Anda di halaman 1dari 123

Jurnal Ultima Humaniora, September 2013

ISSN 2302-5719

Vol. I, Nomor 2

Ultima Humaniora merupakan gabungan dua konsep kunci yaitu Ultima yang berarti dalam, berbobot,
bernilai dan Humaniora (Latin) yang berarti ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan
membuat manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya. Secara umum, yang tergolong dalam rumpun
ilmu humaniora adalah: Teologi, Filsafat, Hukum, Sejarah, Filologi, Bahasa, Budaya & Linguistik (Kajian
bahasa), Kesusastraan, Kesenian, dan Psikologi.
Jurnal Ultima Humaniora merupakan jurnal ilmiah interdisipliner yang menghimpun gagasan dan riset
terkini di bidang Pancasila, kewarganegaraan, religiositas (agama), bahasa Indonesia, bahasa Inggris
sebagai bahasa asing (EFL), pengembangan metode belajar serta mengajar yang efektif di Perguruan
Tinggi, kepemimpinan dan kewirausahaan. Jurnal ini diterbitkan Universitas Multimedia Nusantara,
di bawah kordinasi Departemen Mata Kuliah Umum (MKU), secara semi-annual atau dua kali dalam
setahun, yaitu pada Februari dan Agustus.
Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, dan siapapun yang berminat untuk
menyumbangkan tulisan mengenai topik umum rumpun ilmu humaniora maupun topik khusus Jurnal
Ultima Humaniora. Artikel yang dimuat dalam Jurnal Ultima Humaniora tidak selalu mencerminkan
pandangan/pendapat redaksi.
SUSUNAN REDAKSI
Pelindung
:
Penanggungjawab
:
Pemimpin Umum
:
Mitra Bestari
:


Ketua Dewan Redaksi :
Dewan Redaksi
:

Tata Usaha
:
Sirkulasi dan Distribusi :
Keuangan
:

Dr. Ninok Leksono


Dr.rer.nat P.Y. Topo Suprihadi, Dipl.-Phys
Dr. Ir. P. M. Winarno, M. Kom.
Dr. Francisco Budi Hardiman (STF Driyarkara),
Dr. Arqom Kuswanjono (Universitas Gadjah Mada),
Timothy Mc Kinnon (American Institute for Indonesian Studies)
Hendar Putranto, M. Hum.
Niknik Kuntarto, M. Hum., Johannes Langgar Billy, M. M.,
M. V. Santi Hendrawati, M. Hum., Qusthan Firdaus, M. A.
Yulius Aris, M. Fil., Alexander Aur, M. Hum.
Sularmin
I Made Gede Suteja, S. E., Regina Fika , S. E.

Alamat Redaksi Jurnal Ultima Humaniora:


UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA (UMN)
Gedung Rektorat Lantai 2
Jalan Boulevard Gading Serpong, Desa Curug Sangereng,
Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Banten 15333
Telp + 6221 5422 0808 ext. 2510; Faks: (021) 5422 0800

00-daftarisi.indd 1

11/16/2013 9:33:21 AM

ii

Vol I, 2013

Daftar Isi

DAFTAR ISI

Volume I, Nomor 2

Pengantar Redaksi ............................................................................................................

iii

Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts: Mapping the problems



QUSTHAN FIRDAUS................................................................................................

110

Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan



JIMMY JENIARTO.....................................................................................................

124

Posfenomenologi Ruangcyber: Menelaah Realitas Visual Internet dan


Konsep Ruangcyber dalam Ilmu Antropologi

BUDI HARTANTO....................................................................................................

137

Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet: Memaknai Ulang Cinta dan
Seksualitas Manusia di Era New Media

ALEXANDER AUR....................................................................................................

149

Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak



R. MASRI SAREB PUTRA.........................................................................................

160

Demokrasi dan Kekuasaan dalam Pandangan Hidup Orang Jawa



ARYANING ARYA KRESNA....................................................................................

169

Pengajaran Pancasila untuk Mahasiswa dengan Metode Partisipatoris


Berbasis Imajinasi Rekonstruktif

HENDAR PUTRANTO.............................................................................................

180

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran


OSCAR JAYANAGARA............................................................................................

192

Does Education Empower the Indonesian Women?



ARIF ROHMAN.........................................................................................................

212

[Resensi Buku What Money Cant Buy (The Moral Limits of Markets)
karya Michael J Sandel, 2012] Ketika Pasar Mencampakkan Moral

ARIF SUSANTO.........................................................................................................

218

00-daftarisi.indd 2

11/16/2013 9:33:21 AM

iii

Pengantar Redaksi

KATA PENGANTAR

Salam kemanusiaan!
Sidang pembaca yang budiman, edisi kedua Jurnal Ultima Humaniora akhirnya
kembali hadir mengunjungi halaman intelektual Anda di paruh kedua tahun 2013 ini.
Edisi kedua menampilkan sembilan artikel panjang dan sebuah resensi buku. Enam artikel pertama membahas tema sentral edisi ini (Local Wisdom dalam era New Media,)
dan dua artikel berikutnya membahas tema-tema yang menjadi fokus kajian jurnal, yaitu
soal Pancasila dan Kewarganegaraan serta soal (pengayaan) metode pembelajaran. Artikel terakhir membahas soal wacana dan kebijakan pemberdayaan perempuan ditinjau
dari khasanah budaya Jawa. Resensi buku mengulas karya filsuf politik kenamaan dari
Amerika Serikat, Michael J Sandel, berjudul What Money Cant Buy (The Moral Limits of
Market), terbitan 2012.
Wacana tentang local wisdom dalam era New Media tidak bisa dipisahkan dari konteks dan Lebenswelt budaya. Culture matters, itu sudah jelas dengan sendirinya. Kebenaran
ini tidak hanya berlaku di masa lalu, namun juga di masa sekarang. Di tengah kepungan
dan terpaan globalisasi, manusia dalam lokalitas dan temporalitasnya justru mencoba
mencari jenis-jenis maupun sumber-sumber pemaknaan budaya yang baru, yang pada
gilirannya dapat (a) menjadi benteng dari proses alienasi dan nihilisme, (b) membuahkan
pelbagai local wisdom yang tidak hanya merupakan kulminasi serta kristalisasi pengalaman dan refleksi manusia (dalam kelompok serta komunitasnya), namun juga rujukan
identitas terkini yang memberikan kepada manusia keberakarannya dalam dimensi ruang dan waktu yang spesifik. Prinsip universalitas serta abstraksi modern sudah mulai
banyak ditinggalkan, sejauh itu menyangkut nilai, budaya, dan praksis kebijaksanaan
yang mengalir daripadanya. Baik itu dalam dunia industri, periklanan, media, pariwisata, ekonomi, pendidikan, dan lainnya, kita menyaksikan gejala kembalinya pada yang
lokal, yang temporal, yang spesifik. Contoh: Rosa dalam iklan extra joss, gak ada lo
gak rame versi iklan rokok, terapi herbal khas daerah-daerah tertentu, menjamurnya
wisata kuliner, industri kreatif berbasis budaya, dst.
Amat disayangkan jika local wisdom yang melimpah ruah dalam ruang-waktu budaya
Nusantara ini---yang sayangnya belum terlalu banyak digali potensi-potensinya maupun
ditransformasi ke dalam bentuk-bentuk yang lebih berterima--- diaprosiasi dan dikapitalisasi oleh subjek dan pelaku asing (foreign subjects and agents) sebagai eufemisme dari
istilah: penjajahan budaya.
Pertanyaannya: Bagaimana kita mau memetakan gugus persoalan di atas dalam konteks kajian ilmu-ilmu humaniora? Sejauh mana Media Baru sudah menyumbangkan
sesuatu untuk pelestarian dan pengalih-generasian local wisdom (atau justru keberadaan

00-daftarisi.indd 3

11/16/2013 9:33:21 AM

iv

Pengantar Redaksi

Vol I, 2013

mereka mempercepat kepunahannya)? Bagaimanakah pro dan kontra mentasnya era


Media Baru---dalam arti interseksi konten, teknologi, industri, dan masyarakat seperti
digambarkan Prof. Henry Jenkins dalam bukunya Convergence Culture: Where Old and
New Media Collide (2006)--- sejauh menyangkut keberadaan dan pengadaan kembali (repackaging) local wisdom dalam hidup kita sehari-hari?
Enam artikel utama yang dimuat dalam jurnal Ultima Humaniora edisi kedua ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan kunci di atas sekaligus membahas tema sentral
edisi kali ini dengan menggunakan sejumlah pendekatan maupun sudut pembahasan.
Dua artikel pertama membahas secara konseptual istilah local wisdom. Qusthan Firdaus
dalam Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts: Mapping the problems memetakan secara konseptual sejumlah problematika yang muncul ketika kita menggunakan
istilah local wisdom. Secara filosofis dan teliti, Qusthan membangun argumen bahwa
ekspresi local wisdom sebaiknya diakhiri karena ia tidak jernih. Persoalan pemetaan
local wisdom bisa menjadi rancu khususnya ketika kita akan (1) memaknainya dengan
baik; (2) membedakannya sebagai types atau tokens; (3) menanganinya sebagai properti;
(4) mengapropriasinya; dan (5) menjustifikasinya. Alih-alih menggunakan istilah local
wisdom yang kabur dan serba tak pasti, Qusthan mengusulkan penggunaan istilah local
thoughts yang lebih memadai dan kokoh, baik secara filosofis abstrak maupun praksis
kontekstual. Sementara itu, masih berkutat di aras abstrak teoretis, Jimmy Jeniarto juga
mempersoalkan istilah local wisdom. Baginya, diandaikan terdapat dua pemaknaan Local
Wisdom. Pertama, Local Wisdom yang dimaknai sebagai pengetahuan warisan leluhur
yang diturunkan melalui tradisi dan bersifat permanen di dalam berbagai era. Kedua,
Local Wisdom yang dimaknai sebagai pengetahuan lokal yang merupakan hasil dari kecerdasan lokal dalam menghadapi persoalan hidup yang sifatnya senantiasa berubah sesuai lingkungan jaman. Pengetahuan ini bersifat kontekstual di dalam ruang dan waktu
yang berbeda. Dalam dialektika antara dua pendekatan dan pemaknaan inilah Jimmy
Jeniarto menyoroti paradoks penggunaan istilah Local Wisdom serta sejumlah skenario
yang mungkin terjadi jika persaingan di antara para Local Wisdoms bisa saja mengarah
pada upaya dominasi oleh satu ide tunggal.
Sementara itu, empat artikel utama berikutnya mencoba melihat secara jeli praksis
penggunaan istilah local wisdom dalam (1) posfenomenologi Ruangcyber untuk menggugat sekaligus membaharui realitas yang termediasi, di mana dua porosnya yaitu bahwa
relasi manusia dan teknologi informasi mentransformasikan pengalaman manusia tentang dunianya dan mencipta realitas yang terkoneksi dan terdomestikasi sekaligus bahwa refleksi tentang teknologi internet sebagai perangkat hermeneutis dalam kaitannya
dengan dinamika perubahan dunia aktual dan virtual penting untuk diketahui (tulisan
Budi Hartanto), (2) bisnis nafsu di dunia maya serta kritik atasnya terkait dengan pemahaman yang lebih mendalam dan luhur soal cinta dan seksualitas dengan mengambil inspirasi dari pemikiran Jean-Luc Marion yang menegaskan kebenaran eksistensial bahwa
seks di jagat internet adalah seks yang terlucut dari diri manusia, seks yang mekanistik,
seks tanpa humanitas, seks tanpa cinta, dan sebab itulah kita diingatkan agar memulihkan kembali seks dengan mengembalikan seks pada seksualitas (tulisan Alexander
Aur), (3) aktivitas berladang dan kearifan lokal manusia Dayak yang menyingkap makna

00-daftarisi.indd 4

11/16/2013 9:33:21 AM

Pengantar Redaksi

spiritual gawai dan sistem (budaya) berladang berpindah-pindah yang dilakukan suku
Dayak tradisional yang mencuatkan kearifan lokal dan keselarasan dengan alam dengan
cara tidak merusak alam dan lingkungan hidup (tulisan R. Masri Sareb Putra), dan (4)
Demokrasi dan Kekuasaan dalam Pandangan Hidup Orang Jawa yang menggarisbawahi
pentingnya sejumlah konsep kunci orang Jawa berikut ini seperti primbon, olah rasa, wahyu
ratu dan wangsit, tapa pepe, gentho dan balai desa (tulisan Aryaning Arya Kresna).
Dua artikel setelahnya berbicara tentang metode pengajaran di tingkat Perguruan
Tinggi. Hendar Putranto membahas soal perlunya mengembangkan dan memperkaya
metode pengajaran Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai mata kuliah wajib di Perguruan Tinggi. Penggunaan metode partisipatoris berbasis imajinasi rekonstruktif---terinspirasi pemikiran Giambattista Vico tentang reconstructive fantasia dalam Nuova Scienza--guna memahami pengetahuan sejarah supaya lebih aktual dan relevan (misalnya: tentang
kontroversi perumusan Naskah Pancasila, tentang Ideologi Pancasila) merupakan usul
an yang pantas dicoba untuk melengkapi model Taksonomi Bloom yang berfokus pada
pengembangan dimensi kognitif, afektif dan motorik siswa didik. Artikel yang ditulis
Oscar Jayanagara membahas tentang videografi sebagai ilmu sekaligus sarana pembelajaran secara mendetil berbasiskan pengalaman penulis yang sudah teruji di lapangan.
Dengan telaah atas video Jalan Sesama dan Sesame Street, Oscar memberikan bukti
nyata bagaimana videografi tidak hanya mampu meraih target audiens penayangan di
layar kaca secara signifikan namun juga menjadi cetak biru dari videografi sebagai sarana pembelajaran baik di tingkat dasar maupun lanjut.
Artikel berjudul Does Education Empower the Indonesian Women? yang ditulis
Arif Rohman dilatarbelakangi sejarah kampanye aktivis perempuan melawan budaya
patriarki di era 1960-an. Kampanye yang bertujuan untuk mencapai pemenuhan hakhak perempuan dalam aspek hukum, politik dan sosial ini bergayung-sambut dalam
konteks keindonesiaan kini. Dengan menggunakan budaya Jawa sebagai kasus, artikel
ini mendiskusikan kemungkinan positif di mana pendidikan berdampak terhadap pemberdayaan perempuan sekaligus identifikasi atas faktor-faktor yang menghambat pendidikan pemberdayaan perempuan di Indonesia.
Jurnal Ultima Humaniora ditutup dengan sebuah tulisan Arif Susanto mengenai resensi buku baru (terbitan 2012) karya Michael J. Sandel yang berjudul What Money Cant
Buy (The Moral Limits of Markets). Buku ini membahas kecenderungan totalisasi nalar
pasar yang menempatkan segalanya sebagai komoditas. Totalisasi nalar pasar ini digugat
Sandel yang lalu memperkenalkan pertimbangan moral pada apa yang diperjual-belikan
di mana transaksi bukan semata persoalan utilisasi secara maksimal segi keuntungan
dan manfaat, melainkan juga soal keadilan dan kepatutan moral. Hanya dengan memasukkan pertimbangan moral dan keadilanlah kita mampu menghindar dari sergapan
masyarakat pasar, yang berupaya menelan seluruh relasi sosial dalam kemasan pasar.
Kencangkan ikat pinggang nalar Anda agar dapat (lebih) menikmati sajian artikel
yang berbobot dalam Jurnal Ultima Humaniora edisi kedua ini.
Tabik!

00-daftarisi.indd 5

11/16/2013 9:33:21 AM

00-daftarisi.indd 6

11/16/2013 9:33:21 AM

Jurnal Ultima Humaniora, September 2013, hal 1-14


ISSN 2302-5719

Vol. I, Nomor 2

Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts:

Mapping the problems

QUSTHAN FIRDAUS
Lecturer on Citizenship, Creative and Critical Thinking Course
Universitas Multimedia Nusantara
Scientia Garden, Jl. Boulevard Gading Serpong Tangerang Banten
Telepon: (021) 54220808
Surel: qusthan.abqary@gmail.com
Diterima: 21 Agustus 2013
Disetujui: 9 September 2013

ABSTRAK
Local wisdom biasanya diterima begitu saja oleh sebagian orang Indonesia sebagai hal yang
jelas dan jernih. Orang secara semena-mena mengarahkannya pada berbagai macam objek dan
mengaburkan perbedaan antara objek kongkret dengan objek abstrak. Artikel ini berusaha memetakan local wisdomsebagai dirinya sendiri. Persoalan pemetaan local wisdomboleh jadi rancu
khususnya ketika kita akan (1) memaknainya dengan baik; (2) membedakannya sebagai types
atautokens; (3) menanganinya sebagai properti; (4) mengapropriasinya; dan (5) menjustifikasinya. Artikel ini akan mendiskusikan kelima persoalan tersebut. Setelah kita mendiskusikannya,
maka kearifan lokal akan dipahami secara lebih baik apabila orang Indonesia memahaminya sebagai local thoughts ketimbang local wisdom. Yang-sebelumnya mengimplikasikan koherensi
sementara yang-berikutnya mengimplikasikan inkoherensi. Artikel ini membangun argumen
bahwa ekspresi local wisdom sebaiknya diakhiri karena ia tidak jernih. Jika para pendukungnya
bersikeras untuk mengekspresikannya dalam bahasa Inggris, maka artikel ini mengusulkan local thoughts, selama kita memerhatikan beberapa justifikasi yang memadai. Ringkasnya, local
wisdomnampaknya rapuh sementara local thoughts tentu saja kokoh.
Keywords: local wisdom, local thoughts, type-token, property, appropriation, justifications.

will discuss below. Had those proponents


Local wisdom is absurd. It is absurd be- be consistent, they would use the exprescause it does not seem local in and of itself. sion kearifan lokal. There might be a huge
Its proponents are prone to excessively gap between the concept of human being
use the expression local wisdom instead in the East and the West, but it does not
of kearifan lokal. Using the previous (the imply that there is no coherency at all beexpression of local wisdom) shades the tween those conceptions. It is possible that
meaning of the latter (kearifan lokal) as I there are some components which might be
Prologue

01-QUSTHAN FIRDAUS.indd 110

10/30/2013 7:34:27 AM

Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts: Mapping the problems

coherent, given that there are some mutual


interactions since the ancient times between
the East and the West.
The local wisdom seems to be put at
stake in the discourse of humanities in Indonesia. On the one hand, some thinkers
might conceive that it is fascinating while,
on the other hand, others might reckon that
it is outlandish. Interestingly, some proponents of local wisdom could not offer a clear
and distinctive description of what the local wisdom is. In contrast, some opponents
of local wisdom always enjoy and exploit
such a mess for totally rejecting it instead
of delivering some constructive contributions. Contributions, however, would not
be sufficiently occurred whenever government does not put the local wisdom as a
compulsory subject in humanities. Had the
so called local wisdom were a challenging
object in the discourse of humanities in Indonesia, then it would be one, among others, main topic in such discourse. Additionally, it might be one topic in some subjects
such asthe Civic (Kewarganegaraan) course
and the Pancasila coursesuch as Gotong
Royong or Tepa Slirathough it might still
be drawn by other issues.
This paper aims to offer an investigation of what the so called local wisdom is.
Besides, it strives to explore whether or not
there is another alternative to the expression of local wisdom. Therefore, this article would like to discuss a question: how do
we map out the so called local wisdom in
and of itself? In order to map local wisdom
out, this article would discuss its meaning,
scope, the type-token distinction, the issue
of property and appropriation. Some justifications and contra-justifications of local
wisdom will also be discussed.
Meanings
Conflating two different meanings into a
word might imply a vagueness. Thereby,

01-QUSTHAN FIRDAUS.indd 111

qusthan firdaus

111

exploring the meanings of some linked


words, either in Bahasa Indonesia or other foreign languages, and its implications
would be the interest of this section.
The word arif and kearifan are arbitrarily translated by most Indonesians as
wisdom and, indeed, some of them might
be reluctant to use another word such as
thoughts. Indeed, wisdom contains an accumulation of knowledge throughout history while, in contrast, a thought consists
of the organized beliefs either individually
or collectively. On the one hand, an accumulation of knowledge might be inconsistent across time. For example, the words
perempuan and wanita interchange its
sentiment across history. On the one hand,
perempuanimplies a positive sentiment in
the past due to a semantic interpretation:
per-empu-an or the master whom we could
learn from. Yet, it currently implies a negative sentiment perhaps for no reason. On
the other hand, wanita implies a negative
sentiment in the past but it implies a positive sentiment nowadays simply because its
auditory sensation. Wanita sounds better
on most Indonesians nowadays, compared
to its sound in the past. In short, those different meanings show us that an accumulation of knowledge might be inconsistent
across history. Thereby, re-examining those
two meanings, to wit arif and kearifan,
would hopefully overcome some rejections
to the notion of kearifan lokal. Moreover,
it is better to comprehend kearifan lokalas
pemikiran lokal or the local thoughts. Additionally, the local thoughts and the local
wisdom would be used interchangeably
throughout this article, with which depend
on the context and purpose.
Some linguists, such as Shadily and
Echols, suggest some words such as capable, skillful, clever, wise, and learned
as the synonyms of the word arif in Bahasa Indonesia. Moreover, they suggest some

10/30/2013 7:34:28 AM

112

Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts: Mapping the problems

words such as ability, wisdom, and learning, as the synonyms of the word kearifan in Bahasa Indonesia. Here, we should
recheck whether or not such equalizing is
sufficient. Therefore, we need to check the
meanings of arif, kearifan, and wisdom
within its own languages.
Arifin Bahasa Indonesia means, more
or less, having knowledge, be smart and
intelligent, and be wise. Those meanings
seem to be attached to some well educated persons. If those educated persons do
some moron actions, then such meanings
might be detached from his personality or
merely disappeared from him. Yet, some
Indonesians might conceive that you do
not need to have access to the high quality education in order to be arif. Indeed,
you could be arif by learning everything
that you face in daily life or by doing some
meditations for a long time. Consequently,
having knowledge does not mean that you
ought to go to schools and universities for
decades but simply by, let us say, exercising
some non-academic activities. Indeed, they
usually reckon that some rural individuals
are relatively more arif, compared to some
urban people because the previous copes
well with the environment and neighborhood (though perhaps be tacky) while the
latter are prone to be egoistic (though be
modern). Additionally, kearifan is merely
another noun of arif and it also constitutes
the notion of kearifan lokal.
Nevertheless, knowledge is not a mere
information which we could achieve either
in some traditional markets or somefarmings. Indeed, knowledge is the systematic
information which is achieved by conducting some research and trainings. Therefore,
knowledge provides an opportunity for
individuals to be wise though they could
not always be wise. For example, a professor in philosophy of moral does not always
be wise, given that he has all necessary

01-QUSTHAN FIRDAUS.indd 112

Vol I, 2013

knowledge which underpin him to be wise.


Indeed, ethicists do not act more ethically
compared to laymen according to a study
conducted by Schwitzgebel. He said:
If professors have an obligation to respond to emails from students, then arguably they also have a further obligation to
track whether or not they are meeting the
first obligation, so that if they are not meeting the first obligation they can take corrective measures, the philosophers wrote. If
this is correct, then the present study offers
not just one measure of morality, email responsiveness, but two: email responsiveness and meeting ones moral obligation
not to be deluded about ones level of email
responsiveness. Professors remain far short
of ideal by either measure, ethicists no less
so than others (Miller, 2013).

However, an ethicist would easily rebut


such finding by saying that there is no such
duty to response an email from a student.
Suppose that replying the students emails
is a part of the positive duty, then an ethicist might simply deny that there is no such
thing called as the positive duty. Indeed,
the notion of positive duty is vague because there is no just and equal limits over
its practices. Moreover, the burden of positive duty outweighs our capacity to deliver
it. If we ought to assist others based on our
capacity, then what is the limit? If we ought
to assist others based on our priority, then
we would be discriminative because we
ought to prioritize some individuals based
on family lines, faiths, ethnics, races, nationalities and so on at the expense of others misery. Had we be compelled to assist
others, then we would do it not because the
existence of positive duties but because the
failure to deliver it would harm ourselves
painstakingly. In general, rights imply duties but not otherwise. In contrast, our education pervasively indoctrinates that duties
imply rights. It is obviously manifested on

10/30/2013 7:34:28 AM

Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts: Mapping the problems

the saying KAM danHAM (the human duties and the human rights) or some compelling words such as we ought to fulfill our
obligations before taking our rights. However, we have the right not to assist others
and we might refuse to help them for some
adequate reasons. Consequently, an ethicist does not have any positive duty which
compel him to reply his students emails.
Thereby, being wise requires knowledge, education and trainings in schools
and universities though those things
would not guarantee one to be wise. Those
things simply provide some opportunities
for people to be wise. Moreover, it is particularly different between being wise and
being patient or calm in responding problems. Soeharto, for instance, did enjoy the
elementary school and some military trainings but we could not say that he was a
wise person based on the fact that he was
a very calm person. Moreover, Habibie did
enjoy the German higher education but we
could not conceive that he is a wise individual simply by the fact that he is a professor. Moreover, we need to examine their
acts (when facing some difficult problems)
and their justifications (when taking indispensable decisions) whether or not based
on the ethical considerations. In short,
there is a line between having knowledge
and being wise and each person has some
personal tendencies whether or not to cross
the line. They could not be morally forced
by anyone to be wise because they might
prefer to be unwise. Additionally, there is
a wide gap between the notion of arif and
kearifan with the notion of wisdom especially in the way people use it in ordinary
life.Having discussed the meanings of local wisdom and its implications, we would
seek the scope of local wisdom.
Scope
This section will describe the scope of local
wisdom because the failure to do it might

01-QUSTHAN FIRDAUS.indd 113

qusthan firdaus

113

imply some arbitrary denotations. The notion of local wisdom implies another notion such as the universal wisdom or the
global wisdom.Moreover, one might argue
for a spectrum of wisdom such as the regional wisdom and the national wisdom. If
a proponent of local wisdom rejected such
spectrum, then they would be inconsistent
when establishing the notion of local wisdom. Additionally, if a proponent of local
wisdom accepted such spectrum, then the
scope of local wisdom is limited by a specific locality.
Insofar as people conceive the local
wisdom as anything which embeds in Indonesia, then these words would be used
arbitrarily either by its proponents or opponents. Local wisdom might refer to all
values, all traditional dances, all traditional
weapons, all myths, all mystical experience, all beliefs, all holy places, all traditional views, and so on. In other words,
the so called local wisdom refers to knowledge, values, mysticism, things, places, and
ways of living. Had the notion of local wisdom were coherent, then we should ask:
what is the universal wisdom or the global
wisdom? Is there anything which could be
taken for granted by seven billion people
on this planet as the so called universal or
global wisdom? Yet, the notion of universal
or global wisdom is unfortunately disregarded by the proponents of local wisdom.
On the one hand, some of them conceive
the universal wisdom as all western stuffs
while, on the other hand, others reckon it as
humanity, ethics, and probably religions.
The scope of local wisdom might be
overlap with the scope of local thoughts
over something. Even though they overlap
one another, it does not affect our suggestion to shift the expression of local wisdom
with the local thoughts. The latter still be
able to reflect a clear and distinctive denotation instead of the previous. For instance,

10/30/2013 7:34:28 AM

114

Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts: Mapping the problems

the Minangkabaunese matriarchy, the Sardinian matriarchy, the Mosuo matriarchy,


the Berbers matriarchy and the Tuareg
matriarchy could be perceived as the local
wisdom in their own areas. Yet, why does
the Minangkabaunese matriarchy be so
typical and then we should regard it as the
Minangkabaunese local wisdom instead of
the Minangkabaunese local thoughtsof matriarchy? Perhaps, there might be no attractive reason for it. Proponents of local wisdom merely express it as it is. They take it
for granted that such expression is correct
in English though it is not the case. Indeed,
if there is no thought, then there would be
no wisdom. Moreover, the notion of petikan sawahin Minangkabau and the notion
of kibbutz in the modern Israel could not
be taken as the local wisdom because both
are based on the thought of joint ownership
of farming. It means that all individuals
share the same moral claims and stock over
the farm. Yet, why do we bother to recognize those two things as the local wisdom
instead of the local thoughts regarding the
idea of joint ownership of farming?Thereby, establishing the notion of local thoughts
is necessary for mapping the problems accurately.
Here, we propose that the scope of local wisdom is limited on the scope of local thoughts. There are some reasons for
it. Firstly, the expression of local wisdom
is particularly used by Indonesians. Secondly, wisdom is merely wisdom. It does
not need the sense of localitythough there
is a sense of context such as the Chinese
wisdom. Here, we distinguish between the
notion of locality and context because the
previous only deals with the geographical
area while the latter includes a discourse
and an interpretation, where both go beyond the geographical area. Thirdly, the
notion of thoughts would hopefully clear

01-QUSTHAN FIRDAUS.indd 114

Vol I, 2013

up the mess of local wisdom, especially in


the sense of its flexible way of generating
its scope. Fourthly, the notion of wisdom
is randomly used by most Indonesians as
the type and token objects. Such would not
overcome the problems as we will discuss
below. Have we discussed the scope of local wisdom, we should discuss further a
specific distinction of local wisdom, to wit,
the type-token distinction.
Type-Token
Here, I will discuss the necessity of distinguishing objects as the types and the tokens
because most Indonesians ambiguously
denote the local wisdom into the type objects and the token objects. Consequently,
the notion of kearifan lokal would be used
arbitrarily by its proponents. On the one
hand, a type object is immaterial object
which usually commands a token object.
For instance, Einsteins formula (E = m x
c2) measures the flow of energy. Under the
regime of intellectual property, such type
objects are not protected by the intellectual
property law but its derivations are. Therefore, a scientist does not have to pay some
royalty to Einstein though his or her invention takes benefit from the law. Had the regime of intellectual property were impartial, then it should protect the Einstein law
as well. On the other hand, a token object
is material object which does not always be
commanded by a type object. Some token
objects are mere material objects such as
land, stones, and water. In other words, token objects take some physical features.
The way people express the notion of
local wisdom reflects that there is no typetoken distinction. Some people put some
token objects -- such as keris-- as a local wisdom. In contrast, others conceive that local
wisdom is only about what we call above
as the type object. In other words, they be-

10/30/2013 7:34:28 AM

Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts: Mapping the problems

lieve that the notion of local wisdom does


not take any physical feature. Pancasila, for
example, is part of the local wisdom though
some opponents might reckon that Pancasila is not so local because it contains some
non-local entities such as God, humanities,
and the deliberative democracy.
They -- who believe that the local wisdom has some physical features -- are prone
to put it into the regime of intellectual property because they are worry that it would be
stole by some foreign countries. This effort
would imply a significant problem because
the way they define what a local wisdom
is overlaps with the regime of intellectual
property. A local wisdom and such regime
are not compatible one another because not
all local wisdom could be registered into
such regime. Moreover, local wisdom is
a unique and special expression which is
used by Indonesians but not necessarily by
most English native speakers. For the latter,
wisdom is mere wisdom. Although there
are some specific expression such as the
Chinese wisdom, they do not express it as
the local wisdom of China or the Chinese
local wisdom. Such expression is similar
with another one viz., free sex. With all
respects to some Indonesians who strive to
use English words, they need to know that
there is no such expression in most English
speaking countries because sex is done by
consensus. A non-consensual sex is a rape.
Therefore, having a sex is not free at all.
Neither free in the sense of beer, nor free in
the sense of speech.
Having discussed the inappropriate
English expressions, we should examine
another case of the way people express local wisdom. Selu Margaretha, a member
of Steering Committee of Wayang Goes to
Campus arbitrarily believes that wayangis
a part of local wisdom. Such is different
with some values which are inherent in
wayangitself. Margaretha says:

01-QUSTHAN FIRDAUS.indd 115

qusthan firdaus

115

Masih perlukah wayang bagi orang Indonesia,


jawabannya memang tak mudah. Nyatanya jual
karcis (grup band) Noah dalam tempo beberapa
detik saja habis. Super junior sebentar saja habis. Ada apa dengan masyarakat kita sekarang
ini? Kenapa localwisdomdihilangkan?
Does wayangstill be necessary for Indonesians? The answer is obviously not easy. In
fact, Noahs (the music group) tickets could
be sold out in a few seconds. So does the
Super Junior. What does happen with our
society nowadays? Why does the local wisdom be vanished? (Margaretha in Virdhani, 2013).

Margaretha might claim that wayangis


a part of local wisdom. Yet, how does she
justify such claim? Do not the story of
Mahabarata and Ramayana come from
India? If she insists to put wayangas a local wisdom, then the one and only part
which really local is the story of Empat
Punakawan (Bagong, Petruk, Gareng, and
Semar) because there are no such figures in
the Indian Mahabarata. Wayang is not the
Javanese local wisdom per se. Indeed, the
notion of wisdom in wayang might be some
values within the story and values are not
the token objects. Such story might be originally came from India or, otherwise, be adjusted with the context of Hindhunese Java
and Islam. Therefore, wayang itself is not
a local wisdom because first of all, it is not
genuinely local and, secondly, a wisdom is
not a token object.
An interesting account of local wisdom
is its manifestation on mysticism. Some Indonesians arbitrarily conceive mysticism
as a part of local wisdom like the practice of santet, the belief to the existence of
Nyai Roro Kidul, or the practice of cooking
Sayur Lodehfor avoidingthe natural disaster. Indeed, they have a significant different meaning over the word mistisisme in
Bahasa Indonesia which means something
which could not be comprehended by logic

10/30/2013 7:34:28 AM

116

Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts: Mapping the problems

and have something to do with ghosts or


the supernatural power such as santet, Nyai
Roro Kidul and Sayur Lodeh. In contrast,
the word mysticism in English means
the unification with God and the spiritual
apprehension such as the practice of Sufi.
Consequently, putting the practice of Sufi
as a part of mistisisme in Bahasa Indonesia
would be considered by most Indonesians
as false while, in fact, putting it as a part of
mysticism in English would be correct.
Furthermore, Scharfstein conceives that
there are eleven quintessence of the mystic
state viz., (1) sameness, (2) separation, (3)
uniqueness, (4) inclusion, (5) the familiar
strangeness or the strange familiarity, (6)
depletion, (7) aggression, (8) conscience, (9)
mirror-reversal, (10) humor, and (11) reality (Scharfstein, 1973: 142-69). Among those
eleven essences, it is humor which seem to
be inconsistent with mysticism. Yet, Scharfstein explains further that mysticism and
humor share the same aim but the ways
they achieve it are done through different
paths. On the one hand, humorous individuals strive to put their external world as
the source of pleasure. On the other hand,
mystic individuals, including Sufis, strive to
escape from such world (Scharfstein, 1973:
166-7). Thereby, cooking Sayur Lodeh does
not assist people neither to escape from the
natural disaster nor transforming the potential disaster into pleasure. Praising Nyai
Roro Kidul does not assist people neither
to transform the high wave in Parangtritis beach into pleasure because fishermen
could not sail nor to escape from the high
wave. Doing santet does not help people
neither to transform their hostility into
pleasure -- but merely doing revenge -- nor
escaping their hostility. Therefore, we cannot put mysticism as a part of the so called
local wisdom because there is a wide gap
of meaning between mysticism in English
and mistisisme in Bahasa Indonesia and

01-QUSTHAN FIRDAUS.indd 116

Vol I, 2013

conflating their different elements would


imply a further mess.
Properties
In this section, I will discuss local wisdom
in the sense of property because some Indonesians think that, on the one hand, wisdom equals properties and, on the other
hand, thoughts equal properties; then a
question appears here: Could wisdom be
property? Suppose that the answer is positive. Thus, I should ask further: by what
right those Indonesians claim the first principle of Pancasila or the second principle as
their property? Do not the descendants of
Abraham deserve the right for appropriating monotheism as their property compared to Indonesians? Therefore, the answer is negative because wisdom contains
very different structure compared to property. On the one hand, the structure of wisdom does not have to be coherent because
it is merely the accumulation of knowledge
through history. On the other hand, the
structure of property supposes to be coherent because it deals with ones possession
over the concrete and abstract objects. Such
possession requires the moral and legal entitlement. Had property were incoherent in
and of itself, then there might be a dispute
between the moral entitlement against the
legal entitlement. Moreover, the notion of
spoil is a consequence of the Lockean proviso which compels us to left enough and
as good for others of the unowned material
objects that we appropriate with. In other
words, not all type objects could be owned
by us. Wisdom indeed illuminates us. Forcing wisdom to be property means that we
bar its capacity to enlighten us or, at least,
we are restricted by some law to access the
wisdom. In contrast, property deals with
the moral and legal rights over objects. In
short, such rights imply exclusion.

10/30/2013 7:34:28 AM

Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts: Mapping the problems

Wisdom is not a property because it


is an accumulation of knowledge. As an
accumulation, one might claim a certain
knowledge as his property. The intellectual
property law, for example, provides a legal
structure for protecting such claim. Nevertheless, one cannot appropriate a certain aggregation of knowledge as his own property because, by doing so, he obviously steals
others works. Although there are some type
objects which are property as well -- such
as trade secrets -- it does not morally mean
wisdom could be registered into the regime
of intellectual property. If there is a country
which allows registration of wisdom into
its intellectual property law, then it should
provide a moral argument for it. On the
contrary, a moral dispute might still happen. The so called Kopitiam, for example,
ridiculously shocks us since the Medan Administrative Court justify a previous registration in 1996. Kopitiam is a portmanteau
of kopi (coffee in Malay) and tiam (a stall
or a shop in Hokkien Chinese). It might
also mean an aggregation of knowledge
which constitutes the identity and legacy
of Peranakan Cina (Chinese who migrated
overseas especially to the South East Asia).
The court took a decision on a dispute between Abdul Alek Soelystio against Paimin
Halim in 2012. The previous is the Jakartabased Kopitiam who registered the trademark in 1996 while the latter is the Medanbased Kok Tong Kopitiam. In contrast, a
similar dispute happens in Singapore but
the government rejects the request. Indeed,
Bondan Winarno interestingly says:
Kopitiam are not our creation. The name
of Kopitiam does not belong to us, but belongs to generations before us...it is not a
brand but a signature of culinary culture as
well as social assimilation (Winarno in Rakhmawati, 2012).

01-QUSTHAN FIRDAUS.indd 117

qusthan firdaus

117

It means that Winarno admits ownership does not always bestow over generations for some reasons such as the regime
of intellectual property did not exist in the
past or the obscurity of intellectual property.
The regime of intellectual property
incorporates some thoughts as a part of
property. It modifies some thoughts into
a commercial property such as some taglines or messages. For example, the tag-line
rasa might be taken from a maxim orang
Jawa nggone rasa [the Javanese people are
the source of a combination of feelings and
senses] while others are dealing with the
essence of life such as urip iku mung mampir
ngombe[life is just about halting for drinking]; and the notion of soul like ajining jiwa
dumunung ana ing busana [the power of soul
is formed by its appearance]). Spirits (most
Jogjanese honor Nyi Roro Kidul) are also
taken by some proponents as an inherent
component of local wisdom. They honor
spirits and therefore they take it for granted
as the local wisdom. The failure to honor
spirits might imply a bad thing such as be
cursed by spirits or at least be unlucky during a certain period of time. Spirit might be
exist in the sense that an individual could
be exist in a disembodied form. A defense
of spirit itself is not only provided by the
Eastern thinkers but also by the Western
thinker. For instance, Ayer regards the notion of spirit is not meaningless and it is
intelligible in the world of fantasy though.
Ayer does not reject the notion of spirit because it might provide the continuity of
memory in and of an individual and shape
the basis for the reincarnation as is shown
by his example of a person who claims that
himself is the reincarnation of Julius Caesar, given that he could expose some necessary information which are only known by
some elites in the past (Ayer, 1990: 193-4).

10/30/2013 7:34:28 AM

118

Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts: Mapping the problems

Appropriation
Having discussed the local wisdom in the
sense of property, I need to explore the process of appropriation in order to figure out
the process of appropriation itself. Such
exploration might imply to a rejection that
wisdom is a property. In contrast, ignoring such process might imply the unjust
appropriation and such unjustified appropriation might be considered as stealing.
If most Indonesians resist some practices
-- where some foreign companies appropriate the local thoughts as their business commodities (such as tag-lines or trade marks)
-- then such resistance would be hardly
done because market always compels to
annex it over and over. Meanwhile some
foreign companies appropriate other local
thoughts, the locals might have no chance
to capitalize the local thoughts. Indeed, if
competitors use the same local thoughts
for their business, then consumers would
spontaneously reckon that they are not creative nor unique. Here, the notion of creative and unique should be distinguished
from the notion of asal beda (be arbitrarily
different). The previous requires some convincing arguments for potential consumers
whether or not to buy the product while
the latter merely implies the urgency for
making differences, no matter plausible or
implausible it is. Moreover, a challenging
problem with the notion of local wisdom
is its ambition to claim that its material objects are owned by some local communities
and, consequently, others could not utilize
it.
Another question with the issue of appropriation is: by what right that current
individuals appropriate the so called local
wisdom as their property?Locke provides
the mixing labor theory which says that
one could appropriate the unowned ob-

01-QUSTHAN FIRDAUS.indd 118

Vol I, 2013

jects if he mixes his labor with it. Therefore,


the notion of labor is necessary here. Yet,
such mixing process does not always imply
that he be able to appropriate the unowned
objects. Nozick, for instance, proposes the
example of pouring a tomato juice into
the sea. He shows that pouring the tomato
juice into the sea does not imply that we
own the sea or some part of the juice which
is poured by the juice. He believes that the
activity of pouring the juice is similar with
the activity of laboring (Nozick, 1974: 175).
However, there is a difference between
Lockes argument and Nozicks argument.
The previous deals with mixing our labor
with the tomato while the latter deals with
mixing the result of our labor with the sea.
Thereby, appropriating objects does not always deal with mixing our labor but also
inheriting objects from our ancestors justly.
A Nozickian argument would suggest that
insofar as the initial acquisition is fair, then
the transfer process should be fair too. Yet,
we do not really know, for sure, whether or
not the initial production of the objects of
local wisdom is originally made by the ancient individuals in Nusantara. Indeed, we
do not know whether the initial production
of local wisdom is similar with the Lockes
example of making a tomato juice or be the
same with the Nozicks counter example
of pouring a tomato juice to the sea. Both
are look-alike but they are not identical. In
short, we cannot morally appropriate the
local wisdom simply based on the fact that
it bestows to some contemporary Indonesians.
Suppose there is an argument which
morally justifies our appropriation to the
local wisdom. Thus, we should ask: would
appropriating the local wisdom worsen
the locals? Having discussed that I limit
the scope of local wisdom into the local

10/30/2013 7:34:28 AM

Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts: Mapping the problems

thoughts, then I could say that appropriating


it would not worsen the locals.1 For example, had Malaysians held up that sangkan paraning dumadias their ways of living, then it
would not worsen the Javanese individuals
and would not spoil the Javanese thoughts.
Similarly, the Aristotelian thoughts are not
spoiled by the Javanese individuals when
Notonagoro claims that the causa prima is
similar with the sangkan paraning dumadi.
Had there were a Malaysia based company
register the Garuda Pancasilaas their trade
mark, then we might take a legal action in
order to prevent it. Such is similar with an
American based surfing company named
662 MOB (www.662bodyboardshop.com)
which uses the symbol of PDI Perjuangan.
Even though PDI Perjuangan used it since
1998 while the 662 MOB is established in
2004, it does not mean that the party has to
take a legal action against the company. If
that is the case, then we do not need to, on
the one hand, worry that our local thoughts
would be stolen as well as we do not need
to, on the other hand, worry to cautiously
absorb some foreign thoughts.
Another interesting example is Socrates
elenchus.It literally means the cross-examination, with which be used dialectically by
Socrates in order to evoke truths and examining the consistency of others opinions.
Socrates finds out that laymen usually denote the meaning of something merely to
its practical example. This habit implies a
reduction of the comprehensive meaning.
Rather, Socrates wishes to explore the common quality of all issues which he investigate of (cf., Blackburn, 1994: 116; Collinson,
1987: 15-6). Most philosophers acknowl-

qusthan firdaus

119

edge elenchus as a significant contribution


made by Socrates. Therefore, they reckon
elenchus is a part of Socrates thought but
not Socrates wisdom. Moreover, the Oracle at Delphi -- a priestess and a messenger
of Apollo -- regards that no living person
outweighs Socrates in the sense of having
wisdom at the time of King Pericles. Yet,
Socrates himself does not buy that opinion and he always practices elenchusfor the
sake of pursuing truth over what he investigates of. Had proponents of local wisdom
were consistent, then they should consider
elenchusas the local wisdom of ancient and
contemporary Greeks. Consequently, others may not appropriate it as well as not to
utilize it. Nevertheless, proponents would
be inconsistent because they are prone to
put elenchus as Socrates thoughts instead
of the Greek local wisdom. They simply
do not care with the notion of foreign local wisdom though such is merely a consequence of their insistence over the expression of local wisdom. Should the foreign
thoughts be useful, they would absorb it
blatantly until they dismiss its origins. In
short, the issue of appropriation would be
vague if proponents of local wisdom insist
to express local wisdom instead of local
thoughts. Given that we agree to express
it as local thoughts, then there are some
ways in academic activities to justly take
benefits from some foreign ideas.
Justification and Contra-justification
Having discussed the issue of appropriation, I would examine justifications and
contra-justifications to the local wisdom

Such point is based on a presumption that thoughts cannot be spoiled by others. Thoughts cannot be scarce although
the lack of criticism and creativity might imply no innovations. Moreover, it develops in such a way through the academic activities and the social interactions. Insofar as there are academic activities and the social interactions, then
thoughts would always develop.

01-QUSTHAN FIRDAUS.indd 119

10/30/2013 7:34:28 AM

120

Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts: Mapping the problems

and the local thoughts. Therefore, both the


consequentialist2 and the deontological3 approaches are discussed in this section.
In the light of deontological approach,
a challenging contra-justification against
the local wisdom is the issue of duty. What
sort of duties that we have over the local
wisdom? Do we really have a duty to preserve it?If we do, then what sort of rights
which imply the obligation to preserve the
local wisdom? Those are questions which
should be replied by proponents of local
wisdom, given that they would like to argue that we all have obligations to preserve
and protect it. The fact that we were born
as Indonesians does not oblige all of us to
preserve and to protect the local wisdom.
Here, there is a wide gap between the natural fact that we were born as Indonesians
and the social obligations to preserve and
protect it. Now, this article suggests that
we do not have any positive duty to preserve neither the local wisdom nor the local thoughts because we do not have any
right over it. Yet, we might have a negative
duty over the resultsof thoughts. At least,
we have the negative duty for not stealing
it from the owners. Moreover, an ownership right over the results of thoughts is bestowed to the descendants of its thinkers. If
we do not have a sufficient record over the
descendants -- or those thinkers do not procreate -- then such right might belong to the
property of commoners, such as the ownership right over Socrates thoughts and wisdom which are well recorded within Platos
works or some stupas in museum. At this
stage, we might have a positive duty to pre-

Vol I, 2013

serve -- for example Borobudur as a result


of thought of the Syailendra dynasty -- but
such preservation is merely an implication
of our right to own it commonly. Yet, we do
not take benefits from such right directly as
well as we do not deliver our positive duty
directly because the state or the government
or some appointed organizations would act
on behalf of us. Consequently, our common
ownership does not confer everyone an appropriate access equally. Only leaders and
some political elites have more access compared to laymen and beggars.
Another challenging contra-justification against the local wisdom is the issue
of incoherency. It deals with the nature of
local wisdom either as a concept or as two
technical words. Suppose that the notion of
local wisdom refers to all things which are
embedded in a specific area such as Indonesia. Then, local wisdom is incoherent in
and of itself because all those things are not
compatible one another. Some proponents
arbitrarily regard the traditional dances as
a part of local wisdom but they are not compatible with, for example, the traditional
weapons though there might be some traditional dances which utilize weapons. In
contrast, suppose that the local wisdom refers to a specific types or tokens which are
genuinely discovered by some Indonesians
such as Pancasila. Then, we should recognize what the concept of Pancasila is. Some
proponents of Pancasila conceive its concept is the combination of Tuhan-manusiasatu-rakyat-adil [God-human-one-folks-justice]. It means that there is a cohesive unity
between the existence of God and human

It means an ethical approach which emphasizes on the consequences of an action. By those consequences, one might
decide whether or not to take some available actions. Therefore, a bad action could be justified by its good consequences such as white lies, killing the innocent by standards in war or killing for the sake of self-defense.
3
It means an ethical approach which emphasizes on the nature of an action. Therefore, one should always conduct the
good actions though it might cost him painstakingly such as putting children to get some seats in a lifeboat though
it costs his or her life because he or she has no seats and might be drowned.

01-QUSTHAN FIRDAUS.indd 120

10/30/2013 7:34:29 AM

Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts: Mapping the problems

qusthan firdaus

121

being which implies justice for people in


Indonesia. Excluding the existence of God
would imply that there would be no justice
in Indonesia4 because God is the source of
everything, including the inspiration for
pursuing justice. Nevertheless, Indonesia
itself is not based on a religion or some religions because Pancasila does not oblige
us to put a religion or some religions as the
foundation of Indonesia. Notonagoro justifies such unity based on three different notions of being, to wit, (1) being in reality or
in itself, (2) being in minds, and (3) being
in probabilities. Indeed, he believes that
such unity is part of the being in reality. He
notes:

in God. God indeed never forces individuals to believe in him, therefore the state
should not force its citizens to worship
God. Notonagoro furthermorejustifies the
existence of God by the Aristotelian causa
prima where everything has the primary
cause, viz., God. Interestingly, he compares
the causa prima with the Javanese saying
sangkan paraning dumadi which means the
origin and the direction or the destination
over everything which happens (Notonagoro, 1995: 79). Here, one might ask: if the
notion of Aristotelian causa prima is similar or be consistent with the notion of sangkan paraning dumadi, then we ought to ask
whether or not the latter is originally a local wisdom instead of a universal wisdom.
...maka di antara tiga macam ada tidak dapHad it were a local wisdom, then Notonaat lain yang tepat daripada ada dalam objektigoro would explain further about its diffanya[sic]. Jadi, Tuhan, manusia, satu, rakyat,
dan adil itu ada dalam realita kenyataan yang
ferentiation with the Aristotelian causa
sesungguhnya, terlepas dari pengetahuan, rasa,
prima. Yet, Notonagoro merely puts a real
kehendak, kepercayaan, anggapan, kesadaran,
example of the causa prima and ignoring
dan angan-angan orang. Ada tidaknya segala
its compatibility with the sangkan paraning
sesuatu itu pada orang, pada orang Indonesia,
dumadi. Had it were a universal wisdom,
sama sekali tidak mempengaruhnya sedikitthen the sangkan paraning dumadiwould be
pun
acknowledged by not only the Javanese but
[...so among three kinds of being, there
also other people.
is no more accurate [being] instead of beIn contrast, we might reckon that the
ing in its own objective. Therefore, God,
sangkan paraning dumadi is merely a lohuman, one, folks, and justice are being in
cal manifestation of the Aristotelian causa
reality, with which be disconnected from
prima which happens through centuries.
knowledge, taste, wills, faiths, presumpSuch problem could be solved by changtions, consciousness, and individuals
imaginations. Whether or not they be exist
ing the notion of local wisdom with the loin individuals, especially Indonesians, do
cal thoughts. Nevertheless, there might be
not matter at all.] (Notonagoro, 1995: 64).
some differences as well as some similarities. Had Aristotle knew that Notonagoro
In other words, Notonagoro believes compare the causa prima with the sangkan
that Pancasila still be exist in reality though paraning dumadi, then Aristotle might put
some Indonesians are atheists or agnostics. some charge to all Javanese individuals
The state should not force its citizens to be- who take some benefits from his intellectual
lieve in God because it would overstep the work. In contrast, Aristotle would not put
first principle of Pancasila viz., the belief some charge if we put the sangkan paraning

Although there are a lot of well-developed countries which ignore God but they are still able to deliver justice to their citizens.

01-QUSTHAN FIRDAUS.indd 121

10/30/2013 7:34:29 AM

122

Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts: Mapping the problems

dumadias a local thought which is inspired


by the Aristotelian causa prima, provided
that we give a credit to Aristotle.
In the light of consequentialist approach, a challenging problem to the notion of local wisdom is put in the insistence
of some proponents to express it in English
words because it blurs its intention to represent the notion of kearifan lokal as I have
discussed in section 1. Yet, the question is:
does such blur outweigh its previous intention to establish kearifan lokal? Suppose the
answer is no. Thus, local wisdom still attracts more rejections because of its vague
expression and its unintentional tendency
to be non-local by preferring local wisdom instead of kearifan lokal. In contrast,
the answer seems to be yes because, so
far, a linguistic mess implies the chaos in
meaning. Moreover, we have no common
understanding over what the kearifan lokal
is. Proponents and opponents exhaustively
argue about their supports or rejections to
the local wisdom. Should the notion of local wisdom imply the debate to be unfruitful, then it is in our hands to be back to the
notion of kearifan lokal. For those who insist to express it in English, this article provides some arguments to shift it into the local thoughts.
Conclusion

I suggest in section 2 (Scope) to limit the


notion of local wisdom on the scope of local
thoughts because wisdom does not contain
the sense of locality but does the context. In
section 3 (Type-token), I distinguish the
notion of type objects and token objects in
order to show the mess of local wisdom
which often tip toe between those two objects.
The obscurity of local wisdom gets
worse when some proponents strive to register it under the intellectual property law.
On the one hand, wisdom is merely wisdom. On the other hand, thoughts might be
considered as property under the intellectual property law, regardless some necessary
criticism against it as I have discussed in
section 4 (Properties). Section 5 (Appropriation) deals with some worries about
the appropriation which is done by some
foreign power. Here, I argue those worries are unnecessary regarding the fact that
wisdom and thoughts could not be spoiled
and would not worsen the locals. Moreover,
I develop some justifications and contrajustifications to the local wisdom and the
local thoughts with which I apply the consequentialist and deontological approaches
in section 6 (Justification and Contra-justification). All in all, I suggest to put an end
to the expression of local wisdom because
it is awfully messy. If proponents insist to
express it in English, then this article proposes the local thoughts. In short, the local
wisdom seems to be frail while the local
thoughts is obviously robust.

A fancy way to express kearifan lokal as the


local wisdom implies a mess and obscurity. Meanwhile the notion of kearifan lokal is
still messy in Bahasa Indonesia, some proponents of it hastily express it as the local
wisdom. Indeed, the meaning of arif and
kearifan is largely different with the mean- *
ing of wisdom as I have discussed in section
1 (Meanings). Such difference compels
us to investigate further what the scope of
local wisdom is and its potential overlap
with the scope of local thoughts. Therefore,

01-QUSTHAN FIRDAUS.indd 122

Vol I, 2013

***
I would like to thank the referees of this
journal and Arya Kresna for his invaluablecomment on the meaning of Javanese word rasa though the meaning
which is applied here quite different
from his apprehension.

10/30/2013 7:34:29 AM

Frail Local Wisdom, Robust Local Thoughts: Mapping the problems

qusthan firdaus

123

Nozick, Robert. (1974). Anarchy, State, and


Utopia.New York: Basic Books.
Ayer, A. J. (1990). The Problem of KnowlRakhmawati,
Lutfi. (2012). Who really
edge.London: Penguin Books.
owns the word kopitiam? The Jakarta
Blackburn, Simon. (1994). The Oxford DicPost, February 27th, 2012. Available
tionary of Philosophy. Oxford: Oxford
online at [http://m.thejakartapost.com/
University Press.
news/2012/02/27/who-really-ownsCollinson, Diane. (1987). Fifty Major Philosword-kopitiam.html], last access July
ophers: A reference guide.London: Rout25th, 2013.
ledge.
Scharfstein,
Ben-Ami. (1974). Mystical ExpeMiller, Bettye. (2013). Ethicists behavior
rience.Baltimore: Penguin Books Inc.
not more moral. University of California
- Newsroom, May 21st, 2013. Available Virdhani, Marieska Harya. (2013). Jangan
Sampai Wayang Diklaim Malaysia.Sinonline at [http://www.universityofcalidonews.com, April 2nd, 2013. Available
fornia.edu/news/article/29522] last aconline at [http://m.sindonews.com/
cessed June 6th, 2013 at 09:10 PM.
read/2013/04/02/15/733628/janganNotonagoro. (1995). Pancasila secara Ilmiah
sampai-wayang-diklaim-malaysia], last
Populer. Jakarta: Bumi Aksara, ninth
access July 22nd, 2013.
edition.
Bibliography

01-QUSTHAN FIRDAUS.indd 123

10/30/2013 7:34:29 AM

Jurnal Ultima Humaniora, September 2013, hal 15-27


ISSN 2302-5719

Vol. I, Nomor 2

Diskursus Local Wisdom:

Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan1


JIMMY JENIARTO

Alumnus Program S1 dan S2 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta


Surel: jeniarto@yahoo.com
Diterima: 19 Agustus 2013
Disetujui: 4 September 2013

ABSTRACT
The term Local Wisdom is taken for granted. It is often perceived as the local societys philosophy.
In this paper, I would pose some problems to be criticized in order to understand Local Wisdom
more thoroughly. Each problem would have its own implications which deal with the comprehension of Local Wisdom. Some parties conceive Local Wisdom as an ethical issue, while others see it
as an epistemological issue. Moreover, it is understood by some that Local Wisdom is bequeathed
by ancestors through traditions. Besides, there is another view that considers Local Wisdom as a
kind of local knowledge, which is contextual in space and time.
Key words: local wisdom, pengetahuan.

tuk Local Wisdom masyarakat Jawa. Pranata


Istilah Local Wisdom menjadi populer akhir- mangsa, yakni sistem kalender mengenai
akhir ini. Banyak kalangan menggunakan aktivitas pertanian di Jawa, juga disebut
2
istilah Local Wisdom ketika merujuk pada sebagai Local Wisdom. Bahkan, posisi raja
suatu pengetahuan (praktis maupun teori- (sultan) Yogya yang merangkap sebagai
tis) ataupun cara hidup tertentu yang dimi- Gubernur Yogyakarta mungkin juga akan
liki oleh kelompok masyarakat tertentu. disebut sebagai Local Wisdom.
Pengertian istilah Local Wisdom itu sen
Suatu pengetahuan maupun cara hidup
yang disebut dengan istilah Local Wisdom diri tampak diterima secara samar hingga
itu diklaim sebagai unik dan tidak ada di saat ini. Terdapat pula kecenderungan menempatkan maksud istilah Local Wisdom
tempat lain.
Misalnya, kain batik dianggap oleh be- di dalam posisi yang berseberangan ter
berapa kalangan sebagai salah satu ben- hadap pemikiran rasional yang lazim pada
PENDAHULUAN

Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan berjudul Soal Local Wisdom yang pernah dimuat di majalah
filsafat online Philosophy Angkringantanggal 20 Juni 2013.http://philosophyangkringan.wordpress.com/2013/06/20/
soal-local-wisdom/
2
Misalnya, Suwarman Partosuwiryo di dalam artikel opini di surat kabar Kedaulatan Rakyat edisi Sabtu, 20 Juli 2013
menyebut pranata mangsa sebagai Local Wisdom.

02-JIMMY JENIARTO.indd 124

10/30/2013 7:35:00 AM

Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan

jimmy jeniarto

125

ide di baliknya? Lantas, ide yang seperti


apa? Jika seturut dengan istilahnya, maka
ide tersebut adalah ide yang wise atau bijaksana. Pengertian ini masih umum, maka
perlu dipikirkan untuk diperjelas lagi.
Sartini (2009: 24-26) mengatakan bahwa
Local Wisdom dapat didudukkan sebagai
bagian dari filsafat sebagai produk, yakni
sebagai konsep filsafati.3 Sartini, di sini,
menempatkanLocal Wisdomsebagai filsafat di dalam pengertiansebagai pandang
an hidup yang telah ada di dalam suatu
masyarakat lokal tertentu.4 Jika istilah Local
Wisdom dimaksudkan sama dengan filsafat, maka, secara bahasa, penggunaan kata
wisdom di dalam istilah Local Wisdom
itu sendiri tentu terinspirasi dari kata yang
sama di dalam istilah filsafat.
Istilah Local Wisdom, jika diterjemahkan
ke dalam Bahasa Indonesia, kurang-lebih
berarti kebijaksanaan lokal, atau kebijaksanaan (masyarakat) setempat. Di dalam
bahasa Indonesia juga sering digunakan
Istilah Local Wisdom
kata arif dan kearifan untuk menerBeberapa hal perlu dijadikan pertimbangan jemahkan istilah Local Wisdom di dalam
terkait populernya istilah Local Wisdom saat pengertian yang sama dengan kebijaksanini. Apakah yang dimaksud sebagai Local aan.5 Beberapa pihak mungkin akan memWisdom adalah ide-ide semata sehingga persoalkan penyamaan antara pengertian
aktivitas-aktivitas dan artefak-artefak yang kata bijaksana dengan kata arif.6 Naada di dalam suatu masyarakat juga disebut mun, di dalam konteks penggunaan kedua
Local Wisdom sejauh berkaitan dengan ide- kata tersebut berkaitan dengan pengertian
masyarakat di negara-negara industri maju,
lebih spesifik lagi negara-negara maju Eropa. Beberapa kalangan menempatkan Local
Wisdom di dalam posisi bertentangan de
ngan modernitas dan kebudayaan Eropa.
Tulisan berikut ini bertujuan untuk men
diskusikan pertanyaan-pertanyaan kritis
terhadap diskursus Local Wisdom. Persoalan-persoalan penting di dalam kaitannya dengan diskusi tentang Local Wisdom
juga akan dikemukakan. Beberapa persoalan dan pertanyaan yang diajukan di dalam tulisan ini bukan hendak berpendapat
tentang apa itu Local Wisdom, juga bukan
bercerita tentang suatu pengetahuan dan
praktek hidup masyarakat tertentu yang
kemudian dilabeli sebagai Local Wisdom
masyarakat tertentu. Tulisan ini bertujuan
meninjau secara kritis atas pemaknaan dan
posisi Local Wisdom dengan cara mengajukan persoalan-persoalan.

Sartini di dalam konteks inimenempatkan Local Wisdom sebagai suatu produk hasil proses berpikir. Pemikiran Sartini ini didasarkan pada pembedaan antara filsafat sebagai produk pemikiran terhadap filsafat sebagai proses atau
aktivitas berfikir.
4
Contoh lain, koran Kedaulatan Rakyat edisi Minggu 22 September 2013 memberitakan festival memedi sawah (orangorangan pengusir burung di sawah) di Bantul, Yogyakarta. Koran tersebut menyatakan memedi sawah sebagai kearifan lokal dan memiliki muatan filosofis (Kedaulatan Rakyat, 2013: 1, 6). Di sini dapat dilihat bagaimana memedi sawah
ditempatkan sebagai kearifan lokal (Local Wisdom) yang berkaitan dengan filsafat sebagai pandangan hidup.
5
Sartini (2009: 9) menyamakan pengertian bijaksana dan arif berkaitan dengan penerjemahan Local Wisdom. Istilah Local Wisdom diterjemahkan oleh Sartini sebagai kearifan setempat tanpa dibedakan dengan istilah kebijaksanaan setempat. Di dalam bab pendahuluan buku Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global yang dieditori oleh
Irwan Abdullah (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM) bersama Ibnu Mujib dan M. Iqbal Ahnaf (dosen-dosen
Sekolah Pascasarjana UGM),istilah Local Wisdom diterjemahkan sebagai kearifan setempat tanpa mempersoalkannya
dengan istilah kebijaksanaan setempat (Abdullahet al. (ed.), 2008: 1-10).
6
Kata arif merupakan serapan dari bahasa Arab arif. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiayang disusun Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, kata arif diterjemahkan:adj. (1) bijaksana; cerdik dan pandai; berilmu.
(2) paham; mengerti. Kata kearifan diterjemahkan:n. kebijaksanaan; kecendekiaan (Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2007: 65).

02-JIMMY JENIARTO.indd 125

10/30/2013 7:35:00 AM

126

Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan

tentang disiplin filsafat, pembedaan antara


kata arif dan bijaksana menjadi kurang
relevan.7
Secara literal, kata sofia (ejaan Inggris:
sophia) berarti kebijaksanaan (wisdom). Sedangkan penggunaan kata sofia di dalam
istilah filosofia (philosophia) pada saat kemunculannya di Yunani Kuno (dan Klasik)
dimaknai sebagai pengetahuan. Istilah kebijaksanaan (sofia) bermakna lebih dari
sekedar kebijaksanaan di dalam pengertian
umum, namun merupakan upaya intelektual (Nightingale, 2004: 29-35).
Sofia, di dalam konteks kemunculan istilah filsafat, dimaksudkan sebagai pengetahuan tentang realita. Sofia, pada saat itu,
merupakan pengetahuan yang diupayakan
oleh para filosof. Kata sofia diperuntukkan
bagi pengetahuan yang paling penting dan
dapat meningkatkan taraf kehidupan (Gerson, 2009: 6).
Kata sofia, wisdom, arif, dan bijaksana di dalam penggunaan bahasa umum
sehari-hari berkaitan dengan ajaran moral
atau etika (etika di dalam arti sebagai ajar
an moral atau sistem nilai, bukan di dalam
arti sebagai filsafat moral). Lebih lanjut,
apakah Local Wisdom dimengerti sebagai
suatu pengetahuan tentang etika semata,
ataukah dimengerti sebagai pengetahuan
yang lebih luas dan tidak terbatas pada etika? Keduanya memiliki implikasi masingmasing. Namun, baik pengetahuan tentang
etika maupun pengetahuan umum yang
lebih luas, keduanya tentu bersifat lokal,
sebagaimana kata local yang ada.
Pada pengertian pertama, istilah Local Wisdom dimengerti sebagai pengetahuan atau pandangan hidup yang luhur
masyarakat setempat.Di dalam pengertian

Vol I, 2013

pertama tersebut, kata wisdomberarti


sebagai keluhuran moral, bukan sebagai
pengetahuan umum dan luas, atau dengan
kata lain sebagai persoalan etika di dalam
arti sistem nilai dan bukan persoalan epistemologi. Local Wisdom, dengan demikian,
berarti pandangan hidup yang luhur dari
masyarakat setempat.
Pada pengertian kedua, istilah Local Wisdom mengacu pada arti dari pembentukan
istilah filsafat, sehingga istilah Local Wisdom dapat diartikan sebagai pengetahuan
lokal atau pengetahuan (yang dimiliki oleh
masyarakat) setempat tentang segala hal.
Apa yang dimaksud dengan kebijaksana
an adalah pengetahuan sebagaimana
arti yang dimengerti pada saat kemuncul
an disiplin filsafat di Yunani. Pengetahuan
di sini bermakna luas dan tidak terbatas
pada persoalan etika.
Selain itu, pengertian Local Wisdom
perlu dijelaskan lagi apakah sebagai
pengetahuan yang permanen (statis) atau
pengetahuan yang berubah (dinamis)?
Pengetahuan dinamis dan permanen (statis) ini pertama-tama berkaitan dengan
sumber pengetahuan mengenai Local Wisdom. Apakah Local Wisdom diwariskan
melalui tradisi ataukah diupayakan secara
mandiri?Jika pengertian Local Wisdom adalah pengetahuan yang diwariskan secara
turun temurun, maka ia merupakan pengetahuan yang bersifat permanen. Pengertian
Local Wisdom di sini mengacu pada pandangan-pandangan hidup yang diwaris
kan oleh generasi-generasi sebelumnya
atau nenek-moyang masyarakat setempat
secara turun-temurun yang kebenarannya
dianggap permanen.Dengan demikian, segala persoalan hidup senantiasa diselesai-

Istilah filsafatberasal dari bahasa Arab falsafah. Kata falsafahitu sendiri merupakan serapan dari kata Yunani filosofia. Oleh karena itu, kata Arab arif(Indonesia: arif) dan kata Indonesia bijaksana tidak memiliki pengalaman
pembentukan istilah filosofia sebagaimana muncul di dalam bahasa Yunani. Bahasa Arab dan bahasa Indonesia me
nerima jadi istilah filosofia beserta maknanya, yang kemudian diserap menjadi falsafahdan filsafat.

02-JIMMY JENIARTO.indd 126

10/30/2013 7:35:00 AM

Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan

kan melalui pengetahuan yang diwariskan


melalui tradisi.
Berbeda halnya bila istilah Local Wisdom dimengerti sebagai suatu pengetahuan
masyarakat setempat yang bersifat dinamis. Dinamika persoalan hidup manusia
yang dihadapi secara lokal oleh masyarakat
setempat kemudian melahirkan apa yang
dikenal sebagai pengetahuan lokal. Namun, Local Wisdom di dalam pengertian ini
berarti bukan merupakan suatu pengetahuan yang bersifat permanen yang diwaris
kan secara turun-temurun melalui tradisi.
Local Wisdom di dalam pengertian ini justru
merupakan perubahan pengetahuan secara
terus-menerus yang sifatnya lokal. Pengetahuan dan kebenaran pengetahuan di sini
senantiasa dicari secara terus menerus.
Istilah Local Wisdom itu sendiri muncul
dalam kaitannya dengan studi-studi kebudayaan yang dilakukan oleh para akademisi terhadap berbagai masyarakat di
negara-negara berkembang dan miskin,
yang diawali dengan digunakannya istilah
local genius.8 Istilah Local Wisdom digunakan untuk membuat suatu penggolong
an terhadap berbagai macam fenomena
pengetahuan (pemikiran) maupun praktek
hidup suatu masyarakat di negara-negara berkembang yang berbeda atau tidak
ditemukan di negara-negara maju. Berbagai pengetahuan dan praktek hidup tersebut dianggap bersifat fungsional hanya di
tempat itu. Fungsionalitas tersebut sering
diganti dengan pernyataan bahwa setiap
masyarakat memiliki rasionalitasnya ma
sing-masing. Istilah rasionalitas di sini kemudian menjadi jamak di dalam tafsirannya.

jimmy jeniarto

127

Persoalan-persoalan yang Mengemuka


Jika uraian singkat di atas dapat diterima,
maka Local Wisdom dapat dianggapsebagai
suatu pengetahuan.Namun belum jelas di
dalam kategori pengetahuan yang rasional
ataukah irasional. Selain itu, Local Wisdom
belum diterima secara jelas apakah berisi
pengetahuan etika semata, ataukah juga
berisi pengetahuan yang mencakup segala
bidang. Local Wisdom juga belum jelas dimasukkan sebagai pengetahuan yang dinamis ataukah yang statis. Persoalan-persoalan tersebut akan didiskusikan guna
membantu menganalisisLocal Wisdom.
1. Hubungan dengan rasionalitas
Pada pokoknya, rasionalitas dipahami
di dalam dua wilayah pengertian, yakni
pengertian yang menyangkut aspek internal dan pengertian yang menyangkut
aspek eksternal. Pada aspek internal, terdapat dua pengertian. Pertama, apa yang
dimaksud dengan rasio adalah pikiran
manusia. Pikiran manusia tersebut ditempatkan secara berseberangan dengan alatalat indera manusia. Di sini, rasio dipertentangkan dengan sensasi dan empiri.9 Pada
epistemologi, terjadi persaingan antara
dua aliran utama (yakni empirisme dan rasionalisme), tentang pihak yang primer di
dalam menghasilkan pengetahuan.
Kedua, rasio dimengerti di dalam kait
annya dengan kaedah berpikir. Di dalam
hal ini, rasional dan irasional dikaitkan
dengan logika. Pemikiran yang disebut
rasional ialah pemikiran yang dihasilkan
melalui atau menuruti kaedah-kaedah
logika. Rasio diidentikkan dengan intelek.
Di sisi lain, irasional di dalam konteks ini

Istilah local genius digunakan oleh H.G. Quaritch Wales untuk menyebut elemen-elemen lokal pada masyarakat
Asia Tenggara di dalam evolusi kebudayaan mereka selama periode Hindu dan Budha serta kaitannya dengan
India(Mills, 1952: 407).
9
Sensasi (indera) dan empiri (pengalaman) manusia dijadikan sumber utama di dalam proses munculnya pengetahuan.

02-JIMMY JENIARTO.indd 127

10/30/2013 7:35:00 AM

128

Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan

berkaitan dengan pemikiran yang tidak


diproses dengan kaedah-kaedah logika.
Irasional juga diidentikan dengan hal selain intelek, misalnya imajinasi dan intuisi.
Wilayah pengertian rasional yang ke
dua berkaitan dengan aspek eksternal.
Pada wilayah ini, rasio dimengerti sebagai
pikiran manusia yang mandiri dan kritis.
Rasional dipertentangkan dengan pengetahuan irasional, di mana istilah irasional di
sini dimengerti sebagai suatu pengetahuan
yang dianggap tidak berdasar olah rasio
mandiri, atau keyakinan terhadap pengetahuan yang berasal dari luar dan keyakinan
yang hanya berdasar otoritas luar. Contoh
otoritas luar tersebut adalah wahyu, tradisi,
dan mitos. Mitos diterima sebagai otoritas
luar yang secara permanen diterima kebenarannya dan diwariskan turun temurun
melalui tradisi.10
Filsafat di dalam bentuk paling awal di
Yunani Kuno berada di dalam kubu rasionalisme sebagai pemikiran mandiri yang
dipertentangkan terhadap irasionalisme
sebagai pengetahuan yang tidak mandiri.
Contoh pengetahuan yang tidak mandiri,
atau berdasar otoritas luar, adalah cerita
keagamaan dan mitos yang diwariskan
secara tradisi. Filsafat berada di garis rasionalitas di dalam pengertian sebagai pemikiran mandiri ini.11 Di sini hanya dibedakan antara pengetahuan rasional dan
pengetahuan irasional.

Vol I, 2013

Manusia menjumpai berbagai pengalam


an hidup dan berbagai pengalaman hidup
tersebut mendorong rasio untuk selalu mem
proses pengetahuan-pengetahuan baru.
Rasio manusia selalu berproses sehingga
kebudayaan dan peradaban manusia juga
terus berproses. Jika Local Wisdom ditempatkan sebagai bagian dari tradisi filsafat,
maka perlu dijelaskan tentang bagaimana
proses adaptasinya dengan potensi rasional manusia.
Bukan tidak mungkin bila suatu pengetahuan atau praktek hidup yang telah dilabeli dengan istilah Local Wisdom justru
akan bertentangan dengan potensi rasio
manusia. Pertentangan dapat terjadi dika
renakan Local Wisdom ditempatkan sebagai otoritas yang menjadi pandu sekaligus
pembatas aktivitas rasio manusia. Local
Wisdom tersebut diperlakukan sebagai tradisi dan disikapi melalui pemikiran tradisional. Padahal, filsafat merupakan aktivitas
olah rasio yang kritis di dalam menghadapi realitas.
Walaupun demikian, jika kemudian
terdapat argumen bahwa Local Wisdom
tidak harus seperti filsafat (Barat) yang rasional, maka istilah Local Wisdom telah dipisahkan dari pembentukan awal arti istilah
filosofia. Wisdom tidak lagi pengetahuan
sebagaimana pada istilah filsafat, yang secara implisit merupakan pencarian pengetahuan terus menerus, atau sebuah proses.

10

Karl Popper (1989: 26-27) mengatakan bahwa sebenarnya sumber terpenting pengetahuan kita (selain pengetahuan
bawaan) berasal dari tradisi. Banyak hal yang kita ketahui berasal dari tradisi. Namun begitu, menurut Popper(1989:
122), terdapat dua sikap terhadap tradisi, yakni kritis dan tidak kritis. Sikap tidak kritis adalah menerima tradisi.
Penerimaan tersebut bahkan bisa dilakukan tanpa sadar. Di sisi lain, sikap kritis adalah mengetahui dan mengerti
terlebih dahulu suatu tradisi sebelum melakukan kritik. Sikap kritis dapat berakhir menerima, menolak, atau bahkan kompromi terhadap suatu tradisi.
11
Dengan menggunakan pemikiran Poppersebagai kerangka teoritik, yakni tentang kemunculan tradisi baru, maka dapat dikatakan kemunculan filsafat terjadi melalui pertentangan antara rasionalisme melawan tradisionalisme. Menurut Popper, tradisionalisme adalah keyakinan yang menerima otoritas tradisi. Di sisi lain, kaum rasionalis tidak tertarik dengan tradisi. Tradisi
dianggap sebagai hasil pemikiran orang lain di jaman dahulu. Para rasionalis ingin menggunakan pikiran mereka sendiri dan
menilai sesuatu secara bebas dari tradisi. Kaum rasionalis adalah mereka yang menantang dan mengkritik segala sesuatu, dan
tidak tunduk secara buta terhadap tradisi, termasuk tradisi mereka sendiri. Lebih jauh, kemunculan filsafat adalah kemunculan
tradisi baru, yakni tradisi akal kritis (Popper, 1989: 120-126).

02-JIMMY JENIARTO.indd 128

10/30/2013 7:35:00 AM

Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan

Istilah wisdom barangkali malah dijadikan sebagai penghalusan bagi penyebutan


terhadap otoritas luar yang diterima dan
diyakini secara tidak kritis, atau semacam
pengetahuan yang diwariskan turun temurun tanpa proses kritik, misalnya di dalam
bentuk petuah, sabda, dan cerita-cerita mitos.
2. Hubungan dengan Mitos
Mitos kerap dimengerti sebagai lawan
dari realitas (mitos adalah fiksi) dan juga
lawan dari rasionalitas (mitos adalah tidak
logis, tidak masuk akal). Di dalam sejarah
penggunaanya, kata mitos mengalami
perubahan makna dari waktu ke waktu.
Pada awalnya, mitos merupakan bagian
dari legein (nominatif: logos). Pada perkembangannya kemudian, mitos dilawankan
terhadap logos (Vernant, 1990: 203-204).
Selain itu, mitos juga dibedakan dengan
sejarah. Mitos sering melibatkan aspek supranatural.
Terlepas dari perkembangan makna,
mitos adalah cerita yang berisi berbagai
persoalan hidup manusia serta jawabannya, yang dengan mitos tersebut manusia
berusaha menjelaskan, meramal, dan me
ngontrol realitas. Bahkan, menurut Popper, banyak teori ilmiah yang dihasilkan
oleh mitos-mitos lama yang telah ada.12 Bagaimanapun juga, mitos merupakan satu
tahapan yang memiliki peran di dalam
perkembangan pengetahuan manusia.
Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia terus bertambah dan berkembang
seiring dengan perkembangan persoalan
antar-individu, antar-kelompok sosial, dan

jimmy jeniarto

129

antar-generasi. Penjelasan-penjelasan lama


yang bertentangan dengan fakta-fakta baru
yang ditemukan akan segera dibuang ka
rena terbukti salah secara faktual. Banyak
di antara penjelasan-penjelasan lama tersebut yang kemudian disebut sebagai mitos.
Meski demikian, terdapat beberapa pen
jelasan lama yang dianggap tidak faktual
namun tetap dipertahankan dengan cara
menggeser makna. Mitos tetap dipercaya
oleh penganutnya, namun dengan cara
yang berbeda bila dibandingkan dengan
cara percaya terhadap fakta dan sejarah.13
Dengan cara menggeser makna, maka kebenaran yang dipercaya pada mitos adalah
makna yang bernilai. Ringkasnya, mitos
dianggap memiliki kebenarannya sendiri
(Dowden, 1992: 2-5). Di dalam konteks ini,
mitos bisa fungsional tapi belum tentu benar secara faktual dan historis.
Perlu dibedakan pula pengertian antara
mitos yang diwariskan secara turun temurun dengan pengertian tentang imajinasi
kreatif, bila keduanya dikatakan sama-sama merupakan fantasi. Pada mitos warisan
tradisi, mitos tersebut pernah dipercaya
kebenarannya secara faktual dan historis.
Sedangkan pada imajinasi kreatif, kebenaran dari cerita bersangkutan masih berada pada taraf harapan, asumsi, maupun
hipotesis, guna memberi visi pada kehidupan. Kebenaran isi cerita imajinatif belum
diakui sebagai faktual. Penyematan istilah
mitos pada teori-teori modern merupakan penyebutan terhadap pendapat yang
melakukan klaim kebenaran faktual dan
historis terhadap imajinasi yang sebe-

12

Dalam pemikiran Popper, mitos bisa menghasilkan teori-teori ilmiah. Sains dibedakan terhadap mitos (yang lebih
tua) bukan karena ia bersifat jelas dibanding mitos, namun dikarenakan bahwa sains disertai oleh tradisi tingkat
kedua, yakni diskusi kritis terhadap mitos. Di bawah tekanan kritik, mitos-mitos dipaksa untuk menyesuaikan diri
mememberi gambaran dunia di mana kita hidup secara memadai dan lebih detil (Popper,1989: 127-128).
13
Kebenaran mitos diterima dan dipercaya tanpa melalui kritik dan pembuktian, sedangkan fakta dan sejarah diterima melalui proses kritik dan pembuktian.

02-JIMMY JENIARTO.indd 129

10/30/2013 7:35:00 AM

130

Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan

narnya masih merupakan harapan, asumsi,


dan hipotesis.
Di atas disebutkan bahwa salah satu kemungkinan pengertian Local Wisdom adalah
sebagai pengetahuan yang diwariskan oleh
nenek moyang dan kebenarannya dianggap permanen. Jika suatu mitos dianggap
sebagai Local Wisdom di dalam arti ini, maka
tidak akan ada kebaruan yang berarti pada
mitos tersebut. Mitos, sebagai Local Wisdom
di dalam pengertian ini, bersifat permanen.
Sedangkan pengetahuan manusia selalu
berubah dan berkembang. Dengan demikian, mitos dan pengetahuan baru berada
di posisi yang saling bertentangan. Mitos
adalah produk yang telah ada, sebagai hasil pemecahan persoalan yang pernah ada.
Sedangkan pengetahuan baru adalah hasil
dari potensi rasio manusia di dalam lingkungan persoalan baru dan aspirasi baru.
Beda halnya jika mitos yang dianggap sebagai Local Wisdom tersebut dilihat
di dalam fungsi etisnya yang dipandang
permanen, yang berarti pula Local Wisdom
dimaknai sebagai pengetahuan etis. Kebenaran di sini berarti kebenaran etis, atau
lebih tepat disebut kebaikan. Pemahaman
terhadap mitos di dalam kerangka etis ini
sejalan dengan pemaknaan Local Wisdom
melalui cara penggeseran makna.14 Namun
tetap saja pengetahuan (etis) yang terkan
dung di dalam mitos tersebut dianggap sebagai warisan tradisi atau otoritas luar.
Mitos-mitos warisan masa lalu yang
isinya bertentangan dengan fakta-fakta baru
dan perkembangan nalar manusia kontem-

Vol I, 2013

porer, tidak dapat dipertahankan melalui


sikap lama, yakni sikap yang menerima
apa adanya kebenaran isi mitos tersebut.
Jika mitos-mitos tersebut hendak diperta
hankan, dengan alasan sebagai warisan budaya, maka perlu dilakukan dengan cara
baru, yang hal ini berarti pula akan terjadi
pergeseran makna.Bagaimanapun juga,
banyak pengetahuan lama (baik tentangmasyarakat maupun tentang alam) yang
berbeda dan bertentangan dengan faktafakta dan persoalan-persoalan kontemporer.
3. Persoalan kontemporer seiring kemajuan sains dan teknologi
Teknologi sebenarnya bukan ciptaan
dunia modern belaka, jika kata modern
dimengerti sebagai masa renaisans dan
pencerahan (aufklarung) di Eropa. Teknologi telah ada sejak manusia mampu membuat peralatan untuk membantu kehidup
an. Sebagaimana telah disinggung di atas,
pada awalnya, di jaman dahulu, manusia
memiliki pandangan spiritual tentang du
nia di mana ia hidup berupa mitos, bahkan
tentang kejadian yang alamiah sekalipun.
Namun pada saat yang sama, manusia juga
membuat kemajuan di dalam peralatan
yang digunakan di dunia sekitar mereka.
Kemajuan tersebut bersifat praktis, teknolo
gis, dan bukan ilmiah. Kemajuan tersebut
merupakan perkembangan peralatan dan
metode dalam rangka memperbaiki kehidupan manusia, dan bukan pencarian
pengetahuan secara murni untuk memper-

14

Sesuatu yang telah ditolak kebenarannya dikarenakan salah secara faktawi masih bisa diterima dengan cara diubah
maknanya.Di dalam kerangka etis, sesuatu bisa diterima oleh masyarakat dikarenakan fungsionalitasnya secara etis
(moral), bukan kebenarannya secara faktawi. Misal, hingga saat ini sebagian masyarakat Jawa non-Hindu masih
menyukai cerita wayang dikarenakan ajaran moral di dalamnya. Namun mereka tidak mengakui keberadaan faktawi dari tokoh-tokoh di dalam wayang, termasuk para dewa (tuhan) di dalam cerita tersebut, dan menganggap
cerita wayanghanya sebagai mitos. Jika cerita wayang dianggap sebagai Local Wisdom, maka Local Wisdom di sini
berarti pencarian makna terus menerus dengan menafsirkan secara baru suatu warisan masa lalu, atau dengan
kata lain menggeser makna sesuatu yang dahulu pernah dipercaya secara faktawi menjadi dipercaya fungsi etisnya
(ajaran moral) saja saat ini.

02-JIMMY JENIARTO.indd 130

10/30/2013 7:35:01 AM

Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan

oleh pemahaman tentang alam dan cara


kerja alam (Spangenburg dan Moser, 2004:
6). Pembuatan alat untuk berburu serta
pengetahuan tentang pertanian merupakan bagian dari perkembangan teknologi
dan metode yang terjadi saat itu.15
Pada masa kontemporer ini, masifnya perkembangan teknologi telah mempercepat perubahan cara hidup manusia.
Teknologi seolah menyempitkan ruang
dan mengefisienkan waktu. Batas geografi
menjadi kabur, rentang waktu seolah menjadi elastis. Manusia berinteraksi secara
lebih luas dan cepat, relatif tanpa dihalangi
oleh batas-batas kebudayaan, geografi, serta waktu. Namun di sisi lain, perkembang
an teknologi dan perubahan cara hidup
manusia juga melahirkan persoalan-persoalan baru yang belum pernah ada pada
era sebelumnya. Persoalan-persoalan baru
butuh solusi-solusi baru.
Sains merupakan pengetahuan yang
menjadi tenaga utama penggerak akselerasi perubahan cara hidup manusia saat ini.
Jenis-jenis pengetahuan lainnya berlombalomba untuk mengilmiahkan diri agar dianggap tetap relevan dengan perkembangan jaman. Akibatnya, muncul beberapa
bidang pengetahuan baru yang bermaksud agar pengetahuan-pengetahuan tertentu yang telah ada dapat diterima di era
sains, misalnya Ilmu Gaib (occult sciences).16
Pengetahuan yang telah ada tersebut menambahkan kata science(ilmu) agar dikesankan terlegitimasi oleh pengetahuan
ilmiah (scientific).
Sains berusaha memberi jawaban praktis dan teoritis atas segala persoalan yang
ditemui manusia, sehingga sains terus

jimmy jeniarto

131

berkembang sejalan dengan perubah


an persoalan yang ditemui. Local Wisdom
yang disebut sebagai pengetahuan yang
diciptakan oleh generasi lampau juga pernah menjadi jawaban praktis dan teoritis
bagi persoalan suatu masyarakat tertentu
di waktu lampau. Jika terjadi perubahan
sudut pandang pengetahuan manusia kontemporer di dalam menghadapi persoalanpersoalan baru, maka bukan tidak mungkin Local Wisdom yang telah ada di dalam
suatu masyarakat juga akan berubah oleh
karena pengaruh sudut pandang ilmiah.
Perubahan praktek hidup dan pengetahuan manusia kontemporer yang termanifestasikan di dalam perkembangan
teknologi dan kelaziman sains merupakan
ujian untuk mengukur seberapa signifikannyasesuatu yang disebut sebagaiLocal
Wisdom dalam menghadapi persoalan-persoalan baru yang merupakan akibat dari
praktek hidup dan pengetahuan manusia
kontemporer. Persoalan yang dihadapi
oleh manusia kontemporer bukan sekedar
dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh
aplikasi atas sains dan teknologi, tetapi
manusia juga menemukan persoalan-persoalan baru dalam rangka usaha melangsungkan dan mempertahankan hidup di
dalam suasana dan lingkungan baru yang
dipengaruhi oleh sains dan teknologi.
Sementara itu, kemajuan teknologi
komunikasi dan transportasi saat ini berdampak pada interaksi antar-manusia,
sehingga terjadi saling perjumpaan antarmanusia dari berbagai belahan dunia
dengan latar belakang kebudayaan yang
berbeda-beda, namun dihadapkan pada
persoalan kontemporer yang relatif sama.

15

Pranata mangsa, atau sistem kalender pertanian di Jawa, sebagaimana disebut di atas merupakan contoh kemajuan
pengetahuan manusia yang dihasilkan secara praktis untuk memperbaiki kehidupan dan bukan dalam rangka
pencarian demi pengetahuan itu sendiri.
16
Istilah ilmu merupakan pemendekan istilah Ilmu Pengetahuan, yang merupakan terjemahan bahasa Indonesia
untuk kata science. Jujun Suriasumantri, di dalam bukunya, menyinggung beberapa persoalan terkait penerjemahan kata science ke dalam bahasa Indonesia (Suriasumantri, 2009: 291-296).

02-JIMMY JENIARTO.indd 131

10/30/2013 7:35:01 AM

132

Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan

Vol I, 2013

dom berposisi sebagai objek material ataukah


objek formal?Jika Local Wisdom berposisi sebagai objek material, maka apa bedanya kajian Local Wisdom dengan kajian
Antropologi maupun sebagai bagian dari
kajian Sejarah Filsafat (bila memang layak
disebut filsafat)? KetikaLocal Wisdom ditempatkansebagaiobjek material, maka Local
Wisdom semata dipetakan, dideskripsikan,
dan didokumentasikan, namun tidak digunakan sebagai alat analisis bagi persoalan
kontemporer.17
Sedangkan jika Local Wisdom diposisikan sebagai objek formal, maka ia akan
bertemu dengan persoalan-persoalan baru,
juga dengan pemikiran-pemikiran baru,
yang barangkali belum pernah ada sebe
lumnya. Persoalan baru membutuhkan cara
4. Hubungan dengan filsafat kontempo- pemecahan yang baru, sehingga pemecah
rer
an persoalan senantiasa berubah.
Perdebatan filsafat kontemporer global
Jika Local Wisdomdinilai memiliki ke(internasional) mengambil isu-isu perso- mampuan berposisi sebagai objek formal,
alan manusia kontemporer untuk dipecah- maka sejauh apa kemampuannya berinkan. Diskusi dan kritik yang terjadi di da- teraksi dengan pemikiran-pemikiran lain
lam perdebatan filsafat kontemporer tak yang muncul dari ruang dan waktu yang
lepas dari persoalan tidak memadainya lain, baik yang bersifat universalia maupun
pemikiran-pemikiran lama di dalam meng- yang bersifatpartikularia? Mau tak mau,
hadapi persoalan-persoalan baru. Asum- seiring perubahan praktek hidup manusinya, jika pemikiran-pemikiran lama yang sia kontemporer, apa yang disebut sebatelah ada dapat memberi pemecahan atas gai Local Wisdom akan berinteraksi dengan
persoalan-persoalan baru, maka persoalan- pengetahuan global dan universal, serta
persoalan baru yang selalu muncul dapat pengetahuan partikular dari tempat lain.
diselesaikan dengan cara lama. Namun, Akibatnya, terbuka pula kemungkinan
kenyataannya tidak demikian, karena sela- terjadinya berbagai penyesuaian antara
lu ada persoalan baru yang tidak bisa dis- pengetahuan lokal dengan pengetahuan
elesaikan dengan cara lama. Oleh karena dari luar dan hal ini akan berdampak pada
itu, selalu ada pemikiran filsafat baru yang perubahan-perubahan. Padahal, apabila
muncul yang mencoba memberi analisis Local Wisdom dipandang sebagai warisan
dan solusi baru.
leluhur yang kebenarannya dianggap perDi dalam arus diskursus filsafat kon- manen, maka tidak ada kemungkinan petemporer global, apakah peran Local Wis rubahan bagi Local Wisdom.
Bisa saja suatu persoalan serupa (global)
dipecahkan dengan cara setempat-setempat (lokal). Namun, pemecahan ini tidak
menjamin bahwa cara lama yang telah ada
di suatu tempat tertentu dapat digunakan
kembali sebagai alat pemecahan terhadap
pesoalan baru yang terus muncul. Selain
itu, efek dari perjumpaan antar-manusia
yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi
komunikasi dan transportasi adalah kemungkinan terjadinya perubahan-perubah
an cara pikir suatu masyarakat, termasuk
kemungkinan pengaruhnya terhadap Local Wisdom. Manusia kontemporer adalah
manusia dengan mobilitas dan komunikasi
yang cepat dan intensif sebagai akibat dari
perkembangan sains dan teknologi.

17

Pemikiran Sartini (2009: 24) yang menempatkan Local Wisdom sebagai produk, sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah
contoh penempatan Local Wisdom di dalam posisi sebagai objek material.

02-JIMMY JENIARTO.indd 132

10/30/2013 7:35:01 AM

Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan

5. Hubungan dengan keadaan sosial


Sebagai suatu pemikiran atau pengetahuan yang dianggap permanen kebenarannya dan diwariskan secara turun temurun,
maka Local Wisdom memapankan pengetahuan dan praktek hidup tertentu. Local Wisdom dianggap sebagai pemecahan persoalan kehidupan bagi masyarakat tertentu.
Local Wisdom yang dianut oleh masyarakat
tersebut juga berarti pengetahuan (ide) dan
praktek hidup yang berlaku umum, atau
kekuatan yang memengaruhi masyarakat
bersangkutan.
Jika suatu pengetahuan dan praktek
hidup di dalam suatu masyarakat telah
mapan, maka kedudukan sosial juga telah tetap. Posisi antar-individu juga tetap.
Jika masyarakat bersangkutan terstruktur
di dalam kelas-kelas sosial, maka kemapanan pengetahuan dan praktek hidup
mengimplikasikan kemapanan kedudukan
kelas-kelas sosial. Juga kemapanan suatu
posisi individu terhadap individu yang
lain. Local Wisdom yang dianut di dalam
masyarakat tersebut berarti ide dan praktek hidup yang melanggengkan kemapan
an tersebut. Apakah posisi antar-individu
dan antar-kelas sosial tersebut saling
menguntungkan ataukah merugikan satu
pihak? Jika saling menguntungkan, maka
kemapanan tidak akan dipersoalkan. Namun, jika ada satu pihak yang dirugikan,
maka kemapanan tersebut akan digugat

jimmy jeniarto

133

oleh pihak yang dirugikan, namun pada


saat yang sama akan dipertahankan oleh
pihak yang diuntungkan.18
Apabila di dalam suatu masyarakat
terjadi ketidakpuasan atas suatu kemapanan sosial, maka akan muncul ide-ide
tandingan melawan ide yang umum (lazim, berkuasa) yang menopang kemapanan
keadaan masyarakat tersebut. Setiap usaha
untuk memunculkan pengetahuan dan
praktek hidup baru akan berhadapan de
ngan pengetahuan dan praktek hidup lama
yang ada. Jika Local Wisdom dianggap permanen kebenarannya secara turun temurun, maka akan terjadi ketegangan antara
aspirasi baru dengan Local Wisdom yang
telah ada yang telah diwariskan secara turun temurun. Ketegangan ini mencermin
kanbahwa kemapanan pengetahuan dan
praktek hidup yang sedangberlaku tengah
diguncang. Ringkasnya, Local Wisdom yang
ada sedang digugat.
Pihak-pihak yang berkepentingan de
ngan kemapanan akan mempertahankan
Local Wisdom yang telah ada dan menolak
kemungkinan kemunculan pengetahuan
baru tandingan. Kemapanan selalu ber
usaha mempertahankan status quo. Di dalam situasi demikian, Local Wisdom dapat
digunakan sebagai alat untuk mempertahankan status quo mengenaiposisi antar-individu maupun kelas-kelas sosial.19

18

Misal, jika sistem politik feodalisme Jawa dipraktekkan sebagai Local Wisdom,dengan alasan sebagai pemikiran politik warisan budaya, maka kelas bangsawan akan diuntungkan secara ekonomi dan politik. Contoh kasus, hingga
saat inirebutan tanah antara para petani lahan pantai di Kulon Progo, Yogyakarta, dengan pihak Keraton Pakualaman masih berlangsung. Para petani mengatakan bahwa para orang tua mereka merebut lahan tersebut dari penguasaan Jepang dan mereka (para petani dan orang tuanya) telah menggarapnya selama puluhan tahun. Sedangkan pihak Keraton Pakualaman mengklaim bahwa,sebelum kedatangan Jepang, lahan pantai tersebut merupakan
tanah Keraton Pakualaman. Sistem politik feodalisme akan berpihak pada Keraton Pakualaman, yang berarti lahan
pantai akan diambil oleh Keraton Pakualaman. Para petani tentu menolak sistem politik feodalisme tersebut.
19
Sebagai contoh, Soeharto dikenal sering menggunakan petuah-petuah kebijaksanaan Jawa untuk mengamankan
posisi politiknya pada masa Orde Baru. Soeharto menggunakan peribahasa Jawa rumangsa bisa nanging ora bisa
rumangsa(kira-kira berarti: mengira mengerti padahal tidak mengerti) untuk menyatakan ketidaksukaannya pada
gerakan Petisi 50 (Dwipayana, G. & Ramadhan K.H., 1989: 347). Kelompok Petisi 50 yang muncultahun 1980
berisi para tokoh terkemuka yang mengkritisi pemerintahan Soeharto. Pernyataan Soeharto dapat dilihat sebagai
upaya Soeharto dalam rangka mengamankan posisi politik dari kemungkinan ancaman menguatnya penentang
dirinya.

02-JIMMY JENIARTO.indd 133

10/30/2013 7:35:01 AM

134

Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan

Local wisdom dan Sikap Epistemologis


Di sini, pemaknaan Local Wisdom akan
dikaitkan dengan dua sikap epistemologis
yang saling bertentangan. Popper mengatakan bahwa terdapat dua sikap epistemologis, yakni: pertama, optimisme epistemologis; kedua, pesimisme epistemologis.
Optimisme epistemologis adalah suatu
sikap yang mengatakan bahwa pengetahuan dapat diupayakan oleh manusia
(Popper, 1989: 5). Dengan kata lain, manusia secara mandiri dapat menghasilkan
pengetahuan. Sementara itu, pesimisme
epistemologis adalah suatu sikap yang beranggapan bahwa pengetahuan bersifat
diturunkan atau diberikan oleh otoritas
(Popper, 1989: 6). Dengan kata lain, pengetahuan didiktekan kepada manusia oleh
otoritas luar.
Sebagai pengetahuan warisan leluhur
yang kebenarannya dianggap statis (permanen), Local Wisdom termasuk di dalam
kategori sikap pesimisme epistemologis.
Pengetahuan diwariskan melalui tradisi,
sehingga sesuai dengan istilah Popper lainnya, yakni tradisionalisme. Local Wisdom di
dalam bentuk tradisionalisme ini bersifat
stagnan dan permanen. Tidak ada kebaruan di dalam pengetahuan, tetapi hanya
pengulangan pengetahuan lama. Subjek
bersifat pasif, patuh pada otoritas luar atau
didikte otoritas luar. Pengetahuan dikate
gorikan sebagai irasional di dalam arti
tidak dihasilkan oleh akal subjek secara
mandiri.
Otoritas luar mendominasi struktur
epistemologis anggota masyarakat yang
memegang teguh Local Wisdom sebagai panduan di dalam kehidupan mereka. Persoalan yang muncul di dalam tipe masyarakat
demikian adalah terhalangnya inovasi kreatif dari rasio anggota masyarakat. Suatu
Local Wisdomkemudian merupakan suatu
arena di mana batas-batas kebebasan rasio
telah ditentukan.

02-JIMMY JENIARTO.indd 134

Vol I, 2013

Di sisi lain, jika Local Wisdom dimengerti


sebagai suatu pengetahuan setempat yang
dinamis, maka pengertian Local Wisdom di
sini termasuk di dalam kategori sikap optimisme epistemologis. Pengetahuan dihasilkan melalui olah rasio subjek secara
mandiri, dan dapat disebut sebagai rasionalis (dalam arti yang juga mencakup kerja
indera). Local Wisdom di dalam pengertian
rasionalisme (optimisme epistemologis) ini
bersifat dinamis dan berubah. Di sini, terjadi proses kreasi pengetahuan. Subjek bersifat mandiri, aktif, dan kritis. Pengetahuan
dikategorikan sebagai rasionalis (rasionalisme yang mencakup juga kerja indera).
Namun, sekali lagi, pengertian Local Wisdom yang dinamis ini berarti pula
penyingkiran warisan yang diturunkan
melalui tradisi. Pengertian ini tidak sesuai
dengan pemaknaan Local Wisdom sebagai
warisan leluhur yang harus dipertahan
kan dan dipelihara. Pengertian dinamis ini
merupakan hasil dari usaha terus-menerus
masyarakat bersangkutan di dalam memecahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Pengetahuan baru dimungkinkan, namun pengetahuan lama warisan
leluhur tidak dapat dipertahankan secara
permanen.
Penutup
Secara istilah, pengertian Local Wisdom
sebenarnya belum benar-benar didefinisikan dan diterima secara mapan. Terdapat
pendapat yang memahami Local Wisdom
sebagai filsafat yang teoritis, meski filsafat
dimaknai di dalam arti sebagai jalan hidup
etis ketimbang kajian kritis-rasional di dalam rangka upaya pencarian pengetahuan.
Pendapat lain menganggap Local Wisdom
sebagai pengetahuan praktis dalam pemecahan persoalan hidup. Pendapat ini
bersifat praktis-teknologis (tekhne: penge-

10/30/2013 7:35:01 AM

Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan

tahuan praktis). Misalnya, penyebutan pranata mangsa sebagai Local Wisdom.


Secara garis besar diandaikan terdapat
dua pemaknaan Local Wisdom. Pertama, Local Wisdom dimaknai sebagai pengetahuan
warisan leluhur yang diturunkan melalui
tradisi. Pengetahuan ini bersifat permanen
di dalam berbagai era. Kedua, Local Wisdom dimaknai sebagai pengetahuan lokal
yang merupakan hasil dari kecerdasan
lokal dalam menghadapi persoalan hidup.
Pengetahuan ini senantiasa berubah sesuai
lingkungan jaman. Pengetahuan ini bersifat kontekstual di dalam ruang dan waktu
yang berbeda.
Local Wisdom seolah merupakan wakil
dari relativisme ketika berhadapan dengan
absolutisme. Namun, anggapan relatif
maupun absolut terkait Local Wisdom ini
bukan tanpa persoalan. Di satu sisi, jika Local Wisdom dimaknai sebagai suatu tradisi
yang diwariskan turun-temurun, maka kerelatif-an tersebut terdapat pada ruang namun tidak pada waktu. Relatif secara ruang,
tetapi absolut secara waktu. Di sisi lain, jika
Local Wisdom dimaknai sebagai sebuah pemecahan kontekstual terhadap persoalan
menurut ruang dan waktu tertentu, maka
pengertian Local Wisdom sebagai tradisi
warisan leluhur menjadi tidak bermakna.
Di dalam pengertian ini, Local Wisdom menjadi hal yang terus berubah serta tidak ada
warisan budaya yang dipertahankan dan
dipelihara sebagai permanen.
Di sisi lain, terdapat anggapan absolut bahwa apa yang disebut wisdom atau
kebijaksanaan, atau kearifan, bersifat universal. Pendapat ini berdampak pada dua
hal. Pertama, pemutlakkan universalia sehingga menyingkirkanpartikularia, yang berarti pula penyangkalan terhadap hal lokal.
Pendapat ini akan mementahkan kembali
diskursus Local Wisdom. Kedua, jika pun
Local Wisdom diakui ada, maka pada setiap
Local Wisdom dianggap terkandung kebi-

02-JIMMY JENIARTO.indd 135

jimmy jeniarto

135

jaksanaan universal yang sama. Di sini juga


terkandung persoalan. Istilah wisdom
bisa saja dimaknai bukan sebagai sebuahvariabel (sebagai syarat ciri lokal) melain
kan sebagai sesuatu yang telah ditetapkan
begitu saja secara sama untuk segala ruang
dan waktu.
Berkaitan dengan berbagai Local Wisdom dari berbagai masyarakat, terdapat
kemungkinan terjadinya paradoks. Apa
yang disebut sebagai Local Wisdoms di
berbagai tempat yang berlainan berusaha
memecahkan persoalan kontemporer yang
serupa, meski mungkin dengan dampak
yang berbeda-beda. Bisa jadi akan terjadi
persaingan di antara para Local Wisdoms
tersebut, bahkan saling menegasikan, untuk menyatakan diri sebagai yang paling
unggul. Misalnya, apa sebenarnya yang di
sebut sebagai budaya masyarakat Timur
dan masyarakat mana yang dijadikan kiblat atau patokannya? Persaingan di antara
para Local Wisdoms bisa mengarah pada
upaya dominasi oleh satu ide tunggal.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwanet al. (ed.). (2008). Agama
dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana
UGM dan Pustaka Pelajar.
Dowden, Ken. (1992). The Uses of Greek Mythology. London and New York: Routledge.
Dwipayana, G. & Ramadhan K.H. (1989).
Soeharto: Pikiran, ucapan, dan tindakan
saya: otobiografi, seperti dipaparkan kepada
G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada.
Gerson, Lloyd P. (2009). Ancient Epistemology. Cambridge: Cambridge University
Press.
Kedaulatan Rakyat. (2013). Memedi
Sawah, Kearifan Lokal Mengusir

10/30/2013 7:35:01 AM

136

Diskursus Local Wisdom: Sebuah Peninjauan Persoalan-persoalan

Hama. Kedaulatan Rakyat, Minggu 22


September 2013. Yogyakarta.
Mills, Lennox A. (1952). Review of H. G.
Quaritch Waless The Making of Greater
India: A Study in Southeast Asian culture
change. The Journal of Asian Studies, 11,
407. Tersedia daring di: http://journals.
cambridge.org/action/displayAbstract;
jsessionid=DE0527E5C7BB4D45DE448
9BF13DAB4C1.journals?fromPage=on
line&aid=7102832 [Terakhir diakses 27
Juli 2013].
Nightingale, Andrea Wilson. (2004). Spectacles of Truth in Clasical Greek Philosophy: Theoria in its Cultural Context. Cambridge: Cambridge University Press.
Partosuwiryo, Suwarman. (2013). Ga
rap Potensi Laut, Peduli Local Wis
dom,Kedaulatan Rakyat, Sabtu 20 Juli

02-JIMMY JENIARTO.indd 136

Vol I, 2013

2013. Yogyakarta.
Popper, Karl R. (1989). Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge. London: Routledge.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Sartini. (2009). Mutiara Kearifan Lokal Nusantara. Yogyakarta: Kepel Press.
Spangenburg, Ray & Moser, Diane K.
(2004). The Birth of Science: Ancient Times
to 1699. New York: Facts On File, Inc.
Suriasumantri, Jujun S. (2009). Filsafat Ilmu:
Sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Vernant, Jean-Pierre. (1990). Myth and Society in Ancient Greece. New York: Zone
Books.

10/30/2013 7:35:01 AM

Jurnal Ultima Humaniora, September 2013, hal 28-39


ISSN 2302-5719

Vol. I, Nomor 2

Posfenomenologi Ruangcyber:

Menelaah Realitas Visual Internet dan Konsep Ruangcyber dalam Ilmu Antropologi
BUDI HARTANTO

Alumnus STF Driyarkara; Pengarang buku Dunia Pasca-Manusia. Menjelajahi Tema-Tema


Kontemporer Filsafat Teknologi (2013)
Surel: filstek3@yahoo.com
Diterima: 13 Agustus 2013
Disetujui: 27 Agustus 2013

ABSTRACT
This article discusses cyberspace as postphenomenological reality. The internet and virtual
technologies are described in the perspective of postphenomenology and Don Ihdes philosophical
concept of multistability in cyberspace. I use postphenomenology of cyberspace to explain existential human relation to cyber world through medium of internet technology. From the idea of
multistability in cyberspace I will highlight the significance of visual reality which presents in internet. I have concluded that visually constructed reality is a mainstream to understand postphenomenological dimension of cyberspace. Moreover, in this article I explore concept of cyberspace
in the study of anthropology. Discourse of cyberspace in anthropology is more empirical where it
discusses not limited to philosophy of technological space, but social and cultural phenomena of
human relation to new technological artefacts particularly information technology. The anthropology of cyberspace that I explore here are about cyberculture (Arturo Escobar), cyborgs in cyberspace (David Hakken), and virtual community.

Keywords: Multistability, Visuality, Postphenomenology of cyberspace, Phenomenology of instrumentation, Cyberculture

teraksi yang lebih mendasar seperti silaturahmi kekeluargaan dan pertemanan.


Dinamika kehidupan sosial melalui mediasi
Berdasar data penelitian Bank Dunia
teknologi internet telah mencipta cakrawa(2011) pengguna internet berjumlah 32,8
la baru tentang keberadaan dunia virtual.
% dari jumlah penduduk dunia atau berBerbagai aktivitas kehidupan sosial yang jumlah 2,2 mililar (www.wordbank.org).
sebelumnya mensyaratkan aktivitas keber- Sedangkan di Indonesia, dengan mengacu
tubuhan tergantikan oleh aktivitas dalam data dari Kementerian Komunikasi dan
ruang yang diistilahkan dengan ruangcy- Informatika (2012), 23% dari jumlah penber ini; dari kegiatan ekonomi, transfer dan duduk atau berjumlah 55 juta orang. Pengdiseminasi pengetahuan, sampai moda in- guna Facebook berjumlah 43,06 juta orang,
PENDAHULUAN

03-BUDI HARTANTO.indd 137

10/30/2013 7:35:30 AM

138

Posfenomenologi Ruangcyber: Menelaah Realitas Visual Internet dan Konsep


Ruangcyber dalam Ilmu Antropologi

Vol I, 2013

Twitter 19,5 juta orang. Berarti lebih dari


1/4 jumlah penduduk Indonesia beraktifitas dalam internet. Sebuah fenomena yang
tentunya menarik untuk kita refleksikan.
Dalam tulisan ini saya akan membahas
ruangcyber dalam perspektif posfenomenologi dan antropologi untuk merefleksikan dimensi filosofis kehidupan virtual.
Posfenomenologi adalah pemikiran Don
Ihde seorang filsuf teknologi kontemporer yang menjelaskan secara lebih luas
pemikiran fenomenologi pasca-Husserl
yakni Martin Heidegger, Paul Ricoeur, dan
Maurice Merleau-Ponty. Dalam posfenomenologi dijelaskan bahwa intensionalitas
tidak terbatas pada kesadaran yang bersifat persepsional dalam relasinya dengan
dunia seperti filsafat Husserl, melainkan
yang utama tubuh dalam relasinya dengan
dunia sosial dan kultural. Don Ihde mengatakan bahwa posfenomenologi selalu berpijak dari materialitas tubuh yang terhubung
dengan materialitas-materialitas lainnya
atau secara lebih spesifik artefak teknologi.
Kesadaran sebagaimana dijelaskannya telah menubuh dengan dunia. Menurutnya
Intentionality, now not consciousness per se
but embodied, includes material technologies in
various positions as I relate to a or any world
(Ihde, 2003: 15).
Pembahasan diawali dengan menerangkan posfenomenologi ruangcyber dengan
mengacu pada pemikiran Don Ihde. Setelah itu saya akan menerangkan konsep
ruangcyber dalam ilmu antropologi yang
meliputi pemikiran antropologi Arturo Escobar tentang ruangcyber dalam kaitannya
dengan kebudayaan teknologi (cyberculture), cyborgs@cyberspace-nya David Hakken, dan komunitas virtual.

pragmatis manusia dan dunia internet.


Konsep ini dielaborasi dari filsafat Don Ihde
tentang fenomenologi instrumentasi dan
multistabilitas dalam ruangcyber. Sebuah
pemikiran tentang bagaimana kita memahami internet sebagai instrumen yang
memediasikan manusia dan dunia global.
Internet menghadirkan realitas sesungguhnya secara reduktif dalam ruang layar
dalam bentuk hiperteks dengan mediasi
teknologi virtual. Setiap entitas informatif
dalam ruang teknologis internet merepresentasikan keberadaan dunia tubuh (world
of bodies) baik itu manusia sebagai tubuh
atau pun realitas sesungguhnya.
Media sosial seperti Skype, Facebook,
dan Twitter, misalnya, adalah ruang sosial
teknologis yang berada dalam dimensi posfenomenologis ruangcyber. Moda interaksi
sosial tereduksi dan pada saat yang sama
meluas melampaui kapasitas ruang kebertubuhan. Tubuh dikonstitusikan ke dalam
eksemplar program, identitas terkonstruksi dalam wujud hiperteks. Atau dalam format telepresence dimana tubuh hadir secara
audio-visual-kinestetis dalam ruang layar.
Media sosial yang mewujud dalam bentuk
hiperteks menjadi medium tubuh-tubuh
yang terkoneksi secara global.
Dengan posfenomenologi ruangcyber
kita pahami bahwa instrumen mencipta
ruang dan menghadirkan realitas sesungguhnya dengan mediasi internet. Oleh ka
renanya ia tidak terbatas pada interaksi sosial yang kemudian mencipta dunia secara
sosiologis dan antropologis seperti dalam
Facebook atau Twitter, melainkan yang utama adalah relasi berjarak antara manusia
dan dunia yang dimediasi oleh teknologi
virtual. Dunia yang dihadirkan oleh instrumen yang terkoneksi ke dalam internet dapat dipahami sebagai ekstensi pengalaman
Posfenomenologi Ruangcyber
kebertubuhan yang bersifat global. Ketika
Posfenomenologi ruangcyber merupakan sebuah instrumen atau mesin terintegrasi
konsep filosofis untuk menjelaskan relasi dengan internet kita dapat mengaksesnya

03-BUDI HARTANTO.indd 138

10/30/2013 7:35:30 AM

Posfenomenologi Ruangcyber: Menelaah Realitas Visual Internet dan Konsep


Ruangcyber dalam Ilmu Antropologi

tanpa adanya relasi kebertubuhan dengan


instrumen tersebut. Dengan internet dunia
terfragmentasi dan terdomestikasi melampaui pemahaman kita tentang ruang dan
waktu sesungguhnya.
Bila dalam fenomenologi instrumentasi relasi tubuh dan instrumen mewujud
secara intensional dan tersituasikan, yaitu
ketika tubuh, instrumen, dan dunia mencipta pengalaman eksistensial relasional
fenomenologis seperti dalam diagram:

budi hartanto

139

sebagai sistem relasional manusia, internet,


teleskop, dan alam semesta. Alam semesta
yang dimediasi teleskop yang terdomestikasi dalam ruang layar memberi pemahaman bahwa dunia cyber menjadi realitas
yang tak terbatas.
Galileo

Teknologi Informasi

Teleskop

Alam Semesta

Selain itu kita ketahui situs jejaring


sosial The Telegarden (1995-2004). The Tele
garden menampilkan instalasi artistik taManusia
Instrumen
Dunia
man yang dirawat oleh instrumen robotik
yang dapat diakses melalui internet. Setiap
anggota yang terdaftar dalam The TelegarDalam posfenomenologi ruangcyber den masing-masing dengan tumbuhannya
instrumen secara global terdomestikasi sendiri dapat merawat dan menyirami
dalam ruang layar. Mediasi internet me- tumbuhan dengan mediasi tangan robotik
mungkinkan kita untuk mengakses instru- dan melihat pertumbuhannya dalam ruang
men-instrumen yang terintegrasi dengan layar. Persepsi inderawi realitas dalam The
internet tanpa adanya relasi kebertubu- Telegarden terbatas pada kualitas hiperteks
han dengan instrumen. Tubuh memaha- audio-visual-kinestetis atau video. Namun
mi secara perseptual kompleksitas dunia kita pahami bahwa ia memediasikan realiinderawi melalui mediasi teknologi infor- tas sesungguhnya yang bersifat kompleks
masi. Struktur relasionalnya seperti dalam secara inderawi.
The Telegarden mensyaratkan instrumen
diagram:
yang terkoneksi ke dalam jaringan internet.
Manusia
Internet
Instrumen
Dunia
Dimensi posfenomenologi ruangcybernya
dalam konteks ini adalah ketika instrumen
SLOOH SpaceCamera (www.slooh.com) termediasi oleh program komputer yang
adalah situs internet yang memberi pema- dapat mengontrol gerak instrumen robotik,
haman tentang dimensi posfenomenolo- relasi manusia dan instrumen yang terintegis ruangcyber. Situs SLOOH Space Camera grasi dengan mediasi teknologi komputer
menghadirkan aktivitas teleskop robotik mengubah dan mengondisikan realitas se
yang berada di kepulauan Canaria Sam- sungguhnya. Relasi kemenubuhan manuudera Atlantik. Dengan membuat akun sia dan instrumen ditransformasikan ke
di SLOOH kita dapat mengakses aktivitas dalam ruang layar.
teleskop dengan mengikuti jadwal events
Yang paling mutakhir dan visioner
teleskop yang ditentukan oleh admin situs adalah The Internet of Things. The Internet
SLOOH. Setiap anggota dengan membuat of Things merupakan sebuah gagasan tenreservasi dapat mengontrol dengan bebas tang virtualisasi benda-benda sehingga ia
teleskop yang berada di kepulauan Canaria dapat dibaca dan dikomprehensi secara
ini. Teleskop terkoneksi secara global de perseptual hermeneutis dalam ruang layar.
ngan mediasi teknologi internet. Teleskop Sebuah visi terkoneksinya benda-benda sehadir dalam ruang layar dan menjadi logis cara teknologis ke dalam internet. Dengan

03-BUDI HARTANTO.indd 139

10/30/2013 7:35:30 AM

140

Posfenomenologi Ruangcyber: Menelaah Realitas Visual Internet dan Konsep


Ruangcyber dalam Ilmu Antropologi

teknologi RFID (Radio-Frequency Identification) benda-benda ditag agar kemudian


dikenali atau dideteksi gerak aktifitasnya
dalam ruang layar. Seperti disebutkan
dalam situsnya The Internet of Things ini
mempunyai misi kebebasan berinternet
dan untuk lebih menghidupkan dunia cyber dimana benda-benda kemudian dapat
dikomprehensi secara elektronis.
Kualitas kebertubuhan yang ditransformasikan secara teknologis seperti dalam Facebook, Twitter, SLOOH, The Telegarden dan visi The Internet of Things memberi
pemahaman tentang realitas yang bersifat
omnipresence dalam arti dapat diakses tanpa batasan ruang dan waktu. Akan tetapi
realitas kebertubuhan yang dimediasi oleh
instrumen hadir terbatas dan tersituasikan
dalam bentuk hiperteks. Keterbatasan ruang layar yang membentuk realitas secara
instrumental ini dijelaskan oleh Don Ihde
sebagai multistabilitas dalam ruangcyber.
Inilah yang menjadi keutamaan dalam posfenomenologi ruangcyber.
Multistabilitas dalam ruangcyber menurut Don Ihde adalah variasi-variasi perseptual fenomenologis dalam ruang layar
(screen space) yang mengonstruksi virtualitas. Variasi-variasi perseptual ini menurut
Don Ihde tidak hanya tampilan hiperteks
yang bersifat ambigu seperti misal sebuah
gambar yang menghasilkan dua bentuk
yang berbeda seperti dalam ilmu psikologi yaitu gambar bebek dan kelinci. Don
Ihde menjelaskan kemungkinan hadirnya
persepsi ketiga berkenaan dengan multistabilitas sebuah gambar (Ihde, 2003: 1).
Sebuah gambar dapat dipersepsikan dalam
perspektif-perspektif yang berbeda yang
kemudian memunculkan gagasan tentang
konsep ruang dalam sebuah medium.
Multistabiltas ini menurut Don Ihde
mengontruksi pemahaman kita akan realitas virtual. Dalam pemikiran Don Ihde
terdapat tiga model multistabilitas dalam

03-BUDI HARTANTO.indd 140

Vol I, 2013

kaitannya dengan fenomena realitas virtual: 1) tampilan ruang layar, 2) non-netralitas internet dalam bentuk email dan virtual
technologies dan 3) virtual/actual alternation.
Email dan teknologi-teknologi virtual
membentuk gagasan tentang non-netralitas ruangcyber dalam arti ia bersifat interaktif atau hadir sebagai realitas termediasi.
Teknologi informasi memungkinkan kita
untuk berinteraksi, membaca realitas, dan
mengontrol instrumen-instrumen yang
terintegrasi dengan teknologi internet. Internet menghadirkan dunia yang bersifat
interaktif. Non-netralitas ini kemudian
memungkinkan terbentuknya virtual/actual
alternation, yaitu ketika informasi dalam
ruangcyber mengondisikan realitas sesungguhnya dan vice versa realitas sesungguhnya mengubah realitas virtual.
Namun yang utama adalah tentang
persepsi ruang teknologis. Multistabilitas ruang ini adalah mengenai persepsi visualis
tis ruang layar yang dijelaskan oleh Don
Ihde memiliki dua bentuk variasi fenomenologis: yaitu ruang layar dua dimensi
atau on-the-screen-space dan ruang layar tiga
dimensi atau through-screen-space. Ruang
layar dua dimensi menjadi medium untuk
menampilkan halaman program aplikasi
yang terdiri dari teks, simbol, dan angka.
Sedangkan ruang layar tiga dimensi me
ngonstruksi virtualitas dalam bentuk komputer grafik. Game, simulasi 3D, dan video
merupakan virtualitas through-screeen-space
yang ditampilkan dalam ruang layar. Realitas yang dihadirkan memiliki forma
yang sama dengan realitas sesungguhnya
namun terbatas pada kualitas audio, video,
dan gerak/kinestetik (Ihde, 2003: 3-7).
Dengan konsep multistabilitas ini dipahami bahwa dimensi posfenomenologis
ruangcyber berada dalam ruang layar. The
Telegarden, misalnya, merepresentasikan
taman sesungguhnya secara audio-visualkinestetis dengan mediasi teknologi vir-

10/30/2013 7:35:30 AM

Posfenomenologi Ruangcyber: Menelaah Realitas Visual Internet dan Konsep


Ruangcyber dalam Ilmu Antropologi

tual, realitas tereduksi namun kita tetap


dapat mengontrolnya secara langsung.
Multistabilitas dalam hal ini adalah ketika
perubahan dalam dunia virtual yang terbatas mengondisikan dunia aktual atau taman sesungguhnya. Dalam The Internet of
Things, perubahan virtual/actual menjadi
lebih hidup karena dengan teknologi RFID
gerak benda-benda dapat diidentifikasi
secara otomatis melalui sistem informasi
elektronis.
Filsafat Don Ihde tentang multistabilitas
adalah ketika kita melihat variasi tampilan
hiperteks dan efek-efek yang dihasilkannya. Inilah yang membedakan dunia cyber dengan dunia pikiran Cartesian yang
dikatakan terpisah dengan dunia tubuh.
Kualitas hiperteks mengontruksi dunia
pikiran yang bersifat eksternal alih-alih
dunia internal pikiran Cartesian. Pemikiran
Don Ihde tentang komputer sebagai mesin
epistemologi (Ihde, 2001: 81-83) dapat kita
bandingkan dengan gagasan ruangcyber
sebagai ruang pikiran eksternal ini; bahwa
teknologi komputer mempunyai kapasitas
untuk mencipta realitas, menyelesaikan
persoalan, dan mengontruksi mimpi-mimpi seperti halnya dunia internal pikiran
Cartesian.
Dunia tubuh yang termediasi oleh ins
trumen dan terdomestikasi melalui internet
memberi pemahaman tentang dunia virtual yang berciri multistabil. Dengan internet, dunia tubuh (world of bodies) mengada
secara reduktif dan meluas secara global.
Namun demikian kita ketahui bahwa memahami realitas ini mempunyai problemnya tersendiri. Aktivitas hermeneutis atau
penafsiran menjadi syarat utama untuk
memahami realitas ini. Karena tereduksi
dalam bentuk hiperteks dan selalu membutuhkan penafsiran kita terkadang melihatnya tidak sebagai realitas posfenomenologis, sehingga konsekuensinya ruangcyber
tidak dipahami secara otentik bahkan se
ring kali diragukan.

03-BUDI HARTANTO.indd 141

budi hartanto

141

Hubert L. Dreyfus dalam On the Internet memberi komentar mengenai keotentikan ruangcyber ini. Ia menyatakan persoalan telepresence dengan merujuk pada
pemikiran Descartes tentang moda memahami realitas melalui mediasi tubuh yang
kemudian dikomprehensi oleh pikiran
(Dreyfus, 2001: 49-71). Descartes mempersoalkan realitas yang dipersepsikan oleh
tubuh sebagai medium ini. Tubuh dalam filsafat Descartes adalah sama halnya dengan
teknologi virtual. Bedanya tubuh memberi
informasi pada entitas yang tak tercerap
seperti jiwa, sedangkan teknologi memberi
informasi pada tubuh sebagai yang selalu
berada dalam perspektif. Pemikiran Dreyfus adalah mengenai kritik fenomenologis
ruangcyber terutama mengenai telepresence.
Tubuh yang mewujud dalam bentuk hiperteks video dikatakan berjarak atau tereduksi secara fenomenologis, konsekuensinya
manipulasi atau ketidak-otentikkan realitas ruangcyber diasumsikan lebih mempunyai potensi dibandingkan dengan realitas
sesungguhnya.
Terlepas dari problem keotentikan realitas telepresence seperti diajukan oleh
Dreyfus, sebenarnya ia adalah sama halnya
dengan membaca dan menafsir realitas itu
sendiri. Analoginya seperti tubuh dalam
nalar Cartesian yang memberi informasi ke
dalam ruang pikiran. Pikiran dalam hal ini
adalah tubuh dan relasinya dengan instrumen yang berada dalam perspektif, instrumen memberi informasi baik itu sebagai
ekstensi pengalaman kebertubuhan atau
pun lewat pembacaan. Realitas telepresence
memang tereduksi dalam ruang layar, tapi
dengan mediasi teknologi virtual realitas
ini menjadi nyata seturut dengan proses
amplifikasi yang melampaui ruang dan
waktu kebertubuhan.
Realitas Visual Internet
Multistabilitas dalam ruangcyber seperti telah dijelaskan berada dalam moda visuali-

10/30/2013 7:35:30 AM

142

Posfenomenologi Ruangcyber: Menelaah Realitas Visual Internet dan Konsep


Ruangcyber dalam Ilmu Antropologi

tas ruang layar. Visualitas menjadi ciri utama yang kemudian mengonstruksi makna
ruang teknologis virtual. Slooh SpaceCamera,
The Telegarden, The Internet of Things, dan instrumen lainnya yang terintegrasi dengan
internet hadir dalam batas-batas visualitas
ruang layar. Meski kualitas hiperteks lainnya seperti misalnya dimensi audio telah
terintegrasi dengan internet, realitas visual
tetap menjadi keutamaan.
Unsur visual dalam ruang layar adalah
variasi fenomenologis yang merepresentasikan dunia yang berjarak. Sebagai realitas
yang termediasi, duniacyber hadir secara
terbatas dan diperlukan tafsir visual. Meski simulasi komputer telah memungkinan
kita untuk memahami ruang ini sebagai
yang memiliki kesamaan dengan realitas
aktual, misalnya ketika tubuh manusia diintegrasikan ke dalam simulasi komputer,
ia tetap terbatas pada kualitas gerak, audio
dan visual.
Dengan konsep multistabilitas kita ketahui bahwa ruang layar menjadi infrastruktur terbentuknya realitas virtual. Namun
yang utama seiring dengan perkembangan
komputer grafik adalah ketika diketahui
potensi terciptanya dunia yang beragam
dalam ruang layar 3D (through-screenspace). Persepsi yang berkembang seiring
dengan konstruksi grafik komputer dalam
bentuk animasi dan video memberi pemahaman akan keberadaan ruang virtual.
Meski dunia ini dapat meluas secara global
melampaui kapasitas perseptual tubuh, ia
tetap berada dalam moda visualitas.
Multistabilitas ruang layar 3D bila
kita telaah tak lepas dari perkembangan
teknologi desain dan gambar atau lukisan.
Multistabilitas sebuah gambar seperti kita
ketahui mewujud dalam sebuah medium
yang kemudian mencipta konsep ruang
atau dunia. Don Ihde membahas secara
lebih rinci pemikiran tentang sebuah gambar dan ragam bentuk persepsi dalam

03-BUDI HARTANTO.indd 142

Vol I, 2013

bukunya Consequences of Phenomenology


(1986). Ia menjelaskan tentang fenomena
gambar-gambar yang secara kultural menampilkan perspektif gambar dan persepsi
yang beragam.
Dalam komputer grafik, multistabilitas
menjadi lebih dinamis yang hadir secara
audio-visual-kinestetis. Ia mencipta ruang
yang kemudian memunculkan gagasan
tentang virtualitas. Visualitas menjadi ke
utamaan dalam mengonstruksi realitas
posfenomenologis ruangcyber. Namun perlu digarisbawahi bahwa visualitas ruang
layar dalam hal ini adalah realitas yang
terkoneksi dan terdomestikasi yang merepresentasikan dunia global. Visualisme ruangcyber bukanlah realitas yang terbatas
secara konseptual. Maknanya kemudian
menjadi lebih nyata ketika dimengerti bahwa ia terbentuk secara perseptual-hermeneutis berdasar pada transformasi teknologis pengalaman manusia.
Ruangcyber dalam Ilmu Antropologi
Dalam perspektif posfenomenologi dimensi filosofis ruangcyber berciri multistabil
atau bagaimana tubuh berada dalam relasi
dengan dunia virtual. Hal ini berbeda jika
dilihat secara antropologis di mana ruangcyber mencakup dimensi empiris dari
artefak-artefak teknologi. Kajian ruangcyber menjadi keutamaan yang melampaui
pemahaman tentang multistabilitas ruang
layar. Ruangcyber tidak hanya ruang sosial
virtual atau situs-situs yang telah mengondisikan virtualitas, tapi lebih pada dinamika
fenomena kemajuan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi,
dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial kultural manusia.
Arturo Escobar adalah antropolog yang
membahas fenomena ruang teknologis cyber sebagai ruang kebudayaan. Ia membuat
istilah cyberculture untuk menjelaskan man-

10/30/2013 7:35:30 AM

Posfenomenologi Ruangcyber: Menelaah Realitas Visual Internet dan Konsep


Ruangcyber dalam Ilmu Antropologi

ifestasi bentuk kehidupan yang dipenga


ruhi oleh teknologi-teknologi baru. Menurutnya ada dua wilayah cyberculture: yaitu
wilayah artificial intelligence (berfokus pada
teknologi informasi dan komunikasi) dan
wilayah bioteknologi. Kedua wilayah cyberculture tersebut menurut Escobar membentuk cakrawala baru tentang kehidupan sosial manusia: technosociality dimana artefak
mengondisikan dunia sosial dan biosociality
yaitu ketika kemajuan sains dan teknologi
telah mampu merekayasa alam dan termasuk tubuh manusia (Escobar, 1994: 214).
Sains dan teknologi mencipta dunia
sedemikian rupa sebagai cyberculture dimana kategori nature dan culture, organisme
dan mesin, menjadi tak terdefinisikan.
Menurut Escobar One of the most fruitful
insight is that technoscience is motivating a
bluring an implosion of categories at various
levels, particularly the modern categories that
have defined the natural, the organic, the technical, and the textual (Escobar, 1994: 217). Namun yang menjadi keutamaan berkenaan
dengan cyberculture dalam pemikirannya
adalah bagaimana nature dan culture yang
terkonstruksi oleh sains dan teknologi ini
kemudian dipahami berada dalam dinamika ekonomi politis.
Definisi Arturo Escobar memberi pemahaman tentang ciri empiris cyberculture.
Cyberculture tidak semata dalam arti dunia
teknologi dengan makna dunia virtual ruang layar (screen space) atau dimensi posfenomenologis ruangcyber. Meskipun demikian Arturo Escobar tetap memosisikan
interaksi sosial dengan mediasi teknologi
informasi dan komunikasi sebagai bagian
dari wilayah kajian etnografi cyberculture
(Escobar, 1994: 219). Ia menyatakan bagaimana kekhususan (specificity) format
komunikasi dengan mediasi teknologi
informasi dan komunikasi yang kemudian memunculkan istilah virtualitas telah
membentuk gagasan tentang cyberculture.

03-BUDI HARTANTO.indd 143

budi hartanto

143

Seiring dengan munculnya fenomena


kehidupan ruangcyber seperti munculnya
banyak media sosial saya kira adalah pen
ting mengetengahkan kajian virtualitas budaya. Karena virtualitas ini pada dasarnya
adalah realitas posfenomenologis. Bahwa
ketersambungan (konektivitas) dengan
dunia internet berarti ketersambungan
dengan dunia hiperteks yang merepresentasikan tubuh-tubuh yang bersifat global.
Bila diandaikan sebagai bentuk kehidupan
(lifeform), ruangcyber tentu dapat dikatakan
sebagai ruang kebudayaan yang tereduksi
dan teramplifikasi dalam bentuk hiperteks
(animasi, gambar, video, teks). Imaji kebudayaan mewujud secara virtual dalam ruang layar.
Don Ihde mengistilahkan virtualitas
budaya yang terkonstruksi oleh teknologi
imaji sebagai pluriculture. Kebudayaan sebagai yang khas pada suatu masyarakat
dihadirkan secara virtual sehingga tercipta
imaji kultur global (Ihde, 1990: 164). Dengan
gagasan pluriculture budaya-budaya dunia
terfragmentasi dalam sebuah medium dan
dalam arti tertentu melebur menjadi satu
budaya populer. Pluriculture membentuk
persepsi tentang virtualitas kebudayaan.
Arturo Escobar sebenarnya sudah menyatakan bagaimana virtualitas cyberculture telah mencipta imajinasi dan praktik budaya
populer (Escobar, 1994: 218). Namun ia
tidak mengelaborasi lebih jauh fenomena
virtualitas budaya dalam arti imajinasi dan
praktik budaya ini, dalam pemikirannya
budaya populer cyberculture lebih pada budaya material yang dikondisikan oleh sains
dan teknologi.
Pluriculture dapat kita bandingkan de
ngan antropologi visual yang dijelaskan
oleh Escobar sebagai keutamaan seiring
dengan perkembangan teknologi baru. Antropologi visual memahami imaji dan secara khusus menggunakan teknologi imaji,
seperti halnya pluriculture, untuk memba-

10/30/2013 7:35:30 AM

144

Posfenomenologi Ruangcyber: Menelaah Realitas Visual Internet dan Konsep


Ruangcyber dalam Ilmu Antropologi

hasakan dan menafsir fenomena budaya.


Namun antropologi visual dalam hal ini
lebih bersifat epistemologis dalam arti
teknologi imaji digunakan untuk membahasakan realitas budaya. Imaji diproduksi
dan ditafsirkan sebagai sebuah teks se
hingga menghasilkan pemahaman tentang
kebudayaan.
Antropolog yang membahas ruangcyber selain Arturo Escobar adalah David
Hakken. Ia menjelaskan secara lebih luas
mengenai antropologi ruangcyber yang
meliputi pemikiran tentang fenomena re
volusi komputer atau komputerisasi, entitas-entitas pembawa kebudayaan yang
ia istilahkan cyborg dalam ruangcyber, dan
forma relasi-relasi sosial yang dikondisikan
oleh teknologi informasi terbaru (Advanced
Information Technology). Eksplorasi Hakken
meliputi fenomena kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta pengaruhnya terhadap perubahan sosial.
Ia membuat konsep cyborg dalam ruangcyber sebagai konstruksi antropologis
dari relasi manusia dan internet (Hakken,
1999: 5). Dalam ruangcyber, manusia dikonstitusikan sebagai entitas-entitas relasional
pembawa kebudayaan yang ia definisikan
sebagai cyborgs@cyberspace. Namun David
Hakken tidak membatasinya hanya dalam
ruangcyber. Cyborg adalah entitas pembawa kebudayaan yang mewujud dalam
relasinya dengan teknologi yang meluas
melampaui kapasitas dan kekhususan tubuh manusia. Sejak awal sejarah manusia
menggunakan artefak teknologi sampai ia
mewujud sebagai entitas dalam ruangcyber, demikian Hakken, manusia sudah berciri cyborgic (Hakken, 1999: 71-72).
Kondisi cyborgic seperti dikemukakan
oleh David Hakken menyatakan bahwa
manusia selalu dijelaskan dalam relasinya dengan kebudayaan sehingga hal ini
menggambarkan kondisi hibrida manusia dan artefak-artefak kebudayaan. Hak-

03-BUDI HARTANTO.indd 144

Vol I, 2013

ken tampaknya melupakan bahwa tubuh


secara potensial dan persepsional bersifat
alamiah. Kealamiahan tubuh, terutama dalam kapasitasnya untuk mempersepsikan
realitas, membawa pada pemikiran bahwa
tubuh tidak selalu berada dalam relasi de
ngan kebudayaan.
Dalam filsafat Don Ihde dijelaskan bahwa tubuh bersifat kultural dan juga bersifat
alamiah. Ia mengistilahkannya ke dalam
dua bentuk tubuh yaitu body one dan body
two. Dari dua bentuk tubuh ini kemudian
dimengerti tubuh-tubuh dalam relasinya
dengan teknologi. Body one menurut Don
Ihde adalah tubuh alamiah atau tubuh sebagai organisme yang bersifat aktif yang
memiliki potensi mempersepsikan realitas.
Sedangkan body two adalah tubuh dalam
dimensi kulturalnya yang terbentuk berdasarkan dengan pengalaman kebudayaan
(Ihde, 2001: 17). Adapun tubuh-tubuh dalam teknologi dapat dimaknai sebagai tubuh yang bersifat relasional dengan artefak
seperti dalam pemikiran David Hakken.
Dari filsafat Don Ihde tentang tubuh, dapat kita nyatakan bahwa secara definitif
tubuh dalam relasinya dengan artefak adalah bersifat pragmatis, bahwa selain tubuh
sebagai entitas cyborgic, keberadaan tubuh
alamiah dan tubuh kultural adalah penting
untuk diketahui dalam memahami manusia sebagai tubuh dalam relasinya dengan
teknologi.
Selain itu adalah menarik bila kita telaah secara filosofis tentang potensi cyborgic sebagai kualitas posfenomenologis dari
relasi manusia dan instrumen. Cyborg dalam ruangcyber dapat diproposisikan bersifat posfenomenologis karena tubuh meluas secara global melalui mediasi internet
dan mewujud sebagai hiperteks. Tubuh
dieksternalisasikan dalam bentuk teks,
gambar, dan video. Dimensi teknologis
pada tubuh manusia ketika ia menggunakan artefak menyatakan bahwa ia tidak se-

10/30/2013 7:35:30 AM

Posfenomenologi Ruangcyber: Menelaah Realitas Visual Internet dan Konsep


Ruangcyber dalam Ilmu Antropologi

mata sebuah organisme. Kendati demikian


ia tidak kemudian dijelaskan semata-mata
sebagai ekstensi kualitas inderawi yang
mewujud sebagai dunia yang termediasi
dan terdomestikasi dalam instrumen. Ketika manusia menggunakan instrumen tentunya potensi tubuhnya meluas tidak hanya
pada yang bersifat perseptual hermeneutis,
tapi juga dimensi praktis teknologis yang
meliputi efesiensi, kekuatan, kecepatan dan
kualitas lainnya yang melampaui kapasitas
atau potensi tubuh manusia.
Komunitas Virtual
Dalam etnografi ruang teknologis dalam
pemikiran Escobar dan Hakken dipaparkan perihal komunitas virtual. Komunitas virtual menjadi bagian penting konsep
ruangcyber dalam antropologi. Arturo Escobar mengategorikan komunitas virtual
sebagai bagian dari kajian etnografi cyberculture. Escobar tidak membatasi kajian
komunitas hanya dalam virtualitas ruang
yang terkoneksi, ia menyatakan pentingnya menelaah komunitas yang terbentuk
dalam realitas aktual yang dikondisikan
oleh teknologi informasi dan komunikasi
(Escobar, 1994: 218). David Hakken lebih
jauh membahas komunitas-komunitas
yang terbentuk dalam dunia virtual dengan
mengacu pada dunia aktual yang merupakan bagian dari wilayah kajian etnografi
cyberculturenya Escobar.
David Hakken menyatakan bahwa keberadaan komunitas dalam ruangcyber accelerates the decoupling of space from place
(Hakken, 1999: 95). Konsep place dalam
arti aktualitas komunitas dalam wilayah
geografis diasumsikan menjadi kurang
bermakna seiring dengan munculnya konsep space dalam ruang virtual. Menurut
Hakken karakter komunitas pada dasarnya
berada dalam virtualitas space atau berada
dalam tataran persepsi. Dengan demikian

03-BUDI HARTANTO.indd 145

budi hartanto

145

secara filosofis dapatlah dikatakan bahwa


karakter komunitas, bahkan sebelum konsep ruang virtual terbentuk, tidak selalu
mencirikan keberadaan place atau wilayah
dalam realitas aktual.
Namun demikian yang utama dalam
pemikirannnya adalah bagaimana konsep komunitas virtual terbentuk dan terhubung ke realitas aktual melalui mediasi
teknologi informasi terbaru. Komunitas
virtual adalah manifestasi dari relasi-relasi
sosial yang ia kategorikan ke dalam tiga
bentuk relasi-relasi: yang utama adalah
meso-social relations. Pada level ini komunitas virtual terbentuk berdasarkan pada
realitas aktual yang meliputi komunitaskomunitas, wilayah/daerah (geografis),
dan organisasi. Kemudian level micro-social
relations yang merupakan bentuk komunikasi ruangcyber dalam level individual
atau pertemanan dan macro-social relations
yang berlevel nasional seperti negara dan
level global (Hakken, 1999: 93-131). Hakken membahas komunitas virtual dalam
relasinya dengan dinamika empiris/aktual
relasi-relasi sosial.
Antropolog lainnya yang membahas
komunitas virtual adalah Daniel Miller dalam tulisannya An Extreme Reading of Facebook (2010). Dalam salah satu proposisinya
mengenai Facebook ia menyatakan bahwa
pesatnya perkembangan media sosial terutama Facebook telah merubah secara radikal
premis dan arah ilmu sosial. Dalam tulisan
tersebut Miller menjelaskan tentang fenomena ruang sosial teknologis yang dikatakan
berakhir pada pemikiran tentang sikap individualisme seperti analisa dalam ilmu
sosiologi tentang fenomena modernitas.
Namun kenyataannya menurut penelitian
Miller fenomena Facebook sebagai bentuk
komunikasi yang tersituasikan membuat
individu-individu kembali pada kesadaran
komunitas seperti dalam konteks kajian
antropologi.

10/30/2013 7:35:31 AM

146

Posfenomenologi Ruangcyber: Menelaah Realitas Visual Internet dan Konsep


Ruangcyber dalam Ilmu Antropologi

Daniel Miller yang melakukan penelitian tentang Facebook di desa terpencil di


Trinidad kemudian membuat kesimpulan
bahwa dalam sebuah komunitas yang ikat
an kekeluargaannya masih kuat, komunitas virtual Facebook sebenarnya menjadi
semacam alternatif dari relasi-relasi sosial
dalam dunia aktual. Sehingga konsekuensinya pemikiran tentang individualisme
dalam realitas aktual dan kesadaran komunitas dalam realitas virtual dapat dikatakan
tetap relevan.
Keberadaan komunitas virtual mene
rangkan bahwa teknologi informasi dan
komunikasi menjadi instrumen yang memediasikan tubuh-tubuh dalam ruangcyber.
Etnografi tentang komunitas virtual seperti
dalam pemikiran Hakken, misalnya, merujuk pada keberadaan komunitas dalam
realitas aktual seperti dalam bentuk organisasi-organisasi dan wilayah-wilayah. Atau
Daniel Miller yang membahas dinamika
relasi komunitas online dan offline yang
kemudian mencipta pengalaman yang be
ragam tentang dunia cyber.
Namun bila kita telaah secara filosofis,
komunitas virtual adalah berada dalam
multistabilitas ruangcyber. Terutama ketika
kita temui banyaknya komunitas-komunitas virtual yang terbentuk seiring dengan
perkembangan media sosial. Komunitas
virtual menjadi nyata hanya dalam ruang
layar. Imam Ardhianto peniliti di Centre for
Anthropology Studies UI yang melakukan
penelitian tentang komunitas hacker me
ngatakan bahwa keberadaan komunitas
online memang tidak selalu berkorespondensi dengan realitas offline. Komunitas
hacker yang menurutnya saat ini banyak
beralih ke media sosial seperti Facebook dan
Twitter menjadi nyata hanya dalam virtualitas ruang layar. Meski pengaruh komunitas hacker terhadap realitas aktual tetap tak
bisa kita diabaikan, keberadaan komunitas
hacker sebagai tubuh-tubuh yang terkonek-

03-BUDI HARTANTO.indd 146

Vol I, 2013

si dalam dunia virtual menurutnya tak bisa


diketahui dalam realitas aktual.
Keberadaan komunitas dalam media
sosial terbaru seperti kita ketahui lebih
terbentuk melalui diskursus naratif yang
berawal dari ruangcyber. Dalam Facebook
atau Twitter kita temukan banyak komunitas atau grup virtual yang tercipta berdasar
pada narasi tertentu terutama narasi-narasi
yang bertema ilmu pengetahuan. Komunitas-komunitas ilmu pengetahuan di FB di
antaranya adalah Philosophy yang tercatat
kurang lebih berjumlah 35.000 anggota,
Biology (zoology and botany) 11.950 dan Cosmology 3.600. Seperti kita pahami, komunitas-komunitas ini menjadi nyata dalam
aras virtualitas.
Perkembangan teknologi dan program
media sosial yang telah mengondisikan
ruang sosial virtual tentunya menjadi pertimbangan tersendiri mengenai kecende
rungan atau tren terbentuknya komunitas
yang berawal dari ruang sosial virtual. Dapat disimpulkan kemudian bahwa kehidupan dunia cyber mendapat penjelasannya
dengan keberadaan komunitas-komunitas
virtual. Ia tidak terbatas hanya pada dunia
tubuh dalam ruang layar yang dimediasi
teknologi virtual tapi juga narasi-narasi
yang terbentuk dengan berdasar pada
moda interaksi sosial.
Epilog
Demikian uraian mengenai realitas visual
ruang cyber dalam perspektif posfenomenologi dan antropologi. Realitas di sini
ditelaah dalam konteks fenomenologi instrumentasi dan multistabilitas ruang layar.
Realitas termediasi inilah yang memunculkan istilah posfenomenologi ruangcyber. Sedangkan dalam antropologi, konsep
ruangcyber meliputi pembahasan tentang
relasi manusia dan teknologi sebagai kebudayaan. Ruangcyber dipahami pada ta-

10/30/2013 7:35:31 AM

Posfenomenologi Ruangcyber: Menelaah Realitas Visual Internet dan Konsep


Ruangcyber dalam Ilmu Antropologi

budi hartanto

147

taran materialistik kebudayaan teknologi


dan pengaruhnya terhadap nilai-nilai sosial, budaya, dan ekonomi politis yang
menjadi bagian integral dari antropologi
ruangcyber. Konsep ini dibahas melampaui
pemahaman kita tentang multistabilitas ruang layar. Kendati demikian pembahasan
dalam antropologi tidak menempatkan
tubuh dalam konteks praksis persepsional
sebagai keutamaan yang berpengaruh terhadap dinamika realitas. Dalam posfenomenologi, tubuh dalam praksis persepsional
penting dipahami untuk menelaah ruang
sosial dan kultural. Ruangcyber ditelaah
lewat cara pandang yang berciri eksistensial posfenomenologis. Relasi manusia dan
teknologi informasi mentransformasikan
pengalaman manusia tentang dunianya
dan mencipta realitas yang terkoneksi dan
terdomestikasi. Menurut pandangan penulis, refleksi tentang teknologi internet sebagai perangkat hermeneutis dalam kaitannya dengan dinamika perubahan dunia
aktual dan virtual penting untuk diketahui. Paparan dalam artikel ini sampai pada
kesimpulan bahwa dimensi posfenomenologis ruangcyber adalah sama nyatanya
dengan dimensi fenomenologis realitas sesungguhnya.

tronik bisa diakses di http://www.unc.


edu/~aescobar/text/eng/arturowelc.pdf
Fedyani S., Achmad (2005). Antropologi
Kontemporer. Suatu Pengantar Kritis
Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Hakken, David (1999). Cyborg@cyberspace?
An Etnographer Look to the Future. New
York dan London: Routledge.
Hartanto, Budi (2013). Dunia Pasca-Manusia. Menjelajahi Tema-Tema Komtemporer
Filsafat Teknologi. Depok: Penerbit Kepik.
Ihde, Don (2009). Postphenomenology and
Technoscience (The Peking University Lectures): SUNY Series of the philosophy of
the social sciences. New York: State University of New York Press.
_______ (2003a). Multistability in Cyberspace, dalam Mikael Hrd, Andreas
Lsch, Dirk Verdicchio (Tim Editor)
(2003). Transforming Spaces. The Topological Turn in Technology Studies. Artikel bisa diakses di http://www.ifs.tudarmstadt.de/gradkoll/Publikationen/
transformingspaces.html
_______ (2003b). Postphenomenology
Again?Working Papers from Centre for
STS Studies, Department of Information
& Media Studies, University of Aarhus.
Versi elektronik bisa diakses di http://
sts.imv.au.dk/sites/default/files/WP3_
Daftar Pustaka
Ihde_Postphenomenology_Again.pdf
Casey, Edward S. (1998). The Fate of Place. _______ (2002). Bodies in Technology (Electronic Mediations; V. 5.). Minneapolis:
Los Angeles and California: University
University of Minnesota Press.
of California Press.
Dreyfus, Hubert L. (2009). On the Internet. _______ (1990). Technology and the Lifeworld:
from Garden to Earth (Indiana Series in the
Thinking in Action. Second Edition. New
Philosophy of Technology). Bloomington,
York: Routledge.
Indiana: Indiana University Press.
Driyarkara, N. (1989). Percikan Filsafat. Ja_______ (1986). Consequences of Phenomenolkarta: Penerbit PT Pembangunan.
ogy. New York: State University of New
Escobar, Arturo (1994). Welcome to CyYork (SUNY) Press.
beria: Notes on the Anthropology of
Cyberculture, dalam Current Anthro- _______ (1979). Technics and Praxis: A Philosophy of Technology (Boston Studies
pology, Vol. 35(3), Juni 1994. Versi elek-

03-BUDI HARTANTO.indd 147

10/30/2013 7:35:31 AM

148

Posfenomenologi Ruangcyber: Menelaah Realitas Visual Internet dan Konsep


Ruangcyber dalam Ilmu Antropologi

Vol I, 2013

in the Philosophy of Science). Dordrecht _______ (2010) An Extreme Reading of Fa(Holland) dan Boston (USA): D. Reidel
cebook. Working Paper Series #5. Open
Publishing Company.
Antropology Cooperatives Press.
Miller, Daniel dan Slater, Don (2000) The In- Purbo, Onno W. (2003) Filosofi Naif Kehiduternet. An Ethnographic Approach. New
pan Dunia Cyber. Jakarta: Penerbit ReYork: Berg
publika.

03-BUDI HARTANTO.indd 148

10/30/2013 7:35:31 AM

Jurnal Ultima Humaniora, September 2013, hal 40-50


ISSN 2302-5719

Vol. I, Nomor 2

Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet

Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media


ALEXANDER AUR1
Dosen Religiositas
Universitas Multimedia Nusantara
Scientia Garden, Jl. Boulevard Gading Serpong, Tangerang Banten
Telepon: (021) 54220808
Surel: savana.aur@gmail.com
Diterima: 22 Agustus 2013
Disetujui: 5 September 2013

ABSTRACT
In the era of new media, everyone stands before the reduced version of phenomena of love and sexuality. In new media means of communication and presentation such as facebook, youtube, twitter, etc., everyone can easily access everything about sex. Film, video, stories about sex presented
by certain agents are bright and clear to us. Displayed in the clearest way possible, sex tends to
become a vulgar display of commodity. It is called a phenomenon ofthe sex business. In front of
it,everyone must change our paradigm of love and sexuality. Paradigm shift is then reached by
giving a new meaning to love and sexuality itself. The new meaning in question is a closer look
at love and sexuality as something univocal. Univocal love is a correlative relationship between
erotic, philia, and agape kinds of love. In the univocal love, sexuality is an aspect of humanity.
In univocal love, a sexual relationship is a revelation of ones self to other people she or he loves.
Univocal love is the way to God.
Keywords: Eros, philia, agape, univokal, seksualitas.
Cinta-kasih semesta hanya akan menjiwai dan akhirnya ... memutuskan untuk menyeberangi ambang,
untuk keluar dari diri sendiri dan masuk pada yang lain. Pierre Teilhard de Chardin.2

mengakses dan berbagi berbagai informasi


New media dalam bentuk internet, situs je- dalam banyak bidang, namun juga meng
jaring sosial facebook, twitter, website, blog, ubah cara berpikir dan perilaku orang.
youtube, dsb., tidak saja memudahkan orang Salah satu hal yang mendapat perhatian
Pendahuluan

Alexander Aur, dosen mata kuliah Religiositas di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Sedang menyelesaikan
studi pada Program Magister Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
2
Pierre Teilhard de Chardin. (2004). Gejala Manusia (diterjemahkan dari Le Phnomne Humain oleh Ira Iramanto),
Jakarta: Hasta Mitra / Institute for Ecosoc Rights, hlm. 301.

04-ALEXANDER AUR.indd 149

10/30/2013 7:35:54 AM

150
Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet

Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media

khalayak ramai sekarang adalah informasi tentang cinta dan seksualitas manusia.
Publik dengan mudah mengakses informasi tentang hal itu, baik dalam bentuknya
yang paling halus, seperti informasi dan
pengetahuan tentang harmoni relasi cinta
antarpasangan yang saling mencinta, tentang kesehatan reproduksi, maupun yang
paling vulgar, seperti video, gambar, film
porno yang mempertontonkan aktivitas
hubungan seks.
Kemudahan itu, menimbulkan banyak
kasus yang terkait dengan cinta dan seksua
litas manusia. Banyak kasus pemerkosaan
di kalangan orang muda ditengarai sebagai
akibat dari menonton dan mengakses film
dan gambar yang mengumbar organ-organ
seks manusia di internet. Ada pula anggota
DPR, yang asyik mengakses dari internet
gambar-gambar dan film seronok saat sedang mengikuti sidang di gedung DPR. Beberapa tahun lalu, media massa baik cetak
maupun elektronik ramai-ramai memberitakan kasus video hubungan seksual antara
artis Nazril Irham atau Ariel (vokalis Grup
Band Peterpan) dengan artis Luna Maya
dan Cut Tari. Video itu diunggah di internet sehingga menimbulkan gelombang
protes dan desakan dari berbagai pihak
kepada aparat hukum agar mengadili dan
menghukum para pelakunya.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh
berbagai pihak untuk meminimalisasi informasi di new media tentang cinta dan seksualitas manusia, terutama yang berwajah
vulgar. UU ITE No. 11 tahun 2008 telah
diberlakukan; proses pengadilan dan sangsi
berupa hukuman terhadap para pengunggah telah dijatuhkan. Blokir terhadap situssitus porno pun sudah dilakukan. Berbagai
wejangan moral tentang bahaya kecandu
an mengakses informasi vulgar tentang
seks juga sudah sering disampaikan kaum
agamawan dan para penjaga-pejuang nilainilai moral. Tetapi tetap saja publik dengan

04-ALEXANDER AUR.indd 150

Vol I, 2013

mudah mengakses hal itu. Bersamaan de


ngan kemudahan itu, akibat buruk pun tak
terhindarkan.
Tulisan ini tidak akan membahas soal
keberadaan new media dengan seluruh pe
ngaruh baik dan buruknya. Tulisan ini memusatkan perhatian pada kajian tentang
fenomena bisnis nafsu di jagat internet dan
cinta serta seksualitas manusia dari perspektif filsafat dan teologi. Kajian ini me
rupakan kritik terhadap fenomena bisnis
nafsu di jagat internet yang mudah diakses
oleh publik dan dampaknya terhadap kehidupan secara umum, khususnya dalam
kaitan dengan relasi interpersonal antarmanusia.
Kajian ini relevan,aktual dan penting
untuk didalami karena publik (para warga)
berada dalam era new media dengan seluruh
isinya. Para warga tidak dapat mencegah
laju perkembangan new media. Yang bisa
dilakukan para warga adalah membentuk
paradigma publik secara baik dan positif
agar bijaksana dan cerdas dalam menyikapi berbagai isi new media, terutama tentang
bisnis nafsu yang selalu dipublikasikan di
jagat new media.
Tesis utama yang menjadi landasan
kajian konseptual ini adalah cinta dan seksualitas saling terkait erat dan merupakan
hal inheren dalam diri manusia. Oleh ka
renanya, tindakan mencintai sudah selalu
melibatkan seksualitas. Tesis ini menantang kebiasaan dan kecenderungan menarik keluar seksualitas dari diri manusia
dan mendudukkannya semata-mata sebagai seks (nafsu birahi). Pada giliran selanjutnya, seks ini menjadi objek bisnis yang
ditayangkan di internet.
Kajian akan dimulai dengan mengidentifikasi status hasrat termasuk hasrat seks
dalam diri manusia. Identifikasi itu dilanjutkan dengan menyoroti bisnis nafsu seks
sebagai modus menarik keluar seksualitas
dari diri manusia dan menjadikannya seba-

10/30/2013 7:35:54 AM

Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet


Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media

gai objek bisnis. Kajian ditutup dengan pemaknaan ulang cinta dan seksualitas melalui pintu refleksi filosofis-teologis atas cinta
dari Jean-Luc Marion.
Mengenali yang Inheren dalam Manusia
Refleksi dan diskusi filosofis tentang cinta
selalu bermula dari hal yang inheren dalam
diri manusia, yakni hasrat. Filsuf Yunani
klasik Platon, menyebut hasrat dengan
istilah eros.3 Dalam merefleksikan hasrat,
Platon tidak saja memberikan gambaran
tentang relasi antara pencinta (lover) dan
orang yang dicinta (beloved), melainkan juga
menyingkapkan secara filosofis cinta yang
tampak melalui kerja dari hasrat (Secomb,
2007: 10). Hasrat merupakan hal inheren
dalam diri manusia.
Baginya, hasrat merupakan sebuah rasa kurang (lack) yang meminta pemenuhannya secara niscaya. Objek yang berada di luar untuk memenuhi
rasa kurang itu adalah Kebaikan.
Platon mengidentifikasi ada tiga hasrat dasar dalam diri manusia. Pertama,
yakni hasrat Logistikon atau Rasio dengan
objeknya adalah kebaikan yang sesungguhnya (yang pasti benar dan indah).
Kedua, hasrat Thumos atau Rasa Bangga,
harga diri dengan objeknya adalah prestasi,
kemenangan, kepahlawanan. Objek-objek
itu merupakan kebaikan yang diperlukan
untuk memenuhi hasrat akan harga diri
atau rasa bangga. Ketiga, hasrat Epithumia

alexander aur

151

atau nafsu. Hasrat ini terkait dengan kondisi biologis manusia. Objek nafsu adalah
makan, minum, seks. Makan, minum, seks
merupakan hal yang baik dan berguna sejauh untuk memenuhi kebutuhan dasar biologis.
Analisis Platon tersebut secara jelas
menunjukkan bahwa hasrat, sebagai sesuatu yang alamiah dalam diri manusia,
tidak bermakna negatif. Bahkan, dengan
mengatakan bahwa hanya kebaikanlah
yang menjadi objek dari hasrat, Platon bermaksud menegaskan bahwa dalam usaha
mengejar (memperoleh) kebaikan, tidak
bisa dengan menegasi hasrat. Hasrat harus
diakui keberadaannya manakala kita ber
usaha memperoleh kebaikan. Hasrat harus
dipenuhi secara baik. Pemenuhan hasrat
dianggap baik bila pemenuhan itu memungkinkan manusia untuk sampai pada
KebaikanTertinggi.
Refleksi tentang eros diperluas dengan
mengkategorikan cinta dalam tiga kategori:
cinta erotik (eros), cinta persaudaraan (philia), dan cinta ilahi (agape). Dalam analisisnya terhadap sejarah pengkategorian cinta
itu, Gerasimos Santas menemukan bahwa
pengkategorian itu merupakan pencampuran konsep cinta dalam Yunani klasik
dengan tradisi pemikiran Kristen (Santas,
2002: 12-13).
Di masa Yunani klasik, terutama pada
zaman Platon dan Aristoteles, kata philia
digunakan untuk menjelaskan dua macam

Pemikiran Platon tentang eros tertuang dalam tiga karyanya, yakni Symposium, Phaedrus, dan Republic. Dalam Symposium, Platon memotreteros sebagai hasrat pada Keindahan dan Kebaikan. Seorang pencinta Kebaikan dan Keindahan
sejajar dengan filsuf pencinta. Pencinta yang demikian sudah melepaskan semua keterikatan dunia dan melihat
keelokan daging (tubuh) sebagai sampah yang dapat mati. Dalam Phaedrus, Platon memotret eros sebagai hasrat
pada keindahan bentuk manusia dan keindahan fenomen tertentu. Seorang pencinta terbaik tak memisahkan diri
dari kelekatan pada nafsu dan menghargai seorang sebagai pribadi yang indah karena ia adalah bayangan dari
keindahan suatu persona yang indah. Pencinta berhasrat pada pribadi tertentu yang indah. Hasratnya begitu kuat
sehingga ia harus berjuang mengontrol hasratnya. Dalam karyanya ini tampak Platon ingin menegaskan bahwa
dalam relasi interpersonal berlangsung nafsu dan intensitas cinta erotis. Sedangkan di dalam Republic, Platon menegaskan bahwa eros yang benar tidak berhubungan dengan keinginan dan kenikmatan seksual. Di dalam karya ini
Platon menempatkan eros dalam kaitannya dengan masalah sosial politik. Untuk lengkapnya, lihat Santas, 2002: 99,
107-113.

04-ALEXANDER AUR.indd 151

10/30/2013 7:35:54 AM

152
Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet

Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media

cinta, yakni cinta familial dan cinta erotik.


Cinta familial (kekeluargaan) meliputi cinta dalam keluarga batih (orang tua kepada
anak, anak kepada orang tua) dan cinta
dalam relasi persahabatan antarmanusia.
Komponen utama dalam cinta philia adalah
kekeluargaan dan persahabatan. Sedangkan cinta erotik meliputi relasi seksual
antarmanusia. Cinta erotik juga dimengerti
dalam arti nafsu birahi. Komponen utama
dalam cinta erotik adalah seksualitas dan
nafsu birahi. Sedangkan cinta agape mun-

Vol I, 2013

cul dari tradisi pemikiran Kristen. Dalam


tradisi pemikiran itu, cinta agape adalah
cinta Allah kepada manusia, cinta manusia
kepada Allah, dan cinta manusia kepada
manusia lain dengan semangat cinta Allah
kepada manusia. Komponen utama dalam
cinta agape adalah kebaikan, kesetiaan, dan
kebajikan.
Kata cinta kerap kali digunakan untuk menggambarkan eros, philia, dan agape.
Berikut ini bagan yang mencerminkan relasi antara cinta, eros, philia, dan agape.

Cinta
Philia

Eros

Agape

Cinta familial

Cinta seksual

Cinta kristiani

Persahabatan
Parental
Saudara-saudari

Laki-laki kepada perempuan


Perempuan kepada perempuan
Laki-laki kepada laki-laki

Bagan di atas menunjukkan bahwa baik


philia, eros, dan agape merupakan bentuk
dari cinta. Dengan kata lain, cinta menjadi
payung besar bagi eros, philia, dan agape.
Yang membedakan antara ketiga bentuk
itu adalah masing-masing varian mempunyai komponen inti atau isi yang berbedabeda. Tampak bahwa meskipun dipayungi
oleh cinta, eros, philia, dan agape berdiri dan
beroperasi sendiri-sendiri. Pengkategorian
itu di satu sisi memungkinkan kita untuk
memahami secara jernih bentuk dan makna cinta. Di sisi lain, pengkategorian itu
memungkinkan pula terjadi penarikan keluar seksualitas dari statusnya sebagai hal
yang inheren dalam diri manusia, menjadi
hal yang berada di luar diri dan dijadikan
sebagai objek bisnis.
Seks(ualitas) dalam JagatBisnis
Bisnis seks sangat marak di zaman sekarang. George Csicsery dalam bukunya The
Sex Industry (1973) membagi bisnis seks da-

04-ALEXANDER AUR.indd 152

Allah kepada manusia


Manusia kepada Allah
Manusia kepada manusia

lam enam bentuk (Dhakidae, 1976: 31-32).


Pertama, simbol seks. Seksualitas disimbolkan dengan menggunakan iklan, reklame,
foto, poster yang menonjolkan tubuh yang
erotogenic, seperti dada, pinggul, dan paha.
Simbolisasi seks ini bertujuan membangkitkan imaji erotik. Kedua, tactile service, penciptaan suasana dan tempat untuk menstimulasi seks yang bertujuan komersial.
Model ini tampak dalam bisnis massage,
seperti panti mandi uap, panti pijat. Ketiga,
voyeuristic entertainment, hiburan seks dengan tatapan mata. Model ini tampak dalam
bisnis tempat hiburan yang menyuguhkan
tarian telanjang (striptease show). Keempat,
penjualan seks. Model ini tampak jelas dan
cenderung dianggap lumrah, misalnya
hiburan seks secara lengkap: kompleks perumahan pelacuran, pakaian, klinik beserta
dokter-dokter khusus, petugas keamanan,
dan toko perlengkapan seks. Kelima, media
massa. Rangsangan seks disebarluaskan
melalui majalah, film, kaset, compact disc,
dsb. Kelima, perdagangan alat seks: obat

10/30/2013 7:35:54 AM

Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet


Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media

perangsang, obat kuat, alat kontrasepsi,


parfum, dsb.
Perkembangan new media semakin memudahkan perdagangan seks. Di internet,
dengan mudah publik mengakses beberapa bentuk bisnis seks tersebut. Lewat berbagai situs dan website, publik bisa meng
akses berbagai hal yang berkaitan dengan
seks, yang bertujuan memberi kenikmatan
dan kepuasan nafsu seks. Di sinilah secara
gamblang dan jelas terjadi pencabutan
seksualitas dari diri manusia. Seksualitas
tidak lagi melekat dan sebagai representasi
kedirian manusia. Dalam jagad bisnis seks
di internet, seksualitas dibekukan menjadi
semata-mata seks. Cinta dan seksualitas
direduksi hanya sebagai nafsu birahi yang
selalu ingin dipuaskan.
Bisnis seks di jagad new media semestinya disikapi secara cerdas dan bijaksana.
Memproduksi berbagai instrumen hukum,
yang bertujuan memberi sanksi pada para
pelaku bisnis seks, tidaklah cukup. Memproduksi instrumen hukum untuk mengatur isi new media, pun tidak mudah. Setiap
saat para pelaku bisnis seks dapat melakukan akrobatik bentuk new media, sehingga
memuluskan bisnis mereka.
Lalu apa yang bisa para warga lakukan untuk menghadapi fenomena reduksi
cinta dan seksualitas dalam bisnis seksualitas, khususnya di jagad new media itu? Kita
mesti membantu publik untuk merefleksikan ulang makna cinta dan seksualitas. J.L.
Marion bisa menjadi acuan bagi para warga
untuk merefleksikan ulang hal itu. Dengan
refleksi ulang bersama Marion, para warga
bisa membentuk paradigma yang tepattentang cinta dan seksualitas, sekaligus berusaha mengembalikan seks (nafsu birahi)
dari posisinya sebagai objek di jagad bisnis
kepada cinta dan seksualitas dalam diri
manusia.

04-ALEXANDER AUR.indd 153

alexander aur

153

Univokalitas Cinta
Jean-Luc Marion---filsuf kontemporer asal
Perancis yang sekarang menjabat sebagai
Profesor Filsafat dan Teologi serta Studi Katolik di Departemen Filsafat The University
of Chicago---berusaha memberi terobosan
dari sisi fenomenologi cinta. Ia bermaksud
memberi perspektif baru terhadap tiga ka
tegori cinta tersebut. Marion memandang
bahwa setiap orang dapat memahami dan
menghayati cinta persaudaraan (philia) dan
cinta ilahi (agape) karena ada (dimulai dari)
cinta erotik (eros). Cinta persaudaraan dan
cinta ilahi mengandaikan ada cinta eros.
Tanpa cinta eros, cinta persaudaraan dan
cinta ilahi bagaikan kegelapan tanpa cahaya
apapun. Baik cinta eros, cinta persaudaraan,
maupun cinta ilahi sama-sama memiliki
empat karakter dasar (Gschwandtner, 2008:
193). Oleh karena itu ketiga cinta itu tidak
bisa dipahami secara hirarkis melainkan
relasional-korelatif. Ketiga kategori cinta
itu sama-sama memancarkan univokalitas
cinta. Bahkan univokalitas itu merupakan
kemungkinan bagi Tuhan sebagai sang
Cinta untuk hadir. Dalam univokalitas itu
Tuhan tampil secara sembunyi-sembunyi
melalui banyak situasi dan relasi-korelatif
cinta antarmanusia.
Univokalitas cinta mengandung empat karakter yang menandai dimensi absolut cinta, yaitu: 1) Keputusan menjadi
pencinta pertama; 2) Membiarkan yang
lain hadir dengan seluruh dirinya; 3)

M
encintai sebagai tindakan performatif; dan,
4) Pengosongan diri sebagai alasan untuk
mencintai.
1. Keputusan menjadi Pencinta Pertama
Bagi Marion setiap orang selalu berhasrat untuk menemukan makna dalam
hidup. Oleh karena itu setiap orang membuat dirinya sedemikian rupa supaya dapat dicintai oleh siapapun. Dengan kata
lain, makna hidup kita peroleh dari pe

10/30/2013 7:35:54 AM

154
Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet

Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media

ngalaman dicintai oleh orang lain. Hasrat


seperti itu disebabkan oleh kegagalan diri
kita masing-masing untuk mencintai diri
kita secara memadai.
Tetapi untuk bisa dicintai oleh orang
lain, hal pertama yang harus setiap orang
lakukan adalah menjadikan diri masingmasing sebagai orang pertama yang mencintai. Setiap orang mesti memutuskan untuk menjadi pencinta pertama. Setiap orang
harus lebih dulu mencintai. Kita sebagai
pribadi harus menjadikan diri kita masingmasing sebagai pencinta, sebelum kita menemukan diri kita dicintai oleh orang lain.
Inisiatif sang pencinta untuk mencintai merupakan hal yang sangat penting. Sebagai
sang pencinta pertama, relasi percintaan
harus terhindar dari alasan-alasan metafisik dan kalkulasi ekonomi. Setiap orang harus melepaskan dengan rela semua usaha
yang bertujuan memenuhi dorongan hasrat
untuk mendapat balasan dalam mencintai
(Gschwandtner, 2008: 187).
Mencintai bagi Marion merupakan
suatu tindakan memberi secara bebas. Seseorang yang mencintai berarti ia memberi secara bebas sekalipun tidak ada
balasan. Cinta merupakan hadiah tanpa
perhitungan komersial atau kebutuhan
untuk mendapat balasan. Tiap-tiap orang
mencintai dengan rela sekalipun cinta itu
ditolak oleh orang lain. Dalam sikap cinta
yang demikian tiap-tiap orang menemukan
makna dan menjamin identitas serta martabatnya masing-masing sebagai pencinta
(Gschwandtner, 2008: 187). Cinta seperti

Vol I, 2013

itu berarti cinta tanpa ada dorongan untuk


mementingkan diri sendiri (selflessness), tak
lekas tersinggung, dan murah hati.
Keputusan untuk mencintai sudah cukup menandai seseorang sebagai pencinta. Sekalipun tiap-tiap orang tidak dapat
mengukur atau menakar kualitas cinta,
masing-masing orangharus membuat keputusan untuk mencintai sebagai pencinta
pertama, artinya, orang yang lebih dulu
mencintai atau menjadi orang pertama
yang mencintai (Gschwandtner, 2008: 187).
Keputusan itu merupakan sesuatu yang
menyempurnakan meskipun cintanya tidak pernah mendatangkan atau menghasilkan respon. Keputusan itu sendiri sudah
cukup untuk menunjukkan keutuhan cinta. Inisiatif untuk mencintai terletak secara
penuh pada pencinta dan hanya tergantung padanya dan bukan tergantung pada
orang lain. Inisiatif pencinta menunjukkan
bahwa segala sesuatu tergantung pada
pencinta dan tanpa mengharapkan pembalasan (Gschwandtner, 2008: 187).
Seseorang menjadi dirinya sendiri,
kata Marion, bukan karena berpikir atau
berimajinasi. Melainkan karena menjadi
pecinta pertama atau orang pertama yang
lebih dulu mencintai yang lain. Dengan
meminjam istilah Rene Descartes tentang
esensi manusia, tampak bahwa Marion
bermaksud mengatakan, Aku mencintai
lebih dulu maka aku ada.4 Menjadi

pencinta pertama-tama berarti memberi secara


bebas, memberi sebagai hadiah. Pemberian
secara bebas ini sudah menunjukkan sua-

Dalam tradisi filsafat Barat, esensi manusia terletak pada pemikiran atau kesadarannya. Esensi ini dieksplisitkan
oleh Rene Descartes dengan mengatakan, Aku berpikir maka aku ada (Cogito ergo sum/I think therefore I am).Lih.
Williams (1978: 73). Sepanjang era Pencerahan, semangat Cartesian ini menjadi pilar utama untuk memotret berbagai dimensi diri manusia. Eros sebagai salah satu dimensi diri manusia dipandang sebagai hal yang lebih rendah
dari nalar (rasio) sehinggga harus tunduk di bawahnya. Herbert Marcuse dari Mazhab Frankfurt Jerman, misalnya,
memberi catatan kritis atas penundukkan eros oleh logos (nalar/rasio) demi pertumbuhan peradaban. Bagi Herbert
Marcuse, eros adalah prinsip kehidupan. Oleh karena itu, eros memungkinkan manusia hidup secara bebas dan jujur.
Lihat, Saeng (2012: 169).

04-ALEXANDER AUR.indd 154

10/30/2013 7:35:54 AM

Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet


Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media

ra religius yang nyaring. Memberi secara


bebas merupakan karakter cinta kenotik
yang mengacu pada infinitas cinta ilahi
bagi humanitas yang memiliki keterbatasan. Mengacu pada definisi Paulus tentang
cinta dari 1 Korintus 13, Marion mengatakan bahwa pencinta mendukung semua
hal dan menyediakan segala sesuatu untuk
orang-orang yang dicintai. Hal itu berarti
pencinta mengosongkan dirinya dari rasa
tersinggung dan mempunyai komitmen
yang penuh untuk mencintai. Pencinta
membuat gerakan pertama yakni yang
memutuskan untuk mencintai dan yang
menyiapkan segala kondisi bagi intimitas
(Gschwandtner, 2008: 187).
Marion menambahkan bahwa inisiatif
seseorang sebagai pencinta secara langsung
mengindividuasikan diri orang-orang yang
dicintai. Hal itu selalu berarti pencinta memenomenalisasikan orang-orang yang dicintai dan pencinta mengakui penampakan
yang dicinta. Pencinta membiarkan orangorang yang dicinta menghadirkan dirinya
(Gschwandtner, 2008: 187).
2. Membiarkan yang lain hadir
Inisiatif pencinta dengan dedikasi yang
penuh memungkinkan terjadi gerakan eros.
Itu artinya pencinta secara aktual membiarkan yang lain yang dicintai menampakkan diri lebih dulu.
Yang lain yang dimaksudkan di sini adalah sesama manusia
dan Tuhan. Sama seperti sebuah deklarasi
perang, deklarasi itu memungkinkan musuh menyingularisasikan keberadaannya,
maka demikian pula deklarasi cinta pencinta memungkinkan orang-orang lain menyingularisasikan dirinya. Inisiatif

pencinta menjadi kondisi bagi orang lain untuk


mengindividuasikan dirinya. Orang-orang
yang dicintai menampakkan diri pertama
kali sebagai pribadi yang mengindividuasikan dirinya dan tidak hanya sebagai ob-

04-ALEXANDER AUR.indd 155

alexander aur

155

jek bagi kesadaran dan tindakan pencinta


(Gschwandtner, 2008: 189).
Hanya pencintalah yang memungkinkan yang lain untuk tampil sebagai yang
unik, individual, dan bebas dari kalkulasi
ekonomi, terlepas dari pengobjekan. Pencinta adalah kondisi yang mungkin bagi
fenomenon yang dicintainya. Jika sang
pencinta memungkinkan yang dicintai untuk tampil, apakah itu sudah cukup bagi
pencinta untuk menghubungkan dirinya
dengan Tuhan? Tuhan, pertama dan pertama-tama adalah pencinta, sesuatu yang
mendahului manusia dan manusia selalu
dicintai olehNya secara lebih tinggi supaya
setiap orang mencintai orang lain, jawab
Marion (Lih. Gschwandtner, 2008: 189).
Dengan demikian menjadi jelas bagi
siapa saja bahwa status orang-orang lain
yang kepada mereka sang pencinta memberikan cintanya adalah orang-orang yang
hadir dengan seluruh kediriannya. Dalam
tindakan dan momen cinta sang pencinta,
orang lain hadir dengan seluruh keberlainannya. Mereka hadir bukan menurut
gambaran dan keinginan sang pencinta,
melainkan hadir dengan segala keunikannya.
3. Tindakan performatif
Menetapkan diri sebagai pencinta sudah merupakan sebuah deklarasi cinta.
Deklarasi ini merupakan tindakan performatif. Deklarasi ini memungkinkan terjadi
gerakan eros, yakni pencinta secara aktual
membiarkan orang-oranglain yang dicintai
menampakkan diri lebih dulu. Sang pencinta tidak menyelidiki dan menguraikan
orang-orang yang dicintai seperti memperlakukan sebuah objek. Bahasa eros bersifat performatif. Membiarkan orang-orang
yang dicintai menampakkan diri merupakan wujud konkrit bahasa eros.
Bentuk performatif bahasa erotik itu
mewujud dalam dua cara. Di satu sisi ba-

10/30/2013 7:35:54 AM

156
Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet

Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media

hasa eros tidak sungguh-sungguh me


ngatakan sesuatu sebab bahasa eros tidak
membuat pernyataan mengenai fakta atau
deskripsi, dan sering kali tidak masuk akal.
Di sisi lain, bahasa eros memungkinkan
sambutan secara jasmani dengan segala
kemungkinannya, mengundang kedatang
an orang lain, dan menunjukkan komitmen
pencinta melalui suatu sumpah kesetiaan
(Gschwandtner, 2008: 190 191).
Bagi Marion, bahasa cinta paralel dengan bahasa pendoa dan doa. Bahasa pendoa
adalah performatif.Bahasa itu menunjukkan suatu relasi yang mendalam antara
pencinta dan yang dicintai. Dalam doa,
sang pendoa tidak menguraikan sesuatu
dan menolak deskripsi. Sebaliknya pendoa menunjukkan sebuah aktivitas, yakni
berdoa (Gschwandtner, 2008: 191). Seperti
cinta, pendoa membuka diri untuk kedatangan Yang Lain, membuat dirinya berkomitmen pada kepastian hidup. Dalam teologi mistik bahasa yang digunakan (bahasa
teologi mistik) merupakan esensi absolut
dari suatu ekspresi yang tepat dari cinta
erotik dan sebagai titik puncak (kulminasi)
humanitas manusia. Hal itu tampak dalam
kobaran hati yang meluap-luap. Oleh karena itu, bahasa cinta harus mengekpresikan
dirinya dalam suatu pengalaman mistik
yang bersifatmirip-yang-ilahi (quasi-divine).
Marion memberi perhatian pada jalinan
keharusan dari bahasa cinta dengan teologi mistik. Ia mengeksplorasi hubungan
paralel antara bahasa cinta dan teologi mistik. Ketika seseorang mengatakan bahwa,
Saya mencintai engkau, perkataan itu
bukan merupakan sesuatu yang mengatakan sesuatu tentang sesuatu,melainkan
perkataan itu merupakan apa yang dikatakan oleh seseorang kepada seseorang
(Gschwandtner, 2008: 191). Perkataan itu
merupakan suatu tindakan perlokusioner, yakni sebuah maksud yang berefek

04-ALEXANDER AUR.indd 156

Vol I, 2013

pada interlokutor (teman bicara) tanpa harus melakukan atau memenuhi maksudnya.
Marion menghubungkan tindakan per
lokusioner itu dengan tiga jejak dalam
teologi mistik. Ia menyebut tiga jejak itu
dengan sebutan afirmatif, apopatik, dan
hiperbolik. Ketiganya bergerak dalam
dialog erotik. Perkataan Saya mencintai
engkau tak dapat dibuktikan (karena bukan lokusioner atau ilokusioner). Perkataan itu mengafirmasi efek yang bertujuan
mengindividuasikan orang lain dan membuka ruang bagi sebuah respon. Afirmasi
ini terarah pada negasi artinya pembicara
harus menangkap efek dari perkataannya
sekaligus mengetahui tak ada respon atas
perkataannya pada saat yang bersamaan
(Gschwandtner, 2008: 192)
Afirmasi cinta harus terus-menerus
diulang dalam sebuah gerakan hiperbolik
final, Saya selalu mengatakan dan ber
ulang-ulang Saya mencintai engkau! secara sungguh-sungguh karena di satu sisi,
saya tidak dapat menjamin hal itu, dan di
sisi lain, saya tidak dapat mencoba berharap. Jawaban yang pendek dari pertanyaan,
Apakah engkau mencintaiku? saya ulangi
dengan tindakan perlokusioner dengan
menganjurkannya yakni, Saya mencintai
engkau! Hal itu, baik sebagai pertanyaan
cataphasis maupun apophasis dan sebagai
perlindungan terhadap sebuah situasi dialogis (Gschwandtner, 2008: 192).
4. Mengosongkan diri
Univokalitas cinta eros, philia, dan agape
tidak lain adalah univokalitas cinta ilahi
dan cinta manusia. Setiap tindakan selalu
dengan cinta termasuk dalam gerakan seduksi (menggoda) dan pengkhianatan.
Hasrat yang murni jasmani, persahabatan,
afeksi antara orang tua dan anak, keintiman
erotik, religiusitas atau kesatuan mistik
dengan Tuhan semua berlangsung deng-

10/30/2013 7:35:55 AM

Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet


Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media

an cinta. Semua bentuk cinta mempunyai


pola yang sama termasuk cinta erotik dan
persahabatan, yakni membiarkan orang
lain hadir. Secara formal persahabatan dan
cinta erotik tidak ada perbedaan kecuali dalam sifat nada dari figurasi-figurasinya.
Univokalitas cinta juga menjadi nyata dalam persahabatan. Persahabatan adalah
cinta erotik minus orgasme (
Gschwandtner, 2008: 193).
Tak ada oposisi antara eros dan karitas
atau eros dan agape karena cinta yang benar
adalah univokal. Marion menolak pembedaan antara eros manusia dan agape ilahi.
Jika manusia memiliki dan mencintai secara benar maka hal itu sama dengan agape
ilahi. Bahkan hasrat Tuhan mencintai manusia dengan agape ilahiNya menjadi kekuatan eros bagi manusia. Itu artinya cinta
Tuhan dan cinta manusia memiliki cara
yang sama dan menunjukkan reduksi erotik dalam sebuah gaun yang paralel. Tuhan
mencintai dalam cara yang sama seperti
kita.
Intimitas erotik adalah suatu indikasi dari agape ilahi. Cinta Tuhan melengkapi cetak biru (blueprint) percintaan antarmanusia. Konsekuensi lebih lanjut adalah
kita harus belajar mencintai secara ilahiah
(Gschwandtner, 2008: 193).
Univokalitas cinta itu tampak dalam
relasi antara para murid dan Yesus Kristus.
Kristus adalah yang ilahi sekaligus manusia
yang mencintai manusia. Para murid harus
hidup dalam visi yang baru mengenai karitas dan memainkan peran Kristus melalui
cinta yang saling menguntungkan. Seseorang yang mencintai secara otentik hanya
bisa ketika ia mencintai seperti Tuhan yang

alexander aur

157

memberikan diriNya dalam semangat kenotik (pengosongan diri). Karena itulah, seseorang memutuskan untuk menjadi pencinta pertama: mencintai sebagai tindakan
pengosongan diri.
Menghayati Cinta:
Melawan Reduksi Sek
sualitas
Gagasan tentang univokalitas cinta dengan
empat karakternya tersebut, dapat menjadi
pijakan untuk menghayati cinta sebagai
daya kosmik. Sebagai daya kosmik, cinta
yang dihayati seseorang, memungkinkan orang itu membangun relasi segi tiga:
manusia-manusia-Tuhan. Dalam relasi itu
setiap orang memperlakukan orang lain
dengan penuh hormat terhadap kediriannya. Bersamaan dengan itu, dalam relasi
itu juga setiap orang bersiap sedia (terbuka) untuk berdialog dengan Tuhan.5 Cinta
sebagai suatu daya kosmik tidak mengenal oposisi antara agape dan eros atau eros
dan philia (karitas). Sebaliknya cinta sebagai
daya kosmik cinta adalah cinta, yang dalam perwujudannya mengandung eros, philia, dan agape sekaligus.
Marion menegaskan status ontologis itu
dengan mengatakan bahwa setiap tindakan
selalu dengan cinta.
Hasrat Tuhan mencintai manusia dengan agape ilahiNya menjadi kekuatan eros bagi manusia. Itu artinya
cinta Tuhan dan cinta manusia memiliki
cara yang sama dan sama-sama menunjukkan gerakan eros. Tuhan mempraktikkan
gerakan eros sama dengan yang dilakukan
manusia, bersama dengan manusia, menurut ritus yang sama dengan manusia,

Untuk menegaskan relasi manusia dengan Tuhan dapat dihayati dalam bahasa eros sebagai bentuk dari univokalitas cinta, saya mengacu pada pemikiran Thomas Moore. Moore mengatakan bahwa kekristenan dipenuhi dengan
kiasan-kiasan seks yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara manusia dengan Allah, atau secara
lebih luas antara manusia dengan misteri yang merupakan konteks kehidupan manusia. Kidung Agung dalam Perjanjian Lama merupakan salah satu sumber yang menggambarkan hubungan yang ilahi dengan manusia, dengan
perumpamaan-perumpaan erotis (Moore, 2002: 163-185).

04-ALEXANDER AUR.indd 157

10/30/2013 7:35:55 AM

158
Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet

Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media

mengikuti ritme yang sama dengan manusia. Oleh karenanya manusia harus belajar
mencintai secara ilahiah.
Dengan pemikirannya tentang univokalitas cinta tersebut, Marion hendak me
ngoreksi dua hal. Pertama, selama ini cinta
dibagi dalam tiga kategori yakni eros, philia, dan agape. Eros sering dinilai sebagai hal
yang buruk dan mengandung dosa. Eros
dipersempit semata-mata sebagai masalah
seks. Eros dikurung dalam sangkar fisikalitas manusia. Dengan demikian, eros berada
pada posisi terendah dalam kehidupan
manusia (Linnel, 2007: 10 23). Sedangkan
perlakuan atau sikap terhadap philia yang
dipahami sebagai cinta persaudaraan pun
tidak jauh berbeda dengan eros. Philia dianggap tidak mengandung dimensi ilahiah. Philia hanya menekankan humanitas
manusia. Dengan demikian, philia berada
pada posisi sedikit lebih tinggi dari eros dalam kehidupan manusia dan sedikit lebih
rendah di bawah agape. Agape yang dipahami sebagai cinta ilahi dianggap sebagai
cinta yang paling agung dan paling tinggi.
Hanya Tuhan yang sanggup mencintai
dengan agape. Manusia harus berusaha untuk mencintai seperti Tuhan dengan cinta
agape. Mencintai dengan pola agape berarti
melepaskan eros dan filia.
Pemisahan secara tegas itulah yang diterobos oleh Marion dengan gagasannya
tentang univokalitas cinta. Marion mengatakan bahwa hasrat yang semata-mata jasmani dan keintiman erotik harus berlangsung dalam cinta. Ini artinya seksualitas
manusia tidak semata-mata dipahami sebagai seks, melainkan seks sebagai salah satu
bagian dari seksualitas manusia. Seksualitas mencakup keseluruhan diri manusia.

Vol I, 2013

Dalam bahasa Marion, eros tidak sematamata orgasme atau birahi.Eros adalah keseluruhan diri manusia, yang di dalamnya
termasuk dimensi ilahi dari diri manusia.
Pada titik ini, pemikiran Marion sejajar
dengan pemikiran Paus Yohanes Paulus
II tentang tubuh manusia sebagai teologi.
Tubuh manusia menjadi sebuah penunjuk
pada kenyataan Allah, menjadi perkataan
tentang Allah (Ramadhani, 2009: 21 23).
Di hadapan fenomena bisnis nafsu birahi di jagat internet, refleksi filosofis Marion mendapatkan relevansinya. Seks di
jagat internet adalah seks sebagai sesuatu yang terlucut dari diri manusia, seks
yang mekanistik, seks tanpa humanitas,
seks tanpa cinta. Refleksi filosofis Marion
mengingatkan kita agar memulihkan kembali seks dengan mengembalikan seks pada
seksualitas. Relasi seksual adalah jalan
peneguhan relasi antarmanusia. Kepuasan
atau kenikmatan dari sebuah relasi bukan
untuk kepuasan atau kenikmatan pada
dirinya sendiri. Kepuasan atau kenikmat
an adalah momen perjumpaan dua orang
yang saling mencintai. Kepuasan atau ke
nikmatan yang mengalir dari relasi seks
adalah momen saling meneguhkan rasa
cinta antarpribadi.
Kedua, langkah Marion menyejajarkan
fenomenologi eros dan teologi cinta (karitas) merupakan sebuah upaya membangun
jembatan teologi mistik6 yang baru, yakni
fenomenologi mistik. Marion mengatakan
bahwa bahasa teologi mistik merupakan
esensi absolut dari suatu ekspresi yang tepat tentang eros dan menjadi kulminasi humanitas manusia. Sebagaimana pendoa dan
bahasa doa, bahasa cinta harus terekspresi
dalam suatu gerakan mistik dan bersifat
quasi-ilahi. Hal itu ditunjukkan melalui ko-

Sebagai ilmu, teologi mistik merefleksikan dan mengajarkan kebijaksanaan rahasia yang diperoleh melalui cinta.
Bdk. Johnston (2001: 4).

04-ALEXANDER AUR.indd 158

10/30/2013 7:35:55 AM

Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet


Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media

alexander aur

159

baran hati yang meluap-luap sebagaimana


yang terjadi dalam teologi mistik.
Fenomenologi mistik yang muncul dari
pemikiran Marion ini adalah kobaran hati
yang meluap-luap manakala setiap orang
mempraktikkan univokalitas cinta antara
manusia dengan manusia dan manusia
dengan Tuhan. Dalam relasi cinta antara
manusia dengan manusia, setiap setiap
orang yang memutuskan untuk mencintai lebih dahulu, membiarkan orang yang
dicintai hadir dengan seluruh keberadaannya yang unik dan khas. Yang dicintai
tidak didefinisikan tetapi hadir sebagaimana adanya. Keberadaan dan kehadiran
yang lain seperti demikian membuat pencinta mengalami kobaran hati yang meluap-luap. Hal yang sama terjadi dalam relasi
cinta antara manusia dengan Tuhan. Tuhan
tidak dianalisis dan dijelaskan, melainkan
Tuhan hadir begitu saja dengan seluruh
cinta dan kebijaksanaanNya. Kehadiran itu
membuat manusia merasakan cinta yang
bergelora dalam dirinya.
Orang yang menghayati univokalitas
cinta berarti
dia masuk dalam sebuah perjalanan melewati ambang, perjalanan keluar dari diri sendiri dan masuk pada yang
lain entah itu pasangan cinta atau masuk
dalam rengkuhan Tuhan. Univokalitas
cinta memungkinkan setiap orang (publik)
untuk tidak memenjarakan diri dalam kurungan nafsu birahi seperti yang didagangkan di jagat internet.

Gschwandtner, Christina M. (2008).Love


as a Declaration of War? On the Absolute Character of Love in Jean-Luc
Marions Phenomenology of Eros dalam Wirzaba dan Benson. Tim editor.
Transforming Philosophy and Religion:
Loves Wisdom. Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press, hlm.
185 200.
Johnston, William.(2001). Teologi Mistik-Ilmu Cinta. Yogyakarta: Kanisius.
Moore, Thomas. (2002). Jiwa dari SeksMengembangkan Kehidupan sebagai suatu
Tindakan Cinta. Batam: Interaksara.
Ramadhani, Deshi.(2009). Lihatlah Tubuhku Membebaskan Seks bersama Yohanes
Paulus II. Yogyakarta: Kanisius.
Saeng, Valentinus. (2012). Herbert Marcuse
Perang Semesta Melawan Kapitalisme
Global. Jakarta: Gramedia.
Santas, Gerasimos. ([1998] 2002). Plato dan
Freud: Dua Teori tentang Cinta, (Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
dari Plato and Freud: Two Theories of Love
oleh Prof. Dr. Konrad Kebung, SVD).
Maumere: Lembaga Pembentukan Berlanjut Arnold Janssen (LPBAJ).
Secomb, Linnell. (2007). Philosophy and Love
From Plato to Popular Culture. Edinburgh: Edinburgh Unibersity Press.
Teilhard de Chardin, Pierre. ([1955] 2004).
Gejala Manusia (diterjemahkan dari Le
Phnomne Humain oleh Ira Iramanto).
Jakarta: Hasta Mitra bekerjasama dengan Institute for Ecosoc Rights.
Williams, Bernard Williams. (1978). DesDaftarPustaka
cartes The Project of Pure Enquiry. England: Penguin Books.
Dhakidae, Daniel. (1976) Industri Sex:
Sebuah Tinjauan Sosio-Ekonomis Wirzaba, Norman dan Benson, Bruce Ellis.
Tim Editor. (2008). Transforming Philosodalam Jurnal Prisma No. 5, Juni, terbiphy and Religion: Loves Wisdom. Bloomtan Lembaga Penelitian, Pendidikan
ington & Indianapolis: Indiana Univerdan Penerangan Ekonomi dan Sosial
sity Press.
(LP3ES).

04-ALEXANDER AUR.indd 159

10/30/2013 7:35:55 AM

Jurnal Ultima Humaniora, September 2013, hal 51-59


ISSN 2302-5719

Vol. I, Nomor 2

Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak


R. MASRI SAREB PUTRA
Etnolog dan Sastrawan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia
Surel: masrisareb@yahoo.com
Diterima: 9 September 2013
Disetujui: 16 September 2013

ABSTRACT
Dayak tribes procure multi-benefits from farming, a process and technique of rice cultivation in
dry land. Farming, to native Dayak, is not just accesories of rice cultivation, but rather a sacred
rite and a starting point for a unique life-cycle. Unfortunately, time and again, Dayak tribes are
wrongly accused as environmental destroyer, due to their habit of setting fire on the farming land
in order to get dried-burnt land and fertile soil. Contrary to this view, Dayak natives are traditionally recognized as wise and caring people for nurturing and maintaining nature and environments preservation. What causes the destruction of Borneos nature and forest is not Dayaks way
of farming, but rather businessmen profiting from exploiting the land and soil, licensed holders of
HPH, and illegal loggers.
Keywords: Dayak, alam, padi, ladang, kearifan lokal.

Pendahuluan
Dayak ialah nama kolektif sebuah etnis
yang mendiami pulau Borneo, terdiri atas
lebih dari 400 subsuku. Mereka ditengarai
berasal dari kaum migran bangsa Austronesia yang terdampar di kepulauan Borneo
pada sekitar tahun 2.500 SM. (Evans (1922),
(Ukur, 1971), (Djuweng dan Krenak, 1993).
Menurut Fallding (1974: 200), salah
satu penciri manusia-alam ialah hubung
an antara manusia dan alam sedemikian
luluh, menyatu, manusia adalah bagian
dari tatanan alam. Akibatnya, agama etnis tersebut adalah agama alam. Artinya,
alam diyakini mempunyai daya, sekaligus
kekuatan magis, yang di satu pihak memberikan kehidupan dan penghidupan; se-

05-MASRI SAREB PUTRA.indd 160

dangkan di pihak lain alam angker dan


menakutkan. Dalam kerangka pemikiran
seperti itu, bagi etnis Dayak, alam diletakkan ke dalam berbagai fungsi.
Pertama, fungsi ritual. Alam (hutan belantara) dipahami sebagai suatu wilayah
yang sakral. Berbagai upacara dilakukan
di hutan, misalnya waktu menebas, waktu
menyimpan benih, waktu panen, dan sebagainya.
Kedua, fungsi ekologis. Komunitas
Dayak Djo memandang alam merupakan
penyedia dan pengatur tata air dan memberikan keseimbangan yang harmonis.
Ketiga, alam atau lahan memberikan
kehidupan. Dalam konteks inilah ladang
menjadi sangat vital bagi etnis Dayak,
bahkan dapat dikatakan menjadi penanda

10/30/2013 7:36:19 AM

Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak

R. Masri Sareb Putra

161

dari awal mula sebuah siklus kehidupan.


Kita dapat membuat litani panjang betapa
ladang sangat vital dan menjadi kata kunci
dalam kehidupan umat manusia. Misalnya: ladang padi, ladang gandum, ladang
jagung, ladang tebu, dan ladang minyak.
Bahkan, kerap pula kantor, atau pekerjaan,
disebut sebagai ladang karena dari sana
akan dituai hasil.
Ampus ka huma boh! begitu kita se
ring mendengar, jika suatu pagi bertemu
kerabat. Jelas, maksudnya bukan ke huma
dalam pengertian ladang sebagai lahan
kultivasi padi. Namun, ungkapan itu bisa
diartikan pergi ke kantor atau ke pekerjaan
tetap.
Itu adalah sisi positif, atau makna,
ladang sesungguhnya. Yakni, lahan tempat
manusia mengais rezeki dan menabur harapan untuk hidup. Akan tetapi ladang, suatu
ketika, dapat juga berkonotasi negatif. Misalnya, ladang pembantaian (killing field).
Pada zaman Nazi, atau saat di negeri kita
tahun 1960-an, ramai-ramainya mengganyang anggota dan orang yang dianggap
antek-antek PKI, ladang menjadi kata yang
menyeramkan. Bukan hidup yang ditemui
di ladang, justru sebaliknya.

memiliki penghormatan khusus pada la


dang (tanah) sebagai mata rantai kebersatuan dengan alam semesta. Ini juga bukti
bahwa orang Dayak amat memerhatikan
keharmonisan hubungan dengan Yang di
Atas dan dengan seluruh alam. Jadi, menghormati dan menghargai ladang, sama saja
dengan menghormati dan menghargai Si
Pemberi dan Asal Mula Kehidupan.
Melihat proses dan cara orang Dayak
berladang, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang merusak hutan Kalimantan bukan
orang Dayak, tapi para pengusaha HPH
dan perkebunan skala besar. Bagaimana
mungkin orang Dayak merusak hutan, jika
hutan menjadi bagian hidup dan sumber
penghidupan? Orang Dayak baru akan
meladangi kembali areal lahan jika sudah
cukup umur, yakni setelah diladangi 15-20
tahun lalu ketika lahan semula sudah cukup humus dan pepohonan sudah besarbesar.
Filosofi di balik siklus perladangan ter
sebut ialah agar tetap menjaga keseimbang
an alam, yakni tetap terjaganya persentase
yang harmonis antara hutan dan lahan
garapan. Dengan demikian, bencana alam
yang ditimbulkan dari disharmoni alam
dan makhluk penghuninya dapat dielimi
nir. Di sinilah letak kerarifan tradisional
Ladang dan Siklus Perladangan Kembali suku Dayak, khususnya dalam perladang
Orang Dayak
an yang meski meladangi atau menggarap
Orang Dayak yang arif-bijaksana, tidak per- lahan tetap menjaga dan memeliharanya
nah sekali pun menajiskan kata ladang. seturut dengan hukum alam pula.
Keharmonisan penduduk Kalimantan
Bahkan, ladang dianggap keramat oleh
orang Dayak sebab ladang terbukti mam- dengan alam, termasuk proses dan cara
pu menjadi sumber penghidupan bagi me berladang, hingga tahun 1980-an masih
reka. Karena itu, dari mulai melihat-lihat dapat dijaga dan dipelihara. Akan tetapi,
lahan yang akan dijadikan ladang (ngabas sejak pengusaha kayu dan perkebunan dapoya), hingga usai panen (gawai panen), tang, ditambah ulah penambang emas dan
selalu ada upacara yang berkaitan dengan batu, banyak lahan di bumi khatulistiwa
menjadi tandus dan gersang.
ladang.
Menurut hasil pengamatan David JenTidak syak lagi, melihat siklus pesta
yang ada hubungannya dengan ladang, kins, sebuah keluarga Dayak meladangi
dapat disimpulkan bahwa orang Dayak areal rata-rata 16 hektar per tahun dengan

05-MASRI SAREB PUTRA.indd 161

10/30/2013 7:36:19 AM

162

Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak

hasil per hektar kurang lebih 900 kilogram


padi (Jenkins, 1978, 22 - 27). Pada zaman
dahulu kala, orang Dayak yang kaya (dan
berada) diukur bukan dari perhiasan emas,
intan, dan permata, namun ditakar dari
seberapa banyak padi yang tersimpan di
lumbung. Orang Dayak yang kaya hari ini
makan nasi yang disimpan di lumbung
dua atau tiga tahu yang lalu. Makan nasi
yang diambil dari lumbung hasil panen tahun ini, tidak dianggap berada, hanya paspasan.
Di balik pemujaan akan sikap dan gaya
hidup makan nasi hasil panen tahun-tahun
sebelumnya, tersimpan filosofi yang sangat
dalam. Karena zaman dahulu nenek mo
yang belum terbiasa menabung di bank
atau Credit Union (CU), maka orang menyimpan padi (harta benda) di lumbung.
Lumbung padi dianggap sebagai bank
atau savings. Karena itu, orang Dayak yang
kaya akan mempunyai banyak lumbung
padi yang isinya penuh, identik sekarang
dengan orang yang punya banyak simpanan di bank. Satu lagi kita melihat kerarifan
tradisional suku Dayak dari pemujaan menyimpan padi di lumbung, yakni bahwa
sebenarnya mereka sudah berpikir jauh ke
depan mengenai persiapan pangan.
Ladang bagi orang Dayak tidak hanya
berfungsi sebagai lahan yang akan memberikan hasil utama padi yang nasinya sangat
enak dan beraroma harum. Lebih dari itu,
ladang juga punya sisi-sisi lain, yang tidak
ditemukan pada lahan basah. Sebagai contoh, dari ngabas poya, bakal lahan ladang sudah memberi kenikmatan tersendiri. Waktu menjenguk lahan yang akan diladangi,
orang Dayak mulai menetapkan tempat
(ada yang menamakannya kerancak) yang
nantinya dijadikan dangau atau pondok.
Kalau sudah dibakar, areal dangau dijadikan probini (tempat menyimpan bibit padi)
dan nanti dari sinilah asal bibit padi yang
akan ditanam waktu menugal.

05-MASRI SAREB PUTRA.indd 162

Vol I, 2013

Ladang sebagai lahan kering kultivasi


padi memberikan penghidupan dan kenyamanan yang tiada tara hal yang tidak
bisa didapat dari bercocok tanam di lahan
basah. Waktu nebas misalnya, areal ladang
menyediakan aneka bahan makanan dan
minuman. Ada umbut ransa, enau, atau
aping yang enak dijadikan sayur.
Ladang juga menyediakan aneka jamur,
baik jamur yang tumbuh di tanah maupun
yang menggantung di pohon mati. Ada
aneka sayuran rebung dan pakis. Pakis hutan, biasanya berwarna merah kehijauan
dan kalau dimasak, dicampur ampas tape
pulut (rampang) enak bukan main.
Bahkan, waktu orang Dayak menebas
huma, orang sering mendapat binatang,
seperti ular, kelelawar, burung, tupai, tikus
hutan, atau landak yang dagingnya sangat
lezat disantap. Semua itu adalah mata rantai kenikmatan yang didapat dalam proses
perladangan.
Itu sebabnya, kita harus memberikan
catatan khusus mengenai tradisi berladang
orang Dayak. Sejak nenek moyang, sampai
dewasa, orang Dayak terbiasa makan nasi
huma. Mereka tahu, huma sudah memberikan penghidupan. Karena itu, tidak
mungkin orang Dayak merusak lahan ka
rena akan ditanami kembali.
Ladang Keharmonisan Lingkungan
Karena proses dan tata cara berladang arifbijaksana yang memerhatikan hukum alam
diturunkan dari generasi ke generasi, maka
setiap orang Dayak wajib menjaga dan memeliharanya. Siapa saja yang berladang
tidak sesuai dengan adat, akan kena adat.
Itu sebabnya, ada ungkapan Dayak Sanggau yang sangat dalam maknanya, Poya
nyak bopugongk, adat nyak bolinongk
(alam untuk berlindung/bertumpu, adat
untuk berpegangan). Tindak melanggar
adat, akan dikucilkan dari komunal dan
dianggap bukan-Dayak lagi.

10/30/2013 7:36:19 AM

Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak

Lalu, siapa perusak hutan dan penggundul hutan Kalimantan? Tentu saja, bukan penduduk setempat (indigenous people)
yang menggantungkan seluruh kehidup
annya pada lingkungan dan alam Kalimantan, tetapi para pendatang dan orang
kota! Sebagai contoh, yang menggondol
izin HPH dan pemilik perkebunan di Kalimantan adalah kaum pendatang dan orang
kota. Orang kota yang dimaksudkan
ialah pengusaha dari Pontianak dan Jakarta, sedangkan kaum pendatang ialah siapa
saja yang perilaku dan cara hidupnya me
rusak alam sebagai sumber dan tumpuan
penghidupan.
Yang terasa tidak adil ialah adanya
selentingan yang mengatakan bahwa orang
Dayak dan penduduk setempat adalah penyebab kebakaran hutan dan gundulnya
bumi khatulistiwa. Malangnya, kebakaran
hutan dan kepulan asap justru terjadi bulan Juli-Oktober, berertepatan dengan siklus alam (musim panas) sebagai saat yang
tepat bagi orang Dayak membakar ladang.
Padahal, ratusan tahun lamanya orang
Dayak membakar ladang, dan tidak pernah
menimbulkan masalah. Sebab, kearifan
mengajarkan, batas ladang harus dibuat
tegas, agar api tidak bisa melalap lahan
di sampingnya. Kalau api dari membakar
ladang sampai menyapu lahan tetangga,
si empunya ladang akan membayar adat!
Ada hukum adatnya khusus untuk itu.
Agaknya, karena itu, Musyawarah Adat
Dayak tidak pernah lelah mengampanye
kan, perusak hutan Kalimantan bukan pen
duduk asli. Mustahil mereka mau menggorok leher sendiri, sebab ladang adalah
tumpuan hidup utama. Lagi pula, mereka hidup dan tinggal di situ. Lama orang
Dayak didakwa kasus kebakaran hutan

R. Masri Sareb Putra

163

dan kerusakan lingkungan. Sampai-sampai,


beberapa tokoh perlu mendukung dan menyekolahkan orang Dayak yang potensial
untuk studi di bidang hukum lingkungan.
Meski demikian, asumsi bahwa orang
Dayak arif bijaksana dalam hal kultivasi
padi dengan cara berladang, bukan ha
nya sepihak. Antropolog dan peneliti Barat
jauh hari sudah memberi kesaksian dan
mencatatnya. Dalam literatur-literatur berbahasa Inggris, ladang disebut staff of life
(tumpuan hidup) orang Dayak. Seperti dicatat ilmuwan dan antropolog barat, Hedda Morrison1 dalam bukunya yang terbit
tahun 1957, Sarawak.
Padi, the staff of life, tulis Morrison
(1976: 44), sembari menekankan bahwa
padi yang ditanam itu tumbuh di ladangladang orang Dayak. Orang Dayak pun
dipujinya sebagai manusia yang berbudi
pekerti luhur lagi arif dan bijaksana mengolah sumber daya alam.
It is wasteful method of cultivation. When old
jungle is felled the same land will produce good
padi for two or three consecutive seasons but the
burns destroy all protective vegetation. Heavy
rains soon remove the topsoil and the fertility of
the land is quickly reduced. (Morrison, 1976:
45).

Morrison sama sekali tidak melihat


cara berladang orang Dayak merusak lingkungan, atau mengganggu ekosistem. Sebaliknya,
If farming can be carried on over a cycle of
about 15 years between cuts, the fertility of the
soil can be maintained fairly satisfactory. But as
the population increase so does the pressure on
the land and the cycle may fall to ten, eight or
even five years (Morrison, 1957: 45).

Hedda Morrison sesungguhnya bukanlah peneliti atau antropolog. Ia datang ke tanah Sarawak mengikuti suami,
yang merupakan salah satu pejabat kolonial di salah satu negara bagian Malaysia. Ia hobi fotografi, sehingga apa
yang menyentuh hatinya, diabadikan dalam gambar. Kemudian, dibukukan seperti judul buku tersebut dan menyebutnya sebagai personal record.

05-MASRI SAREB PUTRA.indd 163

10/30/2013 7:36:19 AM

164

Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak

Vol I, 2013

Tradisi berladang, kini hanya dilakoni


orang Dayak di tempat tertentu. Di mana,
lahan masih tersedia dan situasi memungkinkan. Bulan Juni-Juli, saatnya ngabas poya
dan menebas. Inilah mula dari sebuah siklus upacara gawai.

juga dapat ditelusuri sisi sosiologis suatu


masyarakat di mana pantun itu hidup
dan diperkembangkan. Pantun melukiskan
tidak saja suasana, juga struktur sosial, komunikasi, serta kehalusan budi pekerti.
Orang yang lama tidak bertemu (berpandang), misalnya, tentu ingin mengungkapkan sesuatu. Jika lama tidak bertemu,
Ladang dalam Larik-larik Pantun
pasti banyak hal yang ingin diungkapkan.
Buah pantun mengandung kearifan dan Tetapi, kerap isi hati tidak bisa diungkapfilosofi yang sangat dalam. Mengapa? Kar- kan dengan kata-kata. Karena itu, diam
ena buah pantun merupakan kristalisasi adalah bentuk komunikasi juga, yakni kodari proses hidup dan budaya yang sudah munikasi nonverbal. Saling pandang, dan
berlangsung lama dan dimeteraikan dalam itu, sudah cukup mengomunikasikan ba
larik-larik sederhana yang mudah diingat. nyak hal, seperti larik pantun berikut.
Demikian yang kita saksikan dalam buahSudah lama tidak ke ladang
buah pantun orang Dayak yang melukiskan
Sekarang ini ke ladang lagi
cara hidup (modus vivendi) dan cara berada
Sudah lama tidak berpandang
(modus essendi) masyarakat itu sendiri.
Sekarang ini berpandang lagi
Dengan demikian, buah pantun dapat

dikatakan sebagai kata kunci, gagasan
Kalau rindu menggebu, dan lama tidak
pokok (central idea), atau hakikat yang
bertemu,
bagaimana diungkapkan? Tidak
dimunculkan keluar, yang merujuk pada
budaya yang dihidupi suatu masyarakat. masalah. Orang Dayak punya cara meng
Manakala buah pantun itu sering muncul, ungkapkannya lewat pantun.
tercerminkan di dalamnya central idea yang
Sudah lama tidak ke huma
apabila diselisik banyak di dalamnya terBatang tebu sudah meninggi
muat terminologi ladang.
Sudah lama tidak berjumpa
Dalam pantun, ada sampiran, dan
Rasa rindu setengah mati
juga, ada isi. Namun, antara kedua sampir
an dan isi harus selalu ada korelasi: yang
Bagaimana mengungkapkan rindu yang
satu, tidak boleh menyangkal yang lain.
mendendam,
sedang orang yang dirindu
Rangkaian pantun orang Dayak mirip silogisme, jalan berpikir (metode) logika untuk jauh di seberang? Ketika siaran radio belum
menarik kesimpulan dan olah pikir ilmiah merambah hutan Borneo, dan masyarakat
yang dikembangkan Aristoteles abad ke-4 adat masih primitif, maka bulan adalah
media bertemu. Oh bulan, sampaikan
sM.
Karena itu, dalam pantun, sebenarnya rinduku! begitu seseorang yang dimabuk
terkandung kearifan tradisional. Selain, cinta biasa meminta. Biar, pada saat sama,
tentu saja, tergambar di dalamnya proses rembulan mengirim pesan rindu pada sang
kreatif dan alur pikir yang sahih dan valid. kekasih, agar terasa getar-getar asmara
Kalau alur pikir dalam pantun runtut, maka juga. Kalau sekarang, cukup kirim pesan
pemikiran di dalamnya mengandung nilai, SMS, tidak perlu memandang bulan!
Akan tetapi, seperti sudah diuraiyakni nilai kebenaran.
Selain alam pikiran, dari larik pantun, kan, pantun adalah cermin budaya suatu

05-MASRI SAREB PUTRA.indd 164

10/30/2013 7:36:19 AM

Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak

masyarakat. Maka, buah-buah pantun ja


ngan pernah punah dari orang Dayak.
Kebiasaan berpantun harus terus dipertahankan dan dilestarikan. Sebab, selain
mengandung dimensi hiburan, pantun juga
mengasah olah pikir. Telusurilah larik pantun pra-dekade 1990-an, berikut ini yang
mengusung ladang sebagai sampiran.

Sungai keruh, pancur pun keruh
Samalah kita mandi di ladang
Adik jauh, abang pun jauh
Sama kita mabuk kepayang

R. Masri Sareb Putra

165

gai contoh apa yang dikemukakan Gomes


berikut ini:
This harvest festival (gawai penulis), gives
thanks to the gods and spiritsfor the bounty of
the land. With centuries of tradition behind it,
this native ritual involves communication with
the spirit world, ancestral worship and feasting
with friends and family of the whole community. (Gomes, 1911: 209).

Gawai Dayak, pertama-tama, adalah


ungkapan syukur pada yang di atas.
Dahulu kala, karena masih animis, orang
Dayak percaya pada dewa-dewa dan rohWaktu adalah pemisah paling tidak di
roh. Baru setelah para padri Kapusin masuk
sukai, terutama jika rindu yang menggebu,
tanah Borneo yang masih perawan pada
belum cukup terobati. Tapi, waktu jualah
1905, orang Dayak mengenal Yesus. Tatyang membuat semburat harapan untuk,
kala masih animis, orang Dayak menyebut
suatu waktu, bertemu lagi. Maka ladang
Tuhan sebagai Jubata atau Penompa. Pekembali diangkat jadi sampiran pantun,
nompa adalah terminologi yang mengacu
kalau hendak berpisah, dan esok berharap
pada Dia yang telah menjadikan langit dan
dapat berjumpa lagi. Untuk tujuan itu, bumi (menempa = menjadikan).
orang Dayak pun akan mendendangkan
Lantaran penjadi muka bumi, Jubata,
pantun berikut:
atau Penompa, mesti diberi hati (sesaji).
Akhirnya, Ia diberi perhatian dengan puKalau ada sumur di ladang
jian, upacara, dan juga pesta. Itulah makna
Boleh kita menumpang mandi
ungkapan di atas, ...for the bounty of the
Kalau ada umur yang panjang
land. Tidak syak lagi bahwa gawai adaBoleh kita berjumpa lagi
lah ungkapan syukur atas tanah dan hasil
bumi (karunia) yang telah dilimpahkan JuOrang Dayak benar-benar kreatif. Se- bata/Penompa.
patah kata ladang, bisa menjadi sumber
Sukar diurut dari mana harus dimulai,
inspirasi melahirkan pantun. Larik pantun yang jelas, sejak generasi Dayak pertama
dengan gagasan pokok ladang sekaligus ada, pesta gawai sudah ada. Tidak cuma
membuktikan bahwa ladang merupakan upacara ritual, gawai pun punya sisi pebagian yang tidak terpisahkan dari hidup nyembahan, sekaligus bentuk komunikasi
sosial.
dan kehidupan orang Dayak.
Pada w
aktu gawai, orang menari kondan dan menyanyi sesuka hati. Saling berGawai sebagai Mahkota Berladang
balas pantun, lengkap dengan sampiran
Para antropolog Barat dan peneliti Barat dan isi. Dalam berkondan terpancar suka,
hampir selalu menautkan hubungan sebab- sekaligus mengandung dimensi pendiakibat berladang dan gawai atau pesta padi dikan. Tidak sembarang orang terampil
dan hal itu sungguh benar. Simaklah seba- berpantun. Berpantun menuntut tingkat

05-MASRI SAREB PUTRA.indd 165

10/30/2013 7:36:19 AM

166

Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak

Vol I, 2013

intelektualitas yang tinggi. Bagaimana


mungkin pikiran diajak cepat berputar
membalas pantun, bila otak tidak encer
berdalih? Macam mana bisa menggunakan kata dan kalimat yang memikat, kalau
pikiran tidak sehat? Simak contoh pantun
berikut ini.

ng dada? Ya, di mana semua itu? Padahal,


mata rantai budaya Dayak itu dahulu kala
didapat pada siklus pertanian (dari ngabas
poya lahan perladangan hingga usai panen).
Kita merasa dahaga kembali pada suasana
harmonis dengan alam dan Tuhan. Kita
pun rindu kebersamaan dan persaudaraan.
Terlebih, kita suka pada keindahan, seperti
Kami takut pasang bendera
terekspresi dari tari kondan dan berbalas
Pasang bendera setengah tiang
pantun yang pada zaman dahulu kala diKami takut kawin tentara
mainkan pada masa siklus perladangan.
Udah kawin ditinggal pulang
Satu dari banyak mata rantai budaya
kultivasi padi orang Dayak yang kini maItu adalah contoh pantun yang kesih tersisa ialah pesta gawai (farming feast).
rap didaras oleh wanita-wanita Dayak,
Tidak ada masalah jika Dayak Kanayant
tahun 1970-1980-an, tatkala ABRI sedang
gencar-gencarnya masuk desa. Waktu itu, melangsungkan gawai (Naik Dango) pada
ramai para tentara mengawini wanita Da- 27 April, Dayak Sanggau dan Kapuas Hulu
yak seenaknya sebagai pelepas dahaga di pada 20 Mei, atau Dayak Iban, Bidayuh,
medan laga. Selepas menunaikan tugas di dan Ulu di Sarawak-Malaysia pada setiap 1
Tanah Dayak, para tentara meninggalkan dan 2 Juni. Yang penting, gawai bermuara
pulang wanita Dayak yang malang. Lahir- pada satu esensi: ungkapan syukur dan pelah buah pantun di atas. Jadi, pantun juga nyataan secara lahirah kebersatuan dengan
bisa diselisik sejarah dan maknanya. Seper- alam semesta.
Sembari minum tuak, betabas daging
ti halnya syair Homeros dan mitologi Yunani mirip dengan pantun dan mitos orang babi dan ayam, ditingkahi cakap senda
Dayak, indah dan sarat nuansa pendidikan gurau dan saling menyorongkan buluh
budi pekerti. Bahkan, zaman Yunani kuna, ajan (sobangkangk), orang Dayak di hari gasyair (pantun) dijadikan bahan pengajaran wai riang gembira. Lupalah mereka pada
mendidik warga Yunani (Hellas).
kesulitan hidup yang menghimpit. Sejenak
Pantun dan kearifan tradisional orang mereka larut pada nikmat ragawi.
Dayak pada akhirnya mengantar kita me
Akan tetapi, justru di situlah orang
narik tali simpul: pasti banyak orang Dayak Dayak menemukan makna spiritual gawai:
pintar. Hanya saja, saat ini belum banyak boleh mengecap setitik kemuliaan surgawi
yang muncul ke permukaan. Benihnya su- dari dimensi ragawi tadi. Secercah, dan
dah ada. Mereka arif bijaksana, terbukti hanya secercah. Untuk nantinya, di pendari mata rantai budaya yang beberapa di
gujung usia, ada upacara lain lagi. Tiwah
antaranya masih hidup hingga hari ini.
namanya di Kalimantan Timur. Upacara
Karena itu, mana kini tradisi kondan,
terakhir, mengantar jasad manusia kembali
berbalas pantun, dan beligo? Disimpan di
pada Sang Khalik.
kotak pandora mana, cerita dan mitosmitos? Di mana pula tradisi nyidok (pria
dan wanita berdekat-dekatan dalam ruang
Ladang dalam Konstelasi Kebudayaan
terbuka sebagai awal mencari jodoh)? Di
Dayak
mana pula kebiasan bapangka gasing (adu
gasing) untuk menguji siapa menang dan Dalam konteks semakin kritisnya lahan di
siapa kalah dengan filosofi berlatih lapa- wilayah Jangkang dan sekitarnya, fenome-

05-MASRI SAREB PUTRA.indd 166

10/30/2013 7:36:19 AM

Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak

R. Masri Sareb Putra

167

na kecenderungan pengusaha merampas


tanah adat, dan berbagai perilaku akuisisi lahan masyarakat adat, patut dilontarkan pertanyaan Quo Vadis Kebudayaan
Dayak? (Ke Mana Arah Kebudayaan
Dayak?). Akan tetapi, perlu disamakan
terlebih dahulu apakah yang dimaksudkan dengan kebudayaan. Secara leksikal
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 170),
kebudayaan mengandung dua pengertian:
(1) hasil kegiatan dan penciptaan (akal
budi) manusia seperti kepercayaan,
kesenian, dan adat istiadat;
(2) keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan
untuk memahami lingkungan serta
pengalamannya dan menjadi pedoman
tingkah lakunya.

harus kehilangan identitas dan esensi se


perti halnya berladang.
Akan dibawa ke mana kebudayaan
Dayak, bergantung masyarakat Dayak itu
sendiri. Mau dan sanggupkah orang Dayak,
baik sendiri-sendiri maupun sebagai kelompok, bertransformasi di tengah-tengah
arus perubahan zaman tanpa kehilangan
identitas dan esensi?
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, terjadi perubahan cukup radikal etnis
Dayak atas lahan untuk berladang. Perubahan menyangkut bukan saja pemanfaatannya, melainkan juga pada cara dan pola
bercocok tanam yang sama sekali lain dan
baru.
Dahulu kala, sebidang lahan yang sama
untuk berladang akan diladangi kembali
dalam siklus 10-15 tahun. Meladanginya
Sistem (budaya) berladang berpindah- pun secara tradisional, mengikuti dan sanpindah yang dilakukan suku Dayak tra- gat tergantung siklus dan hukum-hukum
disional tidak merusak alam dan lingkunalam. Misalnya, waktu menebas ladang digan hidup, sebab lahan yang sama baru
lakukan pada musim kemarau, antara Meidiladangi kembali setelah mencapai siklus
Juli. Membakar ladang dilakukan bulan
15-20 tahun. Ladang, bagi orang Dayak,
Agustus. Menanam benih (menugal) awal
merupakan kata kunci yang vital dalam
September, dan seterusnya. Kini tidak lagi
mata rantai hidup dan budaya, karena itu,
demikian. Lahan yang sama dapat secara
banyak upacara ritual dan kebudayaan
terus-menerus diladangi 3 kali. Tidak terberhubungan dengan ladang. Dari mulai
gantung musim. Menebas dan menebang
melihat-lihat bakal lahan yang dijadikan
pohon sudah tidak lagi, kecuali untuk lahladang hingga mengantar masuk padi (haan yang baru dibuka. Tidak lagi merumput
sil panenan) ke lumbung, semuanya didengan tangan, melainkan cukup disemawali dan ditandai dengan pesta.
prot dengan racun gulma.
Selain kerjanya efektif, hasilnya pun
luar biasa. Padi dan tanaman lain tumbuh
PENUTUP
Banyak mata rantai ritual dan budaya berla- lebih subur. Dayak Jangkang sudah mulai
dang yang hilang dan tidak dapat dijumpai dapat mengelola lahan yang tidak seluas
hari ini. Budaya Dayak, termasuk berla- dulu lagi karena populasi penduduk sedang, hanya mengalami transformasi dan makin banyak. Akan tetapi, kearifan lokal
aktualisasi, namun sebenarnya hakikatnya tetap mereka pertahankan yakni tidak mersama saja. Di tengah-tengah arus peruba- usak alam dan lingkungan sebab alam dihan itu, orang Dayak dan kebudayaannya yakini dan kemudian terbukti memberikan
perlu senantiasa bertransformasi tanpa kehidupan.

05-MASRI SAREB PUTRA.indd 167

10/30/2013 7:36:19 AM

168

Berladang dan Kearifan Lokal Manusia Dayak

Daftar Pustaka
Crevello, S. (2004). Dayak land use systems and indigenous knowledge dalam Journal of Human Ecology. Vol. 16(2):
69-73.
Evans, Ivor H. N. (1922). Among Primitive
Peoples in Borneo: A Description of the
Lives, Habits & Customs of the Piratical
Head-hunters of North Borneo, with an Account of Interesting Objects of Prehistoric
Antiquity Discovered in the Island. London: Seeley, Service & Co., Ltd.
Gomes, H. Edwin. (1911). Seventeen Years
among The Sea Dyaks of Borneo. London:
Seeley and Co., Limited.
Fallding, H. (1974). The Sociology of Religion:
An Explanation of the Unity and Diversity
in Religion. McGraw-Hill Ryerson Limited.
Jenkins, David. (1978). The Dyaks: Goodbye to All That, dalam Far Eastern Eco-

05-MASRI SAREB PUTRA.indd 168

Vol I, 2013

nomic Review. 30 Juni 1978, hlm. 22 - 27.


Lonsen, F.X. dan L.C. Sareb. (2002). Hukum
Adat Dayak Kecamatan Jangkang Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat. Dewan
Adat Kecamatan Jangkang.
Lontaan, J.U. (1975). Sejarah, Hukum Adat,
dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Pemda Tingkat I Kalbar.
Lubis, Mochtar. (1978). Manusia Indonesia:
Sebuah Pertanggungjawaban. Jakarta:
Yayasan Idayu.
Morrison, Hedda. (1957). Sarawak. Singapore-Kuala Lumpur-Hong Kong: Federal Publications.
Putra, R. Masri Sareb. (2013). Dayak Djangkang. Tangerang: UMN Press.
Ukur, Fridolin. (1971). Tantang Djawab Suku
Daya. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
van Hulten, Herman Josef. (1992). Catatan
Seorang Misionaris: Hidupku di Antara
Suku Daya. Jakarta: PT Grasindo.

10/30/2013 7:36:20 AM

Jurnal Ultima Humaniora, September 2013, hal 60-70


ISSN 2302-5719

Vol. I, Nomor 2

Demokrasi dan Kekuasaan dalam Pandangan Hidup Orang Jawa1


ARYANING ARYA KRESNA
Kordinator MKU Universitas Surya
Gedung 01 Scientia Business Park
Jl. Boulevard Gading Serpong Blok O/1
Summarecon Serpong, Tangerang 15810
Telepon: (021) 71026562
Surel: aryaning.aryakresna@surya.ac.id
Diterima: 22 Agustus 2013
Disetujui: 5 September 2013

ABSTRACT
This research aims at comprehending the concept of democracy and power in Javanese philosophical thoughts. This research begins by describing the Javanese epistemology. The next step will be
discussing the Javanese concept on public sphere and understanding on power which is the basic
argumentation on Sultan Agung of Mataram absolutes power. The conclusion will be a new comprehension on Javanese tendency on despotic and authoritarian power exercise which cannot be
separated from Indonesian presidents originating from Javanese ethnicity.
Keywords: power, democracy, Javanese, public sphere

ini dipahami dalam konteks ruang pubMendiskusikan demokrasi memang me- lik politis, sehingga demokrasi dan ruang
narik, justru karena konsep ini sangat kom- publik politis adalah setali tiga uang. Akipleks sehingga setiap orang dapat mendefi- batnya, dapat dipastikan bahwa sebuah ornisikannya sesuka hati. Namun demikian, ganisasi kekuasaan yang tidak mengelola
ada satu kesamaan hal yang menjadi ac- dan mengelaborasi ruang publik politis dauan dalam setiap pembahasan mengenai lam pengalamannya sehari-hari, organisasi
demokrasi, yaitu adanya kesempatan yang tersebut tidak demokratis. Habermas (1996,
sama dalam berpartisipasi (participative dalam Wattimena, 2007: 126) berpendapat
equality). Pemahaman tentang kesetaraan bahwa ruang publik adalah sebuah kePendahuluan

Versi awal tulisan ini berjudul Orang Jawa dan Ruang Publik Politis pernah dipresentasikan dalam International Conference and Summer School on Indonesian Studies (ICSSIS) tahun 2009 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia,
dan dimuat dalam prosiding konferensi tersebut (versi elektroniknya bisa diakses di https://icssis.files.wordpress.
com/2012/05/2729072009_25.pdf).

06-ARYANING ARYA KRESNA.indd 169

10/30/2013 7:36:45 AM

170

Demokrasi dan Kekuasaan dalam Pandangan Hidup Orang Jawa

mungkinan di mana manusia yang menghayatinya dapat senantiasa berkomunikasi


antar mereka dengan bebas tanpa tekanan,
sembari menciptakan dialektika yang bertujuan mencapai pemahaman-pemaham
an baru sebagai acuan hidup bersama.
Gambaran yang cukup gamblang tentang
syarat ruang publik politis menurut Habermas, yaitu: bahasa dialog yang sama dan
logika yang konsisten, peluang yang sama
untuk mencapai konsensus yang adil dan
terbuka, aturan bersama yang melindungi
proses komunikasi dari represi dan diskriminasi. Ketika syarat di atas dipenuhi,
ruang publik politis dapat terwujud dalam
masyarakat sipil.
Sebagai sebuah negara yang menganut
supremasi hukum dan pemisahan kekuasa
an, Indonesia dapat dikatakan menganut demokrasi, walaupun masih bersifat
simbolis. Demokrasi di Indonesia masih
dipahami dalam subsistem kedaulatan
rakyat, sehingga setiap pergantian rezim,
demokrasi yang diterapkan pun berubah.
Walaupun demikian, tetap ada kemiripan
pola power exercise karena 5 dari 6 presiden
terpilih berasal dari suku Jawa sehingga
dominasi suku Jawa terhadap kekuasaan
secara riil terjadi sepanjang sejarah negara
ini.
Sejarah bangsa ini mencatat bahwa keniscayaan kekuasaan dipegang oleh orang
Jawa dapat dimengerti secara sempit berdasarkan alasan bahwa kuantitas terbesar
bangsa ini berasal dari suku Jawa. Walaupun demikian, sejarah pula yang mencatat
bahwa kecenderungan despotik dan otoritarian dilakukan terus menerus oleh para
presiden yang berasal dari suku Jawa. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah konsep
kekuasaan macam apa yang memengaruhi
perilaku politik orang Jawa, sehingga konsep demokrasi tidak dapat dengan mudah
dipahami dan dipraktekkan oleh mereka?
Apakah orang Jawa mengenal konsep ru-

06-ARYANING ARYA KRESNA.indd 170

Vol I, 2013

ang publik politis yang bebas dari kooptasi


kekuasaan? Tulisan ini berusaha menelaah
konsepsi orang Jawa tentang dirinya dan
dunia tempatnya berdiam sekaligus mencari bukti-bukti tentang keberadaan konsep demokrasi dalam dunia orang Jawa.

Pandangan Dunia Orang Jawa
Sebagaimana semua suku bangsa di dunia,
orang Jawa mempunyai cara tersendiri
dalam memandang dunianya. Pandangan
dunia yang dimaksud di sini adalah keseluruhan sistem nilai yang menjadi kerangka dasar orang Jawa dalam usaha memahami dirinya dan dunianya. Jadi pandangan
dunia orang Jawa adalah suatu sistem filosofis yang menjadi struktur acuan orang
Jawa dalam kehidupannya.
Franz Magnis-Suseno (1984: 83 - 84)
menuliskan bahwa ada 4 lingkaran dalam
pandangan dunia Jawa. Lingkaran pertama
adalah sikap terhadap dunia luar yang di
alami sebagai sebuah kesatuan kesadaran
antara manusia, alam dan dunia adikodrati. Lingkaran kedua adalah penghayatan
kekuasaan politik sebagai perpanjangan
tangan kekuatan adikodrati. Lingkaran
ketiga adalah pengalaman mistis-batiniah
manusia Jawa dalam memahami eksistensi
dirinya sebagai bagian dari alam. Lingkaran keempat adalah penentuan semua
lingkaran di atas sebagai bagian dari takdir
kehidupannya
Menurut pandangan dunia orang Jawa,
realitas tidak bisa dipahami secara terpisah. Contohnya, memahami konsep negara
menurut orang Jawa tidak dapat dipisahkan dengan Tuhan, panen, dan wabah penyakit. Sebagai akibatnya, realitas negara
yang otoriter akibat kekuasaan absolut
seorang raja lalim berlandaskan legitimasi
ketuhanan, tidak dapat dipisahkan dari
kegagalan panen dan merebaknya wabah
penyakit.

10/30/2013 7:36:45 AM

Demokrasi dan Kekuasaan dalam Pandangan Hidup Orang Jawa

Orang Jawa memahami dunia dan ruang tempatnya berdiam sebagai entitas
yang tidak terpisah dari kesadarannya.
Bahkan bukan hanya menyatu dengan
kesadarannya yang terbuka-ke-dalam, ek
sistensi manusia Jawa tertelan mentahmentah oleh alamnya. Sehingga, alih-alih
manusia Jawa memahami dirinya sebagai
sebuah res cogitans yang mampu berefleksi tentang kesadarannya yang berjarak
dengan ruang, kesadaran orang Jawa adalah bagian kecil dari ruang. Eksistensi manusia Jawa menyatu dengan alamnya, se
hingga keduanya tidak bisa dipisahkan.
Berbeda dengan pemikiran Yunani setelah Sokrates, pandangan hidup orang Jawa
tidak memisahkan antara pengetahuan
dan kepentingan. Pengetahuan merupakan penalaran dari kehidupan sehari-hari
yang menuju ke suatu titik tertentu dalam
kehidupan manusia. Artinya, pengetahuan
bukan sebuah usaha memikirkan fenomena kehidupan yang direduksi secara ketat
untuk kemudian dimurnikan menjadi se
buah teori. Pengetahuan dalam pandang
an dunia orang Jawa bersifat intuitif dan
diperoleh melalui rasa. Rasa adalah pintu
gerbang sekaligus ruang tempat semua pemahaman tentang kedalaman dimulai
dan diakhiri. Rasa bisa berarti pula hakikat,
karena rasa adalah rahsya (rahasia), suatu
ungkapan tentang realitas yang bersembunyi, terselubungi oleh fenomena. (Stange,
1984). Berbeda dengan konsep rasio ala Barat, rasa adalah hakikat itu sendiri. Karena
kesadaran dalam pandangan dunia Jawa
adalah bagian dari realitas, demikian juga
halnya dengan rasa. Memahami Tuhan
dan alam serta hukum-hukumnya adalah
memahami manusia. Oleh sebab itu, pe
mahaman tentang fenomena melalui rasa
adalah pengetahuan yang sangat subyektif sehingga tersingkapnya Hakikat hanya
bisa dicapai ketika seseorang menjauhi
hiruk pikuk kehidupan dan mendekatkan

06-ARYANING ARYA KRESNA.indd 171

aryaning arya kresna

171

diri pada Tuhan dan seluruh alam semesta


(termasuk diri si manusia itu sendiri) melalui rasa (Mulder, 2001: 22 - 24)
Francisco Budi Hardiman (2003: 3 - 5)
menyatakan bahwa semua pandangan ini
dapat dijelaskan melalui istilah bios theoretikos. Pandangan dunia orang Jawa adalah
pertautan antara teori dan praksis yang
akhirnya menuju ke arah kebijaksanaan sejati sebagai sebuah cita-cita kehidupan bersama. Teori bagi orang Jawa adalah kontemplasi atas makrokosmos, dimana dia
menemukan tertib alam semesta yang dapat dipakai untuk memahami kehidupan
dirinya. Hal ini akhirnya memunculkan
primbon, dan ramalan-ramalan masa depan
ala Prabu Jayabaya dan Ranggawarsita.
Primbon adalah sebuah buku catatan hasil
konstemplasi atas fenomena alam karya leluhur orang Jawa yang berusaha menyingkap rahasia alam. Primbon memberikan ciri
dan pola perilaku alam semesta dan cara
penyingkapan hakikat alam lebih lanjut.
(Mulder, 2001: 22 - 24)
Pandangan dunia orang Jawa yang
berkesadaran tertutup dan masif ini ternyata justru menyebabkan keterasingan dirinya
dari realitas. Reasoning yang hanya bersifat
appetizer pada makan malam olah rasa dalam usaha mencapai kebijaksanaan sejati,
akhirnya hanya menghasilkan pengetahuan
yang bersifat sangat personal dan khusus.
Artinya, sebuah konsep yang dihasilkan dalam pandangan dunia Jawa hanyalah hasil
kontemplasi subyek yang terpisah dari komunikasi dari pihak luar. Dialektika dalam
reasoning orang Jawa selalu melalui tahap
pengendapan subyektif lebih dahulu dalam rasa, sehingga hasil yang dicapai adalah sebuah tesis yang siap dipakai dalam
memahami realitas. Oleh sebab itu kontemplasi yang bersifat personal menggunakan
metode intuitif ini memperoleh legitimasi
validitas melalui pengalaman-pengalaman
metaempirik sebagai klaim kebenarannya.

10/30/2013 7:36:45 AM

172

Demokrasi dan Kekuasaan dalam Pandangan Hidup Orang Jawa

Hal ini mengakibatkan pengetahuan yang


dihasilkan dianggap sahih dan tak terbantahkan karena sering dianggap mistis. Mi
salnya tindakan Sultan Hamengkubuwono
ke-10 ketika memimpin Rapat Akbar Yogyakarta dalam rangka menumbangkan
Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998, adalah hasil kontemplasinya setelah berpuasa
selama 30 hari. Keputusan Sultan untuk
melakukan tindakan ini dianggap benar,
karena Sultan dianggap telah melakukan
kontemplasi terhadap dirinya, Tuhan dan
alam semesta. Hasil kontemplasi itu adalah datangnya wangsit yang melegitimasi
keputusannya untuk mendukung Gerakan
Reformasi 1997-1998. Tertutupnya kinerja
rasa dan kesadaran yang menyatu dengan
alam ini tidak dapat dibantah, selain ka
rena subyektif dan intuitif, rasa dan kesadaran memang tidak mengakui adanya
ruang bermain tempat terjadinya dialog
antara unsur-unsur dari luar subyek ketika
melakukan kontemplasi.
Makrokosmos dalam pemikiran Jawa
dipahami sebagai keberlangsungan hidup
pada tiap-tiap individu, sehingga tatanan
kehidupan sosial pun akhirnya harus di
usahakan berjalan dengan harmonis, serasi
dan seimbang. Sejurus dengan pemikiran
tersebut, manusia sebagai mikrokosmos
hidup bersama dan secara resiprokal membantu menjaga makrokosmos sehingga ke
seimbangan diantara mereka dapat berjalan
dengan baik. Sistem moral sosial ini mengajarkan orang Jawa untuk selalu mendahulukan kepentingan orang lain dibanding
kepentingan diri sendiri, dan berbuat baik,
karena seluruh kehidupan manusia sudah
dalam tatanan kosmos menuju suatu tujuan tertentu.

Konsep Kekuasaan Orang Jawa
Kekuasaan menurut pandangan dunia
orang Jawa, bukan dipahami hanya seba-

06-ARYANING ARYA KRESNA.indd 172

Vol I, 2013

tas potensi seseorang untuk memengaruhi


tindakan orang lain, bahkan ketika orang
tersebut menentang. Kekuasaan dalam
pandangan dunia Jawa bukanlah hasil
sebuah relasi antar individu dengan individu lain atau kelompok. Kekuasaan menurut orang Jawa adalah kekuatan energi ilahi
yang meresapi seluruh kosmos, sehingga
kekuasaan ini mempunyai eksistensi dalam dirinya sendiri. Kekuasaan menurut
orang Jawa adalah substansi yang hanya
tergantung pada dirinya sendiri. Kekuasa
an ini tidak didapat dari kekayaan, nama
besar, kekuatan fisik atau militer, sehingga
usaha-usaha untuk mencapainya melalui
tindakan-tindakan empiris tidak akan berguna. Kekuasaan yang meta-empiris ini
menyatu dengan hakikat alam semesta dan
bermanifestasi dalam kekuatan kosmos.
Kekuasaan sebagai kosmos akan memusat
pada seseorang yang dianggap layak dan
patut menyandangnya. Wahyu ratu dan
wangsit sangat berperan besar dalam legitimasi kekuasaan seorang raja Jawa. Ketika seseorang memaklumkan diri sebagai
raja, ia berarti mengajukan klaim bahwa ia
menerima kekuasaan yang berupa kekuat
an kosmos dan adikodrati serta mistis. Ia
akan (dan harus) menunjukkan kemampuan paranormal atau kasekten (kesaktian)
yang dianggap mewakili kekuatan kosmos. Maka ketika ia mampu menunjukkan
kemampuan itu, klaim bahwa ia memang
memperoleh wahyu ratu dan mampu memusatkan kekuatan kosmos dianggap sah.
Wahyu ratu bermakna ijin dari Tuhan yang
melegitimasi seseorang untuk berkuasa
atas rakyat, sekaligus ia harus bisa meyakinkan penguasa lama untuk tunduk kepadanya, baik lewat jalan damai maupun
peperangan. Wangsit adalah petunjuk dari
Tuhan berisi hal-hal yang akan terjadi di
masa depan. Seseorang harus berkontemplasi dan berefleksi sembari mengingkari
dan menyiksa diri dengan berpuasa, tidak

10/30/2013 7:36:45 AM

Demokrasi dan Kekuasaan dalam Pandangan Hidup Orang Jawa

makan, minum dan tidur untuk meraih


petunjuk tentang masa depan ini. Oleh sebab itu, posisi raja dalam pandangan dunia
orang Jawa, adalah pusat kosmos sekaligus
pusat kekuasaan.
Raja dalam pandangan dunia Jawa
mempunyai kekuasaan absolut yang dilegitimasi oleh kekuatan ilahi. Istilah yang
dipakai untuk menggambarkan sifat-sifat
raja adalah gung binatara, sekti mandraguna, bahudhendha hanyakrawati yang artinya
agung bagai dewa, sakti luarbiasa, pe
nguasa ruang dan waktu kiranya menunjukkan pandangan dunia orang Jawa menyangkut kekuasaan seorang raja. Sebagai
penguasa ruang dan waktu, tak ada yang
dapat terlewat dari aliran kekuasaan seorang raja, sehingga kekuasaan dalam
pandangan dunia Jawa selalu tunggal, homogen dan masif. Predikat bahudhendha
mengandung kata bahu yang artinya ukur
an keluasan dalam ruang, sementara hanyakrawati mengandung pengertian cakra,
yang artinya waktu. Maka istilah bahudhendha hanyakrawati dapat dimaknai sebagai
penguasa ruang dan waktu. Perbandingan
yang sesuai dengan istilah tersebut adalah
interpretasi G. Moedjanto (dalam Antlv
dan Cederroth, ed, 2001: xvii). Gagasan
kekuasaan yang plural dan terpencar tidak
dikenal dalam pandangan dunia Jawa. Kelanggengan sebuah dinasti raja ditentukan
oleh kemampuan raja yang berkuasa dalam
memelihara kesinambungan kekuatan kosmos tersebut. Pemeliharaan kekuatan kosmos ini dilakukan salah satunya dengan
mengumpulkan simbol-simbol kekuatan
kosmos, yaitu pusaka-pusaka kerajaan.
Lombard (1996: 67 - 68) menyebutkan
bahwa fungsi pusaka ini teramat penting,
karena simbolisasi penguasaan atas kekuat
an kosmis hanya bisa ditandai olehnya.
Artinya, seorang raja yang sedang berkuasa
bisa setiap saat kehilangan legitimasi ketika
ia tak lagi mampu menunjukkan kepemi-

06-ARYANING ARYA KRESNA.indd 173

aryaning arya kresna

173

likannya terhadap benda-benda tersebut.


Pusaka berupa bende (gong kecil) bernama
Kyai Becak, payung Kyai Tunggul Naga,
rompi Kyai Antrakusuma, tombak Kyai
Pleret dan Kyai Baruklinting, keris Kyai
Joko Piturun, dan lain sebagainya, adalah
ciri seorang raja yang mampu menguasai
kekuatan kosmis, sekaligus mampu menjadi penguasa. Pusaka-pusaka ini tidak boleh
meninggalkan gedung pusaka dalam kompleks kraton dan hanya dipertontonkan kepada khalayak pada saat-saat tertentu.
Raja memiliki seluruh ruang dalam alam
semesta, sehingga sebagai kerajaan feodal,
seluruh tanah di muka bumi menjadi milik raja. Sebagai penguasa dan pengendali
kekuatan kosmos, pemusatan kekuasaan
dan hak milik atas tanah sebagai sumber
kehidupan ini menempatkan kraton (kota
raja) sebagai pusat tatanan kosmos. Kraton
dengan seluruh lingkungan di sekitarnya
adalah pusat kosmos dan murni milik raja,
di mana raja tidak perlu berbagi dengan
rakyatnya. Karenanya, konsep private property tidak dikenal dalam sistem politik, sosial dan ekonomi kerajaan di Jawa.
Kotaraja sebagai pusat kosmos sekaligus pusat birokrasi dimengerti sebagai
kediaman raja. Selain pasar besar sebagai pusat perekonomian kerajaan, kantor
pusat administrasi, dan pusat kegiatan
agama berupa masjid besar, salah satu
ruang yang sangat penting bagi kotaraja
adalah alun-alun. Alun-alun adalah ruang
terbuka yang cukup luas yang berada tepat
di depan istana. Alun-alun adalah ruang
pamer kekuasaan raja yang termanifestasi
dalam bentuk upacara-upacara besar. Defile simbol-simbol kekuasaan raja dalam
bentuk gunungan yang melambangkan
kesejahteraan negara dan parade angkatan
bersenjata disertai pusaka-pusaka kraton
menjadi acara dominan. Seperti halnya semua ruang di seantero negeri, alun-alun
pun dianggap sebagai halaman luar rumah

10/30/2013 7:36:45 AM

174

Demokrasi dan Kekuasaan dalam Pandangan Hidup Orang Jawa

Vol I, 2013

sang raja, sehingga hanya raja yang berwenang menggunakannya. Rakyat tidak
bisa menggunakan alun-alun sesuka hati,
karena alun-alun bukanlah ajang dialog
tempat bersemainya bibit-bibit equality of
opportunity. Bahkan gerakan tapa pepe bukanlah manifestasi adanya ruang publik
dan demokrasi.
Tapa pepe adalah usaha terakhir ketika
rakyat sudah tak tahan lagi menghadapi
penindasan yang sangat berat. Tapa pepe
adalah suatu kejadian ketika sekelompok
orang duduk bersila di alun-alun sembari
menjemur diri di bawah terik matahari untuk melaporkan suatu ketidakadilan dan
penindasan yang mereka alami kepada
raja, atau setidaknya mereka mencoba untuk menarik perhatian raja. Mereka tidak
akan beranjak dari tempat mereka duduk
bersila hingga raja melihat dan memanggil perwakilan dari mereka untuk bicara.
Melakukan tapa pepe meresikokan nyawa
sendiri karena raja bisa saja tidak berkenan
dan mereka justru dihukum mati. Memilih
untuk melakukan tapa pepe adalah sebuah
pilihan semu, karena perjudian nasib ini
adalah usaha terakhir. Bila mereka tidak
melakukan hal itu, mereka tetap akan menghadapi kematian karena ketidakadilan dan
penindasan yang sedang mereka alami. Alih-alih tidak melakukan apapun dan ditindas sampai mati, lebih baik melakukan tapa
pepe meskipun beresiko dihukum mati bila
raja tak berkenan. Sampai titik ini, dialog
antara raja dan rakyat bisa dianggap tidak
pernah terjadi, karena keputusan tetap di
tangan raja dan ia tidak perlu mendengarkan rakyat yang memprotes dan mengajukan keberatan.

tiga cara. Cara pertama yaitu pembentuk


an polisi negara yang langsung berada di
bawah komando Sultan Agung. Selama
pemerintahannya, Sultan Agung memerintahkan dibentuknya polisi negara sebanyak
empat ribu personil dan mereka berada di
bawah kendali empat hakim militer yang
berkedudukan di kotaraja. Polisi negara ini
menjelajah seluruh negeri secara berkelompok bagaikan anjing pemburu untuk memata-matai seluruh aspek kehidupan para
penguasa daerah, bahkan yang terbesar
sekalipun. Mereka berhak menyidik tersangka dan para saksi, menuntut terdakwa,
menjatuhkan vonis, sekaligus melakukan
eksekusi.
Kekuasaan absolut Sultan Agung sebagai cerminan kekuasaan raja Jawa tergambarkan dengan jelas dalam tulisan H.J. De
Graaf (1986: 145 - 150) yang menceritakan
bahwa Sultan Agung pernah memerintahkan seorang pejabat tinggi kerajaan yang
dianggap berkhianat untuk dieksekusi
di tengah pasar kotaraja. Si pejabat ini dihukum dengan diikat pada sebuah tiang
di tengah-tengah pasar, kemudian algojo
merobek perut si pejabat menggunakan
keris yang beracun. Dalam keadaan sekarat ini, seluruh isi perut si pejabat dikeluarkan untuk dipertontonkan kepada khalayak. Berikutnya si pejabat ditinggalkan
begitu saja hingga menemui ajalnya. Pada
bab yang lain, diceritakan pula bahwa Sultan Agung memerintahkan untuk menghukum mati hampir semua panglima perang
yang gagal dalam ekspedisi penaklukkan
Batavia yang pertama. Cara kedua yaitu
melalui perkawinan politik yang piawai
antara para penakluk dengan yang ditaklukkan. Sedangkan cara ketiga adalah
para penguasa daerah (vassal) diharuskan
Kekuasaan Absolut Sultan Agung
tinggal di kotaraja selama beberapa bulan
Kekuasaan raja dalam kerajaan Jawa, ter dalam setahun, dan apabila mereka harus
utama di masa keemasan Mataram Islam kembali ke daerah asalnya, mereka harus
dipertahankan oleh Sultan Agung melalui meninggalkan setidaknya satu anggota ke-

06-ARYANING ARYA KRESNA.indd 174

10/30/2013 7:36:45 AM

Demokrasi dan Kekuasaan dalam Pandangan Hidup Orang Jawa

luarga inti sebagai jaminan loyalitas mereka. Konsekuensi dari cara ini adalah tidak
dimungkinkan adanya bangsawan pe
nguasa daerah yang benar-benar otonom.
Ciri khas aristokrasi dalam kerajaan
Jawa adalah meskipun beranggotakan
kerabat dekat atau orang kepercayaan raja,
namun mereka tidak berhak mengambil
keputusan. Sistem birokrasi yang dikembangkan pun lebih mengacu pada sistem
kemiliteran. Para penguasa daerah ditunjuk dan ditempatkan bukan berdasar pada
wilayah, namun berdasar pada kuantitas
individu manusia tinggal dalam wilayah
itu. Penguasa daerah yang loyalitasnya
baik akan menerima tanah yang luas sebagai konsekuensi kesetiaannya. Namun
raja tetap mengendalikan wilayah tersebut
secara ekonomis dengan cara menuntut si
penguasa daerah menyetor hasil panen dan
pajak. Raja memutuskan jenis panen apa
saja dan berapa banyak yang harus disetor
ke kotaraja. Secara politis, raja mengendalikan wilayah tersebut dengan cara memutuskan berapa banyak prajurit yang harus
diserahkan si penguasa daerah ketika raja
memaklumkan perang pada raja lain.
Sejarah akhirnya mencatat bahwa
kekuasaan raja Mataram sepeninggal Sultan Agung justru semakin melemah. Penyebab pertama adalah kekalahan raja-raja
penerus Sultan Agung dalam melawan
pemberontakan-pemberontakan para vassalnya sendiri. Pemberontakan Trunojoyo,
Untung Suropati, kerusuhan Cina sepanjang pesisir utara Jawa dan disusul de
ngan perang suksesi antar para keturunan
Sultan Agung membuat negara terpuruk
di semua bidang. Hal ini menyebabkan
redupnya sinar kekuasaan raja yang seharusnya bisa terus menerus dipancarkan
hingga ke pelosok-pelosok desa. Penyebab
kedua adalah penyerahan paksa wilayahwilayah strategis milik raja kepada VOC
untuk membayar ongkos perang suksesi.

06-ARYANING ARYA KRESNA.indd 175

aryaning arya kresna

175

Wilayah-wilayah yang jatuh ke tangan VOC


akhirnya diprivatisasi dan dikelola melalui
sistem birokrasi campuran antara VOC dan
para penguasa daerah. Raja tak lagi memiliki kedaulatan atas wilayah-wilayah ini,
sehingga ia dianggap semakin kehilangan
kekuatan kosmos yang dimilikinya.
Birokrasi Sipil dan Militer
Usaha VOC mengeksploitasi wilayahwilayah Mataram hasil premanismenya
menghadapi tantangan dari para penguasa daerah dan aparatnya. Tantangan pertama yang harus diatasi adalah perbedaan
sistem birokrasi antara VOC dan penguasa
daerah. Birokrasi sesuai pemikiran Weber
(Weber, 1921/1968: 956-958) sebenarnya
belum muncul pada saat VOC mulai menancapkan kukunya di Jawa. Oleh karena
itu, VOC menggandeng para vassal raja
Mataram sebagai partner in crime (Breman,
1986: 7 - 18). Sartono Kartodirdjo (dalam
Antlv and Cederroth, 2001: 35 40) menyatakan bahwa birokrasi sipil yang makin
lama makin modern dan profesional versi
VOC kadang kala tidak bisa bekerjasama
dengan baik dengan sistem birokrasi militer versi Mataram, seperti halnya kasus
Lebak dalam novel karya Douwes Dekker
yang berjudul Max Havelaar (1860).
Sistem birokrasi sipil VOC sering kali
tidak mampu menampung aspirasi sistem
birokrasi militer Mataram yang lebih eks
ploitatif terhadap desa-desa sebagai akibat
konsep kekuasaan Jawa yang dianutnya.
Para bupati, wedana dan lurah yang diangkat melalui sistem patrimonial, kadang
kala melahirkan sistem tertutup antar kerabat yang sangat sulit dimengerti oleh sikap
profesional para birokrat VOC, terutama
oleh mereka yang asli Belanda. Ketertutup
an ini kadang mengakibatkan birokrasi
VOC tidak mampu menembus dan tidak
bisa ikut campur tangan. Kadang kala ke

10/30/2013 7:36:46 AM

176

Demokrasi dan Kekuasaan dalam Pandangan Hidup Orang Jawa

dua sistem bersaing, dan kadang kala salah


satu menang dan yang lain kalah. Akhirnya
seringkali pula sebagai bentuk kompromi
antara keduanya, kedua sistem bekerja
tandem, sehingga desa harus menghadapi dua kekuatan eksploitatif yang sangat
kuat. Penindasan bersama ini mengakibatkan penderitaan yang luar biasa besar
bagi rakyat pedesaan Jawa, mengingat pajak yang harus ditanggung dan kewajiban
kerja paksa antara kedua kekuasaan itu
berlangsung pada saat yang bersamaan.
Kedua sistem yang eksploitatif ini paling
kentara jejaknya dalam masa Tanam Paksa
(Cultuurstelsel), 1830 - 1870.
Sejalan dengan revolusi bunga dan
politik etis yang digaungkan oleh intelektual politik bangsa Belanda, dan mulai
kuatnya paham sosialisme yang mengkritik perilaku menindas para kapitalis di
Eropa, Hindia Belanda sebagai tanah jajahan mulai ikut merasakan dampaknya. Pemerintah Hindia Belanda mencabut Sistem
Tanam Paksa, melakukan privatisasi agra
ria dengan intensif dan mulai mengikutsertakan para ahli waris penguasa daerah
dalam program-program pendidikan beserta didirikannya sekolah-sekolah untuk para putra kaum bangsawan Jawa ini.
Privatisasi agraria yang dilakukan VOC
sebenarnya lebih disebabkan karena VOC
tidak mempunyai sumber daya yang cukup untuk mengendalikan monopoli eks
por impor agrobisnis yang dijalankannya.
Sebab yang lain adalah usaha VOC untuk
tidak melucuti langsung kekuasaan para
penguasa daerah guna menghindari perlawanan langsung para bupati. Tujuan mendidik para putra bangsawan pada awalnya
memang bukan dalam rangka mencerdaskan kehidupan tanah jajahan, namun sekedar sebuah usaha untuk menembus sistem
birokrasi militer ala Mataram, sehingga pemerintah Hindia Belanda bisa turut campur di dalamnya. Selain itu tujuan program

06-ARYANING ARYA KRESNA.indd 176

Vol I, 2013

pendidikan ini adalah menciptakan buruh


murah yang mempunyai sikap profesional
sehingga membantu pemerintah Hindia
Belanda dalam usahanya mengokupasi
Jawa secara menyeluruh hingga ke pelosok
desa (Lubis: 1987: 79 - 89).
Desa dan Negara
Desa dan negara senantiasa penting dalam sejarah orang Jawa, karena kedua organisasi ini secara bersama memengaruhi
pola politik, sosial dan ekonomi seluruh
kerajaan. Desa dalam sejarah kerajaan Mataram memang sangat penting, mengingat
dinasti Mataram sering disebut sebagai dinasti petani yang berasal dari desa. Trunojoyo, setelah berhasil mengusir Susuhunan
Amangkurat II dari kraton Kartasura menyatakan:
Ratu Mataram iku dakumpamakake tebu,
pucuke maneh yen legiya, senajan bongkote
ya adhem bae, sebab raja trahing wong te
tanen, anggur macula bae bari angon sapi
Terjemahan:
Raja Mataram itu kuumpamakan tebu,
ujungnya pun tak manis, begitu juga pangkalnya, sebab ia raja keturunan petani, le
bih baik mencangkul saja sambil menggembalakan sapi (G. Moedjanto: 1987: 105)

Desa sebagai kesatuan politik terkecil menjadi tolok ukur tingkat kesuksesan
seorang raja dalam memerintah. Namun,
karena konsep kekuasaan raja memang absolut, homogen, masif dan terpusat, desa
akhirnya menjadi semacam sapi perahan.
Negara (atau lebih tepatnya raja) menguasai seluruh tanah desa, dan petani (yang
semuanya) penggarap hanya diupah se
suai panen yang dia dapatkan. Para lurah
desa mengumpulkan pajak berupa hasil
panen dan menyetorkannya kepada bupati. Selain itu, sebagai sebuah barak pra-

10/30/2013 7:36:46 AM

Demokrasi dan Kekuasaan dalam Pandangan Hidup Orang Jawa

jurit mandiri, apabila diperlukan akan diadakan mobilisasi umum untuk menyetor
prajurit ke medan laga demi kepentingan
raja. Hubungan negara dan desa memang
bersifat patron-klien, di mana negara menjadi pelindung desa (Wahono dalam Sosialismanto, 2001: xxii). Makna perlindungan
disini lebih bersifat negatif, senada dengan
istilah premanisme. Premanisme negara
ini akan kuat apabila posisi kekuasaan raja
juga kuat.
Tersebarnya kekuasaan berkat jasa
VOC melalui kebijakan privatisasi agraria,
bersamaan dengan melemahnya kekuasa
an raja bukan berarti bahwa kekuasaan berpindah ke tangan rakyat. Seiring melemahnya kekuasaan raja, premanisme negara
berubah menjadi premanisme penguasa
daerah dan pimpinan lokal. Penguasa
daerah yang mulai lepas dari tekanan pemerintah pusat berubah menjadi raja-raja
kecil. Bersamaan dengan itu muncullah
pemimpin-pemimpin lokal-informal yang
mulai berkuasa atas daerah-daerah tertentu. Kyai dan gentho mulai bermunculan
dan berebut pengaruh politik, sosial dan
ekonomi di tengah rakyat pedesaan Jawa.
Bersamaan dengan menyebarnya kekuasaan itu, muncullah ruang publik semu di
seantero wilayah jajahan VOC. Gentho adalah predikat negatif bagi seseorang yang
dianggap mampu menguasai kekuatan
kosmos dalam pengetian kekuatan untuk
memaksa orang lain memenuhi dan mematuhi kehendaknya dengan paksaan atau
kekerasan. Gentho sama artinya dengan preman. Meski mirip dengan fenomena Yakuza
dan Triad, namun bedanya gentho melakukan kegiatan kriminal berupa pemerasan,
pembunuhan dan perampokan tidak secara berkelompok (Slamet-Velsink dalam
Antlv dan Cederroth, 2001: 46 - 48).
Ruang publik semu di Jawa nampak
pada alun-alun kabupaten dan balai desa

06-ARYANING ARYA KRESNA.indd 177

aryaning arya kresna

177

pasca meredupnya kekuasaan raja-raja


Mataram anak cucu Sultan Agung. Ruang publik semu adalah sebuah ruang dimana semua orang dapat menggunakan
sesuka hati, asalkan tidak berdialog de
ngan semangat kebebasan dan persamaan
hak. Balai desa berubah fungsi dari ajang
pagelaran kekuasaan raja menjadi ajang
kontestasi kekuasaan antara penguasa formal dan pemimpin informal. Balai desa di
bawah kuatnya hegemoni kekuasaan raja
menjadi tempat disampaikannya perintah dari raja ke seluruh rakyat. Ketika hegemoni ini memudar, balai desa menjadi
wilayah yang hanya dapat dimanfaatkan
atas ijin para aparat desa dan pemimpin
lokal. Balai desa, makam desa, kantor lurah, masjid dan sekolah didirikan di atas
tanah bengkok yang notabene pada awalnya adalah tanah milik raja yang dipinjamkan kepada lurah dan aparatnya sebagai
ganti upah Tanah bengkok biasanya sangat
luas dan/atau terpecah-pecah dalam beberapa kawasan dalam suatu desa. Karena
luas dan terpecah-pecah, maka pendirian
makam desa yang jaraknya terpisah cukup
jauh dari kantor kelurahan, sekolah, dan
masjid dimungkinkan. Sementara balai
desa biasanya dibuat menyatu dalam satu
lokasi yang sama dengan kantor lurah,
atau setidaknya jarak antara balai desa dan
kantor lurah berdekatan. Tentu saja balai
desa yang didirikan di atas tanah bengkok
juga salah satu locus (tempat) yang dikendalikan oleh lurah.
Dialog antara rakyat dan aparat desa
terutama tetap saja tidak terjadi. Kritik memang dapat dilayangkan namun dialog
yang meluas tidak pernah terjadi karena
hanya para pemimpin lokal seperti gentho,
kyai desa dan sesepuh desa saja yang bisa
mengajukan kritik dan dianggap mampu
menyuarakan pendapatnya. Sementara
pembahasan dan diskusi untuk menang-

10/30/2013 7:36:46 AM

178

Demokrasi dan Kekuasaan dalam Pandangan Hidup Orang Jawa

Vol I, 2013

gapi kritik tidak berlangsung hingga tuntas. Diskursus yang muncul dalam balai
desa tetap saja menyangkut kekuasaan,
di mana para penentang kekuasaan lurah
mempertanyakan legitimasi menggunakan
kekuatan oposisi untuk menjatuhkan lurah,
dibanding melakukan kritik untuk menuju
ke suatu pemahaman yang lebih bersifat
konsensus dan kompromis. Balai desa memang tidak menjadi milik seluruh desa,
sehingga berpikir bahwa balai desa adalah
sebuah locus yang netral adalah mustahil.

manusia adalah berkontemplasi dan berefleksi secara khusus tentang dirinya sendiri
untuk mendapatkan pengetahuan tentang
perannya dalam hubungan antar individu.
Akhirnya, orang Jawa adalah obyek yang
tertelan oleh subyektifitasnya sendiri.
Jejak samar-samar dari ruang publik politis di Jawa hanya muncul ketika
kekuasaan berpindah dari satu tangan ke
tangan yang lain. Nampaknya pergantian
kekuasaan dari satu rezim ke rezim lain
di Indonesia selalu dimulai oleh kesamaan pandangan tentang kebebasan yang
diusung oleh suatu kelas berpendidikan
Demokrasi dan Ruang Publik Politis di barat. Namun setelah demokrasi direbut
Jawa
dan situasi tidak membaik, rezim otoriter
Ruang publik politis jejaknya selalu samar- dapat berkuasa kembali dengan mudah.
samar dalam sejarah Jawa. Ruang publik Bahkan meskipun seorang Habermas
politis memang asing bagi orang Jawa, ka meyakini bahwa ruang publik politis ha
rena pandangan dunia orang Jawa memang nya bisa diperoleh bila telah terjadi proses
berbeda dengan filsafat ala Barat. Pandang demokratisasi radikal (Habermas dalam
an dunia orang Jawa yang tidak memi- Wattimena, 2007: 125), sejarah menunjuksahkan kesadaran dirinya dari realitas, kan lain. Revolusi Kemerdekaan Indonemenghasilkan konsekuensi bahwa konsep sia 1945, Tritura 1966 dan Reformasi 1998
kekuasaan Jawa adalah salah satu perpan- tidak pernah mampu menciptakan sebuah
jangan tangan dari realitas. Menyatunya ke- ruang publik politis yang bertahan cukup
sadaran manusia dengan ruang menyebab- lama, sehingga menjadi locus bersemainya
kan kekuasaan (yang dalam filsafat Barat demokrasi. Soekarno, Soeharto, Megawati,
dianggap hanya sebagai sebuah sub-sistem Gus Dur dan terakhir Susilo Bambang Yuddari kehidupan manusia) adalah hasil resa- hoyono tidak mampu melepaskan diri dari
pan kekuatan kosmos yang hidup dan me- jeratan konsep kekuasaan Jawa. Bahkan benyatu dalam ruang itu. Pandangan dunia berapa waktu yang lalu, 7 April 2008, Presiorang Jawa berpendapat bahwa kekuasaan den SBY memarahi para pimpinan peme
akan selalu memenuhi ruang (seperti hal- rintah daerah (bupati) dan DPRD peserta
nya sub-sistem kehidupan lainnya), se Forum Konsolidasi Pimpinan Pemerintahhingga tidak akan pernah ada ruang yang an Daerah di Gedung Lembaga Ketahanan
cukup netral sebagai prasyarat terjadinya Nasional (Lemhannas)---diadakan di Istana
dialog. Membayangkan sebuah ruang yang Merdeka---karena mereka tertidur saat benetral pun orang Jawa tidak akan sanggup, liau sedang memberikan ceramah. Hal ini
justru karena ia adalah bagian dari ruang. nampaknya disebabkan oleh karena PresiBagi orang Jawa, sosialitas manusia adalah den SBY masih memahami konsep istana
hubungan antar subyek yang hidup ber- yang ditinggalinya sebagai istana Presiden,
sama dalam ruang yang dikooptasi oleh bukannya sebagai istana negara, apalagi
kepentingan sehingga yang bisa dilakukan istana rakyat.

06-ARYANING ARYA KRESNA.indd 178

10/30/2013 7:36:46 AM

Demokrasi dan Kekuasaan dalam Pandangan Hidup Orang Jawa

Daftar Pustaka
Breman, Jan. (1986). Penguasaan Tanah dan
Tenaga Kerja: Jawa di Masa Kolonial. Jakarta: LP3ES.
de Graaf, H.J. (1986). Puncak Kekuasaan Mataram (terj.) Jakarta: P.T. Pustaka Grafiti
Pers.
Hardiman, Fransisko Budi. (2003). Kritik
Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.
Kartodirdjo, Sartono. (2001). Berkembang
dan Runtuhnya Aristokrasi Tradisional
Jawa dalam Hans Antlov dan Sven
Cederroth (Tim editor). Kepemimpinan
Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter (terj.) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lombard, Denys. (1996). Nusa Jawa: Silang
Budaya jilid 3 (terj.) Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Lubis, Mochtar. (1987). Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Magnis-Suseno, Franz. (1984). Etika Jawa:
Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia.
Moedjanto, G. (1987). Konsep Kekuasaan
Jawa: Penerapannya oleh Raja-Raja Ma
taram. Yogyakarta: Kanisius.

06-ARYANING ARYA KRESNA.indd 179

aryaning arya kresna

179

_____ (2001). Pengantar dalam Hans


Antlv dan Sven Cederroth (Tim editor). Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter (terj.) Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Mulder, Niels. (2001). Individual and Society
in Java. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
_____ (2005). Mysticism in Java: Ideology in
Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Slamet-Velsink, Ina. (2001). Kepemimpin
an Tradisional di Pedesaan Jawa dalam Hans Antlov dan Sven Cederroth
(Tim editor). Kepemimpinan Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter (terj.)
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wahono, Francis. (2007) Bersekongkol
atau Saling Kontrol? dalam Duto Sosialismanto. Hegemoni Negara: Ekonomi
Politik Pedesaan Jawa. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Wattimena, Reza A. A. (2007). Melampaui
Negara Hukum Klasik. Yogyakarta: Kanisius.
Weber, M. (1921/1968). Economy and Society. (G. Roth dan C. Wittich, tim editor
sekaligus tim penerjemah.) Los Angeles: University of California Press. Teks
elektronik bisa diakses di http://www.
faculty.rsu.edu/users/f/felwell/www/
Theorists/Weber/Weber1921.pdf

10/30/2013 7:36:46 AM

Jurnal Ultima Humaniora, September 2013, hal 71-82


ISSN 2302-5719

Vol. I, Nomor 2

Pengajaran Pancasila untuk Mahasiswa dengan Metode


Partisipatoris Berbasis Imajinasi Rekonstruktif *)
HENDAR PUTRANTO
Universitas Multimedia Nusantara
Scientia Garden, Jl. Boulevard Gading Serpong, Tangerang Banten
Telepon (021) 54220808, ext. 3622
Surel: hendar.putranto2006@gmail.com
Diterima: 30 Juli 2013
Disetujui: 20 Agustus 2013

ABSTRACT
The method of teaching Pancasila for university students should be made more interesting, relevant, creative and non-indoctrinative today, more than ever. During New Order era, the teaching of Pancasila largely emphasized on the method of memorizing and reciting and also heavily
imbued with thick formality. The goal of this (new) approach is not to make university students
feel alienated and detached from Pancasila who some people would still call a relic of the past, but
rather, a participatory approach. A reading and close reflection of Nuova Scienza from Giambattista Vico yields to reconstructive imagination as a necessary tool and capacity for understanding
historical knowledge, such as Pancasila, in a participatory way. By promoting this reconstructive
imagination-based participatory approach, the internalization of Pancasila values and its re-actualization in daily lives of Indonesian citizens is facilitated. Having accumulated five years experience of teaching Pancasila and Citizenship at Multimedia Nusantara University, Tangerang, the
writer has tried to introduce this reconstructive imagination approach in explaining some teaching materials such as The Historical Birth of Pancasila, Pancasila as Philosophy and Ideology. The
students participative activities in doing various assignments also strengthen the case argued.
Keywords: pendekatan partisipatoris, pengetahuan yang menyejarah, imajinasi rekonstruktif, naskah pidato Pancasila versi Bung Karno dan Muh. Yamin, Ideologi Pancasila.

Pendahuluan
Pada hari Rabu, 1 Juni 2011, dalam rangka memeringati hari Kesaktian Pancasila,

mantan Presiden RI ke-3, Bacharuddin


Jusuf Habibie, menyampaikan pidato yang
menggugah audiens yang hadir. Bagian

*) Versi asli dari artikel ini dalam bentuk power point presentations pernah disampaikan dalam Kongres Pancasila V, 31
Mei 1 Juni 2013, di kampus Universitas Gadjah Mada. Abstrak artikel, dalam bahasa Indonesia, dimuat di Prosiding Kongres Pancasila 2013 (ISBN = 978-602-7918-01-6), hlm. 125. Versi lengkap artikel ini tidak dimuat dalam
Prosiding.

07-HENDAR PUTRANTO.indd 180

10/30/2013 7:37:11 AM

Pengajaran Pancasila untuk Mahasiswa dengan Metode Partisipatoris


Berbasis Imajinasi Rekonstruktif

awal pidato tersebut berbunyi sebagai berikut1,


Di manakah Pancasila kini berada? Pertanyaan ini penting dikemukakan karena
sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah
tenggelam dalam pusaran sejarah masa
lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila
seolah hilang dari memori kolektif bangsa.
Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dibahas, dan apalagi diterapkan, baik
dalam konteks kehidupan ketatanegaraan,
kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong
sunyi, justru di tengah denyut kehidupan
bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.
Sejak Reformasi bergulir pada 1998,
pengajaran, pembahasan dan sosialiasi Pancasila memang seolah-olah tenggelam di
tengah hiruk-pikuk agenda demokratisasi
rezim pemerintahan Republik Indonesia
dan dinamika kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa. Setahun setelah pidato
tersebut berlalu keluarlah Undang-Undang No. 12, tahun 2012, tentang Pendidikan Tinggi. Salah satu pasalnya (Pasal 35
ayat 3) membela dan mempertahankan keberadaan Pembelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan di tingkat Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia. Namun disayangkan
bahwa gaung keberadaan payung hukum
tentang sosialisasi formal Pancasila dan Kewarganegaraan ini sayup-sayup tidak sampai. Kembali energi bangsa tersedot oleh

hendar putranto

181

aneka macam isu politis dan keamanan


seperti terkuaknya pelbagai kasus korupsi
tingkat tinggi yang melibatkan sejumlah
petinggi partai (Demokrat dan PKS) serta
ketua Mahkamah Konstitusi, misteri sosok
Bunda Putri yang dikabarkan dekat de
ngan jajaran kabinet SBY, sengketa Pilkada
selama 2012 2013, kontestasi penetapan
partai politik sebagai peserta Pemilu 2014
oleh KPU, juga kisruh seputar DPT dan eKTP. Di hadapan semua gejala dan peristiwa yang terjadi di bumi pertiwi ini, sekali
lagi kita bertanya sebuah pertanyaan yang
mendasar, Quo vadis, Pancasila?
Sudah jamak dipahami bahwa normativitas pengajaran Pancasila dan Kewarganegaraan di tingkat PT merupakan
sebuah keniscayaan untuk membentuk
mahasiswa menjadi warga negara yang
memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air,2 dalam rangka pembangunan
mentalitas kebangsaan serta pewarisan
kemampuan hidup sebagai warganegara
yang baik (nation-building capacity). Terkait
dengan itu, sejauh menyangkut materi ajar
dan metode pengajaran Pancasila dan Kewarganegaraan, kita bisa melihat bahwa di
satu sisi, materi ajar Pancasila dan Kewarganegaraan di tingkat PT tidak mengalami
banyak perubahan. Hal ini merupakan se
suatu yang baik dalam arti penguatan identitas kebangsaan.
Di sisi lain, metode pengajaran Pancasila dan Kewarganegaraan terbilang
masih belum terlalu banyak disentuh oleh
pembaruan dan penyegaran3, belum cukup

Versi lengkap pidato Pancasila BJ Habibie tersebut bisa diakses di http://www.republika.co.id/berita/nasional/


politik/11/06/01/lm3gk2-ini-pidato-pancasila-bj-habibie-reaktualisasi-pancasila-dalam-kehidupan-berbangsa-dan-bernegara
dan http://news.detik.com/read/2011/06/01/113343/1651577/10/pidato-lengkap-bj-habibie-yang-memukau?n991102605.
Untuk versi rekaman videonya, bisa disaksikan di http://www.youtube.com/watch?v=WTkg5AFdsFU
2
Lih. bagian Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia, No. 12 Tahun 2012, tentang Pendidikan Tinggi, hlm.
81.
Beberapa pengecualian dapat dikatakan di sini, yaitu adanya sejumlah artikel atau naskah penelitian yang disertakan dalam Kongres Pancasila I s/d V, di mana penulis beruntung ikut serta dalam Kongres Pancasila V, 31 Mei 1
Juni 2013. Artikel-artikel berisikan pembaruan dan penyegaran metode Pengajaran Pancasila yang dimaksud, abstraknya dapat dilihat dalam Prosiding Kongres Pancasila V (2013), hlm. 120 143.

07-HENDAR PUTRANTO.indd 181

10/30/2013 7:37:11 AM

182 Pengajaran Pancasila untuk Mahasiswa dengan Metode Partisipatoris



Berbasis Imajinasi Rekonstruktif

dieksplorasi dan diperkaya, belum dibuat


jadi lebih menarik dan relevan, padahal
zaman terus bergerak dan kita sudah memasuki era digital dan Media Baru. Ketika
mahasiswa sekarang sudah mulai terbiasa
mencatat dengan menggunakan laptop,
tabs dan digital notes di dalam ruang kelas,
metode pengajaran dan pembelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan juga perlu diupdate agar tidak menjadi sekedar nostalgia masa lalu dan diacuhkan siswa karena
dirasa membosankan.
Lantas, apa yang harus dilakukan agar
metode pengajaran Pancasila dan Kewarga
negaraan jadi lebih menarik dan relevan
bagi para siswa didik di tingkat Perguruan Tinggi? Bagaimana caranya? Dua pertanyaan inilah yang meresahkan penulis
ketika mulai menulis artikel ini sejak beberapa bulan yang lalu. Dalam gerak bolak-balik antara telusur gagasan dan amatan lapangan, penulis berhipotesis bahwa
kurangnya pengayaan metode pengajaran
Pancasila dan Kewarganegaraan yang partisipatoris berbasis imajinasi rekonstruktif
adalah sebuah penyebab kurang menarik
dan kurang disukainya Mata Kuliah KWN
ini di Perguruan Tinggi.
Berikut paparan reflektif yang didasarkan pada pengalaman penulis selama
mengajar MK Pancasila dan Kewarganegaraan di Universitas Multimedia Nusantara
(Tangerang) sejak 2009 hingga sekarang
(2013) guna mengeksplorasi hipotesis sekaligus menjawab pertanyaan dan kegelisah
an tersebut.

Vol I, 2013

selama pengajaran MK Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas Multimedia


Nusantara, yang dilakukan sejak Semester Gasal tahun ajaran 2009 2010 sampai
dengan Semester Genap tahun ajaran 2012
- 2013.
Metode hermeneutika yang bersifat kritis evaluatif---yang awal mulanya
dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey (1833
1911) berlanjut sampai Hans-Georg Gadamer (1900 2002)---adalah sebuah metode ilmiah untuk mencari makna dan kebenaran dari sebuah teks atau peristiwa,
dengan tujuan memahami (verstehen) dan
bukan menjelaskan (erklren) fenomena.
Pemahaman tentang kebenaran adalah
peristiwa penyingkapan (aletheia) makna
yang terjadi secara terus menerus, sehingga
pada prinsipnya kebenaran itu bisa digali
dan ditemukan dalam aktivitas menafsir
(hermeneutic). Seorang penggiat dan penulis metode hermeneutika, Thomas Hidya
Tjaya, mengatakan bahwa
pengetahuan manusia tidak pernah berelasi langsung dengan realitas telanjang
pada dirinya, melainkan selalu dengan realitas dalam konteks kultural tertentu yang
dihidupi oleh manusia, dengan penafsirannya melalui tradisi dan asimilasi kontemporer yang dilaluinya. (Tjaya, 2005: 68).

Metode hermeneutika merupakan se


buah metode yang menarik sekaligus menantang untuk dipraktikkan dalam pengajaran dan pembelajaran Pancasila justru
karena sifatnya yang terbuka dan dinamis.
Metode hermeneutika tidak pernah memutlakkan makna suatu teks, entah itu,
Metode
sebagai missal, rumusan baku Pancasila seMetode yang digunakan dalam penelitian bagaimana termaktub dalam Pembukaan
kecil dan penulisan artikel ini adalah me- UUD45, maupun teks pidato rumusan
tode hermeneutika kritis-evaluatif yang Pancasila versi Bung Karno maupun versi
didasarkan pada amatan (observasi) terh- Muh. Yamin.
Sementara itu, berbicara tentang metode
adap penerapan metode partisipatoris berbasis imajinasi rekonstruktif di ruang kelas partisipatoris berbasis imajinasi rekon

07-HENDAR PUTRANTO.indd 182

10/30/2013 7:37:11 AM

Pengajaran Pancasila untuk Mahasiswa dengan Metode Partisipatoris


Berbasis Imajinasi Rekonstruktif

hendar putranto

183

struktif4 (untuk ringkasnya akan disebut


PBIR dalam artikel ini), penulis merujuk
pada pandangan Giambattista Vico (1668
1744), seorang filsuf bahasa dan sejarah
dari Italia sekaligus profesor retorika di
Universitas Napoli, yang terkenal dengan
adikaryanya Scienza Nuova (Sains yang
Baru). Alasan penulis memilih tokoh ini sebagai inspirator metode PBIR adalah karena dalam buku adi karyanya tersebut, Vico
menekankan pentingnya imajinasi untuk
memahami pengetahuan sejarah. Menurut
Ernst Cassirer (dalam Auxier, 1997), Vicolah pemikir pertama yang dengan sukses
mengaitkan bidang sejarah, kodrat manusia, dan matematika. Dalam Nuova Scienza,
Vico berpandangan bahwa

atau tindakan-tindakan orang lain sebab


manusia memiliki kapasitas pemahaman
yang imajinatif. Pengetahuan historis bukan sekedar pengetahuan tentang peristiwa, kejadian masa lalu, namun lebih pada
peristiwa-peristiwa sejauh mereka masuk
(menjadi bagian) ke dalam aktivitas manusia dan merupakan unsur dari biografi seorang individu atau sebuah kelompok.
Vico percaya bahwa dengan ber
upaya sangat keras, kita dapat memahami
masyarakat dan peradaban zaman batu
yang bercirikan dunia komunikasi yang
minim kata dan kalimat, namun kaya
akan gerak-gerik tubuh, isyarat, atau gambar. Yang kita butuhkan hanyalah imaginative faculty untuk dapat memahami sejarah
dari suatu kebudayaan, peradaban, yang
Dalam kabut kegelapan yang mencungterpisah jauh dari kita, baik dalam artian
kupi era kuno, bersinarlah nur kebenaran
waktu maupun tempat (Berlin, 1976: 30).
yang abadi: bahwa dunia masyarakat sipil
Dengan memperkenalkan dan memproitu sudah jelas-jelas dibuat oleh manusiamosikan metode modificazioni atau imagimanusia dan bahwa prinsip-prinsipnya
dapat ditemukan dalam modifikasi akal budi
native reconstruction of the historical facts ini
kita sendiri. (Vico, 1744: 361 dalam Berlin,
Vico mengkritik kecenderungan berpikir
1976: 27)
para tokoh intelektual pada zaman itu, baik
mereka yang mendukung teori Natural Law
Yang dimaksud Vico dengan modifikasi atau kontrak sosial (Hobbes, Locke, Rousdi sini ialah tahap-tahap pertumbuhan, seau) maupun para rasionalis semacam
cakupan, atau arah, dari pikiran manusia, Descartes dan Spinoza, yang kukuh berpeimajinasi, kehendak, perasaan yang de gang pada asumsi mengenai kodrat manungannya manusia dapat masuk ke dalam sia yang ajeg, yang tidak pernah berubah
alam pikiran orang-orang tertentu, di tem- sekali dan selama-lamanya, yang berlaku
pat tertentu, pada era tertentu. Memodi- universal pada umat manusia sepanjang
fikasi akal budi kita sendiri, atau dalam segala zaman.
Keyakinan akan kodrat manusia yang
istilah asli Vico disebut sebagai Dentro
le modificazioni della medesima nostra mente ajeg pada gilirannya dapat mengarahkan
umana, merupakan kartu truf Vico untuk kita pada argumen reductio ad absurdum.
membulatkan filsafat sejarahnya. Tidak Sejarah bukanlah proses linier dalam loop
hanya sekedar mengetahui fakta (prinsip tertutup. Sejarah perlu lebih dimengerti severum/factum), tugas manusia lebih terle- bagai nascimento, proses kelahiran kembali,
tak pada memahami motivasi-motivasi coming-into-being, lagi dan lagi, dari cara

Berlin, dalam Verene (1991: 125), mengajukan istilah reconstructive fantasia guna membahasakan metode yang
digunakan Vico untuk memahami fakta dan peristiwa sejarah dengan menggunakan daya imajinasi rekonstruktif.

07-HENDAR PUTRANTO.indd 183

10/30/2013 7:37:11 AM

184 Pengajaran Pancasila untuk Mahasiswa dengan Metode Partisipatoris



Berbasis Imajinasi Rekonstruktif

manusia memahami baik dirinya sendiri


maupun tindakan manusia secara kolektif,
tidak hanya pada zamannya saja namun
juga pada zaman dan tempat tertentu, berkat bantuan rekonstruksi imajinasinya serta dibimbing oleh penyelenggaraan ilahi
atau daya kreatif Roh Ilahi (Berlin, 1976:
35). Memahami sejarah dengan demikian
bukanlah melulu amatan terhadap gerak
objektif fakta dan peristiwa dalam kronologi namun justru pelibatan imajinasi rekonstruktif yang sudah selalu mengundang
sekaligus mengandung kebaruan dan kemenjadian.
Isaiah Berlin mengakui dan memuji
orisinalitas pemikiran Vico tentang pengetahuan sejarah (historical knowledge) sebagai
berikut,
[berbicara tentang Vico] Ketika berpikir
tentang masa lalu, kita bergerak melampaui
perilaku; kita ingin memahami bagaimana
mereka (manusia) hidup pada waktu itu,
juga memahami motif-motif, ketakutan
dan harapan, ambisi dan cinta dan kebencian Kita dapat melakukan ini karena
kita sendiri juga manusia dan memahami
dunia batin kita sendiri yang terkait dengan
istilah-istilah ini tadi. (Berlin, 2002: 7)

Berangkat dari serpih gagasan di atas,


pantas dipertanyakan dan direnungkan
kembali, sudahkah inspirasi dari pemikiran
Vico dan penafsirannya oleh Isaiah Berlin ini berlaku dan diberlakukan dalam
metode pengajaran ilmu-ilmu sosial yang
berbasis pada pengetahuan sejarah seperti
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan?
Metode pengajaran yang umum berlaku di Indonesia sampai saat ini cenderung
masih merujuk pada model taksonomi
Bloom, yang memberikan arah serta tekanan tujuan pendidikan pada tiga wilayah
(domain), yaitu: Kognitif, Afektif dan Psikomotorik (Bloom, 1956; Krathwohl, Bloom,

07-HENDAR PUTRANTO.indd 184

Vol I, 2013

& Masia, 1956.) Apa yang masih kurang


dari pembelajaran dengan menggunakan
model taksonomi Bloom ini? Kemampuan
berimajinasi (faculty of imagination). Di sinilah pentingnya sumbangan pemikiran Vico
tentang pengetahuan sejarah dan peran kemampuan imajinasi rekonstruktif manusia
untuk melengkapi taksonomi Bloom.
Mengapa disebut imajinasi rekonstruktif? Apa yang khas dari pendekatan ini dibandingkan pendekatan sejenis
(misalnya, active learning atau CBSA)?
Pendekatan imajinasi rekonstruktif, mengajak peserta didik dengan difasilitasi oleh
dosen untuk masuk lebih ke dalam dari
apa yang nampak (phenomenon) dalam
teks atau gambar. Peserta didik diundang
untuk memodifikasi pikiran mereka dan
berimajinasi, seperti apa rasanya hidup,
merasa, berpikir, berharap, berbincang,
berdebat, pada zaman pra-kemerdekaan
RI, pada tahun-tahun formulasi Pancasila,
terutama sejak Sidang BPUPKI 29 Mei 1945
sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan
RI dan sehari sesudahnya, saat rumusan
Pancasila yang sah akhirnya termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Berimajinasi
di sini bukan aktivitas mengkhayal dan
melantur (daydreaming), melainkan, seperti
disampaikan Vico di atas, aktivitas untuk
memahami baik teks maupun konteks, isi
maupun mood yang menyertai Proses Kelahiran Pancasila dan setelahnya.
Hasil dan Pembahasan
Ketika pertama kali mengajar PKN di tingkat Perguruan Tinggi (September 2009),
terus terang penulis merasa gamang dan
kurang percaya diri, mengingat luhur dan
mulianya materi ajar yang disampaikan,
yang sayangnya sudah terkontaminasi bias
ideologis rezim Orde Baru di bawah Soeharto yang pernah menjadikan Pancasila
sebagai alat politik untuk mempertahank-

10/30/2013 7:37:11 AM

Pengajaran Pancasila untuk Mahasiswa dengan Metode Partisipatoris


Berbasis Imajinasi Rekonstruktif

an status quo kekuasaan dan indoktrinasi


pemaknaan Pancasila lewat penataran P4.
(Azra, 2010: 10). Akan tetapi, syukurnya,
berkat latihan teater yang diikuti selama
dua tahun selama di bangku kuliah (2001
2002), juga naik ke atas panggung untuk
pementasan naskah, penulis merasa tertantang untuk memadukan keterampilan dan
pengetahuan yang sudah dimiliki tentang
dasar-dasar teknik teater ke dalam metode
pengajaran. Kesempatan itu datang ketika
masuk ke materi ajar Kelahiran Pancasila dan Ideologi Pancasila. Pada materi
ini, ruang untuk berimajinasi dan berekspresi terbuka lebih luas mengingat siswa
didik diajak untuk masuk menyelami alam
pikiran masa lalu sambil senantiasa berpijak pada kekinian dan aktualitas zaman.
Meskipun mendapat resistensi kecil di
awal introduksi metode ini dari sejumlah
peserta didik, misalnya komentar, wah,
repot, Pak atau wah, sulit juga ya membayangkan bagaimana Bung Karno, Muh.
Yamin, atau Moh. Hatta waktu itu berpidato dalam sidang BPUPKI, namun penulis
sebagai pengajar bergeming. Pemahaman
sejarah yang dicapai lewat imajinasi rekonstruktif partisipan lebih menantang untuk
dilakukan daripada bertahan menggunakan metode konvensional seperti kuliah

Nomenklatur parameter

Tingkat kesulitan preparasi


Tingkat imajinasi yang
dibutuhkan

hendar putranto

185

mimbar atau dikte. Kebiasaan (habit) peserta didik untuk menggeluti metode baru
ini masih bisa dibentuk asalkan ada visi
yang memandu, kepercayaan kuat, dan
dosen yang asertif.
Berdasarkan metode PBIR yang dipercaya penulis dapat meningkatkan respon
dan ketertarikan mahasiswa pada materi
ajar Pancasila dan Kewarganegaraan, berikut adalah sejumlah aplikasinya yang sudah diuji-cobakan di ruang kelas:
1. Mahasiswa melakukan pementasan
teatrikal ideologi Pancasila berhadaphadapan dengan sejumlah ideologi besar dunia lainnya (liberalisme, kapitalisme, komunisme, marxisme, fasisme,
dan sosial demokrat).
2. Dosen bersama-sama mahasiswa membaca naskah asli pidato Pancasila versi
Bung Karno dan versi Muh. Yamin, lalu
kedua naskah tersebut dipresentasikan
di depan kelas secara kreatif dan menggugah.
3. Pembuatan website ideologi Pancasila
yang di dalamnya diisi dengan gambar,
wawancara, video, dan artikel.
Dari tiga model aplikasi di atas, berikut
adalah perbandingannya dalam bentuk
bagan:

Teatrikal Ideologi Pan-

Membaca ulang dan

Pembuatan website

casila vis--vis ideologi-

merepresentasikan teks

Ideologi Pancasila

ideologi besar dunia

pidato Bung Karno dan

(http://id-one.wix.com/

lainnya

Muh. Yamin

manuk-dadali)

Tinggi

Sedang

Tinggi

Tinggi

Sedang

Sedang

Sedang

Rendah

Sedang

Sedang (diskontinyu)

Sedang (diskontinyu)

Tinggi (kontinyu)

Tinggi

Sedang

Rendah

Tingkat keterlibatan (partisipasi) semua anggota


kelompok
Retensi pengetahuan dan
pemahaman post-event
Efek dramatis

07-HENDAR PUTRANTO.indd 185

10/30/2013 7:37:11 AM

186 Pengajaran Pancasila untuk Mahasiswa dengan Metode Partisipatoris



Berbasis Imajinasi Rekonstruktif

Sejumlah amatan dan catatan evaluatif:


1. Perbedaan kualitatif rendah, sedang,
dan tinggi didasarkan pada hasil amatan penulis sebagai dosen, baik di
dalam ruang kelas selama semester
berjalan maupun sesudahnya (dalam
percakapan sehari-hari ketika bertemu
di kantin, di selasar, di saat-saat santai
non-formal). Selain itu, juga didapatkan feedback dari mahasiswa baik secara
lisan maupun tertulis setelah metode
ini diuji-cobakan.
2. Beberapa print-screen dilampirkan di
bagian akhir untuk menguatkan objektivitas temuan sekaligus sebagai langkah awal untuk proses koroborasi dan
triangulasi hasil temuan.
3. Feedback tertulis dari mahasiswa me
ngenai kinerja dosen dalam pengajaran
Mata Kuliah ini, berupa kuisioner isian
(format kuisioner dibuat oleh BAAK
UMN) menunjukkan hasil memuaskan (dalam rentang skala 2.80 3.40
dari 0 4.00)
4. Masih ada sejumlah aplikasi lainnya
dari metode PBIR, seperti pembuatan
video (stop motion, animasi maupun
live) yang didahului dengan riset kecil serta turun ke lapangan (contohnya
untuk Materi Ajar: Multikulturalisme,
Demokrasi), games I, You, We and
They (materi ajar: Identitas Nasional
dan Multilkulturalisme), namun hal
tersebut tidak dielaborasi dalam artikel
ini dikarenakan keterbatasan ruang
penyampaian dan fokus pembahasan
pada tiga jenis aplikasi di atas.
5. Kendala yang ditemukan dalam pelaksanaan metode partisipatoris berbasis
imajinasi rekonstruktif di kelas adalah:
a. Daya imajinasi yang berbeda-beda
antara siswa yang satu dengan lainnya. Ada siswa yang antusias, hidup,
dan out of the box dalam berimajinasi, ada juga yang masih inside the
box dan kurang antusias,

07-HENDAR PUTRANTO.indd 186

Vol I, 2013

b. Sulitnya siswa masuk dan memodi


fikasi akal budi mereka ke dalam
alam pikiran Indonesia tahun 1945
sehingga daya imajinasi mereka
tentang peristiwa-peristiwa sejarah
tersebut relatif kurang berkembang
sesuai harapan penulis sebagai
pengajar,
c. Kesulitan dosen untuk menembus
bahkan membongkar zona nyaman
siswa yang sudah terbiasa (dibiasakan para guru Kewarganegaraan
sejak bangku SD?) dengan model
Taksonomi Bloom yang bertumpu
pada dimensi Kognitif, Afektif dan
Motorik, minus imajinasi, apalagi
imajinasi rekonstruktif untuk mencapai pemahaman sejarah.
d. Mekanisme penilaian (scoring) hasil
imajinasi rekonstruktif (dalam bentuk theatrical performance atau imaginative speech recital, atau pembuatan
website Pancasila yang kreatif dan
interaktif) yang masih belum baku
serta terstandarisasi sehingga kecenderungan subjektif dalam menilai masih sulit dielakkan penulis.
Kesimpulan
Dari feedback lisan maupun tertulis yang
disampaikan mahasiswa kepada penulis,
sebagian besar dari mereka merasa terkesan
dan bersemangat mengikuti Mata Kuliah
Pancasila dan Kewarganegaraan. Artikel
ini, meskipun tidak memerinci langkah
demi langkah pengajaran Pancasila yang
menggunakan metode PBIR, diharapkan
sudah memberikan gambaran awal soal
pentingnya metode PBIR ini. Bukan hanya
membuat suasana pembelajaran di ruang
kelas menjadi lebih hidup dan bergairah,
namun juga, dalam jangka panjang, kesan
tentang Pancasila (proses, tokoh, peristiwa,
filsafatnya) menjadi lebih positif dan melekat di sanubari siswa didik. Pada giliran-

10/30/2013 7:37:11 AM

Pengajaran Pancasila untuk Mahasiswa dengan Metode Partisipatoris


Berbasis Imajinasi Rekonstruktif

nya nanti, ketika ditanya orang asing dan


orang yang mengasingkan serta mencemooh Pancasila, mereka dapat dengan
bangga dan percaya diri dapat menjelaskan bahwa upaya mengenali dan mencintai Pancasila tidaklah semembosankan dan
se-indoktrinatif seperti yang awalnya mereka sangka. Bukankah tidak ada satu usaha
pun yang mudah untuk mendapatkan serta
berbagi cinta yang sejati dan mendalam?
Sekiranya imajinasi diberikan ruang
yang lebih luas, intensif, dan ekstensif
dalam pengajaran dan pembelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan, mungkin saja
kita tidak perlu terlalu khawatir Pancasila
dibahas dalam ruang-ruang sempit dan
pengap ... penghayatan dan pengamalan
Pancasila menjadi kedodoran ... (mengalami) existential vacuum, (bahkan) masuk
angin dan merana. (Bagun, 2010: xviii).
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict. ([1983] 1996). Imagined
Communities: Reflections on the Origins
and Spread of Nationalism. New York
dan London: Verso.
A.Sudiarja, G. Budi Subanar, St. Sunardi
dan T. Sarkim. Tim Penyunting. (2006).
Karya Lengkap Driyarkara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam
Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Auxier, Randall E. (1997). Imagination
and Historical Knowledge in Vico: A
Critique of Leon Pompas Recent Work
dalam HUMANITAS, X (1). (bisa diakses
di http://www.nhinet.org/auxier2.htm)
Azra, Azyumardi. (2010). Revisitasi Pancasila dalam Rindu Pancasila. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, hlm. 9 12.
Bagun, Rikard. (2010). Pancasila Janganlah Diabaikan dalam Rindu Pancasila.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm.
xvii xx.

07-HENDAR PUTRANTO.indd 187

hendar putranto

187

Bloom, B.S. (Ed.) (1956). Taxonomy of educational objectives: The classification of


educational goals: Handbook I, cognitive
domain. New York, Toronto: Longmans,
Green.
Berlin, Isaiah. (1976). Vico and Herder: Two
Studies in the History of Ideas. London:
The Hogarth Press.
_____. (2002). The Power of Ideas. Princeton:
Princeton University Press.
Caponigri, A. R. (1968). Time and Idea: The
Theory of History in Giambattista Vico.
Notre Dame: University of Notre Dame
Press.
Hogg, Jonathan. (2004). The Ambiguity
of Intellectual Engagement: Towards
a Reassessment of Isaiah Berlins Legacy, dalam Jurnal on-line ERAS, Edisi
6, Nov. 2004. Diakses dari http://www.
arts.monash.edu.au/publications/eras/
edition-6/hoggarticle.php oleh Hendar
Putranto, pada 11 September 2013 pukul 15.48 WIB
Krathwohl, D., Bloom, B., & Masia, B.
(1956). Taxonomy of educational objectives.
Handbook II: Affective domain. New York:
David McKay.
Kresna, Aryaning Arya, Agus Riyanto, dan
Hendar Putranto. (2012). Pendidikan
Kewarganegaraan (Civics). Tangerang:
UMN Press.
Tjaya, Thomas Hidya. (2005). Hermeneutika Tradisi dan Kebenaran dalam Tjaya, T. H. dan Sudarminta, J. Menggagas
Manusia sebagai Penafsir. Jogjakarta: Kanisius, hlm. 59 83.
Verene, Donald Phillip. (1991). Vicos Science of Imagination. Cornell (USA): Cornell University Press.
Vico, Giambattista. ([1744] 1948). The New
Science (Nuova Scienza). Diterjemahkan
dari edisi ketiga (1744) oleh Thomas
Goddard Bergin dan Max Harold Fisch.
Ithaca, New York: Cornell University
Press.

10/30/2013 7:37:11 AM

188 Pengajaran Pancasila untuk Mahasiswa dengan Metode Partisipatoris



Berbasis Imajinasi Rekonstruktif

Vol I, 2013

Lampiran foto dan print-screen (website):

07-HENDAR PUTRANTO.indd 188

10/30/2013 7:37:11 AM

Pengajaran Pancasila untuk Mahasiswa dengan Metode Partisipatoris


Berbasis Imajinasi Rekonstruktif

07-HENDAR PUTRANTO.indd 189

hendar putranto

189

10/30/2013 7:37:12 AM

190 Pengajaran Pancasila untuk Mahasiswa dengan Metode Partisipatoris



Berbasis Imajinasi Rekonstruktif

07-HENDAR PUTRANTO.indd 190

Vol I, 2013

10/30/2013 7:37:12 AM

Pengajaran Pancasila untuk Mahasiswa dengan Metode Partisipatoris


Berbasis Imajinasi Rekonstruktif

07-HENDAR PUTRANTO.indd 191

hendar putranto

191

10/30/2013 7:37:12 AM

Jurnal Ultima Humaniora, September 2013, hal 83-102


ISSN 2302-5719

Vol. I, Nomor 2

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran


OSCAR JAYANAGARA
Universitas Multimedia Nusantara
Jl. Boulevard Gading Serpong, Scientia Garden, Tangerang - Banten
Telpon: 021-54220808 ext. 3510
Surel: oscar_jn2001@yahoo.com
Diterima: 31 Juli 2013
Disetujui: 14 Agustus 2013

ABSTRACT
Videography as a learning tool is an effective way to influence and to inspire audiences. Objectively, videography can be called as an Applied Science. The major problem with learning videography
as a science is that to understand the function of one phase or one piece of equipment, we should
already know all of the others. As an object, this article provides an overview of the initial technical
television production process, and three phases of production. As a subject, videography emphasizes on the learner. To support the learner who is concerned to obtain the knowledge, this article
gives an exploration of cognitive, affective, and psychomotor Blooms Taxonomy of Educational
Objectives. The learning outcomes represent the level of understanding, intellectual, creativity,
and behavior.
Keywords: Videography, learning tool, phases, pre production, production, post production,
Blooms Taxonomy

gitu melekat dan menjadi bagian yang tidak


Video, menurut Kamus Besar Bahasa In- terpisahkan dari kehidupan manusia. Dari
donesia Edisi Ketiga, adalah rekaman pagi sampai malam hari, baik di rumah, di
gambar hidup atau program televisi un- sekolah, di kampus, di jalan-jalan, di rumah
tuk ditayangkan lewat pesawat televisi makan, di mal, di Anjungan Tunai Mandi(KBBI, 2007: 1261). Walaupun anak kali- ri melalui berbagai peralatan elektronik
mat ditayangkan lewat pesawat televisi ini da- di sekitar kita, seperti telepon genggam,
pat diperdebatkan lebih jauh1, tidak bisa televisi, layar digital besar di persimpandipungkiri bahwa tayangan video telah be- gan jalan maupun di dinding mal, laptop,
Pendahuluan

Di era digital abad ke-21, video dalam bentuk klip, iklan layanan masyarakat, iklan pariwara, film pendek, dan
lain-lainnya, tidak hanya ditayangkan lewat pesawat televisi, tetapi juga lewat media lain seperti telepon genggam,
laptop, komputer, bioskop, anjungan tunai mandiri, layar LCD raksasa, dan sebagainya (Millerson dan Owens, 2008:
1-2). Baca juga Reardon, N. (2006).

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 192

10/30/2013 7:37:39 AM

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

komputer, bioskop, kita disuguhi tayang


an video terus menerus. Tayangan video
tersebut bisa berupa tayangan edukasi,
tayangan tutorial, tayangan dokumentasi,
tayangan berita, tayangan porno, tayangan
hiburan, dan sebagainya. Entah tayangan
visual tersebut memiliki kandungan yang
tersurat ataupun tersirat, yang pasti pesan yang terkandung akan membentuk
persepsi audiens.
Video sebagai hasil akhir program televisi tidak bisa dipisahkan dari sistem penyiaran dunia (World Broadcasting System).2
Saat menyaksikan acara televisi di kanal
televisi daerah, kanal televisi nasional,
kanal televisi internasional, kanal televisi
berbayar, seseorang akan melihat sebuah
karya audio visual dalam bentuk video.
Program acara yang ingin ditonton bisa
berupa program News (Dunia Dalam Berita
TVRI, Halo Bandung Pagi PJTV Bandung, Seputar Indonesia RCTI, Reportase Pagi Trans TV,
dan seterusnya), program Documentary (Nat
Geo Wild National Geographic, Storm Chasers
Discovery Channel, Call of The Wild Man Animal Planet, The Life of Andy Murray BBC, dan
seterusnya), program Feature (Hidden Story
BBC, Maestro Metro TV, Jejak Nusantara Kompas TV, dan seterusnya), Talkshow (Kampus
100 Kompas TV, Kick Andi Metro TV, Bukan
Empat Mata Trans 7, dan seterusnya), Game
Show (Temukan Kata Kompas TV, Ranking
Satu Trans TV, dan seterusnya), Film (FTV
Pagi Indosiar, Big Movies Global TV, dan seterusnya), Reality show (Minta Tolong RCTI,

oscar jayanagara

193

Termehek-mehek Trans TV, dan seterusnya),


Komedi (Stand Up Comedy Kompas TV, Opera Van Java Trans 7, dan seterusnya), Talent
Scot (Indonesia Mencari Bakat Trans TV, Indonesian Idol RCTI, dan seterusnya), Program
Musik (K 20 Kompas TV, Dahsyat RCTI, dan
seterusnya), program religi (Solusi SCTV,
Tukang Bubur Naik Haji RCTI, dan seterusnya), program anak (Spongebob, Nickolodeon, Doraemon RCTI, Bolang: Bocah petualang
Trans TV, dan seterusnya), program remaja
(Dahsyat RCTI, Putih Abu-Abu SCTV, dan
seterusnya), program dewasa (Obat Malam
RCTI, Para Pencari Tuhan SCTV, dan seterusnya), dan berbagai program lainnya.
Di luar penyiaran radio, sistem penyiaran di seluruh dunia sekarang ini tidak
bisa lepas dari tayangan video. McKernan
menyebutnya sebagai sebuah Era Videografi, The Age of Videography (McKernan,
1996). Video tidak hanya mendominasi
dunia penyiaran, tetapi juga sudah merambah dunia teknologi informasi.3 Seseorang
yang tidak punya televisi di rumahnya dan
ingin menyaksikan program televisi kesukaannya, dapat pergi ke warung internet
dan menyewa komputer untuk menyaksikan tayangan tunda (Extended version),
tayangan regular (Series or Single Regular
Show), tayangan berbayar (Video on Demand), maupun tayangan langsung (Live
Show), sebuah acara televisi melalui streaming internet. Stasiun-stasiun televisi daerah
nasional, maupun internasional memanfaatkan betul VideoBlog, Website, YouTube,

World Broadcasting System Television / Video Formats: NTSC (National Television System Committee)
PAL (Phase Alternate Line) PAL / SECAM, and SECAM (Sequential and Memory) http://www.dcamediasolutions.com/
video-conversions/web-world-broadcasting-system.pdf
3
Teknologi Informasi berkorelasi erat dengan internet. Dibawah ini ada beberapa contoh berita (tayangan video) yang
dimuat oleh CNN melalui Internet: Googles Android operating system will face its first big court challenge on Monday as a
trial gets under way in California to consider a claim from software group Oracle that could top $1bn (April 16, 2012). A cloudcomputing company is building what it calls the worlds first zero-emission data center in Iceland (September 28, 2011).
http://topics.cnn.com/topics/information_technology. Lihat juga berita atau dokumentari di BBC: http://uit.co.nz/
news/bbc-technology
2

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 193

10/30/2013 7:37:39 AM

194

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

Cloud Computing System, dalam menyimpan dan menayangkan program-program


acara televisi mereka.
Video kini telah merambah wilayah
telekomunikasi (Telecommunication System).4
Antara tahun 19902000, orang mengenal
telepon genggam sebagai alat komunikasi
jarak jauh nirkabel. Tetapi kemudian, memasuki abad ke-21 terjadi penemuan yang
fenomenal, telepon genggam tidak hanya
berfungsi sebagai alat komunikasi jarak
jauh, melainkan juga dapat berfungsi sebagai televisi mini (Small TV Device) yang
dapat menerima/menangkap siaran televisi secara regular maupun live-streaming.
Seseorang yang ingin menyaksikan acara
televisi kesukaannya tidak lagi dibatasi
oleh ruang, tetapi juga dapat menonton di
luar ruangan seperti di taman, di parkiran
motor, sedang menunggu antrian panjang,
dan sebagainya. Selain itu fasilitas kamera perekam video pada beberapa telepon
genggam juga memudahkan seseorang
melakukan tatap muka jarak jauh (Long
Distance Video Conference), pembelajaran jarak jauh melalui audio visual (Long Distance
Learning through Audio Visual). Dalam kapasitas terbatas, beberapa telepon genggam
bahkan dapat mengunduh dan mengunggah tayangan-tayangan video dengan mudah.

Vol I, 2013

Video juga telah merambah perempatan-perempatan jalan besar, serta dinding


kaca atau atap mal-mal besar5. Di kota-kota metropolitan di seluruh dunia, seperti
Kuala Lumpur, Beijing, Tokyo, Manila,
Bangkok, New York, London, Sydney,
Paris, Milan, Jakarta, dan lainnya, di se
tiap perempatan jalan besarnya terdapat
pariwara berbentuk layar besar berisi Video
Commercials. Pariwara berbentuk Billboard
(Still Image) telah berganti menjadi Motion
Picture Commercial. Bahkan di perempatanperempatan jalan utama kota-kota satelit/
kota-kota penyangga (Sub-Urban City),
layar super besar yang menayangkan Video
Commercials tersebut dapat dengan mudah kita jumpai. Industri pariwara telah
memanfaatkan tayangan-tayangan video
sedemikian rupa, yang tentu saja pada
akhirnya melahirkan banyak pekerja seni
kreatif dan memajukan industri itu sendiri.
Singkat kata, video tanpa disadari maupun
disadari telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Di Amerika Serikat,sebuah karya video bernama Sesame Street6 dipakai sebagai
sarana untuk pembelajaran, sarana untuk
mengedukasi masyarakat.7 Program video
serial dengan target audiens anak-anak
(usia 3 6 tahun) yang diciptakan Joan
Ganz Cooney dan Lloyd Morrisett tahun

Sistem telekomunikasi disetiap negara atau regional berbeda perusahaan penyedia jasanya. Di Indonesia telepon
pintar (Smart Phone) BlackBerry (BB) memakai jasa perusahaan RIM (Research In Motion) dalam menjalankan sistem
operasi (Operating system) telekomunikasi-penyiarannya, termasuk mengunggah dan mengunduh video, menonton
siaran langsung TV (Life Streaming TV), berselancar (Browsing) di Internet, dan sebagainya. Di Eropa memakai jasa
ESTEC (European Space Agencys Testing Center) SmallGEO dari Belanda: Untuk lebih jelasnya, bisa dikunjungi laman
berikut http://www.esa.int/esaTE/SEM1HGKTYRF_index_0.html
5
Allan M Brandt baru berusia tujuh tahun ketika orang tuanya mengajaknya ke New York pada tahun 1961, dan sebagai anak kecil, ia terkagum-kagum menyaksikan baliho raksasa Camel Man, ikon rokok Camel, berada di atas Times
Square sambil tak henti mengepulkan cincin-cincin asap (Lih. Brandt.(2007). The Cigarrete Century: The Rise and Fall,
and Deadly Persistence of the Product that Defined America.Harvard Publisher).
6
Sesame Street was conceived in 1966 during discussions between television producer Joan Ganz Cooney and Carnegie Foundation vice president Lloyd Morrisett. Their goal was to create a childrens television show that would master the addictive qualities of television and do something good with them (Davis, 2008: 8)
7
Menurut Michael Davis, di pertengahan tahun 1970-an, the show had become an American institution (Davis, 2008:
220).

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 194

10/30/2013 7:37:39 AM

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

1966 dan ditayangkan perdana pada 10


November 1969 ini dikenal dengan konten
pembelajaran, kreatifitas komunikasinya
yang unik menggunakan boneka muppet
Jim Henson, animasi, film pendek, humor,
dan memakai pendekatan kajian budaya.
Lewat tayangan video, anak-anak
Amerika diajak bermain sambil belajar
tentang angka, huruf, warna, bentuk, gambar, waktu, ruang, kehidupan sehari-hari,
dan sebagainya. Video dengan pendekatan
pembelajaran yang unik ini sangat disukai
audiens Amerika, sampai-sampai pemerintah federal Amerika Serikat turut mendanai
pembuatannya bersama dengan Yayasan
Carnegie dan Yayasan Ford, dan program
TV ini terus berkembang ke seluruh dunia
(Finch, 1993: 53).
Tayangan video ini kemudian berkembang menjadi model Pembelajaran Program Televisi Anak (Childrens Television
Workshop - CTW) (Cooney dalam Fisch &
Truglio, 2001: xi), yaitu sebuah sistem acara
televisi yang mana perencanaan, produksi,
dan evaluasididasarkan pada kolaborasi
antara para produser, para penulis, para
pendidik, dan para peneliti. Cooney dalam
bukunyaG is for Growing: Thirty Years
of Research on Children and Sesame Street
(Cooney dalam Fisch & Truglio, 2001: xii)
menemukan lebih dari seribu kajian penelitian yang berhubungan dengan pengaruh,
dampak, efek dari tayangan Sesame Street
pada kajian budaya Amerika. Pada ulang
tahunnya yang ke-40 tahun 2009, karya visual ini (International Version of Sesame Street)
sudah disiarkan di lebih dari 140 negara,

oscar jayanagara

195

dan disaksikan lebih dari satu milyar audiens di seluruh dunia (Gikow, 2009). Data
ini menunjukkan bahwa tayangan video
Sesame Street merupakan tayangan yang
terbanyak yang pernah disaksikan audiens.
Video Sesame Street bisa dikatakan sebagai
video yang persepsi atau komunikasinya dilihat dan dimengerti, dan pada akhirnya sa
ngat memengaruhi kehidupan audiensnya.
Di Indonesia, pada 2006, lewat rumah
produksi Indigo, Sesame Street diadaptasi
dan diproduksi ulang dengan pendekatan
budaya Indonesia, dan diberi nama Jalan
Sesama (Jakarta Post, 24 Maret 2006). Jalan
Sesama berarti Jalan Untuk Semua, terinspirasi oleh konsep Kebersamaan dan
Keberagaman (Togetherness and Diversity)
di Indonesia (Jakarta Post, 13 Januari 2007).
Sebagai tambahan dari konsep pembelajaran dasar huruf dan angka, Jalan Sesama
juga mengedukasi konsep kebersamaan
dan keberagaman, kepedulian alam dan
lingkungan8, dan pembangunan karakter
yang positif. Dengan melibatkan beberapa
artis sebagai bintang tamu, video ini membantu anak-anak Indonesia belajar kognitif
dasar dan keterampilan pergaulan sosial,
juga mempresentasikan kekayaan dan keberagaman budaya Indonesia. Tema-tema
sehari-hari seperti Kebiasaan Yang Sehat sampai Bersih-bersih Sehabis Banjir,
menjadikan tayangan video ini9 berpenga
ruh besar kepada audiens anak-anak Indonesia (Sinar Harapan, 24 Maret 2007).
Pencetus ide dan pembuat (Creator)
Jalan Sesama, Muhammad Zuhdi, berhasil meraih penghargaan dari Pemerintah

Tayangan video Jalan Sesama selain memakai karakter utama Sesame Street seperti Big Bird, Ernie, Elmo, juga memakai
beberapa karakter boneka Hand Puppet dan Live Size Puppet berkarakteristik nama anak atau satwa Indonesia, seperti
karakter Momon (berkarakter anak Indonesia berumur 5 tahun yang suka menggambar dan berhitung), karakter
Putri (berkarakter anak perempuan Indonesia yang aktif, tetapi sering minta tolong pada Momon), karakter Tantan
(berkarakter Orang Utan wanita yang bijak), karakter Jabrik (berkarakter anak Badak bercula satu yang sering mengeluh, tapi juga sering tertawa).
9
Tayangan Jalan Sesama ditayangkan harian (Daily Show) di stasiun televisi Trans7 dari 18 Februari 2008 sampai 2010.
Setelah itu mulai 9 September 2011 di tayangkan di Kompas TV (Kompas, 9 September 2011).

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 195

10/30/2013 7:37:40 AM

196

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

Australia dalam Australian Alumni Award


for Excellence in Education 2011. (Kompas.
com, 12 Juni 2011). Ia telah bertahun-tahun
menceburkan diri di dunia pendidikan, baik
sebagai dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah maaupun sebagai praktisi pendidikan
anak usia dini dengan memproduksi video
Jalan Sesama. Sebagai seorang creator, tugas Zuhdi dan timnya adalah meramu dan
merumuskan pesan pendidikan yang akan
dimasukkan ke dalam video tersebut. Jadi
desain produksinya selain menghibur, ada
pesan pendidikannya juga, tutur Zuhdi,
sesaat setelah menerima Australian Alumni
Award. Atas segala upaya kerasnya, tayang
an Jalan Sesama berhasil meraih beberapa penghargaan. Penghargaan tersebut
antara lain Golden Award dari World Media
Festival di Jerman pada tahun 2009 dan
penghargaan dari Kementerian Pendidik
an Nasional tahun 2010 dalam kategori
Program yang Peduli terhadap Pendidik
an Anak-anak (Indra, 2011).
Yang menarik adalah kemudian muncul penelitian atas tayangan Jalan Sesama
yang dilakukan oleh Dr. Dina Borzekowsky
dari John Hopkins University, Amerika
Serikat. Ia melakukan penelitian di bebe
rapa daerah di Banten. Borzekowsky melihat impact10 dari tayangan Jalan Sesama ini
terhadap anak-anak dan terbukti cukup

Vol I, 2013

signifikan (Borzekowsky, 2011). Ini hanya


lah salah satu uraian contoh bagaimana
video sebagai hasil karya bisa mempengaruhi kehidupan audiensnya secara positif.
Masih banyak hasil karya video lain yang
mempengaruhi audiensnya secara positif,
seperti, Laskar Pelangi (Mira Lesmana), Kick
Andi (Andi F Noya), Solusi dan Jalan Kasih
(Oscar Jayanagara), The Oprah Winfrey Show
(Oprah Winfrey), The Little House on The
Prairie (Michael Landon), dan lain-lain.
Beberapa karya video penulis yang ditayangkan stasiun televisi seperti Solusi11,
Jalan Kasih12, PSA Pancasila13 sering penulis
pakai untuk menstimulasi pencarian ide
dalam proses pembelajaran mahasiswa.
Karya video penulis yang non-tayang di stasiun televisi juga penulis tunjukkan dalam
proses pembelajaran mahasiswa.
Pengalaman berikut adalah salah satu
contoh pembuatan tayangan video ciptaan
penulis yang non-tayang di stasiun televisi.
Penulis menggunakan tayangan video ini
untuk menjelaskan proses-proses dalam
produksi. Tahun 2009, penulis pernah diminta oleh asosiasi produsen otomotif Jepang
melakukan riset menggunakan video mengenai perbandingan kualitas mobil-mobil
truk buatan Jepang keluaran tahun 2001
2009 berpenggerak (wheel drive) 4x2, 4x4,
4x6, dan 6x8, di Indonesia. Riset ini dibuat
untuk mengetahui bebarapa hal berikut ini:

10

The impact of Jalan Sesama on the educational and healthy development of Indonesian preschool children: An experimental
study:Jalan Sesama was developed to address the developmental needs of Indonesian children ages 3 to 6 years This paper
describes how an educational media intervention can have great benefits, even in locales where the children face difficult hardships and lack basic resources (Borzekowski, 2011: 169 - 170).
11
Solusi adalah sebuah tayangan video hasil ciptaan penulis dengan format docudrama, ditayangkan mingguan (weekly
show) di SCTV dari tahun 1999 sampai sekarang (2013), yang berisi kisah nyata kisah nyata berbagai ragam orang,
di mana penulis mencoba mengkonstruksikan kisah nyata mereka yang sangat unik dan menginspirasikan dalam
sebuah videografi. Berdasarkan hasil survey AC Nielsen Indonesia dari tahun ke tahun, tayangan Solusi telah menginspirasi banyak audiens Indonesia, yang pada tahap berikutnya format dan gaya pembuatannya banyak diikuti
tayangan videografi lain di stasiun TV yang berbeda.
12
Jalan Kasih adalah sebuah tayangan videografi ciptaan penulis dengan format Realiti Dokumentari ditayangkan
mingguan di SCTV dari tahun 2005 2007, dan di TVRI (bernama Kasih) dari tahun 1999 sampai sekarang (2013).
13
PSA (Public Service Announcement) Pancasila adalah tayangan Iklan Layanan Masyarakat Pancasila ciptaan penulis,
bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Indonesia, ditayangkan di Metro TV (setiap hari Selasa selama bulan
November 2012), dan di Kompas TV pada hari lahir Pancasila yang ke-68 (1 Juni 2013).

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 196

10/30/2013 7:37:40 AM

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

mengapa memakai/memilih merk tersebut (The Purpose Driven Brand), ada berapa
merk dan jenis armada truk yang dimiliki
(how many trucks), berapa kali perjalanan
bolak-balik dalam seminggu (Weekly Quantity Travelling), bagaimana daya tahan me
sin dan roda (Mechanical and Tires Indurances), seberapa sering mengganti sparepart
(Spareparts Changing), berapa perbandingan
konsumsi bahan bakar dengan jarak tempuh (Fuel Consumption), seberapa buruk/
baik kondisi jalan lintas Sumatra dan Jawa
(Highway Condition), ketersediaan alat dan
servis purna jual (After Sales Services and
Spareparts), berapa tahun pergantian armada lama dengan armada baru (Re-Purchase),
dan sebagainya.
Untuk mendapatkan kebenaran yang
dapat dipertanggungjawabkan, penulis
menggunakan metode kualitatif. Pertama,
dengan terjun ke lapangan mengikuti perjalanan lintas Jawa Sumatra Jawa supir-supir truk yang menggunakan berbagai merk dan tipe truk keluaran Jepang, di
antaranya: Mitsubishi Canter dan Fuso, Hino
Dutro, Toyota Dyna, Isuzu Elf, Nissan DAT.
Penulis merekam suara dan gambar de
ngan menggunakan telepon genggam serta
kamera prosumer DSLR, dan melakukan
interaksi percakapan dengan para supir
maupun asistennya (kenek). Kedua, penulis
melakukan wawancara mendalam terhadap
pemimpin usaha atau pemilik usaha. Se
tiap selesai satu rekaman percakapan (fase
produksi), malamnya penulis mengeditnya dengan memakai laptop, memberi teks
terjemahan ke dalam Bahasa Inggris (fase
pasca produksi), dan mengirimnya lewat
internet. Penulis memanfaatkan teknologi
informasi dengan cara mengunggah melalui internet hasil rekaman video tersebut.
Kemudian pihak peminta jasa mengunduh rekaman video tersebut. Evaluasi hasil
video pun oleh pihak peminta jasa kepada
penulis dilakukan via Skype.

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 197

oscar jayanagara

197

Penulis tidak perlu lagi harus keluar


kota, atau keluar negeri hanya untuk menyerahkan materi rough atau materi utama
(Master Program). Penulis juga tidak perlu
lagi mengirim karya video tersebut melalui pos atau ekspedisi, kecuali di awal mula
pemesanan (First Contract Agreement) yang
memerlukan tatap muka, selebihnya sejak awal fase pra-produksi, fase produksi,
hingga fase pasca produksi dilakukan tanpa dibatasi ruang dan waktu. Penulis dapat
mengirim Cerita Gambar (Story Board), Desain Produksi (Production Design) maupun
Hasil Sementara (Rough Cut) videografi
pada pagi, siang maupun malam hari. Pro
ses pengiriman dilangsungkan ketika penulis berada di rumah, di perjalanan dengan
mobil, ataupun di kantor. Kurang lebih dua
bulan proyek riset videografi ini selesai.
Melalui pembuatan videografi ini, penulis
mendapatkan pengetahuan baru tentang industri ekspedisi berbasis angkutan darat,
dan Asosiasi industri otomotif Jepang juga
mengetahui kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan tentang kualitas truk-truk
buatan Jepang keluaran 2001-2009.
Ketika penulis membagikan pengalam
an ini dalam proses pembelajaran di kelas
maupun pembelajaran di lapangan, maha
siswa mendapatkan gairah, dorongan, stimulus untuk belajar membuat video yang
baik. Setiap mahasiswa yang mengambil
mata kuliah videografi selalu bermimpi
ingin menjadi subyek atau pelaku dalam
industri media kreatif, ketika sudah lulus
sarjana. Penulis selalu memulai awal pertemuan kelas dengan perkenalan. Salah
satu acara perkenalan itu adalah mahasiswa bercerita latar belakang sekolahnya,
mengapa mengambil fakultas seni rupa
dan desain, dan apa cita-citanya. Dari ke
sempatan ini sedikit banyak penulis terbantu untuk mengetahui karakteristik ma
hasiswa dan harapan-harapannya. Ada
sejumlah mahasiswa yang ingin memiliki

10/30/2013 7:37:40 AM

198

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

Vol I, 2013

rumah produksi, ingin menjadi produser,


sutradara, kameraman, editor, animator, creator special effect, dan sebagainya. Oleh karena itu penulis melihat betapa pentingnya
mahasiswa mengerti esensi dari videografi,
bagaimana proses mengkonstruksikan se
buah realita ke dalam sebuah videografi,
bagaimana desain produksinya, dan lainlain.

yang melibatkan metode pengembangan


gradual penulisan menjadi pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui atau mengerti,
menciptakan interaksi antara persepsi dan
komunikasi (Kiger, 1972). Menurut American Cinematographer, videografi itu berasal
dari bahasa Latin, yaitu vid (mengetahui),
vide(re) yang artinya melihat, vide + o video memiliki arti saya melihatatau saya
mengerti, dan graphia yang artinya menulis (American Cinematographer, 1972).
Videografi sebagai Teori
Dengan demikian, videografi menurut
asal
katanya bisa dikatakan sebagai tulisan
Karya video yang kita lihat ada di manamana tentunya dibuat dengan konsep dan (atau rekaman gambar bergerak) yang
desain yang jelas (memiliki pemaknaan membuat audiens melihat atau mengerti.
atau simbol tertentu), kualitas yang baik Ada penyampaian persepsi atau komu(memenuhi pengukuran tertentu), dan te- nikasi lewat gambar bergerak untuk memlah memenuhi spesifikasi industri penyiar- buat audiens mengerti; minimal persepsi
an yang telah ditentukan14 para pelaku in- yang dimengerti audiens hampir sama
dustri ini (Zettl, 2009: 57). Untuk membuat atau tidak berbeda jauh dengan maksud
tayangan video yang berkualitas tersebut atau persepsi si pembuat video.
Secara obyektif, videografi dapat dipadiperlukan sebuah pendekatan yang berhami
sebagai sebuah ilmu (seperti matemanama Videografi (Videography).
Menurut Knoblauch dan Tuma, vid- tika, fisika, geografi, dan sebagainya).
eografi adalah sebuah pendekatan inter- Dengan memandang videografi sebagai
pretatif15 terhadap rekaman video mela- sebuah ilmu, terdapat jarak antara vidlui interaksi sosial mikro (Knoblauch dan eografi (sebagai obyek) dan manusia (sebaTuma dalam Margolis dan Pauwels, 2011: gai subyek). Memahami videografi sebagai
414 - 430). Jadi menurut Knoblauch dan obyek berarti juga memahaminya secara
Tuma, videografi (baca rekaman video teknis.
Secara teknis videografi itu sendiri
interpretatif) merupakan suatu pendekatan yang menimbulkan kesan, pendapat, mengacu kepada 3 fase proses produksi
tafsiran, atau pandangan teoritis terhadap (Zettl, 2009: 4 - 41) yaitu: (1) fase pra produksesuatu melalui rekaman video. Sedang- si (proses menemukan ide, mengevaluasi
kan menurut Kiger, seorang sineas dari ide), sasaran acara, tujuan acara, target peAmerika Serikat, videografi adalah sebuah nonton/audiens, format acara, perlakuan
inter disiplin ilmu seni dan pengetahuan acara, metode produksi, bujet, sketsa ceri-

14

The digital broadcast system now is using the High Definition Television (HDTV), and the HDTV has at least twice the picture
detail of standard television. HDTV requires 720p, 1080p, 1420p, 1920p (P for Progressive), instead of below 480p for standard
television. The 720p uses 720 visible or active, lines that normally scanned progressively each 1/60 second. The HDTV widthto-height aspec ratio is 16 x 9, and the Standard Television is 4 x 3. The small portable media (cell phone) screens have various
aspect ratios (Zettl, 2009: 57).
15
Interpretatif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: bersifat adanya kesan, pendapat, dan pandangan; berhubung
an dengan adanya tafsiran (KBBI, 2007: 439).

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 198

10/30/2013 7:37:40 AM

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

ta, desain produksi, jadwal produksi, pencarian pemain, fasilitas dan alat produksi
yang dipakai, penunjukan staf produksi,
penulisan naskah, pengurusan ijin dan hak
cipta atau hak siar, pembuatan promosi
dan publisitas; (2) fase produksi (proses
pengambilan gambar bergerak dengan
menggunakan media elektronik, dan (3)
fase pasca produksi (pendataan gambar),
mengambil gambar, melakukan transkrip

Fase

oscar jayanagara

199

suara, mengedit suara dan gambar, memberi transisi dan efek, memberi efek suara
dan efek gambar, menggabungkan, serta
mengatur kualitas produksi. Di bawah ini
penulis akan memberikan penjelasan dari
fase-fase produksi, dan penjabaran ruang
lingkup kerjanya.
Tabel 1. Proses Pembuatan Video/Sinema (Video / Film Making)16

Penjabaran Kerja

Pra Produksi

Proses menemukan ide (Generating Idea) Mengevaluasi ide (Is the idea worth and doable?) Proposal acara (Program Proposal) Tujuan acara (Program Objective) Target penonton/audiens (Target
Audience) Format acara (Show Format) Perlakuan acara (Show Treatment) Metode produksi (Production Method) Budget (Tentative and Actual budget) Sketsa cerita (Story Board) Desain produksi
(Production Design) Jadwal produksi (Production Schedule), pencarian pemain (Talent Casting)
Fasilitas dan alat produksi yang dipakai (Equipment and Facilities Requirement) Penunjukkan staf
produksi (Crew Hiring) Penulisan naskah (Script Writing, termasuk Screenplay) Pengurusan ijin dan
hak cipta / hak siar (Permit and Clearance) Pembuatan promosi dan publisitas (Publicity and Promotion) Persetujuan (Green Light).

Produksi

Latihan pengarahan (Directing Rehearsal) Latihan pemosisian (Blocking Rehearsal) Latihan shooting seluruh naskah dengan memakai kostum (Run Through) Proses pengambilan gambar bergerak
(Video Recording) dengan menggunakan media elektronik (Video Tape, Direct Disk Recording, Memory
Card) Analisis naskah (Script Analysis) Visualisasi (Visualization).

Pasca Produksi

Pendataan gambar (Time Coding) Mengambil gambar (Capturing) Melakukan transkrip suara (Audio Transcription) Mengedit suara dan gambar (Audio Video Editing: Shorten, Combine, Correct, Build)
Memberi transisi dan efek (Transitions and Effect) Memberi efek suara dan efek gambar (Sound
Effectand Special Effect) Memberi latar suara (Sound Track) Menggabungkan (Mixing) Mengatur
kualitas produksi (Controlling Quality) Pembuatan hasil akhir (Master Program).

nya, si pembelajarnya, maka videografi bisa


Pembelajaran adalah proses yang kom- dipandang secara subyektif. Yang menjadi
pleks dan beragam (Gagne, 1985). Kar- penekanan dari cara pandang ini adalah
ena kompleks dan beragam itulah, untuk manusianya, si pembelajar. Videografi dimenghasilkan kapabilitas yang mumpuni, pandang sebagai media untuk mengeks
diperlukan instruksi yang berbeda, ber- presikan diri. Hal-hal teknis seperti frambagai pra kondisi, dan tindakan-tindakan ing, angle, komposisi, pencahayaan, dan
oleh pembelajar. Jika dilihat dari manusia lainnya akan dipandang menjadi sekunder,
Videografi sebagai Pembelajaran

16

Sistem produksi dan fase-fase produksi antara videografi dan sinematografi pada hakekatnya adalah sama. Yang
membedakan adalah media perekamannya. Pada videografi proses perekaman menggunakan media elektronik,
seperti kaset dvd digital, memory card, hard disk external, computer, laptop, dan sebagainya. Sedangkan pada sinematografi
proses perekaman menggunakan pita seluloid.

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 199

10/30/2013 7:37:40 AM

200

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

apabila itu dapat membebaskan ekspresi


si pembelajar. Yang terjadi atau dialami
si pembelajar dari proses pembelajarannya akan membentuk atau mengkondisikan sistem pembelajarannya (Conditions of
Learning). Tahapan-tahapan belajar di dalam diri pembelajar hingga menemukan
skill baru atau pengetahuan adalah Internal
Conditions of Learning. Sementara stimulus
dari lingkungan yang diperlukan untuk
mendukung tahapan belajar di dalam diri
pembelajar disebut External Conditions of
Learning. Jadi ada kondisi internal dan eks
ternal untuk mendukung proses pembelajaran (Gagne, 1985).
Videografi dalam sebuah karya merupakan suatu bentuk konkret dari pengejawantahan serangkaian proses berpikir
yang didasari oleh kemampuan kognitif,
kemampuan afektif, kemampuan psikomotor, seperti pra-produksi, yang terdiri
dari pengumpulan ide dan konseptualisasi, produksi, dan pasca produksi. Serangkaian proses berpikir diatas hingga
menjadi sebuah karya (Videografi) merupakan sebuah kumulatif dari proses belajar
atau disebut pembelajaran (Gagne, 1965).
Menurut Gagne, pertama pembelajaran
(Learning) adalah kumulatif. Pembentukan
intelektual manusia adalah sebuah pembangunan dari pertumbuhan struktur yang
kompleks dari kapabilitas atau kemampuan manusia. Yang kedua, pembelajaran
adalah sebuah mekanisme, yang olehnya
seseorang menjadi berfungsi sesuai kompetensinya dalam masyarakat. Yang ketiga,
pembelajaran menghasilkan berbagai ragam perilaku manusia, berbagai ragam kapabilitas manusia, yang mana untuk menghasilkan berbagai ragam di atas diperlukan

Vol I, 2013

stimulus dari lingkungan, dan proses kognitif yang dilakukan si pembelajar.


Untuk lebih spesifik, penulis membagi teori pembelajaran ke dalam lima jenis
teori-teori pembelajaran berikut ini:
1. Taksonomi Edukasi (The Classification
of Educational Goals: Taxonomy of Educational Objectives). Benjamin S. Bloom
memformulasikan klasifikasi tujuan
pendidikan ke dalam tiga aspek, yaitu
aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotor (Bloom, 1956). Masing-masing aspek memiliki tahapan
perubahan dan tingkatan kesulitan
yang berbeda. Aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berpikir secara intelektual, dari yang sederhana
sampai yang kompleks. Aspek afektif
adalah lima tahapan yang berorientasi
pada perasaan, emosi, sistem, nilai, dan
sikap. Aspek psikomotor berorientasi
kepada berbagai kegiatan yang dapat
dilakukan secara fisik, yang berhubungan dengan penggunaan anggota tubuh, didukung oleh mental dan emosi.
Bagi penulis sebagai dosen pengampu
mata kuliah videografi17 pada Fakultas Desain Komunikasi Visual dan
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara, hasil karya
videografi adalah bentuk konkret dari
pembelajaran yang menggunakan:
a. Aspek kognitif dan aspek afektif berupa kegiatan pra-produksi
yang meliputi: proses mencari dan
menemukan ide/gagasan, proses
mengevaluasi ide, proses membuat desain acara, proses membuat
tujuan acara, proses menentukan
target penonton/audiens, proses

17

Videografi sekarang ini telah menjadi interdisiplin ilmu, baik ilmu seni rupa dan desain, ilmu komunikasi, psikologi, sosiologi, dan lain-lain (Kiger, 1972)

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 200

10/30/2013 7:37:40 AM

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

oscar jayanagara

menyusun format acara, proses menyusun strategi perlakuan acara,


proses menyusun metode produksi,
proses menyusun anggaran, proses
membuat sketsa cerita, proses mendesain produksi, proses menyusun
jadwal produksi, proses pencarian
pemain, proses menyiapkan fasilitas dan alat produksi yang dipakai,
proses melakukan penunjukkan
staf produksi, proses penulisan
naskah, proses pengurusan ijin dan
hak cipta atau hak siar, proses perencanaan pembuatan promosi dan
publisitas.

201

b. Aspek psikomotor dan aspek afektif berupa kegiatan produksi, yaitu


proses pengambilan gambar ber
gerak dengan menggunakan media
elektronik.
c. Aspek kognitif dan aspek afektif
berupa kegiatan pasca produksi
yang meliputi: pendataan gambar, mengambil dan memindahkan
gambar, melakukan transkrip suara, mengedit suara dan gambar,
memberi transisi dan efek, memberi
efek suara dan efek gambar, menggabungkan, dan mengatur kualitas
produksi.

Tabel 2.Videografi sebagai sarana pembelajaran


Domain
Kognitif

Taksonomi
Evaluasi

Deskripsi
Membuat konsep berdasarkan kriteria dan
parameter kelompok.
Memahami proses
evaluasi (Doable? or
worth doing?)

Penerapan dalam
videografi

Kegiatan

Dapat memproduksi
konsep ke dalam
tahap produksi video
dan audio dengan
kualitas hasil, proses,
dan kinerja yang
terukur

Menkonseptualisasi
Mengevaluasi
Merevisi
Mempertimbangkan
Mengkonsep ulang

Menemukan karakteristik nilai individu,


baik perorangan
maupun dalam kelompok kerja

Mengikuti proses
Melakukan proses
Membuktikan proses
Memperlihatkan kerja
Mempraktikkan kerja
Memadukan kerja

Mempertimbangkan
kemungkinan konsep
lain
Afektif

Pembentukan karakter
(Characterization)

Pelibatan diri dalam


team work / kelompok, menemukan
nilai-nilai, dan menjadikan pola kerja

Mengerjakan proses
produksi (pra, Prod,
dan pasca) sesuai
dengan tenggat
waktu, baik perorangan maupun dalam
kelompok kerja

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 201

10/30/2013 7:37:40 AM

202

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

Psikomotor

Kreativitas

Vol I, 2013

Membuat inisiatif
baru
Merancang sesuatu
yang baru
Membuat inovasi
dan perkembangan
terhadap konsep dan
proses sebelumnya

Melakukan inovasi
baru terhadap proses
perancangan atau
produksi
Mengubah pola pikir
dan konsep untuk
menghasilkan bentuk
produksi yang baru

Merancang konsep
Mengombinasikan
Menciptakan karya
Mendesain karya
Mengadaptasi proses
Mengatur produksi
Mengubah produksi
Mengoptimalkan prod
Menginovasi produksi

Mengembangkan
proses yang sama
terhadap ide atau
aplikasi pada jenis
produksi yang baru

Tabel 3. Ciri-ciri yang terlihat pada Videografi


Unsur Audio
Teknik
(Audio recording, correctness, synchronization, audio compositing, editing)

Unsur Visual
Teknik
(Lighting, angle, framing, shooting,
camera visualization)

Peran yang terlihat dari aspek kognitif


Peran yang terlihat dari aspek kognitif

Ekspresi (audio style, characteristic,


sound desain, sound track, scoring
music, sound effect)
(Fitness)

Ekspresi
(Composition style, special effect,
graphic design, tilting)

Peran yang terlihat dari aspek afektif

Peran yang terlihat dari aspek afektif

Kreativitas (sound effect creation, scoring music creation, sound design)


(Goodness)

Kreativitas
(light effect, camera effect, etc)

Peran yang terlihat dari aspek motorik

Peran yang terlihat dari aspek motorik

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 202

Ciri yang terlihat pada hasil videografi


Penguasaan materi dan teori videografi (pencahayaan 3D, bentuk,
estetika, symbol): Praproduksi
Penerapan prinsip dan elemen audio
visual: produksi * Kesatuan (harmoni
dan keutuhan gambar)
*) Irama point of Interest
*) Balancing (Selective focus)
*) Proporsional (frame composition)
*) angle dan perspective
*) kesan 3D (Lighting & shadowing)
*) Cahaya dan bentuk (Light and
shape)
*) Gaya dan desain produksi
*) Perwujudan ekspresif dalam audio
visual (ekspresi wajah, gesture, karakter
pemeran, suasana)
*) Proporsional

*) kontekstual (sesuai aturan, memiliki


tujuan yang jelas/purpose)
*) optimalisasi dan eksplorasi terhadap
konteks
*) original (inovatif, berbeda dengan
kategori pada umumnya)
*) wawasan (aplikasi kedalaman research dalam proses perancangan)
*) keberanian (braveness to execute)

10/30/2013 7:37:40 AM

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

oscar jayanagara

203

2. Teori Evaluasi Edukasi. Teori ini me


ngatakan evaluasi menghasilkan perpaduan dari tantangan-tantangan imajinatif yang mana melihat pendidikan
sebagai sebuah pengetahuan, dan pendidikan sebagai sebuah usaha manusia
(Eisner, 1985). Dalam bukunya The Art
of Education Evaluation: A Personal View,
Eisner menjelaskan pentingnya evaluasi dalam proses pembelajaran untuk
mengukur tingkat konsep, representasi, dan perkembangan aspek kognitif,
afektif serta psikomotor dari individu
pembelajar (Eisner, 1985). Bentuk akhir
videografi dalam pembelajaran mahasiswa tersebut, yang berupa tayangan
audio visual, tentunya harus diterjemahkan penulis dalam sebuah penilaian yang outputnya berupa angka.
Proses yang didasarkan pada rumusan
penilaian ini bisa jadi didasarkan pada
kriteria kualitas ketiga aspek (Kognitif,
Afektif, dan Psikomotor) dalam pro
ses kegiatan produksi (Pra produksi,
produksi, dan pasca produksi), bisa
jadi didasarkan pada dampak atau
pengaruh (besar/kecil pengaruhnya,
atau positif/ negatif pengaruhnya) kepada audiens, atau bisa jadi didasarkan
pada kriteria lainnya.

tian, bahasa, pesan, dan pengalaman, serta


kebutuhan hidup manusia, mahasiswa diharapkan dapat menemukan kebenaran
atau pengetahuan.
Kandungan kebenaran atau pengetahuan dalam hasil karya videografi dapat
penulis kategorisasikan menjadi dua yaitu
Struktur dan Makna. Struktur dalam sebuah
karya lebih banyak berbicara mengenai audio visual yang memunculkan persepsi,
di mana dalam struktur tersebut terdapat
elemen dan prinsipal dari seni rupa dan
desain, yaitu bentuk, warna, kesatuan,
irama, komposisi, dan sistem. Permainan
pengelompokan, kesatuan, dan sistem
yang terdapat dalam struktur inilah yang
mendasari atau memunculkan persepsi
audiens terhadap tingkatan keterbacaan
(video = melihat dan mengerti), proporsi,
keseimbangan, point of interest, point of view,
dan keindahan terhadap visual desain.
Makna dalam sebuah visual desain adalah
bagaimana keseluruhan struktur tersebut
berbicara kepada audiens. Ini merupakan
pesan yang terkandung dalam keseluruh
an maupun pada masing-masing bagian
dari elemen seni rupa dan desain, yang
juga mampu berbicara melalui penataan
dan sistem yang terbangun dalam desain
videografi tersebut. Efektifitas pesan dan
jenis pesan yang terkandung di dalamnya
Dalam evaluasi videografi sebagai ditentukan oleh persamaan pengetahuan
karya audio visual, penulis membagi krite- (epistemologi) antara pembuat videografi
ria penilaian menjadi dua yaitu Pengujian dan audiens.
dan Pengukuran. Pengujian adalah esensi
Kriteria penilaian yang kedua adautama penulis untuk melihat apakah pem- lah pengukuran. Berdasarkan barometer
belajar (mahasiswa) dalam membuat vid- pengukuran, penulis menyatakan apakah
eografi menemukan atau memungkinkan sebuah karya videografi disebut layak atau
adanya pengetahuan. Lewat pengujian ini tidak layak memasuki kriteria penilaian,
dinilai apakah videografi mahasiswa ber- bukan berdasarkan baik atau buruk, bagus
bicara kepada audiensnya. Pengukuran atau jelek gambarnya. Ketika videografi
adalah alat ukur objektif penulis. Setelah tersebut lahir karena adanya kebutuhan,
menjalani proses atau tahapan produksi, yang menjadi barometer pengukuran bulewat rasa ingin tahu, minat, kesaksian, in- kan baik atau buruk, bagus atau jelek, ka
gatan, pikiran, penalaran, logika, penger- rena baik dan buruk lebih mengutamakan

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 203

10/30/2013 7:37:40 AM

204

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

faktor estetik daripada fungsinya, namun


korelasi tingkat pemenuhan detail terhadap
tujuanlah yang menjadi parameter detail
penilaian sehingga kriteria pengukur
an penulis menjadi tingkatan layak, atau
tidak layak Layak di sini berarti semakin
mendekati purpose videografi dibuat, dan
tidak layak berarti semakin menjauh
dari yang diminta (Audienss Demand) atau
menjauhi tujuan videografi dibuat (Videos
Purpose/Objective). Dalam membuat barometer pengukuran ini penulis merujuk pada
Taksonomi Bloom (Bloom, 1956).
Dalam proses pembelajaran di kelas
videografi, mahasiswa sering menggunakan pendekatan-pendekatan di bawah ini
ketika meneliti permasalahan yang ingin
diangkatnya, atau ketika mengonstruksikan sebuah realita ke dalam videografi:
Empirisme. Empirisme adalah suatu
cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan de
ngan melalui pengalaman (Locke, 1690).
Kata empirisme berasal dari bahasa Yunani
emperia yang berarti pengalaman. Jadi empirisme merupakan sebuah paham yang
menganggap bahwa pengalaman adalah
sumber pengetahuan. Empirisme juga berarti sebuah paham yang menganggap
bahwa pengalaman manusia didapat dari
pengalaman-pengalaman yang nyata dan
faktual. Pengalaman yang nyata tersebut
didapatkan dari tangkapan pancaindra manusia sehingga pengetahuan yang didapat
melalui pengalaman merupakan sebuah
kumpulan fakta-fakta. Doktrin empirisme
tersebut adalah lawan dari rasionalisme.
Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan tentang kebenaran yang sempurna
tidak diperoleh melalui akal, melainkan
diperoleh atau bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga,
kulit dan hidung. Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan
pengalaman manusia. Mahasiswa yang

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 204

Vol I, 2013

memakai pendekatan ini biasanya learning


by doing. Mahasiswa atau tim mahasiswa
terjun belajar langsung di lapangan.
Rasionalisme. Menurut Descartes, budi
atau rasiolah yang menjadi sumber dan
pangkal segala pengertian dan budilah
yang memegang pimpinan dalam segala
pengertian. Itulah sebabnya aliran ini di
sebut rasionalisme (Poedjawijatna, 1970:
237). Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya
bahkan dilebih-lebihkan oleh Descartes
dengan mengabaikan nilai pengetahuan
indra, yang menurut dia kerap kali menyesatkan manusia. Secara terminologi rasio
nalisme berasal dari bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari bahasa Latin
ratio yang berarti akal (Lacey, 1996).
Lacey menambahkan bahwa berdasarkan
akar katanya, rasionalisme adalah sebuah
pandangan yang berpegangan bahwa akal
merupakan sumber bagi pengetahuan
dan pembenaran. Sementara itu, aliran
ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus
diberi peranan utama dalam penjelasan.
Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai
sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas)
dari pengamatan inderawi. Rasionalisme
berpendirian bahwa sumber pengetahuan
terletak pada akal. Bukan karena rasio
nalisme mengingkari nilai pengalaman,
melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi
pikiran. Para penganut rasionalisme yakin
bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di
dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri
atau suatu barang. Jika kebenaran mengan
dung makna mempunyai ide yang sesuai
dengan atau menunjuk kepada kenyataan,
maka kebenaran hanya dapat ada di dalam
pikiran kita dan hanya dapat diperoleh
dengan akal budi saja (Tafsir, 2006: 129).
Mahasiswa yang menggunakan pendekat
an ini harus kuat di fase pra-produksinya,

10/30/2013 7:37:40 AM

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

karena banyak menggunakan data yang


akurat. Penulis menganjurkan kepada mahasiswa yang memakai pendekatan ini untuk mencari referensi-referensi tepercaya
sebagai dasar tema yang mau dikonstruksikan ke dalam videografi.
Fenomenalisme. Fenomenologi atau feno
menalisme adalah aliran atau faham yang
menganggap bahwa gejala adalah sumber
pengetahuan dan kebenaran (Sudarsono,
1993). Fenomenalisme bergerak di bidang
yang pasti. Hal yang menampakkan diri
nya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang
evidensi yang langsung. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri
merangsang alat inderawi kita dan dite
rima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk
pengalaman dan disusun secara sistematis
dengan jalan penalaran. Karena itu kita
tidak pernah mempunyai pengetahuan
tentang barang sesuatu seperti keadaannya
sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu
seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala atau phenomenon (Yunani: o) (Maksum,
2008). Melalui metodologi ini, peneliti ingin
melihat apakah ada mahasiswa yang dalam proses penelitian/menciptakan karya
videografinya itu, melihat atau mengamati
gejala-gejala yang timbul atau yang terjadi di masyarakat. Dari pengamatan terhadap subyek tersebut, tahap selanjutnya
tim mahasiswa akan mengkonstruksikan
pengamatannya dalam tahapan-tahapan
produksi videografi.
Intuisionisme. Menurut Bergson ([1896]
2004), intuisi adalah suatu sarana untuk
mengetahui secara langsung dan seketika.
Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh
dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat
menggantikan hasil pengenalan secara
langsung dari pengetahuan intuitif. Salah
satu di antara unsur-unsur yang berharga
dalam intuisionisme Bergson ialah bahwa
paham ini memungkinkan adanya suatu

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 205

oscar jayanagara

205

bentuk pengalaman di samping pengalam


an yang dihayati oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan
di samping pengetahuan yang dihasilkan
oleh penginderaan. Penganut intusionis
me tidak mengingkari nilai pengalaman
inderawi yang biasa dan pengetahuan
yang disimpulkan darinya. Intuisionisme
setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk--hanya mengatakan bahwa pengetahuan
yang lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi,
yang meliputi sebagian saja yang diberikan
oleh analisis. Ada yang berpendirian bahwa
apa yang diberikan oleh indera hanyalah
apa yang menampak belaka, sebagai lawan
dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu
kenyataan. Mereka mengatakan, barang
sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu
seperti yang menampak kepada kita, dan
hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaannya yang nyata
(Mustansyir dan Munir, 2004). Mahasiswa
yang melakukan pendekatan ini biasanya
suka akan hal-hal yang bersifat pengetahuan metafisik.
Dialektis. Kata dialektis atau dialektika
berasal dari kata Yunani dialegesthai yang
berarti komunikasi dua arah. Istilah ini
telah ada sejak masa Yunani kuno ketika
filsuf Herakleitos (535 475 SM) mengatakan panta rhei kai uden menei yang berarti,
semuanya mengalir dan tidak ada se
suatupun yang tinggal tetap. Hal ini menegaskan karakter pemahaman manusia sebagai sesuatu yang dialektis (Poedjawijatna,
2005). Kemudian Hegel menyempurnakan
konsep dialektika dan menyederhanakannya dengan memaknai dialektika ke dalam
trilogi tesis, anti-tesis dan sintesis (Suseno,
1999). Menurut Hegel tidak ada satu kebenaran yang absolut karena berlaku hukum
dialektik. Yang absolut hanyalah semangat

10/30/2013 7:37:41 AM

206

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

Vol I, 2013

revolusionernya (perubahan/pertentangan
atas tesis oleh anti-tesis menjadi sintesis).
Pengandaian dasar dialektika Hegel adalah relasionalisme internal, yakni pengertian
bahwa keseluruhan kenyataan, dipahami
sebagai manifestasi-diri roh, senantiasa terhubung satu sama lain dalam jejalin yang
tak putus. Secara logis, teks A hanya bisa
dimengerti sejauh ada juga teks non-A yang
darinya A ditentukan sifatnya. Secara ontologis, Ada dapat dimengerti sejauh ia koeksis dengan Ketiadaan: Ketiadaan internal
dalam definisi Ada dan Ada internal dalam
definisi Ketiadaan. Relasionalisme internal
segala hal-ihwal inilah yang memungkin
kan terwujudnya determinasi resiprokal
antar elemen dari realitas. Dengan berlandaskan pengertian Spinoza bahwa omnis
determinatio est negatio (semua determinasi
adalah negasi), bagi Hegel, relasi determinasi resiprokal ini adalah pula relasi negasi
resiprokal: afirmasi (A), negasi (non-A) dan
afirmasi pada tataran yang lebih tinggi atau
negasi atas negasi (non-non-A yang mencakup intisari A dan non-A). Inilah yang biasanya kita kenal sebagai dialektika antara
tesis-antitesis-sintesis. Dialektika inilah
yang dimengerti Hegel sebagai dinamika
internal dari realitas dan pikiran (Suryajaya, 2010).


Mahasiswa yang memakai pendekatan ini, biasanya berangkat dari ketidak-

puasan atau ketidaksenangan melihat karya


orang lain atau pendapat yang sudah ada.
Dari ketidaksukaan tadi, mahasiswa lalu
melakukan penelitian untuk membuat kar
ya kebalikan atau karya parodinya. Karya
akhir videografinya biasanya berupa film
parodi, dokumenter kritis, dan sebagai
nya.
Etnografi. Etnografi merupakan pen
dekatan empiris dan teoritis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis
mendalam tentang kebudayaan atau kebiasaan-kebiasaan berdasarkan penelitian
lapangan (fieldwork) yang intensif. Menurut Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973), tugas seorang etnograf adalah
membuat suatu gambaran tebal dan mendalam (thick descriptions) mengenai kejamakan struktur-struktur konseptual yang
kompleks, termasuk asumsi-asumsi yang
tak terucap dan taken-for-granted tentang
kehidupan sosial budaya masyarakat. Lewat pendekatan ini, penulis dituntut untuk memaparkan asumsi, pandangan dan
posisi-posisi mahasiswa yang akan diteliti.
Dalam model penulisan etnografi, konsultasi dengan para subyek etnografi perlu
dilakukan agar etnografi bukan sekedar ekspedisi pencarian fakta-fakta (Arifiannto,
tanpa tahun).

Bagan Videografi sebagai Teori dalam pembelajaran mahasiswa (pandangan objektif)

Sistem Pembelajaran

Mahasiswa

Videografi sebagai Teori

Gambar 2.

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 206

10/30/2013 7:37:41 AM

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

oscar jayanagara

207

3. Teori Instruksional (Instructor Led).


nyampaian informasi (Roblyer, 2006).
Teori konstruktivisme di sisi yang lain
Gagn, seorang ahli perilaku kognitif
percaya bahwa pengetahuan dihasilmenyatakan bahwa perilaku dan prinkan oleh pembelajar melalui aktivitas
sip-prinsip penyampaian informasi daberdasarkan pengalaman (experiencedpat diaplikasikan secara teknis untuk
based activities) daripada melalui inpengarahan (instruction) dan pelatistruksi langsung pengajar. Dengan
han (training) (Gagn, dkk., 2005). Ia
kata lain, pembelajar sebagai pencipta
percaya bahwa sebuah sistem instrukkreatif pengetahuan, dapat belajar
sional untuk membangun kemampuan
dengan cara mengobservasi, merekaintelektual harus dibangun secara teryasa, menginterpretasi, dunia sekeli
struktur, linear, dan dalam tahapanling mereka sebagaimana pembelajar
tahapan yang teratur. Penguasaan kemerasakan pengalaman pembelajaran
mampuan dasar yang baik merupakan
mereka (Trollip dan Alessi, 2001). Para
prasyarat untuk meraih kemampuan
penganut pandangan konstruktivisme
yang lebih tinggi. Tugas pembelajaran
seperti Vlotsky dan Bruner menyatadapat diatur melalui: pengenalan stimkan bahwa pembelajaran adalah proses
ulus, generalisasi respons, mengikuti
kolaboratif dalam interaksi sosial, seprosedur, mengaplikasikan terminolohingga lewat interaksi sosial tersebut
gi, rekayasa, memformulasi konsep,
pembelajar mengalami pengalaman
menerapkan aturan, dan penyelesaian
pembelajaran (Driscoll, 2000). Bruner
masalah. Hasil pembelajaran dapat
menyatakan bahwa pembelajaran adadiidentifikasi sebagai: a) kemampuan
lah proses interaksi sosial untuk meneintelektual seperti kemampuan memukan (discovery), di mana pembelajamecahkan masalah sebagai pembelaran itu dipengaruhi oleh latar belakang
jaran yang lebih tinggi, mampu memdan pengalaman budaya seseorang (Scbedakan obyek dan mengerti definisi
hunk, 2004).
konsep, b) strategi kognitif, c) informasi 5. Teori Elaborasi (Instructor & Learner
verbal atau kemampuan mengingat, d)
Centered). Tujuan dan pengembangan
kemampuan motorik, dan e) sikap.
teori elaborasi memastikan bahwa
4. Teori Konstruktivisional (Learner-Cenproses pembelajaran adalah untuk
tered). Teori ini merupakan perpaduan
memotivasi dan memberi pengertian
dari dua pendekatan atau kepercayaan.
penuh. Pembelajar memiliki pilihan
Pendekatan pertama menyatakan bahdari keputusan pembuatan tahapanwa pengetahuan manusia dibangun
tahapan selama proses pembelajaran
dari hasil pengaturan atau pengelolaan
tersebut (Reigeluth, 1999a). Teori elabyang alamiah. Pendekatan kedua meorasi menyatakan bahwa strukturisasi
nyatakan bahwa objektivitas dibangun
ide selama proses penyusunan dan pedi atas dasar sejumlah asumsi bahwa
nyatuannya dapat dibagi ke dalam tiga
pengetahuan hadir terpisah di luar
presentasi: a) elaborasi konsep (what
is), b) elaborasi teoritis (how and why it
persepsi-persepsi manusia dan harus
works), dan 3) penyederhanaan (how it
dikomunikasikan melalui metode inworks) (Beissner dkk, 1993; Reigeluth,
struksional langsung berdasarkan pe1999b; Roblyer, 2006).
rilaku, perilaku-kognitif, dan teori pe-

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 207

10/30/2013 7:37:41 AM

208

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

Vol I, 2013

Perhatikan bagan di bawah ini untuk lebih jelasnya.


Bagaimana mahasiswa mendapatkan Ilmu Pengetahuan ketika mengkonstruksikan videografi
(sebagai ekspresi) dalam pembelajarannya (pandangan subjektif)
Metodologi yang
kemungkinan digunakan
mahasiswa

Penilaian dari dosen

Penilaian dari dosen

Gambar 3

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 208

10/30/2013 7:37:41 AM

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

Penutup
Videografi sebagai sarana pembelajaran
sangat efektif diterapkan pada sistem pendidikan di tingkat apapun. Jalan Sesama
dan Sesame Street telah menjadi bukti nyata
bagaimana videografi mampu meraih target audiensnya secara signifikan. Anakanak dan orang tua yang merupakan target
utama dari program ini merasakan manfaat
dari ide dan inspirasi si pembuat videografi
tersebut. Orang tua merasa terbantu dalam mengenalkan dan mengajarkan anakanaknya tentang angka, huruf, warna, bentuk, flora, fauna, dan budaya global.
Penulis sebagai seorang pelaku industri multimedia dan pendidik menemukan
betapa efektifnya penggunaan karya videografi dalam bentuk audio visual ini sebagai sarana pembelajaran mahasiswa di
kelas. Videografi sebagai teori akan memberikan ilmu baru kepada mahasiswa
dalam mengkonstruksi sebuah ide atau
realita. Konsekuensinya, mahasiswa sebagai subyek pembelajar dapat menemukan
suatu kebenaran ketika mengkonstruksi
sebuah ide atau realita dalam wujud vi
deografi.

Daftar Pustaka
Arifiannto, S. (tanpa tahun). Konstruksi
Teori-teori dalam Perspektif Kajian
Budaya dan Media yang bisa diakses di http://balitbang.kominfo.go.id/
balitb ang/aptika-ikp/files/2013/02/
KONTRUKSI-TEORI-TEORI-DALAMP E R S P E K T I F - K A J I A N - B U D AYA DAN-MEDIA-.pdf
Beissner, D. J., dkk. (1993). Structural Knowledge: Techniques for Representing, Conveying, and Acquiring Structural knowledge.
New Jersey, USA: Lawrence Erlbaum
Associates.
Bergson, H. ([1896] 2004). Matter and Memory. London, UK: Forgotten Books.

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 209

oscar jayanagara

209

Bloom, B. S. (1956). Taxonomy of Educational


Objectives: The Classification of Educational Goals. New York, USA: Longman
Publishers.
Borzekowski, D. L. dan Henry, H. K.(2011).
The Impact of Jalan Sesama on The
Educational and Healthy Development
of Indonesian Preschool Children: An
Experimental Study dalam International Journal of Behavioral Development,
Maret 2011, vol. 35 (2), hlm. 169-179
Brandt, A. M. (2007). The Rise, Fall, and
Deadly Persistence of the Product that Defined America. Boston, USA: Harvard
Publishers.
Davis, M. (2008). Street Gang: The Complete
History of Sesame Street. New York, USA:
Viking Penguin.
Driscoll, M. (2000). Psychology of Learning
for Instruction (2nd ed.). Boston, USA:
Allyn & Bacon.
Eisner, E. W. (1985). The Art of Educational
Evaluation: A Personal View. London
(UK): Falmer Press.
Finch, C. (1993). Jim Henson: The Work: The
Art, The Magic, The Imagination. New
York, USA: Random House.
Gagn, R. M. (1965). The conditions of learning and theory of instruction (1st ed.). New
York, NY: Holt, Rinehart & Winston
_____. (1985). The conditions of learning and
theory of instruction (4th ed.). New York,
NY: Holt, Rinehart & Winston
_____., Walter W. Wager, Katharine Golas,
dan John M. Keller. (2005). Principles of
Instructional Design (5th ed.). California,
USA: Wadsworth/ Thompson Learning.
Geertz, Clifford. (1973). The Interpretation of
Cultures. NY, USA: Basic Books.
Gikow, L. A. (2009). Sesame Street: A Celebration Forty Years of Life on the Street. New
York, USA: Black Dog & Leventhal.
Greg, James.(2011). Jalan Sesama adalah
Sesame Street Versi Indonesia, dalam
Kompas, 9 September 2011.

10/30/2013 7:37:41 AM

210

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

_____. Jalan Sesama is the Indonesian version of Sesame Street dalam The Jakarta
Post 24 Maret 2006.
Indra. (2011). Penghargaan buat Pencetus
Jalan Sesama dalam Kompas, 12 Juni
2011, diakses hari Selasa, 23 Juli 2013,
jam 13.58 WIB.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Kiger, B. (1972). VideographyWhat Does
It All Mean? dalam American Cinematographer, 10.
Lacey, A. (1996). A Dictionary of Philosophy
(3rd ed.). London, UK: Routledge.
Locke, J. (1690). An Essay Concerning Human Understanding. Oxford, UK, Christ
Church: Oxford University.
_____. (1689). Two Treatises of Government.
Oxford, UK, Christ Church: Oxford
University.
Maksum, A. (2008). Pengantar Filsafat dari
Masa Klasik hingga Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Pcazz Media.
Margolis, E.dan Pauwels, L. (2011). The Sage
Handbook of Visual Methods. California,
USA, Thousand Oaks: SAGE.
McKernan, B. (1996). The Age of Videography.
California, USA: Miller Freeman Publishing.
Millerson, Gerald dan Owens, Jim. (2008).
Video Production Handbook, Fourth Ed.,
MA, USA: Focal Press.
Moynihan, Jason. (2007). Indonesia: Sesame Streets Coming to Town! dalam
The Jakarta Post, 13 Januari 2007.
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. (2004).
Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Njoto. (1962). Marxisme: Ilmu dan Amalnya
(paparan populer). Jakarta: Harian Rajat.
Poedjawijatna. (1970). Pembimbing ke Arah
Alam Filsafat (1st ed.). Jakarta: Pustaka
Sarjana.

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 210

Vol I, 2013

_____. (2005). Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat (4th ed.). Jakarta: Rineke Cipta.
Reardon, N. (2006). On Camera, How To Report, Anchor & Interview. Burlington,
USA, MA: Focal Press.
Reigeluth, C.M. (1999a). What is instructional-design theory and how is it
changing? dalam C.M. Reigeluth (Ed.).
Instructional-Design Theories and Models:
A New Paradigm of Instructional Theory.
(Volume II). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Assoc., hlm. 5 - 29.
_____. (1999b). The Elaboration Theory:
Guidance for Scope and Sequence Decisions, dalam C.M. Reigeluth (Ed.),
Instructional-Design Theories and Models:
A New Paradigm of Instructional Theory.
(Volume II). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Assoc., hlm. 425 - 454.
Roblyer, M. (2006). Integrating Educational
Technology into Teaching (4th ed.). New
Jersey, USA: Pearson Prentice Hall.
Schunk, D. H. (2004). Learning Theories: An
Educational Perspective (4th ed.). New
Jersey, USA: Merril & Prentice Hall.
Sudarsono. (1993). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Suryajaya, Martin. (2010). Berpikir dengan
Pendekatan Materialisme Dialektis dan
Historis dalam http://problemfilsafat.
wordpress.com/2010/10/26/berpikirdengan-pendekatan-materialisme-dialektis-dan-historis/
Suseno, F. M. (1999). Pemikiran Karl Marx:
Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Tafsir, A. (2006). Filsafat Umum: Akal dan
Hati sejak Thales sampai Capra. Yogyakarta: Rosda.
Trollip, S. R. dan Alessi, S. M. (2001). Multimedia for Learning: Methods and Development (3rd ed.). Boston, USA: Allyn &
Bacon.

10/30/2013 7:37:41 AM

Videografi sebagai Sarana Pembelajaran

oscar jayanagara

211

Truglio, R. T. dan Fisch, S. F. (2001). G is


index_O.html (n.d.), diakses hari Selasa,
for Growing: Thirty Years of Research on
23 Juli 2013, jam 12.35 WIB.
Children and Sesame Street. New Jersey, http://www.dcamediasolutions.com/videoconUSA: Lawrence Erlbaum .
versions/web-world-broadcasting-system.
Zettl, H. (2009). Television Production Handpdf. (n.d.), diakses hari Senin, 22 Juli
th
book (10 ed). California, USA: Wads2013, jam 13.50 WIB.
worth Cengage Learning.
http://topics.cnn.com/topics/information_techhttp://uit.co.nz/news/bbc-technology
(n.d.).
nology (n.d.). Retrieved from cnn.com,
Retrieved from bbc-technology, diakses
diakses hari Selasa, 23 Juli 2013, jam
hari Selasa, 23 Juli 2013, jam 12.30 WIB
13.55 WIB.
http://www.esa.int/esaTE/SEM1HGKTYRF_

08-OSCAR JAYANAGARA.indd 211

10/30/2013 7:37:41 AM

Jurnal Ultima Humaniora, September 2013, hal 103-108


ISSN 2302-5719

Vol. I, Nomor 2

Does Education Empower the Indonesian Women?


ARIF ROHMAN
PhD Student in Social Work
School of Humanities and Social Sciences, Charles Sturt University
Locked Bag 678, Wagga Wagga, NSW, 2678, Australia
Telepon: +61 2 693 32552
Surel: arohman@csu.edu.au
Diterima: 28 Agustus 2013
Disetujui: 11 September 2013

ABSTRAK
Gelombang feminisme II pada tahun 1960-an memengaruhi aktivis gender dalam meningkatkan
kampanye mereka melawan budaya patriarki di hamper semua bidang. Kampanye ini bertujuan
untuk mencapai pemenuhan hak-hak perempuan dalam aspek hukum, politik dan sosial. Dalam
konteks ini, mereka melihat pendidikan sebagai kendaraan untuk memberdayakan perempuan di
masyarakat. Menggunakan budaya Jawa sebagai kasus, artikel ini akan mendiskusikan apakah
pendidikan memiliki dampak terhadap pemberdayaan perempuan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat pendidikan dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia. Dari hasil analisis, terlihat bahwa perempuan yang berpendidikan masih menemui kendala dalam berpartisipasi
di bidang ekonomi, politik dan sosial.
Keywords: pendidikan, perempuan, budaya Jawa, gender

will examine whether education has much


The aims of liberal feminism are to achieve impact on it or not, and to identify factors
the equality of legal, political and social which might prevent education from emrights for women. Liberal feminists believe powering women in Indonesia. From my
that womens movements should put wom- observation, it seems that education has
en equally into all public institutions and only a small effect in enhancing women
to extend the production of knowledge so participation.
that womens issues could not be ignored
(Humm, 1992: 181).
Women in Javanese Culture
Based on this idea, they view education as a vehicle to empower women in In discussion about women and education
societies. However, some scholars doubt in Indonesia we need to consider the Javathat education could automatically guar- nese culture. This is because it has a strong
antee womens empowerment. This article patriarchal culture and it also has the highIntroduction

09-ARIF ROHMAN.indd 212

10/30/2013 7:38:06 AM

Does Education Empower the Indonesian Women?

arif rohman

213

should not go to school because it would


violate her kodrat (nature) as wives, mothers and daughters (Pakpahan, 1996: 10). As
a result, Javanese culture pushes women
into a marginal position viz., a good mother who looks after the family sincerely (Djajadiningrat-Niewenhuis, 1992: 43-44.). As a
consequence, she has a limited access (very
little) to education because most parents in
rural Java do not conceive education as the
social investment.
Moreover, LeVine believes that women
find more difficulties to access education
when they come from poor families, their
homes are far from schools and their communities have a strong patriarchal culture.
Additionally, she mentions that girls have
to drop out from school because the early
marriages arranged by parents; or because
the financial issues (LeVine, 2006: 21-41).
However, the Javanese cultural norms
which prevent women going to school are
challenged by Raden Ajeng Kartini (18791904), the first Indonesian woman who
established emansipasiwanita (womens
emancipation) and taught the egalitarian
spirit between men and women) in Jepara,
Jawa Tengah, during the Dutch colonial
government era. In her books Habis Gelap
Terbitlah Terang (After Darkness, Light
Arises) which contains the collection of her
letters to her friends in Holland, she said
that many Javanese women suffer for their
lack of education (Kuntjara, 1997: 79).
Be inspired by Kartinis ideas, the womens movement to promote education for
women issuccessful. This could be seen in
the increasing number of women who enjoyed education in Indonesia from 1971 to
1995. In 1971 the gap between the number
of men and women in accessing educaWomen, Education and Access
tion was very high, men were 43.1% while
The gender-biased perspectives about wo women were only 24.3%. However, this gap
men bar them to access education in Indo- was reduced dramatically in 1995 as the
nesia. Javanese people believe that women number of men who participated in educaest number of illiterate women. For example, in East Java 14.41% women are illiterate, following by Central java (12.07%) and
Yogyakarta (11.81%). From this number,
most illiterate women live in rural areas
(65.48%) (Central Bureau Statistics, 2011).
The high percentage of illiterate women in
Java is caused by some beliefs which still
exist in Java nowadays. Javanese people
believe that God created women to do specific roles which are macak, masak, manak
(dress up, cooking, and delivering babies).
From a Javanese cultural perspective, a
woman has to be attractive for her husband,
be able to cook her husbands favorite foods,
and delivering babies for her husband
(Kuntjara, 1997: 78.). Some people in Java
also still consider women as kanca wingking which means a partner who has to
follow her husband. Swarga nunut neraka
katut (a woman has to follow her husband
either to heaven or to hell) (Kuntjara, 1997:
79). A good woman stays at home without
complaining. This is different from men as
pencari nafkah (breadwinners) who have
authority and power in their households.
People in Java sometimes call women as
wanita which means wani ditata (willing to be governed by men). Javanese men
treat women as klangenan (entertainment), kukila (a beautiful bird in a cage) or
turangga (a mounted horse). Women seem
to be treated as valuable goods and they are
objects for men. The Ulema (Islamic leaders) often cites a fatwa (a binding ruling
in religious matter in Islam) which refers to
women as penggoda (tempters) for men.
This belief shows how women in Java are
the subordinate of men.

09-ARIF ROHMAN.indd 213

10/30/2013 7:38:06 AM

214

Does Education Empower the Indonesian Women?

Vol I, 2013

tion increased slightly to 59.7% whiles the argues that women are not ready to adjust
number of women dramatically increased with their new surroundings, nor are they
to 50.6% (Prasilowati, 2000: 42.).
protected from various types of abuses in
workplaces, as well as the outside world,
so they often end up as unskilled laborers
Womens Participation in the Economical with low wages. By contrast, men have easy
Sector
access into the managerial works and comThe first general assumption about the im- panies often deny womans rights as workpact of education on women is that it im- ers. They also face the risk of unwanted
proves the womens participation in the pregnancy, which often implies the loss of
economical sector. Most people in Indo- their jobs or reducing compensation when
nesia believe that the higher education the they take the pregnancy leave. Even though
women have, the better opportunity they the law guarantees women a three-month
get to enter various jobs, increasing their maternity leave, some companies require
occupational mobility, earning better wages them to sign a contract which obliges that
and thereby contributing to their familys they would not be pregnant during their
expenses. Unfortunately, this assumption contract or otherwise they have to resign
might be unrealistic. Even though women (Prasilowati, 2000: 49.).
Related to this Amano believes that the
work, they are still powerless and face the
gender-based discrimination in their work education in schools has been influenced by
a gender discrimination both in curriculum
place.
Grijns describes that women who need and teaching methods. As a consequence,
to work outside in order to support their women who graduate from schools still
family, would end up with the low-income have no confidence to compete with men
jobs. Competition in the market labour is (Amano, 1997: 224-232).
Sadli argues that the economical strucvery fiendish. Based on her study about
tea-pickers in West Java (Jawa Barat), she tural policy position women into jobs which
discovers that the distribution of workers require some limited skills, such as a clerk
tasks is fully allocated based on gender. or other similar types of job. This implies a
Men occupy all management positions higher risk of being replaced by others and
(100%), while most women (61.68%) oc- being unemployed when the company recupy the casual jobs, with no allowance duces its workers. Indeed, the Indonesian
or benefit. The women are paid based on government supports some labor organithe number of days they worked during zations which are dominated by men. This
the previous month but sometimes they reflects the womans minimal bargaining
are paid by the quantity of leaves they had powers in their work place (Sadli, 1995:
collected. Grijns also mentions that those 112).
Moreover, Jayaweera believes that in
women should also do all domestic work
at home. For instance, they have to lend a the case of women from the same degree
hand in looking for fire woods and other of education, those from middle and upper classes have more occupational mobildaily chores (Grijns, 1992: 106-108).
The educated Indonesian women who ity than poor women who are trapped by
work in industrial areas face similar prob- the ill-paid and low skill jobs. Additionally,
lems with those educated women who women and men with the same educationwork in an agricultural setting. Prasilowati al qualification reach a higher level in oc-

09-ARIF ROHMAN.indd 214

10/30/2013 7:38:06 AM

Does Education Empower the Indonesian Women?

cupational status. Men have easier access


to a formal sector employment, managerial and technical jobs or entrepreneurship
(Jayaweera, 1997: 411-424). Based on this
evidence, the education that women have,
did not guarantee a better participation in
the economic sector due to the structure of
labour market policy and the gender-biased
ideology in the work place.
Womans Participation in Political Areas
The second assumption related to the role
of education in empowering women is that
education could support womans participation in political areas. With her higher
education, a woman could easily access
the political parties and might influence
the decision-making process. However,
Parawansa conceives that the high educational women do not change the womans
political map in Indonesia. Participation of
women in politics in Indonesia began when
the first Kongres Perempuan Indonesia
(Indonesian Womans Congress) held in
1928. This congress recommended women
to take a part in political arenas (Parawansa, 2005: 82).
In the 1955 public election, women obtained 6.3% of chairs in Indonesian Parliament. The increasing number of educated
women in Indonesia implies the more intensive involvement of women in politics.
Nevertheless, the female members of parliament were far below their involvement
in politics. This could be seen from the
number of women in parliament in 2004
that was only 11.3%, in which still far away
from 30% as Indonesian feminists expected
(Parawansa, 2005: 86). Ironically, the women in parliament in 2005 were concentrated
in feminine commission such as the Religion, Social and Women Empowerment
Commission (31.1%) or the Education,
Youth, Sports, Tourism, Arts and Culture

09-ARIF ROHMAN.indd 215

arif rohman

215

Commission (20.8%) meanwhile those who


joined the masculine commission, such as
the Energy, Mineral Resources, Research
and Technology, and Environment Commission were only 3.9% (Parawansa, 2005:
87).
The womans participation in the decision-making positions also seems to be low.
Parawansa indeed notes that in 2002 there
was no woman in the Governor (provincial level) position in 2002, while women
in the Mayor/Regent (metropolitan district/
regency level) positions were only 1.5%
(Parawansa, 2005: 85).
In other words, regarding this she believes that cultural context in Indonesia is
still determined by the patriarch. The common perception that women active in political arenas are inappropriate to be active in
politics is caused by mens political interests
to ease the latters efforts because it is only
for men affects women less preferable to
struggle to become the members of parliament. Moreover, the selection of candidate
selections are s by political parties in which
usually done by a small committee or some
party leaders (most of them are men). Consequently, it leads to diminish the number
of women candidates. As a result, women
do not obtain some adequate receive supports from political parties in order to participate in political activities (Parawansa,
2005: 87).
Womens Status in the Family
The last assumption about the benefit of
education for women is that it could improve the womens status in the family.
This is because by their education, women
could work outside their home so that they
have a greater access to income. As a consequence, they would improve their status
and increase their bargaining power within their family. However, Bilgi argues that

10/30/2013 7:38:06 AM

216

Does Education Empower the Indonesian Women?

education does not always guarantee that


women could obtain a higher status in their
family. This is because the common belief
in Indonesia that some married women
should be subordinated by men.
This leads to an expectational reality
that women also should have a lower education compared to men. In many Indonesian villages, husbands who mostly graduated from elementary schools do not allow
their wives to pursue a higher education.
This is because they would feel inferior as
their wives seem smarter than them. The
superiority of their wives would endanger
their authorities and positions before the
eyes of their neighbours. This is supported
by a common assumption that their wives
independence would break their dignity
as the leaders of household in their family.
As a consequence, women have only a little
chance to improve their status in household
(Bilgi, 1998: 93).
For those who have a better education,
they have to spend twice as much time and
energy for the family (doing the domestic
works) as well as their non-domestic works.
They have to finish all their jobs as wives
and as labours. This situation becomes
worst when they received a tight authoritarian control from their spouses, the domestic violence, at home, the social expectations of motherhood, and the dangerous
community environment. Often for women
who work outside home and do not have
children, are usually judged by their mothers-in-law as the bad wives. Consequently,
women often resign from their jobs and
prefer to be the good wives. This explains
why the higher educated women still face
some difficulties to improve their status in
their families.

Vol I, 2013

many obstacles to participate in the economical, political and social activities. In


other words, education does not guarantee
that it could empower women. This is because education is not designed to resist the
economic, cultural and social constraints
that perpetuate poverty and the social
stratifications differentiation or the social
construction of gender that reinforces the
gender inequality in the family, the labour
market and society as well. As a consequence, education implies a little impact in
empowering women. It is obviously clear
that the factors, which prevent education
in empowering women, are the structure of
education and the content of education (access and process), the social structure, the
economic structure and the family forms.
In addition, thegender-biased ideologyimplies a great impact to prevent the educated women in order to participate in the
economical and political activities.
References:

Amano, M. (1997).Women in higher education. Higher Education, 34(2), pp.


215-235.
Bilgi, M. (1998). Entering womens world
through mens eyes. In Gajit I. & Meera
K. Shah (Eds.). The Myth of Community:
Gender Issues in Participatory Development. London: Intermediate Technology, pp. 93-99.
Central Bureau Statistics. (2011). Social and Population. Central Bureau Statistics. Retrieved 22 June 2013,
from
http://www.bps.go.id/tab_sub/
v i e w. p h p ? t a b e l = 1 & d a f t a r = 1 & i d _
subyek=40&notab=16
Djajadiningrat-Niewenhuis, M. (1992). Ibu
ism and priyayization: Path to power?
Conclusion
In Elsbeth Locher-Scholten & Anke
This article has explores that in Indonesia,
Niehof (eds.). Indonesian Women in Fothe educated Indonesian women still face
cus. Leiden: KITLV Press, pp. 43-51.

09-ARIF ROHMAN.indd 216

10/30/2013 7:38:07 AM

Does Education Empower the Indonesian Women?

Grijns, M. (1992). Tea-pickers in West Java


as mothers and workers: Female work
and womens Job. In Elsbeth LocherScholten & Anke Niehof (Eds.). Indonesian Women in Focus. Leiden: KITLV
Press, pp. 104-119.
Hill, M.A. & King, E.M. (1993). Womens
education in developing countries: An
overview, In M. Anne Hill & Elizabeth
M. King (Eds.) Womens Education in Developing Countries: Barriers, Benefits, and
Policies. London: The Johns Hopkins
University Press, pp. 1-50.
Humm, M. (1992). Feminism. New York:
Harvester Wheatsheaf.
Joseph, M. (1997). Women, Participation, and
Development Strategies. New Delhi: Kanhiska Publisher.
Karl, M. (1995). Women and Empowerment:
Participation and Decision Making. London: Zed Books.
Kuntjara, E. (1997). Challenging the tradi-

09-ARIF ROHMAN.indd 217

arif rohman

217

tion of Javanese women, Asian Journal


of Women Studies, 3(3), pp. 77-100.
Locher-Scholten, E. (1992). Introduction.
In Elsbeth Locher-Scholten & Anke
Niehof (Eds.). Indonesian Women in Focus. Leiden: KITLV Press, pp. 1-11.
Pakpahan, D. (1996). Women and culture
in Indonesia: Images in religion, customary law in the state. Lila-Asia Pacific Women Studies Journal, 6, pp. 7-11.
Parawansa, K.I. (2005). Enhancing womens political participation in Indonesia. In Julie Ballington & Azza Karam
(Eds.) Women in Parliament: Beyond
Numbers. Stockholm: International
IDEA, pp. 82-90.
Prasilowati, S.L. (2000). An analysis of women education in Indonesia. Halifax: Saint
Marys University.
Sadli, S. (1995). Indonesian girls and
young women amidst change. Canadian Women Studies, 15, pp. 110-113.

10/30/2013 7:38:07 AM

Jurnal Ultima Humaniora, September 2013, hal 109-113


ISSN 2302-5719

Vol. I, Nomor 2

Resensi Buku

Ketika Pasar Mencampakkan Moral


ARIF SUSANTO
Tenaga pengajar di beberapa kampus di Jakarta. Penulis lepas di koran nasional,
majalah, dan jurnal ilmiah. Aktif di Indonesian Institute for Development and Democracy.
Surel: arif_with@yahoo.com
Diterima: 5 September 2013
Disetujui: 19 September 2013
Judul Buku
Penulis
Penerbit
Jumlah Halaman
ISBN

:
:
:
:
:

What Money Cant Buy (The Moral Limits of Markets)


Michael J Sandel
Farrar, Straus and Giroux/ New York
viii+244
978-0-374-20303-0

Apakah kita menghendaki suatu masya


rakat yang di dalamnya segala sesuatu
diperjual-belikan? Atau adakah nilai moral
dan kepublikan yang tidak dipertimbangkan oleh pasar dan tak mungkin dibeli dengan uang? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
menggema di sepanjang tulisan Michael J
Sandel dalam What Money Cant Buy bahkan meruncingkan keyakinan Sandel un-

010-ARIF SUSANTO.indd 218

tuk memperdebatkan secara publik batas


moral bagi pasar.
Menolak totalisasi nalar pasar yang menempatkan segalanya sebagai komoditas,
Sandel mengajukan keberatannya dengan
memasukkan pertimbangan moral pada
apa yang diperjual-belikan. Sesungguhnya,
transaksi bukan semata persoalan maksimisasi kemanfatan, melainkan pula mesti

10/30/2013 7:38:30 AM

Resensi Buku: Ketika Pasar Mencampakkan Moral

arif susanto

219

Keberatan kedua disebut corruption


argument, yang menegaskan situasi hina
sebagai dampak valuasi pasar dan pertukaran tertentu. Alasan pokok dalam argumentasi ini bukanlah persoalan keadilan
dan persetujuan, melainkan makna moral
yang terkandung pada apa yang diperjualbelikan. Pertanyaan kritis yang dapat di
Dalam suatu aksi untuk memprotes ma- ajukan terhadap transaksi ginjal, misalnya,
halnya biaya pendidikan, enam orang adalah apa signifikansi moral keberadaan
membisu sambil memegang kertas bertu- manusia bagi kehidupan dan tidakkah
lis Saya mahasiswa Universitas Brawi- pasar organ tubuh hanya akan mendegrajaya Malang menjual ginjal untuk bia- dasi makna penting manusia.
ya kuliah (http://www.tempo.co/read/
Nalar pasar berfokus semata pada pernews/2013/08/20/079505824/Bingung- tanyaan apakah suatu pertukaran memUang-Kuliah-Mahasiswa-Unibraw-Jual- bawa manfaat bagi kedua pihak, tanpa
Ginjal). Beruntung kesulitan tersebut dapat membuat kondisi siapa pun menjadi lebih
diatasi sehingga para mahasiswa tidak per- buruk. Hal ini berangkat dari pengandaian
lu kehilangan ginjal mereka untuk membi- bahwa nilai atau signifikansi moral sesuatu
ayai pendidikan mereka.
yang dipertukarkan tidaklah relevan bagi
Haruskah ginjal diperjual-belikan? relasi dan aksi pasar. Tetapi, ketika kini
Sandel menunjukkan dua alasan keberatan pasar melingkupi ruang-ruang kehidupan
yang dapat diajukan terhadap kemungki- yang awalnya dipandu oleh norma-norma
nan transaksi semacam itu (h. 110). Perta- non-pasar, sulit untuk menerima bahwa
ma bahwa pasar organ tubuh cenderung pasar tidak memiliki dampak terhadap
menjadikan kalangan miskin sebagai kor- nilai moral pada hal-hal yang dipertukarban, sebab pilihan untuk menjual organ kan.
tubuh mereka bukanlah sungguh-sungguh
pilihan sukarela. Kedua, pasar organ tu***
buh hanya merendahkan dan mengobjektifasi manusia sebagai sekadar kumpulan Jika para ekonom ditanya tentang apa yang
organ tubuh.
mereka lakukan, salah satu jawaban yang
Keberatan pertama disebut fairness ar- mungkin muncul yaitu bahwa tugas meregument, yang menegaskan adanya peluang ka adalah untuk menjelaskan perilaku maketidakadilan manakala orang memper- nusia, namun bukan untuk menilai kepatujual-belikan sesuatu dalam kondisi ketidak- tannya. Gary Becker, seorang ekonom dari
setaraan atau kemendesakan ekonomi. Pi- Universitas Chicago, berpendapat bahwa
lihan pasar bukanlah suatu pilihan bebas sebagai suatu pendekatan yang komprejika sebagian orang terimpit kepapaan atau hensif, ilmu ekonomi dapat diterapkan unlemah sekali posisi tawar mereka. Di sini tuk menjelaskan perilaku manusia, yang
kita mesti mempertanyakan sejauh mana selalu bertindak untuk memaksimalkan
ketimpangan, yang menunjukkan latarbe- kesejahteraan mereka.
lakang kondisi masyarakat, mungkin meSetiap perilaku manusia, demikian cara
mengaruhi derajat kesetimbangan dalam pikir tersebut, dapat dijelaskan melalui
suatu kesepakatan transaksional.
pengandaian bahwa orang memutuskan
menimbang segi keadilan dan kepatutan
moral. Hanya dengan begitu kita mampu
menghindar dari suatu masyarakat pasar,
yang berupaya untuk menelan seluruh
relasi sosial dalam kemasan pasar.

***

010-ARIF SUSANTO.indd 219

10/30/2013 7:38:30 AM

220

Resensi Buku: Ketika Pasar Mencampakkan Moral

apa yang harus dilakukan dengan menimbang biaya dan manfaat; orang memilih sesuatu yang kiranya memberi kemanfaatan
terbesar bagi mereka. Jika gagasan ini benar, setiap aktivitas dipandu oleh hukum
penawaran dan permintaan; dan itu berarti
bahwa segala sesuatu memiliki harga ma
sing-masing.
Mari menimbang salah satu kasus yang
diajukan Sandel. Seorang pekerja yang
sibuk terburu memarkir kendaraannya di
area parkir yang dikhususkan bagi para
penyandang cacat, sementara dia bukanlah penyandang cacat. Berhitung biaya, dia
menimbang bahwa membayar denda untuk kesalahan parkir adalah jauh lebih murah ketimbang jika dia kehilangan banyak
waktu karena harus menemukan tempat
parkir yang tepat.
Namun pertimbangan moral akan melihat persoalan tersebut secara berbeda.
Menempatkan denda parkir sebagai semata ongkos bisnis sesungguhnya menunjukkan kegagalan pekerja tersebut untuk
menghargai kebutuhan para penyandang
cacat dan kehendak komunitas untuk mengakomodasinya, dengan menyediakan area
parkir khusus bagi mereka. Ketika orang
menganggap denda sebagai sekadar biaya,
mereka mencampakkan norma yang terkandung dalam aturan pengenaan denda
tersebut.
Sandel mengkritisi pandangan sebagian
ekonom yang berkeras memisahkan antara
ilmu ekonomi dan etika; antara nalar pasar
dan nalar moral (h. 88). Mereka berpendapat bahwa moralitas merepresentasikan
bagaimana kita menghendaki dunia seharusnya berjalan, sementara ilmu ekonomi
merepresentasikan bagaimana dunia senyatanya berjalan. Bagi Sandel, sebaliknya,
semakin pasar memperluas jangkauannya
meliputi ruang-ruang kehidupan nonekonomi, sesungguhnya semakin mendalam keterkaitannya dengan urusan-urusan
moral.

010-ARIF SUSANTO.indd 220

Vol I, 2013

Ketika nalar pasar digunakan untuk


menimbang komoditas seperti televisi,
telepon pintar, atau mobil, barangkali kita
dapat menerima pengandaian bahwa nilai
komoditas adalah semata persoalan preferensi konsumen. Namun ketika nalar pasar
diterapkan pada hal-hal seperti pendidikan,
kesehatan, lingkungan hidup, atau bahkan
seks, kita sulit menerima pengandaian bahwa segala preferensi sama patutnya secara
moral. Kenyataannya, satu hal memiliki
nilai kepatutan lebih tinggi dibandingkan
hal lainnya.
Dengan demikian, ketika nalar pasar
bergerak melampaui domain komoditas
(material goods), di situ pasti ada keterkaitan
moral, kecuali jika kita menghendaki maksimisasi kemanfatan sosial sembari mengabaikan kepatutan moral atas preferensi
yang diambil.
***

Michael J Sandel adalah Anne T and Robert


M Brass Professor of Government di Universitas Harvard, tempat dia mengajar filsafat
politik sejak 1980. Kuliah Sandel tentang
keadilan telah diikuti oleh puluhan ribu
mahasiswa, yang membuatnya menjadi
salah satu kelas dengan peserta terbanyak
dalam sejarah Universitas Harvard. Sandel juga menjadi dosen tamu di Sorbonne,

10/30/2013 7:38:30 AM

Resensi Buku: Ketika Pasar Mencampakkan Moral

Paris, dan pernah menyampaikan ceramah


tentang nilai-nilai kemanusiaan di Universitas Oxford. Antara lain di bawah bim
bingan Charles Taylor, Sandel memperoleh
gelar doktornya dari Universitas Oxford
pada 1981.
Karya-karyanya telah diterjemahkan
dalam sekitar dua puluh tiga bahasa di
dunia. Publikasi Liberalism and the Limits of
Justice (Cambridge, UK New York: Cambridge University Press) mengentak pada
1982, membuat karya ini banyak disebut
sebagai kritik tajam dan mengena terhadap
salah satu tulisan paling berpengaruh pada
abad terakhir, A Theory of Justice oleh John
Rawls. Pada 1996 dia menulis Democracys
Discontent: America in Search of a Public Philosophy (Cambridge, Mass: Belknap Press of
Harvard University Press).
Public Philosophy: Essays on Morality in
Politics (Cambridge, Mass: Harvard University Press) adalah karyanya yang lain dan
terbit pada 2005. Berbasiskan tulisan-tulisannya untuk audiens yang lebih umum,
karya ini merupakan tinjauan moral dan
filosofis atas berbagai persoalan kontemporer, terutama yang mengundang perdebatan publik. Tidak mengherankan, dalam
karya ini Sandel bergerak di antara komentar politik dan filsafat politik.
Pada 2007, Sandel menerbitkan The Case
Against Perfection: Ethics in the Age of Genetic Engineering (Cambridge, Mass: Belknap
Press of Harvard University Press). Tetapi,
karyanya yang lebih popular adalah Justice:
Whats the Right Thing to Do (New York:
Farrar, Straus and Giroux) yang terbit pada
2010. Pengaruh karya ini, terutama, yang
membuat E J Dionne Jr.---seorang jurnalis
kawakan, komentator politik dan penulis
buku Our Divided Political Heart: The Battle
for the American Idea in an Age of Discontent
(2012)---memuji Sandel sebagai salah satu
filsuf paling penting pada generasi sekarang.

010-ARIF SUSANTO.indd 221

arif susanto

221

What Money Cant Buy merupakan karya


yang diterbitkan pada 2012 dan memperoleh sambutan luas. Sandel mengeksplorasi kerumitan dalam berbagai kasus konkret lewat argumentasi-argumentasi yang
dapat dicerna jelas. Hal ini mengingatkan
pada gaya serupa yang ditunjukkannya
dalam Justice, karyanya terdahulu. John
Lanchester, dalam reviewnya di The Guardian 17 Mei 2012, menyebut ini sebagai suatu
karya filosofis dengan kejelasan argumentasi, lebih daripada sekadar membahas
berbagai polemik, tentang dampak moral
yang dihasilkan pasar terhadap suatu pertukaran.
***
Melalui What Money Cant Buy, Sandel
mengkhawatirkan bahwa pasar telah di
lepaskan keterkaitannya dengan moral,
dan terdapat kebutuhan untuk mempertautkan kembali keduanya. Apa yang dikehendaki Sandel dengan hal itu ialah suatu
perdebatan tentang bagaimana memulihkan kembali posisi pasar, dan untuk itu
pertama-tama kita harus memikirkan batas
moral bagi pasar. Sederhananya, kita perlu
bertanya adakah hal-hal yang memang sepatutnya tidak dibeli dengan uang.
Manakala uang kini mampu membeli
banyak hal bukan hanya telepon pintar
atau mobil, tetapi juga pengaruh politik,
layanan kesehatan, maupun pendidikan
bermutu distribusi pendapatan juga semakin senjang. Ketika segalanya diperjualbelikan, kemakmuran menjadi hal menentukan. Kini kita memiliki masalah bukan
hanya ketimpangan pendapatan, melainkan pula komodifikasi segala hal yang mempertajam kesenjangan.
Selain ketimpangan, masalah kedua
muncul karena penetapan harga atas ber
bagai hal baik di dunia ini hanya akan mendegradasi makna penting hal tersebut. Bagi

10/30/2013 7:38:30 AM

222

Resensi Buku: Ketika Pasar Mencampakkan Moral

Sandel, sesungguhnya pasar bukan hanya


mengalokasikan berbagai hal, melainkan
bahwa pasar juga mengekspresikan dan
mengunjukkan ekspresi tertentu terhadap
apa yang dipertukarkan (h.9).
Ketika kita menetapkan bahwa ada hal
tertentu yang dapat diperjual-belikan, kita
memutuskan, setidaknya secara implisit,
bahwa kita dapat memperlakukan hal-hal
tersebut sebagai komoditas, yaitu instrumen untuk mendapatkan keuntungan
dan kemanfaatan.Namun, sesungguhnya,
tidak semua hal layak dinilai dengan cara
itu. Manusia, misalnya, tidak patut secara
moral untuk diperjual-belikan; memper-

010-ARIF SUSANTO.indd 222

Vol I, 2013

jual-belikan manusia hanya merendahkan


makna penting manusia bagi kehidupan.
Di tengah keringnya diskursus publik tentang moral dan melemahnya ener
gi kewargaan, Sandel mengajak kita men
diskusikan batas-batas moral tentang
pasar. Diskusi tersebut diyakini membuat
masyarakat mampu menegaskan pada batas mana pasar mesti mengabdi pada kebaikan publik. Lebih daripada itu, membiarkan berbagai pandangan tentang hidup
yang baik dalam suatu perdebatan publik
kiranya juga akan menghidupkan politik,
yang selama ini cenderung menjauhi muat
an moral dan spiritual.

10/30/2013 7:38:31 AM

PEDOMAN PENULISAN JURNAL ULTIMA HUMANIORA

1. Artikel berupa hasil penelitian, baik penelitian lapangan maupun kajian pustaka
atau yang setara dengan hasil penelitian, serta kajian konseptual di bidang rumpun
ilmu humaniora, yaitu: Teologi, Filsafat, Hukum, Sejarah, Filologi, Bahasa, Budaya &
Linguistik (Kajian bahasa), Kesusastraan, Kesenian, dan Psikologi.
2. Jurnal Ultima Humaniora memberikan perhatian dan porsi yang lebih khusus pada
artikel, hasil penelitian, serta kajian konseptual seputar Pancasila dan Kewarganegaraan, Agama dan Religiositas, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing, Metode Belajar dan Mengajar yang efektif di Perguruan Tinggi, Kepemimpinan
dan Kewirausahaan.
3. Jurnal Ultima Humaniora terbit secara berkala, dua kali dalam setahun (Maret dan
September).
4. Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bila artikel menggunakan bahasa Indonesia abstraknya menggunakan bahasa Inggris, sedangkan bila
artikel menggunakan bahasa Inggris, abstraknya berbahasa Indonesia
5. Panjang abstrak 150-200 kata, spasi 1, jenis huruf Times New Roman 10pt, ditulis de
ngan huruf miring serta dilengkapi dengan tiga sampai lima kata kunci.
6. Untuk artikel hasil penelitian lapangan, abstrak harus memuat latar belakang dan
perumusan masalah,tujuan,metode,hasil atau kesimpulan penelitian
7. Panjang naskah antara 15-25 halaman, ukuran kertas Kwarto (A4), di luar bagan,
gambar/foto dan daftar rujukan atau daftar pustaka (referensi)
8. Pengetikan naskah menggunakan program Microsoft Word, spasi 1.5, jenis huruf
Times News Roman, 12pt. Marjin kanan-kiri, atas bawah 2.5 cm.
9. Gambar dan Tabel
a) Gambar yang akan ditampilkan dalam jurnal adalah gambar hitam-putih.
b) Bila menginginkan, penulis dapat menyertakan gambar berwarna, namun penulis akan dikenai biaya tambahan untuk pencetakan gambar berwarna tersebut.
c) Gambar dan tabel diberi nomor sebagai berikut: Gambar 1, Gambar 2, dst. Tabel
1, Tabel 2, dst.
d) Gambar dan tabel yang substansinya sama, ditampilkan salah satu.
e) Tabel berbentuk pivot table.
10. Komposisi artikel hasil penelitian : (1) Judul dan sub-judul, (2) Nama Penulis (tanpa gelar), di bawah nama penulis dicantumkan nama institusi/afiliasi/alumni, (3)
abstrak, (4) kata kunci, (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Tinjauan Pustaka/
Kerangka Teori , (7) Metodologi Penelitian, (8) Hasil dan Pembahasan (9) Simpulan
dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat kepustakaan yang dirujuk dalam artikel)
11. Komposisi artikel konseptual: (1) Judul dan sub-judul, (2) Nama Penulis (tanpa gelar), (3) abstrak, (4) Kata kunci, (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Sub judul- sub
judul sesuai kebutuhan, (7) Penutup, (8) Daftar Pustaka (hanya memuat kepustakaan
yang dirujuk dalam artikel).

011-pedoman.indd 223

10/30/2013 7:38:56 AM

12. Ucapan terima kasih: Penulis dapat menuliskan ucapan terima kasih kepada individu, lembaga pemberi dana penelitian, dan sebagainya. Ucapan terima kasih dituliskan sebelum Daftar Pustaka.
13. Penulisan sitasi dibuat dengan catatan perut (in-text references, APA style) yang memuat nama belakang pengarang,tahun penulisan, dan halaman penulisan.
Contoh:
Satu penulis
: (Siapera,2010:49)
Dua penulis
: (Kanpol dan McLaren, 1995:118)
Lebih dari dua penulis : (Lister,dkk,2009:239)
14. Penulisan dalam Daftar Pustaka dapat dilakukan sebagai berikut:
Sumber buku:
Kearney, R. (1999). Poetics of Modernity: Toward a Hermeneutic Imagination. New York:
Humanity Books.
Killen, M. dan Smetana, J. G. (Tim Editor). (2006). Handbook of Moral Development.
Mahwah, New Jersey (USA) dan London (UK): Lawrence Erlbaum Associates,
Inc.
Semi, G., Colombo, E., Camozzi, I. & Frisina, A. (2009). Practices of Difference:
Analysing Multiculturalism in Everyday Life. Dalam Amanda Wise dan Selvaraj
Velayutham. (Tim Editor). Everyday Multiculturalism (hlm. 66 84). Hampshire
RG21 6XS (UK) dan New York (USA): Palgrave Macmillan.

011-pedoman.indd 224

Sumber jurnal:
Mancini, S. (2009). Imaginaries of Cultural Diversity and the Permanence of the Religious. Diogenes 56 (4), 3 16.
Sumber prosiding seminar:
Akbar, A. 2012. Adam, Atlantis, dan Piramida di Indonesia: Antara Fakta Arkeologi
dan Gegar Jati Diri. Artikel dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Kajian
Indonesia (ICSSIS) ke-4 yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia di Bali, 9 10 Februari. Dimuat dalam Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies (hlm. 96 107). ISSN 2087-0019.
Sumber internet:
Harrington, A. M. (2010). Problematizing the Hybrid Classroom for ESL/EFL Students. TESL-EJ, The Electronic Journal for English as a Second Language, Desember 2010,
Volume 14 (3). Bisa diakses di http://www.tesl-ej.org/wordpress/issues/volume14/
ej55/ej55a3/
Sumber disertasi/tesis:
Sayles-Hannon, S. (2008). In search of multiculturalism: Uprooting whiteness in curriculum design and pedagogical strategies. Texas Womans University. ProQuest Dissertations dan Theses, n/a. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/304326219?a
ccountid=17242

10/30/2013 7:38:56 AM

15. Setiap naskah diserahkan dalam bentuk hard copy atau soft copy, dengan format .rtf
atau .doc/.docx. Naskah dapat dikirimkan melalui pos surat biasa atau lewat surel
(e-mail).
16. Hard copy artikel (dalam format RTF/doc/docx) bisa dikirimkan paling lambat satu
bulan sebelum periode penerbitan kepada :
Redaksi Jurnal Ultima Humaniora
Gedung Rektorat Lantai 2
UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA (UMN)
Jalan Boulevard Gading Serpong, Desa Curug Sangereng,
Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Banten 15333
Telp + 6221 5422 0808 ext. 2510
Atau format soft copy bisa dikirimkan lewat surel ke:
Redaktur Pelaksana Jurnal Ultima Humaniora, Hendar Putranto, dengan alamat
surel: hendar2001@yahoo.com sertakan juga carbon copy ke alamat surel kantor, hendar2007@umn.ac.id
17. Redaksi berhak memperbaiki gramatika (mistyping, misspelling, inaccuracy) penulisan naskah tanpa mengubah isi naskah tersebut. Semua pandangan, pendapat atau
pernyataan (klaim) yang terdapat dalam naskah merupakan tanggungjawab penulis.
Naskah yang tidak dimuat pada edisi Mei dapat dipertimbangkan untuk dimuat pada
edisi November tahun yang sama (atau yang tidak dimuat di edisi November dapat
dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi Mei tahun berikutnya), dengan catatan
bahwa penulis akan merevisi naskah tersebut sesuai saran dan rekomendasi Redaksi.
Naskah yang tidak memenuhi ketentuan dan kebijakan Redaksi akan dikembalikan
dengan catatan, lewat surel.
18. Penulis yang naskahnya diterima dan dipublikasikan dalam jurnal akan mendapatkan honorarium, setelah dipotong pajak 2.5% (dengan NPWP) atau 3% (tanpa
NPWP). Honorarium akan ditransfer ke rekening dengan nama penulis (tidak boleh
diwakilkan) paling lambat dua minggu setelah jurnal naik cetak dan siap didistribusikan.

011-pedoman.indd 225

10/30/2013 7:38:56 AM

011-pedoman.indd 226

10/30/2013 7:38:56 AM

Anda mungkin juga menyukai