadinya pengendapan mineral bijih

5.

(ore).
Adanya konsentrasi larutan yang cukup tinggi untuk mengendapkan
mineral bijih (ore).
Menurut

Lindgren,

1933

faktor

yang

mengontrol

terkonsentrasinya mineral - mineral logam (khususnya emas) pada


1.

suatu proses mineralisasi dipengaruhi oleh adanya :


Proses diferensiasi, pada proses ini terjadi kristalisasi secara
fraksional
mineral

(fractional
berat

crystalization),

pertama

kali

yaitu

dan

pemisahan

mengakibatkan

mineralterjadinya

pengendapan kristal-kristal magnetit, kromit dan ilmenit. Pengendapan


kromit sering berasosiasi dengan pengendapan intan dan platinum.
Larutan sulfida akan terpisah dari magma panas dengan membawa
2.

mineral Ni, Cu, Au, Ag, Pt, dan Pd.


Aliran gas yang membawa mineral-mineral logam hasil pangkayaan
dari magma, pada proses ini, unsur silika mempunyai peranan
untuk membawa air dan unsur-unsur volatil dari magma. Air yang
bersifat asam akan naik membawa CO2, N, senyawa S, fluorida,
klorida, fosfat, arsenik, senyawa antimon, selenida dan telurida.
Pada saat yang bersamaan mineral logam seperti Au, Ag, Fe, Cu, Pb,
Zn, Bi, Sn, Tungten, Hg, Mn, Ni, Co, Rd dan U akan naik terbawa
larutan. Komponen-komponen yang terbawa dalam aliran gas tersebut
berupa

sublimat pada erupsi vulkanik

dekat

permukaan

dan

membentuk

urat

hidrotermal atau

terendapkan

sebagai

hasil

penggantian

(replacement deposits) di atas atau di dekat intrusi

batuan beku.
Tabel dominasi komposisi mineralisasi di dalam alterasi
hidrotermal pada temperatur tinggi dan rendah (disederhanakan dari
Corbett, 2002)

TEMPERATUR TINGGI

TEMPERATUR RENDAH

Kalkopirit

Galena, spalerit

Kuarsa kristalin (comb stucture)

Kalsedon-opal

Kuarsa butir kasar

Kuarsa butir halus

Serisit

Smektit-illit

Philik

Propilitik

Gambar zonasi proksimal distal tipe endapan urat logam dasar yang
berasosiasi dengan endapan porfiri tembaga/molibdenum (Panteleyev,
1994)
Guilbert dan Park, 1986, mengemukakan model hubungan
antara mineralisasi dan alterasi dalam sistem epitermal. Beberapa
asosiasi mineral bijih maupun mineral skunder erat hubungannya
dengan besar temperatur larutan hidrotermal pada waktu mineralisasi.
Mineral bijih galena, sfalerit dan kalkopirit terbentuk pada horison

logam dasar bagian bawah dengan temperatur 350 oC. Pada horison
ini alterasi bertipe argilik sempurna dan terbentuk mineral alterasi
temperatur

tinggi

seperti

adularia,

albit

dan

feldspar.

Fluida

hidrotermal di horison logam dasar (bagian tengah) bertemperatur


antara 200o- 400oC. Mineral bijih terdiri dari argentit, elektrum,
pirargirit dan proustit. Mineral ubahan terdiri dari serisit, adularia,
ametis, sedikit mengandung albit. Horison bagian atas terbentuk pada
temperatur < 200oC. Mineral bijih terdiri dari emas di dalam pirit, Aggaramsulfo dan pirit. Mineral ubahan berupa zeolit, kalsit, agate.

Gambar alterasi hubungannya dengan mineralisasi dalam tipe endapan


epitermal logam dasar (Guilbert dan Park, 1986)

Gambar mineralogi alterasi di dalam sistem hidrotermal (Corbett dan


Leach, 1996)

Contoh Aplikasi
Pengetahuan Alterasi
Hidrotermal
Mineralisasi tembaga pada endapan porfiri sangat berkaitan
erat dengan proses alterasi hidrotermal, maka pemahaman mengenai
proses alterasi hidrotermal menjadi amat penting dalam kegiatan
eksplorasi.

Alterasi

hidrotermal

menyebabkan

perubahan

pada

mineralogi dan komposisi batuan yang berinteraksi dengan fluida


hidrotermal. Perubahan mineralogi dan komposisi batuan akibat proses
alterasi hidrotermal, erat kaitannya dengan perubahan unsur-unsur
kimia pada batuan yang teralterasi. Dengan mempelajari perubahan
komposisi unsur-unsur kimia dalam batuan yang teralterasi dengan
menggunakan pendekatan mineralogi dan geokimia, dapat diketahui
seberapa intens batuan tersebut telah teralterasi. Hal tersebut akan
sangat membantu untuk mengetahui karakteristik alterasi hidrotermal
dan mineralisasi di daerah tersebut (Arifudin Idrus dan Evaristus Bayu
Pramutadi, 2008)
Mineralisasi

emas

yang mengalir melewati

dipengaruhi oleh larutan hidrotermal

permeabilitas (sekunder maupun

primer)

batuan, sehingga terjadi proses alterasi yang merubah komposisi


kimiawi, mineralogi dan tekstur batuan asal yang dilaluinya. Tipe
alterasi dan mineralisasi pada suatu daerah mempunyai sifat dan
karakteristik
himpunan

tersendiri
mineral

yang

tertentu.

sering

dicirikan

Keberadaan

dengan

zona

adanya

alterasi

dan

mineralisasi ini akan membantu dalam perencanaan pengembangan


eksplorasi mineral bijih yang mengandung emas. Salah satu indikator

yang berpengaruh terhadap kehadiran urat -urat pembawa mineral


bijih berharga adalah struktur rekahan (kekar dan sesar). Jaringan
kekar

yang

berkembang

merupakan

jalan

bagi

larutan

sisa

magmatisme untuk mengisi dan tempat terendapkannya mineralmineral bijih.


Kebanyakan emas epitermal terdapat dalam vein-vein yang
berasosiasi

dengan

alterasi

Quartz-Illite

yang

menunjukkan

pengendapan dari fluida-fluida dengan pH mendekati netral (fluidafluida khlorida netral). Dalam alterasi dan mineralisasi dengan jenis
fluida ini, emas dijumpai dalam vein, veinlet, breksi ekplosif atau breksi
hidrotermal, dan stockwork atau stringer Pyrite + Quartz yang
berbentuk seperti rambut (hairline).
Emas epitermal juga terdapat dalam alterasi AdvancedArgillic dan alterasi-alterasi sehubungan yang terbentuk dari fluidafluida asam sulfat. Dalam alterasi dan mineralisasi dengan jenis fluida
ini, emas dijumpai dalam veinlet, batuan-batuan silika masif, atau
dalam

rekahan-rekahan

atau

breksi-breksi

dalam

batuan

yang

tersilisifikasikan, serta dapat hadir bijih tembaga seperti enargite,


luzonite, dan covelite.

Referensi:
Artadana, I Putu E., & Purwanto, Heru S., 2011, Geologi, Alterasi dan
Mineralisasi Daerah Nyrengseng dan Sekitarnya, Kecamatan Cisewu,
Kabupaten Garut, Propinsi Jawa barat, Yogyakarta: Jurusan Teknik
Geologi FTM UPN Veteran Yogyakarta
Evans, A,M., Ore geology and Industrial Minerals, Blackwell scientific
publication.

Guilbert, G.M & Park, C.F., 1986, The Geology of Ore Deposits, W.H. Freeman
and Company, New York.
Hedenquist,J.W., 1998,
and

Hydrotermal System in Volcanic arc, Original of

exploration for epitermal Gold Deposit, catatan kursus 13 Mei

1998, PT Geoservice Ban


Idrus, Arifudin, & Pramutadi, EB., 2008, Mineralisasi Bijih dan Geokimia
Batuan Samping Vulkaniklastik Andesitik yang Berasosiasi dengan
Endapan Tembaga Emas Porfiri Elang, Pulau Sumbawa, Nusa
Tenggara Barat, Yogyakarta: Hurusan Teknik Geologi FT-UGM
http://www.barkervillegold.com, diakses pada 22 Maret 2011
http://earthsci.org/mineral/mindep/depfile/skarn.htm, diakses pada 22 Maret
2011
http://www.mistycreekventures.com, diakses pada 22 Maret 2011
http://geologiblankfive.files.wordpress, diakses pada 22 Maret 2011
http://geologicalintroduction.baffl.co.uk, diakses pada 22 Maret 201

Geologi Indonesia: Kerumitan, Ketakjuban,


Manfaat, dan Sejarah Kehidupan
Oleh: Awang Harun Satyana

Telah sejak lama Indonesia diminati para ahli geologi. Hal ini tak lepas dari
keindahan Nusantara sebagai gugusan kepulauan di wilayah khatulistiwa, seperti
kata Multatuli (1860) : een gordel van smaragd die zich slingert rond de
evenaar (sabuk zamrud yang berjajar sepanjang Khatulistiwa)
Kita bisa kutip di sini pendapat-pendapat para ahli geologi yang pernah menekuni
geologi Indonesia dan telah menghasilkan karya-karya yang patut menjadi
referensi yang baik.
van Bemmelen (1949) : The East Indian Archipelago is the most intricate part of
the earths surfaceThe East Indies are an important touchstone for conceptions
on the fundamental problems of geological evolution of our planet
Katili (1973) : Differences in the geological environment of the various arctrench systems in Indonesia are responsile for the complexity and discrepancies in
the geology between the numerous islands
Hamilton (1979) : Indonesia represents an ideal level of complexity for analysis
within the framework of available concepts of plate tectonics
Simandjuntak dan Barber (1996) : The Indonesian archipelago represents an
immensely complicated triple junction, involving a complex pattern of small
marginal ocean basins and microcontinental blocks bounded by subduction zone,
extensional margins, and major transcurrent faults
Hall dan Blundell (1996) : Indonesia is probably the finest natural geological
laboratory in the worldIt is a spectacular region in which the manifestations and
processes of plate collision can be observed at present and in which their history is
recorded
Sukamto (2000) : Indonesian Regionhas proved to be very attractive to the
earth scientistsMany earth scientists have attempted to explain the various
unique geological phenomena by theories, hypotheses and models
Dari segi ilmu kebumian, Indonesia benar-benar merupakan daerah yang sangat
menarik. Kepentingannya terletak pada rupabuminya, jenis dan sebaran endapan
mineral serta energi yang terkandung di dalamnya, keterhuniannya, dan
ketektonikaannya. Oleh sebab itulah, berbagai konsep geologi mulai berkembang
di sini, atau mendapatkan tempat untuk mengujinya (Sukamto dan PurboHadiwidjoyo, 1993).

Inilah wilayah yang memiliki salah satu paparan benua yang terluas di dunia
(Paparan Sunda dan Paparan Sahul), dengan satu-satunya pegunungan lipatan
tertinggi di daerah tropika sehingga bersalju abadi (Pegunungan Tengah Papua),
dan di sini pulalah satu-satunya di dunia terdapat laut antarpulau yang terdalam (5000 meter) (Laut Banda), dan laut sangat dalam antara dua busur kepulauan (7500 meter) (Dalaman Weber). Dua jalur gunungapi besar dunia (Mediterania dan
Sirkum Pasifik) bertemu membelit Nusantara. Beberapa jalur pegunungan lipatan
dunia pun saling bertemu di Indonesia.
Dinamika tektonik Indonesia termasuk yang paling aktif di dunia, yang dicirikan
oleh aktivitas gunungapi dan kegempaan. Erupsi besar gunungapi skala dunia
pernah terjadi di Indonesia, misalnya Toba (sekitar 74.000 tahun yang lalu),
Tambora (1815), dan Krakatau (1883). Erupsi ketiga gunungapi ini pada masanya
telah mengubah lingkungan fisik geosfer, hidrosfer, atmosfer dan biosfer secara
global. Gempa dahsyat setara dengan 9.0 skala Richter juga belum lama ini terjadi
di Indonesia (Aceh, Desember 2004) menyebabkan tsunami dahsyat di sepanjang
sisi utara Samudera Hindia yang merenggut nyawa sekitar seperempat juta
penduduk dunia.
Laut yang luas di wilayah tropika, yang hangat sepanjang tahun, telah membuat
Indonesia menjadi kawasan perkembangan terumbu karang terkaya di dunia.
Kawasan Indonesia memiliki spesies hewan karang (scleractinian coral) paling
banyak di antara laut-laut tropis di seluruh dunia yang melingkar equator sejak
Afrika-Indonesia-Pasifik baratdaya sampai Karibia. Dasar laut di Nusantara juga
sangat kompleks, mencerminkan kompleksitas geologinya. Tak ada negara lain di
dunia yang mempunyai relief dasar laut yang begitu beragam seperti di Nusantara
(Nontji, 2002). Hampir semua bentuk topografi dasar laut ada di Nusantara :
palung laut dalam, cekungan atau pasu dalam yang terkurung, lereng yang curam,
rangkaian pegunungan bawahlaut, gunungapi bawah laut, dan paparan dangkal.
Begitupun kekayaan biota laut Nusantara, tak ada duanya di dunia (Nontji, 2000).
Indonesia juga karena aktivitas geologinya, kaya akan berbagai mineral dan
sumber energi yang sangat dibutuhkan manusia. Salah satu jalur timah terkaya di
dunia menjulur sampai di Nusantara di wilayah-wilayah Riau Kepulauan sampai
Bangka-Belitung, berbagai jalur mineralisasi emas, perak, dan tembaga membelit
Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Papua. Tambang emas
dan tembaga di Pegunungan Tengah Papua yang diusahakan Freeport termasuk
deposit emas terkaya di dunia. Indonesia juga kaya akan mineralisasi nikel dan
kromit berkat tersingkapnya beberapa massa kerak samudera di wilayah Indonesia
Timur (Sulawesi Timur, Kepulauan Maluku, utara Papua).

Cekungan-cekungan sedimen pengandung lapisan minyak dan gas tersebar luas di


Indonesia. Sebuah pemetaan cekungan yang pernah dilakukan BPMIGAS pada
2008 mengidentifikasi Indonesia mempunyai 86 cekungan besar dan kecil, 17 di
antaranya merupakan cekungan penghasil minyak dan gas; sisanya, 69 cekungan,
bisa diharapkan sebagai potensi migas Indonesia masa depan. Batubara Indonesia
juga jumlahnya cukup besar dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan,
baik ditambang sebagai bahan pencampur pembuatan baja, bahan bakar energi
pembangkit listrik, maupun pemanfaatan kandungan gas metana. Jalur-jalur
volkanik Indonesia membuka peluang pemanfaatan energi panas bumi, terutama
di wilayah-wilayah yang aktivitas volkanismenya telah menurun. Indonesia adalah
wilayah dengan potensi panasbumi terbesar di dunia. Pembangkit-pembangkit
listrik tenaga panas bumi seperi Salak, Patuha, Kamojang, Dieng, dan Lahendong
adalah beberapa contoh pemanfaatannya.
Bagian tertentu Indonesia sangat baik untuk dihuni. Ini tidak hanya berlaku saat
ini yang memungkinkan orang dapat bercocok tanam dan memperoleh hasil yang
baik karena tanah subur dan air yang berlimpah, tetapi juga pada masa lampau,
sebagaimana terbukti dengan temuan banyak fosil manusia purba (hominid) di
beberapa tempat di Indonesia. Missing link evolusi manusia pertama kali
ditemukan di Indonesia, yaitu Pithecanthropus erectus (Dubois, 1892). Maka,
Indonesia penting dalam dunia paleoantropologi sebagai salah satu pusat buaian
peradaban manusia di dunia.
Indonesia pun dibentuk oleh pertemuan dua dunia : asal Asia dan asal Australia.
Ini mengakibatkan begitu kayanya biodiversitas Indonesia. Meskipun Indonesia
hanya meliputi sekitar 4 % dari luas daratan di Bumi, tidak ada satu negeri pun
selain Indonesia yang mempunyai begitu banyak mamalia, 1/8 dari jumlah yang
terdapat di dunia. Bayangkan, satu dari enam burung, amfibia, dan reptilia dunia
terdapat di Indonesia; satu dari sepuluh tumbuhan dunia terdapat di Indonesia
(Kartawinata dan Whitten, 1991). Indonesia juga memiliki keanekaragaman
ekosistem yang lebih besar dibandingkan dengan kebanyakan negara tropika
lainnya. Sejarah geologi dan geomorfologinya yang beranekaragam, dan kisaran
ikim dan ketinggiannya telah mengakibatkan terbentuknya banyak jenis hutan
daratan dan juga hutan rawa, sabana, hutan bakau dan vegetasi pantai lainnya
(Whitmore, 1984), gletsyer, danau-danau yang dalam dan dangkal, dan lain-lain.
Semua kepentingan dan keunikan geologi Indonesia ini timbul karena latar
belakang perkembangan tektonik wilayah Nusantara. Di sinilah wilayah tempat
saling bertemunya tiga lempeng besar dunia : Eurasia Hindia-Australia Pasifik
yang menghasilkan deretan busur kepulauan dan jajaran gunungapi, tanah yang

subur, pemineralan yang kaya dan khas, pengendapan sumber energi yang
melimpah, rupabumi yang dahsyat, dan aneka kehidupan yang menakjubkan.
Mari kita cintai alam Nusantara yang luar biasa ini, Indonesia, Tanah Air kita
sendiri !
fOKUSJabar.com: Negara Indonesia merupakan wilayah pertemuan tiga
lempeng, yakni Indo-australia, Eurasia dan Lempeng Pasifik . Tidak hanya itu,
Indonesia pun dilalui jalur pegunungan aktif dunia, yakni Sirkum Pasifik dan
Sirkum Mediterania.
Kondisi tersebut lah yang menyebabkan Indonesia masuk pada jalur Ring of Fire
atau cincin api pasifik dunia, dan merupakan jalur pegunungan aktif . Tidak heran
jika Indonesia sering mengalami bencana alam berupa gempa bumi baik tektonik
maupun vulkanik.

Ring Of Fire Pasifik (WEB)


Sepertihalnya Pulau Sumatera dan Jawa, Irian, Maluku dan Sulawesi yang
menjadi daerah rawan bencana. Terlebih wilayah itu masih dilewati jalur
pegunungan aktif dan pertemuan lempeng. Hanya Pulau Kalimantan yang bisa
dibilang aman dari gempa bumi dan ancaman tsunami. Adapun banjir yang kerap
terjadi, hal itu karena di wilayah tersebut terdapat banyak sungai bahkan ada tiga
sungai besar yang salah satunya terluas di Indonesia.

Informasi dari Badan Geologi, di Indonesia terdapat empat gunung berapi dengan
status siaga level III, yakni di wilayah Sumatera, Maluku dan Sulawesi. Empat
gunung itu, yakni Soputan di daerah sekitar Minahasa Sulawesi Utara, Gunung
Lokon di Tomohon Sulawesi Utara, Gunung Karangetang di Kepulauan Siau
Sulawesi Utara dan Gunung Sinabung di Tanah Karo Sumatera Utara.
(HEN/LIN)
PENGERTIAN SIRKUM PASIFIK DAN SIRKUM MEDITERANIA
Pegunungan

Daerah pegunungan merupakan daerah yang terdiri atas bukit-bukit dan gununggunung sehingga tampak membentuk suatu rangkaian. Ada dua system
pegunungan lipatan muda di permukaan bumi, yaitu Sirkum Mediterania dan
Sirkum Pasifik.

sirkum mediterania dan sirkum pasifik


a. Sirkum Mediterania
Sirkum Mediterania berawal dari Pegunungan Alpen di Eropa kemudian
menyambung ke Pegunungan Himalaya di Asia dan masuk ke wilayah Indonesia
melalui Pulau Sumatra. Pegunungan Sirkum Mediterania ini terbagi menjadu dua
jalur utama, yakni sebagai berikut :
1. Busur dalam
Busur dalam dari rangkaian Sirkum Mediterania bersifat vulkanis.
2. Busur luar
Busur luar dari rangkaian Sirkum Mediterania, tidak bersiat vulkanis.]
b. Sirkum Pasifik
Sirkum Pasifik dari Pegunungan Andes di Amerika Selatan, kemudian
bersambung ke Pegunungan Rocky di Amerika Utara.

Pengertian Sirkum Mediterania


Sirkum Medetarian berawal dari Pegunungan Alpen di Eropa kemudian
menyambung ke pegunungan Himalaya di Asia lalu memasuki Indonesia melalui
Pulau Sumatra. Jalur Sirkum Medetarian di Indonesia membentang dari Pulau
Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku. Di Indonesia Sirkum
Meditarian di Indonesia terbagi menjadi dua Busur, sebagai berikut :
Busur Dalam Vulkanik
Busur dalam dari rangkaian Meditarian bersifat vulkanis. Yang menyababkan
banyak Gunung api aktif di sekitar rangkaian Sirkum Meditarian. Contoh
gunungapi tersebut adalah :Gunung Kerinci, Gunung Leuseur,dan Gunung
Krakatau
Busur Luar Nonvulkanik
Busur luar dari rangkaian Meditarian tidak bersifat vukanis. Busur luar sirkum
Meditarian membentang di pantai barat Sumatra, seperti Pulau Simeul, Nias,
Mentawai, dan Enggano, pantai selatan Jawa, dan pantai selatan Kepulauan
Nusa Tenggara.
Pengertian Sirkum Pasifik
Sirkum Pasifik berawal dari dari Pegunungan Andes di Amerika Selatan, lalu
bersambung ke pegunugan Rocky di Amerika Utara, lalu ke Jepang, Filipina,
sampai akhirnya sampai ke Indonesia melalui Sulawesi. Sirkum Pasifik juga
bercabang ke Pulau Halmahera dan akhirnya sampai di Papua.

Di sepanjang dua jalur ini membentang gunung api aktif yang siap mengeluarkan
muntahan abu vulkanik kapan saja. Hampir seluruh wilayah di Indonesia dilalui
kedua jalur ini, hanya Pulau Kalimantan yang tidak. Itu sebabnya tidak ada
gunung api di Pulau ini dan wilayah ini aman dari gempa.

Sirkum pasifik

Anda mungkin juga menyukai