Referat Anemia
Referat Anemia
ANEMIA
Oleh:
Bening Putri Ramadhani Usman
Fuad Hariyanto
1110103000084
1110103000046
Pembimbing:
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat, kasih sayang, kenikmatan, dan kemudahan yang begitu besar sehingga
dapat terselesaikannya makalah referat ini dengan judul ANEMIA. Penulisan referat ini
dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan bagian Ilmu Penyakit
Dalam di RSUP Fatmawati.
Penulis menyadari dengan adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak
sehingga makalah referat ini dapat terselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr.Anggraini Permata Sari,SpPD selaku pembimbing yang telah
membantu dan memberikan bimbingan dalam penyusunan referat ini, dan kepada semua
pihak yang turut serta membantu penyusunan referat ini.
Akhir kata, dengan segala kekurangan yang penulis miliki, segala saran dan kritik
yang bersifat membangun akan penulis terima untuk perbaikan selanjutnya. Semoga makalah
referat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang mempergunakannya terutama untuk
proses kemajuan pendidikan selanjutnya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia adalah suatu masalah kesehatan global yang terjadi pada negara berkembang
maupun negara maju, dapat terjadi pada seluruh fase kehidupan, namun paling sering terjadi
pada wanita hamil dan anak-anak. Anemia merupakan salah satu indikator buruknya nutrisi
dan status kesehatan seseorang. Anemia dapat meningkatkan risiko mortalitas ibu dan anak,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI ANEMIA
Secara fungsional, anemia diartikan sebagai penurunan jumlah eritrosit sehingga
eritrosit tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup
ke jaringan.3 Anemia dapat didefinisikan pula sebagai berkurangnya hingga di bawah nilai
normal jumlah sel darah merah, hemoglobin, dan volume hematokrit per 100 ml darah.4
Namun, kadar normal hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi sesuai dengan usia, jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut, serta keadaan tertentu seperti
kehamilan. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu gambaran perubahan
Gambar 2.1. Gambaran prevalensi anemia pada anak usia belum sekolah di dunia2
Anemia terjadi pada 58% populasi di Asia, dimana prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia
belum sekolah (47,7%), wanita hamil (41,6%), dan wanita dewasa tidak hamil (33,0%). Di
Indonesia, sekitar 44,5% populasi diperkirakan mengalami anemia dengan kadar Hb <11,0
g/dl, sehingga Indonesia masuk ke dalam kategori berat dalam prevalensi anemia.2
merah tidak mengandung nucleus, organel, atau ribosom. Selama perkembangan sel, strukturstruktur ini dikeluarkan untuk menyediakan ruang lebih banyak bagi hemoglobin.5
Selama perkembangan intra uterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh yolk sac dan
kemudian oleh hati dan limpa, sampai sumsum tulang terbentuk dan mengambil alih produksi
eritrosit secara eksklusif. Pada anak-anak, sebagian besar tulang terisi oleh sumsum tulang
merah yang mampu memproduksi sel darah. Namun, seiring pertambahan usia, sumsum
tulang kuning yang tidak mampu melakukan eritropoiesis perlahan-lahan menggantikan
sumsum merah, yang tersisa hanya di beberapa tempat, seperti sternum, iga, dan ujung-ujung
proksimal tulang panjang di ekstremitas.5
Berikut ini tahapan pembentukan eritrosit di dalam sumsum tulang :
Di dalam sumsum merah terdapat pluripotent stem cell yang belum berdiferensiasi,
yang kemudian secara terus-menerus membelah diri dan berdiferensiasi untuk menghasilkan
semua jenis sel darah. Myeloid stem cell adalah stem cell yang telah berdiferensiasi sebagian
yang akan berkembang menjadi eritrosit dan beberapa jenis sel darah lainnya. Eritroblas
merupakan sel yang masih memiliki nucleus dan organel-organel sel. Retikulosit merupakan
eritrosit imatur yang masih mengandung organel remnants. Eritrosit matur sudah tidak
memiliki nucleus maupun organel, dan kemudian akan dilepaskan ke dalam kapiler yang
menembus sumsum tulang.5
Gambar berikut ini menunjukkan regulasi eritropoiesis yang diperankan oleh
eritropoietin :
Pada keadaan penurunan perfusi oksigen ke ginjal, misalnya pada hipoksia atau
proses hemolisis, maka ginjal akan terangsang untuk mengeluarkan eritropoietin ke dalam
darah, sehingga terjadi eritropoiesis di sumsum tulang. Eritropoietin akan merangsang
maturasi dan proliferasi eritrosit. Peningkatan aktivitas eritropoietik ini meningkatkan jumlah
eritrosit di dalam darah, sehingga kapasitas darah mengangkut oksigen meningkat dan
penyaluran oksigen ke jaringan kembali normal. Jika penyaluran oksigen ke ginjal telah
kembali normal, maka sekresi eritropoietin akan dihentikan sampai dibutuhkan kembali.
Dengan mekanisme ini, produksi eritrosit dalam keadaan normal disesuaikan dengan
kerusakan atau kehilangan sel-sel tersebut, sehingga kemampuan darah mengangkut oksigen
relatif konstan. Pada kehilangan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada perdarahan atau
kerusakan abnormal eritrosit muda dalam darah, laju eritropoiesis dapat meningkat menjadi
lebih dari enam kali lipat nilai normal.6
Setelah dibentuk dan di sumsum tulang, sel darah merah akan dikeluarkan menuju
aliran darah. Tanpa DNA dan RNA, eritrosit tidak dapat membentuk protein untuk
memperbaiki sel, tumbuh, dan membelah atau memperbarui enzim-enzimnya. Eritrosit hanya
bertahan hidup selama sekitar 120 hari, dengan kecepatan penghancuran rata-rata dua hingga
tiga juta sel per detik.5
Seiring dengan proses penuaan, membrane plasma eritrosit yang tidak dapat
diperbaiki akan menjadi rapuh dan mudah pecah sewaktu sel terjepit melewati titik-titik
penyempitan di dalam system vaskular. Sebagian besar eritrosit tua dihancurkan di limpa,
karena jaringan kapiler organ ini yang sempit dan berkelok-kelok merusak sel-sel rapuh ini.
Sel darah merah dari sirkulasi akan keluar melalui arteriol di pulpa limpa, kemudian melalui
pori-pori kecil akan memasuki sinus limpa. Di dalam sinus limpa inilah eritrosit dihancurkan,
kemudian fragmen selnya difagosit oleh makrofag yang ada di sumsum tulang, nodus
limfoid, limpa, dan hati. Heme yang dihasilkan pada proses hemolisis akan diubah menjadi
bilirubin, sedangkan zat besi akan digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin.6
Sekitar dua pertiga zat besi yang ada di dalam tubuh terkandung di dalam
hemoglobin. Seperempatnya ada dalam bentuk zat besi simpanan (ferritin, hemosiderin), dan
sisanya sebagai zat besi fungsional (mioglobin dan enzim-enzim yang mengandung besi).
Tubuh akan kehilangan zat besi sebesar 1-2 mg/hari. Penyerapan zat besi di usus terutama
terjadi di duodenum dan bervariasi jumlahnya tergantung kebutuhan tubuh. Tubuh akan
menyerap 3-15 persen zat besi dari makanan, dan dapat meningkat hingga 25 persen pada
defisiensi zat besi. Konsumsi zat besi minimum yang direkomendasikan paling sedikit adalah
10-20 mg/hari.6
Berikut ini proses absorpsi, penyimpanan, dan daur ulang zat besi di dalam tubuh :
Zat besi diabsorpsi dari duodenum dari makanan, terutama dari hemoglobin dan
mioglobin pada daging dan ikan. Zat besi tersebut sebagian besar dalam bentuk Fe 2+, yang
akan langsung diabsorpsi dalam bentuk heme- Fe2+. Setelah memasuki sel mukosa, enzim
heme oksigenase akan melepaskan heme dan Fe 2+, kemudian Fe2+ akan dioksidasi menjadi
Fe3+. Bentuk tersebut dapat tetap berada di dalam sel mukosa dalam bentuk ferritin-Fe3+ untuk
kemudian dikembalikan lagi ke lumen usus pada saat regenerasi sel, atau dapat pula masuk
ke sirkulasi darah.6
Zat besi yang tidak terikat dengan heme hanya dapat diabsorpsi oleh sel mukosa usus
dalam bentuk Fe2+, sehingga Fe3+ yang tidak terikat heme harus terlebih dahulu direduksi
menjadi Fe2+ oleh enzim ferri reduktase dan askorbat yang berada di permukaan sel mukosa
usus. Kemudian Fe2+ diabsorpsi melalui proses transport aktif sekunder, yaitu melalui protein
simport Fe2+-H+. Dalam proses ini, pH kimus yang rendah berperan penting untuk
meningkatkan kadar H+ sehingga transport Fe2+ ke dalam sel mukosa meningkat, serta untuk
memisahkan zat besi dari kompleks makanan di usus.6
Penyerapan zat besi ke dalam aliran darah diregulasi oleh mukosa usus. Ketika terjadi
defisiensi zat besi, aconitase (protein regulasi zat besi) yang berada di sitosol akan berikatan
dengan ferritin-mRNA, sehingga terjadi inhibisi translasi ferritin. Maka, jumlah Fe 2+ yang
dapat memasuki aliran darah akan meningkat.6
Fe2+ di dalam darah dioksidasi oleh ceruroplasmin menjadi Fe3+ yang kemudian
berikatan dengan apotransferin, yaitu suatu protein yang berperan dalam transport zat besi di
dalam plasma, dan membentuk transferin. Transferin akan mengalami endositosis oleh
eritroblas dan sel-sel hepar melalui reseptor transferin. Setelah zat besi diabsorpsi oleh sel,
maka apotransferin akan terlepas dari zat besi sehingga memiliki kemampuan kembali untuk
mengikat zat besi dari usus dan makrofag.6
Feritin merupakan salah satu bentuk terbanyak dari zat besi simpanan di dalam tubuh,
dan mengandung hingga 4500 ion Fe3+, sehingga dapat menyediakan zat besi secara cepat
bagi tubuh (sekitar 600 mg zat besi), dimana kemampuan hemosiderin dalam menyediakan
zat besi jauh lebih lambat (sekitar 250 mg zat besi di dalam makrofag di hepar dan sumsum
tulang). Hb-Fe dan heme-Fe dikeluarkan dari eritroblas yang rusak dan sel darah merah yang
mengalami hemolisis, kemudian berikatan dengan haptoglobin dan hemopexin, lalu difagosit
oleh makrofag di sumsum tulang, hepar, dan limpa, kemudian 97 persen zat besi akan
digunakan kembali.6
Vitamin B12 (kobalamin) dan asam folat juga dibutuhkan dalam proses eritropoiesis,
terutama berperan dalam sintesis DNA. Berikut ini peran zat-zat tersebut dalam proses
eritropoiesis :
Gambar 2.7. Peran asam folat dan vitamin B12 dalam eritropoiesis 6
2.4.
ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan :3
I.
Etiopatogenesis
A. Gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a) Anemia defisiensi besi
b) Anemia defisiensi asam folat
c) Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a) Anemia akibat penyakit kronik
b) Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a) Anemia aplastik
b) Anemia mieloplastik
c) Anemia pada keganasan hematologi
d) Anemia diseritropoietik
e) Anemia pada sindrom mielodisplastik
4. Anemia akibat kekurangan eritropoietin
B. Anemia hemoragik
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a) Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
Anemia akibat defisiensi G6PD
c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia
Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a)
b)
c)
D. Anemia
kompleks3
II.
menolong dalam mengetahui penyebab anemia. Berikut ini klasifikasi anemia berdasarkan
morfologi dan etiologi :3
I.
II.
III.
atau achlorhydria
b. Kehilangan Fe
Perdarahan saluran cerna
Perdarahan saluran kemih
Hemoglobinuria
Hemosiderosis pulmonari idiopatik
Telangiektasia hemoragik herediter
Gangguan hemostasis
Infeksi cacing tambang
c. Meningkatnya kebutuhan Fe
Bayi prematur
Anak-anak dalam pertumbuhan
Ibu hamil dan menyusui
Laktasi3
Defisiensi zat besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif zat besi yang telah
berlangsung lama. Terdapat tiga stadium defisiensi zat besi, yaitu :7
1) Deplesi besi (iron depleted state)
Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis
belum terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan
absorpsi besi dari usus, dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang.
2) Iron deficient erythropoiesis
Cadangan Fe dalam tubuh kosong, tetap belum menyebabkan anemia secara
laboratorik karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang
melakukan mekanisme mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang
terbentuk menjadi tercabik-cabik, bahkan ditemukan normoblas yang tidak
memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu, kelainan pertama yang dapat
dijumpai adalah peningkatan kadar free protoporfirin dalam eritrosit, saturasi
transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter lain
yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.
3) Anemia defisiensi besi
Bila besi terus berkurang, eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga kadar
hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya terjadi anemia
hipokrom mikrositer. Pada saat ini, terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku,
dan beberapa enzim sehingga menimbulkan berbagai gejala.7
II.
bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal, dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai
dengan kelainan metabolisme besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan
besi di makrofag. Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit
atau kondisi, seperti infeksi kronik (infeksi paru, endokarditis bakterial), inflamasi
kronik (artritis reumatoid, demam reumatik), penyakit hati alkoholik, gagal jantung
kongestif, dan idiopatik.3
Secara garis besar, patogenensis anemia penyakit kronis dititik beratkan pada
3 abnormalitas utama :7
1) Ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit
2) Adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau
menurun
3) Gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi
Terdapatnya peradangan dapat mengacaukan interpretasi pemeriksaan status
besi. Proses terjadinya radang merupakan respon fisiologis tubuh terhadap berbagai
rangsangan termasuk infeksi dan trauma. Pada fase awal proses inflamasi terjadi
induksi fase akut oleh makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan sitokin radang
seperti Tumor Necrotizing Factor (TNF)-, Interleukin (IL)-1, IL- 6 dan IL-8.
Interleukin-1 menyebabkan absorbsi besi berkurang akibat pengelepasan besi ke
dalam sirkulasi terhambat, produksi protein fase akut (PFA), lekositosis, dan demam.
Hal itu dikaitkan dengan IL-1 karena episode tersebut kadarnya meningkat dan
berdampak menekan eritropoesis. Bila eritropoesis tertekan, maka kebutuhan besi
akan berkurang, sehingga absorbsi besi di usus menjadi menurun. IL-1 bersifat
mengaktifasi sel monosit dan makrofag, menyebabkan ambilan besi serum meningkat.
TNF- juga berasal dari makrofag dam berefek sama, yaitu menekan eritropoesis
melalui penghambatan eritropoetin. IL-6 menyebabkan hipoferemia dengan
menghambat pembebasan cadangan besi jaringan ke dalam darah.7
Pada respon fase akut sistemik diperlihatkan bahwa akibat induksi IL-1, TNF, dan IL-6, maka hepatosit akan memproduksi secara berlebihan beberapa PFA
utama seperti C-reactive protein, serum amyloid A (SAA) dan fibrinogen. Selain itu
terjadi pula perangsangan hypothalamus yang berefek menimbulkan demam serta
perangsangan
di
sumbu
hipothalmus-kortikosteroid
di
bawah
pengaruh
Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik
adalah
anemia
yang
disebabkan
oleh abnormalitas
akibat obat-obatan
Anemia hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh peningkatan destruksi eritrosit
yang melebihi kemampuan kompensasi eritropoiesis sumsum tulang. Pada prinsipnya
anema hemolitik dapat terjadi akibat defek molekular hemoglobinopati atau
enzimopati, abnormalitas struktur dan fungsi membran, dan faktor lingkungan seperti
trauma mekanik atau autoantibodi. Klasifikasi anemia hemolitik berdasarkan
etiologinya :3
1. Anemia hemolitik herediter
a. Enzimopati
b. Hemoglobinopati
c. Membranopati
2. Anemia hemolitik didapat
a. Anemia hemolitik imun
b. Mikroangiopati
c. Infeksi
Hemolisis dapat terjadi di ekstravaskular dan intravaskular. Sebagian besar
kondisi hemolitik terjadi di ekstravaskular, dimana eritrosit disingkirkan oleh
makrofag di sistem retikuloendotelial, terutama limpa. Pada hemolisis intravaskular,
sel darah merah akan terdestruksi dalam sirkulasi, sehingga hemoglobin terlepas
kemudian terikat pada haptoglobin plasma, tetapi mengalami saturasi. Hb plasma
bebas ini difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan masuk ke urin, meskipun sebagian kecil
direabsorpsi oleh tubulus renal. Dalam sel tubulus renal, Hb pecah dan terdeposit di
sel sebagai hemosiderin. Sebagian Hb plasma yang bebas dioksidasi menjadi
methemoglobin, yang terpecah lagi menjadi globin dan Heme-Fe.7
Hemopexin plasma mengikat heme-Fe, namun jika kapasitas pengikatannya
berlebihan, maka heme-Fe bersatu dengan albumin membentuk metheamalbumin.
Hati berperan penting dalam mengeliminasi Hb yang terikat dengan haptoglobin dan
haemopexin dan sisa Hb bebas.7
V.
Anemia aplastik
Anemia aplastik merupakan anemia dengan karakteristik adanya pansitopenia disertai
hipoplasia / aplasia sumsum tulang tanpa adanya penyakit primer yang mensupresi
atau menginfiltrasi jaringan hematopoietik. Etiologi anemia aplastik adalah sebagai
berikut :3
1. Didapat
Zat kimia dan Fisika
o Zat yang selalu menyebabkan aplasia pada dosis tertentu : radiasi,
bensen, arsen, sulfur, nitrogen mustard, antimetabolit, antimitotik :
kolsisin, daunorubisin, adriamisin
o Zat yang kadang-kadang mnyebabkan hipoplasia: kloramfenicol,
kuinakrin, metilfenil, hidantoin, trimetadion, fenilbutazon, senyawa emas
Infeksi virus : hepatitis, Epstein Barr, HIV, Dengue
Infeksi mikobakterium
Idiopatik
2. Familial : Sindroma Fanconi
Kegagalan produksi eritrosit, leukosit, dan trombosit merupakan kelainan
dasar pada anemia aplastik, yang menurut penelitian disebabkan oleh sel T sitotoksik
yang teraktivasi. Sel T tersebut akan menghasilkan interferon gamma (IFN-) dan
tumor necrosis factor (TNF) yang bersifat menginhibisi langsung sel-sel
hematopoietik.7
Supresi hematopoietik oleh IFN- dan TNF juga merangsang reseptor Fas
pada sel hematopoietik CD34 sehingga menghasilkan 3 proses :
1. Perangsangan reseptor Fas akan menginduksi terjadinya apoptosis.
2. Terjadi induksi produksi nitric oxide synthetase dan nitrit oksida oleh
sumsum tulang sehingga terjadi sitotoksisitas yang diperantarai system
imun.
3. Perangsang reseptor Fas akan mengaktivasi jalur intraseluler yang
menyebabkan penghentian siklus sel.
Sel T sitotoksik juga menghasilkan interleukin-2 (IL-2) yang berfungsi mengaktifkan
klon-klon sel T yang kemudian juga akan mengeluarkan TNF dan IFN- dan menginhibisi
hematopoietik.7
infeksi
cacing
tambang
dapat
ditemukan
keluhan
sakit
perut,
Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel (myeloid atau
eritroid) dapat ditemukan dan dihitung jenis sel sel berarti pada sumsum tulang
( ratio eritroit dan granuloid).
Pemeriksaan sumsung tulang dibagi menjadi 2 cara:
Aspirasi : EG ratio, Morfologi sel, Pewarnaan Fe
Biopsi : Selularitas, Morfologi
5. Pemeriksaan complete blood count (CBC )
Selain dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokrit, indeks eritrosit dapat digunakan
untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sibtesa hemoglobin. Bila MCV
< 80, maka disebut mikrositosis dan bila >100 dapat disebut sebagai makrositosis.
Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin
(hipokromia).
Dalam hal yang lebih sederhana, anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
dapat disederhanakan dalam tabel dibawah ini:
Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit nomor 1,3, dan 4. Tes yang paling efisien
untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu feritin serum. Bila sarana terbatas,
diagnosa
dapat
ditegakkan
berdasarkan:
anemia
tanpa
perdarahan,
tanpa
III.
Anemia megaloblastik
Diagnosis anemia megaloblastik dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan klinik dimana
terjadi anemia, makrositer pada sarah tepi yang disertai sel megaloblast dalam
sumsum tulang. Pada defisiensi vitamin B 12 dijumpai gejala neurologik, sedangkan
pasa defisiensi asam folat tidak dijumpai gejala neurologik.
IV.
Anemia hemolitik
Penegakan anemia hemolitik dilakukan dalam dua tahap, yaitu menentukan adanya
anemia hemolitik bila terdapat anemia yang disertai dengan tanda-tanda destruksi
eritrosit, dan/atau tanda tanda peningkatan eritropoesis. Sedangkan menurut wintrobe,
memberikan petunjuk praktis anemia hemolitik patut dicurigai bila didapatkan:
Tanda tanda destruksi eritrosit berlebihan bersamaan dengan tanda-tanda
peningkatan eritropoiesis. Hal ini ditandai oleh anemia, retikulosis dan
peningkatan bilirubin indirek dalam darah. Apabila tidak dijumpai tanda
perdarahan ke dalam rongga tubuh atau jaringan maka didiagnosis anemia
hemolitik dapat ditegakkan.
Anemia persisten disertai retikulositosis tanpa adanya tanda-tanda perdarahan
yang jelas. Jika perdarahan dan pemulihan anemia defisiensi akibat terapi dapat
disingkirkan, diagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan.
Apabila terdapat penurunan hemoglobin >1 g/dL dalam waktu satu minggu serta
perdarahan akut dan hemodelusi dapat disingkirkan maka anemia hemolitik
dapat ditegakkan.
Aapabila dijumpai hemoglobinuria atau tanda hemolisis intravaskuler lain.
Menentukan penyebab spesifik anemia hemolitik dimulai dari anamnesis yang teliti,
pemeriksaan apusan darah, dan tes Coombs. Pasien dapat dikelompokkan menjadi
lima kelompok :
a) Kasus dengan diagnosis yang sudah jelas karena adanya pemaparan terhadap
infeksi, bahan kimia, dan bahan fisik.
b) Kasus dengan tes Coombs direk positif ditetapkan sebagai anemia
imunohemolitik.
c) Kasus dengan anemia sferositik disertai tes Coombs negatif.
d) Kaasus dengan kelainan morfologi eritrosit lain seperti yang menjurun pada
thalasemia.
e) Kasus tanpa kelainan morfologi yang khas dan tes Coombs negatif
memerlukan suatu baterai tes penyaring seperti elektroforesis hemoglobin.
V.
Anemia aplastik
Diagnosa anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya pansitopenia atau bisitopenia di
darah tepi dengan hipoplasia sumsum tulang, serta dengan menyingkirkan adanya
infiltrasi atay supresi pada sumsum tulang. Kriteria diagnosis anemia aplastik menurut
international agranulocytosis and aplastic anemia study group (IAASG) adalah satu
dari tiga sebagai berikut :
Hemoglobin kurang dari 10 gd/dL atau hematokrit kurang dari 30%
Trombosit kurang dari 50x109//L
Leukosit kurang dari 3,5 x 109/L atau netrofil kurang dari 1,5 x 10
dengan retikulosit <30x109/l (<1%).
Dengan gambaran sumsum tulang (harus ada spesimen adekuat) : penurunan
selularitas dengan hilangnya atau menurunnya semua sel hematopoietik atau
selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal dengan depleso seri granulosit atau
infiltrasi neoplastik. Tidak adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik.
Pansitopeni karena obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus diesklusi.
Setelah diagnosa ditegakkan, perlu dilakukan penentuan derajat penyakit dari anemia
apalstik yang berguna untuk menentukan strategi terapi. Kriteria yang diapakai pada
umumnya ialah kriteria Camitta et al. Yang tergolong anemia apalstik berat (severe
aplastic anemia) bial memenuhi kriteria paling sedikit dua dari tiga :
Granulosit < 0,5 x 109 /L
Trombosit < 20 x 109 /L
Corrected reticulocte <1%
Selularitas sumsum tulang tulang < 25% atau selularitas < 50% dengan < 30% sel sel
hematopoietik. Tergolong anemia aplastik sangat berat bila netrofil < 0,2 x 109 /L.
2.8. TATALAKSANA ANEMIA
I.
III.
Anemia Sideroblastik
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan anemia sideroblastik adalah:
Terapi untuk anemia sideroblastik herediter bersifat simtomatik dengan
transfusi darah
Pemberian vitamin B 6 dapat dicoba karena sebagian kecil penderita responsif
terhadap peridoksin.
Untuk bentuk didapat (RARS) pengobatannya dapat dilihat pada bab sindroma
mielodisplastik.
IV.
Anemia megaloblastik
Terapi subsitusi/supplement
Penyebab anemia megaloblastik tersering pada anak adalah defisiensi asam
folat. Terapi dapat digunakan dengan pemberian asam folat.
Asam folat, diberikan 5 mg/hari per oral selama 4 bulan atau parenteral dan
vitamin C 200 mg/hari.
Vitamin B12 (bila pemberian terapi asam folat gagal) 15-30 gi, diberikan 3
-5 kali/minggu sampai Hb normal, ppada anak besar dapat diberikan 100 g.
Bila perlu diteruskan pemberian vitamin B12 tiap bulan.
Pengobatan penyakit kausal/penyakit primer.
Anemia hemolitik
Tergantung etiologinya :
a) Anemia hemolitik autoimun :
Glukokortikoid : prednison 40 mg/m2 luuas permukaan tubuh (LPT)/hari.
Splenektomi : pada kausa yang tidak berespon dengan pemberian
glukoortikoid.
Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan
splenektomi. Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan, kemudian
tappering off, biasanya dikombinasi dengan Prednison 40 mg/m 2
dosis
Anemia aplastik
Secara garis besarnya terapi untuk anemia aplastik atas:
Terapi kausal
Terapi suportif, dengan menghindari kontak dengan penderita infeksi, isolasi,
menggunakan sabun antiseptik, sikat gigi lunak, obat peunak buang ait besar,
pencegahan menstruasi obat anovulator.
Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang : terapi untuk merangsang
pertumbuhan sumsum tulang, berupa :
minggu.
Rh GM-CSF
(rekombinan
Human
Granulocyte-Macrophage
Colony
yang serius.
Terapi definitif yang terdiri atas :
ATG (anti Thymocyte Globulin)
Dosis 10 20 mg /KgBB/hari, diberikan selama 4 6 jam dalam larutan NaCl
dengan filter selama 8 14 hari. Untuk mencegah serum sickness, diberikkan
2.9. PROGNOSIS
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan
diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia
dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi. Jika terjadi
kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut :
Diagnosis salah
Dosis obat tidak adekuat
Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung
menetap
Penyakit yang mempengaruhi absorbsi dan pemakaian besi
Pada anemia aplastik, prognosis tergantung pada tingkatan hipoplasia, makin berat
prognosis semakin jelek, pada umumnya penderita meninggal karena infeksi, perdaraham
atau akibat dari komplikasi transfusi. Prognosa dari anemia aplastik akan menjadi buruk bila
ditemukan 2 dari 3 kriteria berupa jumlah neutrofil <500/L, jumlah platelet <20000/L,
andcorrected reticulocyte count <1% ( atau absolute reticulocyte count < 60000/L).
Perjalanan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama 4 bulan, 25% selama 4
12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun, 10-20% mengalami perbaikan spontan
(parsial/komplit).
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Iron Deficiency Anaemia : Assessment, Prevention, and
Control. Switzerland : WHO, 2001.
2. Benoist B, dkk. Worldwide Prevalence of Anaemia 1993-2005. Switzerland : WHO,
3.
4.
5.
6.
2008.
Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Jakarta : FKUI, 2009.
Price Sylvia A, dkk. Patofisiologi, edisi 6. Jakarta : EGC, 2005.
Sherwood L, dkk. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, edisi 6. Jakarta : EGC, 2011.
Despopoulos A, dkk. Color Atlas of Physiology, edisi 5. USA : Thieme, 2003.
7. Adamson WJ, dkk. Harrisons Principles of Internal Medicine, edisi 16. NewYork :
McGraw Hill, 2005.