ISSN 2302-5719
Vol. I, Nomor 2
Ultima Humaniora merupakan gabungan dua konsep kunci yaitu Ultima yang berarti dalam, berbobot,
bernilai dan Humaniora (Latin) yang berarti ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan
membuat manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya. Secara umum, yang tergolong dalam rumpun
ilmu humaniora adalah: Teologi, Filsafat, Hukum, Sejarah, Filologi, Bahasa, Budaya & Linguistik (Kajian
bahasa), Kesusastraan, Kesenian, dan Psikologi.
Jurnal Ultima Humaniora merupakan jurnal ilmiah interdisipliner yang menghimpun gagasan dan riset
terkini di bidang Pancasila, kewarganegaraan, religiositas (agama), bahasa Indonesia, bahasa Inggris
sebagai bahasa asing (EFL), pengembangan metode belajar serta mengajar yang efektif di Perguruan
Tinggi, kepemimpinan dan kewirausahaan. Jurnal ini diterbitkan Universitas Multimedia Nusantara,
di bawah kordinasi Departemen Mata Kuliah Umum (MKU), secara semi-annual atau dua kali dalam
setahun, yaitu pada Februari dan Agustus.
Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, dan siapapun yang berminat untuk
menyumbangkan tulisan mengenai topik umum rumpun ilmu humaniora maupun topik khusus Jurnal
Ultima Humaniora. Artikel yang dimuat dalam Jurnal Ultima Humaniora tidak selalu mencerminkan
pandangan/pendapat redaksi.
SUSUNAN REDAKSI
Pelindung
:
Penanggungjawab
:
Pemimpin Umum
:
Mitra Bestari
:
Ketua Dewan Redaksi :
Dewan Redaksi
:
Tata Usaha
:
Sirkulasi dan Distribusi :
Keuangan
:
00-daftarisi.indd 1
11/16/2013 9:33:21 AM
ii
Vol I, 2013
Daftar Isi
DAFTAR ISI
Volume I, Nomor 2
iii
110
124
137
Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet: Memaknai Ulang Cinta dan
Seksualitas Manusia di Era New Media
ALEXANDER AUR....................................................................................................
149
160
169
180
192
212
[Resensi Buku What Money Cant Buy (The Moral Limits of Markets)
karya Michael J Sandel, 2012] Ketika Pasar Mencampakkan Moral
ARIF SUSANTO.........................................................................................................
218
00-daftarisi.indd 2
11/16/2013 9:33:21 AM
iii
Pengantar Redaksi
KATA PENGANTAR
Salam kemanusiaan!
Sidang pembaca yang budiman, edisi kedua Jurnal Ultima Humaniora akhirnya
kembali hadir mengunjungi halaman intelektual Anda di paruh kedua tahun 2013 ini.
Edisi kedua menampilkan sembilan artikel panjang dan sebuah resensi buku. Enam artikel pertama membahas tema sentral edisi ini (Local Wisdom dalam era New Media,)
dan dua artikel berikutnya membahas tema-tema yang menjadi fokus kajian jurnal, yaitu
soal Pancasila dan Kewarganegaraan serta soal (pengayaan) metode pembelajaran. Artikel terakhir membahas soal wacana dan kebijakan pemberdayaan perempuan ditinjau
dari khasanah budaya Jawa. Resensi buku mengulas karya filsuf politik kenamaan dari
Amerika Serikat, Michael J Sandel, berjudul What Money Cant Buy (The Moral Limits of
Market), terbitan 2012.
Wacana tentang local wisdom dalam era New Media tidak bisa dipisahkan dari konteks dan Lebenswelt budaya. Culture matters, itu sudah jelas dengan sendirinya. Kebenaran
ini tidak hanya berlaku di masa lalu, namun juga di masa sekarang. Di tengah kepungan
dan terpaan globalisasi, manusia dalam lokalitas dan temporalitasnya justru mencoba
mencari jenis-jenis maupun sumber-sumber pemaknaan budaya yang baru, yang pada
gilirannya dapat (a) menjadi benteng dari proses alienasi dan nihilisme, (b) membuahkan
pelbagai local wisdom yang tidak hanya merupakan kulminasi serta kristalisasi pengalaman dan refleksi manusia (dalam kelompok serta komunitasnya), namun juga rujukan
identitas terkini yang memberikan kepada manusia keberakarannya dalam dimensi ruang dan waktu yang spesifik. Prinsip universalitas serta abstraksi modern sudah mulai
banyak ditinggalkan, sejauh itu menyangkut nilai, budaya, dan praksis kebijaksanaan
yang mengalir daripadanya. Baik itu dalam dunia industri, periklanan, media, pariwisata, ekonomi, pendidikan, dan lainnya, kita menyaksikan gejala kembalinya pada yang
lokal, yang temporal, yang spesifik. Contoh: Rosa dalam iklan extra joss, gak ada lo
gak rame versi iklan rokok, terapi herbal khas daerah-daerah tertentu, menjamurnya
wisata kuliner, industri kreatif berbasis budaya, dst.
Amat disayangkan jika local wisdom yang melimpah ruah dalam ruang-waktu budaya
Nusantara ini---yang sayangnya belum terlalu banyak digali potensi-potensinya maupun
ditransformasi ke dalam bentuk-bentuk yang lebih berterima--- diaprosiasi dan dikapitalisasi oleh subjek dan pelaku asing (foreign subjects and agents) sebagai eufemisme dari
istilah: penjajahan budaya.
Pertanyaannya: Bagaimana kita mau memetakan gugus persoalan di atas dalam konteks kajian ilmu-ilmu humaniora? Sejauh mana Media Baru sudah menyumbangkan
sesuatu untuk pelestarian dan pengalih-generasian local wisdom (atau justru keberadaan
00-daftarisi.indd 3
11/16/2013 9:33:21 AM
iv
Pengantar Redaksi
Vol I, 2013
00-daftarisi.indd 4
11/16/2013 9:33:21 AM
Pengantar Redaksi
spiritual gawai dan sistem (budaya) berladang berpindah-pindah yang dilakukan suku
Dayak tradisional yang mencuatkan kearifan lokal dan keselarasan dengan alam dengan
cara tidak merusak alam dan lingkungan hidup (tulisan R. Masri Sareb Putra), dan (4)
Demokrasi dan Kekuasaan dalam Pandangan Hidup Orang Jawa yang menggarisbawahi
pentingnya sejumlah konsep kunci orang Jawa berikut ini seperti primbon, olah rasa, wahyu
ratu dan wangsit, tapa pepe, gentho dan balai desa (tulisan Aryaning Arya Kresna).
Dua artikel setelahnya berbicara tentang metode pengajaran di tingkat Perguruan
Tinggi. Hendar Putranto membahas soal perlunya mengembangkan dan memperkaya
metode pengajaran Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai mata kuliah wajib di Perguruan Tinggi. Penggunaan metode partisipatoris berbasis imajinasi rekonstruktif---terinspirasi pemikiran Giambattista Vico tentang reconstructive fantasia dalam Nuova Scienza--guna memahami pengetahuan sejarah supaya lebih aktual dan relevan (misalnya: tentang
kontroversi perumusan Naskah Pancasila, tentang Ideologi Pancasila) merupakan usul
an yang pantas dicoba untuk melengkapi model Taksonomi Bloom yang berfokus pada
pengembangan dimensi kognitif, afektif dan motorik siswa didik. Artikel yang ditulis
Oscar Jayanagara membahas tentang videografi sebagai ilmu sekaligus sarana pembelajaran secara mendetil berbasiskan pengalaman penulis yang sudah teruji di lapangan.
Dengan telaah atas video Jalan Sesama dan Sesame Street, Oscar memberikan bukti
nyata bagaimana videografi tidak hanya mampu meraih target audiens penayangan di
layar kaca secara signifikan namun juga menjadi cetak biru dari videografi sebagai sarana pembelajaran baik di tingkat dasar maupun lanjut.
Artikel berjudul Does Education Empower the Indonesian Women? yang ditulis
Arif Rohman dilatarbelakangi sejarah kampanye aktivis perempuan melawan budaya
patriarki di era 1960-an. Kampanye yang bertujuan untuk mencapai pemenuhan hakhak perempuan dalam aspek hukum, politik dan sosial ini bergayung-sambut dalam
konteks keindonesiaan kini. Dengan menggunakan budaya Jawa sebagai kasus, artikel
ini mendiskusikan kemungkinan positif di mana pendidikan berdampak terhadap pemberdayaan perempuan sekaligus identifikasi atas faktor-faktor yang menghambat pendidikan pemberdayaan perempuan di Indonesia.
Jurnal Ultima Humaniora ditutup dengan sebuah tulisan Arif Susanto mengenai resensi buku baru (terbitan 2012) karya Michael J. Sandel yang berjudul What Money Cant
Buy (The Moral Limits of Markets). Buku ini membahas kecenderungan totalisasi nalar
pasar yang menempatkan segalanya sebagai komoditas. Totalisasi nalar pasar ini digugat
Sandel yang lalu memperkenalkan pertimbangan moral pada apa yang diperjual-belikan
di mana transaksi bukan semata persoalan utilisasi secara maksimal segi keuntungan
dan manfaat, melainkan juga soal keadilan dan kepatutan moral. Hanya dengan memasukkan pertimbangan moral dan keadilanlah kita mampu menghindar dari sergapan
masyarakat pasar, yang berupaya menelan seluruh relasi sosial dalam kemasan pasar.
Kencangkan ikat pinggang nalar Anda agar dapat (lebih) menikmati sajian artikel
yang berbobot dalam Jurnal Ultima Humaniora edisi kedua ini.
Tabik!
00-daftarisi.indd 5
11/16/2013 9:33:21 AM
00-daftarisi.indd 6
11/16/2013 9:33:21 AM
Vol. I, Nomor 2
QUSTHAN FIRDAUS
Lecturer on Citizenship, Creative and Critical Thinking Course
Universitas Multimedia Nusantara
Scientia Garden, Jl. Boulevard Gading Serpong Tangerang Banten
Telepon: (021) 54220808
Surel: qusthan.abqary@gmail.com
Diterima: 21 Agustus 2013
Disetujui: 9 September 2013
ABSTRAK
Local wisdom biasanya diterima begitu saja oleh sebagian orang Indonesia sebagai hal yang
jelas dan jernih. Orang secara semena-mena mengarahkannya pada berbagai macam objek dan
mengaburkan perbedaan antara objek kongkret dengan objek abstrak. Artikel ini berusaha memetakan local wisdomsebagai dirinya sendiri. Persoalan pemetaan local wisdomboleh jadi rancu
khususnya ketika kita akan (1) memaknainya dengan baik; (2) membedakannya sebagai types
atautokens; (3) menanganinya sebagai properti; (4) mengapropriasinya; dan (5) menjustifikasinya. Artikel ini akan mendiskusikan kelima persoalan tersebut. Setelah kita mendiskusikannya,
maka kearifan lokal akan dipahami secara lebih baik apabila orang Indonesia memahaminya sebagai local thoughts ketimbang local wisdom. Yang-sebelumnya mengimplikasikan koherensi
sementara yang-berikutnya mengimplikasikan inkoherensi. Artikel ini membangun argumen
bahwa ekspresi local wisdom sebaiknya diakhiri karena ia tidak jernih. Jika para pendukungnya
bersikeras untuk mengekspresikannya dalam bahasa Inggris, maka artikel ini mengusulkan local thoughts, selama kita memerhatikan beberapa justifikasi yang memadai. Ringkasnya, local
wisdomnampaknya rapuh sementara local thoughts tentu saja kokoh.
Keywords: local wisdom, local thoughts, type-token, property, appropriation, justifications.
10/30/2013 7:34:27 AM
qusthan firdaus
111
10/30/2013 7:34:28 AM
112
words such as ability, wisdom, and learning, as the synonyms of the word kearifan in Bahasa Indonesia. Here, we should
recheck whether or not such equalizing is
sufficient. Therefore, we need to check the
meanings of arif, kearifan, and wisdom
within its own languages.
Arifin Bahasa Indonesia means, more
or less, having knowledge, be smart and
intelligent, and be wise. Those meanings
seem to be attached to some well educated persons. If those educated persons do
some moron actions, then such meanings
might be detached from his personality or
merely disappeared from him. Yet, some
Indonesians might conceive that you do
not need to have access to the high quality education in order to be arif. Indeed,
you could be arif by learning everything
that you face in daily life or by doing some
meditations for a long time. Consequently,
having knowledge does not mean that you
ought to go to schools and universities for
decades but simply by, let us say, exercising
some non-academic activities. Indeed, they
usually reckon that some rural individuals
are relatively more arif, compared to some
urban people because the previous copes
well with the environment and neighborhood (though perhaps be tacky) while the
latter are prone to be egoistic (though be
modern). Additionally, kearifan is merely
another noun of arif and it also constitutes
the notion of kearifan lokal.
Nevertheless, knowledge is not a mere
information which we could achieve either
in some traditional markets or somefarmings. Indeed, knowledge is the systematic
information which is achieved by conducting some research and trainings. Therefore,
knowledge provides an opportunity for
individuals to be wise though they could
not always be wise. For example, a professor in philosophy of moral does not always
be wise, given that he has all necessary
Vol I, 2013
10/30/2013 7:34:28 AM
the saying KAM danHAM (the human duties and the human rights) or some compelling words such as we ought to fulfill our
obligations before taking our rights. However, we have the right not to assist others
and we might refuse to help them for some
adequate reasons. Consequently, an ethicist does not have any positive duty which
compel him to reply his students emails.
Thereby, being wise requires knowledge, education and trainings in schools
and universities though those things
would not guarantee one to be wise. Those
things simply provide some opportunities
for people to be wise. Moreover, it is particularly different between being wise and
being patient or calm in responding problems. Soeharto, for instance, did enjoy the
elementary school and some military trainings but we could not say that he was a
wise person based on the fact that he was
a very calm person. Moreover, Habibie did
enjoy the German higher education but we
could not conceive that he is a wise individual simply by the fact that he is a professor. Moreover, we need to examine their
acts (when facing some difficult problems)
and their justifications (when taking indispensable decisions) whether or not based
on the ethical considerations. In short,
there is a line between having knowledge
and being wise and each person has some
personal tendencies whether or not to cross
the line. They could not be morally forced
by anyone to be wise because they might
prefer to be unwise. Additionally, there is
a wide gap between the notion of arif and
kearifan with the notion of wisdom especially in the way people use it in ordinary
life.Having discussed the meanings of local wisdom and its implications, we would
seek the scope of local wisdom.
Scope
This section will describe the scope of local
wisdom because the failure to do it might
qusthan firdaus
113
imply some arbitrary denotations. The notion of local wisdom implies another notion such as the universal wisdom or the
global wisdom.Moreover, one might argue
for a spectrum of wisdom such as the regional wisdom and the national wisdom. If
a proponent of local wisdom rejected such
spectrum, then they would be inconsistent
when establishing the notion of local wisdom. Additionally, if a proponent of local
wisdom accepted such spectrum, then the
scope of local wisdom is limited by a specific locality.
Insofar as people conceive the local
wisdom as anything which embeds in Indonesia, then these words would be used
arbitrarily either by its proponents or opponents. Local wisdom might refer to all
values, all traditional dances, all traditional
weapons, all myths, all mystical experience, all beliefs, all holy places, all traditional views, and so on. In other words,
the so called local wisdom refers to knowledge, values, mysticism, things, places, and
ways of living. Had the notion of local wisdom were coherent, then we should ask:
what is the universal wisdom or the global
wisdom? Is there anything which could be
taken for granted by seven billion people
on this planet as the so called universal or
global wisdom? Yet, the notion of universal
or global wisdom is unfortunately disregarded by the proponents of local wisdom.
On the one hand, some of them conceive
the universal wisdom as all western stuffs
while, on the other hand, others reckon it as
humanity, ethics, and probably religions.
The scope of local wisdom might be
overlap with the scope of local thoughts
over something. Even though they overlap
one another, it does not affect our suggestion to shift the expression of local wisdom
with the local thoughts. The latter still be
able to reflect a clear and distinctive denotation instead of the previous. For instance,
10/30/2013 7:34:28 AM
114
Vol I, 2013
10/30/2013 7:34:28 AM
qusthan firdaus
115
10/30/2013 7:34:28 AM
116
Vol I, 2013
10/30/2013 7:34:28 AM
qusthan firdaus
117
It means that Winarno admits ownership does not always bestow over generations for some reasons such as the regime
of intellectual property did not exist in the
past or the obscurity of intellectual property.
The regime of intellectual property
incorporates some thoughts as a part of
property. It modifies some thoughts into
a commercial property such as some taglines or messages. For example, the tag-line
rasa might be taken from a maxim orang
Jawa nggone rasa [the Javanese people are
the source of a combination of feelings and
senses] while others are dealing with the
essence of life such as urip iku mung mampir
ngombe[life is just about halting for drinking]; and the notion of soul like ajining jiwa
dumunung ana ing busana [the power of soul
is formed by its appearance]). Spirits (most
Jogjanese honor Nyi Roro Kidul) are also
taken by some proponents as an inherent
component of local wisdom. They honor
spirits and therefore they take it for granted
as the local wisdom. The failure to honor
spirits might imply a bad thing such as be
cursed by spirits or at least be unlucky during a certain period of time. Spirit might be
exist in the sense that an individual could
be exist in a disembodied form. A defense
of spirit itself is not only provided by the
Eastern thinkers but also by the Western
thinker. For instance, Ayer regards the notion of spirit is not meaningless and it is
intelligible in the world of fantasy though.
Ayer does not reject the notion of spirit because it might provide the continuity of
memory in and of an individual and shape
the basis for the reincarnation as is shown
by his example of a person who claims that
himself is the reincarnation of Julius Caesar, given that he could expose some necessary information which are only known by
some elites in the past (Ayer, 1990: 193-4).
10/30/2013 7:34:28 AM
118
Appropriation
Having discussed the local wisdom in the
sense of property, I need to explore the process of appropriation in order to figure out
the process of appropriation itself. Such
exploration might imply to a rejection that
wisdom is a property. In contrast, ignoring such process might imply the unjust
appropriation and such unjustified appropriation might be considered as stealing.
If most Indonesians resist some practices
-- where some foreign companies appropriate the local thoughts as their business commodities (such as tag-lines or trade marks)
-- then such resistance would be hardly
done because market always compels to
annex it over and over. Meanwhile some
foreign companies appropriate other local
thoughts, the locals might have no chance
to capitalize the local thoughts. Indeed, if
competitors use the same local thoughts
for their business, then consumers would
spontaneously reckon that they are not creative nor unique. Here, the notion of creative and unique should be distinguished
from the notion of asal beda (be arbitrarily
different). The previous requires some convincing arguments for potential consumers
whether or not to buy the product while
the latter merely implies the urgency for
making differences, no matter plausible or
implausible it is. Moreover, a challenging
problem with the notion of local wisdom
is its ambition to claim that its material objects are owned by some local communities
and, consequently, others could not utilize
it.
Another question with the issue of appropriation is: by what right that current
individuals appropriate the so called local
wisdom as their property?Locke provides
the mixing labor theory which says that
one could appropriate the unowned ob-
Vol I, 2013
10/30/2013 7:34:28 AM
qusthan firdaus
119
Such point is based on a presumption that thoughts cannot be spoiled by others. Thoughts cannot be scarce although
the lack of criticism and creativity might imply no innovations. Moreover, it develops in such a way through the academic activities and the social interactions. Insofar as there are academic activities and the social interactions, then
thoughts would always develop.
10/30/2013 7:34:28 AM
120
Vol I, 2013
It means an ethical approach which emphasizes on the consequences of an action. By those consequences, one might
decide whether or not to take some available actions. Therefore, a bad action could be justified by its good consequences such as white lies, killing the innocent by standards in war or killing for the sake of self-defense.
3
It means an ethical approach which emphasizes on the nature of an action. Therefore, one should always conduct the
good actions though it might cost him painstakingly such as putting children to get some seats in a lifeboat though
it costs his or her life because he or she has no seats and might be drowned.
10/30/2013 7:34:29 AM
qusthan firdaus
121
in God. God indeed never forces individuals to believe in him, therefore the state
should not force its citizens to worship
God. Notonagoro furthermorejustifies the
existence of God by the Aristotelian causa
prima where everything has the primary
cause, viz., God. Interestingly, he compares
the causa prima with the Javanese saying
sangkan paraning dumadi which means the
origin and the direction or the destination
over everything which happens (Notonagoro, 1995: 79). Here, one might ask: if the
notion of Aristotelian causa prima is similar or be consistent with the notion of sangkan paraning dumadi, then we ought to ask
whether or not the latter is originally a local wisdom instead of a universal wisdom.
...maka di antara tiga macam ada tidak dapHad it were a local wisdom, then Notonaat lain yang tepat daripada ada dalam objektigoro would explain further about its diffanya[sic]. Jadi, Tuhan, manusia, satu, rakyat,
dan adil itu ada dalam realita kenyataan yang
ferentiation with the Aristotelian causa
sesungguhnya, terlepas dari pengetahuan, rasa,
prima. Yet, Notonagoro merely puts a real
kehendak, kepercayaan, anggapan, kesadaran,
example of the causa prima and ignoring
dan angan-angan orang. Ada tidaknya segala
its compatibility with the sangkan paraning
sesuatu itu pada orang, pada orang Indonesia,
dumadi. Had it were a universal wisdom,
sama sekali tidak mempengaruhnya sedikitthen the sangkan paraning dumadiwould be
pun
acknowledged by not only the Javanese but
[...so among three kinds of being, there
also other people.
is no more accurate [being] instead of beIn contrast, we might reckon that the
ing in its own objective. Therefore, God,
sangkan paraning dumadi is merely a lohuman, one, folks, and justice are being in
cal manifestation of the Aristotelian causa
reality, with which be disconnected from
prima which happens through centuries.
knowledge, taste, wills, faiths, presumpSuch problem could be solved by changtions, consciousness, and individuals
imaginations. Whether or not they be exist
ing the notion of local wisdom with the loin individuals, especially Indonesians, do
cal thoughts. Nevertheless, there might be
not matter at all.] (Notonagoro, 1995: 64).
some differences as well as some similarities. Had Aristotle knew that Notonagoro
In other words, Notonagoro believes compare the causa prima with the sangkan
that Pancasila still be exist in reality though paraning dumadi, then Aristotle might put
some Indonesians are atheists or agnostics. some charge to all Javanese individuals
The state should not force its citizens to be- who take some benefits from his intellectual
lieve in God because it would overstep the work. In contrast, Aristotle would not put
first principle of Pancasila viz., the belief some charge if we put the sangkan paraning
Although there are a lot of well-developed countries which ignore God but they are still able to deliver justice to their citizens.
10/30/2013 7:34:29 AM
122
Vol I, 2013
***
I would like to thank the referees of this
journal and Arya Kresna for his invaluablecomment on the meaning of Javanese word rasa though the meaning
which is applied here quite different
from his apprehension.
10/30/2013 7:34:29 AM
qusthan firdaus
123
10/30/2013 7:34:29 AM
Vol. I, Nomor 2
ABSTRACT
The term Local Wisdom is taken for granted. It is often perceived as the local societys philosophy.
In this paper, I would pose some problems to be criticized in order to understand Local Wisdom
more thoroughly. Each problem would have its own implications which deal with the comprehension of Local Wisdom. Some parties conceive Local Wisdom as an ethical issue, while others see it
as an epistemological issue. Moreover, it is understood by some that Local Wisdom is bequeathed
by ancestors through traditions. Besides, there is another view that considers Local Wisdom as a
kind of local knowledge, which is contextual in space and time.
Key words: local wisdom, pengetahuan.
Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan berjudul Soal Local Wisdom yang pernah dimuat di majalah
filsafat online Philosophy Angkringantanggal 20 Juni 2013.http://philosophyangkringan.wordpress.com/2013/06/20/
soal-local-wisdom/
2
Misalnya, Suwarman Partosuwiryo di dalam artikel opini di surat kabar Kedaulatan Rakyat edisi Sabtu, 20 Juli 2013
menyebut pranata mangsa sebagai Local Wisdom.
10/30/2013 7:35:00 AM
jimmy jeniarto
125
Sartini di dalam konteks inimenempatkan Local Wisdom sebagai suatu produk hasil proses berpikir. Pemikiran Sartini ini didasarkan pada pembedaan antara filsafat sebagai produk pemikiran terhadap filsafat sebagai proses atau
aktivitas berfikir.
4
Contoh lain, koran Kedaulatan Rakyat edisi Minggu 22 September 2013 memberitakan festival memedi sawah (orangorangan pengusir burung di sawah) di Bantul, Yogyakarta. Koran tersebut menyatakan memedi sawah sebagai kearifan lokal dan memiliki muatan filosofis (Kedaulatan Rakyat, 2013: 1, 6). Di sini dapat dilihat bagaimana memedi sawah
ditempatkan sebagai kearifan lokal (Local Wisdom) yang berkaitan dengan filsafat sebagai pandangan hidup.
5
Sartini (2009: 9) menyamakan pengertian bijaksana dan arif berkaitan dengan penerjemahan Local Wisdom. Istilah Local Wisdom diterjemahkan oleh Sartini sebagai kearifan setempat tanpa dibedakan dengan istilah kebijaksanaan setempat. Di dalam bab pendahuluan buku Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global yang dieditori oleh
Irwan Abdullah (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM) bersama Ibnu Mujib dan M. Iqbal Ahnaf (dosen-dosen
Sekolah Pascasarjana UGM),istilah Local Wisdom diterjemahkan sebagai kearifan setempat tanpa mempersoalkannya
dengan istilah kebijaksanaan setempat (Abdullahet al. (ed.), 2008: 1-10).
6
Kata arif merupakan serapan dari bahasa Arab arif. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiayang disusun Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, kata arif diterjemahkan:adj. (1) bijaksana; cerdik dan pandai; berilmu.
(2) paham; mengerti. Kata kearifan diterjemahkan:n. kebijaksanaan; kecendekiaan (Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2007: 65).
10/30/2013 7:35:00 AM
126
Vol I, 2013
Istilah filsafatberasal dari bahasa Arab falsafah. Kata falsafahitu sendiri merupakan serapan dari kata Yunani filosofia. Oleh karena itu, kata Arab arif(Indonesia: arif) dan kata Indonesia bijaksana tidak memiliki pengalaman
pembentukan istilah filosofia sebagaimana muncul di dalam bahasa Yunani. Bahasa Arab dan bahasa Indonesia me
nerima jadi istilah filosofia beserta maknanya, yang kemudian diserap menjadi falsafahdan filsafat.
10/30/2013 7:35:00 AM
jimmy jeniarto
127
Istilah local genius digunakan oleh H.G. Quaritch Wales untuk menyebut elemen-elemen lokal pada masyarakat
Asia Tenggara di dalam evolusi kebudayaan mereka selama periode Hindu dan Budha serta kaitannya dengan
India(Mills, 1952: 407).
9
Sensasi (indera) dan empiri (pengalaman) manusia dijadikan sumber utama di dalam proses munculnya pengetahuan.
10/30/2013 7:35:00 AM
128
Vol I, 2013
10
Karl Popper (1989: 26-27) mengatakan bahwa sebenarnya sumber terpenting pengetahuan kita (selain pengetahuan
bawaan) berasal dari tradisi. Banyak hal yang kita ketahui berasal dari tradisi. Namun begitu, menurut Popper(1989:
122), terdapat dua sikap terhadap tradisi, yakni kritis dan tidak kritis. Sikap tidak kritis adalah menerima tradisi.
Penerimaan tersebut bahkan bisa dilakukan tanpa sadar. Di sisi lain, sikap kritis adalah mengetahui dan mengerti
terlebih dahulu suatu tradisi sebelum melakukan kritik. Sikap kritis dapat berakhir menerima, menolak, atau bahkan kompromi terhadap suatu tradisi.
11
Dengan menggunakan pemikiran Poppersebagai kerangka teoritik, yakni tentang kemunculan tradisi baru, maka dapat dikatakan kemunculan filsafat terjadi melalui pertentangan antara rasionalisme melawan tradisionalisme. Menurut Popper, tradisionalisme adalah keyakinan yang menerima otoritas tradisi. Di sisi lain, kaum rasionalis tidak tertarik dengan tradisi. Tradisi
dianggap sebagai hasil pemikiran orang lain di jaman dahulu. Para rasionalis ingin menggunakan pikiran mereka sendiri dan
menilai sesuatu secara bebas dari tradisi. Kaum rasionalis adalah mereka yang menantang dan mengkritik segala sesuatu, dan
tidak tunduk secara buta terhadap tradisi, termasuk tradisi mereka sendiri. Lebih jauh, kemunculan filsafat adalah kemunculan
tradisi baru, yakni tradisi akal kritis (Popper, 1989: 120-126).
10/30/2013 7:35:00 AM
jimmy jeniarto
129
12
Dalam pemikiran Popper, mitos bisa menghasilkan teori-teori ilmiah. Sains dibedakan terhadap mitos (yang lebih
tua) bukan karena ia bersifat jelas dibanding mitos, namun dikarenakan bahwa sains disertai oleh tradisi tingkat
kedua, yakni diskusi kritis terhadap mitos. Di bawah tekanan kritik, mitos-mitos dipaksa untuk menyesuaikan diri
mememberi gambaran dunia di mana kita hidup secara memadai dan lebih detil (Popper,1989: 127-128).
13
Kebenaran mitos diterima dan dipercaya tanpa melalui kritik dan pembuktian, sedangkan fakta dan sejarah diterima melalui proses kritik dan pembuktian.
10/30/2013 7:35:00 AM
130
Vol I, 2013
14
Sesuatu yang telah ditolak kebenarannya dikarenakan salah secara faktawi masih bisa diterima dengan cara diubah
maknanya.Di dalam kerangka etis, sesuatu bisa diterima oleh masyarakat dikarenakan fungsionalitasnya secara etis
(moral), bukan kebenarannya secara faktawi. Misal, hingga saat ini sebagian masyarakat Jawa non-Hindu masih
menyukai cerita wayang dikarenakan ajaran moral di dalamnya. Namun mereka tidak mengakui keberadaan faktawi dari tokoh-tokoh di dalam wayang, termasuk para dewa (tuhan) di dalam cerita tersebut, dan menganggap
cerita wayanghanya sebagai mitos. Jika cerita wayang dianggap sebagai Local Wisdom, maka Local Wisdom di sini
berarti pencarian makna terus menerus dengan menafsirkan secara baru suatu warisan masa lalu, atau dengan
kata lain menggeser makna sesuatu yang dahulu pernah dipercaya secara faktawi menjadi dipercaya fungsi etisnya
(ajaran moral) saja saat ini.
10/30/2013 7:35:01 AM
jimmy jeniarto
131
15
Pranata mangsa, atau sistem kalender pertanian di Jawa, sebagaimana disebut di atas merupakan contoh kemajuan
pengetahuan manusia yang dihasilkan secara praktis untuk memperbaiki kehidupan dan bukan dalam rangka
pencarian demi pengetahuan itu sendiri.
16
Istilah ilmu merupakan pemendekan istilah Ilmu Pengetahuan, yang merupakan terjemahan bahasa Indonesia
untuk kata science. Jujun Suriasumantri, di dalam bukunya, menyinggung beberapa persoalan terkait penerjemahan kata science ke dalam bahasa Indonesia (Suriasumantri, 2009: 291-296).
10/30/2013 7:35:01 AM
132
Vol I, 2013
17
Pemikiran Sartini (2009: 24) yang menempatkan Local Wisdom sebagai produk, sebagaimana telah disebutkan di atas, adalah
contoh penempatan Local Wisdom di dalam posisi sebagai objek material.
10/30/2013 7:35:01 AM
jimmy jeniarto
133
18
Misal, jika sistem politik feodalisme Jawa dipraktekkan sebagai Local Wisdom,dengan alasan sebagai pemikiran politik warisan budaya, maka kelas bangsawan akan diuntungkan secara ekonomi dan politik. Contoh kasus, hingga
saat inirebutan tanah antara para petani lahan pantai di Kulon Progo, Yogyakarta, dengan pihak Keraton Pakualaman masih berlangsung. Para petani mengatakan bahwa para orang tua mereka merebut lahan tersebut dari penguasaan Jepang dan mereka (para petani dan orang tuanya) telah menggarapnya selama puluhan tahun. Sedangkan pihak Keraton Pakualaman mengklaim bahwa,sebelum kedatangan Jepang, lahan pantai tersebut merupakan
tanah Keraton Pakualaman. Sistem politik feodalisme akan berpihak pada Keraton Pakualaman, yang berarti lahan
pantai akan diambil oleh Keraton Pakualaman. Para petani tentu menolak sistem politik feodalisme tersebut.
19
Sebagai contoh, Soeharto dikenal sering menggunakan petuah-petuah kebijaksanaan Jawa untuk mengamankan
posisi politiknya pada masa Orde Baru. Soeharto menggunakan peribahasa Jawa rumangsa bisa nanging ora bisa
rumangsa(kira-kira berarti: mengira mengerti padahal tidak mengerti) untuk menyatakan ketidaksukaannya pada
gerakan Petisi 50 (Dwipayana, G. & Ramadhan K.H., 1989: 347). Kelompok Petisi 50 yang muncultahun 1980
berisi para tokoh terkemuka yang mengkritisi pemerintahan Soeharto. Pernyataan Soeharto dapat dilihat sebagai
upaya Soeharto dalam rangka mengamankan posisi politik dari kemungkinan ancaman menguatnya penentang
dirinya.
10/30/2013 7:35:01 AM
134
Vol I, 2013
10/30/2013 7:35:01 AM
jimmy jeniarto
135
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwanet al. (ed.). (2008). Agama
dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana
UGM dan Pustaka Pelajar.
Dowden, Ken. (1992). The Uses of Greek Mythology. London and New York: Routledge.
Dwipayana, G. & Ramadhan K.H. (1989).
Soeharto: Pikiran, ucapan, dan tindakan
saya: otobiografi, seperti dipaparkan kepada
G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada.
Gerson, Lloyd P. (2009). Ancient Epistemology. Cambridge: Cambridge University
Press.
Kedaulatan Rakyat. (2013). Memedi
Sawah, Kearifan Lokal Mengusir
10/30/2013 7:35:01 AM
136
Vol I, 2013
2013. Yogyakarta.
Popper, Karl R. (1989). Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge. London: Routledge.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Sartini. (2009). Mutiara Kearifan Lokal Nusantara. Yogyakarta: Kepel Press.
Spangenburg, Ray & Moser, Diane K.
(2004). The Birth of Science: Ancient Times
to 1699. New York: Facts On File, Inc.
Suriasumantri, Jujun S. (2009). Filsafat Ilmu:
Sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Vernant, Jean-Pierre. (1990). Myth and Society in Ancient Greece. New York: Zone
Books.
10/30/2013 7:35:01 AM
Vol. I, Nomor 2
Posfenomenologi Ruangcyber:
Menelaah Realitas Visual Internet dan Konsep Ruangcyber dalam Ilmu Antropologi
BUDI HARTANTO
ABSTRACT
This article discusses cyberspace as postphenomenological reality. The internet and virtual
technologies are described in the perspective of postphenomenology and Don Ihdes philosophical
concept of multistability in cyberspace. I use postphenomenology of cyberspace to explain existential human relation to cyber world through medium of internet technology. From the idea of
multistability in cyberspace I will highlight the significance of visual reality which presents in internet. I have concluded that visually constructed reality is a mainstream to understand postphenomenological dimension of cyberspace. Moreover, in this article I explore concept of cyberspace
in the study of anthropology. Discourse of cyberspace in anthropology is more empirical where it
discusses not limited to philosophy of technological space, but social and cultural phenomena of
human relation to new technological artefacts particularly information technology. The anthropology of cyberspace that I explore here are about cyberculture (Arturo Escobar), cyborgs in cyberspace (David Hakken), and virtual community.
10/30/2013 7:35:30 AM
138
Vol I, 2013
10/30/2013 7:35:30 AM
budi hartanto
139
Teknologi Informasi
Teleskop
Alam Semesta
10/30/2013 7:35:30 AM
140
Vol I, 2013
kaitannya dengan fenomena realitas virtual: 1) tampilan ruang layar, 2) non-netralitas internet dalam bentuk email dan virtual
technologies dan 3) virtual/actual alternation.
Email dan teknologi-teknologi virtual
membentuk gagasan tentang non-netralitas ruangcyber dalam arti ia bersifat interaktif atau hadir sebagai realitas termediasi.
Teknologi informasi memungkinkan kita
untuk berinteraksi, membaca realitas, dan
mengontrol instrumen-instrumen yang
terintegrasi dengan teknologi internet. Internet menghadirkan dunia yang bersifat
interaktif. Non-netralitas ini kemudian
memungkinkan terbentuknya virtual/actual
alternation, yaitu ketika informasi dalam
ruangcyber mengondisikan realitas sesungguhnya dan vice versa realitas sesungguhnya mengubah realitas virtual.
Namun yang utama adalah tentang
persepsi ruang teknologis. Multistabilitas ruang ini adalah mengenai persepsi visualis
tis ruang layar yang dijelaskan oleh Don
Ihde memiliki dua bentuk variasi fenomenologis: yaitu ruang layar dua dimensi
atau on-the-screen-space dan ruang layar tiga
dimensi atau through-screen-space. Ruang
layar dua dimensi menjadi medium untuk
menampilkan halaman program aplikasi
yang terdiri dari teks, simbol, dan angka.
Sedangkan ruang layar tiga dimensi me
ngonstruksi virtualitas dalam bentuk komputer grafik. Game, simulasi 3D, dan video
merupakan virtualitas through-screeen-space
yang ditampilkan dalam ruang layar. Realitas yang dihadirkan memiliki forma
yang sama dengan realitas sesungguhnya
namun terbatas pada kualitas audio, video,
dan gerak/kinestetik (Ihde, 2003: 3-7).
Dengan konsep multistabilitas ini dipahami bahwa dimensi posfenomenologis
ruangcyber berada dalam ruang layar. The
Telegarden, misalnya, merepresentasikan
taman sesungguhnya secara audio-visualkinestetis dengan mediasi teknologi vir-
10/30/2013 7:35:30 AM
budi hartanto
141
Hubert L. Dreyfus dalam On the Internet memberi komentar mengenai keotentikan ruangcyber ini. Ia menyatakan persoalan telepresence dengan merujuk pada
pemikiran Descartes tentang moda memahami realitas melalui mediasi tubuh yang
kemudian dikomprehensi oleh pikiran
(Dreyfus, 2001: 49-71). Descartes mempersoalkan realitas yang dipersepsikan oleh
tubuh sebagai medium ini. Tubuh dalam filsafat Descartes adalah sama halnya dengan
teknologi virtual. Bedanya tubuh memberi
informasi pada entitas yang tak tercerap
seperti jiwa, sedangkan teknologi memberi
informasi pada tubuh sebagai yang selalu
berada dalam perspektif. Pemikiran Dreyfus adalah mengenai kritik fenomenologis
ruangcyber terutama mengenai telepresence.
Tubuh yang mewujud dalam bentuk hiperteks video dikatakan berjarak atau tereduksi secara fenomenologis, konsekuensinya
manipulasi atau ketidak-otentikkan realitas ruangcyber diasumsikan lebih mempunyai potensi dibandingkan dengan realitas
sesungguhnya.
Terlepas dari problem keotentikan realitas telepresence seperti diajukan oleh
Dreyfus, sebenarnya ia adalah sama halnya
dengan membaca dan menafsir realitas itu
sendiri. Analoginya seperti tubuh dalam
nalar Cartesian yang memberi informasi ke
dalam ruang pikiran. Pikiran dalam hal ini
adalah tubuh dan relasinya dengan instrumen yang berada dalam perspektif, instrumen memberi informasi baik itu sebagai
ekstensi pengalaman kebertubuhan atau
pun lewat pembacaan. Realitas telepresence
memang tereduksi dalam ruang layar, tapi
dengan mediasi teknologi virtual realitas
ini menjadi nyata seturut dengan proses
amplifikasi yang melampaui ruang dan
waktu kebertubuhan.
Realitas Visual Internet
Multistabilitas dalam ruangcyber seperti telah dijelaskan berada dalam moda visuali-
10/30/2013 7:35:30 AM
142
tas ruang layar. Visualitas menjadi ciri utama yang kemudian mengonstruksi makna
ruang teknologis virtual. Slooh SpaceCamera,
The Telegarden, The Internet of Things, dan instrumen lainnya yang terintegrasi dengan
internet hadir dalam batas-batas visualitas
ruang layar. Meski kualitas hiperteks lainnya seperti misalnya dimensi audio telah
terintegrasi dengan internet, realitas visual
tetap menjadi keutamaan.
Unsur visual dalam ruang layar adalah
variasi fenomenologis yang merepresentasikan dunia yang berjarak. Sebagai realitas
yang termediasi, duniacyber hadir secara
terbatas dan diperlukan tafsir visual. Meski simulasi komputer telah memungkinan
kita untuk memahami ruang ini sebagai
yang memiliki kesamaan dengan realitas
aktual, misalnya ketika tubuh manusia diintegrasikan ke dalam simulasi komputer,
ia tetap terbatas pada kualitas gerak, audio
dan visual.
Dengan konsep multistabilitas kita ketahui bahwa ruang layar menjadi infrastruktur terbentuknya realitas virtual. Namun
yang utama seiring dengan perkembangan
komputer grafik adalah ketika diketahui
potensi terciptanya dunia yang beragam
dalam ruang layar 3D (through-screenspace). Persepsi yang berkembang seiring
dengan konstruksi grafik komputer dalam
bentuk animasi dan video memberi pemahaman akan keberadaan ruang virtual.
Meski dunia ini dapat meluas secara global
melampaui kapasitas perseptual tubuh, ia
tetap berada dalam moda visualitas.
Multistabilitas ruang layar 3D bila
kita telaah tak lepas dari perkembangan
teknologi desain dan gambar atau lukisan.
Multistabilitas sebuah gambar seperti kita
ketahui mewujud dalam sebuah medium
yang kemudian mencipta konsep ruang
atau dunia. Don Ihde membahas secara
lebih rinci pemikiran tentang sebuah gambar dan ragam bentuk persepsi dalam
Vol I, 2013
10/30/2013 7:35:30 AM
budi hartanto
143
10/30/2013 7:35:30 AM
144
Vol I, 2013
10/30/2013 7:35:30 AM
budi hartanto
145
10/30/2013 7:35:31 AM
146
Vol I, 2013
10/30/2013 7:35:31 AM
budi hartanto
147
10/30/2013 7:35:31 AM
148
Vol I, 2013
in the Philosophy of Science). Dordrecht _______ (2010) An Extreme Reading of Fa(Holland) dan Boston (USA): D. Reidel
cebook. Working Paper Series #5. Open
Publishing Company.
Antropology Cooperatives Press.
Miller, Daniel dan Slater, Don (2000) The In- Purbo, Onno W. (2003) Filosofi Naif Kehiduternet. An Ethnographic Approach. New
pan Dunia Cyber. Jakarta: Penerbit ReYork: Berg
publika.
10/30/2013 7:35:31 AM
Vol. I, Nomor 2
ABSTRACT
In the era of new media, everyone stands before the reduced version of phenomena of love and sexuality. In new media means of communication and presentation such as facebook, youtube, twitter, etc., everyone can easily access everything about sex. Film, video, stories about sex presented
by certain agents are bright and clear to us. Displayed in the clearest way possible, sex tends to
become a vulgar display of commodity. It is called a phenomenon ofthe sex business. In front of
it,everyone must change our paradigm of love and sexuality. Paradigm shift is then reached by
giving a new meaning to love and sexuality itself. The new meaning in question is a closer look
at love and sexuality as something univocal. Univocal love is a correlative relationship between
erotic, philia, and agape kinds of love. In the univocal love, sexuality is an aspect of humanity.
In univocal love, a sexual relationship is a revelation of ones self to other people she or he loves.
Univocal love is the way to God.
Keywords: Eros, philia, agape, univokal, seksualitas.
Cinta-kasih semesta hanya akan menjiwai dan akhirnya ... memutuskan untuk menyeberangi ambang,
untuk keluar dari diri sendiri dan masuk pada yang lain. Pierre Teilhard de Chardin.2
Alexander Aur, dosen mata kuliah Religiositas di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Sedang menyelesaikan
studi pada Program Magister Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
2
Pierre Teilhard de Chardin. (2004). Gejala Manusia (diterjemahkan dari Le Phnomne Humain oleh Ira Iramanto),
Jakarta: Hasta Mitra / Institute for Ecosoc Rights, hlm. 301.
10/30/2013 7:35:54 AM
150
Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet
Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media
khalayak ramai sekarang adalah informasi tentang cinta dan seksualitas manusia.
Publik dengan mudah mengakses informasi tentang hal itu, baik dalam bentuknya
yang paling halus, seperti informasi dan
pengetahuan tentang harmoni relasi cinta
antarpasangan yang saling mencinta, tentang kesehatan reproduksi, maupun yang
paling vulgar, seperti video, gambar, film
porno yang mempertontonkan aktivitas
hubungan seks.
Kemudahan itu, menimbulkan banyak
kasus yang terkait dengan cinta dan seksua
litas manusia. Banyak kasus pemerkosaan
di kalangan orang muda ditengarai sebagai
akibat dari menonton dan mengakses film
dan gambar yang mengumbar organ-organ
seks manusia di internet. Ada pula anggota
DPR, yang asyik mengakses dari internet
gambar-gambar dan film seronok saat sedang mengikuti sidang di gedung DPR. Beberapa tahun lalu, media massa baik cetak
maupun elektronik ramai-ramai memberitakan kasus video hubungan seksual antara
artis Nazril Irham atau Ariel (vokalis Grup
Band Peterpan) dengan artis Luna Maya
dan Cut Tari. Video itu diunggah di internet sehingga menimbulkan gelombang
protes dan desakan dari berbagai pihak
kepada aparat hukum agar mengadili dan
menghukum para pelakunya.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh
berbagai pihak untuk meminimalisasi informasi di new media tentang cinta dan seksualitas manusia, terutama yang berwajah
vulgar. UU ITE No. 11 tahun 2008 telah
diberlakukan; proses pengadilan dan sangsi
berupa hukuman terhadap para pengunggah telah dijatuhkan. Blokir terhadap situssitus porno pun sudah dilakukan. Berbagai
wejangan moral tentang bahaya kecandu
an mengakses informasi vulgar tentang
seks juga sudah sering disampaikan kaum
agamawan dan para penjaga-pejuang nilainilai moral. Tetapi tetap saja publik dengan
Vol I, 2013
10/30/2013 7:35:54 AM
gai objek bisnis. Kajian ditutup dengan pemaknaan ulang cinta dan seksualitas melalui pintu refleksi filosofis-teologis atas cinta
dari Jean-Luc Marion.
Mengenali yang Inheren dalam Manusia
Refleksi dan diskusi filosofis tentang cinta
selalu bermula dari hal yang inheren dalam
diri manusia, yakni hasrat. Filsuf Yunani
klasik Platon, menyebut hasrat dengan
istilah eros.3 Dalam merefleksikan hasrat,
Platon tidak saja memberikan gambaran
tentang relasi antara pencinta (lover) dan
orang yang dicinta (beloved), melainkan juga
menyingkapkan secara filosofis cinta yang
tampak melalui kerja dari hasrat (Secomb,
2007: 10). Hasrat merupakan hal inheren
dalam diri manusia.
Baginya, hasrat merupakan sebuah rasa kurang (lack) yang meminta pemenuhannya secara niscaya. Objek yang berada di luar untuk memenuhi
rasa kurang itu adalah Kebaikan.
Platon mengidentifikasi ada tiga hasrat dasar dalam diri manusia. Pertama,
yakni hasrat Logistikon atau Rasio dengan
objeknya adalah kebaikan yang sesungguhnya (yang pasti benar dan indah).
Kedua, hasrat Thumos atau Rasa Bangga,
harga diri dengan objeknya adalah prestasi,
kemenangan, kepahlawanan. Objek-objek
itu merupakan kebaikan yang diperlukan
untuk memenuhi hasrat akan harga diri
atau rasa bangga. Ketiga, hasrat Epithumia
alexander aur
151
atau nafsu. Hasrat ini terkait dengan kondisi biologis manusia. Objek nafsu adalah
makan, minum, seks. Makan, minum, seks
merupakan hal yang baik dan berguna sejauh untuk memenuhi kebutuhan dasar biologis.
Analisis Platon tersebut secara jelas
menunjukkan bahwa hasrat, sebagai sesuatu yang alamiah dalam diri manusia,
tidak bermakna negatif. Bahkan, dengan
mengatakan bahwa hanya kebaikanlah
yang menjadi objek dari hasrat, Platon bermaksud menegaskan bahwa dalam usaha
mengejar (memperoleh) kebaikan, tidak
bisa dengan menegasi hasrat. Hasrat harus
diakui keberadaannya manakala kita ber
usaha memperoleh kebaikan. Hasrat harus
dipenuhi secara baik. Pemenuhan hasrat
dianggap baik bila pemenuhan itu memungkinkan manusia untuk sampai pada
KebaikanTertinggi.
Refleksi tentang eros diperluas dengan
mengkategorikan cinta dalam tiga kategori:
cinta erotik (eros), cinta persaudaraan (philia), dan cinta ilahi (agape). Dalam analisisnya terhadap sejarah pengkategorian cinta
itu, Gerasimos Santas menemukan bahwa
pengkategorian itu merupakan pencampuran konsep cinta dalam Yunani klasik
dengan tradisi pemikiran Kristen (Santas,
2002: 12-13).
Di masa Yunani klasik, terutama pada
zaman Platon dan Aristoteles, kata philia
digunakan untuk menjelaskan dua macam
Pemikiran Platon tentang eros tertuang dalam tiga karyanya, yakni Symposium, Phaedrus, dan Republic. Dalam Symposium, Platon memotreteros sebagai hasrat pada Keindahan dan Kebaikan. Seorang pencinta Kebaikan dan Keindahan
sejajar dengan filsuf pencinta. Pencinta yang demikian sudah melepaskan semua keterikatan dunia dan melihat
keelokan daging (tubuh) sebagai sampah yang dapat mati. Dalam Phaedrus, Platon memotret eros sebagai hasrat
pada keindahan bentuk manusia dan keindahan fenomen tertentu. Seorang pencinta terbaik tak memisahkan diri
dari kelekatan pada nafsu dan menghargai seorang sebagai pribadi yang indah karena ia adalah bayangan dari
keindahan suatu persona yang indah. Pencinta berhasrat pada pribadi tertentu yang indah. Hasratnya begitu kuat
sehingga ia harus berjuang mengontrol hasratnya. Dalam karyanya ini tampak Platon ingin menegaskan bahwa
dalam relasi interpersonal berlangsung nafsu dan intensitas cinta erotis. Sedangkan di dalam Republic, Platon menegaskan bahwa eros yang benar tidak berhubungan dengan keinginan dan kenikmatan seksual. Di dalam karya ini
Platon menempatkan eros dalam kaitannya dengan masalah sosial politik. Untuk lengkapnya, lihat Santas, 2002: 99,
107-113.
10/30/2013 7:35:54 AM
152
Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet
Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media
Vol I, 2013
Cinta
Philia
Eros
Agape
Cinta familial
Cinta seksual
Cinta kristiani
Persahabatan
Parental
Saudara-saudari
10/30/2013 7:35:54 AM
alexander aur
153
Univokalitas Cinta
Jean-Luc Marion---filsuf kontemporer asal
Perancis yang sekarang menjabat sebagai
Profesor Filsafat dan Teologi serta Studi Katolik di Departemen Filsafat The University
of Chicago---berusaha memberi terobosan
dari sisi fenomenologi cinta. Ia bermaksud
memberi perspektif baru terhadap tiga ka
tegori cinta tersebut. Marion memandang
bahwa setiap orang dapat memahami dan
menghayati cinta persaudaraan (philia) dan
cinta ilahi (agape) karena ada (dimulai dari)
cinta erotik (eros). Cinta persaudaraan dan
cinta ilahi mengandaikan ada cinta eros.
Tanpa cinta eros, cinta persaudaraan dan
cinta ilahi bagaikan kegelapan tanpa cahaya
apapun. Baik cinta eros, cinta persaudaraan,
maupun cinta ilahi sama-sama memiliki
empat karakter dasar (Gschwandtner, 2008:
193). Oleh karena itu ketiga cinta itu tidak
bisa dipahami secara hirarkis melainkan
relasional-korelatif. Ketiga kategori cinta
itu sama-sama memancarkan univokalitas
cinta. Bahkan univokalitas itu merupakan
kemungkinan bagi Tuhan sebagai sang
Cinta untuk hadir. Dalam univokalitas itu
Tuhan tampil secara sembunyi-sembunyi
melalui banyak situasi dan relasi-korelatif
cinta antarmanusia.
Univokalitas cinta mengandung empat karakter yang menandai dimensi absolut cinta, yaitu: 1) Keputusan menjadi
pencinta pertama; 2) Membiarkan yang
lain hadir dengan seluruh dirinya; 3)
M
encintai sebagai tindakan performatif; dan,
4) Pengosongan diri sebagai alasan untuk
mencintai.
1. Keputusan menjadi Pencinta Pertama
Bagi Marion setiap orang selalu berhasrat untuk menemukan makna dalam
hidup. Oleh karena itu setiap orang membuat dirinya sedemikian rupa supaya dapat dicintai oleh siapapun. Dengan kata
lain, makna hidup kita peroleh dari pe
10/30/2013 7:35:54 AM
154
Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet
Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media
Vol I, 2013
Dalam tradisi filsafat Barat, esensi manusia terletak pada pemikiran atau kesadarannya. Esensi ini dieksplisitkan
oleh Rene Descartes dengan mengatakan, Aku berpikir maka aku ada (Cogito ergo sum/I think therefore I am).Lih.
Williams (1978: 73). Sepanjang era Pencerahan, semangat Cartesian ini menjadi pilar utama untuk memotret berbagai dimensi diri manusia. Eros sebagai salah satu dimensi diri manusia dipandang sebagai hal yang lebih rendah
dari nalar (rasio) sehinggga harus tunduk di bawahnya. Herbert Marcuse dari Mazhab Frankfurt Jerman, misalnya,
memberi catatan kritis atas penundukkan eros oleh logos (nalar/rasio) demi pertumbuhan peradaban. Bagi Herbert
Marcuse, eros adalah prinsip kehidupan. Oleh karena itu, eros memungkinkan manusia hidup secara bebas dan jujur.
Lihat, Saeng (2012: 169).
10/30/2013 7:35:54 AM
alexander aur
155
10/30/2013 7:35:54 AM
156
Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet
Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media
Vol I, 2013
pada interlokutor (teman bicara) tanpa harus melakukan atau memenuhi maksudnya.
Marion menghubungkan tindakan per
lokusioner itu dengan tiga jejak dalam
teologi mistik. Ia menyebut tiga jejak itu
dengan sebutan afirmatif, apopatik, dan
hiperbolik. Ketiganya bergerak dalam
dialog erotik. Perkataan Saya mencintai
engkau tak dapat dibuktikan (karena bukan lokusioner atau ilokusioner). Perkataan itu mengafirmasi efek yang bertujuan
mengindividuasikan orang lain dan membuka ruang bagi sebuah respon. Afirmasi
ini terarah pada negasi artinya pembicara
harus menangkap efek dari perkataannya
sekaligus mengetahui tak ada respon atas
perkataannya pada saat yang bersamaan
(Gschwandtner, 2008: 192)
Afirmasi cinta harus terus-menerus
diulang dalam sebuah gerakan hiperbolik
final, Saya selalu mengatakan dan ber
ulang-ulang Saya mencintai engkau! secara sungguh-sungguh karena di satu sisi,
saya tidak dapat menjamin hal itu, dan di
sisi lain, saya tidak dapat mencoba berharap. Jawaban yang pendek dari pertanyaan,
Apakah engkau mencintaiku? saya ulangi
dengan tindakan perlokusioner dengan
menganjurkannya yakni, Saya mencintai
engkau! Hal itu, baik sebagai pertanyaan
cataphasis maupun apophasis dan sebagai
perlindungan terhadap sebuah situasi dialogis (Gschwandtner, 2008: 192).
4. Mengosongkan diri
Univokalitas cinta eros, philia, dan agape
tidak lain adalah univokalitas cinta ilahi
dan cinta manusia. Setiap tindakan selalu
dengan cinta termasuk dalam gerakan seduksi (menggoda) dan pengkhianatan.
Hasrat yang murni jasmani, persahabatan,
afeksi antara orang tua dan anak, keintiman
erotik, religiusitas atau kesatuan mistik
dengan Tuhan semua berlangsung deng-
10/30/2013 7:35:55 AM
alexander aur
157
memberikan diriNya dalam semangat kenotik (pengosongan diri). Karena itulah, seseorang memutuskan untuk menjadi pencinta pertama: mencintai sebagai tindakan
pengosongan diri.
Menghayati Cinta:
Melawan Reduksi Sek
sualitas
Gagasan tentang univokalitas cinta dengan
empat karakternya tersebut, dapat menjadi
pijakan untuk menghayati cinta sebagai
daya kosmik. Sebagai daya kosmik, cinta
yang dihayati seseorang, memungkinkan orang itu membangun relasi segi tiga:
manusia-manusia-Tuhan. Dalam relasi itu
setiap orang memperlakukan orang lain
dengan penuh hormat terhadap kediriannya. Bersamaan dengan itu, dalam relasi
itu juga setiap orang bersiap sedia (terbuka) untuk berdialog dengan Tuhan.5 Cinta
sebagai suatu daya kosmik tidak mengenal oposisi antara agape dan eros atau eros
dan philia (karitas). Sebaliknya cinta sebagai
daya kosmik cinta adalah cinta, yang dalam perwujudannya mengandung eros, philia, dan agape sekaligus.
Marion menegaskan status ontologis itu
dengan mengatakan bahwa setiap tindakan
selalu dengan cinta.
Hasrat Tuhan mencintai manusia dengan agape ilahiNya menjadi kekuatan eros bagi manusia. Itu artinya
cinta Tuhan dan cinta manusia memiliki
cara yang sama dan sama-sama menunjukkan gerakan eros. Tuhan mempraktikkan
gerakan eros sama dengan yang dilakukan
manusia, bersama dengan manusia, menurut ritus yang sama dengan manusia,
Untuk menegaskan relasi manusia dengan Tuhan dapat dihayati dalam bahasa eros sebagai bentuk dari univokalitas cinta, saya mengacu pada pemikiran Thomas Moore. Moore mengatakan bahwa kekristenan dipenuhi dengan
kiasan-kiasan seks yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara manusia dengan Allah, atau secara
lebih luas antara manusia dengan misteri yang merupakan konteks kehidupan manusia. Kidung Agung dalam Perjanjian Lama merupakan salah satu sumber yang menggambarkan hubungan yang ilahi dengan manusia, dengan
perumpamaan-perumpaan erotis (Moore, 2002: 163-185).
10/30/2013 7:35:55 AM
158
Kritik terhadap Bisnis Nafsu di Jagat Internet
Memaknai Ulang Cinta dan Seksualitas Manusia di Era New Media
mengikuti ritme yang sama dengan manusia. Oleh karenanya manusia harus belajar
mencintai secara ilahiah.
Dengan pemikirannya tentang univokalitas cinta tersebut, Marion hendak me
ngoreksi dua hal. Pertama, selama ini cinta
dibagi dalam tiga kategori yakni eros, philia, dan agape. Eros sering dinilai sebagai hal
yang buruk dan mengandung dosa. Eros
dipersempit semata-mata sebagai masalah
seks. Eros dikurung dalam sangkar fisikalitas manusia. Dengan demikian, eros berada
pada posisi terendah dalam kehidupan
manusia (Linnel, 2007: 10 23). Sedangkan
perlakuan atau sikap terhadap philia yang
dipahami sebagai cinta persaudaraan pun
tidak jauh berbeda dengan eros. Philia dianggap tidak mengandung dimensi ilahiah. Philia hanya menekankan humanitas
manusia. Dengan demikian, philia berada
pada posisi sedikit lebih tinggi dari eros dalam kehidupan manusia dan sedikit lebih
rendah di bawah agape. Agape yang dipahami sebagai cinta ilahi dianggap sebagai
cinta yang paling agung dan paling tinggi.
Hanya Tuhan yang sanggup mencintai
dengan agape. Manusia harus berusaha untuk mencintai seperti Tuhan dengan cinta
agape. Mencintai dengan pola agape berarti
melepaskan eros dan filia.
Pemisahan secara tegas itulah yang diterobos oleh Marion dengan gagasannya
tentang univokalitas cinta. Marion mengatakan bahwa hasrat yang semata-mata jasmani dan keintiman erotik harus berlangsung dalam cinta. Ini artinya seksualitas
manusia tidak semata-mata dipahami sebagai seks, melainkan seks sebagai salah satu
bagian dari seksualitas manusia. Seksualitas mencakup keseluruhan diri manusia.
Vol I, 2013
Dalam bahasa Marion, eros tidak sematamata orgasme atau birahi.Eros adalah keseluruhan diri manusia, yang di dalamnya
termasuk dimensi ilahi dari diri manusia.
Pada titik ini, pemikiran Marion sejajar
dengan pemikiran Paus Yohanes Paulus
II tentang tubuh manusia sebagai teologi.
Tubuh manusia menjadi sebuah penunjuk
pada kenyataan Allah, menjadi perkataan
tentang Allah (Ramadhani, 2009: 21 23).
Di hadapan fenomena bisnis nafsu birahi di jagat internet, refleksi filosofis Marion mendapatkan relevansinya. Seks di
jagat internet adalah seks sebagai sesuatu yang terlucut dari diri manusia, seks
yang mekanistik, seks tanpa humanitas,
seks tanpa cinta. Refleksi filosofis Marion
mengingatkan kita agar memulihkan kembali seks dengan mengembalikan seks pada
seksualitas. Relasi seksual adalah jalan
peneguhan relasi antarmanusia. Kepuasan
atau kenikmatan dari sebuah relasi bukan
untuk kepuasan atau kenikmatan pada
dirinya sendiri. Kepuasan atau kenikmat
an adalah momen perjumpaan dua orang
yang saling mencintai. Kepuasan atau ke
nikmatan yang mengalir dari relasi seks
adalah momen saling meneguhkan rasa
cinta antarpribadi.
Kedua, langkah Marion menyejajarkan
fenomenologi eros dan teologi cinta (karitas) merupakan sebuah upaya membangun
jembatan teologi mistik6 yang baru, yakni
fenomenologi mistik. Marion mengatakan
bahwa bahasa teologi mistik merupakan
esensi absolut dari suatu ekspresi yang tepat tentang eros dan menjadi kulminasi humanitas manusia. Sebagaimana pendoa dan
bahasa doa, bahasa cinta harus terekspresi
dalam suatu gerakan mistik dan bersifat
quasi-ilahi. Hal itu ditunjukkan melalui ko-
Sebagai ilmu, teologi mistik merefleksikan dan mengajarkan kebijaksanaan rahasia yang diperoleh melalui cinta.
Bdk. Johnston (2001: 4).
10/30/2013 7:35:55 AM
alexander aur
159
10/30/2013 7:35:55 AM
Vol. I, Nomor 2
ABSTRACT
Dayak tribes procure multi-benefits from farming, a process and technique of rice cultivation in
dry land. Farming, to native Dayak, is not just accesories of rice cultivation, but rather a sacred
rite and a starting point for a unique life-cycle. Unfortunately, time and again, Dayak tribes are
wrongly accused as environmental destroyer, due to their habit of setting fire on the farming land
in order to get dried-burnt land and fertile soil. Contrary to this view, Dayak natives are traditionally recognized as wise and caring people for nurturing and maintaining nature and environments preservation. What causes the destruction of Borneos nature and forest is not Dayaks way
of farming, but rather businessmen profiting from exploiting the land and soil, licensed holders of
HPH, and illegal loggers.
Keywords: Dayak, alam, padi, ladang, kearifan lokal.
Pendahuluan
Dayak ialah nama kolektif sebuah etnis
yang mendiami pulau Borneo, terdiri atas
lebih dari 400 subsuku. Mereka ditengarai
berasal dari kaum migran bangsa Austronesia yang terdampar di kepulauan Borneo
pada sekitar tahun 2.500 SM. (Evans (1922),
(Ukur, 1971), (Djuweng dan Krenak, 1993).
Menurut Fallding (1974: 200), salah
satu penciri manusia-alam ialah hubung
an antara manusia dan alam sedemikian
luluh, menyatu, manusia adalah bagian
dari tatanan alam. Akibatnya, agama etnis tersebut adalah agama alam. Artinya,
alam diyakini mempunyai daya, sekaligus
kekuatan magis, yang di satu pihak memberikan kehidupan dan penghidupan; se-
10/30/2013 7:36:19 AM
161
10/30/2013 7:36:19 AM
162
Vol I, 2013
10/30/2013 7:36:19 AM
Lalu, siapa perusak hutan dan penggundul hutan Kalimantan? Tentu saja, bukan penduduk setempat (indigenous people)
yang menggantungkan seluruh kehidup
annya pada lingkungan dan alam Kalimantan, tetapi para pendatang dan orang
kota! Sebagai contoh, yang menggondol
izin HPH dan pemilik perkebunan di Kalimantan adalah kaum pendatang dan orang
kota. Orang kota yang dimaksudkan
ialah pengusaha dari Pontianak dan Jakarta, sedangkan kaum pendatang ialah siapa
saja yang perilaku dan cara hidupnya me
rusak alam sebagai sumber dan tumpuan
penghidupan.
Yang terasa tidak adil ialah adanya
selentingan yang mengatakan bahwa orang
Dayak dan penduduk setempat adalah penyebab kebakaran hutan dan gundulnya
bumi khatulistiwa. Malangnya, kebakaran
hutan dan kepulan asap justru terjadi bulan Juli-Oktober, berertepatan dengan siklus alam (musim panas) sebagai saat yang
tepat bagi orang Dayak membakar ladang.
Padahal, ratusan tahun lamanya orang
Dayak membakar ladang, dan tidak pernah
menimbulkan masalah. Sebab, kearifan
mengajarkan, batas ladang harus dibuat
tegas, agar api tidak bisa melalap lahan
di sampingnya. Kalau api dari membakar
ladang sampai menyapu lahan tetangga,
si empunya ladang akan membayar adat!
Ada hukum adatnya khusus untuk itu.
Agaknya, karena itu, Musyawarah Adat
Dayak tidak pernah lelah mengampanye
kan, perusak hutan Kalimantan bukan pen
duduk asli. Mustahil mereka mau menggorok leher sendiri, sebab ladang adalah
tumpuan hidup utama. Lagi pula, mereka hidup dan tinggal di situ. Lama orang
Dayak didakwa kasus kebakaran hutan
163
Hedda Morrison sesungguhnya bukanlah peneliti atau antropolog. Ia datang ke tanah Sarawak mengikuti suami,
yang merupakan salah satu pejabat kolonial di salah satu negara bagian Malaysia. Ia hobi fotografi, sehingga apa
yang menyentuh hatinya, diabadikan dalam gambar. Kemudian, dibukukan seperti judul buku tersebut dan menyebutnya sebagai personal record.
10/30/2013 7:36:19 AM
164
Vol I, 2013
10/30/2013 7:36:19 AM
165
10/30/2013 7:36:19 AM
166
Vol I, 2013
10/30/2013 7:36:19 AM
167
10/30/2013 7:36:19 AM
168
Daftar Pustaka
Crevello, S. (2004). Dayak land use systems and indigenous knowledge dalam Journal of Human Ecology. Vol. 16(2):
69-73.
Evans, Ivor H. N. (1922). Among Primitive
Peoples in Borneo: A Description of the
Lives, Habits & Customs of the Piratical
Head-hunters of North Borneo, with an Account of Interesting Objects of Prehistoric
Antiquity Discovered in the Island. London: Seeley, Service & Co., Ltd.
Gomes, H. Edwin. (1911). Seventeen Years
among The Sea Dyaks of Borneo. London:
Seeley and Co., Limited.
Fallding, H. (1974). The Sociology of Religion:
An Explanation of the Unity and Diversity
in Religion. McGraw-Hill Ryerson Limited.
Jenkins, David. (1978). The Dyaks: Goodbye to All That, dalam Far Eastern Eco-
Vol I, 2013
10/30/2013 7:36:20 AM
Vol. I, Nomor 2
ABSTRACT
This research aims at comprehending the concept of democracy and power in Javanese philosophical thoughts. This research begins by describing the Javanese epistemology. The next step will be
discussing the Javanese concept on public sphere and understanding on power which is the basic
argumentation on Sultan Agung of Mataram absolutes power. The conclusion will be a new comprehension on Javanese tendency on despotic and authoritarian power exercise which cannot be
separated from Indonesian presidents originating from Javanese ethnicity.
Keywords: power, democracy, Javanese, public sphere
ini dipahami dalam konteks ruang pubMendiskusikan demokrasi memang me- lik politis, sehingga demokrasi dan ruang
narik, justru karena konsep ini sangat kom- publik politis adalah setali tiga uang. Akipleks sehingga setiap orang dapat mendefi- batnya, dapat dipastikan bahwa sebuah ornisikannya sesuka hati. Namun demikian, ganisasi kekuasaan yang tidak mengelola
ada satu kesamaan hal yang menjadi ac- dan mengelaborasi ruang publik politis dauan dalam setiap pembahasan mengenai lam pengalamannya sehari-hari, organisasi
demokrasi, yaitu adanya kesempatan yang tersebut tidak demokratis. Habermas (1996,
sama dalam berpartisipasi (participative dalam Wattimena, 2007: 126) berpendapat
equality). Pemahaman tentang kesetaraan bahwa ruang publik adalah sebuah kePendahuluan
Versi awal tulisan ini berjudul Orang Jawa dan Ruang Publik Politis pernah dipresentasikan dalam International Conference and Summer School on Indonesian Studies (ICSSIS) tahun 2009 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia,
dan dimuat dalam prosiding konferensi tersebut (versi elektroniknya bisa diakses di https://icssis.files.wordpress.
com/2012/05/2729072009_25.pdf).
10/30/2013 7:36:45 AM
170
Vol I, 2013
10/30/2013 7:36:45 AM
Orang Jawa memahami dunia dan ruang tempatnya berdiam sebagai entitas
yang tidak terpisah dari kesadarannya.
Bahkan bukan hanya menyatu dengan
kesadarannya yang terbuka-ke-dalam, ek
sistensi manusia Jawa tertelan mentahmentah oleh alamnya. Sehingga, alih-alih
manusia Jawa memahami dirinya sebagai
sebuah res cogitans yang mampu berefleksi tentang kesadarannya yang berjarak
dengan ruang, kesadaran orang Jawa adalah bagian kecil dari ruang. Eksistensi manusia Jawa menyatu dengan alamnya, se
hingga keduanya tidak bisa dipisahkan.
Berbeda dengan pemikiran Yunani setelah Sokrates, pandangan hidup orang Jawa
tidak memisahkan antara pengetahuan
dan kepentingan. Pengetahuan merupakan penalaran dari kehidupan sehari-hari
yang menuju ke suatu titik tertentu dalam
kehidupan manusia. Artinya, pengetahuan
bukan sebuah usaha memikirkan fenomena kehidupan yang direduksi secara ketat
untuk kemudian dimurnikan menjadi se
buah teori. Pengetahuan dalam pandang
an dunia orang Jawa bersifat intuitif dan
diperoleh melalui rasa. Rasa adalah pintu
gerbang sekaligus ruang tempat semua pemahaman tentang kedalaman dimulai
dan diakhiri. Rasa bisa berarti pula hakikat,
karena rasa adalah rahsya (rahasia), suatu
ungkapan tentang realitas yang bersembunyi, terselubungi oleh fenomena. (Stange,
1984). Berbeda dengan konsep rasio ala Barat, rasa adalah hakikat itu sendiri. Karena
kesadaran dalam pandangan dunia Jawa
adalah bagian dari realitas, demikian juga
halnya dengan rasa. Memahami Tuhan
dan alam serta hukum-hukumnya adalah
memahami manusia. Oleh sebab itu, pe
mahaman tentang fenomena melalui rasa
adalah pengetahuan yang sangat subyektif sehingga tersingkapnya Hakikat hanya
bisa dicapai ketika seseorang menjauhi
hiruk pikuk kehidupan dan mendekatkan
171
10/30/2013 7:36:45 AM
172
Vol I, 2013
10/30/2013 7:36:45 AM
173
10/30/2013 7:36:45 AM
174
Vol I, 2013
sang raja, sehingga hanya raja yang berwenang menggunakannya. Rakyat tidak
bisa menggunakan alun-alun sesuka hati,
karena alun-alun bukanlah ajang dialog
tempat bersemainya bibit-bibit equality of
opportunity. Bahkan gerakan tapa pepe bukanlah manifestasi adanya ruang publik
dan demokrasi.
Tapa pepe adalah usaha terakhir ketika
rakyat sudah tak tahan lagi menghadapi
penindasan yang sangat berat. Tapa pepe
adalah suatu kejadian ketika sekelompok
orang duduk bersila di alun-alun sembari
menjemur diri di bawah terik matahari untuk melaporkan suatu ketidakadilan dan
penindasan yang mereka alami kepada
raja, atau setidaknya mereka mencoba untuk menarik perhatian raja. Mereka tidak
akan beranjak dari tempat mereka duduk
bersila hingga raja melihat dan memanggil perwakilan dari mereka untuk bicara.
Melakukan tapa pepe meresikokan nyawa
sendiri karena raja bisa saja tidak berkenan
dan mereka justru dihukum mati. Memilih
untuk melakukan tapa pepe adalah sebuah
pilihan semu, karena perjudian nasib ini
adalah usaha terakhir. Bila mereka tidak
melakukan hal itu, mereka tetap akan menghadapi kematian karena ketidakadilan dan
penindasan yang sedang mereka alami. Alih-alih tidak melakukan apapun dan ditindas sampai mati, lebih baik melakukan tapa
pepe meskipun beresiko dihukum mati bila
raja tak berkenan. Sampai titik ini, dialog
antara raja dan rakyat bisa dianggap tidak
pernah terjadi, karena keputusan tetap di
tangan raja dan ia tidak perlu mendengarkan rakyat yang memprotes dan mengajukan keberatan.
10/30/2013 7:36:45 AM
luarga inti sebagai jaminan loyalitas mereka. Konsekuensi dari cara ini adalah tidak
dimungkinkan adanya bangsawan pe
nguasa daerah yang benar-benar otonom.
Ciri khas aristokrasi dalam kerajaan
Jawa adalah meskipun beranggotakan
kerabat dekat atau orang kepercayaan raja,
namun mereka tidak berhak mengambil
keputusan. Sistem birokrasi yang dikembangkan pun lebih mengacu pada sistem
kemiliteran. Para penguasa daerah ditunjuk dan ditempatkan bukan berdasar pada
wilayah, namun berdasar pada kuantitas
individu manusia tinggal dalam wilayah
itu. Penguasa daerah yang loyalitasnya
baik akan menerima tanah yang luas sebagai konsekuensi kesetiaannya. Namun
raja tetap mengendalikan wilayah tersebut
secara ekonomis dengan cara menuntut si
penguasa daerah menyetor hasil panen dan
pajak. Raja memutuskan jenis panen apa
saja dan berapa banyak yang harus disetor
ke kotaraja. Secara politis, raja mengendalikan wilayah tersebut dengan cara memutuskan berapa banyak prajurit yang harus
diserahkan si penguasa daerah ketika raja
memaklumkan perang pada raja lain.
Sejarah akhirnya mencatat bahwa
kekuasaan raja Mataram sepeninggal Sultan Agung justru semakin melemah. Penyebab pertama adalah kekalahan raja-raja
penerus Sultan Agung dalam melawan
pemberontakan-pemberontakan para vassalnya sendiri. Pemberontakan Trunojoyo,
Untung Suropati, kerusuhan Cina sepanjang pesisir utara Jawa dan disusul de
ngan perang suksesi antar para keturunan
Sultan Agung membuat negara terpuruk
di semua bidang. Hal ini menyebabkan
redupnya sinar kekuasaan raja yang seharusnya bisa terus menerus dipancarkan
hingga ke pelosok-pelosok desa. Penyebab
kedua adalah penyerahan paksa wilayahwilayah strategis milik raja kepada VOC
untuk membayar ongkos perang suksesi.
175
10/30/2013 7:36:46 AM
176
Vol I, 2013
Desa sebagai kesatuan politik terkecil menjadi tolok ukur tingkat kesuksesan
seorang raja dalam memerintah. Namun,
karena konsep kekuasaan raja memang absolut, homogen, masif dan terpusat, desa
akhirnya menjadi semacam sapi perahan.
Negara (atau lebih tepatnya raja) menguasai seluruh tanah desa, dan petani (yang
semuanya) penggarap hanya diupah se
suai panen yang dia dapatkan. Para lurah
desa mengumpulkan pajak berupa hasil
panen dan menyetorkannya kepada bupati. Selain itu, sebagai sebuah barak pra-
10/30/2013 7:36:46 AM
jurit mandiri, apabila diperlukan akan diadakan mobilisasi umum untuk menyetor
prajurit ke medan laga demi kepentingan
raja. Hubungan negara dan desa memang
bersifat patron-klien, di mana negara menjadi pelindung desa (Wahono dalam Sosialismanto, 2001: xxii). Makna perlindungan
disini lebih bersifat negatif, senada dengan
istilah premanisme. Premanisme negara
ini akan kuat apabila posisi kekuasaan raja
juga kuat.
Tersebarnya kekuasaan berkat jasa
VOC melalui kebijakan privatisasi agraria,
bersamaan dengan melemahnya kekuasa
an raja bukan berarti bahwa kekuasaan berpindah ke tangan rakyat. Seiring melemahnya kekuasaan raja, premanisme negara
berubah menjadi premanisme penguasa
daerah dan pimpinan lokal. Penguasa
daerah yang mulai lepas dari tekanan pemerintah pusat berubah menjadi raja-raja
kecil. Bersamaan dengan itu muncullah
pemimpin-pemimpin lokal-informal yang
mulai berkuasa atas daerah-daerah tertentu. Kyai dan gentho mulai bermunculan
dan berebut pengaruh politik, sosial dan
ekonomi di tengah rakyat pedesaan Jawa.
Bersamaan dengan menyebarnya kekuasaan itu, muncullah ruang publik semu di
seantero wilayah jajahan VOC. Gentho adalah predikat negatif bagi seseorang yang
dianggap mampu menguasai kekuatan
kosmos dalam pengetian kekuatan untuk
memaksa orang lain memenuhi dan mematuhi kehendaknya dengan paksaan atau
kekerasan. Gentho sama artinya dengan preman. Meski mirip dengan fenomena Yakuza
dan Triad, namun bedanya gentho melakukan kegiatan kriminal berupa pemerasan,
pembunuhan dan perampokan tidak secara berkelompok (Slamet-Velsink dalam
Antlv dan Cederroth, 2001: 46 - 48).
Ruang publik semu di Jawa nampak
pada alun-alun kabupaten dan balai desa
177
10/30/2013 7:36:46 AM
178
Vol I, 2013
gapi kritik tidak berlangsung hingga tuntas. Diskursus yang muncul dalam balai
desa tetap saja menyangkut kekuasaan,
di mana para penentang kekuasaan lurah
mempertanyakan legitimasi menggunakan
kekuatan oposisi untuk menjatuhkan lurah,
dibanding melakukan kritik untuk menuju
ke suatu pemahaman yang lebih bersifat
konsensus dan kompromis. Balai desa memang tidak menjadi milik seluruh desa,
sehingga berpikir bahwa balai desa adalah
sebuah locus yang netral adalah mustahil.
manusia adalah berkontemplasi dan berefleksi secara khusus tentang dirinya sendiri
untuk mendapatkan pengetahuan tentang
perannya dalam hubungan antar individu.
Akhirnya, orang Jawa adalah obyek yang
tertelan oleh subyektifitasnya sendiri.
Jejak samar-samar dari ruang publik politis di Jawa hanya muncul ketika
kekuasaan berpindah dari satu tangan ke
tangan yang lain. Nampaknya pergantian
kekuasaan dari satu rezim ke rezim lain
di Indonesia selalu dimulai oleh kesamaan pandangan tentang kebebasan yang
diusung oleh suatu kelas berpendidikan
Demokrasi dan Ruang Publik Politis di barat. Namun setelah demokrasi direbut
Jawa
dan situasi tidak membaik, rezim otoriter
Ruang publik politis jejaknya selalu samar- dapat berkuasa kembali dengan mudah.
samar dalam sejarah Jawa. Ruang publik Bahkan meskipun seorang Habermas
politis memang asing bagi orang Jawa, ka meyakini bahwa ruang publik politis ha
rena pandangan dunia orang Jawa memang nya bisa diperoleh bila telah terjadi proses
berbeda dengan filsafat ala Barat. Pandang demokratisasi radikal (Habermas dalam
an dunia orang Jawa yang tidak memi- Wattimena, 2007: 125), sejarah menunjuksahkan kesadaran dirinya dari realitas, kan lain. Revolusi Kemerdekaan Indonemenghasilkan konsekuensi bahwa konsep sia 1945, Tritura 1966 dan Reformasi 1998
kekuasaan Jawa adalah salah satu perpan- tidak pernah mampu menciptakan sebuah
jangan tangan dari realitas. Menyatunya ke- ruang publik politis yang bertahan cukup
sadaran manusia dengan ruang menyebab- lama, sehingga menjadi locus bersemainya
kan kekuasaan (yang dalam filsafat Barat demokrasi. Soekarno, Soeharto, Megawati,
dianggap hanya sebagai sebuah sub-sistem Gus Dur dan terakhir Susilo Bambang Yuddari kehidupan manusia) adalah hasil resa- hoyono tidak mampu melepaskan diri dari
pan kekuatan kosmos yang hidup dan me- jeratan konsep kekuasaan Jawa. Bahkan benyatu dalam ruang itu. Pandangan dunia berapa waktu yang lalu, 7 April 2008, Presiorang Jawa berpendapat bahwa kekuasaan den SBY memarahi para pimpinan peme
akan selalu memenuhi ruang (seperti hal- rintah daerah (bupati) dan DPRD peserta
nya sub-sistem kehidupan lainnya), se Forum Konsolidasi Pimpinan Pemerintahhingga tidak akan pernah ada ruang yang an Daerah di Gedung Lembaga Ketahanan
cukup netral sebagai prasyarat terjadinya Nasional (Lemhannas)---diadakan di Istana
dialog. Membayangkan sebuah ruang yang Merdeka---karena mereka tertidur saat benetral pun orang Jawa tidak akan sanggup, liau sedang memberikan ceramah. Hal ini
justru karena ia adalah bagian dari ruang. nampaknya disebabkan oleh karena PresiBagi orang Jawa, sosialitas manusia adalah den SBY masih memahami konsep istana
hubungan antar subyek yang hidup ber- yang ditinggalinya sebagai istana Presiden,
sama dalam ruang yang dikooptasi oleh bukannya sebagai istana negara, apalagi
kepentingan sehingga yang bisa dilakukan istana rakyat.
10/30/2013 7:36:46 AM
Daftar Pustaka
Breman, Jan. (1986). Penguasaan Tanah dan
Tenaga Kerja: Jawa di Masa Kolonial. Jakarta: LP3ES.
de Graaf, H.J. (1986). Puncak Kekuasaan Mataram (terj.) Jakarta: P.T. Pustaka Grafiti
Pers.
Hardiman, Fransisko Budi. (2003). Kritik
Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.
Kartodirdjo, Sartono. (2001). Berkembang
dan Runtuhnya Aristokrasi Tradisional
Jawa dalam Hans Antlov dan Sven
Cederroth (Tim editor). Kepemimpinan
Jawa: Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter (terj.) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lombard, Denys. (1996). Nusa Jawa: Silang
Budaya jilid 3 (terj.) Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Lubis, Mochtar. (1987). Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Magnis-Suseno, Franz. (1984). Etika Jawa:
Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia.
Moedjanto, G. (1987). Konsep Kekuasaan
Jawa: Penerapannya oleh Raja-Raja Ma
taram. Yogyakarta: Kanisius.
179
10/30/2013 7:36:46 AM
Vol. I, Nomor 2
ABSTRACT
The method of teaching Pancasila for university students should be made more interesting, relevant, creative and non-indoctrinative today, more than ever. During New Order era, the teaching of Pancasila largely emphasized on the method of memorizing and reciting and also heavily
imbued with thick formality. The goal of this (new) approach is not to make university students
feel alienated and detached from Pancasila who some people would still call a relic of the past, but
rather, a participatory approach. A reading and close reflection of Nuova Scienza from Giambattista Vico yields to reconstructive imagination as a necessary tool and capacity for understanding
historical knowledge, such as Pancasila, in a participatory way. By promoting this reconstructive
imagination-based participatory approach, the internalization of Pancasila values and its re-actualization in daily lives of Indonesian citizens is facilitated. Having accumulated five years experience of teaching Pancasila and Citizenship at Multimedia Nusantara University, Tangerang, the
writer has tried to introduce this reconstructive imagination approach in explaining some teaching materials such as The Historical Birth of Pancasila, Pancasila as Philosophy and Ideology. The
students participative activities in doing various assignments also strengthen the case argued.
Keywords: pendekatan partisipatoris, pengetahuan yang menyejarah, imajinasi rekonstruktif, naskah pidato Pancasila versi Bung Karno dan Muh. Yamin, Ideologi Pancasila.
Pendahuluan
Pada hari Rabu, 1 Juni 2011, dalam rangka memeringati hari Kesaktian Pancasila,
*) Versi asli dari artikel ini dalam bentuk power point presentations pernah disampaikan dalam Kongres Pancasila V, 31
Mei 1 Juni 2013, di kampus Universitas Gadjah Mada. Abstrak artikel, dalam bahasa Indonesia, dimuat di Prosiding Kongres Pancasila 2013 (ISBN = 978-602-7918-01-6), hlm. 125. Versi lengkap artikel ini tidak dimuat dalam
Prosiding.
10/30/2013 7:37:11 AM
hendar putranto
181
10/30/2013 7:37:11 AM
Vol I, 2013
10/30/2013 7:37:11 AM
hendar putranto
183
Berlin, dalam Verene (1991: 125), mengajukan istilah reconstructive fantasia guna membahasakan metode yang
digunakan Vico untuk memahami fakta dan peristiwa sejarah dengan menggunakan daya imajinasi rekonstruktif.
10/30/2013 7:37:11 AM
Vol I, 2013
10/30/2013 7:37:11 AM
Nomenklatur parameter
hendar putranto
185
mimbar atau dikte. Kebiasaan (habit) peserta didik untuk menggeluti metode baru
ini masih bisa dibentuk asalkan ada visi
yang memandu, kepercayaan kuat, dan
dosen yang asertif.
Berdasarkan metode PBIR yang dipercaya penulis dapat meningkatkan respon
dan ketertarikan mahasiswa pada materi
ajar Pancasila dan Kewarganegaraan, berikut adalah sejumlah aplikasinya yang sudah diuji-cobakan di ruang kelas:
1. Mahasiswa melakukan pementasan
teatrikal ideologi Pancasila berhadaphadapan dengan sejumlah ideologi besar dunia lainnya (liberalisme, kapitalisme, komunisme, marxisme, fasisme,
dan sosial demokrat).
2. Dosen bersama-sama mahasiswa membaca naskah asli pidato Pancasila versi
Bung Karno dan versi Muh. Yamin, lalu
kedua naskah tersebut dipresentasikan
di depan kelas secara kreatif dan menggugah.
3. Pembuatan website ideologi Pancasila
yang di dalamnya diisi dengan gambar,
wawancara, video, dan artikel.
Dari tiga model aplikasi di atas, berikut
adalah perbandingannya dalam bentuk
bagan:
Pembuatan website
merepresentasikan teks
Ideologi Pancasila
(http://id-one.wix.com/
lainnya
Muh. Yamin
manuk-dadali)
Tinggi
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang
Sedang (diskontinyu)
Sedang (diskontinyu)
Tinggi (kontinyu)
Tinggi
Sedang
Rendah
10/30/2013 7:37:11 AM
Vol I, 2013
10/30/2013 7:37:11 AM
hendar putranto
187
10/30/2013 7:37:11 AM
Vol I, 2013
10/30/2013 7:37:11 AM
hendar putranto
189
10/30/2013 7:37:12 AM
Vol I, 2013
10/30/2013 7:37:12 AM
hendar putranto
191
10/30/2013 7:37:12 AM
Vol. I, Nomor 2
ABSTRACT
Videography as a learning tool is an effective way to influence and to inspire audiences. Objectively, videography can be called as an Applied Science. The major problem with learning videography
as a science is that to understand the function of one phase or one piece of equipment, we should
already know all of the others. As an object, this article provides an overview of the initial technical
television production process, and three phases of production. As a subject, videography emphasizes on the learner. To support the learner who is concerned to obtain the knowledge, this article
gives an exploration of cognitive, affective, and psychomotor Blooms Taxonomy of Educational
Objectives. The learning outcomes represent the level of understanding, intellectual, creativity,
and behavior.
Keywords: Videography, learning tool, phases, pre production, production, post production,
Blooms Taxonomy
Di era digital abad ke-21, video dalam bentuk klip, iklan layanan masyarakat, iklan pariwara, film pendek, dan
lain-lainnya, tidak hanya ditayangkan lewat pesawat televisi, tetapi juga lewat media lain seperti telepon genggam,
laptop, komputer, bioskop, anjungan tunai mandiri, layar LCD raksasa, dan sebagainya (Millerson dan Owens, 2008:
1-2). Baca juga Reardon, N. (2006).
10/30/2013 7:37:39 AM
oscar jayanagara
193
World Broadcasting System Television / Video Formats: NTSC (National Television System Committee)
PAL (Phase Alternate Line) PAL / SECAM, and SECAM (Sequential and Memory) http://www.dcamediasolutions.com/
video-conversions/web-world-broadcasting-system.pdf
3
Teknologi Informasi berkorelasi erat dengan internet. Dibawah ini ada beberapa contoh berita (tayangan video) yang
dimuat oleh CNN melalui Internet: Googles Android operating system will face its first big court challenge on Monday as a
trial gets under way in California to consider a claim from software group Oracle that could top $1bn (April 16, 2012). A cloudcomputing company is building what it calls the worlds first zero-emission data center in Iceland (September 28, 2011).
http://topics.cnn.com/topics/information_technology. Lihat juga berita atau dokumentari di BBC: http://uit.co.nz/
news/bbc-technology
2
10/30/2013 7:37:39 AM
194
Vol I, 2013
Sistem telekomunikasi disetiap negara atau regional berbeda perusahaan penyedia jasanya. Di Indonesia telepon
pintar (Smart Phone) BlackBerry (BB) memakai jasa perusahaan RIM (Research In Motion) dalam menjalankan sistem
operasi (Operating system) telekomunikasi-penyiarannya, termasuk mengunggah dan mengunduh video, menonton
siaran langsung TV (Life Streaming TV), berselancar (Browsing) di Internet, dan sebagainya. Di Eropa memakai jasa
ESTEC (European Space Agencys Testing Center) SmallGEO dari Belanda: Untuk lebih jelasnya, bisa dikunjungi laman
berikut http://www.esa.int/esaTE/SEM1HGKTYRF_index_0.html
5
Allan M Brandt baru berusia tujuh tahun ketika orang tuanya mengajaknya ke New York pada tahun 1961, dan sebagai anak kecil, ia terkagum-kagum menyaksikan baliho raksasa Camel Man, ikon rokok Camel, berada di atas Times
Square sambil tak henti mengepulkan cincin-cincin asap (Lih. Brandt.(2007). The Cigarrete Century: The Rise and Fall,
and Deadly Persistence of the Product that Defined America.Harvard Publisher).
6
Sesame Street was conceived in 1966 during discussions between television producer Joan Ganz Cooney and Carnegie Foundation vice president Lloyd Morrisett. Their goal was to create a childrens television show that would master the addictive qualities of television and do something good with them (Davis, 2008: 8)
7
Menurut Michael Davis, di pertengahan tahun 1970-an, the show had become an American institution (Davis, 2008:
220).
10/30/2013 7:37:39 AM
oscar jayanagara
195
dan disaksikan lebih dari satu milyar audiens di seluruh dunia (Gikow, 2009). Data
ini menunjukkan bahwa tayangan video
Sesame Street merupakan tayangan yang
terbanyak yang pernah disaksikan audiens.
Video Sesame Street bisa dikatakan sebagai
video yang persepsi atau komunikasinya dilihat dan dimengerti, dan pada akhirnya sa
ngat memengaruhi kehidupan audiensnya.
Di Indonesia, pada 2006, lewat rumah
produksi Indigo, Sesame Street diadaptasi
dan diproduksi ulang dengan pendekatan
budaya Indonesia, dan diberi nama Jalan
Sesama (Jakarta Post, 24 Maret 2006). Jalan
Sesama berarti Jalan Untuk Semua, terinspirasi oleh konsep Kebersamaan dan
Keberagaman (Togetherness and Diversity)
di Indonesia (Jakarta Post, 13 Januari 2007).
Sebagai tambahan dari konsep pembelajaran dasar huruf dan angka, Jalan Sesama
juga mengedukasi konsep kebersamaan
dan keberagaman, kepedulian alam dan
lingkungan8, dan pembangunan karakter
yang positif. Dengan melibatkan beberapa
artis sebagai bintang tamu, video ini membantu anak-anak Indonesia belajar kognitif
dasar dan keterampilan pergaulan sosial,
juga mempresentasikan kekayaan dan keberagaman budaya Indonesia. Tema-tema
sehari-hari seperti Kebiasaan Yang Sehat sampai Bersih-bersih Sehabis Banjir,
menjadikan tayangan video ini9 berpenga
ruh besar kepada audiens anak-anak Indonesia (Sinar Harapan, 24 Maret 2007).
Pencetus ide dan pembuat (Creator)
Jalan Sesama, Muhammad Zuhdi, berhasil meraih penghargaan dari Pemerintah
Tayangan video Jalan Sesama selain memakai karakter utama Sesame Street seperti Big Bird, Ernie, Elmo, juga memakai
beberapa karakter boneka Hand Puppet dan Live Size Puppet berkarakteristik nama anak atau satwa Indonesia, seperti
karakter Momon (berkarakter anak Indonesia berumur 5 tahun yang suka menggambar dan berhitung), karakter
Putri (berkarakter anak perempuan Indonesia yang aktif, tetapi sering minta tolong pada Momon), karakter Tantan
(berkarakter Orang Utan wanita yang bijak), karakter Jabrik (berkarakter anak Badak bercula satu yang sering mengeluh, tapi juga sering tertawa).
9
Tayangan Jalan Sesama ditayangkan harian (Daily Show) di stasiun televisi Trans7 dari 18 Februari 2008 sampai 2010.
Setelah itu mulai 9 September 2011 di tayangkan di Kompas TV (Kompas, 9 September 2011).
10/30/2013 7:37:40 AM
196
Vol I, 2013
10
The impact of Jalan Sesama on the educational and healthy development of Indonesian preschool children: An experimental
study:Jalan Sesama was developed to address the developmental needs of Indonesian children ages 3 to 6 years This paper
describes how an educational media intervention can have great benefits, even in locales where the children face difficult hardships and lack basic resources (Borzekowski, 2011: 169 - 170).
11
Solusi adalah sebuah tayangan video hasil ciptaan penulis dengan format docudrama, ditayangkan mingguan (weekly
show) di SCTV dari tahun 1999 sampai sekarang (2013), yang berisi kisah nyata kisah nyata berbagai ragam orang,
di mana penulis mencoba mengkonstruksikan kisah nyata mereka yang sangat unik dan menginspirasikan dalam
sebuah videografi. Berdasarkan hasil survey AC Nielsen Indonesia dari tahun ke tahun, tayangan Solusi telah menginspirasi banyak audiens Indonesia, yang pada tahap berikutnya format dan gaya pembuatannya banyak diikuti
tayangan videografi lain di stasiun TV yang berbeda.
12
Jalan Kasih adalah sebuah tayangan videografi ciptaan penulis dengan format Realiti Dokumentari ditayangkan
mingguan di SCTV dari tahun 2005 2007, dan di TVRI (bernama Kasih) dari tahun 1999 sampai sekarang (2013).
13
PSA (Public Service Announcement) Pancasila adalah tayangan Iklan Layanan Masyarakat Pancasila ciptaan penulis,
bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi Indonesia, ditayangkan di Metro TV (setiap hari Selasa selama bulan
November 2012), dan di Kompas TV pada hari lahir Pancasila yang ke-68 (1 Juni 2013).
10/30/2013 7:37:40 AM
mengapa memakai/memilih merk tersebut (The Purpose Driven Brand), ada berapa
merk dan jenis armada truk yang dimiliki
(how many trucks), berapa kali perjalanan
bolak-balik dalam seminggu (Weekly Quantity Travelling), bagaimana daya tahan me
sin dan roda (Mechanical and Tires Indurances), seberapa sering mengganti sparepart
(Spareparts Changing), berapa perbandingan
konsumsi bahan bakar dengan jarak tempuh (Fuel Consumption), seberapa buruk/
baik kondisi jalan lintas Sumatra dan Jawa
(Highway Condition), ketersediaan alat dan
servis purna jual (After Sales Services and
Spareparts), berapa tahun pergantian armada lama dengan armada baru (Re-Purchase),
dan sebagainya.
Untuk mendapatkan kebenaran yang
dapat dipertanggungjawabkan, penulis
menggunakan metode kualitatif. Pertama,
dengan terjun ke lapangan mengikuti perjalanan lintas Jawa Sumatra Jawa supir-supir truk yang menggunakan berbagai merk dan tipe truk keluaran Jepang, di
antaranya: Mitsubishi Canter dan Fuso, Hino
Dutro, Toyota Dyna, Isuzu Elf, Nissan DAT.
Penulis merekam suara dan gambar de
ngan menggunakan telepon genggam serta
kamera prosumer DSLR, dan melakukan
interaksi percakapan dengan para supir
maupun asistennya (kenek). Kedua, penulis
melakukan wawancara mendalam terhadap
pemimpin usaha atau pemilik usaha. Se
tiap selesai satu rekaman percakapan (fase
produksi), malamnya penulis mengeditnya dengan memakai laptop, memberi teks
terjemahan ke dalam Bahasa Inggris (fase
pasca produksi), dan mengirimnya lewat
internet. Penulis memanfaatkan teknologi
informasi dengan cara mengunggah melalui internet hasil rekaman video tersebut.
Kemudian pihak peminta jasa mengunduh rekaman video tersebut. Evaluasi hasil
video pun oleh pihak peminta jasa kepada
penulis dilakukan via Skype.
oscar jayanagara
197
10/30/2013 7:37:40 AM
198
Vol I, 2013
14
The digital broadcast system now is using the High Definition Television (HDTV), and the HDTV has at least twice the picture
detail of standard television. HDTV requires 720p, 1080p, 1420p, 1920p (P for Progressive), instead of below 480p for standard
television. The 720p uses 720 visible or active, lines that normally scanned progressively each 1/60 second. The HDTV widthto-height aspec ratio is 16 x 9, and the Standard Television is 4 x 3. The small portable media (cell phone) screens have various
aspect ratios (Zettl, 2009: 57).
15
Interpretatif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: bersifat adanya kesan, pendapat, dan pandangan; berhubung
an dengan adanya tafsiran (KBBI, 2007: 439).
10/30/2013 7:37:40 AM
ta, desain produksi, jadwal produksi, pencarian pemain, fasilitas dan alat produksi
yang dipakai, penunjukan staf produksi,
penulisan naskah, pengurusan ijin dan hak
cipta atau hak siar, pembuatan promosi
dan publisitas; (2) fase produksi (proses
pengambilan gambar bergerak dengan
menggunakan media elektronik, dan (3)
fase pasca produksi (pendataan gambar),
mengambil gambar, melakukan transkrip
Fase
oscar jayanagara
199
suara, mengedit suara dan gambar, memberi transisi dan efek, memberi efek suara
dan efek gambar, menggabungkan, serta
mengatur kualitas produksi. Di bawah ini
penulis akan memberikan penjelasan dari
fase-fase produksi, dan penjabaran ruang
lingkup kerjanya.
Tabel 1. Proses Pembuatan Video/Sinema (Video / Film Making)16
Penjabaran Kerja
Pra Produksi
Proses menemukan ide (Generating Idea) Mengevaluasi ide (Is the idea worth and doable?) Proposal acara (Program Proposal) Tujuan acara (Program Objective) Target penonton/audiens (Target
Audience) Format acara (Show Format) Perlakuan acara (Show Treatment) Metode produksi (Production Method) Budget (Tentative and Actual budget) Sketsa cerita (Story Board) Desain produksi
(Production Design) Jadwal produksi (Production Schedule), pencarian pemain (Talent Casting)
Fasilitas dan alat produksi yang dipakai (Equipment and Facilities Requirement) Penunjukkan staf
produksi (Crew Hiring) Penulisan naskah (Script Writing, termasuk Screenplay) Pengurusan ijin dan
hak cipta / hak siar (Permit and Clearance) Pembuatan promosi dan publisitas (Publicity and Promotion) Persetujuan (Green Light).
Produksi
Latihan pengarahan (Directing Rehearsal) Latihan pemosisian (Blocking Rehearsal) Latihan shooting seluruh naskah dengan memakai kostum (Run Through) Proses pengambilan gambar bergerak
(Video Recording) dengan menggunakan media elektronik (Video Tape, Direct Disk Recording, Memory
Card) Analisis naskah (Script Analysis) Visualisasi (Visualization).
Pasca Produksi
Pendataan gambar (Time Coding) Mengambil gambar (Capturing) Melakukan transkrip suara (Audio Transcription) Mengedit suara dan gambar (Audio Video Editing: Shorten, Combine, Correct, Build)
Memberi transisi dan efek (Transitions and Effect) Memberi efek suara dan efek gambar (Sound
Effectand Special Effect) Memberi latar suara (Sound Track) Menggabungkan (Mixing) Mengatur
kualitas produksi (Controlling Quality) Pembuatan hasil akhir (Master Program).
16
Sistem produksi dan fase-fase produksi antara videografi dan sinematografi pada hakekatnya adalah sama. Yang
membedakan adalah media perekamannya. Pada videografi proses perekaman menggunakan media elektronik,
seperti kaset dvd digital, memory card, hard disk external, computer, laptop, dan sebagainya. Sedangkan pada sinematografi
proses perekaman menggunakan pita seluloid.
10/30/2013 7:37:40 AM
200
Vol I, 2013
17
Videografi sekarang ini telah menjadi interdisiplin ilmu, baik ilmu seni rupa dan desain, ilmu komunikasi, psikologi, sosiologi, dan lain-lain (Kiger, 1972)
10/30/2013 7:37:40 AM
oscar jayanagara
201
Taksonomi
Evaluasi
Deskripsi
Membuat konsep berdasarkan kriteria dan
parameter kelompok.
Memahami proses
evaluasi (Doable? or
worth doing?)
Penerapan dalam
videografi
Kegiatan
Dapat memproduksi
konsep ke dalam
tahap produksi video
dan audio dengan
kualitas hasil, proses,
dan kinerja yang
terukur
Menkonseptualisasi
Mengevaluasi
Merevisi
Mempertimbangkan
Mengkonsep ulang
Mengikuti proses
Melakukan proses
Membuktikan proses
Memperlihatkan kerja
Mempraktikkan kerja
Memadukan kerja
Mempertimbangkan
kemungkinan konsep
lain
Afektif
Pembentukan karakter
(Characterization)
Mengerjakan proses
produksi (pra, Prod,
dan pasca) sesuai
dengan tenggat
waktu, baik perorangan maupun dalam
kelompok kerja
10/30/2013 7:37:40 AM
202
Psikomotor
Kreativitas
Vol I, 2013
Membuat inisiatif
baru
Merancang sesuatu
yang baru
Membuat inovasi
dan perkembangan
terhadap konsep dan
proses sebelumnya
Melakukan inovasi
baru terhadap proses
perancangan atau
produksi
Mengubah pola pikir
dan konsep untuk
menghasilkan bentuk
produksi yang baru
Merancang konsep
Mengombinasikan
Menciptakan karya
Mendesain karya
Mengadaptasi proses
Mengatur produksi
Mengubah produksi
Mengoptimalkan prod
Menginovasi produksi
Mengembangkan
proses yang sama
terhadap ide atau
aplikasi pada jenis
produksi yang baru
Unsur Visual
Teknik
(Lighting, angle, framing, shooting,
camera visualization)
Ekspresi
(Composition style, special effect,
graphic design, tilting)
Kreativitas
(light effect, camera effect, etc)
10/30/2013 7:37:40 AM
oscar jayanagara
203
10/30/2013 7:37:40 AM
204
Vol I, 2013
10/30/2013 7:37:40 AM
oscar jayanagara
205
10/30/2013 7:37:41 AM
206
Vol I, 2013
revolusionernya (perubahan/pertentangan
atas tesis oleh anti-tesis menjadi sintesis).
Pengandaian dasar dialektika Hegel adalah relasionalisme internal, yakni pengertian
bahwa keseluruhan kenyataan, dipahami
sebagai manifestasi-diri roh, senantiasa terhubung satu sama lain dalam jejalin yang
tak putus. Secara logis, teks A hanya bisa
dimengerti sejauh ada juga teks non-A yang
darinya A ditentukan sifatnya. Secara ontologis, Ada dapat dimengerti sejauh ia koeksis dengan Ketiadaan: Ketiadaan internal
dalam definisi Ada dan Ada internal dalam
definisi Ketiadaan. Relasionalisme internal
segala hal-ihwal inilah yang memungkin
kan terwujudnya determinasi resiprokal
antar elemen dari realitas. Dengan berlandaskan pengertian Spinoza bahwa omnis
determinatio est negatio (semua determinasi
adalah negasi), bagi Hegel, relasi determinasi resiprokal ini adalah pula relasi negasi
resiprokal: afirmasi (A), negasi (non-A) dan
afirmasi pada tataran yang lebih tinggi atau
negasi atas negasi (non-non-A yang mencakup intisari A dan non-A). Inilah yang biasanya kita kenal sebagai dialektika antara
tesis-antitesis-sintesis. Dialektika inilah
yang dimengerti Hegel sebagai dinamika
internal dari realitas dan pikiran (Suryajaya, 2010).
Mahasiswa yang memakai pendekatan ini, biasanya berangkat dari ketidak-
Sistem Pembelajaran
Mahasiswa
Gambar 2.
10/30/2013 7:37:41 AM
oscar jayanagara
207
10/30/2013 7:37:41 AM
208
Vol I, 2013
Gambar 3
10/30/2013 7:37:41 AM
Penutup
Videografi sebagai sarana pembelajaran
sangat efektif diterapkan pada sistem pendidikan di tingkat apapun. Jalan Sesama
dan Sesame Street telah menjadi bukti nyata
bagaimana videografi mampu meraih target audiensnya secara signifikan. Anakanak dan orang tua yang merupakan target
utama dari program ini merasakan manfaat
dari ide dan inspirasi si pembuat videografi
tersebut. Orang tua merasa terbantu dalam mengenalkan dan mengajarkan anakanaknya tentang angka, huruf, warna, bentuk, flora, fauna, dan budaya global.
Penulis sebagai seorang pelaku industri multimedia dan pendidik menemukan
betapa efektifnya penggunaan karya videografi dalam bentuk audio visual ini sebagai sarana pembelajaran mahasiswa di
kelas. Videografi sebagai teori akan memberikan ilmu baru kepada mahasiswa
dalam mengkonstruksi sebuah ide atau
realita. Konsekuensinya, mahasiswa sebagai subyek pembelajar dapat menemukan
suatu kebenaran ketika mengkonstruksi
sebuah ide atau realita dalam wujud vi
deografi.
Daftar Pustaka
Arifiannto, S. (tanpa tahun). Konstruksi
Teori-teori dalam Perspektif Kajian
Budaya dan Media yang bisa diakses di http://balitbang.kominfo.go.id/
balitb ang/aptika-ikp/files/2013/02/
KONTRUKSI-TEORI-TEORI-DALAMP E R S P E K T I F - K A J I A N - B U D AYA DAN-MEDIA-.pdf
Beissner, D. J., dkk. (1993). Structural Knowledge: Techniques for Representing, Conveying, and Acquiring Structural knowledge.
New Jersey, USA: Lawrence Erlbaum
Associates.
Bergson, H. ([1896] 2004). Matter and Memory. London, UK: Forgotten Books.
oscar jayanagara
209
10/30/2013 7:37:41 AM
210
_____. Jalan Sesama is the Indonesian version of Sesame Street dalam The Jakarta
Post 24 Maret 2006.
Indra. (2011). Penghargaan buat Pencetus
Jalan Sesama dalam Kompas, 12 Juni
2011, diakses hari Selasa, 23 Juli 2013,
jam 13.58 WIB.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Kiger, B. (1972). VideographyWhat Does
It All Mean? dalam American Cinematographer, 10.
Lacey, A. (1996). A Dictionary of Philosophy
(3rd ed.). London, UK: Routledge.
Locke, J. (1690). An Essay Concerning Human Understanding. Oxford, UK, Christ
Church: Oxford University.
_____. (1689). Two Treatises of Government.
Oxford, UK, Christ Church: Oxford
University.
Maksum, A. (2008). Pengantar Filsafat dari
Masa Klasik hingga Postmodernisme. Yogyakarta: Ar-Pcazz Media.
Margolis, E.dan Pauwels, L. (2011). The Sage
Handbook of Visual Methods. California,
USA, Thousand Oaks: SAGE.
McKernan, B. (1996). The Age of Videography.
California, USA: Miller Freeman Publishing.
Millerson, Gerald dan Owens, Jim. (2008).
Video Production Handbook, Fourth Ed.,
MA, USA: Focal Press.
Moynihan, Jason. (2007). Indonesia: Sesame Streets Coming to Town! dalam
The Jakarta Post, 13 Januari 2007.
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. (2004).
Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Njoto. (1962). Marxisme: Ilmu dan Amalnya
(paparan populer). Jakarta: Harian Rajat.
Poedjawijatna. (1970). Pembimbing ke Arah
Alam Filsafat (1st ed.). Jakarta: Pustaka
Sarjana.
Vol I, 2013
_____. (2005). Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat (4th ed.). Jakarta: Rineke Cipta.
Reardon, N. (2006). On Camera, How To Report, Anchor & Interview. Burlington,
USA, MA: Focal Press.
Reigeluth, C.M. (1999a). What is instructional-design theory and how is it
changing? dalam C.M. Reigeluth (Ed.).
Instructional-Design Theories and Models:
A New Paradigm of Instructional Theory.
(Volume II). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Assoc., hlm. 5 - 29.
_____. (1999b). The Elaboration Theory:
Guidance for Scope and Sequence Decisions, dalam C.M. Reigeluth (Ed.),
Instructional-Design Theories and Models:
A New Paradigm of Instructional Theory.
(Volume II). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Assoc., hlm. 425 - 454.
Roblyer, M. (2006). Integrating Educational
Technology into Teaching (4th ed.). New
Jersey, USA: Pearson Prentice Hall.
Schunk, D. H. (2004). Learning Theories: An
Educational Perspective (4th ed.). New
Jersey, USA: Merril & Prentice Hall.
Sudarsono. (1993). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Suryajaya, Martin. (2010). Berpikir dengan
Pendekatan Materialisme Dialektis dan
Historis dalam http://problemfilsafat.
wordpress.com/2010/10/26/berpikirdengan-pendekatan-materialisme-dialektis-dan-historis/
Suseno, F. M. (1999). Pemikiran Karl Marx:
Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Tafsir, A. (2006). Filsafat Umum: Akal dan
Hati sejak Thales sampai Capra. Yogyakarta: Rosda.
Trollip, S. R. dan Alessi, S. M. (2001). Multimedia for Learning: Methods and Development (3rd ed.). Boston, USA: Allyn &
Bacon.
10/30/2013 7:37:41 AM
oscar jayanagara
211
10/30/2013 7:37:41 AM
Vol. I, Nomor 2
ABSTRAK
Gelombang feminisme II pada tahun 1960-an memengaruhi aktivis gender dalam meningkatkan
kampanye mereka melawan budaya patriarki di hamper semua bidang. Kampanye ini bertujuan
untuk mencapai pemenuhan hak-hak perempuan dalam aspek hukum, politik dan sosial. Dalam
konteks ini, mereka melihat pendidikan sebagai kendaraan untuk memberdayakan perempuan di
masyarakat. Menggunakan budaya Jawa sebagai kasus, artikel ini akan mendiskusikan apakah
pendidikan memiliki dampak terhadap pemberdayaan perempuan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat pendidikan dalam pemberdayaan perempuan di Indonesia. Dari hasil analisis, terlihat bahwa perempuan yang berpendidikan masih menemui kendala dalam berpartisipasi
di bidang ekonomi, politik dan sosial.
Keywords: pendidikan, perempuan, budaya Jawa, gender
10/30/2013 7:38:06 AM
arif rohman
213
10/30/2013 7:38:06 AM
214
Vol I, 2013
tion increased slightly to 59.7% whiles the argues that women are not ready to adjust
number of women dramatically increased with their new surroundings, nor are they
to 50.6% (Prasilowati, 2000: 42.).
protected from various types of abuses in
workplaces, as well as the outside world,
so they often end up as unskilled laborers
Womens Participation in the Economical with low wages. By contrast, men have easy
Sector
access into the managerial works and comThe first general assumption about the im- panies often deny womans rights as workpact of education on women is that it im- ers. They also face the risk of unwanted
proves the womens participation in the pregnancy, which often implies the loss of
economical sector. Most people in Indo- their jobs or reducing compensation when
nesia believe that the higher education the they take the pregnancy leave. Even though
women have, the better opportunity they the law guarantees women a three-month
get to enter various jobs, increasing their maternity leave, some companies require
occupational mobility, earning better wages them to sign a contract which obliges that
and thereby contributing to their familys they would not be pregnant during their
expenses. Unfortunately, this assumption contract or otherwise they have to resign
might be unrealistic. Even though women (Prasilowati, 2000: 49.).
Related to this Amano believes that the
work, they are still powerless and face the
gender-based discrimination in their work education in schools has been influenced by
a gender discrimination both in curriculum
place.
Grijns describes that women who need and teaching methods. As a consequence,
to work outside in order to support their women who graduate from schools still
family, would end up with the low-income have no confidence to compete with men
jobs. Competition in the market labour is (Amano, 1997: 224-232).
Sadli argues that the economical strucvery fiendish. Based on her study about
tea-pickers in West Java (Jawa Barat), she tural policy position women into jobs which
discovers that the distribution of workers require some limited skills, such as a clerk
tasks is fully allocated based on gender. or other similar types of job. This implies a
Men occupy all management positions higher risk of being replaced by others and
(100%), while most women (61.68%) oc- being unemployed when the company recupy the casual jobs, with no allowance duces its workers. Indeed, the Indonesian
or benefit. The women are paid based on government supports some labor organithe number of days they worked during zations which are dominated by men. This
the previous month but sometimes they reflects the womans minimal bargaining
are paid by the quantity of leaves they had powers in their work place (Sadli, 1995:
collected. Grijns also mentions that those 112).
Moreover, Jayaweera believes that in
women should also do all domestic work
at home. For instance, they have to lend a the case of women from the same degree
hand in looking for fire woods and other of education, those from middle and upper classes have more occupational mobildaily chores (Grijns, 1992: 106-108).
The educated Indonesian women who ity than poor women who are trapped by
work in industrial areas face similar prob- the ill-paid and low skill jobs. Additionally,
lems with those educated women who women and men with the same educationwork in an agricultural setting. Prasilowati al qualification reach a higher level in oc-
10/30/2013 7:38:06 AM
arif rohman
215
10/30/2013 7:38:06 AM
216
Vol I, 2013
10/30/2013 7:38:07 AM
arif rohman
217
10/30/2013 7:38:07 AM
Vol. I, Nomor 2
Resensi Buku
:
:
:
:
:
10/30/2013 7:38:30 AM
arif susanto
219
10/30/2013 7:38:30 AM
220
apa yang harus dilakukan dengan menimbang biaya dan manfaat; orang memilih sesuatu yang kiranya memberi kemanfaatan
terbesar bagi mereka. Jika gagasan ini benar, setiap aktivitas dipandu oleh hukum
penawaran dan permintaan; dan itu berarti
bahwa segala sesuatu memiliki harga ma
sing-masing.
Mari menimbang salah satu kasus yang
diajukan Sandel. Seorang pekerja yang
sibuk terburu memarkir kendaraannya di
area parkir yang dikhususkan bagi para
penyandang cacat, sementara dia bukanlah penyandang cacat. Berhitung biaya, dia
menimbang bahwa membayar denda untuk kesalahan parkir adalah jauh lebih murah ketimbang jika dia kehilangan banyak
waktu karena harus menemukan tempat
parkir yang tepat.
Namun pertimbangan moral akan melihat persoalan tersebut secara berbeda.
Menempatkan denda parkir sebagai semata ongkos bisnis sesungguhnya menunjukkan kegagalan pekerja tersebut untuk
menghargai kebutuhan para penyandang
cacat dan kehendak komunitas untuk mengakomodasinya, dengan menyediakan area
parkir khusus bagi mereka. Ketika orang
menganggap denda sebagai sekadar biaya,
mereka mencampakkan norma yang terkandung dalam aturan pengenaan denda
tersebut.
Sandel mengkritisi pandangan sebagian
ekonom yang berkeras memisahkan antara
ilmu ekonomi dan etika; antara nalar pasar
dan nalar moral (h. 88). Mereka berpendapat bahwa moralitas merepresentasikan
bagaimana kita menghendaki dunia seharusnya berjalan, sementara ilmu ekonomi
merepresentasikan bagaimana dunia senyatanya berjalan. Bagi Sandel, sebaliknya,
semakin pasar memperluas jangkauannya
meliputi ruang-ruang kehidupan nonekonomi, sesungguhnya semakin mendalam keterkaitannya dengan urusan-urusan
moral.
Vol I, 2013
10/30/2013 7:38:30 AM
arif susanto
221
10/30/2013 7:38:30 AM
222
Vol I, 2013
10/30/2013 7:38:31 AM
1. Artikel berupa hasil penelitian, baik penelitian lapangan maupun kajian pustaka
atau yang setara dengan hasil penelitian, serta kajian konseptual di bidang rumpun
ilmu humaniora, yaitu: Teologi, Filsafat, Hukum, Sejarah, Filologi, Bahasa, Budaya &
Linguistik (Kajian bahasa), Kesusastraan, Kesenian, dan Psikologi.
2. Jurnal Ultima Humaniora memberikan perhatian dan porsi yang lebih khusus pada
artikel, hasil penelitian, serta kajian konseptual seputar Pancasila dan Kewarganegaraan, Agama dan Religiositas, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing, Metode Belajar dan Mengajar yang efektif di Perguruan Tinggi, Kepemimpinan
dan Kewirausahaan.
3. Jurnal Ultima Humaniora terbit secara berkala, dua kali dalam setahun (Maret dan
September).
4. Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bila artikel menggunakan bahasa Indonesia abstraknya menggunakan bahasa Inggris, sedangkan bila
artikel menggunakan bahasa Inggris, abstraknya berbahasa Indonesia
5. Panjang abstrak 150-200 kata, spasi 1, jenis huruf Times New Roman 10pt, ditulis de
ngan huruf miring serta dilengkapi dengan tiga sampai lima kata kunci.
6. Untuk artikel hasil penelitian lapangan, abstrak harus memuat latar belakang dan
perumusan masalah,tujuan,metode,hasil atau kesimpulan penelitian
7. Panjang naskah antara 15-25 halaman, ukuran kertas Kwarto (A4), di luar bagan,
gambar/foto dan daftar rujukan atau daftar pustaka (referensi)
8. Pengetikan naskah menggunakan program Microsoft Word, spasi 1.5, jenis huruf
Times News Roman, 12pt. Marjin kanan-kiri, atas bawah 2.5 cm.
9. Gambar dan Tabel
a) Gambar yang akan ditampilkan dalam jurnal adalah gambar hitam-putih.
b) Bila menginginkan, penulis dapat menyertakan gambar berwarna, namun penulis akan dikenai biaya tambahan untuk pencetakan gambar berwarna tersebut.
c) Gambar dan tabel diberi nomor sebagai berikut: Gambar 1, Gambar 2, dst. Tabel
1, Tabel 2, dst.
d) Gambar dan tabel yang substansinya sama, ditampilkan salah satu.
e) Tabel berbentuk pivot table.
10. Komposisi artikel hasil penelitian : (1) Judul dan sub-judul, (2) Nama Penulis (tanpa gelar), di bawah nama penulis dicantumkan nama institusi/afiliasi/alumni, (3)
abstrak, (4) kata kunci, (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Tinjauan Pustaka/
Kerangka Teori , (7) Metodologi Penelitian, (8) Hasil dan Pembahasan (9) Simpulan
dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat kepustakaan yang dirujuk dalam artikel)
11. Komposisi artikel konseptual: (1) Judul dan sub-judul, (2) Nama Penulis (tanpa gelar), (3) abstrak, (4) Kata kunci, (5) Pendahuluan (tanpa sub judul), (6) Sub judul- sub
judul sesuai kebutuhan, (7) Penutup, (8) Daftar Pustaka (hanya memuat kepustakaan
yang dirujuk dalam artikel).
011-pedoman.indd 223
10/30/2013 7:38:56 AM
12. Ucapan terima kasih: Penulis dapat menuliskan ucapan terima kasih kepada individu, lembaga pemberi dana penelitian, dan sebagainya. Ucapan terima kasih dituliskan sebelum Daftar Pustaka.
13. Penulisan sitasi dibuat dengan catatan perut (in-text references, APA style) yang memuat nama belakang pengarang,tahun penulisan, dan halaman penulisan.
Contoh:
Satu penulis
: (Siapera,2010:49)
Dua penulis
: (Kanpol dan McLaren, 1995:118)
Lebih dari dua penulis : (Lister,dkk,2009:239)
14. Penulisan dalam Daftar Pustaka dapat dilakukan sebagai berikut:
Sumber buku:
Kearney, R. (1999). Poetics of Modernity: Toward a Hermeneutic Imagination. New York:
Humanity Books.
Killen, M. dan Smetana, J. G. (Tim Editor). (2006). Handbook of Moral Development.
Mahwah, New Jersey (USA) dan London (UK): Lawrence Erlbaum Associates,
Inc.
Semi, G., Colombo, E., Camozzi, I. & Frisina, A. (2009). Practices of Difference:
Analysing Multiculturalism in Everyday Life. Dalam Amanda Wise dan Selvaraj
Velayutham. (Tim Editor). Everyday Multiculturalism (hlm. 66 84). Hampshire
RG21 6XS (UK) dan New York (USA): Palgrave Macmillan.
011-pedoman.indd 224
Sumber jurnal:
Mancini, S. (2009). Imaginaries of Cultural Diversity and the Permanence of the Religious. Diogenes 56 (4), 3 16.
Sumber prosiding seminar:
Akbar, A. 2012. Adam, Atlantis, dan Piramida di Indonesia: Antara Fakta Arkeologi
dan Gegar Jati Diri. Artikel dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Kajian
Indonesia (ICSSIS) ke-4 yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia di Bali, 9 10 Februari. Dimuat dalam Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies (hlm. 96 107). ISSN 2087-0019.
Sumber internet:
Harrington, A. M. (2010). Problematizing the Hybrid Classroom for ESL/EFL Students. TESL-EJ, The Electronic Journal for English as a Second Language, Desember 2010,
Volume 14 (3). Bisa diakses di http://www.tesl-ej.org/wordpress/issues/volume14/
ej55/ej55a3/
Sumber disertasi/tesis:
Sayles-Hannon, S. (2008). In search of multiculturalism: Uprooting whiteness in curriculum design and pedagogical strategies. Texas Womans University. ProQuest Dissertations dan Theses, n/a. Diakses dari http://search.proquest.com/docview/304326219?a
ccountid=17242
10/30/2013 7:38:56 AM
15. Setiap naskah diserahkan dalam bentuk hard copy atau soft copy, dengan format .rtf
atau .doc/.docx. Naskah dapat dikirimkan melalui pos surat biasa atau lewat surel
(e-mail).
16. Hard copy artikel (dalam format RTF/doc/docx) bisa dikirimkan paling lambat satu
bulan sebelum periode penerbitan kepada :
Redaksi Jurnal Ultima Humaniora
Gedung Rektorat Lantai 2
UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA (UMN)
Jalan Boulevard Gading Serpong, Desa Curug Sangereng,
Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Banten 15333
Telp + 6221 5422 0808 ext. 2510
Atau format soft copy bisa dikirimkan lewat surel ke:
Redaktur Pelaksana Jurnal Ultima Humaniora, Hendar Putranto, dengan alamat
surel: hendar2001@yahoo.com sertakan juga carbon copy ke alamat surel kantor, hendar2007@umn.ac.id
17. Redaksi berhak memperbaiki gramatika (mistyping, misspelling, inaccuracy) penulisan naskah tanpa mengubah isi naskah tersebut. Semua pandangan, pendapat atau
pernyataan (klaim) yang terdapat dalam naskah merupakan tanggungjawab penulis.
Naskah yang tidak dimuat pada edisi Mei dapat dipertimbangkan untuk dimuat pada
edisi November tahun yang sama (atau yang tidak dimuat di edisi November dapat
dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi Mei tahun berikutnya), dengan catatan
bahwa penulis akan merevisi naskah tersebut sesuai saran dan rekomendasi Redaksi.
Naskah yang tidak memenuhi ketentuan dan kebijakan Redaksi akan dikembalikan
dengan catatan, lewat surel.
18. Penulis yang naskahnya diterima dan dipublikasikan dalam jurnal akan mendapatkan honorarium, setelah dipotong pajak 2.5% (dengan NPWP) atau 3% (tanpa
NPWP). Honorarium akan ditransfer ke rekening dengan nama penulis (tidak boleh
diwakilkan) paling lambat dua minggu setelah jurnal naik cetak dan siap didistribusikan.
011-pedoman.indd 225
10/30/2013 7:38:56 AM
011-pedoman.indd 226
10/30/2013 7:38:56 AM