Anda di halaman 1dari 22

SEMINAR AKUNTANSI PEMERINTAH

AZAS NETO DALAM PENCATATAN PENDAPATAN MINYAK


BUMI DAN GAS

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4 KELAS 7D REGULER


AYU MUSTIKA PURRY PUTRI PAMUNGKAS (6)
HABIB ASFIYA JAUHARI (17)
LINANCY TANAKRISE SIREGAR (22)
MUHAMMAD RIDHO SATYANUGRAHA (26)
SATRIA AGUS FRANDYANTO (36)

PROGRAM DIPLOMA IV SPESIALISASI AKUNTANSI


SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA
2015

Abstrak

Industri Minyak Bumi dan Gas merupakan salah satu industri strategis yang
memainkan peran penting dalam pembangunan di Indonesia. Di lain pihak, Industri ini
sangat bergantung pada Sumber Daya Alam yang tidak dapat diperbaharui sehingga
potensi yang ada dalam industri ini memiliki jumlah yang terbatas. Oleh karena itu,
pemerintah perlu mengatur cara yang paling tepat untuk mengatur bagaimana agar dapat
memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dari hasi industri ini.
Berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah yang terdapat dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia nomor 71 tahun 2010, salah satu prinsip dalam
pencatatan penerimaan negara adalah dengan menggunakan azas bruto. Pada intinya, azas
ini menyatakan penerimaan tidak diperkenankan untuk dicatat dengan mengurangkan
total penerimaan setelah dikompensasikan dengan pengeluaran.
Pada tahun 2008, BPK memfokuskan auditnya terhadap pemeriksaan di sektor
migas. Hal ini dilakukan oleh BPK setelah menemukan fakta bahwa tidak semua
penerimaan minyak bumi dan gas dicatat dan dilaporkan dalam APBN.
Oleh karena itu, dalam pembahasan dalam karya tulis ini kami akan melakukan
peninjauan atas proses bisnis dalam penerimaan negara sektor migas dan
menghubungkannya dengan proses pencatatan yang dilakukan atas penerimaan tersebut.
Kata kunci : Penerimaan Migas, Azas Bruto

BAB I
LANDASAN TEORI
1. Perlakuan Pendapatan Menurut PP 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan
1.1 Pengakuan Pendapatan-LRA
Pendapatan-LRA adalah semua penerimaan rekening kas umum negara yang
menambah Saldo Anggaran Lebih (SAL) dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan yang menjadi hak pemerintah dan tidak perlu dibayar kembali. Pada
Paragraf 21 Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 02 disebutkan
bahwa Pendapatan-LRA diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Umum
Negara/Daerah.
Pendapatan LRA dibagi ke dalam klasifikasi sebagai berikut:
a. Pendapatan Perpajakan-LRA
Pendapatan Perpajakan-LRA adalah seluruh penerimaan uang yang masuk ke kas
negara yang berasal dari perpajakan pusat yang diakui sebagai penambah SAL
yang menjadi hak pemerintah dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan
dan tidak perlu dibayar kembali.
Pada Pemerintah Pusat, Pendapatan Perpajakan-LRA antara lain mencakup:
1) Pendapatan Pajak Penghasilan
2) Pendapatan Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah
3) Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan
4) Pendapatan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
5) Pendapatan Cukai
6) Pendapatan Bea Masuk
7) Pendapatan Bea Keluar
8) Pendapatan Pajak Lainnya
b. Pendapatan Negara Bukan Pajak-LRA
Pendapatan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan uang yang masuk ke
kas negara yang tidak berasal dari pendapatan pajak pusat dan/atau pendapatan
hibah, yang diakui sebagai penambah SAL yang menjadi hak pemerintah dalam
periode tahun anggaran yang bersangkutan dan tidak perlu dibayar kembali.
Pada Pemerintah Pusat, Pendapatan Negara Bukan Pajak- LRA antara lain

mencakup:
1) Pendapatan SDA
2) Pendapatan Bagian Laba BUMN
3) Pendapatan PNBP Lainnya
4) Pendapatan BLU
c. Pendapatan Hibah
Pendapatan Hibah adalah seluruh penerimaan uang yang masuk ke kas negara
yang berasal dari hibah yang diterima pemerintah pusat yang diakui sebagai
penambah SAL yang menjadi hak pemerintah dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan dan tidak perlu dibayar kembali.
1.2 Akuntansi Pendapatan LRA
Akuntansi pendapatan-LRA dilaksanakan berdasarkan azas bruto, yaitu dengan
membukukan penerimaan bruto, dan tidak mencatat jumlah netonya (setelah
dikompensasikan dengan pengeluaran).
Dalam hal besaran pengurang terhadap pendapatan-LRA bruto (biaya) bersifat
variabel terhadap pendapatan dimaksud dan tidak dapat dianggarkan terlebih dahulu
dikarenakan proses belum selesai, maka asas bruto dapat dikecualikan.
1.3 Pengakuan Pendapatan-LO
Pada paragraf 19 PSAP Nomor 12 disebutkan bahwa Pendapatan-LO diakui pada
saat:
a. Timbulnya hak tagih atas pendapatan;
b. Pendapatan direalisasi, yaitu adanya aliran masuk sumber daya ekonomi.
Pada pemerintah pusat, pengakuan pendapatan-LO berdasarkan jenis pendapatan
adalah sebagai berikut:
a. Pengakuan pendapatan perpajakan-LO dengan metode self assessment
Diakui pada saat realisasi kas diterima di kas negara tanpa terlebih dahulu
pemerintah menerbitkan surat ketetapan pajak.
b. Pengakuan pendapatan perpajakan-LO dengan metode official assessment
Diakui pada saat timbulnya hak untuk menagih pendapatan dimaksud. Timbulnya
hak untuk menagih adalah pada saat otoritas perpajakan telah menerbitkan surat
ketetapan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus dibayar oleh
wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku.
c. Pendapatan Negara Bukan Pajak-LO
Diakui pada saat terutangnya PNBP yang menimbulkan hak tagih pemerintah

kepada wajib bayar atas pendapatan bukan pajak.


Maksud dari pendapatan bukan pajak-LO ini mencakup:
a) Pendapatan sumber daya alam,
b) Pendapatan bagian pemerintah atas laba BUMN,
c) Pendapatan negara bukan pajak lainnya, dan
d) Pendapatan BLU.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 219/PMK.05/2013
Tentang
Kebijakan Akuntansi Pemerintah Pusat, salah satu prinsip pengakuan pendapatan LO

untuk PNBP adalah prinsip Earning Process Revenue (EPR). EPR adalah kondisi
dimana manfaat/benefit telah diterima oleh wajib bayar, uang telah dibayarkan
oleh wajib bayar melalui rekening antara namun belum diterima di kas negara
(earning process revenue). Kondisi ini terjadi dalam transaksi penerimaan negara
yang membutuhkan earning process mengingat di dalam pembayaran wajib bayar
masih terdapat kewajiban pemerintah yang harus dibayarkan kembali kepada
wajib bayar sehingga perlu ditampung terlebih dahulu di dalam rekening antara.
PNBP-LO diakui pada saat PNBP terutang ditetapkan oleh Instansi Pengelola
PNBP atau mitra Instansi Pengelola PNBP. Contoh transaksi ini adalah
penerimaan migas dan panas bumi yang masih harus memperhitungkan kewajiban
kontraktual pemerintah dan kewajiban lainnya sesuai peraturan perundangundangan
d. Pendapatan Hibah-LO
Pendapatan Hibah-LO adalah hak pemerintah yang diakui sebagai penambah
ekuitas yang berasal dari negara lain, organisasi internasional, pemerintah pusat,
pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, individu, kelompok masyarakat,
lembaga kemasyarakatan baik dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa,yang
tidak dimaksudkan untuk dibayar kembali oleh pemerintah kepada pemberi hibah
dan manfaatnya dinikmati oleh pemerintah.
Pendapatan hibah pada Laporan Operasional diakui pada saat timbulnya hak atas
pendapatan hibah tersebut atau terdapat aliran masuk sumber daya ekonomi, mana
yang lebih dahulu.

1.4 Akuntansi Pendapatan LO


Akuntansi pendapatan-LO dilaksanakan berdasarkan azas bruto, yaitu dengan
membukukan pendapatan bruto, dan tidak mencatat jumlah netonya (setelah
dikompensasikan dengan pengeluaran).
Dalam hal besaran pengurang terhadap pendapatan-LO bruto (biaya) bersifat variabel
terhadap pendapatan dimaksud dan tidak dapat di estimasi terlebih dahulu dikarenakan
proses belum selesai, maka asas bruto dapat dikecualikan.
2. Perlakuan Pendapatan Minyak Dan Gas Bumi Berdasarkan
113/PMK.02/2009 Tentang Rekening Minyak Dan Gas Bumi

PMK-

Dalam Pasal 2 PMK-113/PMK.02/2009 disebutkan bahwa Penerimaan pada


Rekening Minyak dan Gas Bumi terdiri dari:
1. Pajak Penghasilan (PPh);
2. Bagian Pemerintah dari Sumber Daya Alam (SDA), terdiri dari:
a. Hasil penjualan minyak mentah;
b. Hasil penjualan gas alam;
c. OverLifting KKKS; dan
3. Penerimaan lainnya terkait kegiatan hulu migas antara lain bonus-bonus dan
transfer material
Sedangkan dalam Pasal 4 PMK-113/PMK.02/2009 disebutkan bahwa Pengeluaran
dari Rekening Minyak dan Gas Bumi meliputi:
1. Penyelesaian kewajiban Pemerintah terkait kegiatan usaha hulu minyak dan gas
bumi, berupa
a. Pembayaran perpajakan minyak dan gas bumi, terdiri dari:
1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
2) Reimbursement Pajak Pertambahan Nilai (PPN); dan
3) Pajak Daerah
b. Pembayaran di luar perpajakan, terdiri dari
1) Domestic Market Obligation (DMO) Fee
2) Underlifting KKKS

3) Fee kegiatan hulu minyak dan gas bumi; dan


4) Kewajiban lainnya.
2. Penyetoran PPh minyak dan gas bumi ke Rekening Kas Umum Negara
3. Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA minyak dan gas bumi
ke Rekening Kas Umum Negara
4. Penyetoran penerimaan lainnya ke Rekening Kas Umum Negara
Dalam Pasal 6 PMK-113/PMK.02/2009, disebutkan bahwa Penyetoran PNBP SDA
minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 3, merupakan
penyetoran selisih lebih atas penerimaan bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 angka 2, setelah memperhitungkan pembayaran kewajiban Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 1 huruf a dan huruf b.
Ini berarti menurut PMK-113/PMK.02/2009, PNBP SDA minyak dan gas bumi
diakui di Rekening Kas Umum Negara sebesar nilai netonya, yaitu sebesar Bagian
Pemerintah dari Sumber Daya Alam minyak dan gas bumi dikurangi penyelesaian
kewajiban Pemerintah terkait kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.

BAB II
PRAKTEK PENERIMAAN MIGAS

1.

Dasar Hukum Penerimaan Migas


Penerimaan Migas di Indonesia berasal dari kegiatan usaha hulu migas yang
dilaksanakan oleh Badan Usaha/Bentuk Usaha tetap dengan mengadakan Kontrak
Kerja Sama dengan Pemerintah.

1.1 UU No. 22 tahun 2001


Memuat substansi pokok mengenai ketetentuan bahwa Migas sebagai SDA strategis
yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan penyelenggaraannya dilakukan oleh
Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan pada Kegiatan Usaha Hulu.
Pemerintah membentuk Badan Pelaksana untuk Kegiatan Usaha Hulu agar fungsi
Pemerintah sebagai pengatur, pembina, dan pengawas dapat berjalan lebih efisien.
(BP MIgas dibubarkan pada tanggal 13 November 2012 berdasarkan putusan MA
karena dinyatakan keberadaannya Inkonstitusional, dan diganti Satuan Kerja Khusus
Pelaksanaan Kegiatan Hulu Migas atau SKK Migas yang secara struktur berada di
bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral)
Penerimaan Migas merupakan penerimaan yang berasal dari setoran Kontraktor
Kontrak Kerjasama (KKKS) atas pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Migas antara
Pemerintah dan KKKS dalam rangka Kegiatan Usaha Hulu Migas.
Kegiatan Usaha Hulu Migas mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.
Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja saa lain
dala kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan
hasilnya dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kontrak Kerja Sama Penerimaan Negara harus memuat ketentuan tentang penerimaan
negara dalam kontrak tersebut. Dalam Pasal 31 diatur ahwa Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu wajib membayar penerimaan
negara berupa pajak dan PNBP. PNBP tersebut terdiri atas bagian neraca, pungutan
negara yang berupa iuran tetap dan iura eksplorasi dan Eksplioasi, dan bonus-bonus.

1.2 Kontrak Kerja Sama


Sebelum berlakunya UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas, eksploasi dan eksplorasi
di Indonesia didasarkan pada Kontrak Bagi Hasil (Produstion sharing contract
(PSC). Pada masa itu berdasarkan UU No. 8 Tahu 1971 tetnang Perusahaan
Pertambangan Minya dan Gas Bumi Negara, Pertamina ditunjuk untuk melakukan
kontrak dengan pengusaha Migas. Dengan demikian untuk dan atas nama Pemerintah,
Pertamina melakukan kontrak dengan perusahaan Migas dan sekaligus mengawasi
pelaksanaan kontrak tersebut.
1.3 PP No. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas sebagaimana telah
diubah terakhir dengan PP No. 55 Thun 2009
PP ini mengatur mengenai Kegiatan Usaha Hulu Migas, yang antara lain bertujuan
untuk menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi secara berdaya guna, serta berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas
migas melalui mekanisme yang terbuka dan transparan. Dalam Pasal 52 diatur bahwa
Kontraktor yang melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu Migas wajib membayar
penerimaan negara yang antara lain berupa PNBP. PNBP dimaksud erdiri atas:
Bagian Negara, Pungutan Negara yang berupa iuran tetap dan iuran eksplorasi dan
eksploitasi dan bonus-bonus.
1.4 PP No. 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang dapat dikembalikan dan
perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
PP ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan penerapan
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). PP ini sebagai dasar hukum bagi
instansi-instansi yang berwenang dalam pengawasan pelaksanaan kontrak untuk
menghindari pembebanan tidak perlu oleh kontraktor atas biaya operasi perminyakan.
1.5 PMK No. 113/PMK.02/2009 tentang Rekening Minyak dan Gas Bumi
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK No. 178/PMK.02/2015
Dalam rangka menampung setoran bagian Pemerintah dari kegiata hulu migas,
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara membuka Rekening Departemen
Keuangan k/Hasil Minyak Perjanjian Karya Production Sharing No. 600.000411980,
yang selanjutinya disebut Rekening Migas, pada Bank Indonesia. Rekening Migas
adalah rekening dalam valuta USD untuk menampung seluruh penerimaan dan
membayar seluruh pengeluaran terkait kegiatan usaha hulu migas.

2. PRINSIP-PRINSIP PENERIMAAN MIGAS


Secara substansial terdapat beberapa prinsip dalam penerimaan migas, yaitu sebagai
berikut:
a. Dasar penerimaan migas antara lain adalah Kontrak Kerja Sama (PSC). Dalam
PSC diatur pembagian bagian negara dan bagian kontrakor atas hasil kegatan
usaha hulu migas, dalam suatu persentase tertentu.
b. Berdasarkan PSC, bagi hasil antara Pemerintah dan Kontraktor dilakukan setelah
mengeluarkan biaya untuk memproduksi migas atas hasil kegiatan usaha hulu
migas, Pola bagi hasil (share) antara Kontraktor dan Pemerintah ditetapkan
dalam PSC.
c. Dalam rangka penyediaan kebutuhan BBM dalam Negeri (Domestic Market
Obigation), Kontraktor wajib menyerahkan sebagian dari Bagian Kontraktor
kepada negara dan atas penyerahan DMO tersebut Kontraktor mendapat Fee
(DMO Fee).
d. Kontraktor wajib melakukan pembayaran pajak-pajak(PPh 21 dan PPh 26),
namun dibebaskan dari pajak-pajak lainnya (PBB, PPN, dan Pajak Daerah).
e. Pencatatan Penerimaan Migas terbagi dalam 3 kelompok, yaitu:
- Total pembayaran pajak-pajak (PPh 21 dan PPh 26) Kontraktor dicatat
sebagai Penerimaan PPh Migas;
- Total bagian Pemerintah(government share) setelah dikurangi dengan
pajak-pajak lain (PPN, PBB, dan Pajak Daerah) dicatat sebagai PNBP SDA
Migas;
- Total hasil penjualan minyak mentah DMO dikurangi dengan DMO fee
yang dibayar kepada kontraktor dicatat sebagai PNBP lainnya dari Kegiatan
Hulu Migas.
3. Karakteristik Prodution Sharing Contract (Psc)
Dalam kontrak-kontrak PSC secara umum diatur hal-hal sebagai berikut:
a. Kontraktor berkewajiban menyetor:
1) Pajak Penghasilan (PPh)
2) Bagian Pemerintah (di luar PPh) dari hasil penjualan migas
3) Bonus-bonus
b. Selain kewajiban untuk membayar ajak (PPh), kontraktor ditanggung dan
dibebaskan (assume and discharge) dari pajak-pajak Indonesia lainnya termasuk
PPN, Pajak Peralihan (transfer), pungutan ekspor dan impor, dan pajak-pajak
serta pungutan lainnya.

Terdapat prinsip-prinsip yang menandai karakteristik PSC yaitu:


a. Kontraktor membawa modal, pendanaan dan teknologi sediri
b. Kontrakror menanggu seluruh risiko, termasuk risiko ketidakerhasilan eksplorasi
dan eksploitasi
c. Seluruh biaya untuk memproduksi migas akan diganti degan produksi migas
yang dihasilkan (cost recovery).
d. Penerimaan dari penjualan produksi migas setelah dikurangi cost recovery akan
dibagihasilkan antara kontraktor dan Pemerintah.

(sumber: Skripsi Perlakuan Akuntansi Pendapatan Minyak dan Gas Bumi (MIGAS)
Pada Kementeria Keuangan yang dibuat oleh Doli Indra Marito Harahap).

4. Model Pencatatan Dan Kebijakan Pelaporan


Pencatatan migas dilakukan oleh Kementerian Kuangan dengan mengikuti business
process penerimaan migas. Adapun business process tersebut yaitu sebagai berikut:
a. Penerimaan migas diperoleh dari kegiatan usaha hulu migas di Indonesia
didasarkan pada Kontrak Kerja Sama KKS/PSC dimana atas hasil
penjualanlifting migas dibagi antara Pemerintah dan Kontraktor berdasarkan
pola bagi hasil tertentu yang telah disepakati dalam kontrak.
b. Sesuai ketentuan perpajakan, maka atas bagian kontraktor tersebut kontraktor
wajib membayar PPh 21 dan PPh 26. Kontraktor dibebaskan dari kewajiban

c.

d.

perpajakan dan pungutan lainnya di Indonesia sepanjang kewajiban-kewajiban


tersebut timbul akibat pelaksanaan kontrak kerja sama.
Dalam bagian Pemerintah masih termasuk di dalamnya pajak-pajak dan
pungutan lain yang ditanggung oleh Pemerintah dan harus dibayarkan oleh
Pemerintah kepada pihak-pihak terkait. Pajak-pajak dan pungutan lain yang
ditanggung oleh Pemerintah ini disebut unsur pengurang bagian Pemerintah atas
hasil kegiatan usaha hulu migas dalam rangka pencatatan PNBP SDA Migas
Pencatatan penerimaan migas dilakukan setelah terlebih dahulu
memperhitungkan unsur pengurang. Metode pencatatan ini dikenal dengan
istilah pencatatan neto.

(sumber: Skripsi Perlakuan Akuntansi Pendapatan Minyak dan Gas Bumi (MIGAS)
Pada Kementeria Keuangan yang dibuat oleh Doli Indra Marito Harahap).
Sesuai PMK No. 113/PMK.02/2009 tentang Rekening Minyak dan Gas Bumi
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK No. 178/PMK.02/2015, Rekening
Migas adalah rekening dalam valuta USD untuk enampung seluruh penerimaan dan
membayar pengeluaran terkait kegiatan usaha hulu migas.
PMK No. 113/PMK.02/2009 tentang Rekening Minyak dan Gas Bumi sebagaimana
telah diubah terakhir dengan PMK No. 178/PMK.02/2015, Pasal 2 mengatur bahwa
Penerimaan pada Rekening Migas antara lain terdiri dari Bagian Pemerintah dari

SDA yang meliputi hasil penjualan minyak mentah, hasil penjuaan gas alam, dan
over lifting Kontrakor Kontrak Kerja Sama(KKKS).
Selanjutnya, dalam Pasal 4 PMK dimaksud diatur bahwa Pengeluaran dari Rekening
Migas meliputi:
a. Penyelesaian kewajiban Pemerintah terkait kegiatan usaha hulu migas, berupa:
1) Pembayaran perpajakan migas, terdiri dari:
a) PBB
Dilaksanakan untuk menyelesaikan kewajiban PBB KKKS kegiatan
usaha hulu migas yang telah maupun yang belu menghasilkan setoran
bagian Pemerintah sesuai degan ketetuan perundang-undangan
b) PPN
Merupaan pembayaran ke bali PPN kepada KKKS sesuai degan ketetuan
perundang-undangan
c) Pajak Daerah
Merupakan Pajak Air Tanah, Pajak Air Permukaan dan Pajak Penerangan
Jalan untuk industry pertambanganmigas yang dibayarkan keapada
Pemerintah Daerah sesuai degan ketetuan perundang-undangan
2) Pembayaran di luar perpajakan, terdiri dari:
a) Domestic Market Obligation (DMO) Fee
Merupakan pembayaran fee kapada KKKS atas minyak mentah yang
diserahkan kepada kilang dalam negari sesuai degan ketetuan perundangundangan
b) Underlifting KKKS
Merupakan kewajiban Pemerintah kepada KKKS atas kelebihan
pengambilan minyak mentah sesuai dengan ketentuan perundangundangan.
c) Imbalan penjualan migas
Merupakan imbalan yang diberikan kepada penjual migas bagian negara
sesuai degan ketetuan perundang-undangan
d) Kewajiban lainnya yang timbul sehubungan dengan kegiatan usaha hulu
migas sesuai degan ketetuan perundang-undangan
b. Penyetoran PNBP SDA Migas ke Rekening Kas Umum Negara

Berikut adalah ilustrasi apabila terjadi transaksi penerimaan dan pengeluaran yang
mempengaruhi saldo kas pada rekening migas, maka secara akuntansi basis akrual
akan dicatat oleh Kementerian Keuangan sebagai berikut:

a. Pada saat transaksi penerimaan yang menambah saldo kas di rekening Migas
(Kontraktor Migas setor) maka akan dijurnal:
Sisi neraca:
Diterima dari Entitas Lain
XXXX
Pendapatan yang Ditangguhkan
XXXX
Sisi Laporan Operasional:
Diterima dari Entitas Lain
XXXX
Pendapatan LO
XXXX
b. Pada saat transaksi pengeluaran yang dapat mengurangi saldo kas di rekening
migas maka akan dijurnal:
1) Pembayaran unsur pengurang, contohnya Reimbursement PPN dan PBB
a) pengakuan Utang Pihak Ketiga Reimbursement PPN dan PBB
Utang Pihak Ketiga diakui secara akrual pada saat surat permintaan
permintaan pemindahbukuan reimbursement PPN dan PBB telah
ditetapkan
Jurnal:
Sisi Neraca:
Pendapatan yang ditangguhkan XXXX
Utang Pihak Ketiga
XXXX
Sisi Laporan Operasional:
Pendapatan LO
XXXX
Utang Pihak Ketiga
XXXX
b) Apabila reimbursement PPN dan PBB telah dipindahbukukan dari
rekening migas ke rekening pihak ketiga maka jurnalnya akan menjadi
sebagai berikut:
Jurnal:
Sisi Neraca:
Utang Pihak Ketiga
XXXX
Ditagihkan ke Entitas Lain
XXXX
2) PNBP Migas
Sisi Neraca:
Pendapatan yang Ditangguhkan XXXX
Pendapatan LRA
XXXX

BAB III
PEMBAHASAN
Penerimaan Migas di Indonesia berasal dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi
yang dilaksananakan oleh Badan Usaha/Bentuk Usaha Tetap dengan mengadakan
Kontrak Kerja Sama dengan Pemerintah. Secara Substansial terdapat beberapa prinsip
penerimaan migas, yaitu sebagai berikut:
1. Dasar Penerimaan migas berasal dari Kontrak Kerja Sama (PSC). Dalam PSC
diatur pembagian untuk negara dan untuk kontraktor atas kegiatan usaha hulu
migas, dalam satuan prosentase.
2. Berdasarkan PSD, bagi hasil antara Pemerintah melalui BPMIGAS dan
Kontraktor dilakukan setelah mengeluarkan biaya untuk memproduksi migas atas
hasil kegiatan usaha hulu migas. Pola bagi hasil (Share) ini ditetapkan dalam
PSC.
3. Dalam rangka penyediaan kebutuhan BBM dalam Negeri (Domestc Market
Obligation), KOntraktor wajib menyerahkan sebagian dari bagian Kontraktor
kepada negara dan atas penyerahan tersebut Kontraktor mendapat DMO Fee.
4. Kontraktor wajib melakukan pembayaran pajak-pajak (PPh dan PPh Pasal 26)
namun dibebaskan dari pajak-pajak lainya (PBB. PPN dan Pajak Daerah). Hal ini
tercantum dalam klausul PSC yang menerangkan bahwa kontraktor wajib
melakukan pembayaran atas Pajak Penghasilan dan pajak terkait bunga dividend
an royalty, namun BPMIGAS menanggung dan membebaskan kontraktor atas
pajak-pajak lainya seperti PBB, PPn, dan Pajak Daerah.
5. Pencatatan penerimaan migas dibagi dalam 3 kelompok:
a) Total Pembayaran Pajak-Pajak (PPH dan PPH Ps 26) kontraktor dicatat
sebagai penerimaan PPh Migas;
b) Total Bagian Pemerintah (government share) setelah dikurangi dengan pajakpajak lainya (PPN, PBB, dan Pajak Daerah) dicatat sebagai PNBP SDA
Migas;
c) Total Hasil Penjualan Minyak Mentah DMO dikurangi dengan DMO Fee
yang dibayar kepada kontraktor dicatat sebagai PNBP Lainya dari Kegiatan
Hulu Migas.

1.1 Karakteristik Product Sharing Contract (PSC)


Sistem PSC ini diterapkan di Indonesia sejak tahun 1964 dan telah mengalami
beberapa perubahan. Dalam hal ini, kontraktor hanya diberi hak ekonomis atas kuasa
pertambangan yang dikuasai Perusahaan Negara melalui Pola pembagian hasil
(production sharing), bukan keuntungan dalam bentuk uang/profit sharing (M. Kholid
Syeirazi: 2009).
Dalam kontrak Production Sharing (PSC) secara Umum diatur hal-hal sebagai berikut :
1. Kontraktor Wajib Menyetor:
a) Pajak (PPh dan PPh Ps 26)
b) Bagian pemerintah (diluar PPh) dari hasil migas
2. Selain kewajiban untuk membayar Pajak Penghasilan, kontraktor ditanggung dan
dibebaskan dari pajak-pajak Indonesia lainya termasuk:
a) PPN;
b) Pajak Peralihan (Transfer);
c) Pungutan Ekspor dan Impor;
d) Pajak-Pajak dan Pungutan lainya.
Dalam rangka ekspolarisi Migas ini Kontraktor membawa modal dan teknologi
sendiri. Seluruh resiko termasuk ketidakberhasilan eksplorasi dan eksploitasi
sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor. Seluruh biaya untuk memproduksi
migas akan diganti dengan produksi migas yang dihasilkan (cost recovery).
Penerimaan dari penjualan produksi migas setelah dikurangi cost recovery akan
dibagihasilkan antara kontraktor dan pemerintah.

1.2 Model Pencatatan Dan Kebijakan Pelaporan


Pencatatan penerimaan migas dilakukan oleh Kementerian Keuangan dengan
mengikuti business Process penerimaan migas. Business Process tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Penerimaan migas diperoleh dari kegiatan usaha hulu migas di Indonesia
didasarkan pada kontrak kerjasama;
2. Sesuai ketentuan dalam PSC, atas bagian Kontraktor tersebut Kontraktor wajib
membayar Pajak Penghasilan (PPh dan PPh Ps. 26). Kontraktor dibebaskan dari
Kewajiban Perpajakan dan Pungutan lainya di Indonesia atau kewajiban tersebut
menjadi tanggungan BPMIGAS (pemerintah) sepanjang kewajiban tersebut
timbul akibat pelaksanaan kontrak kinerja;
3. Dalam bagian BPMIGAS (pemerintah) masih termasuk di dalamnya pajak-pajak
dan pungutan lain yang ditanggung oleh BPMIGAS (Pemerintah), hal ini
merupakan unsur pengurang bagian BPMIGAS (Pemerintah) atas hasil kegiatan
usaha hulu migas, dalam rangka pencatatan PNBP SDA Migas;

4. Pencatatan penerimaan migas dilakukan setelah terlebih dahulu


memperhitungkan unsur pengurang. Model pencatatan ini dikenal dengan istilah
pencatatan netto.
Sesuai PMK nomor 113/PMK.02/2009, rekening Minyak dan Gas Bumi adalah rekening
dalam valuta USD untuk menampung seluruh oenerimaan, dan membayar pengeluaran
terkait kegiatan usaha hulu migas.
PMK nomor 113/PMK.02/2009 Pasal 2 ayat (2) mengatur bahwa Penerimaan pada
rekening Minyak dan Gas Bumi antara lain terdiri dari Bagian Pemerintah dari Sumber
Daya Alam (SDA). Bagian Pemerintah dari Sumber Daya Alam (SDA) ini terdiri dari:
Hasil penjualan minyak mentah; Hasil penjualan gas alam; dan Over Lifting Kontraktor
Kerja Sama (KKKS).
Selanjutnya dalam pasal 4 ayat (1) diatur bahwa pengeluaran dari Rekening Minyak dan
Gas Bumi antara lain meliputi penyelesaian kewajiban Pemerintah terkait kegiatan usaha
hulu minyak dan gas bumi yang berupa pembayaran perpajakan minyak dan gas bumi
(terdiri dari: PBB; Reimbursement PPN; dan Pajak Daerah), dan Pembayaran di Luar
perpajakan (terdiri dari: Domestic Market Obligation/DMO Fee; under lifting KKKS,
Fee kegiatan hulu minyak dan gas bumi; dan kewajiban lainya).
Pada beberapa tahun yang lalu, penggunaan rekening ini pernah menjadi temuan dari
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena pengelolaan, pencatatan, dan pelaporan
penerimaan Migas tidak memenuhi asas bruto sebagaimana diatur dalam pasal 12 dan 16
UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara serta PP Nomor 24 Tahun
2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang telah diubah terakhir menjadi PP 71
Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Namun, sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh Komite Standar Akuntansi
Pemerintah (KSAP) melalui Surat Ketua Komite Kerja KSAP nomor S80/KSAP/IV/2007 tentang Akuntansi dan Pelaporan atas pendapatan Migas. Penerimaan
dari Migas yang ada peda rekening Minyak dan Gas Bumi masih harus memperhitungkan
unsur-unsur under/over lifting, DMO, Pengembalian PPN dan PBB. Selain itu pengakuan
pendapatan Migas sebelum earning process selesai akan berakibat pada dasar penetapan
Dana Perimbangan yang tidak akurat, sehingga penetapan azas bruto dalam hal ini akan
menyesatkan (Direktorat Jenderal Perbendaharaan : 2009)

1.3 Pendapat Komite Standar Akuntansi (KSAP)


KSAP memberikan pendapat terkait akuntansi dan Pelaporan. Dalam Perlakuan
Akuntansi KSAP berpendapat bahwa penerimaan yang berasal dari Kontrak Product
Sharing (PSC) mengandung 3 unsur penerimaan, yaitu:
1. Penerimaan Unsur PNBP
2. Penerimaan unsur Fee kegiatan hulu migas yang menjadi hak BPMIGAS
3. Penerimaan unsur-unsur yang harus di-reimburse kepada kontraktor.
Dengan mengacu pada definisi pendapatan yang tercantum pada PSAP 01 tentang
Penyajian Laporan Keuangan Paragraph 8 yang berbunyi Pendapatan-LO adalah hak
pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai penambah ekuitas dalam periode tahun
anggaran yang bersangkutan dan tidak perlu dibayar kembali dan Pendapatan-LRA
adalah semua penerimaan Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang menambah Saldo
Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak
pemerintah, dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah, maka penerimaan yang
berasal dari Kontract Product Sharing (PSC) belum dapat diakui sebagai pendapatan
karena masih memperhitungkan unsur pengurang (unsur kedua dan ketiga). KSAP
berpendapat bahwa penerimaan bagian pemerintah tersebut diklasifikasikan sebagai
Kewajiban dengan nama akun Pendapatan Migas yang Ditunda.
Selanjutnya KSAP juga menyampaikan bahwa pengeluaran uang untuk membayar
fee kegiatan hulu migas dan pembayaran kembali pengeluaran-pengeluaran yang
menjadi hak kontraktor (unsur kedua dan ketiga) adalah unsur pengurang (contraaccount) terhadap Pendapatan Migas yang Ditunda. Jadi unsur pengurang tersebut
bukan termasuk dalam definisi belanja menurut PSAP 01 paragraf 08 yang berbunyi
Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang
mengurangi Saldo Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang
tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Penerimaan dan
Pengeluaran dari Rekening Migas Harus diungkapkan secara memadai pada Catatan
Atas Laporan Keuangan (CALK).
1.4 Mekanisme Pencatatan PNBP SDA Migas (Netto)
Istilah netto dalam pencatatan penerimaan Migas ini merujuk pada konsep yang benarbenar menjadi hak pemerintah untuk dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat (LKPP), sedangkan istilah bruto merujuk pada konsep seluruh setoran yang
diterima di Rekening Migas. Setoran-setoran yang diterima pada rekening migas ini tidak
dapat dikategorikan hak pemerintah seluruhnya, karena masih terdapat unsur pengurang
yang harus diselesaikan oleh Pemerintah akibat dari perjanjian kontrak bagi hasil yang

telah dibuat sebelumnya. Oleh karena itu, seluruh penerimaan pada rekening Migas tidak
bisa diakui seluruhnya sebagai pendapatan negara.
Berdasarkan penjelasan diatas, pengertian netto dalam konteks pencatatan penerimaan
migas adalah jumlah yang menjadi hak pemerintah dan tidak perlu dibayar kembali oleh
pemerintah, sedangkan pengertian netto dalam PSAP 02 Paragraph 24 cenderung pada
konteks pembukuan secara langsung selisih antara pendapatan negara dan belanja negara
pada entitas yang memiliki pendapatan negara dan belanja negara sekaligus.
Sedangkan pencatatan Penerimaan Migas dengan menggunakan azas bruto seperti
rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan menimbulkan konsekuensi yaitu
penerimaan dan pengeluaran menggunakan mekanisme APBN. Hal ini akan
mengakibatkan rekening Minyak dan Gas Bumi tidak diperlukan lagi dan seluruh
aktivitas penerimaan dan pengeluaran harus berada di Rekening KUN dan dikategorikan
sebagai Pendapatan Negara dan Belanja Negara, sehingga harus dianggarkan pada setiap
tahun dan pelaksanaannya mengikuti mekanisme Dokumen Isian Pelaksanaan Anggaran
(DIPA). Pengganggaran Pendapatan Negara dan Belanja Negara untuk sektor Migas dan
Gas Bumi ini diragukan ketepatannya mengingat pengeluaran-pengeluaran sebagaimana
dijelaskan sebelumnya tidak dapat diperkirakan secara detail karena kejadian-kejadian
pemicu terjadinya pengeluaran-pengeluaran tersebut tidak terjadi secara konstan.
Kesulitan terlebih lanjut adalah apabila secara factual terjadi pengeluaran yang melebihi
pagu yang telah dianggarkan, maka akan menghambat pelaksanaan kegiatan Minyak dan
Gas Bumi ini. Selain itu, apabila dipaksakan menggunakan mekanisme APBN dalam
pencatatan Pendapatan Negara dan Pengeluaran Negara pada sektor Migas dan Gas Bumi
ini maka akan menimbulkan item-item baru dalam Belanja APBN, antara lain sebagai
berikut:
a)
b)
c)
d)
e)
f)

Belanja Reimbursement PPN


Belanja PBB
Belanja Pajak Daerah
Belanja Fee BPMIGAS
Belanja DMO Fee
Belanja Under Lifting Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)

Berdasarkan penjelasan diatas, apabila azas bruto menggunakan mekanisme APBN


dalam pencatatan Pendapatan dan Pengeluaran Migas dan Gas Bumi diterapkan, maka
akan menimbulkan beberapa kendala, yaitu:

1. Seluruh penerimaan dan pengeluaran tersebut harus dianggarkan dalam APBN dan
mengikuti mekanisme pembahasan dengan DPR-RI;
2. Perlu penunjukan instansi sebagai Kuasa Pengguna Anggaran dan menyiapkan
mekanisme pelaksanaan pembayaran, karena dengan mekanisme ini maka semua
pembayaran unsur pengurang dikategorikan sebagai belanja negara.
3. Menambah belanja negara akan menambah potensi defisit APBN.
4. Pembayaran pengeluaran terkait kegiatan Migas dan Gas Bumi harus mengikuti
prosedur APBN menggunakan DIPA, sehingga perlu pengaturan lebih lanjut apabila
jumlah yang dianggarkan tidak mencukupi untuk melakukan pembayaran yang akan
menyebabkan terjadinya tuntutan dari pihak ketiga (KKKS).

BAB III
SIMPULAN
Proses pencatatan yang dilakukan atas Penerimaan Migas yang dilakukan oleh
Kementerian Keuangan sudah tepat. Perbedaan pendapat terjadi karena perbedaan
penafsiran atas penerimaan neto. Pengertian neto dalam konteks pencatatan penerimaan
migas adalah jumlah yang menjadi hak pemerintah dan tidak perlu dibayarkan kembali
oleh pemerintah. Sedangkan pengertian neto dalam PSAP 02 paragraf 24 adalah
pengkompensasian antara Pendapatan Negara dengan Belanja Negara.

Anda mungkin juga menyukai