SKOLIOSIS KONGENITAL
PAUL D. SPONSELLER, MD
BEVERLIE L. TING, MD
Gambar
22-1.
Proses osifikasi dimulai selama minggu ke-6 dari tiga pusat osifikasi primer: satu
pada corpus/ centrum (dibentuk oleh fusi dini dari dua pusat), dan satu pada tiap sisi arkus
vertebra. Selama minggu ke-6 masa perkembangan, sel-sel mesenkimal antara bagian kranial
dan kaudal dari sklerotome mengisi ruang antara dua korpus vertebra untuk berkontribusi
membentuk formasi struktur intervertebra. [2] Hingga stadium ini kita namakan stadium
segmentasi.
Somitogenesis bergantung pada jalur sinyal Notch (the Notch Signaling Pathway) dan
interaksinya dengan sinyal FGF dan Wnt; namun demikian mekanisme persisnya masih
belum jelas. [3-5] Mutasi terhadap komponen-komponen di bawahnya dann target dari Notch
signaling pathway, seperti Dll3, Mesp2, dan Lfng, menghasilkan perkembangan vertebra
abnormal pada model tikus dan dikaitkan dengan karakteristik defek vertebra yang nampak
pada disostosis spondilokostal. [3-7] Bukti penelitian terbaru lainnya terhadap model vertebra
hewan dan stem sel manusia telah mengungkap sifat osilasi dari ekspresi gen mesoderm
paraksial selama somitogenesis. [3,8,9] Penemuan-penemuan ini mendukung konsep yang
menyatakan bahwa dugaan jam segmentasi memicu ekspresi siklik dari gen-gen pada jalur
sinyal notch, FGF, dan Wnt dan hal ini sangat esensial untuk perkembangan vertebra normal.
KLASIFIKASI
Dua tipe anomali vertebra dasar yang dapat terjadi: kegagalan proses formasi dan
kegagalan proses segmentasi. [10]
22-3).
Hemivertebra
diklasifikasi
berdasarkan
potensial
pertumbuhan
longitudinalnya, yang mana pada vertebra normal disokong oleh pertumbuhan apofisis pada
kedua ujung vertebra.
Gambar 223.
Hemivertebr
a
Kebanyakan dari anomali ini adalah bagian dari asosiasi VATER. Akronim VATER
[14] mencakup serangkaian defisiensi: defek vertebra (V), atresia anal (A), fistula
trakeoesofageal (TE), reduksi tungkai radial dan defek renal (R). Akronim VATER ini
dimodifikasi pada tahun 1975 [15] menjadi VACTERL dengan menambahkan defek kardiak
(C) dan defek tungkai/limb (L). (Gambar 22-5)
Anomali vertebra kongenital juga ditemukan dengan insidensi sindrom Klippel-Feil
yang tinggi [16-17] dimana memiliki karakteristik yaitu, kombinasi fusi servikal, ROM leher
yang terbatas, leher pendek, dan garis batas rambut yang rendah. Baru-baru ini, skoliosis
kongenital telah dihubungkan dengan
Etiologi pasti skoliosis kongenital masih belum jelas. Walaupun sebagian besar kasus
terlihat sporadik, berbeda dibandingkan skoliosis idiopatik, [25] peranan genetik dan faktor
lingkungan sering dilaporkan bermakna. [6,26,27] Peran genetik pernah dilaporkan pada
kasus skoliosis kongenital pada anak kembar, [28-30] tetapi, baru-baru ini, beberapa
penelitian telah mengisolasi adanya mutasi gen. [25,27,31]
Faktor lingkungan juga berimplikasi terhadap perkembangan skoliosis kongenital.
Paparan karbonmonoksida akut pada maternal selama formasi somite menginduksi anomali
vertebra pada model coba keturunan tikus dan kelinci. [26,32] Mekanisme aksi karbon
monoksida masih buram. Karbon monoksida dapat bereaksi secara langsung dengan kartilago
tulang belakang dengan cara membuat hipoksia atau mutasi genetik.[26] Teori-teori berkaitan
dengan etiologi masih diragukan lebih lanjut dengan ditemukannya peningkatan insiden
skoliosis idiopatik dalam keluarga dengan skoliosis kongenital.
RIWAYAT ALAMI
Setelah skoliosis terjadi terlepas dari etiologinya, skoliosis kongenital akan
mengalami progresi pada 70% pasien selama masa pertumbuhan. Kecenderungan terhadap
peningkatan kurvatur dikaitkan dengan ketidakseimbangan jumlah pertumbuhan apofisis dan
lokasi dari anomali vertebra itu sendiri. [33] Tanpa dilakukan penanganan, sekitar 85% pasien
dengan skoliosis kongenital akan memiliki kurvatur lebih dari 41 derajat dengan maturitas.
[33] Kurva dengan hermivertebra segmentasi merupakan risiko untuk terjadinya progresi
selama masa pertumbuhan karena hemivertebra segmental bertindak sebagai yang
memperbesar ketimpangan (Gambar 22-6). Anomali yang paling progresif adalah
hemivertebra segmental konveks yang dikaitkan dengan bar unilateral konkaf, karena pasti
tidak terdapat pertumbuhan potensial ke sisi barnya. Sebaliknya, vertebra pincang (wedge
vertebra) hanya memiliki sedikit risiko perburukan, sedangkan blok komplet atau
hemivertebra inkarserata tidak menyebabkan skloliosis progresif apapun.
Lokasi anomali juga memainkan peran dalam evolusi skoliosis. Anomali yang paling
berat adalah anomali yang berlokasi pada regio thorakolumbar, sedangkan kurang berat
berlokasi pada regio thorakal bagian atas.
Riwayat alami skoliosis kongenital harus mencakup faktor-faktor berikut:
Tipe anomali
Lokasi
Jumlah anomali
Keparahan skoliosis inisial
Keseimbangan potensial pertumbuhan global antara tiap sisi tulang
belakang
Analisis terhadap faktor-faktor tersebut memudahkan seseorang untuk menentukan
kecenderungan untuk progresi kurvatur dan terapi yang paling tepat.
Aktivitas terbaru lain telah berfokus pada peranan tulang belakang dan dinding dada
terhadap perkembangan paru, yang mana predominan muncul pada usia 5 tahun. Defek
kongenital pada perkembangan tulang iga dan vertebra sering muncul bersamaan. Gabungan
skoliosis dan fusi iga dapat menekan thoraks dan menghambat perkembangan pulmonal.
Ketidakmampuan thoraks untuk mendukung proses respirasi normal dikenal dengan istilah
thoracic insufficiency syndrome.[34]
Thoracic insufficiency syndrome dapat dinilai secara klinik melalui laju respirasi dan
thumb excursion test dan juga secara radiologis dengan foto polos dan CT-scan volumentrik.
Penyatuan/fusi dini dari deformitas skoliosis sebelum usia 9 tahun, khususnya pada pasien
yang memerlukan lebih dari 4 level fusi dan pasein dengan fusi proksimal, juga menjadikan
pasien ini masuk ke dalam risiko berkembang menjadi penyakit paru restriktif. [35]
Peningkatan kewaspadaan terhadap upaya mempertahankan fungsi paru telah menyababkan
lonjakan dalam menciptakan teknik operasi yang menjaga pertumbuhan pada skoliosis
kongenital multilevel kompleks.
DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik
anteroposterior
dan
lateral
memudahkan
kita
dalam
foto
terbaru
pengukuran
dengan
kurvatura.
foto
originalnya,
Penilaian
evolusi
daripada
kurva
dan
abnormalitas
pada
kasus
kompleks
yang
dengan
skoliosis
kongenital terdiagnosis, khususnya mengenai perlunya anestesia umum pada anak anak.
Kelihatannya lebih tepat melakukan MRI pada pasien dengan pemeriksaan neurologik
abnormal, pasien dengan perburukan skoliosis walaupun pemeriksaan fisiknya normal, atau
pasien yang dipertimbangkan melakukan prosedur operasi.
Yang terakhir, penilaian sistem genitourinaria berguna pada waktu diagnosis dini
anomali vertebra kongenital. Penilaian ini dapat menunjukkan secara akurat dengan bantuan
ultrasonografi ginjal. Seringkali, MRI tulang belakang juga menunjukkan kehadiran atau
ketidakhadiran anomali ginjal.[44] Konsultasi lebih lanjut disarankan berdasarkan hassil dari
penelitian ini.
PENATALAKSANAAN
Tatalaksana Non-Operatif
Anomali vertebra kongenital memerlukan monitor klinis yang ketat selama interval
periode pertumbuhan. Obser vasi yang konsisten memudahkan kita dalam menilai evolusi
dari kurva spinal. Pada malformasi kompleks, tatalaksana lebih awal sering lebih lancar dan
aman.
Berbeda dengan skoliosis idiopatik, tatalaksana non-operatif memiliki nilai yang kecil
dalam skoliosis kongenital. Satu-satunya tatalaksana yang berguna adalah bracing pada
komponen non-kongenital dari kurva fleksibel. Pada sebagian kecil kasus dengan kurva yang
panjang dan fleksibel, progresi skoliosis dapat menjadi lambat dengan bracing. Kurva spinal
pada skoliosis kongenital seringkali pendek dan kaku. Memberikan periode waktu tambahan
yang signifikan sebelum maturitas skeletal, pemakaian bracing tidak lebih sebagai solusi
penundaan perburukan. Tatalaksana skoliosis kongenital mencakup dua pilihan: 1) monitor
klinis terhadap anomali vertebra statis, dan 2) tatalaksana operatif pada perburukan skoliosis.
Tatalaksana operatif
Skoliosis kongenital berkembang oleh karena satu sisi tulang belakang tumbuh lebih
cepat dibandingkan yang lainnya. Prinsip utama tatalaksana operatif adalah pertumbuhan
yang seimbang, dengan atau tanpa reduksi deformitas. Lima besar operasi dideskripsikan
berikut ini: fusi tulang belakang posterior, kombinasi fusi tulang belakang anterior dan
posterior, hemiepifisiodesis konveks, eksisi hemivertebra, dan penuntun pertumbuhan dengan
VEPTR (vertical expandable prosthetic titanium rib) atau batang pertumbuhan
(growing rods).
Posterior Spine Fusion (Fusi Tulang Belakang Posterior)
Fusi in situ posterior merupakan teknik yang paling sederhana dan
paling aman (Gambar 22-8)
Pemeriksaan
pencitraan
bermanfaat
sebelum
operasi
dilakukan dikarenakan area yang anomali sulit untuk kita lokalisir. Setelah
eksposur pada elemen posterior, regio target lalu dikonfirmasi ulang
dengan radiografi karena hemivertebra atau bar yang
yang terlihat
Gambar 22-8. A dan B, skoliosis kongenital berat terukur 120 derajat pada anak perempuan usia 15
tahun. C dan D, pasien yang menjalani fusi spinal posterior dengan instrumentasi, reseksi kolumna
vertebra, dan discektomi multipel.
masalah
neurologis
potensial
harus
dilakukan.
Walaupun pengkajian
Gambar 22-9. A-C, anak laki-laki usia 2 tahun dengan kifoskoliosis progresif pada level L1
hemivertebra. D dan E, pasien kemudian menjalani reseksi hemivertebra dan fusi spinal anterior
dan posterior dengan instrumentasi spinal posterior. Dia lalu dipasangi cast dan menjaga hasil
koreksi post-operatif dengan baik.
Combined Anterior And Posterior Spine Fusion (Kombinasi Fusi Tulang Belakang Anterior
Dan Posterior)
kifosis
yang
menyertai
skoliosis
juga
memfasilitasi
suatu
pembuluh darah.
Convex Hemiepiphysiodesis (Hemiepifisiodesis konveks)
Pinsip dari hemiepifisiodesis konveks umumnya sama pada kebanyakan
tindakan
terhadap
deformitas
pada
tulang
panjang
yang
sedang
konveks dengan dengan graft tulang. Posisi susunan tulang rusuk yang
longitudinal berfungsi sebagai penambat perifer. Pembukaan posterior
mencakup penggantian permukaan sendi dan penyatuan/fusi. Tindakan
koreksi biasanya sederhana saja dari urutan 0-20 derajat maturitas.
Pendekatan posterior tunggal dengan hemiepifisiodesis anterior konveks
transpedikular telah dilaporkan; namun bagaimanapun tampaknya sedikit
dari koreksi jangka panjang terpelihara baik. [49]
Instrumentasi dapat digunakan untuk mencapai distraksi posterior
konkaf
[50]
dan
kompresi
posterior
konveks.
[50,51]
Teknik
ini
dan
untuk
mendapatkan
efek
kompresi.
Terlepas
dari
melalui
pendekatan
posterior
tunggal.
[52-57]
Sehingga
Pada kurva yang kompleks dengan fusi multipel, atau riwayat kurva
pernah di-fusi,
traksi
thorakoplasti
menggunakan
VEPTRbertujuan
untuk
Gambar 22-10. A, deformitas dada berat yang disebabkan oleh skoliosis kongenital dan fusi iga
multipel pada anak berusia 4 tahun. B dan C, pasien kemudian menjalani osteotomi iga multipel
dengan penggunaan VEPTR dari iga ke iga dan dari iga ke tulang belakang
INDIKASI
Masalah pada skoliosis kongenital biasanya bukan apakah tindakan
operasi diperlukan atau tidak, akan tetapi kapan dan jenis operasi apa
yang dibutuhkan. Berbeda dengan skoliosis idiopatik, dimana fusi definitif
ditunda hingga mendekati maturitas skeletal, koreksi deformitas dini
umumnya diinginkan untuk menghindari dekompensasi spinal struktural
[52] dan untuk menyatukan sesedikit mungkin vertebra pada skoliosis
kongenital. Tinggi badan pasien saat maturitas tidak secara signifikan
berkurang dengan intervensi bedah dini dikarenakan diberikan ruang
kurva yang progresif untuk bertumbuh. Pertumbuhan yang terjadi
hanyalah
pertumbuhan
cacat
(dengan
peningkatan
rotasi
dan
adalah
deformitas
dengan
pertumbuhan
potensial
yang
Eksisi hemivertebra sebaiknya ditunda pada anak-anak dengan deformitas yang tidak
cocok, translasi lateral permanen pada trunkus, dan hemivertebra yang berada pada apeks
kurva. Lokasi yang paling aman untuk operasi ini adalah di lumbar dan spina lumbosakral.
Penggunaan instrumentasi tergantung dari keahlian operator, tetapi biasanya ditunda/
disimpan pada kasus kurva yang besar pada anak dengan usia > 5 tahun, yang memperoleh
dan merawat koreksi deformitasnya dengan cast plaster saja akan kesulitan. Anomali
intraspinal mungkin merupakan kontraindikasi karena risiko tinggi akan kerusakan
neurologis.
Pada pasien-pasien muda dengan deformitas yang progresif, growing rod sebaiknya
dipertimbangkan sebagai alternatif untuk fusi spinal panjang karena akhirnya dapat
memperburuk fungsi paru. VEPTR memainkan peranan dalam koreksi deformitas pada
pasien dengan skoliosis kongenital dan penyerta fusi tulang rusuk. Penelitian mengenai hasil
jangka panjang diperlukan sebagai informasi tambahan ahli bedah dalam membuat keputusan
mengenai penggunaan prosedur pengawalan pertumbuhan.
Penatalaksanaan skoliosis kongenital cukup berbeda dari tatalaksana skoliosis
idiopatik. Para ahli bedah harus beradaptasi terhadap banyak variasi pada setiap kasus karena
tipe dan waktu operasi tergantung dari banyak faktor. Penatalaksanaan harus berdasarkan
evaluasi keseluruhan terhadap anomali spina dan pengetahuan akan kecenderungan untuk
progresi. Tindakan operasi sering diindikasikan untuk menghindari perkembangan kurva
besar yang permanen saat sudah terjadinya maturitas.