g) Susunan kata-kata dalam hadis tersebut tidak mencerminkan ianya keluar dari
mulut seorang Nabi yang mana Allah s.w.t. telah berfirman:
Dan dia tidak memperkatakan (sesuatu yang berhubung dengan agama Islam)
menurut kemahuan dan pendapatnya sendiri. Segala yang diperkatakannya itu
(sama ada Al-Quran atau hadis) tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya. al-Najm (53) : 3-4
Misalnya hadis palsu ini: Melihat wajah yang tampan itu boleh mempertajamkan
pandangan mata.
h) Matan hadis tersebut mencemari sifat-sifat Allah yang maha sempurna dari
sebarang bentuk kecacatan dan tidak menyerupai makhluknya seperti hadis
palsu ini: Bahawasanya Allah s.w.t. menciptakan kuda lalu dipacunya kuda itu
hingga berpeluh, maka Dia menciptakan dirinya dari kuda itu. Termasuk dalam
hal ini adalah menceritakan tentang perbuatan Allah s.w.t. secara tidak benar
seperti hadis: Sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi pada hari
Asyuraa.
i) Hadis yang menerangkan pahala yang sangat besar terhadap sesuatu
kebajikan yang sangat kecil. Sebagai contohnya hadis palsu yang berbunyi:
Sesuap makanan yang diberikan kepada orang lapar lebih utama dari membina
seribu jamek (masjid).
j) Hadis yang menunjukkan amal ibadah yang melampau serta menyusahkan
seperti solat tanpa henti semalaman dan memilki jumlah rakaat ratusan bahkan
mencecah ribuan seperti solat al-Raghaaib pada hari Jumaat yang pertama
dalam bulan Rejab, zikir-zikir yang mencecah ribuan kali dan dilakukan pula tidak
sesuai dengan sunnah Nabi s.a.w. seperti berteriak serta menari-nari. Sebagai
contohnya adalah hadis palsu: Jangan kalian melalaikan Jumaat pertama pada
bulan Rejab kerana sesungguhnya Jumaat pertama pada bulan Rejab adalah
malam yang dinamakan malaikat dengan malam raghaaib.
k) Hadis yang menunjukkan sifat perkauman serta mencela kaum yang lain
seperi hadis palsu: Rasulullah melihat makanan, lantas baginda bersabda: Milik
siapa ini? Al-Abbas berkata: Milik orang-orang Habsyah, (makanan) milik
mereka. Rasulullah bersabda: Jangan kamu lakukan (berikan), Sesungguhnya
mereka jika lapar akan mencuri dan jika kenyang akan berzina.
l) Hadis yang menerangkan dosa dan siksa yang sangat besar atas kesalahan
yang kecil. Umpamanya: Barangsiapa memakan bawang putih pada malam
Jumaat, maka hendaklah dia masuk Neraka selama tujuh puluh tahun.
upah yang akan diterima. Di antara contoh golongan ini adalah Maisarah bin
Abdu Rabbih. Ketika ditanya: Dari mana anda dapatkan hadis-hadis ini? Dia
menjawab: Aku memalsukannya untuk menggembirakan orang.
http://akob73.blogspot.my/2009/04/ciri-ciri-dan-asal-usul-hadis-palsu.html
1.
Bekerjalah Kamu untuk Duniamu Seakan Kamu Hidup Selamanya dst
Bekerjalah untuk duniamu, seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah
untuk akhiratmu seakan kamu mati besok.
Ungkapan ini sangat terkenal di bibir manusia saat ini dan mereka terkecoh
dengan mengatakannya sebagai ucapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Padahal para Imam Ahli Hadits telah menegaskan bahwa ini bukanlah hadits.
Syaikh Al Albani mengatakan: La ashala lahhu marfuan (tidak ada dasarnya dari
Rasulullah). (As Silsilah Adh Dhaifah, 1/63. No. 8. Darul Maarif)
Namun, ungkapan ini memang ada secara mauquf (sebagai ucapan sahabat),
yakni ucapan Abdullah bin Umar bin Al Khathab. (Ibnu Asy Syajari, Al Amali,
1/386. Mawqi Al Warraq) ada juga yang menyebut sebagai ucapan Abdullah bin
Amru bin Al Ash. (Ibnu Abdi Rabbih, Al Aqdul Farid, 2/469. Mawqi Al Warraq)
Ada juga ucapan yang mirip dengan ini juga dari Abdullah bin Amru bin Al Ash
Radhiallahu Anhu, dengan kalimat sedikit berbeda yakni Uhruz lid Duniaka
(Jagalah untuk duniamu) , bukan Imal lid Duniaka (bekerjalah untuk
duniamu) ..
Jagalah untuk duniamu, seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk
akhiratmu seakan kamu mati besok. (Lihat Musnad Al Harits, No. 1079. Mawqi
Jami Al Hadits. Lalu Imam Nuruddin Al Haitsami, Bughiyatul Bahits an Zawaid
Musnad Al Harits, Hal. 327. Dar Ath Thalai Lin Nasyr wat Tauzi wat Tashdir. Lihat
juga, Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Mathalib Al Aliyah, No. 3256. Mauqi Jami Al
Hadits.)
Dalam sumber yang lain disebutkan bahwa ini adalah ucapan dari Abu Darda
Radhiallahu Anhu dan Abdullah bin Amru bin Al Ash juga, dengan ungkapan
yang juga agak berbeda yakni Ihrits lid Duniaka (tanamlah untuk duniamu) ..
dst. (Lihat Imam Ar Raghib Al Ashfahani, Muhadharat Al Adiba, 1/226. Mawqi Al
Warraq. Lihat Ibnu Qutaibah, Gharibul Hadits, 1/81, pada Juz 2, Hal.123, beliau
menyebutkan bahwa makna Ihrits adalah kumpulkanlah. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Jadi, ada tiga macam redaksi: Imalu (Bekerjalah), Uhruz (jagalah), dan Ihrits
(tanamlah). Semua ini tidak satu pun yang merupakan ucapan Rasulullah,
melainkan ucapan sahabat saja.
Bahkan ada juga sebagai berikut:
Perbaikilah oleh dunia kalian, dan bekerjalah untuk akhirat kalian, seakan kalian
mati besok. (HR. Al Qudhai, No. 668. Mawqi Jami Al Hadits)
Hadits ini tanpa ada bagian, Seakan kau hidup selamanya. Hadits ini dhaif
jiddan (sangat lemah). Lantaran di dalam sanadnya terdapat Miqdam bin Daud
dan Sulaiman bin Arqam. Syaikh Al Albani mengatakan dua orang ini adalah
perawi dhaif. (As Silsilah Adh Dhaifah, 2/266. No. 874. Darul Maarif)
Imam Al Haitsami mengatakan bahwa Miqdam bin Daud adalah dhaif. (Majma Az
Zawaid, 5/120. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Sementara, Al Allamah Muhammad Thahir bin Ali Al Hindi berkata tentang
Sulaiman bin Arqam: matruk (haditsnya ditinggalkan). (Tadzkirah Al Maudhuat,
Hal. 113. Mawqi Yasub) Begitu pula Al Allamah Alauddin Al Muttaqi Al Hindi
juga menyebutnya matruk. (Kanzul Umal, 7/183. No. 18596. Masasah Ar Risalah)
Sedangkan Al Haitsami mengatakan: dhaif. (Majma Az Zawaid, 2/69) dan
matruk. (Ibid, 2/112) Imam An Nasai dan Imam Ad Daruquthni juga mengatakan
matruk. (Al Hazfizh Az Zailai, Nashbur Rayyah, 1/188. Mawqi Al Islam)
Sedangkan Az Zailai sendiri berkomentar tentang Sulaiman bin Arqam: dhaif
menurut para ahli hadits. (Ibid, 1/190. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tuhfatul
Asyraf, 13/380. Al Maktab Al Islami) Al Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan:
matruk. (At Talkhish Al Habir, 1/655. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Selain dua orang ini, sanad hadits ini juga terdapat Isa bin Waqid yang tidak
diketahui identitasnya. Al Haitsami berkata: Aku belum mendapatkan siapa saja
yang menyebutkan tentang dia. (Majma Az Zawaid, 1/293) Syaikh Al Albani
sendiri mengatakan: Aku tidak mengenalnya.(As Silsilah Adh Dhaifah, 2/266. No.
874)
Dengan demikian jelaslah bahwa hadits ini sangat lemah. Wallahu Alam
Jadi, inti kalimat ini mengajarkan profesionalisme dalam bekerja dan ibadah.
Namun demikian, sikap berlebihan dalam kedua hal ini juga bukan sikap yang
dibenarkan dalam Islam. Sebab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersaba:
Apa pun yang sedikit tapi mencukupi, adalah lebih baik dibanding yang banyak
tetapi melalaikan. (HR. Ahmad No. 20728. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/82,
No. 7. Ath Thabarani, Al Mujam Al Awsath, No. 2640 dan 3001. Ath Thabari,
Tahdzibul Atsar, No. 2496. Al Baihaqi, Syuabul Iman, No. 9986. Musnad Asy
Syihab Al Qudhai No. 1165. Musnad Ath Thayalisi, No. 1061. Al Hakim, Al
Mustadrak alash Shahihan, No. 3620. Katanya: shahih, dan Bukhari-Muslim tidak
mengeluarkannya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Shahih-nya No.
3329)
2.
Hadits Mengusap Dahi dan Wajah Setelah Shalat
Dalam hal ini ada dua hadits. Hadits pertama, dari Anas bin Malik, katanya:
:
Adalah Rasulullah jika telah selesai shalat, maka dia usapkan wajahnya dengan
tangan kanannya, kemudian berkata: Aku bersaksi tiada Ilah kecuali Allah Yang
Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan
dan kesedihan. ( HR. Ibnu Sunni ,Amalul Yaum wal lailah, No. 110, dan Ibnu
Samun, Al Amali, 2/176q).
Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), bahkan sebagian ulama mengatakan:
maudhu (palsu).
Imam Ibnu Rajab Al Hambali berkata dalam Fathul Bari-nya:
.
Hadits ini memiliki banyak jalan dari Anas bin Malik, semuanya lemah. (Imam
Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi Ruh Al
Islam)
Sanad hadits ini adalah dari Salam Al Madaini, dari Zaid Al Ami dari Muawiyah,
dari Qurrah, dari Anas (lalu disebutkan hadts di atas)
Cacatnya hadits ini lantaran Salam Al Madaini dan Zaid Al Ami. Salam Al Madaini
adalah orang yang dtuduh sebagai pendusta, sedangkan Zaid Al Ami adalah
perawi dhaif. Oleh karena itu, Syaikh Al Albani mengatakan, sanad hadits ini
palsu. Hanya saja, hadits ini juga diriwayatkan dalam sanad lainnya yang juga
dhaif. Secara global, hadits ini dhaif jiddan. (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani, Silsilah Ad Dhaifah wal Maudhuah, No. 1058. Darul Maarif)
Sementara, Imam Al Haitsami mengutip dari Al Bazzar, bahwa Salam Al Madaini
adalah layyinul hadits (haditsnya lemah). (Imam Al Haitsami, Majma az Zawaid,
10/47. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Al Haitsami juga mengatakan bahwa Zaid Al Ami adalah dhaif (lemah).
(Ibid,1/230) Imam Al Baihaqi juga menyatakan bahwa Zaid Al Ami adalah dhaif.
(Al Allamah Ibnu At Turkumani, Al Jauhar, 3/46. Darul Fikr) begitu pula kata Imam
Al Iraqi. (Takhrijul Ihya, 6/290)
Al Allamah As Sakhawi mengatakan, lebih dari satu orang menilai bahwa Zaid Al
Ami adalah tsiqah (bisa dipercaya), namun jumhur (mayoritas) menilainya dhaif.
(As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 4/486) yang menilainya tsiqah adalah
Imam Ahmad. (Ibid, 2/400) Imam Ahmad juga mengatakan: shalih (baik). (Ibnu Al
Mubarrad, Bahr Ad dam, Hal. 58. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Sementara Imam An Nasai mengatakan Zaid Al Ami sebagai laisa bil qawwi
(bukan orang kuat hafalannya). (Al Hafizh Az Zailai, Nashbur Rayyah, 7/185.
Lihat Abul Fadhl As Sayyid Al Maathi An Nuri, Al Musnad Al Jami, 14/132) begitu
pula kata Imam Abu Zurah. (Al Hafiz Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi, Al Jarh
wat Tadil, 3/561. Dar Ihya At Turats)
Hadits kedua, dari Anas bin Malik Radhiallahu Anhu katanya:
:
Adapun mengusap wajah dari bekas sujud setelah shalat selesai, maka bisa
difahami dari apa yang diriwayatkan dari Ibnu Masud dan Ibnu Abbas, yang
menunjukkan bahwa hal itu tidak makruh. Al Maimuni meriwayatkan dari Imam
Ahmad, bahwa dia mengusap dahinya jika selesai shalat. (Imam Ibnu Rajab Al
Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi Ruh Al Islam)
Sebagian ulama lain memakruhkannya, bahkan mengusap wajah merupakan
penyebab hilangnya doa pengampunan dari malaikat. Berikut penjelasan dari
Imam Ibnu Rajab:
.
:
.
.
. : .
(( : ))
: :
.
Sekelompok ulama memakruhkannya, dengan alasan hal itu merupakan
penghilangan atas bekas-bekas ibadah, sebagaimana mereka memakruhkan
mengelap air wudhu (dibadan) dan bersiwak bagi yang berpuasa. Berkata Ubaid
bin Amir: Malaikat senantiasa bershalawat atas manusia selama bekas
sujudnya masih ada di wajahnya. (Riwayat Al Baihaqi dengan sanad shahih)
Al Qadhi Abu Yala menceritakan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, bahwa ada
bekas sujud di wajahnya lalu ada seorang laki-laki yang mengusapnya, maka
beliau pun marah, dan berkata: Kau telah memutuskan istighfar-nya malaikat
dariku. Abu Yala menyebutkan sanadnya darinya, dan didalamnya terdapat
seseorang yang tanpa nama.
Imam An Nasai membuat bab: Meninggalkan Mengusap Wajah Setelah Salam.
Beliau mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Said Al Khudri, yang telah
dikeluarkan pula oleh Imam Bukhari di sini, di bagian akhirnya berbunyi: Berkata
Abu Said: Kami kehujanan pada malam ke 21 (bulan Ramadhan), lalu air di
masjid mengalir ke tempat shalat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka
kami memandang kepadanya, beliau telah selesai dari shalat subuh, dan
wajahnya terlihat sisa tanah dan air. (Ibid)
3.
Hadits Keutamaan Memakai Surban
( ) .
Surban yang dililitkan ke peci (kopiah) merupakan pemisah antara kita dan
kaum musyrikin, pada hari kiamat nanti setiap lilitan surban dikepalanya akan
datang dalam bentuk cahaya. (Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul Umal, No.
41134. Diriwayatkan oleh Al Bawardi dari Rukanah)
:
!
!
Hadits ini dan yang semisalnya merupakan sebab tersebarnya bidah
dikalangan manusia, lantaran kebanyakan mereka sampai-sampai orang-orang
yang sudah faham fiqih pun tidak bisa membedakan antara shahih dan dhaif,
dan palsu-nya hadits. Dia tidak mengetahui hal itu, lalu mengamalkannya dan
orang banyak melihat dia seperti itu. Jika, dikabarkan kepadanya bahwa hadits
tersebut dhaif (lemah), serta merta dia menanggapi dengan ucapan; Tidak apaapa mengamalkan hadits dhaif untuk masalah fadhailul amal! ini adalah
kebodohan, karena hadits palsu atau hadits dhaif yang amat sangat, dan hadits
yang semisalnya, telah disepakati oleh para ulama tidak boleh diamalkan.
Sesungguhnya saya (Syaikh Al Albani) masih ingat tentang seorang syaikh yang
mengimami manusia di sebagian masjid di daerah Halab, dia memakai surban
yang sangat lebar di kepalanya, saking lebarnya surban itu memenuhi bagian
kosong mihrab tempatnya shalat! Maka, hanya kepada Allah tempat mengadu
terhadap apa-apa yang menimpa kaum muslimin berupa penyimpangan mereka
dari agama mereka, disebabkan oleh hadits-hadits lemah dan kaidah yang
mazum (dikira benar). (Ibid)
4.
Allah Taala Menolak Amal Ibadah Pelaku Bidah
Dari Ibnu Abbas Radhilallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda:
Allah menolak amalan pelaku bidah sampai orang itu meninggalkan perbuatan
bidahnya. (HR. Ibnu Majah, No. 50. Ibnu Abi Ashim, As Sunnah, No. 32)
Hadits ini dhaif. Berkata Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi
Rahmahullah:
Dalam Az Zawaid disebutkan bahwa para periwayat (rijal) hadits ini semuanya
majhul (tidak dikenal), itulah yang dikatakan Adz Dzahabi.(Imam Abul Hasan As
Sindi, Hasyiyah Ala Ibni Majah, No. 49. Mauqi Ruh Al Islam)
Sanad hadits ini adalah dari Abdullah bin Said, dari Bisyr bin Manshur, dari Abu
Zaid, dari Abu Al Mughirah, dari Ibnu Abbas, lalu disebutkan hadits di atas.
Al Hafizh Al Mizzi mengatakan:
:
Imam Abu Zurah ditanya tentang Abu Al Mughirah, beliau menjawab: Dia dan
Bisyr bin Manshur adalah majhul (tidak dikenal), aku tidak mengenal keduanya.
(Al Hafizh Al Mizzi, Tuhfatul Asyraf, No. 6569. Al Maktab Al Islami)
Sedangkan, Syaikh Al Albani menyebutkan bahwa hadits ini munkar. (As Silsilah
Adh Dhaifah, No. 1492. Al Maktab Al Islami)
Ada hadits lain dari Hudzaifah yang berbunyi lebih mendetil:
Allah Tidak menerima amalan pelaku bidah, baik puasanya, shadaqah, haji,
umrah, jihad, ibadahnya, dan keadilannya. Dia keluar dari Islam seperti
tercabutnya rambut dari tepung. (HR. Ibnu Majah, No. 49)
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini lebih buruk dari
sebelumnya, dan dia menyatakan hadits ini palsu (maudhu). (As Silsilah Adh
Dhaifah, No. 1493)
Hal ini disebabkan karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Mihshan.
Imam Al Haitsami mengatakan:
Dia adalah pendusta dan pemalsu hadits. (Imam Al Haitsami, Majma Az
Zawaid, 1/82. Darul Kutub Al Ilmiyah)
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan bahwa Muhammad bin Mihshan ini
disebut pendusta oleh Imam Yahya bin Main. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul
Mizan, 3/245)
Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Muhammad bin Mihshan adalah seorang
syaikh pemalsu hadits yang dia kutip dari orang-orang terpercaya, tidak halal
menyebutkan dirinya kecuali di dalamnya mesti ada cacatnya. (Imam Ibnu
Hibban, Al Majruhin, 2/277)
Lebih lengkap lagi dalam Tahdzibut Tahdzib sederetan para Imam Ahli Hadits
yang memberikan Jarh (penilaian cacat) untuk Muhammad bin Mihshan ini,
seperti Bukhari, Yahya bin Main, Ahmad, Ad Daruquthni, Abu Hatim, Ibnu
Hibban, Al Uqaili, semuanya menilai dengan sebutan yang berbeda-beda
seperti: pemalsu hadits, pendusta, munkarul hadits, matruk (haditsnya
ditinggal), dan majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzib At
Tahdzib, 9/381.Darul Fikr)
Catatan:
Para pelaku bidah, amalan bidah yang dilakukannya adalah tertolak, bahkan dia
telah melakukan kesesatan yang berdosa, sebagaimana diterangkan dalam
hadits-hadits shahih. Namun demikian jika dia melakukan amal shalih yang
sesuai sunah di lain waktu, maka hal itu tetap diterima dan berpahala. Hal ini
sesuai dengan ayat:
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan
melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. (QS. Az Zalzalah (99):
7-8)
Di sisi lain, orang yang melakukan bidah, lalu bertobat dari bidahnya itu, tetapi
sayangnya dia masih melaksanakan bidahnya itu maka tobatnya sia-sia. Hal ini
ditegaskan dalam hadits shahih berikut:
Dari Anas bin Malik Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda:
Sesungguhnya Allah menutup taubat dari pelaku seiap bidah. (HR. Ath
Thabarani, Al Mujam Al Awsath, No. 4353. Al Baihaqi, Syuabul Iman, No. 9137.
Ibnu Abi Ashim, As Sunnah, No. 30. Al Haitsami mengatakan perawi hadits ini
adalah perawi hadits shahih, kecuali Harun bin Musa Al Farawi, dia tsiqah (bisa
dipercaya). Majma Az Zawaid, 10/189. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam
Zhilalul Jannah, No. 37. Al Maktab Al Islami)
Al Imam An Nawawi juga menegaskan tentang perkataan para ulama dalam
kitabnya yang terkenal, Riyadhush Shalihin, tentang syarat-syarat diterimanya
taubat, diantaranya adalah harus meninggalkan perbuatan dosa tersebut.
Berikut keterangan Imam An Nawawi Rahimahullah:
:
: :
:.
. . :
:
.
Berkata para ulama: Tobat adalah wajib dari semua dosa, jika maksiatnya
adalah antara seorang hamba dengan Allah Taala, yang tidak terkait dengan
manusia, maka syarat tobatnya ada tiga: