Standarisasi Manajemen Rumah Potong Hewan
Standarisasi Manajemen Rumah Potong Hewan
ABSTRAK
Standarisasi Manajemen Rumah Potong Hewan
Milik Pemerintah di Jawa Barat
Oleh : Rochadi Tawaf
Rantai pasok daging sapi (beef supply chain) global menjadi salah satu komponen
yang strategis di dalam pemenuhan pangan dan sistem logistik daging sapi nasional.
Pada saat ini industri daging sapi, atau rantai pasok daging sapi nasional, dihadapkan
pada lingkungan pasar global yang sangat kompetitif. Oleh sebab itu, tuntutan terhadap
Indonesia untuk menyelaraskan diri terhadap berbagai norma dan regulasi perdagangan
internasional semakin diperlukan. Khususnya untuk komoditas perdagangan sapi
potong, isu-isu mengenai kepuasan dan kepercayaan konsumen atas atribut-atribut non
ekonomi, seperti keamanan pangan, kemamputelusuran (traceability) dan
kesejahteraan hewan (animal welfare) semakin intensif dikemukakan diberbagai
forum.
Menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) bahwa kondisi
RPH saat ini berjumlah sekitar 800 RPH. Dari jumlah ini, baru 25 RPH direvitalisasi
yang memiliki NKV (Nomor Kontrol Veteriner), ditargetkan pada tahun 2012 yang
akan memiliki NKV dan bertaraf internasional 150 RPH dan 11 RPH yang telah
diaudit oleh lembaga independent Auditor.
Standarisasi RPH pemerintah di Jawa Barat dapat dilakukan sesuai dengan dengan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang Pedoman
Sertifikasi Kontrol Veteriner, dan Peraturan Menteri Pertanian No.
13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia
dan Unit Penanganan Daging serta SNI tentang rumah potong hewan No. 01-61591999. Selain itu, kondisi social budaya masyarakat perlu dijadikan pertimbangkan
dalam melakukan standarisasi.
Kesimpulan; (1) Jawa Barat sebagai sentra konsumen daging nasional, harus memiliki
manajemen RPH yang berstandar Nasional Indonesia (SNI) terutama RPH milik
pemerintah. (2) Manajemen RPH milik pemerintah di Jawa Barat dapat mengacu
kepada konsep meat business centre, sehingga RPH dapat menghasilkan produk
yang berdaya saing.
Kata Kunci : Standarisasi, RPH, dan kesejahteraan hewan
PENDAHULUAN
Rantai pasok daging sapi (beef supply chain) global menjadi salah satu
komponen yang strategis di dalam pemenuhan pangan dan sistem logistik daging sapi
nasional. Pada saat ini industri daging sapi atau rantai pasok daging sapi nasional,
dihadapkan pada lingkungan pasar global yang sangat kompetitif. Semakin senjangnya
kapasitas produksi daging sapi nasional dengan laju pertumbuhan permintaan
konsumsi menyebabkan Indonesia semakin berkepentingan dengan rantai global untuk
mereduksi tingkat kesenjangan tersebut. Oleh sebab itu, pada akhir-akhir ini, tuntutan
terhadap Indonesia untuk dapat menyelaraskan diri terhadap berbagai norma dan
regulasi perdagangan internasional (terms of trade) sapi potong dan daging sapi
tampaknya semakin keras disuarakan oleh berbagai pihak yang menjadi mitra
perdagangan internasional Indonesia. Khususnya untuk komoditas perdagangan sapi
potong, isu-isu mengenai kepuasan dan kepercayaan konsumen atas atribut-atribut non
ekonomi, seperti keamanan pangan (food safety), kemamputelusuran (traceability) dan
kesejahteraan hewan (animal welfare) semakin intensif dikemukakan di berbagai
forum perdagangan internasional.
Pasca penayangan kekejaman pemotongan sapi impor di salah satu RPH
(Rumah Potong Hewan) di Indonesia oleh TV ABC di acara Four Corners pada bulan
Mei 2011, pemerintah Australia secara resmi mengumumkan embargo ekspor sapi
potong ke Indonesia. Pada faktanya, embargo tersebut, telah menimbulkan dampak
bagi kestabilan stok daging sapi pada tingkat nasional. Setelah embargo, volume stok
daging sapi di tingkat nasional diperkirakan mengalami penurunan yang cukup nyata.
Meskipun tidak terdapat data resmi mengenai perubahan stok daging sapi nasional,
penurunan volume stok tersebut dapat teramati dari pergerakan harga daging sapi di
sebagian besar wilayah Indonesia, terutama di kota-kota besar yang merupakan
wilayah utama konsumsi daging sapi nasional. Secara berangsur, harga daging sapi
mengalami kenaikan sebesar (20-30) % di dalam jangka waktu 8 bulan terakhir ini.
Selain dari permasalahan embargo tersebut, pemberlakuan pembatasan tingkat
impor sapi potong yang dilakukan oleh pemerintah tampaknya juga berkontribusi
secara nyata terhadap ketersediaan daging sapi di tingkat nasional. Berdasarkan hasil
sensus sapi potong dan kerbau (PSPK) tahun 2011, dimana populasi sapi potong
nasional telah mencapai 14,8 juta ekor, pemerintah mulai berkeyakinan bahwa
Indonesia mulai dapat berswasembada daging sapi. Keyakinan ini didasarkan atas
perhitungan-perhitungan yang termuat di dalam Cetak Biru Swasembada Daging Sapi
tahun 2014, yang menyatakan bahwa swasembada daging sapi nasional akan tercapai
pada saat populasi sapi potong Indonesia mencapai besaran antara 14,2 juta ekor. Oleh
karena itu, sejak tahun 2011, tingkat impor sapi potong diturunkan secara drastis.
Namun begitu, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, tingkat harga daging sapi
berangsur mengalami kenaikan. Pada perspektif ekonomi, kondisi ini menyiratkan
timbulnya kelebihan permintaan (excess demand) atas daging sapi secara nasional.
Kedua fenomena tersebut setidaknya dapat menunjukkan bahwa untuk
beberapa tahun mendatang, rantai pasok daging sapi nasional akan semakin terintegrasi
dengan rantai pasok global, baik secara fisik maupun kelembagaan. Di dalam konteks
ini, setiap pelaku di dalam rantai pasok nasional (chain actor) masing-masing memiliki
peran yang signifikan di dalam menjamin keintegrasian rantai pasok daging sapi
nasional tersebut. Di antara sekian banyak pelaku dalam rantai, Rumah Potong Hewan
(RPH) merupakan salah satu pelaku dalam rantai yang diyakini menjadi simpul
strategis yang menghubungkan antara rantai pasok nasional, global, dan konsumen
daging sapi nasional. Di sisi produksi, RPH merupakan lembaga yang menjadi muara
tataniaga sapi potong, baik nasional atau pun global, sementara pada sisi konsumsi,
RPH merupakan lembaga yang berfungsi untuk menjamin ketersediaan daging sapi
bagi konsumen, baik kuantitasnya atau pun kualitasnya.
Namun dibalik fungsi pentingnya sebuah RPH, khususnya bagi konsumen,
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012) menunjukkan bahwa dari sekitar 800
unit RPH yang ada di Indonesia, ternyata baru 25 unit RPH yang telah memiliki NKV
(Nomor Kontrol Veteriner). NKV merupakan tolok ukur resmi dan sah yang
menunjukkan telah dipenuhinya persyaratan higienis-sanitasi sebagai kelayakan dasar
jaminan keamanan pangan asal hewan yang diproduksi oleh sebuah RPH. Pada tahun
2012 ini, pemerintah Indonesia menargetkan untuk memberikan NKV pada 150 unit
RPH. Selain itu, auditor indenpenden telah mengaudit RPH di Indonesia yang sesuai
dengan National Livestock Identification System (NLIS) nya Australia, ternyata hanya
sebanyak 11 unit RPH yang dapat memenuhi standar rantai pasok dan NLIS tersebut.
masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal, serta
berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan:
a) pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan
masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);
b) pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection) dan
pemeriksaan karkas, dan jeroan (post-mortem inspektion) untuk mencegah
penularan penyakit zoonotik ke manusia;
c) pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada
pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna pencegahan,
pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di
daerah asal hewan.
Pada pasal 62 UU 18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan
dinyatakan, bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong
hewan yang memenuhi persyaratan teknis. Dari pernyataan ini, jelaslah bahwa undangundang mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk memenuhi persyaratan teknis
RPH di wilayahnya. Namun, pada realitanya RPH yang memiliki fungsi utama
melindungi konsumen terhadap kehalalan ternak yang dipotong, kesehatan daging dan
menjaga kualitas daging yang dihasilkan, pada saat ini fungsi tersebut masih
terabaikan. Para pengusaha jagal (pemotong ternak) masih berfikir sangat sederhana,
yaitu pemotongan ternak dan prosesing daging dilakukan asal halal menurut syariat
Islam. Sesungguhnya dalam proses pemotongan, ternak perlu diistirahatkan dengan
waktu yang cukup, dan perlakuannya tidak boleh dilakukan penyiksaan. Seharusnya
ternak sebelum dipotong dalam keadaan istirahat, dimandikan dan dipotong pada
keadaan tenang sehingga proses ketegangan otot dapat dihindarkan. Faktanya, dalam
proses pemotongan, ternak masih diperlakukan semena-mena. Dampak dari cara
pemotongan yang tradisional tersebut, diperoleh daging yang berkualitas rendah.
Selain itu, dalam proses pasca pemotongan ternak, hampir tidak pernah dilakukan
pelayuan, daging atau karkas langsung dibawa oleh pedagang dan dijual dalam
keadaan panas (hot meat). Keadaan ini dilakukan karena konsumen lebih menyukai
daging panas dari pada daging dingin (chill meat atau frozen meat). Hal inilah yang
menyebabkan seluruh RPH bekerja pada malam hari, karena setelah dilakukan
pemotongan, pada malam itu juga daging didistribusikan ke pasar-pasar yang mulai
berdagang pada dinihari dan sampainya di konsumen rumah tangga pada pagi hari.
Kenyataan tersebut yang menyebabkan, turunan bisnis pemotongan sapi yang
berlanjut pada kegiatan prosessing meat atau meat handling berjalan dan
dilakukan secara terpencar di masing-masing pasar, bukannya disuatu tempat yang
mudah diawasi. Akibatnya seluruh bisnis ini menjadi tidak efesien, para jagal tidak
menikmati keuntungan yang seharusnya diperoleh lebih besar, demikian pula halnya
pemerintah tidak memperoleh manfaat dan sangat sulit melakukan pembinaan kepada
para para jagal dan bisnis turunannya.
dipenuhi oleh sebuah rumah potong hewan, persyaratan tersebut mengatur mengenai :
1. Persyaratan lokasi :
a) Tidak bertentangan dengan rencana umum tata ruang dan rencana detail tata
ruang wilayah
b) Tidak berada ditengah kota, letak lebih rendah dari pemukiman penduduk
c) Tidak berada dekat industri logam atau kimia serta daerah rawan banjir
d) Lahan luas
2. Persyaratan sarana : Jalan yang baik, cukup sumber air dan Tenaga listrik yang
cukup.
3. Persyaratan bangunan dan tata letak bangunan yang harus ada antara lain :
Kandang istirahat , Kandang isolasi , Kantor administrasi dan kantor dokter hewan,
Tempat istirahat karyawan, kantin dan mushala, Tempat penyimpanan barang
pribadi/ruang ganti pakaian, Kamar mandi, Sarana pengolahan limbah, Incinerator,
Tempat parker, Rumah jaga dan Menara air
4. Persyaratan peralatan
a. Semua alat terbuat dari bahan yang mudah korosif dan mudah dibersihkan
b. Alat yang langsung bersentuhan dengan daging tidak bersifta toksis
c. Dilengkapi dengan system rel dan alat penggantung karkas
d. Dilengkapi sarana desinfektan
e. Dilengkapi peralatan khusus karyawan
5. Persyaratan karyawan dan perusahaan
a. Setiap karyawan harus sehat dan diperiksa kesehatannya min 1 x setahun
b. Karyawan mendapat pelatihan tentang hygiene dan mutu
c. Karyawan daerah kotor dan bersih dipisah
6. Pengawasan kesmavet
a. Diberlakukan pemeriksaan antemortem dan postmortem
b. Memiliki tenaga dokter hewan
7. Kendaraan pengangkut daging : dengan menggunakan box tertutup yang dilengkapi
alat pendingin dan alat penggantung karkas.
8. Persyaratan ruang pendinginan/pelayuan ; bersih, cukup cahaya, sanitasi lancar
dimudahkan dengan ketersediaan sapi, dan prosesing daging di tempat itu. Konsumen
akan dimudahkan pula untuk mencari informasi mengenai daging di MBC.
Selain itu, Pemerintah dapat melakukan pembinaan terhadap bisnis ini antara
lain melalui pengawasan dan penerbitan sertifikasi mutu/kualitas daging. Para
pengusaha suplier sapi yang tergabung dalam Apfindo memiliki kontribusi kongkrit
bersama asosiasi pedagang daging (Apdasi) dalam mengelola secara bersama bisnis
ini. Sehingga pasarnya menjadi captive. Tentunya sistem manajamen ini akan
menjadikan bisnis pemotongan sapi akan terjamin dalam sistem pembayaran, karena
telah terjadi closed circuit peredaran uang dan barang.Tidak seperti kondisi saat ini,
dimana bisnis perdagangan daging dihantui oleh resiko piutang macet.
SIMPULAN DAN SARAN
1) Jawa Barat sebagai sentra konsumen daging nasional, harus memiliki manajemen
RPH yang berstandar Nasional Indonesia (SNI) terutama RPH milik pemerintah.
2) Manajemen RPH milik pemerintah di Jawa Barat dapat mengacu kepada konsep
meat business centre, sehingga RPH dapat menghasilkan produk yang berdaya
saing.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standarisasi Nasional (1999); SNI tentang Rumah Potong Hewan No. 01-61591999. Pusat Standarisasi LIPI Jakarta
Kementrian Pertanian (2010), Peraturan Menteri Pertanian No. 13/Permentan/
OT.140/1/2010 Tentang Persyaratan rumah potong hewan ruminansia dan Unit
penanganan daging (meat cutting plant). Berita Negara RI No. 60/2010.
Kementrian
Pertanian
(2005),
Peraturan
Menteri
Pertanian
No.
381/Kpts/OT.140/10/2005 Tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit
Usaha Pangan Asal Hewan.
Tawaf, R (2006) Rancangan Teknis Rinci Meat Business Centre Di Kabupaten
Bandung, Fakultas Peternakan Unpad.
----------- (2004) Identifikasi Rumah Potong Hewan (MBC). Dinas Peternakan
Perikanan Kabupaten Bandung Fapet Unpad.
------------ (2006) Detail Engenering Design Meat Business Center; Kerjasama Dinas
Peternakan Perikanan Kab. Bandung dengan Fakultas Peternakan Unpad
------------ (2012) Kontribusi Usaha Penggemukan Sapi Potong Dalam Penyediaan
Daging Sapi Di Jawa Barat; Seminar Pembangunan Jawa Barat