Anda di halaman 1dari 9

MAKNA MENINGGALKAN JIHAD

Dan Kapankah Seorang Hamba Dikatakan


Meninggalkan Jihad??

Dinukil Dari Kitab Is'afus Saul Bisyarhi Tsalasatil Ushul Yang ditulis oleh
Syaikh Al-Muhaddist Abu 'Abdillah Shodiq ibnu 'Abdillah Al-Hasyimi
(Hafidzahullah Ta'ala)

Pustaka Mujahid
Orang-orang yang memperhatikan nash Al-Quran dan As-Sunnah akan
mendapati bahwa celaan berhak diberikan pada orang yang sama sekali
tidak mengorbankan apapun untuk agama Allah ta'ala, mereka yang tidak
berjihad dengan ilmu, tidak juga da'wah, pun tidak mengorbankan jiwa atau
harta, begitu juga orang-orang yang fardhu 'ain bagi mereka berperang
tetapi mereka meninggalkannya tanpa udzur (alasan) yang dibenarkan
syari'at.

Adapun menyebut orang yang berjihad dengan ilmu dan hartanya


sebagai orang yang meninggalkan jihad, perkataan ini tidak berdasar,
sedangkan Allah ta'ala menamai ulama yang mengamalkan ilmunya,
membela agama Allah (dengan ilmunya -pent), yang selalu berusaha untuk
membantah kebathilan dan memahamkan umat, Allah menamai mereka
orang-orang yang berangkat (berjihad -pent), sebagaimana firman Allah
ta'ala:

"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu berangkat semuanya (ke medan


perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
sekelompok orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (QS.
At-Taubah [9] : 122)

Bahkan Allah melarang umat untuk berangkat ke medan perang


semuanya, agar sekelompok dari mereka berangkat untuk berjihad dengan
ilmu, maka renungkanlah ayat tadi agar kita tahu betapa dzolimnya orang
yang menamakan ulama yang mengamalkan ilmunya ditengah-tengah
ummat dengan perkataan dan perbuatan, mereka namakan sebagai orang-
orang yang berpangku tangan, tidak diragukan lagi bahwa ini adalah sebuah
kejahilan dan perkataan yang rusak.
Di Sunan An-Nasa'i -Al-Mujtaba- dari Thoriq bin syihab, bahwasanya
seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, sedang beliau
sudah meletakkan kakinya di batang kayu yang ditancapkan di tanah (beliau
sudah mau pergi -pent), jihad apakah yang paling utama? Rasulullah
menjawab: "Kalimat Haq dihadapan penguasa dzalim" (Hadist Shohih, di
kitab mujtaba imam nasa'i yang mana setiap hadist yang dimasukkan kesana
beliau anggap shohih).

Dan di tafsir Imam Mujahid: Dari abi najih dari Mujahid tentang firman
Allah ta'ala: "Tidak sepatutnya bagi mukminin itu berangkat semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka sekelompok orang" Itu ketika sekelompok sahabat rosulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pergi ke pedalaman-pedalaman, terkenallah
dikalangan orang-orang pedalaman karena kemewahan hidup mereka, yang
orang-orang itu bisa mengambil manfaat darinya, para sahabat tersebut
mennyeru siapa saja menuju jalan hidayah, lalu orang-orang itu berkata
kepada mereka: “kami melihat kalian telah meninggalkan teman kalian
(Rasulullah) lalu kalian datangi kami”, kata-kata itu membuat mereka tidak
tenang, maka keluarlah mereka dari pedalaman tersebut sampai bertemu
dengan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah ta’ala berfirman
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
sekelompok orang" yaitu sebagian, sebagian tinggal “untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama” dan untuk mendengar apa yang
dikeluhkan manusia “dan untuk memperingatkan kaum mereka” yaitu
semua orang “ketika mereka kembali, agar mereka bisa menjaga diri”
(selesai perkataan beliau)

Di kitab tafsir di sunan sa’id bin manshur: (Firman Allah ta’ala: "Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu berangkat semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka sekelompok
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.")

Diriwayatkan dari ikrimah (radhiyaallahu ‘anhu) (dari sa’id, sufyan,


sulaiman al-ahwal, dari ikrimah) aku mendengarnya berkata: ketika turun
ayat “jika kamu tidak berangkat berperang, niscaya Allah menyiksa kamu
dengan siksa yang pedih dan digantiNya (kamu) dengan kaum yang lain”
beliau berkata: hanya tinggal orang-orang munafik yang tidak berangkat
berperang maka binasalah mereka, dan ada juga orang-orang yang
meninggalkan perang untuk memperdalam ilmu agama dan
memperingatkan kaumnya ketika mereka kembali, maka turunlah udzur
kepada mereka: “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka sekelompok orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya” Dan
Allah turunkan ayat “Dan orang-orang yang membantah (agama) Allah
sesudah agama itu diterima maka bantahan mereka itu sia-sia saja”
(selesai perkataan beliau)

Dan di tafsir ibnu abi hatim dengan sanad ( dari ibnu abbas tentang
firman Allah: “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka sekelompok orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama” beliau berkata: “agar sebagian berangkat, dan sebagian
tinggal bersama rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tinggal bersama
rasulullah merekalah yang memperdalam ilmu agama, dan memperingatkan
kaumnya ketika mereka kembali dari peperangan, agar mereka menjaga
diri”

Bahkan Allah menamainya jihad yang besar, sebagian ulama muhaqqiq


menganggapnya sebagai jihad yang paling agung dan paling utama, dan itu
asalnya adalah tugas para nabi dan rasul, kemudian bagi orang-orang
setelahnya adalah tugas golongan shiddiqin, yang mereka adalah sebaik-baik
ummat setelah para nabi dan rasul. Allah Ta’ala berfirman: “Maka janganlah
kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan
Al-Quran dengan jihad yang besar” (QS. Al-Furqan : 52)

Begitu juga nabi menamai orang yang mempersiapkan dengan harta


mereka (perbekalan) orang yang berperang sebagai orang yang berperang
juga, lalu bagaimana bisa kita namakan mereka orang-orang yang
meninggalkan perang? Sungguh ini adalah kedzaliman dan kebodohan,
sebagaimana di ash-shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Zaid bin Khalid
bahwa Rasulullah bersabda “Barangsiapa yang mempersiapkan (bekal) orang
yang berperang dijalan Allah berarti dia telah berperang. Dan barangsiapa
yang menjaga yang ditinggalkan orang yang berperang dijalan Allah dengan
baik berarti dia telah berperang”

Begitu juga hadist nabi yang sudah pernah kita jelaskan: “Perangilah
Orang-orang musyrik dengan harta, jiwa, dan lidah kalian” (HR.Nasa’i, Abu
Daud, Ahmad, dll)

Dan Allah telah merinci hal itu, dan menjelaskannya dalam firmanNya:
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang
tidakk mempunyai udzur dngan orang-orang yang berjihad dijalan Allah
dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu
derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik
(surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang
yang duduk dengan pahala yang besar . yaitu beberapa derjat dari pada-Nya
ampunan serta rahmat. Dan Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang
(QS. An-Nisa’ : 95 sampai ayat 96)

Ayat-ayat itu menjelaskan macam-macam jihad, dan menunjukkan


bahwa siapa saja yang berada pada salah satu darinya maka dia tidaklah
meninggalkan jihad dan tidak dinamakan orang yang duduk dari jihad. Allah
menyebutkan jihad dengan harta, dan jihad dengan jiwa yang dia terbgi
kepada jihad dengan ilmu, penjelasan, hujjah, dan bukti. Dan jihad dengan
perang dengan badan dijalan Allah, yang selain merekalah orang-orang yang
meninggalkan jihad (Qoidun), maka perhatikanlah, agar engkau tidak dzalim
dalam menghakimi, dan agar tidak salah meletakkan gambaran masalah-
masalah syar’i bukan pada tempatnya.

Pasal: Permusuhan Yang Direkayasa Dan Tipu daya yang Dikarang

Kita harus mengetahui bahwasanya ada orang-orang yang berusaha


sungguh-sungguh untuk merekayasa permusuhan antara tiga macam jihad,
Jihad Ilmu, Jiwa, dan Harta. Hal itu jelaslah bathil, tawar menawar dan
menanggapi mereka membuat umat terlantar, dan menyia-nyiakan
kemampuan mereka, dan bisa saja barat yang kafir dengan pimpinan
Amerika, ketika menyadari betapa berbahayanya ketika ilmu dan harta
mendukung jihad dengan jiwa dalam memerangi koalisi uni soviet; mereka
bersungguh-sungguh untuk menyulut permusuhan (antara tiga jenis jihad)
ini, agar tidak terkumpul semua kemampuan ummat dalam jihad mereka,
(dan kemenangan adalah janji bagi mereka walau orang kafir melakukan
apapun).

Maka mulailah terdengar oleh kita hujatan dan umpatan kepada ulama’
dari sebagian orang yang menisbatkan dirinya pada jihad dengan jiwa,
mensifati mereka dengan meninggalkan jihad (Qoidun), juga mensifati ini
dan itu, begitu juga mencela sebagian yang berjihad dengan hartanya,
kemudian sebagian ulama menjawab celaan tersebut, maka mereka
mencela orang-orang yang berjihad dengan diri mereka, dan menuduh
mereka dengan ini dan itu, yang seharusnya ulama-ulama tersebut bersabar
atas kejahilan yang ada pada mereka tersebut, agar memberitahu dan
membimbing mereka, menarik dengan tangan mereka, (bukan) malah
menjadikan mereka sebagai musuh, begitu juga yang seharusnya orang-
orang arif yang berjihad dengan diri mereka, bangkit untuk segera
mengambil kendali, untuk melembutkan hati para ulama (tersebut) kepada
mereka, agar (ulama itu) bisa menolong mereka, walaupun hanya dengan
satu kalimat yang baik, terlepas dari senjata yang paling ampuh, yaitu do’a,
(aku katakan) yang seharusnya lemah lembut dan saling mengasihi, (justru)
yang terjadi adalah kekasaran, perpecahan, dan perselisihan. Dan inilah yang
diinginkan oleh musuh.

Maka terpecah-belahlah kemampuan, umat akhirnya memusuhi


kehormatan dan kemuliaannya sendiri melalui permusuhan mereka
terhadap jihad fisabilillah, dan mengejar orang-orangnya, sampai penuhlah
penjara-penjara dengan mujahidin dari tiga jenis jihad, kunjungilah penjara-
penjara dan orang yang ditahan lalu tanyalah, agar engkau tahu bahwa yang
berada di penjara-penjara politik, diantara mereka ada ulama’, penuntut
ilmu, ada yang berjihad dengan jiwanya atau dengan hartanya, Allahul
Musta’aan

Sedangkan Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman: “Dan taatlah kamu


kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Anfal : 46)

Nabi menggunakan seluruh yang disisinya (sahabatnya) dalam ketaatan


kepada Allah, Hasan dengan lisannya, Kholid dengan pedangnya, Abu
Hurairah dengan ilmunya, dan setiap orang dengan kemampuannya, yang
paling penting adalah tidak diam dari menolong Agama ini, Wallahul
musta’an, Wala haula wal quwwata illa billahil ‘aliyyul ‘adhim.

Bukan berarti orang yang lisan syairnya bagaikan pedang tidak ikut
dalam peperangan, dan tidak juga orang yang berjihad dengan ilmunya
berarti tidak berjihad dengan jiwanya, sebagaimana orang yang berjihad
dengan jiwanya tidak boleh berpaling dari ilmu dan belajar, tapi sejauh mana
seseorang bisa menggabungkan antara keduanya maka lakukanlah, dan
hendaklah seluruh ambisinya dia fokuskan pada apa yang lebih bermanfaat
bagi agama Allah, jangan sampai dia hanya digerakkan oleh emosi belaka,
tetapi dia harus melihat dengan timbangan syari’at tanpa mempedulikan
perkataan manusia dan hukum mereka.

Banyak diantara manusia mungkin pandai dalam pedang (senjata),


tetapi dia tidak pandai dalam mencari ilmu, makna-makna dan hakekatnya,
tetapi ummat kehilangan dia di medan-medan perang, tempat konflik, dan
tempat musuh-musuh berkuasa atas mereka, (seakan-akan) di malam yang
sangat gelap kehilangan purnama, begitu juga sebaliknya, maka beramallah
seluruhnya untuk agama Allah ta’ala, sebagai saudara yang saling mencintai
karena kemuliaan Allah jalla jalaaluh.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam majmu’ fatawa berkata:


“barangsiapa yang tidak mampu berperang dengan badannya, tidak jatuh
darinya kewajiban untuk berjihad dengan harta, sebagaimana barangsiapa
yang tidak mampu berjihad dengan hartanya tidak jatuh darinya kewajiban
untuk berjihad dengan badannya” (selesai perkataan beliau).

Peringatan Penting

Sungguh merupakan sebuah bencana dan musibah, ketika seorang


hamba yang mukmin -yang mampu untuk menuntut ilmu- tidak
mendapatkan jalan untuk berangkat berjihad dengan dirinya, lalu dia tinggal
diam, tidak mencari ilmu syar’i, sibuk mencari-cari jalan, ini adalah buih
dalam islam yang tidak banyak orang mengerti, dan itu adalah salah satu
masalah yang besar yang ummat islam butuh pertolongan ditengah-tengah
persiapan mereka untuk bertemu dengan musuh-musuh Allah.
Tetapi kewajiban bagi orang yang mampu untuk menuntut ilmu agar
berangkat kepadanya, juga berusaha dan bersungguh-sungguh didalamnya,
sehingga ketika dia berangkat menuju medan jihad dia jauh lebih bisa
bermanfaat, karena jihad tanpa ilmu yang benar dan kokoh, tidak akan bisa
merealisasikan kemenangan yang dicari untuk umat islam.

Jika seorang hamba diberi Allah kemampuan, dia hancurkan dinding


ketakutan dari mati dan musuh-musuh, menghadapi kesulitan dan
kesusahan dan rasa bergantungnya dia kepada hidup didunia ini, sama sekali
tidak layak baginya untuk meninggalkan menuntut ilmu dan besungguh-
sungguh didalamnya, ketika dia mampu dalam hal itu, sampai Allah
menjadikannya bermanfaat, maka hendaklah kita menyadari kedudukan
yang besar dan mulia ini, karena disini adalah tempat tergelincirnya kaki-kaki,
dan tempat terletaknya kelalaian, dan hanya Allah lah tempat meminta
pertolongan.

Anda mungkin juga menyukai