Anda di halaman 1dari 57

1

BAB I
PENDAHULUAN

Pola penyakit saat ini dapat dipahami dalam rangka transmisi


epidemiologis, suatu konsep mengenai perubahan pola kesehatan dan
penyakit. Sebagai dampak positif pembangunan yang dilaksanakan oleh
pemerintah dalam kurun waktu 60 tahun merdeka, pola penyakit di
Indonesia mengalami pergeseran yang cukup meyakinkan. Penyakit
infeksi dan kekurangan gizi berangsur turun, meskipun diakui bahwa
angka penyakit infeksi ini masih diperrtanyakan dengan timbulnya
penyakit baru seperti Hepatitis B dan AIDS juga angka kesakitan TBC
yang tampaknya masih tinggi. Di lain pihak penyakit menahun yang
disebabkan oleh penyakit degeneratif, diantaranya Diabetes Melitus
meningkat dengan tajam. Perubahan pola penyakit itu diduga ada
hubungannya dengan cara hidup yang berubah. Pola makan di kota-kota
telah bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak
karbohidrat dan serat dari sayur-sayuran, ke pola makan ke barat-baratan
dengan komposisi makanan yang terlalu banyak mengandung protein,
lemak, gula, garam, dan mengandung sedikit serat. Di samping itu juga
cara hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan yang menyebabkan tidak
adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolahraga. Pola hidup
beresiko inilah yang menyebabkan tingginya kekerapan Penyakit Jantung
Koroner (PJK), Hipertensi, Dislipidemia, dan Diabetes Melitus 1.

Berbagai

penelitian

epidemiologi

menunjukkan

adanya

kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi DM di


berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah
penyandang diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang.
Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Hasil
penelitian pada era 2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang
sangat tajam. Sebagai contoh penelitian di Jakarta (daerah urban) dari
prevalensi DM 1,7% pada tahun 1982 menjadi 5,7% pada tahun 1993 dan
kemudian menjadi 12.8% pada tahun 2001 di daerah sub-urban Jakarta 2.
Berdasarkan

data

Badan

Pusat

Statisitik Indonesia

(2003)

diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah


sebesar 133 juta jiwa dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar
14,7% (8,2 juta jiwa) dan daerah rural sebesar 7,2% (5,5 juta jiwa).
Selanjutnya berdasar pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada
tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20
tahun, dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural
(7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta jiwa penyandang DM di daerah
urban dan 8,1 juta jiwa di daerah rural. Suatu jumlah yang sangat besar
dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani sendiri
oleh dokter spesialis / subspesialis atau bahkan oleh semua tenaga
kesehatan yang ada. Mengingat bahwa DM akan memberikan dampak
terhadap kualitas sumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan
yang cukup besar, semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah

seharusnya ikut serta dalam usaha penanggulangan DM, khususnya


dalam upaya pencegahan2.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dari berbagai penelitian epidemiologis sudah jelas terbukti bahwa


insidensi Diabetes Melitus (DM) meningkat menyeluruh di semua tempat
di bumi ini termasuk di Indonesia. Peningkatan insidensi DM yang
eksponensial ini tentu akan diikuti oleh meningkatnya kemungkinan
terjadinya komplikasi kronik DM. Berbagai penelitian prospektif jelas
menunjukan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah,
baik mikrovaskuar seperti retinopati dan nefropati maupun makrovaskular
seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah
tungkai bawah1.
Diabetes memberikan pengaruh terhadap terjadinya komplikasi
kronik melalui adanya perubahan pada sistem vaskular. Pada penyandang
DM terjadi berbagai macam perubahan biologis vaskular dan perubahanperubahan tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi
kronik DM. Dengan demikian pegetahuan mengenai DM dan komplikasi
vaskularnya baik mengenai mekanisme terjadinya, metode deteksi dini
maupun strategi pengelolaannya menjadi penting untuk dimengerti dan
diketahui1.

II.1 DEFINISI
Menurut

American

Diabetes

Association

(ADA)

2005,

DM

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya1.

II.2 KLASIFIKASI
Klasifikasi etiologi penyebab DM dibagi menjadi 2 :
1. DM Tipe I
Destruksi sel beta pankreas dan umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut (Autoimun / Idiopatik)
2. DM Tipe II
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi
insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai
resistensi insulin
3. DM Tipe lain
4. Diabetes Melitus Gestasional (DMG)

II.3 DIAGNOSIS
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhankeluhan sebagai berikut2 :
1. Keluhan Klasik
Gejala berupa 3P (poliuria, polidipsia, polifagia) disertai penurunan
berat badan yang tidak diketahui penyebabnya

2. Keluhan Lain
Badan lemas, kesemutan, gatal (pruritus), pandangan kabur, disfungsi
ereksi pada pria, pruritus vulva pada wanita, luka sulit sembuh.

Jika keluhan ditemukan pada penderita, langkah selanjutnya


adalah dengan pemeriksaan kadar gula darah (vena / perifer) yang terdiri
dari2 :
1. Glukosa Darah Sewaktu (GDS)
2. Glukosa Darah Puasa (GDP)
3. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO), dengan pemberian 75 gr glukosa
setelah puasa (minimal 8 jam) dan diperiksa kadar gula darah 2 jam
kemudian.

Diagnosis DM tergantung dari hasil yang diperoleh, yaitu 2 :

GDPT
Bia setelah pemeriksaan didapatkan kadar GDP 100-125 mg/dL

Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)


Bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan kadar glukosa darah 140199 mg/dL

Diabetes Melitus

Gejala klasik DM + GDS > 200 mg/dL, dan atau

Gejala klasik DM + GDP > 126 mg/dL, dan atau

Gejala klasik DM + TTGO > 200 mg/dL

Bagan 1. Langkah-langkah diagnostik DM

II.4 PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya
kualitas hidup penyandang DM. Tujuan penatalaksanaan terdiri dari 2 :
1. Jangka Pendek
Hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah
2. Jangka Panjang
Tercegah & terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah
turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian


kadar glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid melalui
pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan
mandiri dan perubahan perilaku. Pilar penatalaksanaan DM terdiri dari (1)
edukasi; (2) terapi gizi medis; (3) latihan jasmani; (4) intervensi
farmakologis. Penatalaksanaan DM dimulai dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar
glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis
dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin 2.
1. Edukasi
DM (Tipe 2) umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya
peningkatan motivasi
2. Terapi Gizi Medis (Diet)
Cara menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan pada penyandang
DM dapat dihitung dari perhitungan berat badan ideal (BBI) dengan
rumus Brocca :
BBI = (TB dalam cm 100) x 90%
*Pria dengan TB < 160 cm dan wanita dengan TB < 150 cm tidak dikali 90%
*BB normal jika BB ideal + 10%, kurus jika < BB ideal - 10%, gemuk jika > BB ideal
+ 10%

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :

Jenis Kelamin

: Pria sebesar 30 kal/kg BBI


Wanita sebesar 25 kal/kg BBI

Umur

: 40-59 th (-5%)
60-69 th (-10%)
> 70 th (-20%)

Aktivitas fisik

: Istirahat (+5%)
Ringan (+10%)
Sedang (+20%)
Berat (+30%)

Berat badan

: Kurus (+20%)
Gemuk (-20%)

Stres metabolik

: +10-30%

(infeksi, operasi, stroke)

Kehamilan TM I

: +300 kal

Kehamilan TM III &

: +500 kal

Menyusui

Komposisi makanan yang diberikan terdiri dari :

Karbohidrat 55-65% (60%) total asupan energi (1 gr = 4 kal)

Protein 10-20% (20%) total asupan energi (1 gr = 4 kal)

Lemak 20-25% (20%) asupan energi (1 gr = 9 kal)

Ditambah pemberian natrium (garam), serat, dan pemanis


alternatif.

10

Makanan sejumlah kalori tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi


besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta
2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4
kali seminggu selama + 30 menit). Latihan jasmani yang dianjurkan
bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin.
4. Intervensi Farmakologis
a. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Insulin sekretagog : Sulfonilurea (Glibenklamid, Glimepirid,


Glikuidon) dan Glinid (Repaglinid)

Penambah sensitivitas terhadap insulin : Biguanid (Metformin),


Tiazolidinedion (Rosiglitazon)

Penghambat glukoneogenesis : Biguanid (Metformin)

Penghambat absorbsi glukosa intestinal / penghambat glukosidase : Acarbose

b. Insulin

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin) : Humalog, Apidra,


Novorapid

Insulin

kerja

Humulin R

pendek

(short

acting

insulin)

: Actrapid,

11

Insulin

kerja

menengah

(intermediate

acting

insulin)

Insulatard, Humulin N

Insulin kerja panjang (long acting insulin) : Lantus , Levemir

Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed


insulin) : Humalog Mix 25, Novomix, Mixtard, Humulin 30/70

c. Terapi kombinasi (OHO dan Insulin)

12

Tabel 1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

13

Tabel 2. Insulin eksogen berdasarkan waktu kerja (time course of action)

II.5 KOMPLIKASI DIABETES MELITUS


Komplikasi DM dibagi menjadi 2, yaitu 2 :
A. Komplikasi Akut Diabetes Melitus
1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
2. Hiperosmolar Non-Ketotik (HONK)
3. Hipoglikemia

14

B. Komplikasi Kronik Diabetes Melitus


1. Mikroangiopati

Retinopati diabetik

Nefropati diabetik

2. Makroangiopati

Pembuluh darah otak / PPDO (cerebro vascular disease / CVD)

Pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner diabetik)

Pembuluh darah tepi (peripheral arterial disease / PAD) : ulkus


kaki / gangren diabetikum

3. Neuropati (termasuk resiko terjadinya ulkus kaki / gangren diabetikum)

II.6 PATOFISIOLOGI TERJADINYA KOMPLIKASI KRONIK DIABETES


MELITUS
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan
terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun
makroangiopati. Adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang
tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik DM.
Perubahan dasar / disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel
pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah, maupun pada sel
mesangial ginjal. Semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan
dan kesintasan sel, yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan
terjadinya komplikasi vaskular diabetes1.

15

Jaringan kardiovaskular, demikian juga jaringan lain yang rentan


terhadap terjadinya komplikasi kronk DM (jaringan saraf, sel endotel
pembuluh darah, dan sel retina serta lensa) mempunyai kemampuan
untuk memasukkan glukosa dari lingkungan sekitar ke dalam sel tanpa
memerluka insulin (insulin independent), agar dengan demikian jaringan
yang sangat penting tersebut akan diyakinkan mendapat cukup pasokan
glukosa sebeum glukosa tersebut dipakai untuk energi di otot maupun
untuk kemudian disimpan sebagai cadangan lemak. Tetapi pada keadaan
hiperglikemia kronik, tidak cukup terjadi down regulation dari sistem
transportasi glukosa yang non-insulin dependent ini, sehingga sel akan
kebanjiran masuknya glukosa; suatu keadaan yang disebut sebagai
hiperglisolia1.
Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel
tersebut yang kemudian berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar
terbentuknya komplikasi kronik DM, yang meliputi beberapa jalur
biokimiawi, seperti1 :
1. Jalur Reduktosa Aldosa / Poliol
Pada jalur ini, oleh enzim reduktosa aldosa, glukosa akan diubah
menjadi sorbitol dan kemudian akan dioksidasi menjadi fruktosa.
Sorbitol dan fruktosa bersifat sangat hidrofilik, akibatnya terjadi
akumulasi poliol interseluler dan sel akan membengkak akibat
masuknya air ke dalam sel karena proses osmotik. Sebagai akibat lain
keadaan tersebut, akan terjadi pula imbalans ionik dan imbalans
metabolit yang secara keseluruhan akan mengakibatkan terjadinya

16

kerusakan sel terkait. Terjadinya hiperglisolia melalui jaur sorbitol ini


juga memberikan pengaruh pada beberapa jalur lain seperti terjadinya
glikasi non-enzimatik intraseluler dan aktivasi protein kinase C.
2. Jalur Pembentukan Produk Akhir Glikasi Lanjut (Advance Glycation
End Product)
Modifikasi protein oleh karena proses glikasi ini akan menyebabkan
terjadinya perubahan pada jaringan dan perubahan pada sifat sel
melalui terjadinya cross linking protein yang terglikosilasi tersebut.
Perubahan ini akan menyebabkan perubahan fungsi sel secara
langsung, dapat juga secara tidak langsung. Segera setelah perikatan
antara RAGE (Receptor for Advanced Glycation End Product) dan
ligandnya, akan terjadi aktivasi mitogen activated protein kinase
(MAPK) dan transformasi inti dari faktor transkripsi NF-kB, sehingga
terjadi perubahan transkripsi gen taget terkait dengan mekanisme
proinflamatori dan molekul perusak jaringan.
3. Jalur Protein Kinase
Hiperglisolia akan menyebabkan menyebabkan meningkatnya protein
kinase C (terutama PKC Beta) dan akan berpengaruh pada sel
endotel, menyebabkan terjadinya perubahan vasoreaktivitas melalui
keadaan

meningkatnya

endotelin

dan

menurunnya

e-NOS.

Peningkatan PKC akan menyebabkan proliferasi sel otot polos serta


menurunkan aktivitas fibrinolisis. Semua keadaan tersebut akan
menyebabkan perubahan-perubahan yang selanjutnya akan mengarah
kepada proses angiopati diabetik.

17

4. Jalur Stres Oksidatif


Stres oksidatif terjadi jika ada peningkatan pembentukan radikal
bebas. Adanya peningkatan stress oksidatif pada penyandang
diabetes akan menyebabkan terjadinya proses autooksidasi glukosa
dan berbagai substrat lain seperti asam amino dan lipid serta proses
glikasi protein. Selanjutnya akan memberikan pengaruh terhadap sel
endotel

pembuluh

darah

yaitu

dengan

terjadinya

peroksidasi

membrane lipid, aktivasi faktor transkripsi (NF-kB), peningkatan


oksidasi LDL, dan kemudian juga pembentukan produk glikasi lanjut.

Proses selanjutnya setelah berbagai jalur biokimiawi yang mungkin


berperan pada pembentukan komplikasi kronik DM melibatkan berbagai
proses patobiologik seperti proses inflamasi, prokoagulasi, dan sistem
rennin-angiotensin. PPAR juga dikatakan mungkin terlibat pada proses
patobiologik terjadinya komplikasi kronik DM1.
1. Inflamasi
Aktivasi jalur aldosa reduktase / poliol (hiperglisolia), terbentuknya
produk akhir glikasi lanjut (AGEs), aktivasi PKC, dan stress oksidatif
akan menyebabkan terjadinya disfungsi endotel, mengganggu dan
mengubah sifat berbagai protein penting dan kemudian akan memacu
terbentuknya sitokin proinflamasi serta faktor pertumbuhan seperti
TGF-B dan VEGF. Prototipe petanda adanya proses inflamasi yaitu

18

CRP dan NF-kB juga jelas meningkat seiring dengan meningkatnya


kadar A1c.
2. Peptida Vasoaktif
Insulin sebagai peptide yang mengatur kadar glukosa darah dapat
memfasilitasi terjadinya proliferasi sel seperti endotel dan sel otot polos
pembuluh darah. Pada keadaan resistensi insulin dengan adanya
hiperinsulinemia pengaruh insulin untuk terjadinya vasodilatasi akan
menurun akibat inaktivasi NO. Peptida vasoaktif yang lain Angiotensin
II dikenal berperan pada pathogenesis terjadinya pertumbuhan
abnormal

pada

jaringan

kardiovaskular

dan

jaringan

ginjal.

Penghambatan kerja Angiotensin II memakai ACE-I atau ARB terbukti


dapat mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit kardiovaskular.
3. Prokoagulan
Setelah terjadi aktivitas PKC akan terjadi penurunan fungsi fibrinolisis
dan

keadaan

terhadap

hiperglikemia

pengaturan

menyebabkan

berbagai

macam

terjadinya

fungsi

gangguan

trombosit

yang

menyebabkan terjadinya keadaan prokoagulasi (aterogenesis) dan


kemungkinan penyumbatan pembuluh darah.
4. PPAR
Ekspresi PPAR didapatkan pada berbagai jaringan vaskular dan
berbagai kelainan vaskular terutama pada sel otot polos, endotel, dan
monosit. Ligand terhadap PPAR- terbukti mempunyai efek inflamasi
dan berperan pada terjadinya komplikasi kronik DM.

19

Setelah melihat berbagai kemungkinan jalur mekanisme terjadinya


komplikasi kronik DM serta selanjutnya keterlibatan berbagai proses
patobiologik lain, tampak bahwa yang terpenting pada pembentukan dan
kemudian lebih lanjut progresi komplikasi vaskular diabetes adalah
hiperglikemia, resistensi insulin, sitokin, dan substrat vasokatif. Tampak
pula bahwa apapun jalur mekanisme yang terjadi dan proses lain yang
terlibat yang

terpenting adalah adanya

hiperglikemia kronik dan

selanjutnya peningkatan glukosa sitosolik (hiperglisolia) 1.


Dipandang dari sudut histokimia, penebalan pembuluh darah kecil
disertai oleh peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena
senyawa kimia dari membran dasar dapat berasal dari glukosa, maka
hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan pembentukan selsel membran dasar. Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran
histopatologis berupa aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia
yang disebabkan karena insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenis
penyakit vaskular ini. Gangguan ini berupa (1) penimbunan sorbitol dalam
intima vaskular; (2) hiperlipoproteinemia (dislipidemia); (3) kelainan
pembekuan darah. Pada akhirnya makroangiopati diabetik ini akan
mengakibatkan penyumbatan dan insufisiensi vaskular baik arteria-arteria
perifer dan arteri besar seperti aorta dan arteri koronaria 3.

A. RETINOPATI DIABETIK
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering
ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien DM

20

memiliki resiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Resiko mengalami retinopati diabetik meningkat sejalan dengan
lamanya diabetes. Pada waktu di diagnosis DM tipe 1, retinopati diabetik
hanya ditemukan pada kurang dari 5% pasien, namun setelah 20 tahun
lebih dari 90% pasien sudah menderita retinopati diabetik. Pada waktu di
diagnosis DM tipe 2, sekitar 25% pasien sudah menderita retinopati
diabetik non-proliperatif, namun setelah 20 tahun prevalensi retinopati
diabetik meningkat menjadi lebih dari 60% 1.
a) Patofisiologi
Penyebab retinopati diabetik sampai saat ini belum diketahui
secara pasti, namun keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama
dianggap sebagai faktor resiko utama. Ada 3 proses biokimiawi yang
terjadi pada hiperglikemia yang diduga berkaitan dengan dengan
timbulnya retinopati diabetik yaitu jalur poliol, glikasi non-enzimatik, dan
pembentukan protein kinase C (PKC).
Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari fotoreseptor
dan sel saraf. Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat
tergantung dari jaringan kapiler retina. Kelainan dasar dari berbagai
bentuk retinopati diabetik terletak pada kapiler retina tersebut. Dinding
kapiler retina terdiri dari 3 lapisan sel dari luar ke dalam yaitu sel perisit,
membran basalis, dan sel endotel. Sel perisit berfungsi mempertahankan
struktur kapiler, mengatur kontraktilitas, membantu mempertahankan
fungsi barier dan transportasi kapiler, serta mengendalikan proliferasi sel
endotel.

Membran

basalis

berfungsi

sebagai

barier

dengan

21

mempertahankan permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran. Sel


endotel saling berkaitan erat satu sama lain dan bersama-sama dengan
matriks ekstrasel dari membran basalis membentuk barier yang bersifat
selektif terhadap beberapa jenis protein dan molekul kecil. Perubahan
histopatologis kapiler retina pada retinopati diabetic dimulai dari
penebalan membrane basalis, hilangnya perisit, dan proliferasi endotel
dimana pada keadaan lanjut perbandingan antara sel endotel dan sel
perisit dapat mencapai 10:1 (normal 1:1)1.
Patofisiologi retinopati diabetik melibatkan 5 proses dasar yang
terjadi di tingkat kapiler, yaitu 1 :
1. Pembentukan mikroaneurisma.
2. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah.
3. Penyumbatan pembuluh darah.
4. Proliferasi pembuluh darah baru (neovaskularisasi) dan jaringan
fibrosa di retina.
5. Kontraksi dari jaringan fibrosis kapiler dan jaringan vitreus.
Penyumbatan dan hilangnya perfusi (non-perfusion) menyebabkan
iskemia retina sedangkan kebocoran dapat terjadi pada semua komponen
darah. Kebutaan akibat retinopati diabetik dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme berikut1 :
1. Edema makula atau non-perfusi kapiler.
2. Pembentukan pembuluh darah baru (neovaskuarisasi) pada retinopati
diabetik proliferatif dan kontraksi jaringan fibrosis menyebabkan
ablasio retina.

22

3. Neovaskularisasi juga menimbulkan perdarahan pre-retina dan vitreus.


4. Pembentukan pembuluh darah baru dapat menimbukan glaukoma.
Perdarahan

adalah

bagian

dari

stadium

retinopati

diabetik

proliferatif dan merupakan penyebab utama dari kebutaan permanen.


Selain itu, kontraksi dari jaringan fibrovaskular yang menyebabkan ablasio
retina juga merupakan salah satu penyebab kebutaan pada retinopati
diabetik proliferatif1.
b) Diagnosis Dan Klasifikasi
Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil pemeriksaan
funduskopi. Pemeriksaan dengan Fundal Fluoerescein Angiography (FFA)
merupakan metode diagnosis yang paling dipercaya. Klasifikasi retinopati
diabetik didasarkan atas beratnya perubahan mikrovaskular retina dan
ada atau tidaknya pembentukan pembuluh darah baru. Early Tretament
Diabetic Retinopathy Study Reseach Group (ETDRS) membagi retinopati
diabetik

atas

non-proliferatif

dan

proliferatif.

Retinopati

diabetic

digolongkan sebagai retinopati diabetik non-proliferatif (RDNP) apabila


hanya ditemukan perubahan mikrovaskular dalam retina yang dapat
berupa mikroaneurisma atau kelainan intraretina yang disebut intra-retinal
microvascular abnormalities (IRMA) akibat peningkatan permeabilitas
kapiler. Penyumbatan kapiler akan menimbulkan hambatan perfusi yang
secara klinik ditandai dengan perdarahan, kelainan vena, dan IRMA.
Iskemia retina akibat hambatan perfusi akan merangsang proliferasi
pembuluh darah baru (neovaskularisasi) yang merupakan tanda khas
retinopati diabetik proliferatif (RDP)1.

23

Tabel 3. Klasifikasi retinopati diabetik menurut ETDRS


c) Penatalaksanaan
Pencegahan dan pengobatan retinopati diabetik merupakan upaya
yang harus dilakukan secara bersama untuk mencegah atau menunda
timbulnya retinopati dan juga untuk memperlambat pemburukan retinopati.
Tujuan utama pengobatan retinopati diabetik ialah untuk mencegah
terjadinya

kebutaan

permanen.

Pendekatan

multidisiplin

dengan

melibatkan ahli diabetes, perawat educator, ahli gizi, spesialis mata,


optometris, dan dokter umum akan memberi harapan bagi pasien untuk
mendapatkan pengobatan yang optimal sehingga kebutaan dapat
dicegah. Kontrol glukosa darah yang baik merupakan dasar dalam
mencegah timbulnya retinopati diabetik atau memburuknya retinopati

24

diabetik yang sudah ada. Metode pencegahan dan pengbatan retinopati


diabetik saat ini meliputi :
1. Kontrol glukosa darah.
2. Kontrol tekanan darah.
3. Ablasi kelenjar hipofisis ,melalui pembedahan atau radiasi (jarang
dilakukan).
4. Fotokoagulasi dengan sinar laser.
a. Fotokoagulasi panretinal untuk RDP atau glaukoma neovaskular.
b. Fotokoagulasi fokal untuk edema macula.
5. Vitrektomi untuk perdarahan vitreus atau ablasio retina.
Pasien DM dengan retina normal atau RDNP minimal perlu
diperiksa

setiap

tahun.

Pasien

RDNP

derajat

sedang

dengan

mikroaneurisma, perdarahan yang jarang, atau ada eksudat keras tetapi


tidak disertai edema makula perlu pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan
karena sering progresif1.
d) Prognosis
Pasien RDNP minimal dengan hanya ditandai mikroaneurisma
memiliki prognosis yang baik. Pasien yang tergolong RDNP sedang tanpa
disertai edema macula perlu pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan karena
sering progresif. Pasien RDNP ringan sampai sedang dengan edema
makula memiliki resiko besar berkembang menjadi edema makula yang
secara klinik signifikan dan harus diterapi fotokoagulasi. Pasien RDNP
berat memiliki resiko tinggi menjadi RDP. Pasien dengan RDP resiko tinggi
harus segera diterapi dengan fotokoagulasi 1.

25

B. NEFROPATI DIABETIK
Pada umumnya nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom
klinis pada pasien DM yang ditandai dengan albuminuria menetap (> 300
mg/24 jam atau > 200 ug/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam
kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Di Amerika dan Eropa, nefropati diabetik
merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal 1.
a) Patofisiologi
Hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme
patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi akan menyebabkan
sklerosis dari nefron dalam ginjal. Mekanisme terjadinya hiperfiltrasi
(peningkatan laju filtrasi glomerolus) pada nefropati diabetik ini masih
belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol
oleh aferen oleh efek yang tergantung glukosa. Efek langsung
hiperglikemia menyebabkan terjadinya rangsangan hipertrofi sel dan
sintesis matriks ekstraseluler. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan
terjadinya

glikasi

non-enzimatik

asam

amino

dan

protein,

dan

menyebabkan terbentuknya AGEs yang berperan dalam penarikan sel-sel


mononuklear, hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler, serta inhibisi
sintesis NO. Proses ini akan terjadi terus berlanjut sampai terjadi ekspansi
mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulo-interstitial 1.
Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan
ginjal, juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien diabetes.
Diperkirakan bahwa hipertensi pada DM

terutama disebabkan oleh

26

spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerolus. Secara ringkas


faktor-faktor etiologis timbulnya penyakit ginjal diabetik adalah 1 :

Kurang terkendalinya kadar gula darah (GDP > 140-160 mg/dL; A1C >
7-8%).

Faktor-faktor genetis.

Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan LFG,


peningkatan tekanan intraglomerolus).

Hipertensi sistemik.

Sindroma resistensi insulin.

Keradangan / Inflamasi.

Perubahan permeabilitas pembuluh darah.

Asupan protein berlebih.

Gangguan metabolik (kelainan metabolism poliol, pembentukan


AGEs).

Pelepasan growth factors.

Kelainan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.

Kelainan struktural (hipertrofi glomerolus, ekspansi mesangium,


penebalan membran basalis glomerolus).

Gangguan ion pumps.

Hiperlipidemia.

Aktivasi PKC.
Secara histo-patologis, gambaran utama yang tampak adalah 1 :

27

Peningkatan material matriks mesangium.

Penebalan membran basalis glomerous.

Hialinosis arteriol aferen dan eferen.

Penebalan membran basalis tubulus.

Atrofi tubulus.

Fibrosis interstitial.

b) Diagnosis Dan Klasifikasi


Oleh Mogensen, perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada DM
dibagi menjadi 5 tahapan1.

AER = Albumin Excretion Rate; LFG = Laju Filtrasi Gomerolus (GFR); N = Normal
TD = Tekanan Darah

Tabel 4. Tahapan nefropati diabetik oleh Mogensen


Mikroalbuminuria umumnya didefinisikan sebagai ekskresi albumin
lebih dari 30 mg/hari dan dianggap sebagai prediktor penting untuk
timbulnya nefropati diabetik. Diagnosis ditegakkan jika 2 dari 3
pemeriksaan

berturut-turut

dalam

bulan

menunjukkan

adaya

mikroalbuminuria. Ada beberapa kondisi yang berhubungan dengan


mikroalbuminuria antara lain nefropati diabetik, penyakit kardiovaskular,
hipertensi,

dan

hiperlipidemia.

Oleh

karena

itu

jika

ditemukan

28

mikroalbuminuria

maka

perlu

dilakukan

pemeriksaan-pemeriksaan

lanjutan lain1.
c) Penatalaksanaan
Pada saat didiagnosa DM, kemungkinan adanya penurunan fungsi
ginjal

harus

diperiksa.

American

Diabetes

Association

(ADA)

menganjurkan pemantauan fungsi ginjal dengan pemeriksaan terhadap


adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens
kreatinin. Untuk mempermudah evaluasi, NKF menganjurkan perhitungan
laju filtrasi glomerolus dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault
yaitu1 :
Klirens Kreatinin* = (140 umur) x berat badan (kg) x 0,85 (wanita)
72 x kreatinin serum
*Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) / GFR dalam ml/menit/1,73m 2

Tatalaksana nefropati diabetik tergantung pada tahapan-tahapan


apakah masih normoalbuminuria, sudah terjadi mikroalbuminuria, atau
makroalbuminuria. Pada prinsipnya, pendekatan utama tatalaksana
nefropati diabetik adalah melalui1 :
1. Pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes).
2. Pengendalian tekanan darah (diet rendah garam dan obat antihipertensi).
3. Perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian ACE-I, dan
ARB).
4. Pengendalian faktor-faktor ko-morbiditas lain (profil lipid, obesitas, dll).
Terapi non-farmakologis berupa gaya hidup yang sehat meliputi
olahraga rutin, diet, menghentikan rokok dan konsumsi alkohol. Diet

29

rendah garam (4-5 gr/hr) dan rendah protein hingga 0,8 gr/kg/hr. Pada
pasien yang penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus, maka saat LFG
mencapai 10-20 ml/menit (setara dengan klirens kreatinin < 15 ml/menit
atau serum kreatinin > 6 mg/dl) dianjurkan untuk memulai hemodialisis 1.

C. NEUROPATI DIABETIK
Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis yang
paling sering ditemukan pada DM. Resiko yang dihadapi pasien DM
dengan neuropati diabetik antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang
tidak sembuh-sembuh, dan amputasi jari / kaki. Kondisi inilah yang
menyebabkan bertambahnya biaya pengobatan pasien DM dengan
neuropati diabetik1.
Dalam konferensi neuropati perifer pada bulan februari 1988 di San
Antonio, disebutkan bahwa neuropati diabetik adalah istiah deskriptif yang
menunjukkan adanya gangguan baik klinis maupun subklinis yang terjadi
pada DM tanpa penyebab neuropati perifer yang lain. Gangguan neuropati
ini termasuk manifestasi somatik dan atau otonom dari sistem saraf
perifer. Angka kejadian dan derajat keparahan sesuai dengan usia, lama
menderita DM, kendali glikemik, dan fluktuasi kadar glukosa darah sejak
diketahui DM1.
a) Patofisiologi
Proses kejadian neuropati diabetik berawal dari hipergikemia
berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur
poliol, aktivasi protein kinase C (PKC), sintesis advance glycosilation end

30

products (AGEs), dan pembentukan radikal bebas. Aktivasi berbagai jalur


tersebut berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke
saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel terjadilah
neuropati diabetik1.
Aktivasi jalur poliol akibat hiperglikemia mengakibatkan akumulasi
sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf sehingga menyebabkan keadaan
hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edema saraf. Peningkatan
sintesis sorbitol juga mengakibatakan terhambatanya mioinositol masuk
ke dalam sel saraf dan menimbulkan stress osmotic yang akan merusak
mitokondria dan menstimulai protein kinase C (PKC) sehingga terjadi
penekanan terhadap Na-K-ATPase yang berakibat peningkatan kadar Na
intraselular yang berlebihan dan gangguan transduksi sinyal pada saraf 1.
Hiperglikemia yang berkepanjangan juga akan menyebabkan
terbentuknya AGEs yang sangat toksik dan merusak semua protein tubuh
termasuk sel saraf. Produksi radikal bebas oksidatif yang disebut reactive
oxygen

species

(ROS)

akibat

hipergikemia

dapat

menyebabkan

kerusakan endotel vaskuler dan menetralisasi nitric oxide (NO) yang


berefek menghalangi vasodilatasi mikrovaskular sehingga menyebabkan
berkurangnya aliran darah saraf dan peningkatan resistensi vascular,
stasis aksional, edema, dan demielinisasi saraf akibat iskemia akut 1.
Suatu penelitian menunjukkan bahwa penyandang DM juga
memiliki complement fixing antisciatic nerve antibodies dan antineural
antibodies pada serum yang merupakan antibodi yang berperan pada

31

patogenesis neuropati diabetik, serta adanya penumpukan antibody dan


komplemen pada saraf yang memperlihatkan kemungkinan peran proses
imun pada patogenesis neuropati diabetic. Dan juga pada penyandang
DM terjadi penurunan kadar nerve growth factor (NGF) yang diperlukan
untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan saraf 1.
b) Diagnosis Dan Klasifikasi
Secara umum neuropati diabetik bergantung pada 2 hal, pertama
menurut perjalanan penyakitnya (lama menderita DM) dan kedua menurut
jenis serabut saraf yang terkena lesi1.
1. Menurut perjalanan penyakitnya :
a. Neuropati fungsional / subklinis
Gejala muncul akibat perubahan biokimiawi dan pada fase ini
masih bersifat reversible
b. Neuropati struktural / fungsional
Gejala timbul akibat kerusakan struktural serabut saraf dan pada
fase ini masih ada komponen yang reversible
c. Kematian neuron / tingkat lanjut
Pada fase ini terjadi kematian neuron dan sudah bersifat
irreversibel. Kerusakan umumnya dimulai dari distal ke proksimal.
2. Menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi :
a. Neuropati

difus

(polineuropati

sensori-motor

simetris

distal,

neuropati otonom, dan neuropati lower limb motor simetris


proksimal / amiotropi)

32

b. Neuropati fokal (neuropati cranial, radikulopati / pleksopati,


entrapment neuropati)

Klasifikasi di atas didasarkan pada anatomi serabut saraf perifer.


Manifestasi klinis bergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami lesi
(sensorik, motorik, atau otonom) yang dapat berupa kesemutan; kebal;
tebal; mati rasa; nyeri seperti ditusuk, disobek, ditikam, rasa terbakar,
hiperalgesia, alodinia, nyeri yang menjalar; dll. Polineuropati sensori-motor
distal

atau

distal

symethrical

sensorymotor

polyneurpathy

(DPN)

merupakan jenis kelainan yang paling sering terjadi yang ditandai dengan
berkurangnya fungsi sensorik secara progresif dan fungsi motorik (lebih
jarang) yang berlangsung pada bagian distal yang berkembang ke arah
proksimal. Terserangnya sistem saraf otonom dapat dapat disertai diare
nokturnal, keterlambatan pengosongan lambung (gastropati), hipotensi
postural, dan impotensi (disfungsi ereksi)3.
Prevalensi disfungsi ereksi pada penyandang DM tipe 2 lebih dari
10 tahun cukup tinggi. Disfungsi ereksi adalah gejala utama yang terjadi
dan menimpa 70% pria penderita diabetes diikuti dengan rendahnya minat
atau gairah seksual sebanyak 63%. Mekanisme terjadinya disfungsi ereksi
menurut Hilsted dan Low (1993) merupakan kombinasi neuropati otonom
dan angiopati yaitu keterlibatan arteriosklerosis pada arteri pudenda
interna.. Selain itu, kaum pria penderita Diabetes Mellitus type 2, terutama
mereka yang kelebihan berat badan, seringkali memiliki kadar testosteron
dengan tingkat yang rendah, sehingga membuat mereka mempunyai

33

kecenderungan untuk mengalami disfungsi seksual. Penelitian yang


melibatkan sebanyak 355 pria penderita diabetes type 2 diatas usia 30
tahun dan menemukan 17% diantaranya memiliki kadar testosteron yang
rendah, sementara 25% diantaranya memiliki kadar testosteron yang
berada

di

'perbatasan'.

Disfungsi

ereksi

sering

menjadi

sumber

kecemasan penyandang diabetes, tetapi jarang disampaikan kepada


dokter4,5.
c) Penatalaksanaan
Strategi pengelolaan pasien DM dengan keluhan neuropati diabetik
dibagi menjadi1 :
1. Diagnosis sedini mungkin
Diagnosis neuropati perifer diabetik dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Pada evaluasi tahunan perlu dilakukan pengkajian terhadap :
a. Refleks motorik.
b. Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit
sperti tes rasa getar (biotesiometer) dan rasa tekan (estesiometer).
c. Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu.
d. Elektromiografi (EMG) untuk mengetahui lebih awal adanya
gangguan hantar saraf.
2. Kendali glikemik dan perawatan kaki sebaik-baiknya.
Langkah yang harus dilaksanakan adalah pengendalian glukosa darah
dan kadar HbA1C secara berkala disamping faktor metabolic lain
seperti hemoglobin, albumin, dan lipid. Untuk perawatan umum / kaki

34

perlu dijaga kebersihan kulit, hindari trauma kaki seperti sepatu yang
sempit, dan cegah trauma berulang pada neuropati kompresi.
3. Pengendalian keluhan neuropati / nyeri neuropati diabetik setelah
strategi kedua dikerjakan.
Untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya komplikasi kronik DM
termasuk neuropati diabetik, dapat digunakan terapi medikamentosa. Saat
ini sedang diteliti penggunaan obat-obat yang berperan pada proses
timbulnya komplikasi kronik diabetes, yaitu 1 :

Aldose reductase inhibitor; untuk menghambat penimbunan sorbitol


dan fruktosa

Ace inhibitor

Neurotropin (nerve growth factor)

Alpha lipoid acid; suatu antioksidan kuat

Protein kinase C (PKC) inhibitor

Gangliosides; merupakan komponen utama membran sel

Gamma linoleic acid (GLA); sebagai prekursor membran fosfolipid

Aminoguanidin; menghambat pembentukan AGEs

Human intravenous immunoglobulin (IVIG); memperbaiki gangguan


neurologik akibat gangguan imun
Untuk mengatasi berbagai keluhan nyeri, pedoman pengelolaan

yang dianjurkan adalah1 :

NSAID (Ibuprofen 4 x 600 mg/hr; Sulindac 2 x 200 mg/hr)

35

Antidepresan Trisiklik (Amitriptilin atau Nortriptilin 1 x 50-150 mg


malam hari; Imipramin 1 x 100 mg/hr; Paroxetine 40 mg/hr)

Antikonvulsan (Gabapentin 3 x 900 mg/hr; Carbamazepin 4 x 200


mg/hr)

Antiaritmia (Mexilletin 150-450 mg/hr)

Topikal (Capsaicin 0,075% 4x/hr; Flufenazin 3 x 1 mg/hr; trans


cutaneous electrical nerve stimulation).
Selain itu juga diberikan edukasi pada pasien tentang penyakit

yang dideritanya dan pengelolaan nyeri neuropati diabetik. Perlu


penjelasan tentang bahaya kurang atau hilangnya sensasi rasa di kaki,
perlunya pemeriksaan kaki pada setiap pertemuan dengan dokter, dan
pentingnya evaluasi secara teratur terhadap kemungkinan timbulnya
neuropati diabetik pada DM3.
Untuk kasus disfungsi ereksi, pengobatan lini pertama adalah terapi
psikoseksual dan obat oral antara lain sildenafil (Viagra ) dan vardenafil.
Pada penyandang DM dengan kadar testosteron yang rendah dan tidak
responsif dengan Viagra dapat menjalani terapi testosteron pengganti4,5.

D. PENYAKIT PEREDARAN DARAH OTAK (PPDO) PADA DIABETES


MELITUS
Angka kejadian penyakit diabetes terus mengalami peningkatan
sejalan dengan perubahan gaya hidup, di antaranya dalam konsumsi jenis
makanan. Bila diabaikan, penyakit ini juga bisa menyebabkan munculnya

36

penyakit lain, seperti stroke. Tak heran bila jumlah penderita stroke pun
terus meningkat. Angka kejadian stroke dunia diperkirakan 200 per
100.000 penduduk dalam setahun. Di negara maju, stroke merupakan
penyebab kematian ketiga setelah kanker dan penyakit jantung koroner,
akan tetapi merupakan penyebab kecacatan tertinggi. Diperkirakan
500.000 penduduk Amerika Serikat menderita stroke untuk pertama
kalinya setiap tahun dan 150.000 orang di antaranya meninggal, di mana
frekuensi stroke iskemik adalah 63 persen dan stroke hemoragik 37
persen. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan SKRT 1995, stroke
merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang utama
dan diperkirakan 500.000 penduduk terkena serangan stroke setiap
tahunnya6.
Stroke merupakan istilah klinis PPDO (Penyakit Peredaran Darah
Otak) atau Cerebrovascular Disease (CVD) yang ditandai dengan
timbulnya kelainan fungsi otak secara mendadak, menetap, serta
mempunyai kecenderungan memburuk, bahkan kematian dalam kurun
waktu 24 jam pertama. disebabkan oleh penumpukan lemak pada dinding
dalam pembuluh darah otak. Lama kelamaan sumbatan akan menjadi
semakin besar sehingga pembuluh darah yang bersangkutan menjadi
semakin sempit. Proses ini dapat berupa penyumbatan lumen pembuluh
darah (stroke iskemik / stroke non-hemoragik) atau pecahnya dinding
pembuluh darah (stroke hemoragik). Manifestasi awal biasanya didahului
oleh adanya Transient Ischemic Attack (TIA) yang disebabkan oleh
adanya sumbatan pada pembuluh darah otak yang bersifat temporer

37

dengan gejala defisit neurologis yang berlangsung dalam beberapa menit


dan kemudian menghilang. Jika gejala tidak membaik dalam beberapa
menit, maka selanjutnya akan dapat menyebabkan stroke. Stroke
merupakan suatu manifestasi akhir dari kelainan-kelainan patologik pada
pembuluh darah yang prosesnya bertahap dimulai jauh sebelum
terjadinya serangan stroke6,7.
Terapi Aspirin 75-160 mg/hari dapat diberikan sebagai strategi
pencegahan

sekunder

untuk

mengurangi

kejadian

stroke

pada

penyandang diabetes yang mempunyai faktor resiko kardiovaskular


termasuk pasien dengan usia >40 tahun yang memiliki riwayat keluarga
penyakit kardiovaskular dan kebiasaan merokok, menderita hipertensi,
dislipidemia,

atau

albuminuria.

Terapi

kombinasi

aspirin

dengan

antiplatelet lain dapat dipertimbangkan pembriannya pada pasien yang


memiliki resiko sangat tinggi3,7.

E. PENYAKIT JANTUNG KORONER DIABETIK


Penyebab kematian dan kesakitan utama pada pasien DM adalah
penyakit jantung koroner (PJK), yang merupakan salah satu penyulit
makrovaskular pada DM. Penyulit makrovaskular ini bermanifestasi
sebagai aterosklerosis dini yang dapat mengenai organ-organ vital
(jantung dan otak)1.
a) Patofisiologi
Dasar terjadinya peningkatan resiko PJK pada pasien DM belum
diketahui secara pasti. Dari hasil penelitian didapatkan kenyataan bahwa 1:

38

1. Angka kejadian ateroslerosis lebih tinggi pada pasien DM dibanding


populasi non-DM.
2. Pasien DM mempunyai resiko tinggi untuk mengalami trombosis,
penurunan fibrinolisis, dan peningkatan respon inflamasi.
3. Pada pasien DM terjadi glikosilasi protein yang akan mempengaruhi
integritas dinding pembuluh darah.
Semua faktor resiko yang memperberat PJK (hipertensi, resistensi
insulin, hiperinsulinemia, hiperamilinemia, dislipidemia, dan gangguan
sistem koagulasi serta hiperhomosisteinemia) dapat terjadi pada suatu
individu dan merupakan suatu kumpulan gejala yang dikenal dengan
istilah

sindrom

resistensi

insulin

atau

sindrom

metabolik.

Lesi

aterosklerosis pada pasien DM dapat terjadi akibat 1 :


1. Hiperglikemia
Hiperglikemia kronik menyebabkan disfungsi endotel melalui berbagai
mekanisme antara lain :

Glikosilasi

non

enzimatik

dari

protein

yang

menyebabkan

perubahan sifat antigenik dari protein dan perubahan tekanan


intravaskular akibat gangguan kesimbangan NO dan PG.

Aktivasi PKC yang akan menghambat produksi NO.

Overekspresi growth factors yang meningkatkan proliferasi endotel


dan

otot

polos

pembuluh

darah

sehingga

akan

terjadi

neovaskularisasi.

Sintesis

DAG

yang

meningkatkan

memodulasi terjadinya vasokonstriksi.

aktivitas

PKC

sehingga

39

Stres oksidatif dan peningkatan small dense LDL-cholesterol yang


lebih bersifat aterogenik.

Tendensi protrombotik dan agregasi platelet akibat penurunan


aktivitas NO, penurunan aktivitas fibrinolitik, pembentukan AGEs,
dan penurunan sintesis heparin sulfat.

Aktivasi koagulasi yang berulang yang menyebabkan stimulasi


endotel sehingga terjadi disfungsi endotel.

2. Resistensi Insulin Dan Hiperinsulinemia


Defisiensi insulin dan hipergilkemia kronik dapat meningkatkan kadar
total PKC dan DAG serta resistensi insulin dapat menimbulkan
gangguan langsung pada fungsi pembuluh darah. Toksisitas insulin
(hiperinsulinisme) dapat menyertai keadaan resistensi insulin / sindrom
metabolik dan stadium awal dari DM tipe 2. Selain itu hiperinsulinisme
juga dapat mengaktifkan renin-angiotensin aldosteron system (RAAS)
dan stress oksidatif di dalam pulau-pulau Langerhans Pankreas.
3. Hiperamlininemi
Amilin atau disebut juga Islet Amyloid Polypeptide (IAPP) disintesis
dan diekskresi oleh sel-se beta pankreas bersama-sama dengan
insulin. Hiperinsulinemi dan hiperamilinemi dapat menyertai keadaan
resistensi insulin / sindrom metabolik dan DM tipe 2. Penumpukan
endapan amilin (amiloidosis) di dalam sel-sel beta pankreas akan
menurunkan fungsinya dalam mensekresi insulin.
4. Inflamasi

40

Infalamsi merupakan penyebab utama dalam proses terjadinya dan


progresivitas aterosklerosis. Pelepasan sitokin yang dipicu oleh
terbentuknya AGEs akan disertai dengan over produksi berbagai
growth factors seperti Platelet Derived Growth Factors (PDGF), Insulin
Growth Factor I (IGF I), Granulocyte / Monocyte Colony Stimulating
Factor (GMCSF), dan Transforming Growth Factor- (TGF-) yang
semuanya berpengaruh besar terhadap fungsi sel-sel pembuluh darah.
Seain itu juga terjadi peningkatan kompleks imun yang mengandung
modified LDL. Peningkatan kadar kompleks imun pada pasien DM
tidak

hanya

menyebabkan

timbulnya

ateroskleorsis

dan

progresivitasnya, tetapi juga berperan dalam proses rupturnya plak


aterosklerotik dan komplikasi PJK selanjutnya.
5. Trombosis / Fibrinolisis
DM akan disertai dengan keadaan protrombotik (trombosis dan
fibrinolisis) akibat resistensi insulin. Peningkatan fibrinogen serta
aktivitas faktor VII dan PAI-1 akan menyebabkan peurunan urokinase
dan meningkatkan agregasi platelet. Terjadinya proteolisis pada
daerah fibrous cup dari plak akan memicu terjadinya rupture plak
dengan akibat terjadinya Sindrom Koroner Akut.
6. Dislipidemia
Dislipidemia yang akan menimbukan stress oksidatif umum terjadi
pada keadaan resistensi insulin / sindrom metabolik dan DM tipe 2.
Keadaan ini terjadi akibat gangguan metabolisme lipoprotein yang
sering disebut sebagai lipid triad (peningkatan kadar VLDL atau

41

Trigliserida, terbentuknya small dense LDL yang lebih bersifat


aterogenik, dan penurunan kadar HDL) yang merupakan anti-oksidan
alamiah. Molekul-molekul protein ini akan mengalami modifikasi
karena proses oksidasi, glikosilasi, dan glikosidasi dengan hasil akhir
terjadinya peningkatan stress oksidatif dan terbentuknya spesies
oksigen radikal. Disamping itu modified lipoprotein akan mengalami
retensi di dalam tunica intima yang memicu terjadinya aterogenesis.
7. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor dalam resistensi insulin /
sindrom metabolik dan sering menyertai DM tipe 2. Hipertensi akan
memperberat disfungsi endotel dan meningkatkan resiko PJK.
Hipertensi disertai peningkatan stress oksidatif dan aktivitas spesies
oksigen radikal akan memediasi terjadinya kerusakan pembuluh darah
akibat aktivasi Angiotensin II dan penurunan aktivitas enzim SuperOkside

Dismutase

menyebabkan

(SOD).

peningkatan

Sebaliknya
aktivitas

glukotoksisitas

RAAS

sehingga

akan
akan

meningkatkan resiko terjadinya hipertensi.


8. Hiperhomosisteinemi
Hiperhomosisteinemi pada DM dapat menyebabkan inaktivasi NO.
Homosistein terutama mengalami peningkatan bila terjadi gangguan
fungsi ginjal dan hiperhomosisteinemi biasanya menyertai penurunan
laju fitrasi glomerolus (LFG).
b. Manifestasi Klinis Dan Diagnosis

42

Pada individu non-DM, PJK dapat menimbulkan manifestasi klinis


berupa Angina Pektoris, Angina Pektoris Tidak Stabil, Infark Miokard, dan
Sindrom Koroner Akut dengan gejala utama berupa rasa nyeri di dada
yang khas dan dapat disertai dengan sesak napas. Sedangkan pada
pasien DM terjadinya iskemia atau infark miokard kadang-kadang tidak
disertai dengan nyeri dada yang khas (angina pektoris). Keadaan ini
dikenal dengan Silent Myocardial Ischaemia atau Silent Myocardial
Infarction (SMI). Terjadinya SMI pada pasien DM diduga disebabkan
karena gangguan sensitivitas sentral terhadap rasa nyeri, penurunan
kadar -endorphin, dan neuropati perifer yang menyebabkan denervasi
sensorik1.
Diagnosis PJK pada pasien DM ditegakkan berdasarkan 1 :

Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Pasien DM dengan SMI, gejala yang timbul biasanya tidak khas seperti
mudah capek, dyspnea deffort, atau dyspepsia.

Pameriksaan laboratorium (darah rutin, GDP, profil lipid, enzim-enzim


jantung, CRP, dan mikroalbuminuria / proteinuria).

Elektrokardiografi (EKG).

Uji latih (Treadmill Test), dilakukan pada pasien dengan gejala SMI dan
kelainan pada EKG.

Pemeriksaan Foto Dada (Chest X-Ray).

Ekokardiografi.

Angiografi koroner / kateterisasi (gold standard).

43

c) Penatalaksanaan
Berdasarkan rekomendasi American Diabetes Association (ADA),
penatalaksanaan terhadap semua pasien DM terutama ditujukan terhadap
penurunan resiko kardiovaskuler secara komprehensif, yaitu meliputi 1 :

Pengobatan hiperglikemi dengan diet, latihan jasmani, OHO dan atau


insulin.

Pengobatan terhadap dislipidemia.

Pemberian aspirin untuk mencegah agregasi trombosit (antitrombotik).

Pengobatan antihpertensi untuk mencapai tekanan darah < 130/80


mmHg dengan ACE-I, ARB, -Blockers, dan diuretik.

Stop merokok.

F. KAKI DIABETES
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang
ditakuti. Hasil pengelolaan kaki diabetes sering mengecewakan dan
berakhir dengan kecacatan dan kematian. Di Negara maju kaki diabetes
juga masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar, tetapi
dengan kemajuan cara pengelolaan dan adanya klinik kaki diabetes yang
aktif mengelola sejak pencegahan primer, nasib penyandang kaki diabetes
menjadi lebih cerah dan angka kematian serta angka amputasi dapat
ditekan sangat rendah. Di RSUPN Cipto Mangunkusumo, masalah kaki
diabetes masih merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan
penyandang DM selalu menyangkut kaki diabetes. Angka kematian dan
angka amputasi masih tinggi, masing-masing 16% dan 25% (2003) 1.

44

a) Patofisiologi
Terjadinya masalah kaki diabetes diawali adanya hiperglikemia
pada penyandang DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan
kelainan pada pembuluh darah. Neuropati akan mengakibatkan berbagai
perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya
perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan
mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi
menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor
aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya
pengelolaan kaki diabetes1.

Bagan 2. Patofisiologi terjadinya ulkus pada kaki diabetik


b) Diagnosis Dan Klasifikasi
Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, diantaranya yang
sering dipakai adalah1 :

45

1. Klasifikasi Edmonds (2004-2005) dari Kings College Hospital London

Stage 1

: Normal Foot

Stage 2

: High Risk Foot

Stage 3

: Ulcerated Foot

Stage 4

: Infected Foot

Stage 5

: Necrotic Foot

Stage 6

: Unsalvable Foot

2. Klasifikasi PEDIS 2003 (International Working Group on Diabetic Foot


2003)

Tabel 5. Klasifikasi ulkus diabetik (PEDIS 2003)


3. Klasifikasi Wagner

46

0 : Kulit intak / utuh

1 : Tukak superfisial

2 : Tukak dalam (sampai tendo tulang)

3 : Tukak dalam dengan infeksi

4 : Tukak dengan gangren pada 1-2 jari kaki

5 : Tukak dengan gangren luas seluruh kaki

c) Penatalaksanaan
Untuk pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok
besar yaitu (1) pencegahan primer (pencegahan terjadinya kaki diabetes
dan terjadinya ulkus atau sebelum terjadinya perlukaan pada kulit); (2)
pencegahan sekunder (pencegahan agar tidak terjadi kecacatan yang
lebih parah / pencegahan dan pengelolaan ulkus / gangren diabetik yang
sudah terjadi1.
1. Pencegahan Primer
Penyuluhan mengenai terjadinya kaki diabetes sangat penting
untuk pencegahan kaki diabetes. Penyuluhan ini harus selalu dilakukan
pada setiap kesempatan pertemuan dengan penyandang DM dan
menyempatkan untuk selalu melihat dan memeriksa kaki penyandang DM.
Edukasi perawatan kaki harus diberikan secara rinci dan teratur pada
semua orang dengan ulkus maupun neuropati perifer atau peripheral
arterial disease1,2.

Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki termasuk di pasir dan air

47

Periksa kaki setiap hari dan laporkan pada dokter apabila ada kulit
terkelupas atau daerah kemerahan atau luka.

Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya

Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih dan mengoleskan krim


pelembab ke kulit yang kering.
Pengelolaan kaki diabetes terutama ditujukan untuk pencegahan

terjadinya tukak disesuaikan dengan keadaan resiko kaki. Keadaan kaki


penyandang diabetes digolongkan berdasarkan resiko terjadinya dan
resiko besarnya masalah yang mungkin timbul. Penggolongan kaki
diabetes berdasarkan resiko terjadinya masalah (Frykberg) 1 :
1) Sensasi Normal Tanpa Deformitas
2) Sensasi Normal Dengan Deformitas atau Tekanan Plantar Tinggi
3) Insensitivitas Tanpa Deformitas
4) Iskemia Tanpa Deformitas
5) Kombinasi (Complicated) :
a. Kombinasi insensitivitas, iskemia, dan atau deformitas
b. Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot
Untuk kaki yang kurang merasa / insensitif (kategori 3 dan 5) alas
kaki perlu diperhatikan benar untuk melindungi kaki yang insensitif
tersebut. Kalau sudah ada deformitas (kategori 2 dan 5) perlu perhatian
khusus mengenai sepatu / alas kaki yang dipakai, untuk meratakan
penyebaran tekanan pada kaki. Untuk kasus dengan kategori resiko 4

48

(permasalahan vaskular), latihan kaki perlu diperhatikan benar untuk


memperbaiki vaskularisasi kaki1.
2. Pencegahan Sekunder (Pengelolaan Holistik Ulkus / Gangren
Diabetik)
Untuk optimalisasi pengelolaan kaki diabetes, pada setiap tahap
harus diingat berbagai faktor yang harus dikendalikan yaitu 1 :
a) Kontrol Metabolik (Metabolic Control)
Keadaan umum pasien harus diperhatikan, kadar glukosa darah harus
diusahakan agar selalu senormal mungkin, status nutrisi harus
diperhatikan dan diperbaiki. Berbagai hal lain harus juga diperhatikan
dan diperbaiki

seperti kadar albumin serum, Hb, dan derajat

oksigenasi jaringan, demikian juga fungsi ginjalnya.


b) Kontrol Vaskular (Vascular Control)
Berbagai langkah diagnostic dan terapi dapat dikerjakan sesuai
keadaan pasien dan juga sesuai kondisi pasien. Umumnya kelainan
pembuluh darah perifer dapat dikenali melalui berbagai cara
sederhana seperti : warna dan suhu kulit, perabaan arteri Dorsalis
Pedis dan arteri Tibialis Posterior serta pengukuran tekanan darah.
Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskularnya dapat dilakukan
pengelolaan untuk kelainan pembuluh darah perifer dari sudut
vascular, yaitu berupa :

Modifikasi faktor resiko (stop merokok dan memperbaiki berbagai


faktor resiko terkait aterosklerosis seperti hiperglikemia, hipertensi,
dan dislipidemia)

49

Terapi farmakologis (obat antitrombotik seperti aspirin dapat


diberikan dan bermanfaat untuk pembuluh darah kaki penyandang
DM)

Revaskularisasi (untuk oklusi yang panjang dianjurkan operasi


bedah pintas terbuka, oklusi yang pendek dapat dilakukan prosedur
endovascular-PTCA, dan pada sumbatan akut dapat dilakukan
tromboarterektomi. Dengan berbagai tindakan bedah tersebut
vaskularisasi daerah distal dapat diperbaiki)

c) Perawatan Luka (Wound Control)


Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang
harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Tindakan debridement
merupakan syarat mutlak yang harus dikerjakan dahulu sebelum
menilai dan mengklasifikasikan luka. Debridement yang baik dan
adekuat akan membantu mengurangi jaringan nekrotik yang harus
dikeluarkan tubuh dan mengurangi produksi pus / cairan dari ulkus /
gangren. Berbagai terapi topical dapat dimanfaatkan untuk mengurangi
mikroba pada luka seperti cairan salin sebagai pembersih luka atau
iodine encer dan senyawa silver sebagai bagian dari dressing
(pembalut). Untuk menjaga suasana kondusif bagi kesembuhan luka
dapat pula dipakai kasa yang dibasahi dengan salin. Selama proses
inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka tidak akan beranjak
pada proses penyembuhan selanjutnya yaitu proses granulasi dan

50

kemudian epitelisasi. Berbagai sarana dan penemuan baru dapat


dimanfaatkan untuk wound control seperti dermagraft, apligraft, growth
factor, protease inhibitor, dsb untuk mempercepat kesembuhan luka.
d) Kontrol Mikrobiologi (Microbiological Control)
Antibiotik yang dianjurkan harus sesuai dengan hasil biakan kuman
dan

resistensinya.

Umumnya

didapatkan

pola

kuman

yang

polimikrobial campuran Gram positif dan Gram negatif serta kuman


anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu untuk lini
pertama pemberian antibiotik dengan spektrum luas, mencakup kuman
Gram

positif

dan

negatif

(seperti

golongan

Sefalosporin),

dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap kuman


anaerob (seperti Metronidazol).
e) Kontrol Tekanan (Pressure Control)
Jika tetap dipakai untuk berjalan (berarti kaki dipakai untuk menahan
berat badan weight bearing). Luka yang selalu mendapat tekanan
tidak akan sempat menyembuh. Apalagi kalau luka tersebut terletak di
bagian plantar seperti luka pada kaki Charcot. Berbagai cara untuk
mendapatkan keadaan non-weight bearing antara lain dengan
Removable Cast Walker, Total Contact Casting, Temporary Shoes,
Felt Padding, Crutches, Wheelchair, Electric Carts, dan Craddled
Insoles. Berbagai cara surgical dapat dipakai untuk mengurangi
tekanan pada luka seperti dekompresi ulkus / abses dengan insisi
abses dan prosedur koreksi bedah (operasi

untuk hammer toe,

51

metatarsal head resection, Achilles tendon lengthening, dan partial


calcanectomy).
f) Kontrol Edukasi (Education Control)
Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetes.
Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus / gangren
diabetik maupun keluarganya diharapkan akan dapat membantu dan
mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan
luka yang optimal.

II.7 PENCEGAHAN
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan
pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Hasil
pengobatan DM harus dipantau secara terencana dengan melakukan
anmnesis,

pemeriksaan

jasmani,

dan

pemeriksaan

penunjang.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah2 :


1. Pemeriksaan kadar glukosa darah
2. Pemeriksaan A1C
3. Pemantauan glukosa darah mandiri
4. Pemeriksaan glukosa urin
5. Penentuan benda keton
Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai
kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1c juga mencapai kadar

52

yang diharapkan. Demikian juga pada status gizi dan tekanan darah.
Kriteria pengendalian DM dapat dilihat pada tabel 6 2.

Tabel 6. Kriteria pengendalian DM (hasil pemeriksaan darah vena)

Pencegahan terjadinya komplikasi DM dapat dilakukan melalui 2 :


1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belom terkena, tetapi
berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa.
Faktor resiko terdiri dari faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi (ras
dan etnik, riwayat keluarga DM, umur, riwayat melahirkan bayi BB >
4000 gram) dan faktor resiko yang dapat dimodifikasi (obesitas, kurang
aktifitas dan pola hidup yang tidak sehat, merokok, hipertensi,
dislipidemia).
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan
dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini

53

penyulit

sejak

awal

pengelolaan

penyakit

DM.

Dalam

upaya

pencegahan sekunder, program penyuluhan memegang peranan


penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani
program pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang DM yang
telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan
lebih lanjut. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin
sebelum kecacatan menetap dan tetap dilakukan penyuluhan pada
pasien dan keluarga untuk mencapai kualitas hidup yang lebih optimal.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

III.1 KESIMPULAN
Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan
pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan dan pembuluh-pembuluh
darah sedang dan besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi
spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati
diabetik), glomerolus ginjal (nefropati diabetik), dan saraf-saraf perifer
(neuropati diabetik), otot-otot, dan kulit. Makroangiopati dapat mengenai
pembuluh darah besar di otak (cerebro vascular disease), penyakit
jantung koroner diabetik, dan pembuluh darah perifer (peripheral arterial
disease) terutama di daerah tungkai yang dapat menyebabkan kaki
diabetik / ulkus diabetik / gangren diabetik.

54

Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan


pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi melalui
penilaian hasil terapi (pemeriksaan kadar glukosa darah, pemeriksaan
A1C, pemantauan glukosa darah mandiri, pemeriksaan glukosa urin, dan
penentuan benda keton). Pencegahan dapat dimulai dari pencegahan
primer (kepada kelompok yang belum terkena namun memiliki faktor
resiko dan berpotensi untuk mendapatkan DM), pencegahan sekunder
(upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang
telah menderita DM berupa modifikasi terhadap faktor resiko yang dapat
memperberat komplikasi seperti dislipidemia, hipertensi, obesitas, dan
gangguan koagulasi), serta pencegahan tersier (kepada kelompok
penyandang DM yang telah mengalami penyulit baik penyulit akibat
mikroangiopati

maupun

makroangiopati

dalam

upaya

mencegah

terjadinya kecacatan lebih lanjut). Keberhasilan pengendalian DM dapat


dinilai dari kriteria pengendalian DM.
III.2 SARAN
Dalam praktek sehari-hari para dokter sebaiknya selalu mencermati
dengan baik hasil pengobatan DM dan pemantauan secara terencana
dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan
penunjang untuk mencegah / menekan progresivitas penyakit yang dapat
menimbulkan komplikasi DM baik akut maupun kronik. Perlu dilakukan
edukasi bagi pasien dan keluarga untuk pengetahuan dan peningkatan
motivasi untuk menjamin keberhasilan terapi. Hal tersebut juga dapat

55

terlaksana dengan baik melalui dukungan tim yang terdiri dari dokter, ahli
gizi, perawat, dan tenaga kesehatan lain.

Daftar Pustaka

1. Sudoyo A. W, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata K. M, Setiati S, editor.


Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV. Jakarta.
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. h.
1906-10; 1911-5; 1916-9; 1920-3; 1924-6; 1933-6.
2. Perkumpulan

Endokrinologi

Indonesia.

Dalam

Konsensus

Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia.


PERKENI. 2006.
3. Price S. A, Wilson L. M. Dalam : Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit, Buku 2, Edisi 4, Cetakan I. Jakarta. EGC. 1995. h.
1109-19.

56

4. Disfungsi Seksual Bagi Penderita Diabetes Melitus. Diunduh dari


http://pharos.co.id/news-a-media/53-beritakesehatan/336-disfungsiseksual.html. Diakses pada tanggal 13 November 2010.
5. Referat Kedokteran : Patofisiologi, Diagnosis, Dan Penatalaksanaan
Disfungsi Ereksi. Diunduh dari http://www.infokedokteran.com/referatkedokteran/referat-kedokteran-patofisiologi-diagnosis-danpenatalaksanaan-disfungsi-ereksi.html.

Diakses

pada

tanggal

13

November 2010.
6. Cegah

Stroke

Dan

Jantung

Akibat

Diabetes.

Diunduh

dari

http://www.tokodiabetes.com/info-diabetes/113-cegah-stroke-ajantung-akibat-diabetes.html. Diakses pada tanggal 13 November


2010.
7. Diabetes,

Heart

Disease,

And

Stroke.

Diunduh

dari

http://diabetes.niddk.nih.gov/dm/pubs/stroke/. Diakses pada tanggal 13


November 2010.

57

Anda mungkin juga menyukai