Anda di halaman 1dari 12

KEWAJIBAN BELAJAR MENURUT AL-QUR’AN ( SURAT AT-TAUBAH: 122 &

SURAT AL-ANKABUT: 19-20)

3 Februari 2017 Muh. Arroyan A. MAKALAHTAFSIR TARBAWI

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam Islam pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan waktu tertentu saja,
melainkan dilakukan sepanjang usia (long life education). Islam memotivasi pemeluknya
untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan. Tua atau muda, pria atau
wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi sama dalam kewajiban untuk menuntut ilmu
(pendidikan). Seperti wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW saja adalah tentang
perintah membaca, Al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan
tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah,
telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah,
maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Dapat dilihat betapa pentingnya
pengetahuan bagi kelangsungan hidup manusia. Karena dengan pengetahuan manusia akan
mengetahui apa yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang
membawa manfaat dan yang membawa madharat. Tanpa pengetahuan niscaya manusia akan
berjalan mengarungi kehidupan ini bagaikan orang tersesat, yang implikasinya akan membuat
manusia semakin terlunta-lunta kelak di akhirat nanti.

Barangsiapa menginginkan dunia, maka harus dengan ilmu. Barangsiapa menginginkan


akhirat, maka harus dengan ilmu. Dan barangsiapa menginginkan keduanya, maka harus
dengan ilmu.”

Begitulah penyataan dari Imam Syafi’i. Dari sini dapat diambil sebuah kesimpulan,
selayaknya manusia selalu berusaha untuk menambah kualitas ilmu pengetahuan dengan
terus berusaha mencarinya hingga akhir hayat.

BAB II
PEMBAHASAN

1. QS At-Taubah: 122

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (Q.S At-
Taubah : 122)

1. Asbabun Nuzul At-Taubah:122

Tersebutlah pada saat itu ada orang-orang yang tidak berangkat ke medan perang, mereka
berada didaerah badui atau pedalaman. Karena sibuk mengajarkan agama kepada kaumnya.
Maka orang-orang munafik memberikan komentarnya ”sungguh ada orang-orang yang
tertinggal didaerah pedalaman, maka celakalah orang-orang pedalaman itu” kemudian
turunlah firmannya yang menyatakan tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu
pergi semuanya” (ke medan perang).

Ibnu Abu Hatim telah mengetengahkan pula hadits lainya melalui abdullah ibnu Ubaid ibnu
Umair yang menceritakan, bahwa mengingat keinginan kaum mukminin yang sangat besar
terhadap masalah jihad, disebutkan bahwa bila rasulullah SAW mengirimkan syariahnya,
maka mereka semuanya berangkat. Dan mereka meninggalkan nabi. Di Madinah bersama
dengan orang-orang yang lemah.[1]

2. Penjelasan QS. At-Taubah: 122

Ayat ini merupakan penjelasan dari Allah SWT bagi golongan penduduk Arab yang hendak
berangkat bersama Rasulullah SAW ke perang Tabuk. Ada segolongan ulama salaf yang
berpendapat bahwa setiap muslim wajib berangkat untuk berperang, apabila Rasulullah pun
berangkat. Oleh karena itu Allah SWT berfirman, “Maka pergilah kamu semua dengan
ringan maupun berat.” (Q.S At-Taubah: 41)[2].

Dalam riwayat Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abdullah bin Ubaid bin Umar
dikemukakan bahwa kaum Mukminin, karena kesungguhannya ingin berjihad, apabila diseru
oleh Rasulullah SAW untuk berangkat ke medan perang, mereka serta merta berangkat
meninggalkan Nabi SAW beserta orang-orang yang lemah. Ayat ini QS at-Taubah:122 turun
sebagai larangan kepada kaum Mukminin serta merta berangakat seluruhnya, tapi harus ada
yang menetap untuk memperdalam pengetahuan agama.[3]

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
(At-Taubah: 122) Yakni tidaklah sepatutnya orang-orang mukmin berangkat semuanya ke
medan perang dan meninggalkan Nabi Saw. sendirian. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang. (At-Taubah: 122) Yaitu suatu golongan. Makna
yang dimaksud ialah sepasukan Sariyyah (pasukan khusus) yang mereka tidak berangkat
kecuali dengan seizin Nabi Saw. Sedangkan mereka yang tetap tinggal untuk memperdalam
ilmu bersama Nabi Saw. Akan mengatakan kepada Sariyyah, “Sesungguhnya Allah telah
menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada Nabi kalian dan telah kami pelajari”. Selanjutnya
Sariyyah itu tinggal untuk mempelajari apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi
mereka, sesudah keberangkatan mereka dan Nabi pun mengirimkan Sariyyah lainnya yang
demikian itulah pengertian firman Allah Swt.:

{ ‫}ِلَيَتَفَّقُهوا ِفي الِّديِن‬

untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. (At-Taubah: 122)

Yakni agar mereka mempelajari apa yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi mereka.
Selanjutnya mereka akan mengajarkannya kepada Sariyyah apabila telah kembali kepada
mereka.

{ ‫}َلَعَّلُهْم َيْح َذ ُروَن‬

supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122)


Yaitu untuk menjaga dari siksaan Allah dengan cara melaksanakan perintah dan menjauhi
larangannya.[4]

Mujahid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan sehubungan dengan sejumlah orang dari
kalangan sahabat Nabi Saw yang pergi ke daerah-daerah pedalaman, lalu mereka beroleh
kebajikan dari para penduduknya dan beroleh manfaat dari kesuburannya, serta menyeru
orang-orang yang mereka jumpai ke jalan petunjuk (hidayah). Maka orang-orang pedalaman
berkata kepada mereka, “Tiada yang kami lihat dari kalian melainkan kalian telah
meninggalkan teman kalian (Nabi Saw) dan kalian datang kepada kami.” Maka timbullah
rasa berdosa dalam hati mereka, lalu mereka pergi dari daerah pedalaman seluruhnya dan
menghadap Nabi Saw. Maka Allah Swt berfirman Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang. (At-Taubah: 122) untuk mencari kebaikan untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. (At-Taubah: 122) dan untuk
mendengarkan apa yang terjadi di kalangan orang-orang serta apa yang telah diturunkan oleh
Allah. Allah memaafkan mereka. Dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya. (At-
Taubah: 122) Yakni semua orang apabila mereka kembali kepada kaumnya masing-masing.
Supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122)

Jadi dalam pasukan tersebut ada dua kelompok yaitu kelompok yang berjihad dan kelompok
yang memperdalam agama melalui Rasul.[5]

Dalam penjelasan lain juga kalimat di atas sebenarnya fardhu kifayah, yang apabila telah
dilaksanakan oleh sebagian maka gugurlah yang lain, bukan fardhu ain, yang wajib dilakukan
oleh setiap orang. Artinya agar tujuan utama dari orang-orang yang mendalami agama itu
ingin membimbing kaumnya tentang akibat dari kebodohan dengan harapan supaya mereka
takut kepada Allah dan berhati hati terhadap kemaksiatan juga agar mampu menyebarkan
dakwah dan membela.[6]

3. Asbabun Nuzul

Tersebutlah pada saat itu ada orang-orang yang tidak berangkat ke medan perang, mereka
berada didaerah badui atau pedalaman. Karena sibuk mengajarkan agama kepada kaumnya.
Maka orang-orang munafik memberikan komentarnya ”sungguh ada orang-orang yang
tertinggal didaerah pedalaman, maka celakalah orang-orang pedalaman itu” kemudian
turunlah firmanya yang menyatakan tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu
pergi semuanya” (ke medan perang)

Ibnu Abu Hatim telah mengetengahkan pula hadits lainya melalui abdullah ibnu Ubaid ibnu
Umair yang menceritakan, bahwa mengingat keinginan kaum mukminin yang sangat besar
terhadap masalah jihad, disebutkan bahwa bila rasulullah SAW mengirimkan syariahnya,
maka mereka semuanya berangkat. Dan mereka meninggalkan nabi dimadinah bersama
dengan orang-orang yang lemah.[7]

4. Analisis QS. At-Taubah:122

Dalam ayat ini dibahas enam masalah, yaitu :

Pertama: firman Allah SWT, ‫ وما كا ن المؤمنون‬, ‘maksudnya adalah perintah jihad bukanlah
fardhu ain melainkan fardhu kifayah.

Kedua: ayat ini adalah asal perintah untuk menuntut ilmu, karena makna ayat tersebut adalah
tidaklah patut semua mukmin keluar untuk berjihad, sedangkan nabi SAW berada di
Madinah tidak ikut berperang ‫ فلوال نفر‬maksudnya adalah tidak dituntut semuanya berjihad
sedangkan sisa dari kelompok tersebut tinggal bersama Nabi dan mendalami ilmu agama.

Ketiga: kata ‫ة‬TT‫( طائف‬kelompok orang). Ukuran kelompok itu paling sedikit berjumlah dua
orang.

Keempat: firman Allah ‫ ليتفقهوا‬maksudnya ialah untuk mereka yang menetap bersama Nabi
SAW.

Kelima: hukum menuntut ilmu terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Fardhu’ain, seperti shalat, zakat dan puasa


2. Fardhu Kifayah, seperti memperoleh hak-hak menegakkan hukum atau hudud dan
melerai dua orang yang bertengkar.

Keenam: menuntut ilmu memiliki keutamaan dan martabat yang mulia.[8]


5. Aspek Tarbawi QS. At-Taubah:122
6. Menuntut Ilmu merupakan kewajiban bagi setiap mukmin laki-laki dan perempuan,
yang pahalanya disamakan dengan berjuang di medan perang.
7. Kewajiban menuntut ilmu agama bagi orang-orang muslim lalu mengajarkannya
kepada yang lain, bertujuan agar ilmu dan peradaban Islam dapat terus ada dari
generasi ke generasi.
8. Kaum muslimin hendaknya mengerti pembagian tugas dan peran masing-masing, ada
yang dalam bidang pertahanan dan keamanan, ada yang dalam bidang pendidikan,
agar dalam kelangsungan hidupnya mereka dapat saling memberi manfaat satu sama
lain.
9. Hakekat manusia tidak bisa dipisahkan dari kemampuan untuk mengembangkan ilmi
pengetahuan, maka ilmu yang disertai iman adalah ukuran derajat manusia.[9]

1. Al-Ankabut:19-20

öNs9urr&(#÷rtt ƒy#ø‹Ÿ2ä—ωö7リ!$#t,ù=y‚ø9$#¢OèOÿ¼çn߉‹Ïèãƒ4¨bÎ)šÏ9ºsŒ’n?tã«!
$#×Å¡o
Ž „ÇÊÒÈö@è%(#rçÅ
Ž ™†ÎûÇÚö‘F{$#(#rãÝàR$$sùy#ø
 ‹Ÿ2r&y‰t/t,ù=yÜø9$#4¢OèOª!
$#à×Å´Yãƒnor’ô±¨Y9$#notÅzFy$#4¨bÎ)©!$#4
 ’n?tãÈe@à2&äóÓx«ÖƒÏ‰s%ÇËÉÈ

Dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari
permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah. Katakanlah “Berjalanlah di (muka) bumi. Maka perhatikanlah
bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah
menjadikannya sekali lagi [1147]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

1. Penjelasan QS. Al-Ankabut: 19-20

Ayat 19 masih lanjutan dari ayat sebelumnya akan tetapi dalam ayat ini cenderung di pahami
sebagai komentar Allah SWT, karena redaksinya menbentuk pesona ketiga, tidak
sebagaimana lalu menggunakan ayat ke dua, yakni ditujukan langsung kepada mitra bicara
yakni dengan menolak langsung ajakan rosul penggunakan pesona ketiga itu mengesankan
kejauhan mereka dari kehadirat ilahi dan bahwa mereka tidak wajar memperoleh kehormatan
diajak berdialog dengan Allah swt.

Kata (‫ )يروا‬yarau terambil kata (‫ )راى‬ra’a yang dapat diartikan dapat melihat dengan mata
kepala atau mata hati atau memikirkan atau memperhatikan. Sementatara ulama antara lain
yaitu thaba’thaba’i memahami makna tersebut dalam arti dengan mata hati atau memikirkan
bukan dengan mata kepala, tetapi ulama lain seperti thahrir ibn Ayhur memahaminya dengan
kedua makna diatas. Kejadian manusia dan kematianya atau munculnya tumbuhan dan
layunya, dapat terlihat sehari hari dengan mata kepala yang mau melihatnya. Demikian ia
juga dapat di pikirkan dan di renungkan oleh siapapun walaupun tidak melihatnya dengan
mata kepala.

Kata (‫ )يبدئ‬yabdi’u terambil dari kata (‫ )بدا‬bada’a. Kata yang terdiri dari huruf-huruf (‫ )ب‬ba’,(
‫ )د‬dzal dan (‫ )ء‬hamzah, berkisar maknanya dalam memulai sesuatu. Orang yang terkemuka
dinamai bad’u, karena biasanya namanya disebut terlebih dahulu .

Allah yang memulai penciptaan dipahami dalam arti “dia yang menciptakan segala sesuatu
pertama kali dan tanpa contoh sebelumnya”. Ini mengandung arti bahwa Allah ada sebelum
adanya sesuatu. Dia yang menciptakan dari ada menjadi tiada, maka wujudlah sesuatu apa
yangdi kehendaki-Nya. “Dan apakah tidak mereka perhatikan bagaimana Allah memulai
penciptaan.” (pangkal ayat 19). Allah tidaklah dapat dilihat dengan mata. Untuk meyakinkan
adanya Allah, hendaklah perhatikan alam yang diciptakan oleh Allah. Untuk mencari Allah
perhatikanlah alam. Kian diperhatikan, akan kian teranglah dalam hatimu bantahan kepada
pendirianmu yang kaku dan kejang, yang selama ini mengatakan Tuhan itu tidak ada. Di awal
ayat ini kita dianjurkan memperhatikan bagaimana Allah memulai penciptaan. Banyak
terdapat permulaan penciptaan Ilahi yang sangat ajaib, yang begitu teratur dan mengagumkan
kalau dia terjadi dengan sendirinya. Tetapi suatu waktu kelak, manusia yang telah mati itu
pula dihidupkan kembali dalam kejadian yang baru. “Sesungguhnya pada yang demikian atas
Allah adalah mudah.” (ujung ayat 19) Sebagaimana kuning telur bisa jadi seekor ayam yang
bernyawa, kemudian ayam itu mati atau seperti manusia yang hidup di dunia ini, kemudian
mati setelah mati kelak menurut ukuran yang telah ditentukan Allah, manusia itu akan
dibangkitkan kembali, semuanya adalah urusan yang mudah saja bagi Allah.[10]
“Katakanlah Mengembaralah di muka bumi, lalu perhatikan bagaimana Dia memulai
penciptaan” (pangkal ayat 20) di sini perintah itu sudah lebih tegas lagi. Manusia disuruh
mengembara di muka bumi. Supaya dia jangan membeku saja tidak berfikir, tidak
menyelidiki. Penyelidikan-penyelidikan itu akan sampai kepada permulaan timbulnya ciptaan
pertama tentang hidup. Lanjutan ayat menyuruh manusia sampai kepada penyelidikan
selanjutnya: “Kemudian Allah memunculkan kemunculan yang lain.” Artinya ialah setelah
manusia memperhatikan awal mula penciptaan-penciptaan alam ini sampai menjadi ilmu,
dianjurkan manusia supaya merenungkan kemungkinan yang amat luas bagi Maha Penguasa
itu. Setelah Dia senggup menciptakan awal permulaan kejadian yang mudah baginya,
manusia bagaimanpun pintarnya tidak dapat menciptakan seperti itu. Kalau manusia sudah
mengakui bahwa segala permulaan penciptaan itu sangat teratur dan mengagumkan,
meninggalkan kesan bahwa pencipta itu memang maha kuasa, maka tidak ada lagi jalan
untuk memungkiri bahwa Dia pun maha kuasa pula membuat bentuk alam kelak dalam
bentuk yang lain, dan mengulangi kehidupan manusia dalam alam yang lain. “ Sesungguhnya
Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Kuasa.” (Ujung ayat 20) Segala yang kita pandang
sulit dan mustahil, bagiNya adalah perkara mudah belaka. [11]

2. Analisis QS. Al- Ankabut: 19-20

Allah tidaklah dapat dilihat dengan mata. Untuk meyakinkan adanya Allah, hendaklah
perhatikan alam yang diciptakan oleh Allah. Di awal ayat ini kita dianjurkan memperhatikan
bagaimana Allah memulai penciptaan. Banyak terdapat permulaan penciptaan Ilahi yang
sangat ajaib, yang begitu teratur dan mengagumkan kalau dia terjadi dengan sendirinya.
Tetapi suatu waktu kelak, manusia yang telah mati itu pula dihidupkan kembali dalam
kejadian yang baru. “Sesungguhnya pada yang demikian atas Allah dalah mudah.” (ujung
ayat 19) Sebagaimana kuning telur bisa jadi seekor ayam yang bernyawa, kemudian ayam itu
mati, atau seperti manusia yang hidup di dunia ini, kemudian mati, setelah mati kelak
menurut ukuran yang telah ditentukan Allah, manusia itu akan dibangkitkan kembali,
semuanya adalah urusan yang mudah saja bagi Allah.

Firman Allah SWT:

‫َأَو َلْو َيَر ْو أَكْيَف ُيْبِد ى هللا اْلَخ ْلُق‬


Bacaan yang lazim dipakai adalah dengan memakai huruf ya’pada khobar. Abu ubaid
mengatakan bahwa hal ini untuk mengingatkan manusia seolah-olah allah berfirman “apakah
kamu tidak tau bagaimana umat-umat terdahulu”. Ada yang berpendapat bahwa maknanya
adalah “apakah kalian tidak melihat bagaimana allah menjadikan buah-buahan itu,
menghidupkanya kemudian mematikanya dan mengulangi hal-hal yang demikian itu terus-
menerus.[12]

Firman allah SWT:

‫ُقْل ِس ْيُرْو ا ِفى اَاْلْر ِض‬

Jika kita perhatikan seksama kita akan mendapatkan banyak perbedaan dengan mereka,baik
dari segi tempat tinggal,tingkah laku dan perbedaan pola fikir. Semua itu terjadi karena
kekuasaan Allah SWT dengan keadilan.[13]

Dalam QS. Al-Ankabut:19-20 ini Allah memerintahkan agar manusia mempelajari dan
berfikir untuk memperdalam pengetahuan melalui objek berupa ciptaan-ciptaanNya, baik
ciptaan yang merupakan permulaan yang awalnya tidak ada sebagaiamana Allah menciptakan
manusia dari nutfah atau ciptaan yang merupakan menghidupkan kembali setelah musnah,
seperti membangkitan manusia yang sudah mati di alam akhirat kelak. Dari ayat ini dapat
dilihat pula bahwa tujuan dan hasil belajar yang dilakukan diharapkan dapat melahirkan atau
meningkatkan kepercayaan akan adanya Allah SWT yang Maha Kuasa, serta agar manusia
tidak sombong sebab seberapa pintarnya manusia tidak ada yang mampu menandingi
kekuasaan Allah yang mampu menciptakan sesuatu yang awalnya tidak ada, dan mengadakan
kembali sesuatu yang telah binasa.

3. Aspek Tarbawi QS. Al- Ankabut:19-20


4. Ilmu Pengetahuan bisa didapat tidak hanya melalui pendidikan formal saja, akan
tetapi sepanjang hiduplah pengetahuan dapat terus digali dengan mengamati kejadian
alam sekitar.
5. Tujuan memiliki pengetahuan adalah agar memantapkan keimanan.
6. Tidak sepatutnya orang yang memiliki bermacam-macam ilmu pengetahuan menjadi
sombong ketika dapat menyelidiki sesuatu dan menghasilkan penemuan baru, sebab
semua pengetahuan manusia adalah karunia Allah dan hasil ciptaan manusia seperti
apapun cerdasnya, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan ciptaan Allah yang
Maha Kuasa.
7. Hendaknya setiap manusia percaya dan yakin kepada Allah, bahwa Dia-lah yang
mejalankan semua yang ada di alam semesta ini dengan qadar dan perhitungan.[14]

BAB III

SIMPULAN

Dalam surat At-Taubah ayat 122 menjelaskan :

 Pertama, perintah jihad bukanlah fardhu ain melainkan fardhu kifayah.


 Kedua,ada pembagian proposional atara berjihad dan menuntut ilmu
 Ketiga, hukum menuntut ilmu terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Fardhu’ain, sepertishalat, zakat dan puasa


2. Fardhu Kifayah, seperti memperoleh hak-hak menegakkan hukum atau hudud dan
melerai dua orang yang bertengkar.

 Keempat, menuntut ilmum emiliki keutamaan dan martabat yang mulia.

Adapun dalam surat Al-Ankabut ayat 19-20 menjelaskan:

 Agar manusia mempelajari dan berfikir untuk memperdalam pengetahuan melalui


objek berupa ciptaan-ciptaanNya, baik ciptaan yang merupakan permulaan yang
awalnya tidak ada sebagaiamana Allah menciptakan manusia dari nutfah atau ciptaan
yang merupakan menghidupkan kembali setelah musnah
 tujuan dan hasil belajar yang dilakukan diharapkan dapat melahirkan atau
meningkatkan kepercayaan akan adanya Allah SWT yang Maha Kuasa, serta agar
manusia tidak sombong sebab seberapa pintarnya manusia tidak ada yang mampu
menandingi kekuasaan Allah yang mampu menciptakan sesuatu yang awalnya tidak
ada, dan mengadakan kembali sesuatu yang telah binasa.

DAFTAR PUSTAKA

Shihab, Quraish. 2002. Tafsir Al Misbah. Jakarta : Lentera Hati

Hamka. 1982. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas

Nasir ar-Rifa’i, Muhammad. 2005. Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir,
jilid 2 cet. Ke-7 Terjemahan Drs. Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani

Mushthafa Al-Maraghi, Ahmad. 1989. Terjemahan Tafsir Al-Maraghi juz 11. Semarang: PT.
Karya Toha Putra

Jalalud-din Al-Mahalliy, Imam Jalalud-din As-Suyuti, Imam. 1990. Terjemah Tafsir Jalalain
Terj. Bahrun Abu Bakar. Bandung: CV Sinar Baru

Qardhawi, Yusuf. 1999. Al-Aqlu wal-‘Ilmu fil-Qur’anil-Karim Terj. Abdul Hayyie al-Kattani,
Irfan Salim dan Sochimien. Jakarta: Gema Insani

Nadra, Isnin. 2014. Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 190-193 Dan Surat Attaubah 122 (Konsep
Pendidikan Jihad), Skripsi. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah

Imam Al-Qurtubhi,Syaikh. 2008. Al Jami’ li Ahkam Al-Qur’an Terj. Budi Rosyadi,


Fathurrahman dan Nasyiul Haq. Jakarta: Pustaka Azzam

Munir, Ahmad. 2008. Tafsir Tarbawi. Yogyakarta: Teras


[1]Imam Jalalud-din Al-Mahalliy, Imam Jalalud-din As-Suyuti. Terjemah Tafsir Jalalain
Terj. Bahrun Abu Bakar (Bandung: CV Sinar Baru, 1990) hlm. 842

[2] Muhammad Nasir ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu
Katsir, jilid 2 cet. Ke-7 Terjemahan Drs. Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani, 2005) hlm. 684

[3]Isnin Nadra, Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 190-193 Dan Surat Attaubah 122
(Konsep Pendidikan Jihad), Skripsi S1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2014 hlm. 44-45

[4] Imam Jalalud-din Al-Mahalliy, Imam Jalalud-din As-Suyuti, Op.Cit hlm. 819

[5]Ibid,.hlm. 685

[6]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al-Maraghijuz 11(Semarang:


PT. Karya Toha Putra, 1989) hlm. 86

[7]Imam Jalalud-din Al-Mahalliy, Imam Jalalud-din As-Suyuti,Op-cit,hlm. 842

[8]Syaikh Imam Al-Qurtubhi, Al Jami’ li Ahkam Al-Qur’an Terj. Budi Rosyadi,


Fathurrahman dan Nasyiul Haq (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) hlm. 731-735

[9]Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi (Yogyakarta: Teras, 2008) hlm. 89

[10]Quraish Shihab,Tafsir Al Misbah, jakarta : Lentera Hati 2002

[11]Hamka, Tafsir Al Azhar, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1982, hlm.163-166

[12] Al- Qurthubi,Op-cit,hlm. 854

[13] Al- Qurthubi,Op-cit,hlm. 856-857

[14]Yusuf Qardhawi, Al-Aqlu wal-‘Ilmu fil-Qur’anil-Karim Terj. Abdul Hayyie al-


Kattani, Irfan Salim dan Sochimien (Jakarta: Gema Insani, 1999) cet. Ke-3 hlm. 207

Anda mungkin juga menyukai