Anda di halaman 1dari 4

PRIVATE GOODS

H. Sri Sulistyanto1

Kajian yang pernah dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum di beberapa daerah


menunjukkan betapa menariknya bisnis pengelolaan sampah. Termasuk iming-iming
keuntungan finansialnya. Yang, konon, tidak kalah dibandingkan dengan jenis usaha
lainnya.
Namun demikian, anehnya, sampai saat ini jarang pengusaha yang mau terjun
menggeluti sampah. Kalau pun ada paling dalam skala terbatas. Seperti mengolah limbah
plastik dan kertas menjadi kerajinan tangan (handycraft). Atau sampah organik jadi
kompos.

Kontradiktif
Belum ada yang mau mengelola sampah, organik maupun non organik, secara
komprehensif dari hulu sampai hilir. Mulai dari mengumpulkan, mengangkut, memilah,
mengolah, sampai memasarkan dan mendistribusikan berbagai berbagai produk daur
ulangnya.

1 Dosen Fakultas Ekonomi Unika Soegijapranata Semarang. HP. 081 2295 8524.
1

Padahal return yang dijanjikan, menurut beberapa analisis, cukup tinggi. Dengan
payback period yang relatif pendek pula. Selain jaminan pasokan bahan baku yang
melimpah dan berkesinambungan. Yogya, misalnya, sampahnya mencapai 134 ribu ton per
tahun.
Karenanya, dengan keunggulan seperti itu, cukup mengherankan jika tidak ada
orang mau total menggeluti sampah. Padahal UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah memberi kesempatan pada semua orang berperan secara aktif mengelola limbah
itu.
Ini beda dengan dulu ketika aspek legalitas selalu jadi kendala bagi perorangan atau
usaha swasta yang ingin menggeluti sampah. Karena pengelolaan sampah dianggap
sebagai bagian dari pelayanan yang harus diberikan negara kepada masyarakat (public
service).
Lalu, mengapa sampah masih saja jadi sumber masalah? Sulit menjawabnya. Meski
semua acap mengerucut pada sikap pemerintah yang cenderung masih mengganggap
layanan sampah sebagai public goods. Sehingga semua iuran sampah pun harus masuk ke
kantongnya.
Sebagai contoh adalah pengelola sampah komunal di Medan yang merasa heran
ketika ditagih retribusi oleh aparat pemkot setempat, yang merasa berhak atas sebagian
uang jasa yang diterima komunitas itu. Padahal pemkot tidak membantu mereka sedikitpun
juga.
Contoh lain adalah bubarnya Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) pengelolaan
sampah hulu-hilir di Batam. Karena pemerintah setempat dinilai kurang membantu
perusahaan pengelola sampah itu. Bahkan ada yang menganggap menggerogoti perusahaan
tersebut.

Atau, lain lagi, sikap aparat di satu daerah yang keukeh jika retribusi sampah hanya
bisa dipungut oleh pemerintah. Padahal mestinya sebaliknya. Dengan smart berusaha
mencari solusi agar pungutan jasa layanan sampah oleh usaha swasta tidak menyalahi
aturan.
Barangkali masih banyak contoh lain. Tapi yang jelas semua itu kontradiktif
dengan UU yang menegaskan bahwa pemerintah wajib memfasilitasi semua pihak yang
melakukan pengurangan sampah. Bahkan, bila perlu, memberi insentif. Bukan malah
menghambat.
Alasannya, diakui atau tidak, selama ini pemerintah sudah gagal menangani
sampah. Bahkan di banyak tempat malah mengubahnya menjadi sumber bencana. Seperti
di Leuwigajah Bogor. Atau pemicu konflik antar daerah tetangga. Seperti Jakarta dan
Bogor.
Padahal, di banyak negara, sampah berhasil tertangani dengan baik. Bahkan bisa
dikelola laiknya private goods. Oleh lembaga profesional, yang bisa memberikan
pelayanan istimewa pada masyarakat. Bukan oleh instansi pemerintah yang kaku dan
birokratis.
Karena, bagaimanapun, core competency pemerintah memang pada fungsi
regulator dan monitoring. Sehingga tidak perlu banyak terlibat secara langsung mengurusi
sesuatu yang bisa diserahkan pada pihak lain yang lebih kompeten. Apalagi urusan
sampah.
Betapa tidak, selama ini pemerintah seperti menyelesaikan masalah dengan
masalah ketika menangani sampah. Lihat saja, di mana-mana sampah hanya ditimbun
(landfill) di TPA. Padahal itu pilihan paling primitif dalam menyelesaikan masalah
sampah.

Catatan Penutup
Oleh sebab itu, sejalan dengan semangat UU No. 18 Tahun 2008, pemerintah
mestinya harus mulai berani melepas bajunya sebagai penyelenggara semua bentuk
layanan masyarakat. Apalagi jika itu membutuhkan sense of business. Seperti pengelolaan
sampah.
Karena memang sudah bukan jamannya lagi layanan pengelolaan sampah dianggap
sebagai public goods. Kecuali pemerintah ingin tetap seperti saat ini. Sampah identik
sebagai biangnya kotor, sarang penyakit, dan sumber bencana. Bahkan potensi konflik.
Mau?

Anda mungkin juga menyukai