Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

I.A

LATAR BELAKANG

Adanya kekurangan tenaga dan institusi pendidikan di Indonesia


mengakibatkan ketidakmerataan kualitas pendidikan di berbagai daerah di
Indonesia. Ketidakmerataan kualitas pendidikan ini terjadi karena adanya
keterbatasan aksesibilitas, daya tampung serta kurang terorganisirnya koordinasi
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, hingga ke daerah terpencil
sekalipun. Selain itu juga, kurang diberdayakan suatu lembaga pendidikan untuk
melakukan proses pendidikan yang tersistematis (Rasyid, 2012). Hal ini terjadi
karena kontrol pendidikan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak
menjangkau daerah-daerah terpencil. Seperti yang diungkapkan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan (dalam
Kilas Balik, tth) bahwa keterbatasan aksesibilitas pendidikan di daerah menjadi
pangkal derasnya arus urbanisasi, sehingga masyarakat di berbagai daerah
Indonesia didorong untuk melakukan urbanisasi karena keterbatasan fasilitas di
daerah mereka.
Ketidakmerataan kualitas pendidikan juga dirasakan oleh masyarakat Tana
Toraja khususnya kaum muda Tana Toraja. Peneliti juga mendapatkan informasi
dari komunikasi pribadi beberapa kaum muda Toraja. Abi (nama samaran)

seorang mahasiswi yang kuliah di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW)


Jogyakarta memutuskan untuk kuliah di luar Toraja karena kualitas pendidikan
Yogyakarta lebih baik, jika dibandingkan dengan sistem sarana dan prasarana
perguruan tinggi yang ada di Tana Toraja (Komunikasi pribadi, 5 Agustus 2014).
Ada pun Rio (nama samaran), pemuda asal Tana Toraja yang kuliah di Sekolah
Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Nitro Makassar. Ia memutuskan untuk kuliah di
luar Tana Toraja karena keterbatasan pilihan jurusan yang tersedia di daerahnya.
Selain itu juga, perguruan tinggi di Tana Toraja masuh kurang dalam
mengembangkan potensi diri para mahasiswanya karena terbatasnya kegiatan
kemahasiswaan dalam bentuk organisasi atau komunitas yang disediakan oleh
perguruan tinggi (Komunikasi pribadi, 5 Agustus 2014).
Peneliti juga mewawancarai Melisa (nama samaran). Pemudi Tana Toraja
yang kuliah di Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta (UKRIDA). Menurut
Melisa, ia tidak mempunyai rencana untuk kuliah di Jakarta. Hanya karena ia
mempunyai mimpi untuk menjadi seorang dokter dari kecil, maka ia berani
merantau dan mengambil jalur bebas tes untuk jurusan Kedokteran di UKRIDA.
Ia juga menambahkan bahwa kualitas pendidikan ibukota masih lebih baik, jika
dibandingkan dengan kualitas pendidikan perguruan tinggi di Tana Toraja. Apalagi
dengan kinerja pemerintah Tana Toraja yang masih kurang dalam meningkatkan
kualitas pendidikan khususnya untuk jenjang perguruan tinggi di Tana Toraja
(Komunikasi Pribadi, 16 September 2014). Dari ketiga narasumber ini, peneliti
dapat menyimpulkan kualitas pendidikan pada perguruan tinggi di Tana Toraja
masih sangat kurang. Oleh karena adanya ketidakmerataan pendidikan yang ada di

Indonesia, para kaum muda yang berasal dari daerah Tana Toraja harus merantau
ke luar daerah untuk memperoleh pendidikan yang lebih layak lagi.
Dengan adanya masalah ketidaksetaraan kualitas pendidikan tinggi di Tana
Toraja, banyak kaum muda Toraja hijrah ke luar daerah untuk menempuh
pendidikan yang lebih tinggi. Ketika mereka sudah berada di kota orang, mereka
akan dihadapkan pada interaksi antar budaya dengan lingkungan baru di sekitar
mereka, khususnya dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda budaya dengan
mereka. Hal ini bukanlah suatu hal yang mudah bagi setiap orang yang pindah ke
daerah yang baru, di mana mereka harus merasakan proses penyesuaian diri di
lingkungan yang baru agar bisa berinteraksi dengan budaya baru yang mereka
temui.
Adapun data statistik mengenai data kependudukan para kaum muda
Toraja yang berada dalam kelompok umur remaja hingga masa emerging
adulthood yaitu 15 - 24 tahun. Dari data tersebut menjelaskan adanya penurunan
jumlah penduduk dari tahun 2011-2013. Pada tahun 2011, jumlah penduduk Tana
Toraja yang berumur 15-19 tahun adalah 20.471 dan penduduk berumur 20-24
tahun adalah 14.041. Pada tahun 2012, jumlah penduduk Tana Toraja yang
berumur 15-19 adalah 20.167 dan penduduk berumur 20-24 tahun adalah 12.252.
Pada tahun 2013, jumlah penduduk Tana Toraja yang berumur 15-19 tahun adalah
21.366 dan jumlah penduduk berumur 20-24 tahun adalah 15.085.
Data kependudukan tersebut mengasumsikan bahwa kelompok umur
remaja hingga masa emerging adulthood mengalami penurunan dari tahun 20112013. Adanya penurunan tersebut dapat diasumsikan bahwa telah terjadi proses

migrasi penduduk ke daerah lain untuk mencari kesejahteraan hidup, salah


satunya dalam bidang pendidikan.
Dengan adanya migrasi kaum muda Toraja, secara tidak langsung telah
terjadi persebaran penduduk di beberapa daerah, antara lain mereka melakukan
urbanisasi ke Makassar, Kendari, Manado, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan
beberapa kota besar yang ada di Indonesia. Migrasi yang dilakukan oleh kaum
muda Tana Toraja ini biasanya bertujuan untuk bekerja dan melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam penelitian ini, peneliti akan fokus
pada kaum muda yang melakukan urbanisasi ke Jakarta dan Yogyakarta dengan
tujuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Peneliti
memilih dua kota besar tersebut karena kedua kota tersebut mempunyai ciri khas
budaya daerah yang menarik pendatang untuk melanjutkan kelangsungan hidup
mereka di sana.
Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia yang biasa disebut juga dengan
kota metropolitan. Kota metropolitan sebagai kota utama yang bertindak
sebagai lokomotif ekonomi dan sosial dari kota satelit atau wilayah pinggiran
sekitarnya. Interaksi penduduk kota utama dan kota satelit dicirikan oleh tingkat
mobilitas yang tinggi. Mobilitas ini dapat berbentuk migrasi musiman atau dapat
juga berbentuk nglaju (bekerja di kota induk lalu kembali ke kota pinggiran).
Misalnya, seseorang mempunyai rumah di Tangerang tetapi bekerja di daerah
Sudirman, yaitu daerah yang menjadi kawasan segitiga emas kota Jakarta yang
terletak di bagian selatan kota Jakarta (Metropolitan, t.th).

Jakarta juga merupakan kota melting pot tertinggi yang memiliki variasi
budaya, adat istiadat, makanan, arsitektur,dan mempunyai pengaruh terhadap
nusantara dan luar negeri. Orang asli Jakarta dikenal sebagai orang Betawi.
Penduduk Jakarta bukan saja masyarakat betawi saja. Ada pula pendatang yang
berasal dari luar Jakarta, yang berasal dari provinsi dan daerah yang lain di
Indonesia. Dengan kehadiran mereka di Jakarta, budaya dan bahasa Betawi pelanpelan hilang sehingga identitas budaya masyarakat tidak kuat seperti daerahdaerah lain yang masih kental dengan budaya daerah aslinya. Contohnya saja,
bahasa Betawi pelan-pelan menghilang dan digantikan oleh bahasa gaul Jakarta.
Hal ini disebabkan karena berapa masyarakat Betawi tinggal dan berada di daerah
pinggiran Jakarta dan digantikan oleh para pendatang untuk berdomisili di kota
Jakarta (Indonesia, 2012).
Jakarta dikenal dengan kota yang individualis dan penuh dengan kasus
kriminalitas. Menurut Drs. Ngatino (dalam Masyarakat DKI, 2014), budaya
masyarakat yang cenderung individualis menjadikan masyarakatnya tidak peduli
dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu, mereka mudah dimanfaatkan oleh
orang-orang yang tidak bertanggungjawab, misalnya saja pada kasus penipuan.
Dengan adanya sikap ketidakpedulian membuat masyarakat cenderung dan hanya
mementingkan kepentingan dirinya sendiri .
Adapun alasan peneliti mengambil kota Yogyakarta dalam penelitian ini,
karena kota ini dikenal sebagai kota pelajar atau kota pendidikan di Indonesia. Hal
ini ditandai dengan adanya dinamika pelajar yang datang dari berbagai daerah di

Indonesia untuk menuntut ilmu di kota ini, baik pada tingkat Sekolah Dasar
hingga Perguruan Tinggi (Ramdhani, et.al., 2012).
Yogyakarta juga disebut sebagai kota pendidikan karena Yogyakarta
merupakan salah satu kota sejarah dan pelopor pendidikan yang mengembangkan
semangat nasionalitas untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia. Hal ini
ditandai dengan adanya institusi pendidikan yang dibentuk dari tokoh pergerakan
nasional seperti Sekolah Serikat Islam, Muhammaddiyah, dan Taman Siswa yang
dibangun oleh Ki Hajar Dewantara ((Ramdhani & Ardiyanti, 2012).
Dengan munculnya satu-persatu institusi pendidikan di kota ini,
pemerintah Indonesia membangun institusi pendidikan baik negeri dan swasta di
kota ini. Salah satunya, Perguruan Tiggi Negeri pertama di Indonesia yaitu
Universitas Gajah Mada (UGM) yang dibangun pada 19 Desember 1949. Setelah
UGM dibangun, pemerintah kemudian membangun beberapa perguruan tinggi
yang lain, baik itu perguruan tinggi swasta maupun negeri di Yogyakarta. Dengan
demikian, hal ini pula yang mengembangkan julukan pada kota ini sebagai kota
pelajar dan pusat pendidikan di Indonesia (Ramdhani & Ardiyanti, 2012).
Masyarakat Yogyakarta dikenal dengan sistem kebudayaan Jawa yang
mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari. Salah satunya adalah bahasa.
Dalam menggunakan bahasa daerah, mereka sangat memperhatikan dan
membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara, atau yang sedang
dibicarakan, berdasarkan pada usia maupun strata sosialnya (Koentjaraningrat,
2004). Selain itu juga, adanya sikap untuk nerimo, tabah dalm menderita dan ulet
dalam bekerja.

Bila ditinjau dari masa perkembangan, kaum muda Toraja tersebut


merupakan individu yang sedang memasuki masa dewasa muda. Menurut Hurlock
(1980), usia rentang individu yang mengalami masa dewasa muda adalah sekitar
18-40 tahun. Pada masa ini, individu harus menghadapi segala macam tantangan
dalam hidupnya dan mampu menghadapi masalahnya dengan cara yang bijaksana
dan mandiri. Selain itu, individu diajarkan untuk mampu mengambil konsekuensi
dari tindakan yang mereka lakukan secara tanggung jawab dan mampu
mengambil keputusan sesuai dengan nilai dan kepercayaannya (Arnett dalam
Santrock, 2008).
Pada masa ini, mereka memulai periode penyesuaian diri terhadap
berbagai macam pola kehidupan dan harapan sosial yang baru. Selain itu juga,
individu diharapkan untuk dapat memainkan peran baru dalam mengembangkan
sikap, keinginan, dan nilai-nilai yang baru sesuai dengan tugas yang mereka
dapatkan. Ketika individu menghadapi situasi tersebut, secara tidak langsung
mereka mengalami dan menemui kesulitan di dalam hidupnya. Dengan demikian,
mereka dihadapkan untuk dapat menyesuaikan diri mereka pada situasi yang
menyulitkan tersebut (Hurlock, 1980).
Menurut Santrock (2008), masa perkembangan yang dialami oleh
mahasiswa baru adalah masa transisi dari remaja menuju dewasa yang biasa
disebut sebagai emerging adulthood. Pada umumnya, umur mereka berkisar 18-25
tahun. Pada masa transisi ini, ada tiga hal yang menuntut seseorang agar bisa
menjalani masa transisi ini dengan bebas tekanan, yaitu intelektual (keberhasilan
akademik, kemampuan berencana, dan kemampuan membuat dan memutuskan

suatu hal), psikologis (kesehatan mental, motivasi, identitas diri, nilai dan
kontribusi komunitas), dan sosial (hubungan dengan orang lain serta hubungan
yang positif dengan kelompok sebayanya). Dengan adanya tuntutan tersebut,
individu juga ditantang untuk mampu menyesuaikan dirinya terhadap tuntutan
yang dihadapkan pada dirinya. Apabila ia tidak mampu menyesuaikan dirinya,
terkadang berbagai masalah penyesuaian diri muncul dan membuat diri individu
tersebut tertekan dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.
Masalah penyesuaian diri ini juga dialami oleh Melisa saat pertama kali ke
Jakarta. Ketika di Jakarta, ia merasa kesepian karena masih kaget dengan situasi
budaya individualis di Jakarta. Ia juga mengaku bahwa sering sakit-sakitan pada
tahun pertama di Jakarta. Sakit yang ia alami seperti sakit perut dan sering
demam, sehingga anggota keluarganya sering mengunjunginya di asramanya.
Selain itu juga, ia merasa kurang bahagia karena ia sering dikejar deadline tugas
hingga kurang tidur. Adapun situasi yang membuat ia tidak begitu sreg dengan
kata-kata temannya yang berasal dari Jakarta. Ia mengaku bahwa kata-kata anak
Jakarta dalam berkomunikasi sering mengeluarkan kata-kata yang agak kasar dan
tidak pantas untuk dikatakan.
Selain Melisa, Angga (nama samaran) pun mengalami adanya masalah
penyesuaian diri. Angga adalah seorang mahasiswa Ekonomi UKDW yang
berasal dari Tana Toraja. Ketika ia melalui tahun pertama di Yogyakarta, ia merasa
tidak percaya diri dengan dialeg bahasanya yang sangat kental dengan dialeg
bahasa Toraja. Ia mengaku biasanya ia ditertawai oleh teman-temannya sehingga

membuatnya menjadi minder dengan keadaan tersebut (Komunikasi Pribadi, 15


November 2014).
Pengalaman yang dialami oleh Melisa dan Angga adalah suatu proses
penyesuaian diri yang di dalamnya terjadi pertemuan interaksi sosial antar
kelompok budaya yang berbeda. Ketika seseorang menghadapi budaya baru dan
berinteraksi dengan budaya lain, maka ia akan mengalami proses penyesuaian
diri. Menurut Aggarwal (Salama, 2011) penyesuaian diri adalah proses di mana
seseorang dapat berperilaku untuk menghasilkan hubungan yang harmonis antara
dirinya dan lingkungannya. Selain itu juga, penyesuaian diri adalah suatu kondisi
di mana seseorang mengalami perubahan yang relatif stabil dalam dirinya atau
terhadap suatu kelompok dalam menanggapi tuntutan eksternal (lingkungan)
(Berry, 2005). Dari kedua teori ini, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
penyesuaian diri adalah suatu proses yang dialami dan dilakukan oleh seseorang
untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan perubahan yang stabil antara
dirinya dan kelompoknya dalam menanggapi tuntutan lingkungan.
Proses penyesuaian diri dapat dimasukkan dalam dua aspek yaitu
psychological dan sociocultural. Menurut Ward (dalam Berry, 2005),
penyesuaian diri secara psychological berpengaruh sangat besar terhadap
psikologis dan fisik seseorang. Pada aspek sociocultural, penyesuaian diri
seseorang lebih ditujukan pada usaha seseorang untuk mampu menyesuaikan diri
pada kehidupan sehari-hari dengan konteks budaya yang baru. Selain itu juga,
faktor-faktor yang dapat mendukung berhasil atau tidaknya penyesuaian diri pada
diri seseorang dari aspek psikologi adalah kepribadian individu tersebut, adanya

peristiwa perubahan hidup, dan dukungan sosial dari significant other. Adapun
dari aspek sosialcultural yaitu adanya pengetahuan mengenai budaya, tingkat
kontak langsung dengan kelompok budaya lain, dan sikap positif intergroup
(Berry, 2005).
Dengan adanya pengaruh dari aspek psychological dan sociocultural
dalam proses penyesuaian diri dapat berimplikasi pada perubahan berpikir dan
pandangan hidup seseorang terhadap tuntutan lingkunganya. Adapun proses
penyesuaian diri yang diciptakan dari adanya interaksi sosial antar individu dan
latar belakang budaya yang berbeda akan mengalami pertemuan budaya atau
intercultural interaction.
Menurut Thomas (dalam Adam, 2007), intercultural interaction adalah
bentuk interaksi yang muncul dalam situasi pertemuan budaya, di mana pola
perilaku, pikiran dan perasaan dibentuk oleh budaya seseorang yang saling
tumpang tindih dengan sesuatu yang tidak biasa dan aneh, termasuk di dalamnya
yaitu pola perilaku, pemikiran, dan perasaan yang dibentuk oleh budaya asing.
Pada tahap ini, individu dihadapkan pada berbagai simbol, atribut, dan pesan yang
tidak dikenal. Hal inilah yang menyebabkan individu untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan sekitarnya, termasuk budaya yang baru ia temui.
Individu dikatakan dapat menyesuaikan diri, apabila individu tersebut tahu
bahwa kebutuhannya sudah terpenuhi dan perilakunya sesuai dengan tuntutan
kebutuhan lingkungannya, sehingga membuat dirinya merasa nyaman dengan
budaya yang baru. Inilah yang disebut oleh Vazquez (1995) sebagai proses

10

adaptasi yang berbeda-beda dari tiap individu terhadap budaya yang dominan atau
budaya yang baru ditemui oleh individu tersebut, yaitu proses akulturasi.
Berry (2005) mengatakan bahwa akulturasi adalah adalah proses
perubahan budaya dan psikologis yang merupakan hasil dari kontak antar dua atau
lebih kelompok budaya dengan individu yang ada di dalam budaya tersebut.
Menurut Graves (dalam Berry, 2005), akulturasi mengacu pada perubahan dalam
diri individu yang merupakan bagian dalam situasi kontak budaya, yang secara
langsung dipengaruhi oleh budaya luar dan budaya asal individu tersebut. Dengan
adanya proses akulturasi ini menunjukkan adanya usaha individu untuk
beradaptasi dengan budaya baru dalam menghadapi culture shock.
Koentjaraningrat (dalam Rikidaniel, 2006) mengatakan bahwa culture
shock dapat dialami oleh orang yang berada di budaya yang berbeda ataupun
seseorang yang berada pada budaya lama yang telah berubah. Culture shock juga
dapat menimbulkan keadaan kekhawatiran dan perasaan galau yang dialami oleh
orang-orang yang menempati wilayah baru dan asing.
Culture Shock menurut Berry (2005) lebih tepat disebut sebagai stress
akulturatif. Stres akulturatif adalah suatu respon terhadap stressor yang dialami
seseorang ketika terjadi perubahan lingkungan atau budaya . Selain itu juga, stres
akulturatif adalah hasil dari faktor stres yang berhubungan dengan proses
beradaptasi sehingga memunculkan pengalaman tertekan. Biasanya faktor utama
stres akulturatif terjadi karena faktor penerimaan sosial, perbedaan budaya, stres
yang berhubungan dengan imigrasi dan isu migrasi serta prasangka dan
diskriminasi (Leon, 2014).

11

Dalam proses akulturasi mahasiswa baru, stres akulturatif ini berdampak


pada psikologis mereka. Dampak psikologis ini dapat dilihat dari perilaku mereka
baik secara aspek akademi, sosial, dan emosi mereka, seperti nilai akademis
mereka menurun dan tidak mencapai target Universitas, tidak mempunyai peer
group ataupun sahabat, menarik diri dari pergaulan dan terlalu fokus pada dirinya
sehingga tidak ada waktu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bahkan penyakit
fisik kronis juga dapat berdampak pada dirinya, karena adanya tekanan hidup
yang ia rasakan dari proses akulturasi ini (Adler, 2008).
Dalam mengatasi stress akulturatif ini, dibutuhkan strategi untuk
menghadapinya. Menurut Berry (2005), strategi akulturasi ini terdiri atas dua
komponen, yaitu sikap (pilihan individu untuk berakulturasi) dan perilaku
(aktivitas langsung) seseorang yang ditunjukkan dari hari ke hari ketika
berinteraksi dengan orang lain. Jenis strategi ini terdiri dari dua isu dasar tentang
proses seseorang yang berakulturasi terhadap suatu budaya baik dalam level
individu (akulturasi yang bersifat psikologis) dan level kelompok(Riyanti, 2000).
Selain dari hal-hal tersebut di atas, peneliti juga memasukkan nilai budaya
masyarakat dari Tana Toraja. Hal ini dimaksudkan untuk melihat gambaran stres
akulturatif yang dialami oleh mahasiswa Tana Toraja ketika berada di Jakarta
maupun di Yogyakarta. Dengan adanya, pertemuan kontak antar budaya yang
dihadapi oleh para mahasiswa tersebut, tidak dapat disangkali bila muncul stress
akulturatif dalam proses akulturasi mereka. Oleh karena itu, peneliti ingin
mengetahui gambaran akulturasi mahasiswa Toraja yang kuliah di Jakarta dan

12

Yogyakarta beserta strategi akulturasi yang mereka gunakan ketika menghadapi


stress akulturatif di daerah mereka kuliah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dan
kualitatif. Dalam metode kuantitatif, peneliti akan menggunakan kuisioner
Acculturative Stress Scale for International Student (Sandhu &Asrabadi, 1994).
Setelah itu, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan metode wawancara
mendalam terhadap beberapa subjek yang terpilih dari hasil metode kuantitatif
sebelumnya. Pemilihan subjek ini berdasarkan hasil skor subjek yang banyak
mengalami stressor dalam kuisioner Acculturative Stress Scale for International
Student.
Adapun karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah kaum muda Tana
Toraja yang sedang menempuh perkuliahan di Jakarta dan Yogyakarta. Selain itu,
mereka yang besar dan menempuh pendidikan 9 tahun dari SD hingga SMA di
Tana Toraja.

I.B

RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah secara umum dalam penelitian ini adalah bagaimana


gambaran stres akulturatif pada mahasiswa Toraja yang kuliah di Jakarta dan
Yogyakarta?
Rumusan masalah secara khusus dalam penelitian ini :
1. Apakah terdapat stres akulturatif pada mahasiswa Toraja yang kuliah di Jakarta
dan Yogyakarta?

13

2. Bagaimana bentuk stres akulturatif yang dialami pada mahasiswa Toraja yang
kuliah di Jakarta dan Yogyakarta?
3. Bagaimana dinamika yang terjadi dalam proses akulturasi mahasiswa toraja yang
kuliah di Jakarta dan Yogyakarta?
4. Apa saja faktor yang menyebabkan stres akulturatif pada mahasiswa Toraja yang
kuliah di Jakarta dan Yogyakarta?
5. Apa saja dampak yang terjadi dari stress akulturatif yang mereka alami?
6. Bagaimana strategi mereka dalam mengatasi dampak tersebut?

I.C

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran stres
akulturatif yang terjadi pada mahasiswa Toraja yang kuliah di kota Jakarta dan
Jogyakarta.
Tujuan khusus dari penelitan ini adalah untuk mengetahui gambaran
dinamika stres akulturatif mahasiswa Toraja, faktor yang menyebabkan stress
akulturatif itu muncul, dampak yang terjadi, serta strategi mereka untuk
menyesuaikan diri di kota yang berbeda budaya dengan mereka, yaitu Jakarta dan
Yogyakarta.

I. D

MANFAAT PENELITIAN

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah menambah kajian teoritis


mengenai stres akulturatif pada penyesuaian diri mahasiswa Toraja yang kuliah di

14

Jakarta dan Jogyakarta. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
dasar untuk penelitian yang akan datang dengan topik sejenis.
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat dijadikan sebagai acuan
dalam melakukan pelatihan atau workshop pada mahasiswa Toraja yang ingin
kuliah di luar daerah Tana Toraja, khususnya di Jakarta dan Jogyakarta.

I.E

SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:


Bab I : Pendahuluan
Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan
permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II : Kajian Pustaka
Bab ini membahas mengenai teori-teori yang digunakan dalam penelitian,
meliputi teori budaya, kontak antar budaya, akulturasi, stress akulturasi, dan
kerangka penelitian
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini membahas mengenai jenis penelitian, variabel yang digunakan,
populasi dan sampel penelitian, instrumen penelitian, prosedur penelitian, serta
metode analisis data.
Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data

15

Pada bab ini membahas mengenai hasil analisa kuantitatif dan hasil
analisa kualitatif, berupa gambaran subjek, data hasil penelitian, analisa hasil
penelitian dan interpretasi data.
Bab V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini membahas mengenai kesimpulan dari hasil penelitian, diskusi
mengenai hal terkait dengan hasil penelitian, serta saran yang dapat diberikan,
baik secara metodologis maupun praktis untuk penelitian akan datang.

16

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

II.A

BUDAYA
II.A.1 Pengertian Budaya
Budaya adalah seperangkat sikap, perilaku, dan simbol yang dianut oleh

satu kelomok orang dan biasanya dikomunikasikan dari satu generasi selanjutnya
(Shiraev & Levy, 2012). Adapun penjelasan mengenai sikap, perilaku dan simbol
yang dianut menurut Shiraev dan Levy (2012) yaitu sikap yang dianut tersebut
mencakup keyakinan (politik, ideology, agama, moral dan lain-lain), nilai,
pengetahuan umum (teoretis dan empiris), opini, takhayul dan stereotip. Perilaku
mencakup berbagai macam peran, adat, tradisi, kebiasaan, praktik, dna fashion.
Simbol mempresentasikan ide atau sesuatu, makna yang diberikan oleh seorang
dan dapat berbentuk objek materiil, seperti warna, suara, slogan, bangunan dan
lain-lain.
Budaya juga memiliki ciri eksplisit sekaligus implisit. Ciri eksplisit dari
budaya adalah hal-hal yang dapat diamati di dalam suatu budaya. Contohnya
adalah adat istiadat yang dilihat, praktik yang diamati, dan respons perilaku
tertentu, seperti seseorang menyapa dengan menggunakan kata halo pada orang
asing. Karakteristik implisit adalah prinsip pengatur yang berada di balik tatanan
berdasarkan pola budaya eksplisit yang konsisten. Misalnya, tata bahasa yang
mengontrol pembicaraan, aturan berpakaian, norma tawar menawar, atau

17

ekspektasi perilaku tertentu dalam situasi standar, adalah contoh dari ciri implisit
dari budaya (Shiraev & Levy, 2012).

II.A.2 Kontak Antar Budaya


Menurut A. Thomas dalam makalah Contributions to Intercultural
Psychology (1999), kontak antar budaya adalah sebuah bentuk interaksi yang
muncul pada situasi pertemuan budaya di mana pola perilaku, pemikiran, dan
perasaan, dibentuk oleh budaya seseorang yang saling tumpang tindih dengan
sesuatu yang tidak biasa dan aneh, termasuk di dalamnya adalah pola perilaku,
pemikiran dan perasaan yang dibentuk oleh budaya asing (Thomas dalam Adam,
2007).
Kontak antar budaya pun dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu
between-society contacts dan within-society contact. Pemberian kategori ini
berdasarkan atas situasi kontak budaya yang terjadi pada masyarakat multikultural
yang memiliki berbagai macam budaya (Bochner, 1982 dalam Ward, et.al., 2001).
Between-society contacts terjadi karena adanya peningkatan globalisasi industry,
hiburan, pendidikan dan rekreasi (Erez,1994 dalam Ward, et.al., 2001). Adapun
bentuk within-society contacts terjadi karena disebabkan adanya perubahan
banyak negara yang memiliki masyarakat monokultural menjadi masyarakat
multikultural dan perubahan pada level migrasi penduduk yang migrasi dari
negara miskin ke negara kaya karena adanya perang saudara, kelaparan, dan
bencana alam (Ward, et.al., 2001).

18

Kontak antar budaya dalam masyarakat multikultural memiliki kategori


jenis kelompok yang dikategorikan berdasarkan tujuan mobilitasnya. Hal ini guna
untuk mengetahui alasan seseorang yang memiliki latar belakang budaya yang
berbeda tinggal bersama dalam wilayah yang sama.

II.A.3 Budaya Toraja


Apabila dilihat dari asal mulanya penduduk Tana Toraja, penduduk Tana
Toraja merupakan hasil akulturasi dengan penduduk asli setempat (etnis Negrito)
dengan pendatang (etnis Proto dan Newtro Melayu atau ras Mongolid). Secara
bertahap, nenek moyang orang Toraja yang hidup di Tana Toraja membuat sebuah
banua ditoke. Banua ditoke (Banua = rumah; ditoke = digantung) adalah hasil
evolusi nenek moyang Tana Toraja yang mereka ubah dari bentuk perahu menjadi
sebuah tempat tinggal untuk mereka. Saat ini dikenal sebagai Banua Tongkonan
yang artinya Rumah Tongkonan (Bararuallo, 2010).
Kata Tongkonan berasal dari kata Tongkon dan ongan. Tongkon berarti
duduk dan ongan berarti tempat bernaung. Dengan demikian, tongkonan adalah
tempat untuk duduk, mendengar, membicarakan dan menyelesaikan masalah
penting dan berpotensi untuk mengganggu kehidupan masyarakat di dalam
wilayah adat tongkonan, termasuk peraturan dan ketentuan adat yang dibutuhkan
untuk mengatur masyarakat (Bararualo, 2010). Menurut Parapak (dalam Andin,
2010) tongkonan adalah salah satu format budaya Toraja yang secara hakiki masih
dipertahankan saat ini. Oleh karena, tongkonan merupakan salah satu identitas
budaya masyarakat Toraja.

19

Parapak (dalam Andin, 2010) juga menjelaskan bahwa usaha


mempertahankan tongkonan karena masyakat Toraja mengartikan tongkonan
adalah simbol kekeluargaan, kekerabatan, persekutuan atau kebersamaan orang
Toraja. Hal ini tampak dari kehidupan para perantau Toraja, walaupun mereka
tidak memiliki hubungan darah tetapi mereka akan tetap saling mencari untuk
mempertahankan nilai kekerabatan, kekeluargaan dan kebersamaan yang sudah
diajarkan oleh nenek moyang mereka. Misalnya saja mereka mengadakan
persekutuan untuk mengadakan kegiatan syukuran ataupun acara penghiburan bila
salah satu dari mereka mengalami kedukaan ataupun musibah. Hal inilah yang
menjadikan tongkonan sebagai simbol jati diri dan budaya masyarakat Toraja.
Nilai-nilai yang sudah dijunjung oleh orang Toraja tersebut juga
didasarkan pada tujuan orang Toraja tempo dulu. Pada dasarnya mereka
mengumpulkan harta bukanlah untuk dimiliki dan dinikmati sendiri, melainkan
untuk dibagi-bagikan pada upacara kematiannya kelak kepada mereka yang masih
hidup, sebelum ia sendiri berangkat ke duniat akhirat. Jadi menurut penuturan
Mgr. John Liku Ada (dalam Andin, 2010), nilai-nilai luhur tersebut didasari oleh
sikap kerelaan berbagi milik dan kehidupan, semangat kebersaman, solidaritas
komuniter dan persatuan kekeluargaan.
Identitas budaya masyarakat Toraja lainnya adalah bahasa Toraja. Parapak
(dalam Andin, 2010) juga menjelaskan bahwa bahasa Toraja dapat diekspresikan
dalam beberapa tingkat ketika berkomunikasi dengan sesama orang Toraja. Ada
yang menggunakan bahasa tinggi, bila berkomunikasi dengan orang tua, orang

20

yang dihormati dan orang yang memiliki kasta lebih tinggi, serta bahasa seharihari bila berkomunikasi dengan sebaya.
Budaya masyarakat Toraja menjunjung tinggi kehidupan manusia,
kehidupan hewan, dan kehidupan tanaman, khususnya dalam menanam padi.
Perhargaan itu ditunjukkan dalam bentuk perayaan dengan berbagai
upacara/ritual, seperti rambu solo dan rambu tuka (Parapak, 2010). Rambu solo
adalah upacara kematian masyarakat Toraja yang bertujuan untuk menghormati
dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju puyo (surga) , yaitu
kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat
peristirahatan terakhir (Upacara Rambu Solo, 2013). Adapun pengertian dari
rambu tuka yaitu upacara untuk merayakan / mensyukuri kehidupan mulai dari
kelahiran sampai pernikahan yang dilaksanakan pada waktu matahari sedang naik
(Parapak, 2010).
Menurut Rantetana (2010), direktur Papua Knowledge Center Jayapura
menegaskan bahwa ada sejumlah perangkat aturan (pemali) diciptakan untuk
menjaga dan memelihara berbagai bentuk kehidupan manusia (pemali malolo
tau), kehidupan hewan (pemali patuan) dan kehidupan tanaman (pemali tananan)
yang sudah dijunjung dari kehidupan nenek moyang orang Tana Toraja. Pemali
tersebut dilaksanakan dalam bentuk ritual/upacara adat Toraja seperti rambu tuka
dan rambu solo guna untuk menghargai aturan-aturan yang ada dalam kehidupan
masyarakat Tana Toraja. Ia pun menambahkan bahwa penghargaan ini diwujudkan
sebagai aplikasi kehidupan sehari-hari dalam tata pergaulan di dalam keluarga,
antar suami-istri dan orangtua beserta anak-anak, serta dalam pergaulan di dalam

21

lingkungan bermasyarakat. Hal ini ditunjukkan dalam sikap dan tutur kata ketika
menyapa orang yang dituakan guna menghargai peran dan strata sosial mereka
dalam masyarakat.

II.A.4 Orang Toraja sebagai Perantau.


Begitu banyak kaum muda (setelah usia 19 tahun) pergi merantau ke luar
Toraja sehingga jumlah kerja produktif yang tinggal di Toraja semakin
berkurang. Keadaan ini sangat terasa di daerah-daerah terpencil.. (Rosandi,
2010)
Kutipan di atas adalah sekilasi kritik Theo Rosandi dalam tulisannya
tentang Toraja dan Perantaunya (dalam Andin, 2010). Rosandi menjelaskan
bahwa ada beberapa faktor yang membuat masyarakat toraja pergi merantau
keluar Tana Toraja, yakni:
1. Keadaan alamiah (geologi dan geografi), seperti terbatasnya lahan untuk
pertanian ataupun peternakan, terbatasnya sumber daya alam (SDA),
posisi geografis yang membatasi jejaring distribusi dan pemasaran prosuk
dan bahan konsumsi.
2. Ketersediaan sarana dan prasarana yang terbatas untuk meningkatkan mutu
kehidupan seperti sarana transportasi, pendidikan dan kesehatan, serta
infrastruktur perekonomian.
3. Sistem dan struktur kemasyarakatan dengan tradisi status sosial yang
ditentukan oleh kemampuan ekonomi serta kedudukan dalam hierarki
pemerintahan / pegawai negeri.
4. Kondisi politik, seperti pertikaian antarkelompok ataupun peperangan.

22

Dalam sub bab ini, penulis akan menjelasakan salah satu faktor
masyakarat Toraja untuk merantau khususnya untuk kaum orang muda Toraja.
Faktor tersebut yaitu ketersediaan sarana dan prasarana yang terbatas untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Tana Toraja. Apalagi pada saat ini, kehidupan
manusia didukung dengan kemajuan IPTEK. Dengan adanya kemajuan IPTEK ini
mempengaruhi tingkat dan mutu pendidikan, serta mengharuskan setiap individu
untuk meningkatkan pengetahuannya agar tidak ketinggalan oleh kemajuan
IPTEK saat ini. Oleh karena keterbatasan sarana dan prasarana, maka banyak
orang muda Tana Toraja merantau untuk mencari pendidikan yang lebih tinggi
agar setara dengan orang muda yang tinggal di daerah.
Seiring dengan kemajuan IPTEK khususnya dalam mutu pendidikan
membawa perubahan pola pikir juga pada masyarakat Toraja. Apabila generasi
sebelum 1960an menganggap menempuh pendidikan di sekolah sebagai suatu
pemborosan dan tidak bermanfaat, dan status sosial dinilai dari banyaknya
kepemilikan sawah dan ternak, maka kini pendidikan merupakan asset keluarga
dan gelar sarjana serta pangkat dalam jabatan dinilai sebagai status sosial pada
saat ini. Kepemilikian sawah dan ternak digantikan dengan kemampuan seseorang
dalam mengadakan upacara adat dengan sejumlah pantunuan (pengorbanan
hewan) dan pembagian kebutuhan hidup pada keluarga. Kemampuan ini ditunjang
oleh hasil pendidikan tinggia yang hanya ditempuh di luar daerah Toraja. Oleh
sebab itu, banyak orang muda Tana Toraja yang setelah lulus dari Sekolah
Menengah Atas pergi merantaui untuk mencari pekerjaan ataupun melanjutkan
pendidikan (Rosandi dalam Andin, 2010).

23

Bukti statistik yang membuktikan bahwa orang muda Tana Toraja


merantau ke luar daerah Tana Toraja dapat di lihat dalam tabel di bawah ini:
Banyaknya penduduk Kabupaten Tana Toraja menurut kelompok umur
dan jenis kelamin tahun 2013
Kelompok
Umur
10-14
15-19
20-24
25-29

Laki-laki
13.206
11.487
7.835
6.946

Penduduk
Perempuan
12.269
9.879
7.250
6.908

Jumlah
25.475
21.366
15.085
13.854

Sumber : BPS Tana Toraja dalam Angka 2014


Banyaknya penduduk Kabupaten Tana Toraja menurut kelompok umur
dan jenis kelamin tahun 2012
Kelompok
Umur
10-14
15-19
20-24
25-29

Laki-laki
14.396
10.513
6.160
8.452

Penduduk
Perempuan
12.716
9.654
6.092
8.413

Jumlah
27.112
20.167
12.252
16.865

Sumber : BPS Tana Toraja dalam Angka 2013


Banyaknya penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin
Kabupaten Tana Toraja tahun 2011
Kelompok
Umur
10-14
15-19
20-24
25-29

Laki-laki
12.748
11.512
7.065
7.188

Penduduk
Perempuan
13.688
8.959
6.975
9.539

Jumlah
26.436
20.471
14.041
16.729

24

Sumber : BPS Tana Toraja dalam Angka 2012

Banyaknya penduduk Kabupaten Tana Toraja menurut kelompok umur


dan jenis kelamin tahun 2010
Kelompok
Penduduk
Umur
Laki-laki
Perempuan
10-14
13.793
12.661
15-19
10.636
9.327
20-24
7.318
7.011
25-29
7.047
7.045
Sumber : BPS Tana Toraja dalam Angka 2010

Jumlah
26.454
19.963
14.329
14.092

Dari tabel-tabel statistik penduduk Tana Toraja di atas berdasarkan


kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat perkembangan laju penduduk dari
tahun 2010-2013. Tiap tahun membuktikan bahwa dimulai umur 20-29
mengalami penurunan dari umur 19 tahun ke bawah. Contohnya saja dari tabel
statistik penduduk Tana Toraja tahun 2013, diperlihatkan bahwa jumlah penduduk
dari 15-19 tahun, 20-25 tahun, hingga 25-29 tahun mengalami penurunan yang
cukup tajam yakni total penduduk 21.366 menurun ke 15.085 hingga menjadi
13.854. Ini menandakan bahwa setelah setamat dari SMA, banyak anak muda
Toraja meninggalkan daerahnya menuju ke perantauan.

II.A.8 Budaya Kota Jakarta

Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia yang berdiri sejak 22 Juni
1527. Pada awalnya, Jakarta mengalami empat kali perubahan nama di bawah

25

penjajahan Portugis, Belanda, dan Jepang. Ketika masa penjajahan Portugis,


Jakarta pertama kali dikenal dengan Sunda Kelapa. Kemudian, rakyat Indonesia di
bawah kepemimpinan raja Fatahillah dari Kerajaan Islam Cirebon menyerang
Portugis dan pada 22 Juni 1527. Saat itu, Sunda Kelapa diganti namanya menjadi
Jayakarta.
Setelah Portugis keluar dari Indonesia, pada 1619 para penjajah Belanda
masuk ke Indonesia dan merebut kembali Jayakarta serta mengubahnya menjadi
Batavia. Selama penjajahan Belanda kurang lebih 350 tahun menjajah Indonesia.
Kemudian diusir oleh penjajah Jepang pada 1942 dan merebut Batavia dari
penjajah Belanda. Selain itu juga, Jepang mengganti nama Batavia menjadi
Jakarta yang hingga saat ini menjadi ibu kota Republik Indonesia (Sejarah
Jakarta, 2013).
Sejak masa penjajahan di Indonesia, Jakarta sudah dikenal sebagai kota
perdagangan, pusat administrasi, pusat kegiatan politik, pusat pendidikan, dan
kota budaya. Proses pembentukan kota Jakarta sudah terbentuk sejak kurang lebih
400 tahun yang lalu, semenjak masa pra kolonial menjajah Indonesia. Sejak itu,
banyak pendatang yang datang dari berbagai budaya dan etnik. Pendatang awal
yang menghuni Jakarta adalah orang Melayu, Bugis, Jawa, Bali, Sunda dan diikuti
oleh suku daerah lain. Selain penduduk domestik, orang asing pun datang
menghuni ke Jakarta, seperti Portugis, Cina, India, Arab, Belanda, Inggris, dan
Jerman.
Penduduk asli Jakarta adalah orang Betawi. Orang Betawi juga disebut
orang Melayu Jawa. Mereka merupakan hasil percampuran antara orang-orang

26

Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar, Ambon, Manado, Timor, Sunda, dan
mardijkers (keturunan Indo-Portugis) yang menduduki kota Batavia sejak awal
abad ke-15. Nama "Betawi" berasal dari kata "Batavia". Nama yang diberikan
oleh Belanda pada zaman penjajahan dahulu. Menurut Benyamin Ramto, tokoh
masyarakat Betawi mengemukakan bahwa masyarakat Betawi terbagi menjadi
dua, yaitu masyarakat Betawi Tengah dan Betawi Pinggiran (Suku Betawi, 2013).
Untuk membedakan antara masyarakat Betawi Tengah dan Betawi Pinggiran
dapat diketahui dari dialeg bahasanya. Kalau Betawi Tengah, dialegnya
kebanyakan menggunakan huruf vokal e sedangkan Betawi Pinggiran lebih
banyak menggunakan huruf vokal a dan akhiran ah dalam percakapan kosa
kata mereka.
Perilaku khas masyarakat Betawi yang masih dipertahankan adalah
senioritas umur. Hal ini tampak ketika orang muda Betawi bertemu dengan orang
yang lebih tua, orang muda tersebut harus mencium tangan orang yang lebih tua
(Suku Betawi, 2013). Selain itu, masyarakat Betawi dikenal dengan sikap
kejujuran dan keterbukaan yang sangat esensial dalam keseharian mereka,
khususnya dalam hal komunikasi.
Keterbukaan dan kjujuran masyarakat Betawi tampak dalam komunikasi
di antara mereka ketika mengungkapkan sesuatu dengan tegas dan jarang
ditemukan mereka memperhaluskan kosa kata mereka. Jika mereka mau
mengatakan hitam, tetap dikatakan hitam. Oleh karena itu, tidak jarang
ditemukan masyarakat Betawi yang selalu membawa percakapan mereka dengan
humor. Hal ini dilakukan mereka untuk menghindari pertengkaran karena sikap

27

terbuka dan jujur mereka akan melukai perasaan orang lain. Akan tetapi, humor
yang mereka ciptakan juga terkadang bermaksud untuk menyindir perbuatan
orang lain.
Bahasa Betawi umumnya tidak memiliki tingkatan bahasa ketika
berkomunikasi dengan orang, seperti yang terjadi pada masyarakat Jawa.
Walaupun begitu, mereka tetap menghargai orang yang lebih tua melalui sikap
mereka dan cara komunikasi mereka. Misalnya, ketika berbicara pada orang yang
lebih tua, mereka tidak menggunakan kata aye, gue, saye, tetapi mereka
menggunakan nama mereka sendiri ketika berbicara dengan orang yang lebih tua
(Sifat dan Karakteristik, 2015).
Adapun data kependudukan Jakarta mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Menurut BPS Jakarta, pada tahun 2014 penduduk Jakarta telah
mencapai 10,07 juta (meningkat 300 ribu jiwa) dari tahun sebelumnya. Selain itu
juga, BPS juga meramalkan bahwa rata-rata penduduk Jakarta mengalami
penambahan 7 orang setiap jamnya, karena adanya migrasi.
Jakarta juga dikenal dengan tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
peringkat pertama secara nasional di Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya
kemajuan sarana dan prasarana dari berbagai bidang, baik dalam bidang
pendidikan, ekonomi, dan kesehatan yang memiliki kualitas yang lebih tinggi dari
daerah lain (Statistik Daerah Jakarta 2014, 2015).

II.A.9 Budaya Yogyakarta

28

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan wilayah setingkat provinsi yang


memiliki luas wilayah terkecil kedua di Republik Indonesia, setelah Jakarta.
Dalam birokrasi pemerintahan DI Yogyakarta, provinsi ini dipimpin oleh Sultan
Yogyakarta yang berperan sebagai Gubernur dan Adipati Paku Alam yang
berperan sebagai Wakil Gubernur. Hal inilah yang menjadi salah satu yang
membuat Yogyakarta menjadi daerah istimewa dari provinsi-provinsi yang lain
(Statistik Daerah Yogyakarta 2014, 2015).
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai bentuk
pemerintahan dalam bentuk kerajaan yaitu Kasultanan Nyayogkarta Hadinigrat
yang didirikan sejak 1755 oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan
Hamengku Buwono I. Pada 1813, Pangeran Notokusumo (saudara Sultan
Hamengku Buwono II) mendirikan Kadipaten Pakualaman dan bergelar Adipati
Paku Alam I.
Ketika Indonesia sudah merdeka, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan
Sri Adipati Paku Alam VIII menyatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta dan
Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta menjadi
satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat itu, Sri sultan Hamengku
Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia mengurus
pemerintahan Yogyakarta (Sejarah Singkat, 2009).
Yogyakarta juga memiliki banyak predikat, yakni kota perjuangan, kota
kebudayaan, kota pelajar dan kota pariwisata. Yogyakarta dikenal sebagai kota

29

perjuangan karena perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan


kemerdekaan Indonesia pada jaman kolonial Belanda dan Jepang juga berada di
Yogyakarta. Selain itu juga, dikenal sebagai kota kebudayaan karena kota ini masih
berkaitan erat dengan peninggalan-peninggalan budaya saat masa kerajaankerajaan, hingga peninggalan budaya-budaya tersebut masih tetap lestari hingga
saat kini. Contohnya, Keraton Kesultanan Yogyakarta dan Candi Prambanan.
Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pariwisata karena Yogyakarta
merupakan tujuan wisata terbesar kedua setelah Bali (Sejarah Singkat, 2009).
Berbagai jenis objek wisata dikembangkan di Yogyakarta dan di daerah sekitarnya,
seperti wisata alam, wisata budaya, wisata sejarah, wisata pendidikan dan wisata
malam.
Sebutan terakhir untuk kota Yogyakarta adalah kota pelajar atau kota
pendidikan. Hal ini dikarenakan Yogyakarta merupakan kota yang sangat
berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Hal ini ditandai

dengan munculnya satu-persatu institusi pendidikan di kota ini. Pemerintah


Indonesia membangun institusi pendidikan baik negeri dan swasta di kota ini.
Salah satunya, Perguruan Tiggi Negeri pertama di Indonesia yaitu Universitas
Gajah Mada (UGM) yang dibangun pada 19 Desember 1949. Setelah UGM
dibangun, pemerintah kemudian membangun beberapa perguruan tinggi yang lain,
baik itu perguruan tinggi swasta maupun negeri di Yogyakarta. Dengan demikian,

30

hal ini pula yang mengembangkan julukan pada kota ini sebagai kota pelajar dan
pusat pendidikan di Indonesia (Ramdhani, et., al, 2012).
Yogyakarta juga disebut sebagai kota pendidikan karena Yogyakarta
merupakan salah satu kota sejarah dan pelopor pendidikan yang mengembangkan
semangat nasionalitas untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia. Hal ini
ditandai dengan adanya institusi pendidikan yang dibentuk dari tokoh pergerakan
nasional seperti Sekolah Serikat Islam, Muhammaddiyah, dan Taman Siswa yang
dibangun oleh Ki Hajar Dewantara (Ramdhani, et., al, 2012).

II.B

AKULTURASI
II.B.1 Pengertian Akulturasi
Ketika individu bertemu dengan budaya yang berbeda dengan budaya

asalnya dan mengalami perubahan budaya dan psikologis yang tampak dari
perilakunya, dapat dikatakan individu tersebut mengalami proses akulturasi.
Menurut Robert Redfield, Ralph Linton, dan Melville Herskonts mendefinisikan
akulturasi sebagai suatu fenomena yang terjadi ketika kelompok individu
memiliki budaya yang berbeda dan terlibat secara langsung secara bertahap
disertai dengan adanya perubahan terus-menerus sejalan dengan pola budaya asal

31

dari salah satu kelompok individu atau dari kedua kelompok individu tersebut
(Berry, Poortinga, Segall, Dasen, 1997).
Berry (2005) menjelaskan bahwa akulturasi adalah proses perubahan
budaya dan psikologis yang terjadi sebagai akibat dari kontak antar dua atau lebih
kelompok budaya dan anggota masing-masing budaya, yang menyebabkan adanya
adaptasi psikologi dan sosial budaya dari kelompok-kelompok tersebut.
Pada tahun 2004, The International Organization for Migration (IOM)
mendefinisikan akulturasi adalah suatu proses pengambilan beberapa bagian dari
budaya asing secara progresif (ide, kata-kata, nilai, norma, perilaku, institusi) oleh
individu atau kelompok dari budaya yang lain (Sam dalam Berry & Sam, 2006).
Lebih dari itu, Sam (2006) mendefinisikan akulturasi sebagai proses sosial dan
psikologis yang terjadi dalam tingkat individu dan kelompok yang menghasilkan
suatu perubahan yang terjadi karena adanya kontak dengan budaya yang berbeda.
Perubahan-perubahan tersebut bisa terjadi secara fisik, biologis, budaya,
hubungan sosial, dan psikologis (perilaku dan kesehatan mental).
Proses akulturasi juga dapat menjadi proses ketika adanya peningkat
perubahan hidup dan kesehatan mental yang positif dalam budaya yang lebih
dominan dan dapat menjadi negatif karena individu memiliki sifat menantang
perubahan dan adaptasinya tidak sesuai dengan budaya baru dan harapan sosial.
(Berry dalam Tafoya 2011).

II.B.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akulturasi


II.B.3 Stres Akulturatif

32

Stres akulturatif adalah stressor dan respon stress yang muncul dalam
konteks pertemuan antar budaya ( Ward, et.,al, 2001). Stres akulturatif sering
dikatakan dengan istilah gegar budaya atau culture shock (Berry, 2005). Namun
menurut Berry (2005), istilah stress akulturatif lebih tepat digunakan daripada
culture shock karena dua alasan. Pertama, istilah shock memiliki konotasi
negatif-patologis (seperti distress), sementara stres lebih memiliki dasar teoritis
tentang bagaimana orang menghadapi pengalamani negatif dengan berbagai cara
(eustress-strategy coping). Pada penelitian-penelitian tersebut, individu dianggap
mampu atau memiliki potensi untuk menghadapi stressor dengan efektif dan
mencapai hasil yang bervariasi (adaptasi) mulai dari yang sangat positif sampai
sangat negatif.

II.B.4 Strategi Akulturasi

Terdapat empat strategi akulturasi, yaitu integrase, asimilasi, marjinalisasi,


dan separasi. Keempat strategi akulturasi ini didasarkan dua bentuk sikap
akulturasi yang berbeda, yaitu sikap individu terhadap identitas budayanya, dan
sikap individu terhadap hubungannya dengan masyarakat yang lebih luas atau
masyarakat di luar kelompok (Berry, 2005). Keempat strategi tersebut yaitu:
a. Integrasi.
Integrasi merupakan strategi akulturasi yang diambil seseorang yang
tetap ingin mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya

33

sampai pada tingkat tertentu, tetapi juga tetap berpartisipasi sebagai


bagian dari keseluruhan jaringan masyarakat yang lebih dominan.
b. Asimilasi.
Asimilasi adalah strategi akulturasi yang diambil seseorang yang tidak
ingin mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya, tetapi
lebih menginginkan interaksi dengan kelompok budaya lainnya. Hal
ini menyebabkan individu meninggalkan atau tidak lagi
mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya, dan lebih
berpegang dan mengadopsi budaya yang baru atau budaya yang lebih
dominan.
c. Separasi.
Separasi adalah strategi akulturasi yang diambil individu yang ingin
tetap bepegang teguh pada identitas dan karakteristik budayanya, lebih
menginginkan kontak dan hubungan dengan budayanya sendiri, dan
menghindari interaksi dengan budaya lain.
d. Marjinalisasi
Marjinalisasi adalah strategi akulturasi ketika individu memiliki sedikit
ketertarikan untuk tetap mempertahankan identitas dan karakteristik
budayanya, namun juga memiliki sedikit ketertarikan untuk
berhubungan atau berinteraksi dengan budaya lainnya. Strategi ini
membuat seseorang menjadi terasa terasing dari kedua budaya, baik
pada budaya asalnya maupun budaya yang baru ia kenal.

II.B.5 Psikologi Akulturasi


Graves (dalam Berry, 2005) mendefinisikan konsep psikologi akulturasi
adalah perubahan dalam diri individu yang berpartisipasi dalam situasi kontak

34

budaya, dipengaruhi secara langsung oleh budaya eksternal dan melalui


perubahan budaya dari budaya individu itu sendiri. Ada dua alasan untuk
menciptakan psikologi akulturasi dengan perbedaan tingkat budaya dan psikologi
yang berbeda. Pertama yaitu hal ini dipandang sebagai psikologi lintas budaya
yang memandang bahwa perilaku manusia terjadi karena adanya interaksi dengan
konteks budaya di mana ia tinggal. Alasan kedua yaitu tidak semua individu dapat
masuk dan ikut serta dalam perubahan budaya yang ia hadapi.

II.C

Acculturative Stress Scale for International Students

Acculturative Stress Scale for International Students adalah alat ukur yang
dikonstruksi oleh Daya S. Sandhu dan Badiolah R. Asrabadi (Sandhu & Asrabadi,
1994). Alat ukur ini dikonstruk dengan menggunakan dua strategi. Pertama
dengan mewawancarai tiga belas mahasisiswa internasional mengenai
pengalaman-pengalaman pribadi dan pandangan mereka, yang terdiri dari delapan
pria dan lima wanita. Para mahasiswa internasional terdiri dari dua orang yang
berasal dari Cina, satu dari Mesir, satu dari Etiopia, dua dari Jerman, dua dari
India, satu dari Iran, satu dari Jepang, dua dari Venezuela, dan satu dari
Nikaragua.
Strategi kedua, peneliti alat ukur ini mengidentifikasi tema-tema mengenai
kesulitan penyesuaian diri dengan tingkat face validity yang tinggi dari sejumlah
literature konseling yang berkaitan dengan mahasiswa internasional. Hasilnya
terdapat 125 item yang kemudian dilakukan pilot tested pada 26 mahasiswa

35

internasional dan ditinjau kembali oleh tiga dosen pengajar kelas konseling
multikultural di universitas yang mengetahui isu-isu yang berkaitan dengan
mahasiswa internasional. Setelah itu, beberapa item dieliminasi dan direvisi untuk
menghindari kebingungan, pengulangan, ambiguitas item. Dari proses tersebut
didapatkan 78 item yang kemudian diuji coba kepada 86 pria dan 42 wanita yang
semuanya adalah mahasiswa internasional yang berasal dari Asia, Amerika Latin,
Timur Tengah, Eropa, dan Afrika. Setelah melalui proses uji coba dan prosedur
statistik (korelasi dan analisa faktor), akhirnya alat ukur ini menghasilkan 36 item
dengan 5 poin likert dengan rentang pilihan jawaban dari Sangat Setuju sampai
dengan Sangat Tidak Setuju.
Alat ukur ini mengukur beberapa aspek dalam stress akulturatif, yaitu
homesickness, perceived discrimination, perceived hate/rejection, fear, guilt, dan
stress due to culture shock or change, dan non-specifik. Homesickness merupakan
bentuk perasaan yang mucul dalam diri individu ketika meninggalkan rumah dan
lingkungan tempat tinggal yang sudah sangat dekat dan familiar bagi dirinya,
sehingga muncul perasaan ini dengan ditandai oleh rasa kehilangan orang-orang
terdekat atau significant others, perasaan sendiri atau kesepian, juga keinginan
untuk kembali ke rumah. Thurber (1999) menambahakan bahwa individu yang
mengalami homesickness akan merasakan munculnya pikiran tentang rumah yang
ditinggalkan secara terus menerus, di mana rumah bukan hanya merujuk pada
bangunan fisiknya saja tetapi juga orang-orang yang berada di dalamnya,
termasuk suasana dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan di rumah.

36

Aspek kedua yang diukur dalam alat ukur ini yaitu Stress due to change
merupakan rasa tertekan yang dirasakan individu disebabkan oleh perubahan
lingkungan, seperti perubahan makanan, iklim, bahasa, komunikasi dan tata
krama. Aspek ketiga yaitu stresor perceived discrimination merupakan pandangan
individu bahwa dirinya diperlakukan berbeda atau didiskriminasi oleh orang lain.
Aspek keempat yaitu stresor perceived hate merupakan pandangan individu
bahwa orang lain tidak menyukai dirinya dan menunjukkannya dan
menunjukannya melalui komunikasi verbal maupun non verbal. Aspek kelima
yaitu stressor fear yaitu bentuk perasaan tidak aman yang dimiliki individu karena
memasuki lingkungan baru tidak dikenalnya. Aspek keenam yaitu bentuk
perasaan bersalah dan penyesalan yang dimiliki individu karena telah
meninggalkan kampung halaman dan budayanya untuk menyesuaikan denan
budaya di lingkungan baru. Aspek terakhir dalam alat ukur ini adalah stressor
nonspecific yaitu hal-hal lain yang dapat menyebabkan individu merasa tertekan
seperti perasaan gugup untuk berkomunikasi dengan dialek di lingkungan baru,
merasa terintimidasi untuk berpartisipasi dalam aktifitas-aktifitas sosial, perasaan
rendah diri karena latar belakang budaya, perasaan tidak menjadi bagian dari
lingkungan baru, perasaan sedih karena masalah yang dihadapi orang sedaerahnya
dan perasaan dijauhi karena latar belakang etnis individu.

II.D

KERANGKA PENELITIAN DAN BAGAN KERANGKA


PENELITIAN

37

BAB III
METODE PENELITIAN

III. A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif.


Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan situasi, problem dan
fenomena secara sistematis serta menyediakan informasi mengenai kondisi suatu
kelompok (Kumar, 1999). Khususnya dalam penelitian ini yaitu proses akulturasi
mahasiswa Tana Toraja ketika menghadapi stres akulturatif dan menyesuaikan diri
dengan budaya baru yang mereka temukan di Jakarta maupun di Yogyakarta.
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif dan kuantitatif. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggali gambaran
stress akulturatif mahasiswa Tana Toraja, ketika mereka migrasi untuk kuliah ke
Jakarta dan Jogyakarta dengan menggunakan kuisioner. Setelah itu, peneliti
melengkapinya dengan menggali dan menggambarkan secara lebih mendalam
stress akulturatif yang mereka alami, faktor-faktor yang menyebabkan mereka
mengalami stres akulturasi, dampak yang mereka alami, dan usaha mereka dalam

38

menyusun strategi untuk bisa coping terhadap proses akulturasi yang mereka
alami.

III.B. SAMPEL PENELITIAN

III. B.1. Karakteristik Subjek Penelitian


Pada penelitian ini, peneliti akan mengambil mahasiswa dan mahasiswi
yang berasal dari Tana Toraja. Saat ini mereka sedang kuliah di Jakarta dan
Yogyakarta yang berusia 18-25 tahun (emerging adulthood), asli suku toraja,
sebelumnya belum pernah berdomisili di Jakarta dan Yogyakarta dan sudah
menempuh pendidikan 12 tahun di Tana Toraja. Mahasiswa dan mahasiswi Toraja
yang sudah menempuh kuliah enam bulan atau lebih di Jakarta maupun di
Yogyakarta.

III. B. 2. Teknik Pemilihan Subjek

Peneliti akan mengambil data dengan menentukan subjek penelitian sesuai


dengan kriteria yang sudah ada, sehingga peneliti memilih non-random /
probability sampling designs, khususnya teknik snowball sampling. Teknik
snowball sampling adalah teknik penentuan sampel dari jumlah yang semula
kecil dan kemudian terus membesar (Noor, 2011). Metode ini dipilih karena dapat
memudahkan peneliti mengumpulkan data yang lain, karena peneliti akan
mengambil data dari seorang individu dalam suatu kelompok atau organisasi yang

39

sama yang sudah dipilih. Kemudian peneliti akan meminta informasi selanjutnya
dari individu tersebut untuk mengumpulkan data dari individu lain yang masih
berada dalam kelompok yang sama (Kumar, 1999).

III. B. 3. Jumlah Subjek

Dalam menentukan jumlah subjek, peneliti akan memilih subjek juga


berdasarkan umur, jenis kelamin dan lamanya ia tinggal di Jakarta dan
Yogyakarta. Oleh karena penelitian ini akan berlangsung di dua kota yang
berbeda, maka peneliti akan mengambil subjek dengan minimal jumlah subjek
adalah empat orang. Dua orang mahasiswa Toraja yang kuliah di Jakarta dan dua
orang mahasiswa Toraja yang kuliah di Yogyakarta. Jumlah subjek ini masih bisa
berubah, karena masih mempertimbangkan lama waktu kuliah dan jenis kelamin
para mahasiswa Toraja tersebut.

III. C. TEKNIK PENGAMBILAN DATA

Dalam mengambil data penelitian ini, peneliti menggunakan tiga macam


metode kualitatif yaitu wawancara, observasi, dan pengumpulan data sekunder.
Dalam teknik wawancara peneliti ingin memperoleh pengetahuan tentang maknamakna subjektif yang berkenaan dengan topik yang diteliti dan memudahkan
untuk melakukan eksplorasi terhadap topik stress akulturatif terhadap penyesuaian
diri mahasiswa Toraja yang kuliah di Jakarta dan Yogyakara.

40

Selain itu peneliti akan menggunakan pendekatan wawancara dengan


pedoman standar yang terbuka. Menurut Paton (1990, dalam Poerwandari, 1998),
wawancara dengan pedoman standar yang terbuka, merupakan wawancara dengan
pedoman wawancara yang ditulis secara rinci, lengkap dengan set pertanyaan dan
penjabarannya yang lengkap dalam kalimat. Keluwesan dalam mendalami
jawaban subjek, tergantung pada sifat wawancara dan keterampilan peneliti dalam
wawancara.
Bentuk metode yang kedua adalah observasi. Peneliti menggunakan teknik
observasi dalam pengambilan data dalam proses pengamatan secara tertutup atau
terbuka. Selain itu, peneliti ingin mengamati dan mendiskripsikan aktivitasaktivitas yang berlangsung dan kejadian yang terjadi pada diri subjek. Dengan
menggunakan observasi, dapat membantu peneliti dalam melengkapi dan
memperoleh data yang tidak diungkapkan subjek secara terbuka saat wawancara
(Poerwandari, 1998).
Bentuk metode yang ketiga adalah pengumpulan data sekunder. Dalam
penelitian ini, peneliti tidak hanya menggunakan wawancara dan observasi
sebagai metode pengambilan data, tetapi dengan melakukan penelitian secara
tidak langsung untuk memperoleh data melalui media perantara seperti mencari,
membuka dan mengambil data pada sumber-sumber ilmiah yang ada di internet
maupun di perpustakaan yang masih berhubungan topik penelitian.

41

DAFTAR PUSTAKA
Adam, Ginda. (2007). Gambaran Stres Akulturatif pada Mahasiswa Daerah yang
Kuliah di Jakarta. Skripsi Sarjana, tidak diterbitkan. Universitas Katolik
Indonesia Atma Jaya, Jakarta.
Adler, Jeremy. (2008). College Adjustment in University of Michigan Students
with Crohns and Colitis. Inamm Bowel Dis. 14(9), 1281-1286.
Apa Itu Culture Shock dan Bagaimana Cara Mengatasinya?. (t.th). Diakses pada 6
Agustus 2014 dari hotcourses.co.id
Bararuallo, Frans. (2010). Kebudayaan Toraja. Jakarta : UNIKA Atma Jaya
Berry, John. (2005). Acculturation : Living Successfully in Two Culture.
International Journal of Intercultural Relations, 29, 697-712.
Harjanto. (2012, 15 Januari). Pentingnya Pendidikan Bagi Kehidupan. Diakses
pada 4 Agustus 2014 dari belajarpsikologi.com

Haryanto. 2012, 15 Januari. Pentingnya Pendidikan Bagi


Kehidupan. Diakses pada 1 Oktober 2014 dari
belajarpsikologi.com

42

Hurlock, Elizabeth. (1980). Psikologi Perkembangan. (Istiwidayanti &


Soedjarwo. Ter.). Jakarta : Erlangga
Indonesia: A Multicultural Melting Pot of Peoples and Cultures. (2012).
Diaksees pada 1 Oktober 2014 dari meltingpotinternational.com
Kilas Balik Dunia Pendidikan di Indonesia. (t.th). Diakses pada 25 Oktober 2014
dari prestasi-iief.org
Kumar, Ranjit. (1999). Research Methodology. London: SAGE Publication.
Leon, Alberto. (2014). Immigration and Stress: The Relationship Between Parents'
Acculturative Stress and Young Children's Anxiety Symptoms. Diakses
pada 1 Oktober 2014 dari studentpulse.com
Metropolitan. (t.th). Diakses pada 6 Agustus 2014 dari jakarta.go.id
Masyarakat DKI Jakarta Cenderung Individualis. (2014, 17 November). Diakses
pada 17 November 2014 dari pelita.or.id
Noor, J. (2011). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya
Ilmiah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nugraha, Angga. (2014, 8 Agustus ). Akses Bagus Tapi Kualitas Pendidikan
Indonesia Buruk. Diakses pada 26 Oktober 2014 dari tribunnews.com
Parapak, Jonathan. (2010). Transformasi Budaya Toraja Tantangan dan Peluang.
Dalam Michael Andin (Ed.). Perantau Toraja Bersama Membangun
Toraja. (hlm. 1-5). Jakarta: PAPT

43

Patton, Michael Quinn. (2002). Qualitative Research & Evaluation Methods 3th
ed. London: Sage Publication
Poerwandari, E. Kristi. (1998). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitain Psikologi.
Jakarta: LPSP3 UI.

Ramdhani & Ardiyanti. (2012). The History of Yogyakarta, an Education City.


International Proceedings of Economis Development and Research, 58,
21-24.

Rantetana, Marcellus. (2010). Budaya Toraja di Persimpangan Jalan. Dalam


Michael Andin (Ed.). Perantau Toraja Bersama Membangun Toraja. (hlm.
59-66). Jakarta : PAPT

Rasyid, Hilman.(2012, 25 April). Menanggulangi Ketidakmerataan Pendidikan.


Diakses pada 25 Oktober 2014 dari /bem.rema.upi.edu

Rikidaniel, Aditya. (2006). Hubungan Antara Tingkat Intercultural Sensitivity


dengan Tingkat

Keberhasilan Penyesuaian Diri pada Mahasiswa

Indonesia yang Belajar di Australia. Skripsi Sarjana, tidak diterbitkan.


Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.
Salama, Samuel. (2011). Psycosocial Predictor of Adjustment Among Fisrt Year
College of

Education Students. David Publishing, 2, 239-248.

Santrock, John. (2008). Life-Span Development ed. 12nd. New York: McGraw Hill.

44

Tana Toraja Culture Social Life. (t.th). Diakses pada 29 Oktober 2014 dari
sulawesi-experience.com
Tujuan Pendidikan Nasional. (2012). Diakses pada 14 Agustus 2014 dari
belajarpsikologi.com
Upacara Adat Rambu Solo' (Upacara Pemakaman) Toraja. (2013, 6 November).
Diakses pada 2 Juli 2014 dari hasanuddin-airport.co.id
Winny, Teresa. (2012). Gambaran Pengaruh Stres Akulturatif Terhadap
Penyesuaian Diri

Mahasiswa UNIKA Atma Jaya yang Berasal dari

Luar Jawa. Skripsi Sarjana, tidak

diterbitkan. Universitas Katolik

Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Vazquez, Enedina. (1995). Acculturation and Academics: Effects


of Acculturation on Reading Achievement Among Mexican
American Students. The Bilingual Research Journal, 19(2),
305-315

Shiraev, Eric & Levy, David. (2012). Psikologi Lintas Kultural Edisi
Keempat. Jakarta : Kencana

Sejarah Jakarta: Masa Pra-Kolonial, Masa Kolonial, Kemerdekaan dan Indonesia


Saat ini. (2013). Diambil dari jakarta-tourism.go.id pada 7 Agustus 2015
Suku Betawi. (2013). Diambil dari jakarta.go.id pada 7 Agustus 2015

45

Sejarah Singkat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. (2009,23 April). Diakses


pada 7 Agustus 2015 dari pendidikan-diy.go.id

46

Anda mungkin juga menyukai