Anda di halaman 1dari 19

BAB 22.

SKOLIOSIS KONGENITAL
PAUL D. SPONSELLER, MD
BEVERLIE L. TING, MD

Skoliosis kongenital adalah suatu deformitas tiga dimensional progresif yang


menyerang tulang belakang atau spine dan disebabkan karena adanya anomali kongenital
pada vertebra sehingga membuat ketidakseimbangan pertumbuhan longitudinal tulang
belakang. Untuk memahami riwayat alami dan penatalaksanaannya, sangat penting untuk
lebih dahulu mengerti tentang perkembangan embriologi vertebra.
EMBRIOLOGI
Mesoderm paraxial pada salah satu sisi notokorda berkondensasi membentuk somite,
dalam suatu proses yang kita sebut somitogenesis. Tiap-tiap somite kemudian dibagi ke
dalam sklerotome ventral dan dermomiotom dorsolateral. Selama minggu ke-4 masa
perkembangan, sel-sel pada regio sklerotom dari somite dari tiap sisi tubuh bermigrasi ke
ventral dan mengelilingi notokorda dan neural tube. Setiap vertebra dibentuk oleh sel-sel
sklerotom dari dua level somite (Gambar 22-1). Bagian kranial dan kaudal dari sklerotome
tambahan, yang masih belum terosifikasi, saling melakukan fusi. [1] Bagian ventral dari tiap
vertebra membentuk badan yang melapisi notokorda, dan bagian dorsal membentuk prosesus
kosta di lateralnya dan arkus vertebra di dorsalnya.

Gambar
22-1.

Proses osifikasi dimulai selama minggu ke-6 dari tiga pusat osifikasi primer: satu
pada corpus/ centrum (dibentuk oleh fusi dini dari dua pusat), dan satu pada tiap sisi arkus
vertebra. Selama minggu ke-6 masa perkembangan, sel-sel mesenkimal antara bagian kranial
dan kaudal dari sklerotome mengisi ruang antara dua korpus vertebra untuk berkontribusi
membentuk formasi struktur intervertebra. [2] Hingga stadium ini kita namakan stadium
segmentasi.
Somitogenesis bergantung pada jalur sinyal Notch (the Notch Signaling Pathway) dan
interaksinya dengan sinyal FGF dan Wnt; namun demikian mekanisme persisnya masih
belum jelas. [3-5] Mutasi terhadap komponen-komponen di bawahnya dann target dari Notch
signaling pathway, seperti Dll3, Mesp2, dan Lfng, menghasilkan perkembangan vertebra
abnormal pada model tikus dan dikaitkan dengan karakteristik defek vertebra yang nampak
pada disostosis spondilokostal. [3-7] Bukti penelitian terbaru lainnya terhadap model vertebra
hewan dan stem sel manusia telah mengungkap sifat osilasi dari ekspresi gen mesoderm
paraksial selama somitogenesis. [3,8,9] Penemuan-penemuan ini mendukung konsep yang
menyatakan bahwa dugaan jam segmentasi memicu ekspresi siklik dari gen-gen pada jalur
sinyal notch, FGF, dan Wnt dan hal ini sangat esensial untuk perkembangan vertebra normal.

Gambar 222. Vertebra


pincang

KLASIFIKASI
Dua tipe anomali vertebra dasar yang dapat terjadi: kegagalan proses formasi dan
kegagalan proses segmentasi. [10]

Kegagalan Proses Formasi (Failures Of Formation)


Kegagalan formasi vertebra (deformitas tipe I) bisa saja terjadi parsial, sehingga
menyebabkan vertebra pincang (wedge vertebra) dengan pedikel unilateral (Gambar 22-2)
atau deformitas komplet, menyebabkan suatu hemivertebra dengan pedikel unilateral
(Gambar

22-3).

Hemivertebra

diklasifikasi

berdasarkan

potensial

pertumbuhan

longitudinalnya, yang mana pada vertebra normal disokong oleh pertumbuhan apofisis pada
kedua ujung vertebra.

Hemivertebra segmental: baik ujung superior dan inferior hemivertebra telah

secara potensial bertumbuh. Bentuk dari vertebra yang berdekatan normal.


Hemivertebra semisegmental: salah satu dari ujung superior atau inferior hemi
vertebra telah secara potensial bertumbuh. Ujung lainnya mengadakan fusi

dengan vertebra di dekatnya.


Hemivertebra inkarserata: baik ujung superior maupun inferior hemivertebra
telah secara potensial bertumbuh, tetapi vertebra disekitarnya mengadakan

kompensasi. Hemivertebra seakan tercetak dalam vertebra sebelahnya.


Hemivertebra non segmentasi: tidak terdapat pertumbuhan yang potensial.
Hemivertebra secara komplet mengadakan fusi dengan vertebra di atas dan di
bawahnya.

Gambar 223.
Hemivertebr
a

Kegagalan Segmentation (Failure Of Segmentation)


Kegagalan segementasi (deformitas tipe II) dapat terjadi parsial, membentuk semacam
batang (Bar) (Gambar 22-4) atau terjadi komplet menyebabkan blok vertebra. Bar kongenital
dapat terjadi di anterior, posterior, lateral, atau gabungan. Pada banyak kasus, anomali
vertebra diakibatkan karena kegagalan formasi dan kehadiran kegagalan segmentasi, [11]
kadang-kadang pada beberapa tingkat, dan membentuk deformitas capuran (deformitas tipe
III).
Anomali-Anomali Yang Berkaitan
Perkembangan embriologi tulang belakang berbarengan dengan perkembangan
banyak sistem organ lainnya. Tidak jarang mendapatkan anomali-anomali yang berkaitan
dengan defisiensi vertebra. Anomali-anomali ini muncul pada 30-60% anak dengan anomali
spinal kongenital. [11-13] Anomali yang paling umum terjadi yang melibatkan medulla
spinalis dan traktus genitourinaria. Anomali intraspinal meliputi berbagai masalah seperti
korda yang tertambat/ tersumbat, diastematomielia, dan siringomielia. Defek genitourinaria
yang paling umum terjadi adalah agenesis renalis, ginjal ektopik, duplikasi dan refluks.

Gambar 224. Bar


unilateral

Kebanyakan dari anomali ini adalah bagian dari asosiasi VATER. Akronim VATER
[14] mencakup serangkaian defisiensi: defek vertebra (V), atresia anal (A), fistula
trakeoesofageal (TE), reduksi tungkai radial dan defek renal (R). Akronim VATER ini
dimodifikasi pada tahun 1975 [15] menjadi VACTERL dengan menambahkan defek kardiak
(C) dan defek tungkai/limb (L). (Gambar 22-5)
Anomali vertebra kongenital juga ditemukan dengan insidensi sindrom Klippel-Feil
yang tinggi [16-17] dimana memiliki karakteristik yaitu, kombinasi fusi servikal, ROM leher
yang terbatas, leher pendek, dan garis batas rambut yang rendah. Baru-baru ini, skoliosis
kongenital telah dihubungkan dengan

deformitas Sprengel, sindrom Mayer-Rokitansky-

Kuster-Hauser, sindrom Jarcho-Levin, sindrom Goldenhar, dan sindrom Genoa.


ETIOLOGI
Skoliosis kongenital merupakan suatu kelainan yang tidak umum pada populasi.
Insiden sebenarnya belum diketahui, tetapi insiden familial terhadap populasi skoliosis
kongenital berkisar 1-5%. [13,22-24] Sepertinya lebih umum terjadi pada anak perempuan
dibanding laki-laki, dengan ratio 3:2.

Gambar 22-5. Skoliosis kongenital


dengan penyerta VACTERL yang
diobeservasi sejak lahir. A dan B, kurva
thoracic kanan dan kurva lumbar
kompensatorik masih relatif tidak berubah
sejak lahir hingga usua 1 tahun (A) dan
usia 8 tahun (B)

Etiologi pasti skoliosis kongenital masih belum jelas. Walaupun sebagian besar kasus
terlihat sporadik, berbeda dibandingkan skoliosis idiopatik, [25] peranan genetik dan faktor
lingkungan sering dilaporkan bermakna. [6,26,27] Peran genetik pernah dilaporkan pada

kasus skoliosis kongenital pada anak kembar, [28-30] tetapi, baru-baru ini, beberapa
penelitian telah mengisolasi adanya mutasi gen. [25,27,31]
Faktor lingkungan juga berimplikasi terhadap perkembangan skoliosis kongenital.
Paparan karbonmonoksida akut pada maternal selama formasi somite menginduksi anomali
vertebra pada model coba keturunan tikus dan kelinci. [26,32] Mekanisme aksi karbon
monoksida masih buram. Karbon monoksida dapat bereaksi secara langsung dengan kartilago
tulang belakang dengan cara membuat hipoksia atau mutasi genetik.[26] Teori-teori berkaitan
dengan etiologi masih diragukan lebih lanjut dengan ditemukannya peningkatan insiden
skoliosis idiopatik dalam keluarga dengan skoliosis kongenital.
RIWAYAT ALAMI
Setelah skoliosis terjadi terlepas dari etiologinya, skoliosis kongenital akan
mengalami progresi pada 70% pasien selama masa pertumbuhan. Kecenderungan terhadap
peningkatan kurvatur dikaitkan dengan ketidakseimbangan jumlah pertumbuhan apofisis dan
lokasi dari anomali vertebra itu sendiri. [33] Tanpa dilakukan penanganan, sekitar 85% pasien
dengan skoliosis kongenital akan memiliki kurvatur lebih dari 41 derajat dengan maturitas.
[33] Kurva dengan hermivertebra segmentasi merupakan risiko untuk terjadinya progresi
selama masa pertumbuhan karena hemivertebra segmental bertindak sebagai yang
memperbesar ketimpangan (Gambar 22-6). Anomali yang paling progresif adalah
hemivertebra segmental konveks yang dikaitkan dengan bar unilateral konkaf, karena pasti
tidak terdapat pertumbuhan potensial ke sisi barnya. Sebaliknya, vertebra pincang (wedge
vertebra) hanya memiliki sedikit risiko perburukan, sedangkan blok komplet atau
hemivertebra inkarserata tidak menyebabkan skloliosis progresif apapun.

Gambar 22-6. Hemivertebra mengganggu tulang belakang terhadap


kurvanya. Terdapat dua pertumbuhan apofisis pada sisi hemivertebra dan
ada satu pada sisi lain, menyebabkan perburukan selama masa
pertumbuhan.

Lokasi anomali juga memainkan peran dalam evolusi skoliosis. Anomali yang paling
berat adalah anomali yang berlokasi pada regio thorakolumbar, sedangkan kurang berat
berlokasi pada regio thorakal bagian atas.
Riwayat alami skoliosis kongenital harus mencakup faktor-faktor berikut:

Tipe anomali
Lokasi
Jumlah anomali
Keparahan skoliosis inisial
Keseimbangan potensial pertumbuhan global antara tiap sisi tulang

belakang
Analisis terhadap faktor-faktor tersebut memudahkan seseorang untuk menentukan
kecenderungan untuk progresi kurvatur dan terapi yang paling tepat.

Gambar 22-7. A dan B, Lebih mudah untuk menganalisa suatu hemivertebra


segmental (A) atau bar unilateral (B) ketika film diambil sebelum usia 4 tahun
dibanding setelahnya. C, hemivertebra segmental lumbar pada anak usia 9 tahun

Aktivitas terbaru lain telah berfokus pada peranan tulang belakang dan dinding dada
terhadap perkembangan paru, yang mana predominan muncul pada usia 5 tahun. Defek
kongenital pada perkembangan tulang iga dan vertebra sering muncul bersamaan. Gabungan
skoliosis dan fusi iga dapat menekan thoraks dan menghambat perkembangan pulmonal.
Ketidakmampuan thoraks untuk mendukung proses respirasi normal dikenal dengan istilah
thoracic insufficiency syndrome.[34]
Thoracic insufficiency syndrome dapat dinilai secara klinik melalui laju respirasi dan
thumb excursion test dan juga secara radiologis dengan foto polos dan CT-scan volumentrik.
Penyatuan/fusi dini dari deformitas skoliosis sebelum usia 9 tahun, khususnya pada pasien
yang memerlukan lebih dari 4 level fusi dan pasein dengan fusi proksimal, juga menjadikan
pasien ini masuk ke dalam risiko berkembang menjadi penyakit paru restriktif. [35]
Peningkatan kewaspadaan terhadap upaya mempertahankan fungsi paru telah menyababkan
lonjakan dalam menciptakan teknik operasi yang menjaga pertumbuhan pada skoliosis
kongenital multilevel kompleks.
DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pasien dengan skoliosis kongenital dituntun dengan pengetahuan


akan tingginya insidensi anomali neural dan struktural lain. Pemeriksaan sebaiknya dimulai
dengan penilaian keseimbangan pasien: keseimbangan bidang sagital dan koronal,
malalignment bahu, dan ada atau tidaknya deviasi pada kaput dan trunkus dari tengah pelvis.
Di samping itu, sangatlah penting untuk menilai dan mendokumentasikan status neurologis,
meliputi kekuatan, refleks, dan adanya atrofi-atrofi. Fleksibilitas dari suatu deformitas, gait
atau gaya berjalan, dan ketimpangan panjang tungkai (Limb-Length Inequality) harus
diperiksa. Nyeri, jika ada, harus dilokalisasi dan dikuantifikasi. Adanya
dimple atau berbagai bercak kutaneus pada punggung harus dicatat.
Pemeriksa wajib mencari anomali lain pada ekstremitas (khususnya
malformasi radial) dan jangkauan pergerakan leher.
Pemeriksaan Pencitraan
Radiografi Polos
Pada pasien dengan skoliosis kongenital, pemeriksaan foto polos
dini akan membantu menentukan tipe abnormalitas vertebra. Periode
terbaik untuk mengategorisasikan deformitas adalah sebelum usia 4
tahun. Jika pasien baru dilihat oleh ahli bedah ortopedi setelah usia
tersebut, informasi berharga kadang-kadang dapat diperoleh dengan
memeriksa pertama-tama foto thoraks dan abdomen atau ginjal. Ahli
bedah tulang belakang belajar untuk memeriksa petanda-petanda halus,
seperti kehadiran dan ruang pedikel dan fusi atau absennya tulang rusuk.
Pemeriksaan foto setelahnya akan menimbulkan kesulitan dalam menilai
tipe anomalli karena vertebranya sudah terlalu terosifikasi, khususnya di
area fusi atau bar (Gambar 22-7).
Foto

anteroposterior

dan

lateral

memudahkan

kita

dalam

memeriksa tipe dan lokasi dari defisiensi, mengukur kurvatura tulang


belakang, dan untuk menilai lebarnya pedikel. Pengukuran kurvatura
sesuai dengan metode Cobb [36] dapat menjadi sebuah tantangan
tersendiri, [37]

Telah terbukti bahwa

terdapat peningkatan kesalahan

pengukuran [38] terhadap skoliosis kongenital akibat landmark vertebra


yang irreguler dan kesulitan membuat penomeran. Penting untuk selalu
membandingkan
mengandalkan

foto

terbaru

pengukuran

dengan

kurvatura.

foto

originalnya,

Penilaian

evolusi

daripada

kurva

dan

perkembangan kurva terkompensasi membantu mengonfirmasi atau


menyangkal adanya progresi skoliosis. Karena kurva terkompensasi
melibatkan bentuk normal vertebra, sehingga lebih mudah diukur. Jika
suatu kurva terkompensasi tidak berprogresi, kecil kemungkinan untuk
terjadinya progresi yang signifikan pada skoliosis kongenital.
CT-SCAN
CT-scan dengan rekonstruksi 3 dimensi dapat digunakan untk
mengidentifikasi

abnormalitas

pada

kasus

kompleks

yang

dengan

radiografi standar sering sulit untuk diinterpretasikan. [39] CT-scan juga


dapat membantu mem-visualisasi deformitas spinal yang biasanya
dikaburkan oleh struktur yang tumpang tindih pada radiografi polos.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Anomali intraspinal sering dihubungkan dengan skoliosis kongenital, tetapi insidensi
mereka bervariasi. Sebelum diperkenalkannya MRI, mielografi dan CT-scan merupakan
prosedur pilihan, dan insidensi anomali intraspinal dalam konteks ini bervariasi secara luas
dari 5-58%. [17,40] Kehadiran MRI telah menuntun kita untuk lebih akurat dalam
menemukan anomali intraspinal dalam 30-41% kasus. [41-43] Anomali yang paling umum
yang pernah dilaporkan adalah tetherted cord (korda spinalis yang tertambat), siringomelia,
dan diastematomielia.
Walaupun MRI sering dipakai pada kasus dengan kurva yang tidak biasa atau kasus
pemeriksaan neurologik yang abnormal pada skoliosis idiopatik, namun cukup berasalasan
jika ingin melakukan MRI secara sistematis pada skoliosis kongential karena dua faktor
berikut:
1. Anomali intraspinal ditemukan pada sepertiga skoliosis kongenital, dan beberapa dari
mereka membutuhkan prosedur neurologikal. Beberapa dari anomali ini memerlukan
tatalaksana tersendiri (misalnya syrinx besar), sedangkan yang lainnya perlu dirujuk
untuk perencanaan bedah ortopedi korektif (misalnya diastematomielia)
2. Tidak ada korelasi yang jelas antara manifestasi neurologik yang terdeteksi dengan
penemuan MRI. [43]
Dalam prakteknya, tidak ada urgensi dalam melakukan MRI setelah

skoliosis

kongenital terdiagnosis, khususnya mengenai perlunya anestesia umum pada anak anak.
Kelihatannya lebih tepat melakukan MRI pada pasien dengan pemeriksaan neurologik

abnormal, pasien dengan perburukan skoliosis walaupun pemeriksaan fisiknya normal, atau
pasien yang dipertimbangkan melakukan prosedur operasi.
Yang terakhir, penilaian sistem genitourinaria berguna pada waktu diagnosis dini
anomali vertebra kongenital. Penilaian ini dapat menunjukkan secara akurat dengan bantuan
ultrasonografi ginjal. Seringkali, MRI tulang belakang juga menunjukkan kehadiran atau
ketidakhadiran anomali ginjal.[44] Konsultasi lebih lanjut disarankan berdasarkan hassil dari
penelitian ini.
PENATALAKSANAAN
Tatalaksana Non-Operatif
Anomali vertebra kongenital memerlukan monitor klinis yang ketat selama interval
periode pertumbuhan. Obser vasi yang konsisten memudahkan kita dalam menilai evolusi
dari kurva spinal. Pada malformasi kompleks, tatalaksana lebih awal sering lebih lancar dan
aman.
Berbeda dengan skoliosis idiopatik, tatalaksana non-operatif memiliki nilai yang kecil
dalam skoliosis kongenital. Satu-satunya tatalaksana yang berguna adalah bracing pada
komponen non-kongenital dari kurva fleksibel. Pada sebagian kecil kasus dengan kurva yang
panjang dan fleksibel, progresi skoliosis dapat menjadi lambat dengan bracing. Kurva spinal
pada skoliosis kongenital seringkali pendek dan kaku. Memberikan periode waktu tambahan
yang signifikan sebelum maturitas skeletal, pemakaian bracing tidak lebih sebagai solusi
penundaan perburukan. Tatalaksana skoliosis kongenital mencakup dua pilihan: 1) monitor
klinis terhadap anomali vertebra statis, dan 2) tatalaksana operatif pada perburukan skoliosis.
Tatalaksana operatif
Skoliosis kongenital berkembang oleh karena satu sisi tulang belakang tumbuh lebih
cepat dibandingkan yang lainnya. Prinsip utama tatalaksana operatif adalah pertumbuhan
yang seimbang, dengan atau tanpa reduksi deformitas. Lima besar operasi dideskripsikan
berikut ini: fusi tulang belakang posterior, kombinasi fusi tulang belakang anterior dan
posterior, hemiepifisiodesis konveks, eksisi hemivertebra, dan penuntun pertumbuhan dengan
VEPTR (vertical expandable prosthetic titanium rib) atau batang pertumbuhan
(growing rods).
Posterior Spine Fusion (Fusi Tulang Belakang Posterior)
Fusi in situ posterior merupakan teknik yang paling sederhana dan
paling aman (Gambar 22-8)

Penampakan operasi yang sederhana ini

bagaimanpun harus dilakukan dengan kewaspadaan, karena kegagalan


dalam mengetahui defek laminar posterior dapat menyebabkan kerusakan
neurologis.

Pemeriksaan

pencitraan

bermanfaat

sebelum

operasi

dilakukan dikarenakan area yang anomali sulit untuk kita lokalisir. Setelah
eksposur pada elemen posterior, regio target lalu dikonfirmasi ulang
dengan radiografi karena hemivertebra atau bar yang

yang terlihat

dibagian depan mungkin tidak sesuai dengan elemen posteriornya. Fusi


harus mencakup semua vertebra yang terlibat di dalam kurva kongentital
dan menjangkau hingga ke lateral prosesus transversus. Bidai postoperatif atau bracing yang kaku diperlukan selama 4 hingga 6 bulan untuk
mencapai fusi yang baik dan koreksi kurva.

Gambar 22-8. A dan B, skoliosis kongenital berat terukur 120 derajat pada anak perempuan usia 15
tahun. C dan D, pasien yang menjalani fusi spinal posterior dengan instrumentasi, reseksi kolumna
vertebra, dan discektomi multipel.

Dengan teknik ini, masalah-masalah yang mungkin timbul adalah


sebagai berikut:
Karena spina anterior masih intak, maka pertumbuhan spinal anterior
masih berjalan. Pertumbuhan aktif ini dapat menyebabkan peningkatan
deformitas rotasional pada daerah ikatan fusi, dikenal dengan istilah
fenomena crankshaft. Faktor-faktor risiko menliputi: usia yang masih
muda saat operasi dan kurva yang besar pada waktu arthrodesis. Suatu
pengkajian pada 54 pasien dengan skoliosis kongenital melaporkan 15%

insiden crankshaft pada pasien yang menjalani

fusi spinal posterior

sebelum usia 10 tahun dan ditemukan korelasi positif terhadap tindkan

operasi dini dengan kurva lebih dari 50 derajat. [45]


Terdapat risiko pemanjangan yang tidak diinginkan akibat fusi (akibat
kesulitan lokalisasi dan anomali yang pendek).
Untuk menghindari pseudoarthrosis dan untuk memperoleh koreksi
intraoperatif yang lebih baik, instrumentasi posterior dapat digunakan.
Perkembangan instrumentasi ukuran anak telah mengurangi

masalah

penonjolan implan pada anak-anak; bagaimanapun, perhatian pada


cedera

neurologis

potensial

harus

dilakukan.

Walaupun pengkajian

terakhir lainnya melaporkan tidak ada peningkatan cedera neurologis


yang signifikan, [46]

Pengawasan korda spinalis intraoperatif dan bila

perlu wake-up test intraoperatif direkomendasikan untuk menghindari


komplikasi. Ahli bedah juga harus hati-hati meninjau posisi anatomi
karena pedikel dan lamina yang anomali tidak selalu meletakkan dirinya
pada fiksasi yang baik. Instrumentasi lebih dapat dikerjakan dengan
mudah seiring bertambahnya usia, khususnya setelah usia 2 tahun.

Gambar 22-9. A-C, anak laki-laki usia 2 tahun dengan kifoskoliosis progresif pada level L1
hemivertebra. D dan E, pasien kemudian menjalani reseksi hemivertebra dan fusi spinal anterior
dan posterior dengan instrumentasi spinal posterior. Dia lalu dipasangi cast dan menjaga hasil
koreksi post-operatif dengan baik.

Combined Anterior And Posterior Spine Fusion (Kombinasi Fusi Tulang Belakang Anterior
Dan Posterior)

Dengan melakukan pendekatan anterior memudahkan operator


untuk melakukan discectomy dan mengganti endplate vertebra. [47]
Fleksibilitas tulang belakang yang lebih baik dapat diperoleh, sehingga
memudahkan koreksi deformitas yang lebih baik pula. Graft tulang
anterior lalu ditempatkan sebagai fusi. Graft tulang ini harus sangat cocok
ketika segmen anomalinya bersifat lordotik.
Dibandingkan dengan fusi posterior saja, kombinasi fusi tulang
belakang anterior dan posterior menurunkan risiko pseudoarthrosis dan
fenomena crankshaft dan dapat dilakukan dengan instrumentasi posterior.
Pada beberapa kasus, fusi anterior juga dapat dilakukan dengan
pendekatan posterior. Pendekatan ini merupakan cara yang paling baik
dikerjakan pada regio thoracolumbar, dimana diseksi retropleura dapat
menghasilkan paparan substansial terhadap anomali vertebra.suatu
elemen

kifosis

yang

menyertai

skoliosis

juga

memfasilitasi

suatu

pendekatan posterior. Pendekatan endoskopi untuk discectomy dan


epifiodesis telah terbukti sebagai suatu alternatif yang efektif. Dengan
suatu pendekatan anterior, anomali vaskuler pada
skoliosis kongenital

korda spinalis pada

dapat memberi risiko tinggi iskemia setelah ligasi

pembuluh darah.
Convex Hemiepiphysiodesis (Hemiepifisiodesis konveks)
Pinsip dari hemiepifisiodesis konveks umumnya sama pada kebanyakan

tindakan

terhadap

deformitas

pada

tulang

panjang

yang

sedang

bertumbuh. Hemiepifisiodesis konveks memperlambat pertumbuhan sisi


konveks / cembung sementara sisi konkaf/cekung akan terus bertumbuh,
sehingga menjadikannya suatu koreksi deformitas progresi yang aman.
Prasyarat untuk prosedur ini adalah pasien cukup umur untuk tindakan
koreksi pertumbuhan ini (<6 tahun), adanya keterlibatan kurang dari tujuh
vertebra, dan pertumbuhan konkaf yang signifikan. [48] Teknik ini
membutuhkan kombinasi pembukaan anterior dan posterior, diikuiti
dengan imobilisasi spinal rigid korektif

selama 6 bulan hingga proses

fusinya sempurna. Prosedur anterior mencakup penggantian dari bagian


konveks diskusdan endplate vertebra dan melakukan fusi pada bagian

konveks dengan dengan graft tulang. Posisi susunan tulang rusuk yang
longitudinal berfungsi sebagai penambat perifer. Pembukaan posterior
mencakup penggantian permukaan sendi dan penyatuan/fusi. Tindakan
koreksi biasanya sederhana saja dari urutan 0-20 derajat maturitas.
Pendekatan posterior tunggal dengan hemiepifisiodesis anterior konveks
transpedikular telah dilaporkan; namun bagaimanapun tampaknya sedikit
dari koreksi jangka panjang terpelihara baik. [49]
Instrumentasi dapat digunakan untuk mencapai distraksi posterior
konkaf

[50]

dan

kompresi

posterior

konveks.

[50,51]

Teknik

ini

memudahkan ahli bedah dalam memperoleh koreksi intraoperatif yang


lebih baik. Karena teknik ini mengandalkan pertumbuhan yang masih
berjalan untuk mencapai hasil koreksi, maka teknik ini sangat berguna
pada anak-anak dengan pertumbuhan spinal intak dimana keterlibatan
vertebra terbatas.
Hemivertebra Excision (Eksisi Hemivertebra)
Operasi eksisi hemivertebra mencakup kombinasi eksisi anterior
dan posterior hemivertebra, diikuti dengan fusi anterior dan posterior
(Gambar 22-9). Graft struktural anterior berguna pada sisi konkaf untuk
memelihara kontur sagittal normal. Jika pasien sudah cukup umur,
instrumentasi dapat berguna secara anterior dan posterior untk menjaga
koreksi

dan

untuk

mendapatkan

efek

kompresi.

Terlepas

dari

konstruksinya yang kaku, imobilisasi post-operatif biasanya diperlukan.


Instrumentasi dapat memudahkan pasein dalam menggunakan brace,
daripada cast.
Mirip dengan hemiepifisiodesis konveks, eksisi hemivertebra bisa
dilakukan

melalui

pendekatan

posterior

tunggal.

[52-57]

Sehingga

pendektan ini menjadi pendekatan yang paling umum selama eksisi


hemivertebra karena dibantu dengan pencitraan dan pengawasan.
Osteotomi

Pada kurva yang kompleks dengan fusi multipel, atau riwayat kurva
pernah di-fusi,

ketidakseimbangan trumkus yang signifikan dapat

menimbulkan suatu pendekatan korektif yang lain. Pada situasi-situasi


seperti ini, osteotomi anterior dan posterior multipel atau reseksi kolumna
vertebra memudahkan kita dalam memobilisasi spinal. Prasyaratnya
adalah dilakukan foto radiologi terhadap semua tulang belakang untuk
memetakan anomali pada kanalis vertebra. Setelah tindakan osteotomi,
koreksi dapat dicapai bersamaan atau setelah suatu periode

traksi

dengan halo-gravity untuk mengoreksi kurva pelan-pelan.


Guided Growth Procedures (Prosedur Pengawalan Pertumbuhan)
Penyelidikan terbaru mengenai sindrom insufisiensi thoracic pada
pasien dengan skoliosis kongenital, khususnya setelah baru saja di fusi
dengan teknik operasi growth-arresting tradisional, telah menuntun kita
pada perkembangan pengawalan pertumbuhan dengan menggunakan
batang pertumbuhan (growing rod) dan alat VEPTR. [58] Growing rod
membantu meneruskan pertumbuhan tulang belakang sebelum tindakan
fusi definitif.; hal ini agaknya dapat mengoptimalisasi nilai volume thoracic
untuk fungsi dan perkembangan paru. Walaupun komplikasi yang
dikaitkan dengan prosedur growing rod dapat ditangani, suatu hal yang
penting untuk menginformasikan kepada pasien tentang risiko yang
menyertai dalam prosedur spinal bedah multipel. Pada sebuah penelitian
terhadap pasien skoliosis onset dini, growing rod ganda yang dipasang
dengan interval 6 bulan menunjukkan capaian koreksi kurva yang
memuaskan dan menghasilkan pertumbuhan spinal yang lebih baik
dibandingkan dengan growing rod tunggal yang dipasang setelah progresi
kurva sudah 15-20 derajat. [59]
Ekspansi

thorakoplasti

menggunakan

VEPTRbertujuan

untuk

mengurangi hemithoraks konkaf yang konstriksi pada psien dengan


skoliosis kongenital yang dikaitkan dengan fusi iga (Gambar 22-10).[60]
Ketika tindakan pembedahan dilakukan sebelum usia 2 tahun, dimana
koinsiden dengan periode pertumbuhan cepat paru, fungsi paru pada

observasi selama 5 tahun secara signifikan lebih baik dibandingkan


dengan anak yang menjalani operasi pada usia setelahnya. [61] Koreksi
kurva yang signifikan secara tidak langsung dapat juga kita dapatkan. [61]
Penggunaan VEPTR terus berkembang.

Gambar 22-10. A, deformitas dada berat yang disebabkan oleh skoliosis kongenital dan fusi iga
multipel pada anak berusia 4 tahun. B dan C, pasien kemudian menjalani osteotomi iga multipel
dengan penggunaan VEPTR dari iga ke iga dan dari iga ke tulang belakang

INDIKASI
Masalah pada skoliosis kongenital biasanya bukan apakah tindakan
operasi diperlukan atau tidak, akan tetapi kapan dan jenis operasi apa
yang dibutuhkan. Berbeda dengan skoliosis idiopatik, dimana fusi definitif
ditunda hingga mendekati maturitas skeletal, koreksi deformitas dini
umumnya diinginkan untuk menghindari dekompensasi spinal struktural
[52] dan untuk menyatukan sesedikit mungkin vertebra pada skoliosis
kongenital. Tinggi badan pasien saat maturitas tidak secara signifikan
berkurang dengan intervensi bedah dini dikarenakan diberikan ruang
kurva yang progresif untuk bertumbuh. Pertumbuhan yang terjadi
hanyalah

pertumbuhan

cacat

(dengan

peningkatan

rotasi

dan

perkembangan kurva kompensatorik) dan bukan pertumbuhan vertikal.


Melakukan operasi korektif dini, banhkan dengan prosedur growhtarresting tradisional, akhirnya membuat anak lebih tinggi dan lebih lurus.

Maksud pembedahan untuk mencapai hasil koreksi cukup bervariasi,


dan indikasinya tergantung dari banyak faktor, seperti asal anomali
vertebra dan lokasinya, ukuran kurva dan fleksibitasnya dan usia anak.
Fusi posterior insitu ditunda pada yang kurva kecil dengan pertumbuhan
potensial yang terbatas pada spina anterior untuk menghidari fenomena
crankshaft. Lordosis pada regio dengan skoliosis kongenital merupakan
kontraindikasi untuk pendekatan ini karena pertumbuhan anterior akan
memperburuk lordosisnya. Indikasi utama kombinasi fusi anterior dan
posterior

adalah

deformitas

dengan

pertumbuhan

potensial

yang

signifikan, seperti bar unilateral dengan hemivertebra kontralateral. Teknik


ini mencegah pembengkokan massa fusi posterior.
Hemiepifisiodesis konveks merupakan prosedur penarikan untuk
menyeimbangkan pertumbuhan spinal. Prasyarat tindkan meliputi sebagai
berikut:

6 vertebra yang terlibat


Kurva kurang dari 70 derajat
Usia lebih muda dari 6 tahun karena pertumbuhan spinalnya telah selesai 2/3-nya

pada usia ini


Tidak adanya kifosis atau lordosis kongenital patologik

Eksisi hemivertebra sebaiknya ditunda pada anak-anak dengan deformitas yang tidak
cocok, translasi lateral permanen pada trunkus, dan hemivertebra yang berada pada apeks
kurva. Lokasi yang paling aman untuk operasi ini adalah di lumbar dan spina lumbosakral.
Penggunaan instrumentasi tergantung dari keahlian operator, tetapi biasanya ditunda/
disimpan pada kasus kurva yang besar pada anak dengan usia > 5 tahun, yang memperoleh
dan merawat koreksi deformitasnya dengan cast plaster saja akan kesulitan. Anomali
intraspinal mungkin merupakan kontraindikasi karena risiko tinggi akan kerusakan
neurologis.
Pada pasien-pasien muda dengan deformitas yang progresif, growing rod sebaiknya
dipertimbangkan sebagai alternatif untuk fusi spinal panjang karena akhirnya dapat
memperburuk fungsi paru. VEPTR memainkan peranan dalam koreksi deformitas pada
pasien dengan skoliosis kongenital dan penyerta fusi tulang rusuk. Penelitian mengenai hasil

jangka panjang diperlukan sebagai informasi tambahan ahli bedah dalam membuat keputusan
mengenai penggunaan prosedur pengawalan pertumbuhan.
Penatalaksanaan skoliosis kongenital cukup berbeda dari tatalaksana skoliosis
idiopatik. Para ahli bedah harus beradaptasi terhadap banyak variasi pada setiap kasus karena
tipe dan waktu operasi tergantung dari banyak faktor. Penatalaksanaan harus berdasarkan
evaluasi keseluruhan terhadap anomali spina dan pengetahuan akan kecenderungan untuk
progresi. Tindakan operasi sering diindikasikan untuk menghindari perkembangan kurva
besar yang permanen saat sudah terjadinya maturitas.

Anda mungkin juga menyukai