PENGOLAHAN
ALKALIS SEBAGAI BAHAN PAKAN UNGGAS ALTERNATIF
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Pakan merupakan faktor terpenting untuk menunjang budidaya ternak karena berimbas pada
peningkatan bobot badan ternak dan performa ternak yang diinginkan. Peningkatan populasi,
produksi daging, susu dan telur sebagai hasil ternak sangat tergantung dari penyediaan pakan
yang baik dan berkualitas. Selain itu dalam usaha peternakan biaya pakan mencapai persentasi
tertinggi dalam biaya produksi yaitu mencapai 50 70 %. Penyediaan pakan ternak di Indonesia
sudah dilakukan dalam industri skala besar, Bahkan pada sektor perunggasan industri pakan
sudah terintegrasi menjadi sistem agribisnis perunggasan. Era perdagangan bebas menuntut
setiap negara untuk menghasilkan produk yang bermutu atau berkualitas tinggi termasuk pakan,
agar dapat bersaing di pasar internasional. Adanya SPS (Sanitary Phyto Sanitary) menuntut
produsen pakan agar mengikuti peraturan tersebut untuk menghasilkan pakan bermutu sesuai
dengan preferensi konsumen. Pakan yang diproduksi tentunya harus sesuai dengan standar SNI
(Standard Nasional Indonesia) dan standard internasional (Codex Alimentarius Commision).
Pakan yang baik dan berkualitas harus memenuhi persyaratan mutu yang mencakup aspek
keamanan pakan, aspek kesehatan ternak, aspek keamanan pangan dan aspek ekonomi.
Keempat aspek tersebut penting untuk dipenuhi karena akan berpengaruh pada kesehatan ternak,
penyediaan pangan hasil ternak dan keamanan konsumen dalam mengkonsumsi pangan hasil
ternak, serta efisiensi biaya agar dihasilkan pakan yang bernilai ekonomis.
Bungki kedele merupakan
yang persentase
penggunaannya paling tinggi selain jagung dalam ransum unggas. Pemakaiannya dalam ransum
unggas sekitar 50 %. Pemakaian untuk ransum ayam pedaging sekitar 15 30 % dan ayam 10
25 % petelur (Wina, 199). Ketersediaan bungkil kedele semakin terbatas karena pemanfaatan
kacang kedele bersaing dengan makanan manusia.Kalaupun ketersedianya mencukupi namun
harganya cukup mahal karena merupakan barang impport. Di lain pihak kebutuhan produk
unggas baik daging maupun telur semakin meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk
Indonesia.Untuk menjamin ketersediaan bahan pakan sumber protein seperti bungkil kedele
perlu dicarikan sumber bahan pakan alternatif yg memiliki.kandungan nutrisi dan energi
metabolis yang hampir sama dengan bungkil kedelai. Salah satu diantaranya adalah kerandang
(Canaavalia virosa).
Kerandang (Canaavalia virosa).merupakan tanaman legum native tahunan yang hidup dan
berkembang secara alami di lahan pasir pantai, mampu mengikat nitrogen dari udara sehingga
berpotensi untuk memperbaiki kesuburan tanah. Kandungan nutrisi biji kerandang sangat baik
yaitu protein 31,3%, lemak 4,9%, abu 3,8% dan kalori 1512,4 kj/100g atau 3629.76 Kkal/kg,
DM, kandungan asam amino esensial seperti isoleusin, hisediaastidin, systine+metionin dan
threonin juga relatif tinggi, serta kaya calsium, zinc, mangan dan besi.(Erna, dkk.2010).
Kandungan protein bungkil kedele adalah Protein kasar : 42 50 %, Serat kasar : 6 %, lemak
1,32% - 4,8%. kalsium (0,27%). phospor 0,63%. Wina .E (1999). Energi metabolis : 2825 2890 Kkal/kg Seperti biji kedelai, bungkil kedelai tidak menyediakan karoten dan vitamin D.
Bungkil kedelai tidak kaya riboflavin tetapi kandungannya lebih tinggi dibandingkan dengan
jagung dan butiran lainnya. Kandungan niacin tidak tinggi, kandungan thiamin bungkil kedelai
sama dengan butiran lainnya., Adapun kendala dari biji kerandang sebagai bahan pakan adalah
kandungan HCNnya yang tinggi. Kadar HCN yang merupakan faktor anti nutrisi pada kerandang
dapat dilakukan penekanan dengan berbagai cara dan dengan tingkat penekanan HCN
yang berbeda-beda sesuai dengan perlakuan.Usaha untuk mengurangi kandungan HCN telah
dilakukan oleh BPTP Yogyakarta dengan ketepatan proses pengolahan dengan pemecahan kering
sehingga biji kerandang tidak terkontaminasi HCN. Setelah melalui beberapa tahapan proses
seperti pada pembuatan tempe dan tahu , hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan HCN
biji kerandang jauh di bawah ambang batas toleransi HCN bagi tubuh (50 ppm/berat badan),
pada pembuatan tempe dan tahu kandungan HCN berkisar 84,40-97,70 ppm sehingga kedua
produk olahan kerandang tersebut aman untuk dikonsumsi, Namun prosespengolahan seperti ini
memakan waktu cukuplama dan menambah biaya produksi sehingga kurang cocok bila
diterapkan di tingkat petani, Oleh karenra itu perlu dicarikan teknologi pengolahan tepat guna
sehingga mudah diaplikasikan oleh petani, salah satudiantaranya adalah cara pengolahan alkalis
yaitu dengan cara merendam pada larutan alkalis yang bahan bakunya murah dan mudah
diproleh.
et al (2002), kondisi rata-rata suhu udara Jepang sebagian besar kurang dari 16oC
menyebabkan kontaminasi pangan oleh kapang penghasil aflatoksin jarang terjadi.
nutrisi biji kerandang sangat baik yaitu protein 31,3%, lemak 4,9%, abu 3,8% dan kalori
1512,4 kj/100 g DM, kandungan asam amino esensial seperti isoleusin, histidin, systine,
metionin dan threonin juga relatif tinggi, serta kaya calsium, zinc, mangan dan besi. Areal
penanaman Kerandang terdapat di pesisir pantai kabupaten Bantul, Kulonprogo dan Gunung
Kidul dengan luas sekitar 3000 Ha. Sampai saat ini belum banyak hasil penelitian tentang
pemanfaatan kerandang baik sebagai pangan manusia maupun pakan ternak.
seperti
kecernaan
nutrien
dan
nilai
energi
metabolik
dengan pengujian
secara kimia yang bersifat kuantitatif (Kamal,I997) untuk itu dikenal Analisis
proksimat dan Analisis serat. Selanjutnya dinyatakan bahwa
dari Analisis
proksimat dapat diketahui macam fraksi yailu air, protein kasar, lemak kasar,
serat kasar, abu dan bahan ekstrak tanpa N. Tillman ,dkk (1984) menyatakan
bahwa dalam komponen proksimat tersebut dapat dibedakan menjadi 7
kelas nutrien yaitu karbohidrat, lemak, protein, vitamin, air, udara dan
mineral. Ketujuh macam nutrien tersebut dapat dikelompokan menjadi
bahan organik dan bahan anorganik akan dikatakan berkualitas baik apabila
telah mengandung nutrient dalam keadaan yang seimbang serta asam
amino sessensialnya tersusun dalam keseimbangan yang serasi (Anggorodi,
1985). Selanjutnya dinyatakan bahwa salah satu komponen yag sering
nilai nutritive protein ditentukan oleh jumlah dan imbangan asam amino
essensialyang terdapat dalam ransum ( Maylard dan
Loosli. 1980).
menyatakan, bahwa kecernaan protein dan asam amino adalah salah satu
factor yang penting guna mengevaluasi nilai nutrisi protein bahan pakan
menghasilkan
ketepatan
dalam
menyusun
ransum.
Menentukan
nilai
dengan metode in
AIat
Alat yang digunakan adalah kompor listrik, glass beker, pisau, lampu pemanas,
timbangan analitik, dan gelas ukur.
3.2. Prosedur Peluruhan Asam Sianida dengan larutan Alkalis
Ditimbang 1 kg kerandang dimasukkan kedalam gelas beker volume 2000 ml
ditambahkan aquades sebanyak 800 ml sambil dipanaskan(direbus) ditambahkan 10 %
Ca(OH)z 10%. Perebusan diteruskan sampai air mendidih, setelah kondisi mendidih selama
1 jam perebusan dihentikan. Setelah perebusan selesai kompor dimatikan dan didiarnkan
sampai suhu rebusan kerandang meneapai suhu kamar, selanjutnya kerandang dipisahkan
dari air rebusan(residu) . Keduanyadianalisis kandungan sianidanya. Cara demikian berlaku
pula bagi penambahan abu gosok Dari hasil analisis sianida dalam air residu dapat
ditentukan efisiensi pemisahan sianida dari Keranda. Dari Hasil analisis HCN, dipilih 3
metode penurunan HCN yang memiliki nilai penurunan tertinggi.
3.3. Analisis Proksimat
Untuk Mengetahui Nilai Nutrisi (Protein kasar, Lemak Kasar Serat kasar, Abu dan BETN)
Kerandang pada Masing masing perlakuan dilakukan analisis proksimat menurut prosedur
AOAC (1994).
3.4. Rancangan Penelitian dan Analisis Data
Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan unit percobaan
sebanyak 2 kg kerandang, dengan enam perlakuan dan 3 ulangan dengan susunan perlakuan sebagai
berikut : A = kerandang dicuci; B= kerandang di kukus (100C); C = Kerandang dikukus + dijemur
dibawah sinar matahariselama 12 jam, D = Kerandang di rebus dengan !0% Ca (OH)2 E= kerandang
direbus dengan penambahan abu gosok 10 % . Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam
perlakuan dan lima ulangan, dan hasil analisa dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT)
(Gaspersz, 1991).
Menurut rancangan percobaan dan aplikasi oleh Kemas Ali Hanafiah untuk menghindari
kesalahan sekecil mungkin maka banyaknya replikasi atau ulangan terhadap eksperimen
digunakanhun 2012 dengan alokasi waktu dimulai dari pengambilan sampel dan hingga ke
proses perlakuan Penelitian ini bertempat di Laborarorium Kimia dan Laboratorium Nutrisi
Fakultas Agroindustri.
4. Daftar Pustaka
Djaafar, T.F. Cahtaningrum, N dan Purwaningsih, H. 2010. Phisico-chemical
Characteristis of
Tribal bean ( Canavalia virosa) And Its Alternative Tofu and tempeh
Food Products). Indonesian Journal of Agriculture Science 11 (22),
2010: 74-80.
Maybard, L.A dan J.K.Loosli. 1980. Animal Nutrition, Mc Graw Hill Book
Company Inc,New
york, Toronto. London.
Ngasifudin, Sukosrono(2006) Penentuan Efisiensi Pemisahan Sianida Pada Pengolahan
Umbi Gadung (Dioscorea Hispida).Pustek Akselerator dan Proses Bahan - BATAN
Park, K.Y., K.O. Jung, S.H. Rhee and Y.H Choi. 2003. Antimutagenic effects of
doenjang
(Korean fermented soypaste) and its active compounds. Mutation
Research
/Fundamental and Molecular Mechanisms of Mutagenesis. Volumes
523-524, FebruaryMarch 2003, Pages 43-53
Purwanti .S.2010. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Asam Sianida (HCN).IPB
Bogor
Rosningsih, S. (2005) Evaluasi Komposisi Nutrien dan Fraksi Serat Pada Kulit
Kacang Tanah yang Difermentasikan dengan Prebiotik Orgadec sebagai
Sumber Bahan Pakan Berserat, Buletin Pertanian Dan Peternakan,
Fakultas Pertanian Universitas Wangsa Manggala Yogyakarta.
Siddhuraju,P. dan K. Becker. 2001. Species/variety differences in biochemical
composition and
nutritional valu of indian tribal legumes of genus Canavalia.
Nahrung/Food 45 (4). 224-233.
Snyder, H.E. dan T.W. Kwon. 1987. Soybean Utilisation Van Nostrand
Reinhold, New York.
Sridhar, K.R dan Seena. 2006. Nutritional and antinutritional significance of
four unconventional
legumes of the genus Canavalia. A Comparative study. Food Chem. 99:
267-288.
Tanaka, K., T. Goto, M. Manabe, S. Matsuura. 2002. Traditional Japanese Fermented Foods Free
from Mycotoxin Contamination. JARQ Vol. 36, No. 1. Page 45-50
100.000,-
2. Analisis Laboratorium.................
Rp.
500.000,-
200.000,-
200.000,-
Total
USUL PENELITIAN
Usul Penelitian untuk Memperoleh Dana Penelitian Univesitas Mercu Buana 2012
OLEH:
Mengetahui
Dekan Fak. Pertanian UMBY
Ketua Peneliti
Kaprodi Peternakan
(Ir.Sonita Rosningsih.MS)
NIP. 196108021986012001
Proksimat
3. Alkalis
RAL : t (r-1) > 15 ==== 3 (r-1) > 15 ====3r -3 >15 ===r = 15-3/3 = 4