Anda di halaman 1dari 6

"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka[a]: "Tahanlah

tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" setelah


diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik)
takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu
takutnya. mereka berkata: "Ya Tuhan Kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada
kami? mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada Kami sampai
kepada beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan
akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya
sedikitpun[b]. QS 4: 77.

[a] Orang-orang yang Menampakkan dirinya beriman dan minta izin berperang sebelum
ada perintah berperang.
[b] Artinya pahala turut berperang tidak akan dikurangi sedikitpun.

Ibnu Katsir rahimahullah di dalam Kitab Tafsirnya mengatakan: Orang-orang mukmin pada
awal Islam, ketika itu di Makkah, mereka diperintahkan untuk shalat dan zakat, walau tanpa
batasan tertentu. Mereka diperintahkan untuk melindungi orang-orang fakir, diperintahkan
untuk toleransi dan memaafkan kaum musyrikin, dan sabar hingga batas waktu yang
ditentukan. Padahal mereka amat membara dan amat senang seandainya mereka
diperintahkan berperang melawan musuh-musuh mereka. Akan tetapi, kondisi saat itu tidak
memungkinkan dikarenakan banyak sebab. (Jilid I: 538).

Selanjutnya beliau mengatakan, alasan utama mengapa Allah belum memerintahkan jihad
(qital) melawan musuh-kaum musyrikin-kafirun ketika kaum mukmin masih berada di
Makkah (fase-fase awal dakwah Nabi Saw), dan baru perintah itu Allah sampaikan ketika
mereka telah berhijrah ke Madinah, antara lain adalah:
1.

Sedikitnya jumlah kaum mukmin dibandingkan jumlah & kekuatan musuh

2.

Mereka masih berada di wilayah tanah haram, di kota sendiri, tempat yang paling mulia..

3.

Belum memiliki kekuatan, benteng dan pendukung yang memadahi.

Oleh karenanya, mereka tidak diperintahkan jihad kecuali setelah di Madinah, ketika mereka
telah memiliki negeri, benteng dan dukungan.

Ayat di atas juga menjelaskan, ternyata ketika di Madinah, dimana Allah memerintahkan
jihad, justru sebagian mereka berbalik fikiran menjadi enggan(dan bahkan menolak
dengan berbagai alas an yang tidak logis, pent) menerima perintah jihad, bahkan minta
ditunda. (Pent. Padahal ketika awal Islam di Makkah, dimana mereka (masih) dalam kondisi
lemah, mereka itu yang paling ngotot meminta disyaria`atkan Jihad berperang melawan
musuh dengan segera) Mereka beralasan khawatir terjadinya pertumpahan darah, anak-anak
menjadi yatim dan isteri-isteri menjadi janda. (Hal. 538-539). Bagaimana dengan model
kaum muslimin seperti kita ini ? Yang telah terjangkit parah penyakit al wahn ? Cinta
dunia dan takut mati ?.Dan mayoritas umat ini tak terdidik dengan didikan Islam yang baik.
Mesin uang mengatur perjalanan para da`i, dan bahkan mesin manajemen dakwah di atur
oleh kemauan pemilik modal, walau dengan alasan bahwa ekonomi itu teramat penting dalam
dakwah dan pendidikan . Bagaimana mungkin menjadi seorang muharrik padahal
mereka belum merasakan lezatnya ujian iman, pengorbanan dan Itsar ?

Syaikh Abu Bakar Al Jazairi rahimahullah mengatakan : mereka itu menginginkan


penundaan perintah perang, (bila perlu) sampai mereka menemui kematian tanpa menghadapi
musuh dan bertempur melawannya. Sehingga kemudian Allah memerintahkan Rasul-Nya
agar berkata kepada mereka, Kesenangan dunia ini hanyalah sementara, dan akhirat bagi
orang bertaqwa jauh lebih baik daripada kehidupan dunia (Aisarut Tafasir li Kalaamil
`Aliyyil Kabiir, Jilid I : 511).
Menurut Syaikh Abdurrahman As Sa`di rahimahullah dalam mengomentari ayat ini, dia
berkata: Ada beberapa faedah adanya perintah di atas ketika kaum mukmin masih di
Makkah (kondisi lemah dan sedikit):
1. Ini merupakan hikmah dari Allah ta`ala yang mensyariatkan untuk hamba-hamba Nya
dengan tidak memberatkan, dan memulainya dari yang paling penting diantara yang penting
penting, dari yang paling mudah di antara yang mudah-mudah.

2. Andaikan Allah perintahkan (wajibkan) mereka, tatkala masih lemah dan sedikit jumlah
mereka, di tengah musuh yang jauh lebih kuat dan lebih banyak, akan membawa mafsadat
bagi mereka dan perkembangan Islam itu sendiri. (Taisirul Kariimir Rahman fi Tafsir
Kalamil Mannaan, hal. 187-188)
Ibnul Qayyim al jauziyah rahimahullah mengomentari ayat 4 : 77 ini sbb:
Alasan Allah ta`ala melarang kaum mukmin di Makkah (fase Makkah), dari penggunaan
tangan (kekuatan) dalam membela Islam, dan bahkan memerintahkan mereka untuk
memaafkan kaum musyrik dan berlapang dada atas prilaku tak bersahabat dari mereka, tidak
lain agar bisa menutupi celah-celah ke arah timbulnya mafsadat yang lebih besar, untuk
dapat membuka kemaslahatan dalam memelihara jiwa mereka, dien mereka, keturunan
mereka. Dan ini jauh lebih penting (I`lamul Muwaqqi`iin, II: 150).

Faedah Dari Tafsir Ayat ini:


1. Bahwa perintah jihad dikaitkan dengan kondisi kesiapan kaum muslimin itu sendiri,
bukan karena keinginan atau tuntutan sesaat sebelum waktunya.
2. Ketika kaum muslimin masih lemah, mereka diperintahkan untuk menegakkan shalat,
zakat, menyantuni fuqoro-masakin, memaafkan dan lapang dada menghadapi perlakuan
musuh.
3.

Bagaimana mungkin kita berjihad sementara kita rapuh dalam tauhid dan akhlak

4. Bagaimana mungkin kita berjihad padahal kita belum merasakan lezatnya santapan
kesabaran dan ukhuwwah.
5. Bagaimana mungkin kita berjihad, sementara kita belum mengenal apa itu pengorbanan
dan sikap lebih mengutamakan orang lain.
6. Bagaimana kita berjihad, sementara kita belum merasakan lezat dan nikmatnya taat
kepada Allah dan kepatuhan kepada-Nya. Perhatikan QS Muhammad: 31).
7. Dalam fase seperti ini, maka berdakwah kepada tauhid adalah prioritas yang harus
didahuklukan, lalu disusul dengan pembinaan ibadah yang disertai dengan pembinaan
akhlak, adalah sebuah keniscayaan dan Manhajiyah, dan bukan sebagai strategi atau tuntutan
sesaat.
8. Yang harus kita lakukan dalam kondisi kaum muslimin seperti ini, adalah: Tarbiyatul
Fardi wa Wihdatush shaff (mendidik pribadi/umat dan menyatukan shaff); dan jangan banyak
bicara tentang musuh dan apalagi penegakan syariat Islam (tanpa thariqah yang jelas dan
manhajiyah).

Artinya: Tuntutan menegakkan nizham (system perundangan) Islam dan bertahkim dengan
syari`at Islam BUKANLAH merupakan Langkah Pertama, akan tetapi yang menjadi
Langkah Pertama (dalam Dakwah dan Tarbiyah, pent.) adalah : (Upaya) mentranformasi
masyarakat (muslim) itu sendiri baik darikalangan pengambil kebijakan (para pemimpin)
maupun yang dipimpin (rakyat-kaum muslimin), dari jalan lama yang mereka tempuh (yang
tak sesuai manhaj, pent.) kepada pemahaman-pemahaman Islam yang shahih. (Perkataan
Sayyid Quthb, dalam bukunya Limadza A`dumuuni ?, hal. 44, dan Tafsir Fi Zhilal al Quran,
Jilid 2 hal. 712)
31. Dan Sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orangorang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik
buruknya) hal ihwalmu. QS Muhammad: 31
Pendidikan itu tidak terwujud dengan retorika (lewat khotbah-khotbah), juga bukan sekedar
menghadirkan sejumlah pelajaran, dan bukan pula dengan menghafal sejumlah kitab (walau
itu semua penting). Akan tetapi Tarbiyah itu adalah sebuah kesungguhan amal dan eksistensi
dari sebuah hakikat, terhadap setiap yang kita terima dan kita pelajari di lapangan kehidupan
nyata. Dengan kata lain, bahwa tarbiyah adalah: suatu amal perbuatan yang benar-benar ujud
yang disertai dengan ilmu yang shahih, atau ia merupakan penyucian jiwa terhadap apa-apa
yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya
Jika demikian, lalu apa itu Tarbiyah ?
164. Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan
kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada
mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka
adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. QS Ali Imran: 164. Ayat senada juga
terdapat pada QS Al Jum`ah: 2, dan Al Baqarah: 129.
Oleh karena itu Aisyah RA secara singkat dan tegas, ketika ia ditanya tentang seperti apa sih
akhlaq Nabi Saw ? Jawabnya: Akhlaq beliau adalah Al Quran. (HR Muslim dan Ahmad dll)
Dengan demikian, maka menjadi jelaslah bahwa Tarbiyah itu bukan sekedar menampakkan
wajah berseri-seri dan ber-akhlak baik, bahkan jauh lebih dari itu, yaitu: sebuah sikap
komitmen (iltizam) terhadap Ad Dien (Islam) ini secara kaffah, oleh hati dan fisik, lahir dan
batin, secara ilmu dan amal, dakwah dan ibadah, dan haruslah dimulai dari memahami
kalimat Tauhid (secara benar dengan manhaj yang benar pula) dan beramal dengan dasar
Tauhid, dan berujung pada menyingkirkan gangguan dari tengah jalan. (Assabiil ilaa Manhaj
ath Thaifah al Manshurah, seri 5, hal. 75-77, Syaikh Adnan Ali `Ar `Ur)
Apabila telah diketahui bahwa Tarbiyah itu adalah beramal dengan ilmu .. maka usaha keras
menekuni bidang ini memiliki dampak yang besar dalam ketaqwaan seseorang kepada Allah,
dalam memperbaiki manusia (akal, hati dan ruhnya), dan dalam membangun dan
menegakkan masyarakat

Di dalam Tarbiyah ada upaya mewujudkan mengokohkan barisan dan menyempurnakan


satu kalimah, dan dapat mengubur habis sebagian besar pertikaian ummat ini.
Dengan Tarbiyah akhlak terpuji menjadi hidup, lapang dada dan jiwa toleran, dapat
menanamkan kemashalahatan individu sehingga tegak dan baik masyarakat tersebut, dan
jadilah kaum muslimin seperti sebuah bangunan yang tersusun kokoh, sebagiannya
menopang sebagian lainnya maka akan turunlah kemenangan (pertolongan) Allah dan
menjadi sempurnalah kekokohannya. (hal. 79).

Tahapan menuntut ilmu:


1. Taujih dan tashfiyah, Bina dan tarbiyah, Tashil dan Tahliyah, Ta`lim dan Taqwiyah:
membangun akal dan fikrahnya, mendidik jiwanya dan akhlaknya, mengarahkan motivasi
dan cita-citanya, membersihkan pemikirannya dan aqidahnya, menghunjamkan aqidahnya
dan petunjuk-petunjuk diennya, menguatkan imannya, memuliakannya dengan Islamnya,
mengikuti salaf-nya dan mempelajari hukum-hukum ibadahnya, sendi-sendi mengenali
kebenaran, melatihnya agar dapat melaksanakan kaidah-kaidah yang adil, adab ikhltilaf,
husnul khulq.
2.

Syarah dan Tafshil, menindak lanjuti apa-apa yang telah dicapai pada tahap pertama.

3. Ta`ammuq (pendalaman), pemahaman yang shahih terhadap kaidah-kaidah Dien ini dan
pokok-pokoknya. Dan dari sini maka seorang pelajar kelak diharapkan untuk menjadi
seorang du`at ilallah Dengan : Bashiroh, ilmu dan hikmah. (hal. 93-94).

Mari kita simak nasihat dari mahaguru kaum muslimin, Ibnul Qayyim al Jauziyah
rahimahullah :
Barang siapa (dari Orangtua) yang meremehkan pengajaran anak-nya pada hal-hal yang
memberinya manfaat dan membiarkan begitu saja (sehingga tanpa mengenal Islam sebagai
jalan hidup), maka sungguh ia telah melakukan suatu kesalahan besar bahkan puncak dari
kesalahan - .
Ketahuilah, bahwa sebagian besar lahirnya anak-anak dengan prilaku buruk (fasad) adalah
bersumber dari orangtua (Bapak-Bapak) dan karena sikap meremehkan tadi, dan membiarkan
mereka tidak mendapatkan pengajaran agama (kewajiban dan sunnah-sunnahnya), maka
hilanglah usia dini (usia emas) mereka, sehingga mereka tidak dapat memberi manfaat untuk
diri mereka sendiri, dan tidak pula memberi manfaat bagi orangrtua mereka di masa
dewasanya. Mungkin saja dengan sikap orangtua yang acuh terhadap pendidikan agama ini,
akan melahirkan anak-anak cerdas, namun menjadi penentang Islam, menjalani hidup tanpa
arah yang jelas, mereka yatiihuun (berjalan tanpa arah yang jelas, sehingga tersesat jalan).
Bahkan ada sebagian anak yang durhaka ketika dewasanya menyalahkan orangtuanya, sambil
berkata dengan keras:

Wahai Ayahku, engkau telah mendurhakaiku ketika kecil-ku, maka kini akupun
mendurhakaimu saat aku dewasa, dan engkau campakkan aku ketika kecil-ku, sehingga kini
aku mencapakkanmu pada masa tuamu.

Anda mungkin juga menyukai