PENDAHULUAN
I.A
LATAR BELAKANG
Indonesia, para kaum muda yang berasal dari daerah Tana Toraja harus merantau
ke luar daerah untuk memperoleh pendidikan yang lebih layak lagi.
Dengan adanya masalah ketidaksetaraan kualitas pendidikan tinggi di Tana
Toraja, banyak kaum muda Toraja hijrah ke luar daerah untuk menempuh
pendidikan yang lebih tinggi. Ketika mereka sudah berada di kota orang, mereka
akan dihadapkan pada interaksi antar budaya dengan lingkungan baru di sekitar
mereka, khususnya dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda budaya dengan
mereka. Hal ini bukanlah suatu hal yang mudah bagi setiap orang yang pindah ke
daerah yang baru, di mana mereka harus merasakan proses penyesuaian diri di
lingkungan yang baru agar bisa berinteraksi dengan budaya baru yang mereka
temui.
Adapun data statistik mengenai data kependudukan para kaum muda
Toraja yang berada dalam kelompok umur remaja hingga masa emerging
adulthood yaitu 15 - 24 tahun. Dari data tersebut menjelaskan adanya penurunan
jumlah penduduk dari tahun 2011-2013. Pada tahun 2011, jumlah penduduk Tana
Toraja yang berumur 15-19 tahun adalah 20.471 dan penduduk berumur 20-24
tahun adalah 14.041. Pada tahun 2012, jumlah penduduk Tana Toraja yang
berumur 15-19 adalah 20.167 dan penduduk berumur 20-24 tahun adalah 12.252.
Pada tahun 2013, jumlah penduduk Tana Toraja yang berumur 15-19 tahun adalah
21.366 dan jumlah penduduk berumur 20-24 tahun adalah 15.085.
Data kependudukan tersebut mengasumsikan bahwa kelompok umur
remaja hingga masa emerging adulthood mengalami penurunan dari tahun 20112013. Adanya penurunan tersebut dapat diasumsikan bahwa telah terjadi proses
Jakarta juga merupakan kota melting pot tertinggi yang memiliki variasi
budaya, adat istiadat, makanan, arsitektur,dan mempunyai pengaruh terhadap
nusantara dan luar negeri. Orang asli Jakarta dikenal sebagai orang Betawi.
Penduduk Jakarta bukan saja masyarakat betawi saja. Ada pula pendatang yang
berasal dari luar Jakarta, yang berasal dari provinsi dan daerah yang lain di
Indonesia. Dengan kehadiran mereka di Jakarta, budaya dan bahasa Betawi pelanpelan hilang sehingga identitas budaya masyarakat tidak kuat seperti daerahdaerah lain yang masih kental dengan budaya daerah aslinya. Contohnya saja,
bahasa Betawi pelan-pelan menghilang dan digantikan oleh bahasa gaul Jakarta.
Hal ini disebabkan karena berapa masyarakat Betawi tinggal dan berada di daerah
pinggiran Jakarta dan digantikan oleh para pendatang untuk berdomisili di kota
Jakarta (Indonesia, 2012).
Jakarta dikenal dengan kota yang individualis dan penuh dengan kasus
kriminalitas. Menurut Drs. Ngatino (dalam Masyarakat DKI, 2014), budaya
masyarakat yang cenderung individualis menjadikan masyarakatnya tidak peduli
dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu, mereka mudah dimanfaatkan oleh
orang-orang yang tidak bertanggungjawab, misalnya saja pada kasus penipuan.
Dengan adanya sikap ketidakpedulian membuat masyarakat cenderung dan hanya
mementingkan kepentingan dirinya sendiri .
Adapun alasan peneliti mengambil kota Yogyakarta dalam penelitian ini,
karena kota ini dikenal sebagai kota pelajar atau kota pendidikan di Indonesia. Hal
ini ditandai dengan adanya dinamika pelajar yang datang dari berbagai daerah di
Indonesia untuk menuntut ilmu di kota ini, baik pada tingkat Sekolah Dasar
hingga Perguruan Tinggi (Ramdhani, et.al., 2012).
Yogyakarta juga disebut sebagai kota pendidikan karena Yogyakarta
merupakan salah satu kota sejarah dan pelopor pendidikan yang mengembangkan
semangat nasionalitas untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia. Hal ini
ditandai dengan adanya institusi pendidikan yang dibentuk dari tokoh pergerakan
nasional seperti Sekolah Serikat Islam, Muhammaddiyah, dan Taman Siswa yang
dibangun oleh Ki Hajar Dewantara ((Ramdhani & Ardiyanti, 2012).
Dengan munculnya satu-persatu institusi pendidikan di kota ini,
pemerintah Indonesia membangun institusi pendidikan baik negeri dan swasta di
kota ini. Salah satunya, Perguruan Tiggi Negeri pertama di Indonesia yaitu
Universitas Gajah Mada (UGM) yang dibangun pada 19 Desember 1949. Setelah
UGM dibangun, pemerintah kemudian membangun beberapa perguruan tinggi
yang lain, baik itu perguruan tinggi swasta maupun negeri di Yogyakarta. Dengan
demikian, hal ini pula yang mengembangkan julukan pada kota ini sebagai kota
pelajar dan pusat pendidikan di Indonesia (Ramdhani & Ardiyanti, 2012).
Masyarakat Yogyakarta dikenal dengan sistem kebudayaan Jawa yang
mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari. Salah satunya adalah bahasa.
Dalam menggunakan bahasa daerah, mereka sangat memperhatikan dan
membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara, atau yang sedang
dibicarakan, berdasarkan pada usia maupun strata sosialnya (Koentjaraningrat,
2004). Selain itu juga, adanya sikap untuk nerimo, tabah dalm menderita dan ulet
dalam bekerja.
suatu hal), psikologis (kesehatan mental, motivasi, identitas diri, nilai dan
kontribusi komunitas), dan sosial (hubungan dengan orang lain serta hubungan
yang positif dengan kelompok sebayanya). Dengan adanya tuntutan tersebut,
individu juga ditantang untuk mampu menyesuaikan dirinya terhadap tuntutan
yang dihadapkan pada dirinya. Apabila ia tidak mampu menyesuaikan dirinya,
terkadang berbagai masalah penyesuaian diri muncul dan membuat diri individu
tersebut tertekan dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.
Masalah penyesuaian diri ini juga dialami oleh Melisa saat pertama kali ke
Jakarta. Ketika di Jakarta, ia merasa kesepian karena masih kaget dengan situasi
budaya individualis di Jakarta. Ia juga mengaku bahwa sering sakit-sakitan pada
tahun pertama di Jakarta. Sakit yang ia alami seperti sakit perut dan sering
demam, sehingga anggota keluarganya sering mengunjunginya di asramanya.
Selain itu juga, ia merasa kurang bahagia karena ia sering dikejar deadline tugas
hingga kurang tidur. Adapun situasi yang membuat ia tidak begitu sreg dengan
kata-kata temannya yang berasal dari Jakarta. Ia mengaku bahwa kata-kata anak
Jakarta dalam berkomunikasi sering mengeluarkan kata-kata yang agak kasar dan
tidak pantas untuk dikatakan.
Selain Melisa, Angga (nama samaran) pun mengalami adanya masalah
penyesuaian diri. Angga adalah seorang mahasiswa Ekonomi UKDW yang
berasal dari Tana Toraja. Ketika ia melalui tahun pertama di Yogyakarta, ia merasa
tidak percaya diri dengan dialeg bahasanya yang sangat kental dengan dialeg
bahasa Toraja. Ia mengaku biasanya ia ditertawai oleh teman-temannya sehingga
peristiwa perubahan hidup, dan dukungan sosial dari significant other. Adapun
dari aspek sosialcultural yaitu adanya pengetahuan mengenai budaya, tingkat
kontak langsung dengan kelompok budaya lain, dan sikap positif intergroup
(Berry, 2005).
Dengan adanya pengaruh dari aspek psychological dan sociocultural
dalam proses penyesuaian diri dapat berimplikasi pada perubahan berpikir dan
pandangan hidup seseorang terhadap tuntutan lingkunganya. Adapun proses
penyesuaian diri yang diciptakan dari adanya interaksi sosial antar individu dan
latar belakang budaya yang berbeda akan mengalami pertemuan budaya atau
intercultural interaction.
Menurut Thomas (dalam Adam, 2007), intercultural interaction adalah
bentuk interaksi yang muncul dalam situasi pertemuan budaya, di mana pola
perilaku, pikiran dan perasaan dibentuk oleh budaya seseorang yang saling
tumpang tindih dengan sesuatu yang tidak biasa dan aneh, termasuk di dalamnya
yaitu pola perilaku, pemikiran, dan perasaan yang dibentuk oleh budaya asing.
Pada tahap ini, individu dihadapkan pada berbagai simbol, atribut, dan pesan yang
tidak dikenal. Hal inilah yang menyebabkan individu untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan sekitarnya, termasuk budaya yang baru ia temui.
Individu dikatakan dapat menyesuaikan diri, apabila individu tersebut tahu
bahwa kebutuhannya sudah terpenuhi dan perilakunya sesuai dengan tuntutan
kebutuhan lingkungannya, sehingga membuat dirinya merasa nyaman dengan
budaya yang baru. Inilah yang disebut oleh Vazquez (1995) sebagai proses
10
adaptasi yang berbeda-beda dari tiap individu terhadap budaya yang dominan atau
budaya yang baru ditemui oleh individu tersebut, yaitu proses akulturasi.
Berry (2005) mengatakan bahwa akulturasi adalah adalah proses
perubahan budaya dan psikologis yang merupakan hasil dari kontak antar dua atau
lebih kelompok budaya dengan individu yang ada di dalam budaya tersebut.
Menurut Graves (dalam Berry, 2005), akulturasi mengacu pada perubahan dalam
diri individu yang merupakan bagian dalam situasi kontak budaya, yang secara
langsung dipengaruhi oleh budaya luar dan budaya asal individu tersebut. Dengan
adanya proses akulturasi ini menunjukkan adanya usaha individu untuk
beradaptasi dengan budaya baru dalam menghadapi culture shock.
Koentjaraningrat (dalam Rikidaniel, 2006) mengatakan bahwa culture
shock dapat dialami oleh orang yang berada di budaya yang berbeda ataupun
seseorang yang berada pada budaya lama yang telah berubah. Culture shock juga
dapat menimbulkan keadaan kekhawatiran dan perasaan galau yang dialami oleh
orang-orang yang menempati wilayah baru dan asing.
Culture Shock menurut Berry (2005) lebih tepat disebut sebagai stress
akulturatif. Stres akulturatif adalah suatu respon terhadap stressor yang dialami
seseorang ketika terjadi perubahan lingkungan atau budaya . Selain itu juga, stres
akulturatif adalah hasil dari faktor stres yang berhubungan dengan proses
beradaptasi sehingga memunculkan pengalaman tertekan. Biasanya faktor utama
stres akulturatif terjadi karena faktor penerimaan sosial, perbedaan budaya, stres
yang berhubungan dengan imigrasi dan isu migrasi serta prasangka dan
diskriminasi (Leon, 2014).
11
12
I.B
RUMUSAN MASALAH
13
2. Bagaimana bentuk stres akulturatif yang dialami pada mahasiswa Toraja yang
kuliah di Jakarta dan Yogyakarta?
3. Bagaimana dinamika yang terjadi dalam proses akulturasi mahasiswa toraja yang
kuliah di Jakarta dan Yogyakarta?
4. Apa saja faktor yang menyebabkan stres akulturatif pada mahasiswa Toraja yang
kuliah di Jakarta dan Yogyakarta?
5. Apa saja dampak yang terjadi dari stress akulturatif yang mereka alami?
6. Bagaimana strategi mereka dalam mengatasi dampak tersebut?
I.C
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran stres
akulturatif yang terjadi pada mahasiswa Toraja yang kuliah di kota Jakarta dan
Jogyakarta.
Tujuan khusus dari penelitan ini adalah untuk mengetahui gambaran
dinamika stres akulturatif mahasiswa Toraja, faktor yang menyebabkan stress
akulturatif itu muncul, dampak yang terjadi, serta strategi mereka untuk
menyesuaikan diri di kota yang berbeda budaya dengan mereka, yaitu Jakarta dan
Yogyakarta.
I. D
MANFAAT PENELITIAN
14
Jakarta dan Jogyakarta. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
dasar untuk penelitian yang akan datang dengan topik sejenis.
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat dijadikan sebagai acuan
dalam melakukan pelatihan atau workshop pada mahasiswa Toraja yang ingin
kuliah di luar daerah Tana Toraja, khususnya di Jakarta dan Jogyakarta.
I.E
SISTEMATIKA PENULISAN
15
Pada bab ini membahas mengenai hasil analisa kuantitatif dan hasil
analisa kualitatif, berupa gambaran subjek, data hasil penelitian, analisa hasil
penelitian dan interpretasi data.
Bab V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini membahas mengenai kesimpulan dari hasil penelitian, diskusi
mengenai hal terkait dengan hasil penelitian, serta saran yang dapat diberikan,
baik secara metodologis maupun praktis untuk penelitian akan datang.
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.A
BUDAYA
II.A.1 Pengertian Budaya
Budaya adalah seperangkat sikap, perilaku, dan simbol yang dianut oleh
satu kelomok orang dan biasanya dikomunikasikan dari satu generasi selanjutnya
(Shiraev & Levy, 2012). Adapun penjelasan mengenai sikap, perilaku dan simbol
yang dianut menurut Shiraev dan Levy (2012) yaitu sikap yang dianut tersebut
mencakup keyakinan (politik, ideology, agama, moral dan lain-lain), nilai,
pengetahuan umum (teoretis dan empiris), opini, takhayul dan stereotip. Perilaku
mencakup berbagai macam peran, adat, tradisi, kebiasaan, praktik, dna fashion.
Simbol mempresentasikan ide atau sesuatu, makna yang diberikan oleh seorang
dan dapat berbentuk objek materiil, seperti warna, suara, slogan, bangunan dan
lain-lain.
Budaya juga memiliki ciri eksplisit sekaligus implisit. Ciri eksplisit dari
budaya adalah hal-hal yang dapat diamati di dalam suatu budaya. Contohnya
adalah adat istiadat yang dilihat, praktik yang diamati, dan respons perilaku
tertentu, seperti seseorang menyapa dengan menggunakan kata halo pada orang
asing. Karakteristik implisit adalah prinsip pengatur yang berada di balik tatanan
berdasarkan pola budaya eksplisit yang konsisten. Misalnya, tata bahasa yang
mengontrol pembicaraan, aturan berpakaian, norma tawar menawar, atau
17
ekspektasi perilaku tertentu dalam situasi standar, adalah contoh dari ciri implisit
dari budaya (Shiraev & Levy, 2012).
18
19
20
yang dihormati dan orang yang memiliki kasta lebih tinggi, serta bahasa seharihari bila berkomunikasi dengan sebaya.
Budaya masyarakat Toraja menjunjung tinggi kehidupan manusia,
kehidupan hewan, dan kehidupan tanaman, khususnya dalam menanam padi.
Perhargaan itu ditunjukkan dalam bentuk perayaan dengan berbagai
upacara/ritual, seperti rambu solo dan rambu tuka (Parapak, 2010). Rambu solo
adalah upacara kematian masyarakat Toraja yang bertujuan untuk menghormati
dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju puyo (surga) , yaitu
kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat
peristirahatan terakhir (Upacara Rambu Solo, 2013). Adapun pengertian dari
rambu tuka yaitu upacara untuk merayakan / mensyukuri kehidupan mulai dari
kelahiran sampai pernikahan yang dilaksanakan pada waktu matahari sedang naik
(Parapak, 2010).
Menurut Rantetana (2010), direktur Papua Knowledge Center Jayapura
menegaskan bahwa ada sejumlah perangkat aturan (pemali) diciptakan untuk
menjaga dan memelihara berbagai bentuk kehidupan manusia (pemali malolo
tau), kehidupan hewan (pemali patuan) dan kehidupan tanaman (pemali tananan)
yang sudah dijunjung dari kehidupan nenek moyang orang Tana Toraja. Pemali
tersebut dilaksanakan dalam bentuk ritual/upacara adat Toraja seperti rambu tuka
dan rambu solo guna untuk menghargai aturan-aturan yang ada dalam kehidupan
masyarakat Tana Toraja. Ia pun menambahkan bahwa penghargaan ini diwujudkan
sebagai aplikasi kehidupan sehari-hari dalam tata pergaulan di dalam keluarga,
antar suami-istri dan orangtua beserta anak-anak, serta dalam pergaulan di dalam
21
lingkungan bermasyarakat. Hal ini ditunjukkan dalam sikap dan tutur kata ketika
menyapa orang yang dituakan guna menghargai peran dan strata sosial mereka
dalam masyarakat.
22
Dalam sub bab ini, penulis akan menjelasakan salah satu faktor
masyakarat Toraja untuk merantau khususnya untuk kaum orang muda Toraja.
Faktor tersebut yaitu ketersediaan sarana dan prasarana yang terbatas untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Tana Toraja. Apalagi pada saat ini, kehidupan
manusia didukung dengan kemajuan IPTEK. Dengan adanya kemajuan IPTEK ini
mempengaruhi tingkat dan mutu pendidikan, serta mengharuskan setiap individu
untuk meningkatkan pengetahuannya agar tidak ketinggalan oleh kemajuan
IPTEK saat ini. Oleh karena keterbatasan sarana dan prasarana, maka banyak
orang muda Tana Toraja merantau untuk mencari pendidikan yang lebih tinggi
agar setara dengan orang muda yang tinggal di daerah.
Seiring dengan kemajuan IPTEK khususnya dalam mutu pendidikan
membawa perubahan pola pikir juga pada masyarakat Toraja. Apabila generasi
sebelum 1960an menganggap menempuh pendidikan di sekolah sebagai suatu
pemborosan dan tidak bermanfaat, dan status sosial dinilai dari banyaknya
kepemilikan sawah dan ternak, maka kini pendidikan merupakan asset keluarga
dan gelar sarjana serta pangkat dalam jabatan dinilai sebagai status sosial pada
saat ini. Kepemilikian sawah dan ternak digantikan dengan kemampuan seseorang
dalam mengadakan upacara adat dengan sejumlah pantunuan (pengorbanan
hewan) dan pembagian kebutuhan hidup pada keluarga. Kemampuan ini ditunjang
oleh hasil pendidikan tinggia yang hanya ditempuh di luar daerah Toraja. Oleh
sebab itu, banyak orang muda Tana Toraja yang setelah lulus dari Sekolah
Menengah Atas pergi merantaui untuk mencari pekerjaan ataupun melanjutkan
pendidikan (Rosandi dalam Andin, 2010).
23
Laki-laki
13.206
11.487
7.835
6.946
Penduduk
Perempuan
12.269
9.879
7.250
6.908
Jumlah
25.475
21.366
15.085
13.854
Laki-laki
14.396
10.513
6.160
8.452
Penduduk
Perempuan
12.716
9.654
6.092
8.413
Jumlah
27.112
20.167
12.252
16.865
Laki-laki
12.748
11.512
7.065
7.188
Penduduk
Perempuan
13.688
8.959
6.975
9.539
Jumlah
26.436
20.471
14.041
16.729
24
Jumlah
26.454
19.963
14.329
14.092
Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia yang berdiri sejak 22 Juni
1527. Pada awalnya, Jakarta mengalami empat kali perubahan nama di bawah
25
26
Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar, Ambon, Manado, Timor, Sunda, dan
mardijkers (keturunan Indo-Portugis) yang menduduki kota Batavia sejak awal
abad ke-15. Nama "Betawi" berasal dari kata "Batavia". Nama yang diberikan
oleh Belanda pada zaman penjajahan dahulu. Menurut Benyamin Ramto, tokoh
masyarakat Betawi mengemukakan bahwa masyarakat Betawi terbagi menjadi
dua, yaitu masyarakat Betawi Tengah dan Betawi Pinggiran (Suku Betawi, 2013).
Untuk membedakan antara masyarakat Betawi Tengah dan Betawi Pinggiran
dapat diketahui dari dialeg bahasanya. Kalau Betawi Tengah, dialegnya
kebanyakan menggunakan huruf vokal e sedangkan Betawi Pinggiran lebih
banyak menggunakan huruf vokal a dan akhiran ah dalam percakapan kosa
kata mereka.
Perilaku khas masyarakat Betawi yang masih dipertahankan adalah
senioritas umur. Hal ini tampak ketika orang muda Betawi bertemu dengan orang
yang lebih tua, orang muda tersebut harus mencium tangan orang yang lebih tua
(Suku Betawi, 2013). Selain itu, masyarakat Betawi dikenal dengan sikap
kejujuran dan keterbukaan yang sangat esensial dalam keseharian mereka,
khususnya dalam hal komunikasi.
Keterbukaan dan kjujuran masyarakat Betawi tampak dalam komunikasi
di antara mereka ketika mengungkapkan sesuatu dengan tegas dan jarang
ditemukan mereka memperhaluskan kosa kata mereka. Jika mereka mau
mengatakan hitam, tetap dikatakan hitam. Oleh karena itu, tidak jarang
ditemukan masyarakat Betawi yang selalu membawa percakapan mereka dengan
humor. Hal ini dilakukan mereka untuk menghindari pertengkaran karena sikap
27
terbuka dan jujur mereka akan melukai perasaan orang lain. Akan tetapi, humor
yang mereka ciptakan juga terkadang bermaksud untuk menyindir perbuatan
orang lain.
Bahasa Betawi umumnya tidak memiliki tingkatan bahasa ketika
berkomunikasi dengan orang, seperti yang terjadi pada masyarakat Jawa.
Walaupun begitu, mereka tetap menghargai orang yang lebih tua melalui sikap
mereka dan cara komunikasi mereka. Misalnya, ketika berbicara pada orang yang
lebih tua, mereka tidak menggunakan kata aye, gue, saye, tetapi mereka
menggunakan nama mereka sendiri ketika berbicara dengan orang yang lebih tua
(Sifat dan Karakteristik, 2015).
Adapun data kependudukan Jakarta mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Menurut BPS Jakarta, pada tahun 2014 penduduk Jakarta telah
mencapai 10,07 juta (meningkat 300 ribu jiwa) dari tahun sebelumnya. Selain itu
juga, BPS juga meramalkan bahwa rata-rata penduduk Jakarta mengalami
penambahan 7 orang setiap jamnya, karena adanya migrasi.
Jakarta juga dikenal dengan tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
peringkat pertama secara nasional di Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya
kemajuan sarana dan prasarana dari berbagai bidang, baik dalam bidang
pendidikan, ekonomi, dan kesehatan yang memiliki kualitas yang lebih tinggi dari
daerah lain (Statistik Daerah Jakarta 2014, 2015).
28
29
30
hal ini pula yang mengembangkan julukan pada kota ini sebagai kota pelajar dan
pusat pendidikan di Indonesia (Ramdhani, et., al, 2012).
Yogyakarta juga disebut sebagai kota pendidikan karena Yogyakarta
merupakan salah satu kota sejarah dan pelopor pendidikan yang mengembangkan
semangat nasionalitas untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia. Hal ini
ditandai dengan adanya institusi pendidikan yang dibentuk dari tokoh pergerakan
nasional seperti Sekolah Serikat Islam, Muhammaddiyah, dan Taman Siswa yang
dibangun oleh Ki Hajar Dewantara (Ramdhani, et., al, 2012).
II.B
AKULTURASI
II.B.1 Pengertian Akulturasi
Ketika individu bertemu dengan budaya yang berbeda dengan budaya
asalnya dan mengalami perubahan budaya dan psikologis yang tampak dari
perilakunya, dapat dikatakan individu tersebut mengalami proses akulturasi.
Menurut Robert Redfield, Ralph Linton, dan Melville Herskonts mendefinisikan
akulturasi sebagai suatu fenomena yang terjadi ketika kelompok individu
memiliki budaya yang berbeda dan terlibat secara langsung secara bertahap
disertai dengan adanya perubahan terus-menerus sejalan dengan pola budaya asal
31
dari salah satu kelompok individu atau dari kedua kelompok individu tersebut
(Berry, Poortinga, Segall, Dasen, 1997).
Berry (2005) menjelaskan bahwa akulturasi adalah proses perubahan
budaya dan psikologis yang terjadi sebagai akibat dari kontak antar dua atau lebih
kelompok budaya dan anggota masing-masing budaya, yang menyebabkan adanya
adaptasi psikologi dan sosial budaya dari kelompok-kelompok tersebut.
Pada tahun 2004, The International Organization for Migration (IOM)
mendefinisikan akulturasi adalah suatu proses pengambilan beberapa bagian dari
budaya asing secara progresif (ide, kata-kata, nilai, norma, perilaku, institusi) oleh
individu atau kelompok dari budaya yang lain (Sam dalam Berry & Sam, 2006).
Lebih dari itu, Sam (2006) mendefinisikan akulturasi sebagai proses sosial dan
psikologis yang terjadi dalam tingkat individu dan kelompok yang menghasilkan
suatu perubahan yang terjadi karena adanya kontak dengan budaya yang berbeda.
Perubahan-perubahan tersebut bisa terjadi secara fisik, biologis, budaya,
hubungan sosial, dan psikologis (perilaku dan kesehatan mental).
Proses akulturasi juga dapat menjadi proses ketika adanya peningkat
perubahan hidup dan kesehatan mental yang positif dalam budaya yang lebih
dominan dan dapat menjadi negatif karena individu memiliki sifat menantang
perubahan dan adaptasinya tidak sesuai dengan budaya baru dan harapan sosial.
(Berry dalam Tafoya 2011).
32
Stres akulturatif adalah stressor dan respon stress yang muncul dalam
konteks pertemuan antar budaya ( Ward, et.,al, 2001). Stres akulturatif sering
dikatakan dengan istilah gegar budaya atau culture shock (Berry, 2005). Namun
menurut Berry (2005), istilah stress akulturatif lebih tepat digunakan daripada
culture shock karena dua alasan. Pertama, istilah shock memiliki konotasi
negatif-patologis (seperti distress), sementara stres lebih memiliki dasar teoritis
tentang bagaimana orang menghadapi pengalamani negatif dengan berbagai cara
(eustress-strategy coping). Pada penelitian-penelitian tersebut, individu dianggap
mampu atau memiliki potensi untuk menghadapi stressor dengan efektif dan
mencapai hasil yang bervariasi (adaptasi) mulai dari yang sangat positif sampai
sangat negatif.
33
34
II.C
Acculturative Stress Scale for International Students adalah alat ukur yang
dikonstruksi oleh Daya S. Sandhu dan Badiolah R. Asrabadi (Sandhu & Asrabadi,
1994). Alat ukur ini dikonstruk dengan menggunakan dua strategi. Pertama
dengan mewawancarai tiga belas mahasisiswa internasional mengenai
pengalaman-pengalaman pribadi dan pandangan mereka, yang terdiri dari delapan
pria dan lima wanita. Para mahasiswa internasional terdiri dari dua orang yang
berasal dari Cina, satu dari Mesir, satu dari Etiopia, dua dari Jerman, dua dari
India, satu dari Iran, satu dari Jepang, dua dari Venezuela, dan satu dari
Nikaragua.
Strategi kedua, peneliti alat ukur ini mengidentifikasi tema-tema mengenai
kesulitan penyesuaian diri dengan tingkat face validity yang tinggi dari sejumlah
literature konseling yang berkaitan dengan mahasiswa internasional. Hasilnya
terdapat 125 item yang kemudian dilakukan pilot tested pada 26 mahasiswa
35
internasional dan ditinjau kembali oleh tiga dosen pengajar kelas konseling
multikultural di universitas yang mengetahui isu-isu yang berkaitan dengan
mahasiswa internasional. Setelah itu, beberapa item dieliminasi dan direvisi untuk
menghindari kebingungan, pengulangan, ambiguitas item. Dari proses tersebut
didapatkan 78 item yang kemudian diuji coba kepada 86 pria dan 42 wanita yang
semuanya adalah mahasiswa internasional yang berasal dari Asia, Amerika Latin,
Timur Tengah, Eropa, dan Afrika. Setelah melalui proses uji coba dan prosedur
statistik (korelasi dan analisa faktor), akhirnya alat ukur ini menghasilkan 36 item
dengan 5 poin likert dengan rentang pilihan jawaban dari Sangat Setuju sampai
dengan Sangat Tidak Setuju.
Alat ukur ini mengukur beberapa aspek dalam stress akulturatif, yaitu
homesickness, perceived discrimination, perceived hate/rejection, fear, guilt, dan
stress due to culture shock or change, dan non-specifik. Homesickness merupakan
bentuk perasaan yang mucul dalam diri individu ketika meninggalkan rumah dan
lingkungan tempat tinggal yang sudah sangat dekat dan familiar bagi dirinya,
sehingga muncul perasaan ini dengan ditandai oleh rasa kehilangan orang-orang
terdekat atau significant others, perasaan sendiri atau kesepian, juga keinginan
untuk kembali ke rumah. Thurber (1999) menambahakan bahwa individu yang
mengalami homesickness akan merasakan munculnya pikiran tentang rumah yang
ditinggalkan secara terus menerus, di mana rumah bukan hanya merujuk pada
bangunan fisiknya saja tetapi juga orang-orang yang berada di dalamnya,
termasuk suasana dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan di rumah.
36
Aspek kedua yang diukur dalam alat ukur ini yaitu Stress due to change
merupakan rasa tertekan yang dirasakan individu disebabkan oleh perubahan
lingkungan, seperti perubahan makanan, iklim, bahasa, komunikasi dan tata
krama. Aspek ketiga yaitu stresor perceived discrimination merupakan pandangan
individu bahwa dirinya diperlakukan berbeda atau didiskriminasi oleh orang lain.
Aspek keempat yaitu stresor perceived hate merupakan pandangan individu
bahwa orang lain tidak menyukai dirinya dan menunjukkannya dan
menunjukannya melalui komunikasi verbal maupun non verbal. Aspek kelima
yaitu stressor fear yaitu bentuk perasaan tidak aman yang dimiliki individu karena
memasuki lingkungan baru tidak dikenalnya. Aspek keenam yaitu bentuk
perasaan bersalah dan penyesalan yang dimiliki individu karena telah
meninggalkan kampung halaman dan budayanya untuk menyesuaikan denan
budaya di lingkungan baru. Aspek terakhir dalam alat ukur ini adalah stressor
nonspecific yaitu hal-hal lain yang dapat menyebabkan individu merasa tertekan
seperti perasaan gugup untuk berkomunikasi dengan dialek di lingkungan baru,
merasa terintimidasi untuk berpartisipasi dalam aktifitas-aktifitas sosial, perasaan
rendah diri karena latar belakang budaya, perasaan tidak menjadi bagian dari
lingkungan baru, perasaan sedih karena masalah yang dihadapi orang sedaerahnya
dan perasaan dijauhi karena latar belakang etnis individu.
II.D
37
BAB III
METODE PENELITIAN
38
menyusun strategi untuk bisa coping terhadap proses akulturasi yang mereka
alami.
39
sama yang sudah dipilih. Kemudian peneliti akan meminta informasi selanjutnya
dari individu tersebut untuk mengumpulkan data dari individu lain yang masih
berada dalam kelompok yang sama (Kumar, 1999).
40
41
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Ginda. (2007). Gambaran Stres Akulturatif pada Mahasiswa Daerah yang
Kuliah di Jakarta. Skripsi Sarjana, tidak diterbitkan. Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya, Jakarta.
Adler, Jeremy. (2008). College Adjustment in University of Michigan Students
with Crohns and Colitis. Inamm Bowel Dis. 14(9), 1281-1286.
Apa Itu Culture Shock dan Bagaimana Cara Mengatasinya?. (t.th). Diakses pada 6
Agustus 2014 dari hotcourses.co.id
Bararuallo, Frans. (2010). Kebudayaan Toraja. Jakarta : UNIKA Atma Jaya
Berry, John. (2005). Acculturation : Living Successfully in Two Culture.
International Journal of Intercultural Relations, 29, 697-712.
Harjanto. (2012, 15 Januari). Pentingnya Pendidikan Bagi Kehidupan. Diakses
pada 4 Agustus 2014 dari belajarpsikologi.com
42
43
Patton, Michael Quinn. (2002). Qualitative Research & Evaluation Methods 3th
ed. London: Sage Publication
Poerwandari, E. Kristi. (1998). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitain Psikologi.
Jakarta: LPSP3 UI.
Santrock, John. (2008). Life-Span Development ed. 12nd. New York: McGraw Hill.
44
Tana Toraja Culture Social Life. (t.th). Diakses pada 29 Oktober 2014 dari
sulawesi-experience.com
Tujuan Pendidikan Nasional. (2012). Diakses pada 14 Agustus 2014 dari
belajarpsikologi.com
Upacara Adat Rambu Solo' (Upacara Pemakaman) Toraja. (2013, 6 November).
Diakses pada 2 Juli 2014 dari hasanuddin-airport.co.id
Winny, Teresa. (2012). Gambaran Pengaruh Stres Akulturatif Terhadap
Penyesuaian Diri
Shiraev, Eric & Levy, David. (2012). Psikologi Lintas Kultural Edisi
Keempat. Jakarta : Kencana
45
46