Anda di halaman 1dari 94

BAB I

PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang
Keberhasilan kegiatan pertanian tidak terlepas dari berbagai faktor yang

mendukungnya. Faktor-faktor yang mendukung kegiatan pertanian adalah iklim,


ketersediaan air dan unsur hara, input yang memadai, dan kondisi tanah yang
mendukung pertumbuhan tanaman. Dari berbagai faktor tersebut, tanah
merupakan faktor yang berperan penting dalam menunjang pertumbuhan tanaman
yang optimal. Oleh karena itu, kondisi tanah harus dalam keadaan baik. Kondisi
tanah yang baik dapat diketahui melalui pendekatan survei tanah dan evaluasi
lahan.
Melalui survei tanah dan evaluasi lahan dapat diketahui informasi mengenai
kemampuan tanah, sifat-sifat tanah serta sebarannya, dan sekaligus tingkat
kesesuaian beserta faktor-faktor pembatasnya untuk penggunaan lahan di suatu
wilayah. Demikian halnya untuk mengetahui informasi kondisi tanah di Desa
Ngenep, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang maka diperlukan kegiatan
survei tanah dan evaluasi lahan di wilayah tersebut. Sehingga, akan diketahui
tanaman yang sesuai berdasarkan karakteristik tanah di Desa Ngenep.
Secara topografi Desa Ngenep berada di lereng Gunung Arjuna dengan
ketinggian 700 - 1000 mdpl. Pada daerah ini memiliki jenis tanah vulkanik. Tanah
vulkanik adalah tanah yang terbentuk dari lapukan materi letusan gunung berapi
yang subur mengandung zat hara yang tinggi. Jenis tanah vulkanik dapat dijumpai
di sekitar lereng gunung berapi seperti Gunung Arjuna. Berdasarkan karakteristik
tanah yang dilihat secara umum maka dapat diprediksikan bahwa jenis tanah pada
daerah survei adalah andisols. Jenis tanah andisols merupakan tanah yang
terbentuk dari bahan abu vulkanik muda yang memiliki bobot isi rendah. Untuk
mengetahui kebenaran jenis tanah tersebut maka perlu diadakan kegiatan survei
tanah dan evaluasi lahan di Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Kabupaten
Malang.

I.2 Tujuan
Tujuan diadakan Survei Tanah dan Evaluasi Lahan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan survei tanah.
1

2. Untuk mengetahui karakteristik tanah, kemampuan serta kesesuaian lahan di


Dusun Tumpangrejo, Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Kabupaten
Malang.
3. Untuk mengetahui analisis usahatani di Dusun Tumpangrejo.
I.3

Manfaat
Manfaat diadakan Survei Tanah dan Evaluasi Lahan adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa dapat melakukan metode survei tanah dan evaluasi lahan.
2. Mahasiswa dapat mengetahui karakteristik dan klasifikasi tanah,
kemampuan serta kesesuaian lahan di Dusun Tumpangrejo, Desa Ngenep,
kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang.
3. Mahasiswa dapat mengetahui uapaya-upaya perbaikan pada lahan aktual
untuk menjadi lahan yang potensial bagi tanamn dalam rangka
mengingatkan pendapatan usahatani.

BAB II
METODE PELAKSANAAN
2.1

Tempat dan Waktu

Praktikum Survei Tanah dan Evaluasi Lahan dilaksanakan di lereng Gunung


Arjuno yang merupakan Hutan Pendidikan Universitas Brawijaya yang berada di
Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang. Pelaksananaan survei
dilakukan menjadi 2 tahap yaitu tahap 1 dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2016
dan tahap 2 dilakukan pada 5 November 2016. Pada tahap 1 kegiatan yang
dilakukan adalah mengambil dan mengidentifikasi sampel tanah yang ada pada
kawasan hutan dan pada tahap kedua melakukan kegiatan wawancara kepada
petani.
2.2 Alat dan Bahan
Tabel 1. Daftar alat dan fungsinya

No

Nama

Cangkul

Pisau lapang

3
4

Meteran
Sabuk Profil

5
6
7

Buku Munsell Colour Chart


Bor
Botol air

GPS

Klinometer

10

Buku panduan deskripsi lapang

11

Kompas

12

Peta kelerengan

13

Peta SPL

14

Peta google earth

15

Buku Keys to Soil Taxonomy

16

Fial film

17
18
19
20
21

Plastik 1 kg
pH strips
Spidol
Alat tulis
Kamera

Fungsi
menggali tanah

Untuk
(membuat
minipit)
Membuat batas horizon tanah dan
menentukan batas konsistensi tanah
Mengukur batas kedalaman tanah
Mengukur kedalaman profil tanah dan
ketebalan horizon yang telah digali.
Menentukan warna tanah.
Memperdalam galian minipit
Sebagai tempat air untuk membasahi
tanah dalam menetukan tekstur, dan
konsistensi tanah
Untuk menentukan letak di permukaan
bumi
(titik) dengan bantuan
penyelarasan (synchronization) sinyal
satelit
Menentukan kemiringan lereng pada
tempat survey
Sebagai
panduan
untuk
mengumpulkan data hasil survey
Menentukan arah dalam mencari titik
pengamatan
Pedoman penentuan daerah survei dan
menemukan titik
Untuk mengetahui satuan peta lahan
pada daerah yang disurvei
Untuk pedoman penentuan daerah
serta titik survei
Sebagai panduan dalam menentukan
jenis tanah, epipedon, dan Endo pedon
yang berada di daerah survei
Wadah
sampel
tanah
dalam
pengukuran pH tanah
Sebagai tempat sampel tanah
Untuk mengukur pH tanah
Untuk memberi tanda sampel tanah
Untuk mencatat data hasil survei
Untuk dokumentasi kegiatan survei

Tabel 2. Daftar bahan dan fungsinya


No

Nama Bahan

Fungsi

Air

Menentukan tesktur dan konsistensi

2
3

Tanah
Aquades

Sebagai objek pengamatan


Sebagai campuran sampel dalam
menentukan pH tanah

2.3 Metode Penentuan Titik Pengamatan


Menentukan titik pengamatan yang akan dituju pada peta foto udara

Mengaktivasi GPS
Memasukkan titik-titik koordinat pengamatan yang akan dituju pada GPS

Mengikuti GPS untuk menuju pengamatan

Mengamati penampakan fisiografis daerah sekitar titik

Menentukan titik penempatan minipit dan memastikan jauh dari perakaran

Membuat minipit dengan penampang membelakangi lereng


Pelaksanaan fieldwork kedua stela dimulai dengan penentuan titik
pengamaatan menggunakan bantuan

foto udara dan bantuan GPS. Dalam

fieldwork kali ini metode survei tanah yang digunakan adalah pendekatan analitik
dengan penggunaan aplikasi grid bebas. Metode survei tanah yang berdasarkan
prinsip pendekatan analitik adalah metode survei fisiografi dengan bantuan
interpretasi foro udara. Secara metode grid bebas merupakan perpaduan antara
metode grid kaku dan fisiografis.
Dalam metode grid bebas, jarak pengamatan tidak perlu sama dalam dua
arah, namun tergantung pada fisiografi daerah survei. Jika terjadi perubahan
fisiografi yang menyolok dalam jarak dekat maka perlu pengamatan lebih rapat
sedangkan landform relatif seragam maka jarak pengamatan dapat dilakukan
berjauhan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kerapatan pengamatan
disesuaikan dengan kebutuhan skala survei serta tingkat kerumitan pola tanah di
lapangan. Metode ini biasanya dilaksanakan pada skala 1:12.500 sampai dengan
5

1:25.000. Pada peta foto udara yang tersedia kebetulan memiliki sklasa 1:4.000
(sangat detail). Pelaksanaan survei ini diiawali dengan analisis fisiografi melalaui
interpretasi foto udara secara detail.
Menurut Rayes (2007), pengamatan dengan menggunakan metode grid
bebas dilakukan dengan cara seperti pengamatan pada grid kaku, tetapi jarak
pengamatan tidak perlu sama dalam dua arah, tergantung fisiografi daerah survei.
Jika terjadi perubahan fisiografis yang menyolok dalam jarak dekat, perlu
pengamatan lebih rapat, sedangkan jika landform relatif seragam maka jarak
pengamatan dapat dilakukan berjauhan. Dalam penentuan titik pengamatan di
lapang, setelah adanya intepretasi foto udara dan penentuan-penentuan titik
berdasar kenampakan fisiografisnya maka di perlukan penentuan titik pengamatan
dengan mengikuti titik-titik yang telah ditentukan dengan menggunakan GPS
(Global Positioning System). Setelah menemukan titik yang akan diamati, amati
kondisi lahan sekitar, untuk menentukan titik pembuatan minipit. Minipit yang
dibuat harus berada pada tempat yang datar dan tidak. berada pada daerah
perakaran atau setidaknya berjarak 5 m dari pohon. Pembuatan minipit dilakukan
dengan cara menempatkan penampang membelakangi lereng.

2.4

Metode Pengamatan Tanah

2.4.1 Minipit
Membuat lubang minipit pada setiap titik pengamataan dengan menggunakan
cangkul sedalam 50 cm
Membuat batas horizon berdasarkan perbedaan warna tanah yang terlihat jelas

Menusuk bidang profil tanah dengan menggunakan pisau lapang untuk


mengetahui konsistensinya. Apabila ada kepadatan yang berbeda pada bagian
profil tanah, buat horizon baru berdasarkan perbedaan kepadatan tersebut.

Memasang sabuk profil tanah tegak lurus dengan bidang profil tanah.

Mengukur tebal horizon menggunakan sabuk profil yang terpasang.

Melakukan dokumentasi.

Menentukan karakteristik tanah mulai dari tekstur tanah, struktur tanah, warna
tanah, dan konsistensi tanah. Kemudian mencatat hasil pengamatan pada form
morfologi tanah.
Metode pengamatan tanah menggunakan minipit dengan cara membuat
lubang sedalam 50 cm dengan menggunakan cangkul. Kemudian menentukan
batas horizon tanah berdasarkan perbedaan warna tanah yang terlihat jelas pada
profil tanah. Setelah itu menentukan konsistensi tanah dengan cara menusuk
bidang profil tanah dengan menggunakan pisau lapang. Apabila ada kepadatan
yang berbeda pada bagian profil tanah buat horizon baru berdasarkan perbedaan
kepadatan tersebut. Kemudian memasang sabuk profil tanah tegak lurus dengan
bidang profil tanah untuk mengukur tebal horizon. Melakukan dokumentasi.
Menentukan karakteristik tanah mulai dari tekstur tanah, struktur tanah, warna
tanah, dan konsistensi tanah. Kemudian mencatat hasil pengamatan pada form
morfologi tanah.

2.4.2 Bor
Melakukan pengeboran pada setiap minipit yang telah dibuat sebelumnya
Melakukan pengeboran sebanyak 6 kali sehingga total kedalaman pengeboran
sedalam 120 cm
Melakukan identifikasi tekstur tanah, warna dan konsistensi tanah pada setiap
pengeboran
Mencatat hasil pengamatan
Metode pengamatan tanah dilakukan dengan cara mengebor setiap minipit
yang telah dibuat sebelumnya. Pengeboran dilakukan sebanyak 6 kali sehingga
total kedalaman pengeboran sedalam 120 cm. Kemudian melakukan identifikasi
tekstur dan warna tanah pada setiap pengeboran. Mencatat hasil pengamatan yang
didapat.
2.5

Klasifikasi Tanah
Metode yang digunakan dalam klasifikasi tanah adalah sebagai berikut:
Melakukan survei lapang
Melakukan tabulasi data secara sederhana
Mengelompokkan tanah berdasarkan ciri-ciri spesifik

Melakukan klasifikasi tanah berdasarkan horizon penciri (epipedon, endopedon)


Melakukan klasifikasi tingkat tinggi (ordo, sub-ordo, grup, sub-grup)

Mencatat hasil klasifikasi


Klasifikasi tanah adalah pemilihan tanah yang didasarkan pada sifat-sifat
tanah yang dimilikinya tanpa menghubungkannya dengan tujuan tanah tersebut.

klasifikasi tanah memberikan gambaran dasar terhadap sifat-sifat fisik, kimia,


mineral tanah yang dimiliki masing-masing kelas yang selanjutnya dapat
digunakan

sebagai

dasar

untuk

pengelolaan

bagi

penggunaan

tanah

(Hardjowigeno, 1986). Setiap jenis tanah memiliki karakteristik yang berbedabeda, hal itu tergantung dengan penciri yang ada pada tanah tersebut. Klasifikasi
tanah dilakukan dengan menggunakan buku Keys to Soil Taxonomy.
Langkah dalam klasifikasi tanah yang pertama adalah melakukan survei
lapang. Kemudian data yang didapat dari hasil survei ditabulasi secara sederhana.
Selanjutnya mengelompokkan tanah berdasarkan ciri-ciri spesifik. Melakukam
klasifikasi tanah berdasarkan horizon penciri yaitu epipedon dan endopedon.
Kemudian menentukan ordo tanah berdasarkan pada horizon penciri atau sifatsifat tanah lain yang merupakan hasil dari proses pembetukan tanah. Dalam
menentukan sub ordo tanah didasarkan pada keseragaman genetik, seperti bahan
induk, pengaruh vegetasi, dan tingkat dekomposisi bahan induk. Dalam
menentukan nama grup tanah didasarkan pada susunan dan tingkat perkembangan
horizon atau sifat penciri tanah yang lain seperti padas, fragipan, duripan. Dalam
menentukan subgrup tanah dibagi dalam 3 kelompok yaitu subgrup typic, subgrup
intergrade, dan subgrup extragrade. Selanjutnya mencatat hasil klasifikasi tanah
yang diperoleh dari hasil survei.
2.6

Evaluasi Lahan

2.6.1 Metode Analisis Kemampuan Lahan


Evaluasi

kemampuan

lahan

merupakan

salah

satu

upaya

untuk

memanfaatkan lahan sesuai dengan potensinya. Penilaian potensi lahan sangat


diperlukan terutama dalam rangka penyusunan kebijakan, pemanfaatan lahan dan
pengelolaan lahan secara berkesinambungan. Untuk menyusun kebijakan tersebut
sangat diperlukan peta-peta yang salah satunya ialah peta kemampuan lahan.
Analisis dan evaluasi kemampuan lahan dapat mendukung proses dalam
penyusunan rencana penggunaan lahan di suatu wilayah yang disusun dengan
cepat dan tepat sebagai dasar pijakan dalam mengatasi benturan pemanfaatan
penggunaan lahan/ sumberdaya alam (Suratman dkk, 1993).
Klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian komponen lahan. Menurut
Arsyad (2000) merupakan penilaian komponen-komponen lahan secara sistematis

dan pengelompokkan ke dalam berbagai kategori berdasar sifat-sifat yang


merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaan lahan.
Lahan digolongkan ke dalam 3 kategori utama yaitu kelas, sub kelas dan
satuan kemampuan lahan. Struktur klasifikasi kemampuan lahan berdasarkan pada
faktor penghambat seperti ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 3. Kelas Kemampuan Lahan
Devisi
Dapat diolah

Kelas Kemampuan
Lahan
I
II
III

Sub-Kelas Kemampuan
Lahan

IV

IIIw, banjir
IIIs, tanah dsb

Tidak dapat diolah

IIIe, erosi

V
VI
VII
VIII

Sumber: Sitorus (1985)


Kelas kemampuan lahan menurut USDA dalam Arsyad (2000) dibedakan
menjadi delapan kelas kemampuan lahan. Semakin besar angka kelas maka
semakin menurun intensitas dan pilihan penggunaan lahan.
a)

Kelas I
Lahan

kelas

mempunyai

sedikit

hambatan

yang

membatasi

penggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai pertanian, mulai dari


tanaman semusim dan tanaman pertanian pada umumnya, tanaman rumput, hutan
dan cagar alam. Lahan kelas I mempunyai sifat-sifat dan kualitas lahan sebagai
berikut:
a. Terletak pada tofografi hampir datar.
b. Ancaman erosi kecil.
c. Mempunyai kedalaman tanah efektif yang dalam.
d. Umumnya berdraenase baik.
e. Mudah diolah.
f. Kapasitas menahan air baik.
g. Subur atau responsif terhadap pemupukan.
h. Tidak terancam banjir.
i. Dibawah iklim setempat yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman umumnya.
10

Di daerah beriklim kering yang telah dibangun fasilitas irigasi, suatu lahan
dapat dimasukkan ke dalam kelas I jika topografi hampir datar, daerah perakaran
dalam, permeabilitas dan kapasitas menahan air baik, dan mudah diolah. Beberapa
dari lahan yang dimasukkan ke dalam kelas ini mungkin memerlukan perbaikan
pada awalnya seperti perataan, pencucian garam laut atau penurunan permukaan
air tanah musiman. Jika hambatan oleh garam, permukaan air tanah ancaman
banjir, atau ancaman erosi akan terjadi kembali, maka lahan tersebut mempunyai
hambatan alami permanen, oleh karenanya tidak dapat dimasukkan ke dalam kelas
ini.
Tanah

yang

kelebihan

air

dan

mempuyai

lapisan

bawah

yang

permeabilitasnya lambat tidak dimasukkan ke dalam kelas I. Lahan dalam kelas I


yang digunakan untuk lahan petanian memerlukan tindakan pengolahan untuk
memelihara produktivitas, berupa pemeliharaan kesuburan dan struktur tanah.
Tindakan tersebut dapat berupa pemupukan dan pengapuran, pengunaan tanaman
penutup tanah dan pupuk hijau, pengunaan sisa-sisa tanaman dan pupuk kandang,
dan pergiliran tanaman. Pada peta kelas kemampuan lahan, lahan kelas I biasanya
diberi warna hijau.
b)

Kelas II
Lahan dalam kelas II memiliki beberapa hambatan atau memerlukan

tindakan konservasi tanah sedang. Lahan kelas II memerlukaan pengelolaan yang


hati-hati, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan konservasi tanah untuk
mencegah kerusakan atau memperbaiki hubungan air dan udara jika lahan
diusahakan untuk pertanian. Hambatan pada kelas II tergolong sedikit dan
tindakan perbaikan yang dilakukan mudah diterapkan. Lahan ini sesuai untuk
penggunaan tanaman semusim, ladang rumput, padang pengembalaan, hutan
produksi, hutan lindung dan cagar alam.
Hambatan atau ancaman kerusakan pada kelas II adalah salah satu atau
kombinasi dari pengaruh berikut:
a. Lereng yang landai.
b. Kepekaan erosi atau ancaman erosi sedang.
c. Kedalaman tanah, efektif agak dalam.
d. Struktur tanah dan daya olah agak kurang baik.

11

e. Salinitas ringan sampai sedang atau terdapat garam natrium yang mudah
dihilangkan, meskipun besar kemungkinan timbul kembali.
f. Kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, akan tetapi tetap ada sebagai
pembatas yang sedang tingkatannya, atau
g. Keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan.
Lahan kelas II memberikan pilihan pengunaan yang kurang dan tuntutan
pengolahan yang lebih berat. Lahan dalam kelas ini mungkin memerlukan
konservasi tanah khusus, tindakan-tindakan pencegahan erosi, pengendalian air
lebih, atau metode pengelolaan jika diperlukan untuk tanaman semusim dan
tanaman yang memerlukan pengelolaan lahan sebagai contoh, tanah yang dalam
dengan lereng yang landai yang terancam erosi sedang jika dipergunakan untuk
tanaman semusim mungkin memerlukan salah satu atau kombinasi tindakantindakan berikut: guludan, penanaman dalam jalur pengelolaan menurut kontur,
pergiliran tanaman dengan rumput dan leguminosa dan pemberian mulsa. Secara
tepatnya tindakan atau kombinasi tindakan yang akan diterapkan, dipengaruhi
oleh sifat-sifat tanah, iklim dan sistem usaha tani. Pada peta kemampuan lahan,
lahan kelas II biasanya dibari warna kuning.
c)

Kelas III
Lahan kelas III mempunyai hambatan berat yang mengurangi pilihan

penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi tanah khusus. Lahan dalam


kelas III mempunyai pembatas yang lebih berat dari lahan kelas II dan jika
dipergunakan bagi tanaman yang memerlukan pengelolaan tanah dan tindakan
konservasi tanah yang diperlukan biasanya lebih sulit diterapkan dan dipelihara.
Lahan kelas III dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang
memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi,
hutan lindung dan suaka margasatwa.
Hambatan

yang

terdapat

pada

lahan

kelas

III

membatasi

lama

penggunaannya bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau


kombinasi dari pembatas-pembatas tersebut. Hambatan atau ancaman kerusakan
mungkin disebabkan oleh salah satu relief atau beberapa sifat lahan berikut:
a. Lereng yang agak miring atau bergelombang.
b. Peka terhadap erupsi atau telah mengalami erosi yang berat.
c. Seringkali mengalami banjir yang merusak tanaman.

12

d. Lapisan bawah tanah yang berpermeabilitas lambat.


e. Kedalaman tanah dangkal diatas batuan, lapisan padas keras (hardpan), lapisan
padas rapu (fragipan) atau lapisan lempung padat (claypan) yang membatasi
perakaran dan simpanan air.
f. Terlalu basah atau masih terus jenuh air setelah didrainase.
g. Kapasitas menahan air rendah.
h. Salinitas atau kandungan natrium sedang, atau
i. Hambatan iklim yang agak besar.
Pada peta kemampuan lahan, lahan kelas III biasanya diberi warna merah.
d)

Kelas IV
Hambatan atau ancaman kerusakan pada lahan kelas IV lebih besar dari

pada kelas III, dan pilihan tanaman juga lebih terbatas. Jika dipergunakan untuk
tanaman semusim diperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan
konservasi tanah lebih sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku,
saluran bervegetasi, disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara
kesuburan dan kondisi fisik tanah. Lahan dikelas IV dapat dipergunakan untuk
tanaman semusim dan tanaman pertanian pada umumnya, tanaman rumput, hutan
produksi, padang pengembalaan, hutan lindung dan suaka alam. Hambatan atau
ancaman kerusakan kelas IV disebabkan oleh salah satu atau kombinasi dari
faktor-faktor berikut:
a. Lereng miring atau relief berbukit.
b. Kepekaan erosi yang besar.
c. Pengaruh erosi agak berat yang telah terjadi.
d. Tanahnya dangkal.
e. Kapasitas menahan air yang rendah.
f. Sering tergenang yang menimbulkan kerusakan berat pada tanaman.
g. Kelebihan air dan ancaman kejenuhan atau penggenangan yang terus terjadi
setelah didrainase.
h. Salinitas atau kandungan natrium yang tinggi.
i. Keadaan iklim yang kurang menguntungkan.
Pada peta kelas kemampuan lahan, lahan kelas IV biasanya diberi warna biru.
e)

Kelas V

13

Lahan kelas V tidak terancam erosi, akan tetapi mempunyai hambatan lain
yang tidak dihilangkan dan membatasi pilihan penggunaannya, sehingga hanya
sesuai untuk tanaman rumput, padang penggembalaan hutan produksi atau hutan
lindung dan suaka alam. Lahan di dalam kelas V mempunyai hambatan yang
membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman, dan menghambat
pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Lahan ini terletak pada topografi datar
atau hampir datar tetapi tergenang air, sering terlanda banjir, berbatu-batu iklim
yang kurang sesuai, atau mempunyai kombinasi dari hambatan-hambatan tersebut.
Contoh lahan kelas V adalah:
a. Lahan yang sering dilanda banjir, sehingga sulit dipergunakan untuk
penanaman tanaman semusim secara formal.
b. Lahan datar yang berada pada kondisi iklim yang tidak memungkinkan
produksi tanaman secara normal.
c. Lahan datar atau hampir datar yang berbatu-batu, dan
d. Lahan tergenang yang tidak layak didrainase untuk tanaman semusim, tetapi
dapat ditumbuhi rumput atau pohon pepohonan.
Pada peta kelas kemampuan lahan, lahan kelas V biasanya diberi warna hijau
tua.
f)

Kelas VI
Lahan dalam kelas VI mempunyai hambatan berat yang menyebabkan lahan

ini tidak sesuai untuk penggunaan pertanian, penggunaan terbatas untuk


rerumputan atau padang pengembalaan, hutan produksi, hutan lindung atau cagar
alam. Lahan kelas VI mempunyai pembatas atau ancaman kerusakan yang tidak
dapat dihilangkan,berupa salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut:
a. Terletak pada lereng agak curam.
b. Bahaya erosi berat.
c. Telah tererosi berat.
d. Mengandung garam larut atau natrium.
e. Berbatu-batu.
f. Daerah perakaran sangat dangkal.
g. Atau iklim yang tidak sesuai.
Lahan kelas VI yang terletak pada lereng agak curam jika dipergunakan
untuk pengembalaan dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk

14

menghindari erosi. Beberapa tanah di dalam kelas VI yang daerah perakarannya


dalam, tetapi terletak pada lereng agak curam dapat dipergunakan untuk tanaman
semusim dengan tindakan konservasi tanah yang berat. Pada peta kelas
kemampuan lahan, lahan kelas VI biasanya diberi warna oranye.
g)

Kelas VII
Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Jika digunakan

sebagai padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan usaha pencegahan
erosi yang berat. Lahan kelas VII yang solumnya dalam dan tidak peka erosi jika
dipergunakan untuk tanaman pertanian harus dibuat teras bangku yang ditunjang
dengan cara-cara vegetatif untuk konservasi tanah, disamping tindakan
pemupukan. Lahan kelas VII mempunyai beberapa hambatan atau ancaman
kerusakan berat dan tidak dapat dihilangkan seperti:
a. Terletak pada lereng yang curam.
b. Telah tererosi sangat berat bahkan berupa erosi parit, dan
c. Daerah perakaran sangat dangkal.
Pada peta kemampuan lahan, lahan kelas VII biasanya diberi warna coklat.
h)

Kelas VIII
Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai

untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan
lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Lahan kelas VIII biasanya berwarna
putih atau tidak berwarna. Pembatas atau ancaman kerusakan pada kelas VIII
berupa:
a. Terletak pada lereng yang sangat curam.
b. Berbatu.
c. Kapasitas menahan air sangat rendah.

15

Cara penentuan kelas kemampuan lahan adalah sebagai berikut:


Menyiapkan data-data hasil survei lapang yaitu data morfologi dan fisiografi
yang telah didapatkan
Membuat tabel pengklasifikasian guna mempermudah penentuan klasifikasi
kemampuan lahan
Tabel pengklasifikasian berisi 5 kolom yaitu nomor, faktor pembatas, hasil
pengamatan, pengelompokan, kriteria dari faktor pembatas, dan kelas
kemampuan lahan
Tabel pengklasifikasian berisi 5 kolom yaitu nomor, faktor pembatas, hasil
pengamatan, pengelompokan, kriteria dari faktor pembatas, dan kelas
kemampuan
lahan

Mengisi kolom faktor pembatas di baris 1 dengan data tekstur pada lapisan atas dan
lapisan bawah, baris 2 diisi dengan lereng, baris 3 diisi dengan data
drainase,
baris 4 diisi dengan data kedalaman efektif tanah, baris 6 dengan data batuan atau
kerikil didalam tanah dan baris 7 dengan data bahaya banjir

Mengisi kolom kriteria berdasrkan pengelompokan setiap faktor pembatas


sesuai dengan data hasil pengamatan
Mengklasifikasikan kelas kemampuan lahan berdasarkan kriteria yang telah
didapatkan
Setelah menentukan kelas kemampuan lahan dari setiap kriteria, maka dari
semua kelas yang telah ditentukan, diambil satu kelas yang paling tinggi
sebagai
faktor pembatas di daerah tersebut
2.6.2 Metode Analisis Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk suatu
peggunaan tertentu. Kelas kesesuaian lahan suatu kawasan dapat berbeda-beda,
tergantung pada penggunaan lahan yang dikehendaki. Klasifikasi kesesuaian lahan
menyangkut perbandingan antara kualitas lahan dengan persyaratan pengggunaan
lahan yang diinginkan (Rayes, 2007).

16

Dalam menentukan klasifikasi kesesuaian lahan menurut FAO (1976) dalam


Rayes (2007), terdiri atas 4 kategori, yaitu:
1) Ordo (Order): menunjukkan keadaan kesesuaian lahan secara umum,
2) Kelas (Class): menunjukkan keadaaan tingkat keseuaian dalam ordo,
3) Sub-Kelas: menunjukkan keadaan tingkatan dalam kelas yang didasarkan
pada jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas,
4) Satuan (Unit): menunjukkan keadaan tingkat dalam sub-kelas didasarkan
pada perbedaan-perbedaan kecil yang berpengaruh dalam pengelolaannya.
Ordo dibedakan atas:
1. Ordo S atau Sesuai (Suitable), lahan ini dapat digunakan untuk penggunaan
tertetentu secara lestari dengan tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap
sumber daya lahannya.
2. Ordo N atau Tidak Sesuai (Not suitable), lahan ini mempunyai faktor
pembatas. Lahan dapat digolongkan tidak sesuai untuk penggunaan tertentu
karena adanya alasan.
Dalam sistem klasifikasi ini, kesesuaian pada tingkat kelas dalam tiap ordo
tidak terbatas, tetapi dianjurkan untuk memakai 3 (tiga) kelas dalam ordo S yaitu
kelas S1, kelas S2, kelas S3 dan 2 (dua) kelas dalam ordo N yaitu kelas N1, kelas
N2. Kesesuian pada tingkat sub kelas tergantung pada jenis pembatas yang ada.
Jenis pembatas dicerminkan oleh simbol huruf kecil yang diletakkan setelah
simbol kelas. Kesesuian pada tingkat unit merupakan pembagian yang lebih lanjut
dari subkelas kesesuaian lahan yang didasarkan atas besarnya faktor pembatas.
Kesesuaian lahan aktual menunjukkan kesesuaian lahan pada saat dilakukan
evaluasi lahan. Sedangkan kesesuaian lahan potensial merupakan kesesuaian
terhadap penggunaan lahan yang akan dicapai atau setelah diadakan usaha-usaha
perbaikan tertentu, terhadap faktor-faktor pembatasnya (Rayes, 2007). Dalam
penentuan kesesuaian lahan menggunakan kegiatan matching atau perbandingan.
Jenis usaha perbaikan karakteristik/kualitas lahan aktual menjadi lahan potensial
disesuaikan dengan tingkat pengelolaan yang

akan diterapkan.

Dalam

perbandingan kita menggunakan acuan dari Kriteria Kesesuaian Lahan untuk


Tanaman Pertanian dan Tanaman Kehutanan yang ditulis oleh Djainudin et al
(1994).
2.7

Metode Analisis Usahatani

2.7.1 Biaya produksi

17

Biaya produksi adalah semua pengeluaran yang dilakukan oleh perusahaan


untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan-bahan mentah yang akan
digunakan untuk menciptakan barang-barang yang diproduksikan perusahaan
tersebut. Biaya produksi merupakan keseluruhan biaya yang dilakukan selama
proses produksi tanaman (Supriyono, 2000)
1. Biaya Total (Total Cost = TC).
Biaya total adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan
produksi. Biaya Total diperoleh dari hasl penjumlahan antara Total Biaya Variabel
dengan Total Biaya Tetap.

TC = TFC + TVC
Keterangan:
TC = Total Cost (Biaya total (Rp))
TFC = Total Fixed Cost (Biaya tetap total (Rp))
TVC = Total Variable Cost (Biaya variabel total (Rp))
Q
= Quantitas Produk
Dimana biaya tetap total (Total Fixed Cost = TFC) adalah keseluruhan biaya
yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi yang tidak dapat berubah
jumlahnya. Sebagai contoh biaya pembelian mesin, membangun bangunan
pabrik, membangun prasarana jalan menuju pabrik, dan sebagainya. Sedangkan
Biaya Variabel Total (Total Variable Cost = TVC) Biaya variabel total adalah
keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi variabel.
Contoh biaya variabel adalah upah tenaga kerja, biaya pembelian bahan baku,
pembelian bahan bakar mesin, dan sebagainya.

Kurva biaya total atau Total cost untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar
P / Rp
TC
VC

FC
Q

18

Gambar 1. Kurva Total Cost


2. Biaya Variabel
Untuk tujuan perencanaan dan pengawasan, biaya variabel dibedakan
menjadi :
a. Engineered variabel cost
Engineered variabel cost adalah biaya yang memiliki hubungan fisik
tertentu dengan ukuran kegiatan tertentu atau biaya yang antara
masukan dan keluarannya mempunyai hubungan yang erat dan nyata.
b.

Contohnya : biaya bahan baku.


Discretionary cost
Discretionary variabel cost adalah biaya-biaya yang jumlah totalnya
sebanding dengan perubahan volume kegiatan sebagai akibat kebijakan
manajemen.
Misalnya adalah pengeluaran untuk pembelian bahan baku. Semakin

banyak barang yang dihasilkan, maka semakin besar pula pengeluaran untuk
pembelian bahan baku. Namun demikian laju peningkatan biaya tersebut
berbeda-beda (tidak konstan ). Laju peningkatan mula-mula dari titik asal
adalah menurun hingga titik A. Pada titik A ini tidak terjadi peningkatan
sama sekali. Kemudian sesudah titik A laju kenaikannya terus menerus naik.
Jika jumlah produksinya sedikit, maka nilai biaya yang diperlukan
rendah. Sehingga dalam hal ini, antara biaya variabel dan jumlah produksi
merupakan suatu hubungan yang sifatnya searah. Dalam usahatani, yang
termasuk biaya variabel adalah pengeluaran untuk pembelian pupuk, bibit,
benih, pestisida, biaya persiapan dan persewaan lahan, serta biaya
pengolahan lahan. Biaya variabel total dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:
VC
= variable cost/ biaya variabel (Rp)
TVC = total variable cost/ jumlah dari biaya variabel (Rp)
Kurva biaya variabel atau biaya yang berubah-ubah sesuai dengan
kapasitas produksi dapat dilihat pada gambar 2.
P / Rp

TVC

19

N = batas kapasitas
normal

Gambar 2. Kurva Total Variable Cost


3.

Biaya Tetap
Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya relatif tetap, dan secara tetap

dikeluarkan meskipun jumlah produksi banyak atau sedikit. Sehingga


besarnya biaya tetap tidak terpengaruh oleh besar kecilnya produksi yang
dijalankan.

Keterangan:
TFC = total biaya tetap (Rp)
Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap
Pxi = harga input (Rp)
n

= jumlah atau banyaknya input

Kurva biaya tetap atau biaya yang tidak berubah walaupun volume produksi
atau penjualan berubah dapat dilihat pada gambar 3.
P/Rp

TFC
Q
Gambar 3. Kurva Total Fixed Cost
2.7.2 Penerimaan dan Pendapatan

20

Penerimaan merupakan jumlah yang didapatkan dalam melalukan


suatu usaha dimana belum dikurangi dengan pengeluaran untuk melalukan
usaha tersebut. Penerimaan usahatani tidak mencakup pinjaman uang untuk
keperluan usahatani. Demikian pula halnya dengan pengeluaran tunai untuk
usahatani tidak mencakup bunga pinjaman dan jumlah pinjaman pokok
(Soekartawi, 1995). Penerimaan adalah semua hasil yang diterima oleh
pengusaha atas usaha yang dilakukan. Penerimaan diperoleh dari jumlah unit
produk dikalikan dengan harga produk tersebut dipasarkan.
Kadarsan (1993) menyatakan, bahwa usahatani pada akhirnya akan
menghasilkan produk atau output yang merupakan penerimaan bagi petani jika
dikalikan dengan harga produk. Kelebihan penerimaan dari total biaya biaya
merupakan keuntungan usahatani. Besar kecilnya keuntungan yang diperoleh
tergantung pada tinggi rendahnya biaya produksi, harga komoditas, dan jumlah
produk yang dihasilkan. Menurut Soekartawi (1995), penerimaan merupakan
merupakan perkalian antara produksi yang dihasilkan dengan harga jual, dapat
dirumuskan sebagai berikut:
TR = P x Q
Keterangan:
TR = Penerimaan Total (Rp)
P

= Harga Produk (Rp/ unit)

= Jumlah Produksi (unit)


Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan

total biaya yang digunakan. Semakin besar keuntungan yang diperoleh, maka
dapat dikatakan bahwa perusahaan terus berkembang dengan baik karena
pada prinsipnya, tujuan perusahaan secara umum adalah mencari laba
maksimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani, antara
lain: luas lahan, tingkat produksi, pilihan dan kombinasi cabang usaha,
intensitas pengusaha pertanaman, dan efisiensi tenaga kerja (Hernanto,
1991).
Sedangkan menurut Mulyadi (1992), pendapatan merupakan keuntungan
yang diperoleh para pengusaha sebagai pembayaran dari melakukan kegiatan
sebagai berikut :
a. Menghadapi resiko ketidakpastian dimasa yang akan datang.
b. Melakukan inovasi/pembaharuan di dalam kegiatan ekonomi.

21

c. Mewujudkan kekuasaan monopoli di dalam pasar.


Pendapatan dapar dirumuskan sebagai berikut:
= TR TC
Keterangan:

= Keuntungan (Rp)

TR = Total Revenue (Penerimaan total (Rp))


TC = Total Cost (Biaya total (Rp))
2.7.3 Analisis Kelayakan Usaha Tani
Setiap petani pada hakekatnya menjalankan sebuah perusahaan pertanian
di atas usahataninya. Usahatani tersebut merupakan suatu perusahaan pertanian
karena tujuannya bersifat ekonomis. Menurut Kadariah (1999), untuk
mengetahui daya tarik suatu proyek, ada tiga kriteria investasi yang dapat
dipertanggungjawabkan yaitu: Net Present Value (NPV), Internal Rate of
Interest (IRR), dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C).
Suatu proyek dikatakan layak bila proyek tersebut memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. NPV lebih besar dari nol.
b. IRR lebih besar dari discount rate yang sedang berlaku.
c. Net B/C lebih besar dari 1.
a.

Perhitungan NPV
Net Present Value (NPV) atau nilai sekarang bersih adalah analisis

manfaat finansial yang digunakan untuk mengukur layak tidaknya suatu


usaha dilaksanakan dilihat dari nilai sekarang (present value) arus kas
bersih yang akan diterima dibandingkan dengan nilai sekarang dari
jumlah investasi yang dikeluarkan. Arus kas bersih adalah laba bersih
usaha ditambah penyusutan, sedang jumlah investasi adalah jumlah total
dana yang dikeluarkan untuk membiayai pengadaan seluruh alat-alat
produksi yang dibutuhkan dalam menjalankan suatu usaha. Rumus NPV
dalam analisis usaha tani dituliskan sebagai berikut.

Keterangan:
Bt = Benefit (penerimaan usahatani pada tahun ke-t)

22

Ct = Cost (biaya usahatani pada tahun ke-t)


n = umur ekonomis proyek (10 tahun)
i = tingkat suku bunga yang berlaku (14%)
Suatu proyek dikatakan layak untuk dilakukan bila menghasilkan NPV > 0.
Bila NPV 0, maka proyek tersebut tidak layak untuk dijalankan
b.
Perhitungan IRR
Internal Rate of Return (IRR) adalah metode peerhitungan investasi
dengan menghitung tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang investasi
dengan nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih dimasa datang.
Cara Perhitungan:

c.

Perhitungan B/C Ratio


Benefit Cost Ratio adalah penilaian yang dilakukan untuk melihat

tingkat efisiensi penggunaan biaya berupa perbandingan jumlah nilai bersih


sekarang yang positif dengan jumlah nilai bersih sekarang yang negatif, atau
dengan kata lain Net B/C adalah perbandingan antara jumlah NPV positif
dangan jumlah NPV negatif dan ini menunjukkan gambaran berapa kali lipat
benefit akan kita peroleh dari cost yang kita keluarkan (Gray, 1997).
Rumusan yang digunakan adalah:
n
Bt Ct

Net B / C

1 i

1 i

t 1
n
t 1

Ct Bt

Keterangan:
Bt = Benefit (penerimaan kotor pada tahun ke-t)
Ct = Cost (biaya kotor pada tahun ke-t)
n = umur ekonomis proyek
i = tingkat suku bunga yang berlaku
Kriteria yang dapat diperoleh dari penghitungan Net B/C antara lain:
Net B/C > 1, maka usahatani menguntungkan;
Net B/C = 1, maka usahatani tidak menguntungkan dan tidak merugikan;
Net B/C < 1, maka usahatani merugikan

23

BAB III
KONDISI UMUM WILAYAH
3.1

Lokasi, Administrasi Wilayah


Pelaksanaan Fieldwork Survey Tanah dan Evaluasi Lahan berlokasi di UB

Forest, Dusun Tumpangrejo, Kelurahan Ngenep, Kecamatan Karangploso,


Kabupaten Malang pada hari Sabtu, 22 Oktober 2016. Lokasi fieldwork ini berada
di kaki Gunung Arjuna kurang lebih 1.200 m diatas permukaan laut dengan titik
koordinat 1123506-1123753 BT dan 75514-75227LS. Secara
administratif terletak diwilayah Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang,
dengan batas wilayah utara berbatasan dengan hutan UB Forest, disebelah timur
berbatasan dengan Desa Donowarih Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang,
disebelah selatan berbatasan dengan Desa Pendem Kecamatan Junrejo Kota Batu,
dan disebelah barat berbatasan dengan Desa Giripurno Kecamatan Bumiaji Kota
Batu.
Lahan yang berada di kelerengan antara 5-25% ini dahulu adalah hutan
milik perhutani dengan suhu rata-rata 23,5C, kelembaban 77,5% RH, curah hujan
1595 mm/tahun. Tanaman yang mendominasi adalah pohon pinus dan pohon
mahoni. Tanaman tersebut ditumpangsarikan dengan tanaman talas dan rumput
gajah. Rumput gajah banyak dimanfaatkan masyarakat sekitar hutan sebagai
pakan ternak.
Desa Ngenep berpenduduk sejumlah 9.024 jiwa, dengan penduduk laki-laki
4.579 jiwa dan perempuan sejumlah 4.445 jiwa. Dikarenakan wilayah Desa
Tumpangrejo berada di kaki Gunung Arjuna, lahan secara umum subur dengan
ciri-ciri tanah hitam. Sebagian besar penduduk memperoleh pendapatannya
melalui pertanian hortikultura (jagung manis, cabai, bawang prei, sawi, dan
sayuran lainnya)
3.2
1.

Fisiografi Lahan
Titik 1
Dalam pengamatan fisiografi, titik 1 memiliki ketinggian 1061 mdpl dengan

kemiringan lereng 20%. Koordinat geografi dengan zona UTM 49 M, latitude


0676770, dan longitude 9133634. Kondisi relief makro berombak sedangkan
kondisi relif mikro berbentuk teras, dan kelerengannya tunggal. Laju aliran
permukaan lambat dan drainase alami sedang. Permeabilitas tanah yang cepatdi

24

titik 1 menyebabkan genangan/banjir sulit terjadi atau tanpa genangan.


Pengelolaan airnya hanya memanfaatkan drainase alami.
Dengan rapatnya vegetasi maka tidak erosi yang sangat ringan pada titik ini.
Pada titik ini juga tidak ditemukan batuan, kerakal, mapun kerikil saat pembuatan
minipit. Penggunaan lahan di titik ini termasuk agroforestri yang didominasi oleh
pohon mahoni, dan vegetasi spesifiknya adalah tanaman talas.
2. Titik 2
Pada titik 2 memiliki ketinggian 1062 mdpl dengan kemiringan lereng 25%.
Koordinat geografi dengan zona UTM 49 M, latitude 06766835, dan longitude
9133675. Kondisi relif makro berombak sedangkan kondisi relief mikro berbentuk
teras, dan kelerengannya tunggal. Laju aliran permukaan lambat dan drainase
alami yang juga lambat. Permeabilitas tanah yang cepat di titik 2 mengakibatkan
genangan/banjir sulit terjadi atau tanpa genangan. Pengelolaan airnya hanya
memanfaatkan drainase alami.
Dengan rapatnya vegetasi maka terjadi erosi sangat ringan pada titik ini.
Pada titik ini juga tidak ditemukan batuan, kerakal, mapun kerikil saat pembuatan
minipit. Penggunaan lahannya termasuk agroforestri yang didominasi oleh pohon
mahoni, dan vegetasi spesifiknya adalah tanaman kopi dan talas.
3. Titik 3
Pada titik 3 memiliki ketinggian 1064 mdpl dengan kemiringan lereng 40%.
Koordinat geografi dengan zona UTM 49 M, latitude 0676884, dan longitude
913367. Kondisi relief makro berombak sedangkan kondisi relif mikro berbentuk
teras, dan kelerengannya majemuk. Laju aliran permukaan sangat cepat dan
drainase alami cepat. Permeabilitas tanah yang sangat cepat di titik 3
menyebabkan genangan/banjir sulit terjadi atau tanpa genangan. Pengelolaan
airnya hanya memanfaatkan drainase alami.
Erosi yang terjadi di titik 3 adalah erosi permukaan dengan kelas sedang dan
bahaya erosi yang hebat. Pada titik ini juga tidak ditemukan batuan maupun
kerakal saat pembuatan minipit, tetapi terdapat kerikil. Penggunaan lahan di titik
ini termasuk agroforestri yang didominasi oleh pohon sengon, dan vegetasi
spesifiknya adalah tanaman kopi dan rerumputan.

3.3

Karakteristik Tanah
Berdasarkan suku katanya, geomorfologi terbentuk atas kata geo yang

artinya bumi, morfo yang artinya bentuk, dan logos yang artinya ilmu. Hal ini

25

berarti geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai bentuk bumi


beserta sejarah terbentuknya muka bumi. Geomorfologi biasanya mempelajari
mengenai bentuk lahan atau landform (Lobeck, 1939). Menurut Cooke (1974),
Geomorfologi adalah studi bentuk lahan dan pemekarannya pada sifat alamiah
asal mula, proses pengembangan dan komposisi materialnya.
Tingkat perkembangan relief permukaan bumi tergantung pada prosesproses geomorfologi yang berlangsung. Karakteristik proses morfologi yang
berlangsung pada suatu daerah dapat terlihat dari landform yang terbentuk.
Sedangkan proses geomorfologi itu sendiri adalah perubahan-perubahan baik
secara fisik maupun kimiawi yang dialami permukaan bumi.
Tenaga-tenaga pembentuk muka bumi dapat kita golongkan menjadi dua,
yaitu tenaga eksogen yang berasal dari luar atau dari permukaan bumi dan tenaga
endogen yang berasal dari dalam atau perut bumi. Tenaga asal luar pada umumnya
bekerja sebagai perusak, sedangkan tenaga asal dalam sebagai pembentuk. Kedua
tenaga inipun bekerja bersama-sama dalam mengubah bentuk permukaan muka
bumi.
Lokasi fieldwork Survei Tanah dan Evaluasi Lahan 2016 yang terletak di
Dusun Tumpangrejo, Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang,
Jawa Timur ini merupakan daerah yang berada di lereng Gunung Arjuna, dimana
daerah ini memiliki jenis landform vulkanik akibat pengaruh aktivitas gunung
berapi. Landform vulkanik mencirikan material pembentuk di daerah tersebut dan
bentuk akhir tergantung pada perilaku erupsi susulan dari gunung api.
Dalam lokasi pengamatan yang kita lakukan, warna epipedon tanah
cenderung berwarna gelap, terutama pada kawasan UB Forest. Hal ini
dikarenakan akumulasi abu vulkanik dari gunung Arjuna dan lokasi yang masih
hutan alami dan hutan produksi yang pengelolaannya masih belum intensif,
sedangkan warna tanah endopedon relatif lebih terang dari epipedon.
Dalam lokasi pengamatan di titik satu, didapatkan epipedon tanah dengan
warna 10 YR 2/1 dengan tekstur lempung berdebu, sedangkan warna endopedon
berurutan dari atas ke bawah yaitu 10 YR 3/4, 10 YR 3/6 dan 10 YR 4/2, dengan
tekstur endopedon lempung berdebu dan liat berdebu. Untuk struktur epipedon
tanah di titik satu cenderung gumpal membulat sedangkan struktur endopedon
tanahnya cenderung gumpal bersudut.

26

Dalam lokasi pengamatan di titik dua, didapatkan epipedon tanah dengan


warna 10 YR 2/1 dengan tekstur lempung berdebu, sedangkan warna endopedon
berurutan dari atas ke bawah yaitu 10 YR 3/3, 10 YR 3/6 dan 10 YR 3/4, dengan
tekstur endopedon lempung berliat dan liat berdebu. Untuk struktur epipedon
tanah dititik dua cenderung gumpal membulat sedangkan struktur endopedon
tanahnya cenderung gumpal bersudut.
Dalam lokasi pengamatan di titik tiga, didapatkan epipedon tanah dengan
warna 10 YR 2/2 dengan tekstur lempung liat berdebu, sedangkan warna
endopedon berurutan dari atas ke bawah yaitu 10 YR 3/3, 10 YR 3/4 dan 10 YR
2/2, dengan tekstur endopedon lempung liat berdebu, lempung berdebu, dan liat
berdebu. Untuk struktur tanah dititik tiga cenderung gumpal membulat.
Secara umum daerah titik pengamatan menunjukan adanya dominasi dari
ordo Inceptisols yang terbentuk akibat akumulasi bahan vulkanik gunung Arjuna
serta adanya pengaruh penggunaan lahan oleh petani didaerah tersebut.
3.4

Penggunaan Lahan
UB Forest merupakan kawasan hutan pendidikan Universitas Brawijaya

yang terletak di Dusun Tumpang Rejo, Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso,


Kabupaten Malang. Penggunaan lahan di wilayah ini adalah dominan
agroforestry, dimana terdapat tanaman berkayu seperti mahoni yang dibawahnya
terdapat kopi dan talas.
Berdasarkan kegiatan survei tanah dan evaluasi lahan yang dilakukan di UB
Forest, Tumpang Rejo, Ngenep, Malang yang dilakukan dengan pengamatan 3
titik, diperoleh data bahwa ditemukan perbedaan tutupan lahan dan penggunaan
lahan yang berbeda di 3 titik tersebut. Pada titik pertama, memiliki tutupan lahan
berupa pohon mahoni, dan talas dengan penggunaan lahan yaitu agroforestry.
Pada titik kedua, memiliki tutpan lahan betupa pohon mahoni dan kopi dengan
penggunaan lahan berupa agroforestry. Sedangkan, pada titik ketiga ditemukan
tutupan lahan berupa beberapa sengon, beberapa kopi dan semak-semak, dengan
penggunaan lahan beruba agroforestry pula.

3.5

Sebaran SPT di Lokasi Survei

Tabel 4. Sebaran SPT

27

Titik 1

Titik 2

Titik 3

A1

Pachic Humudepts

Typic Dystrudepts

Typic Humudepts

A2

Typic Humudepts

Typic Humudepts

Typic Humudepts

B1

Typic Humudepts

Typic Humudepts

Pachic Humudepts

B2

Typic Distrudepts

Typic Humudepts

Typic Humudepts

C1

Typic Distrudepts

Typic Humudepts

Typic Dystrudepts

C2

Typic Distrudepts

Typic Distrudepts

Typic Hapludalf

D1

Typic Humudepts

Typic Distrudepts

Typic Distrudepts

D2

Typic Distrudepts

Typic Distrudepts

Typic Humudepts

E1

Typic Humudepts

Typic Dystrudept

Typic Humudepts

E2

Pachic Humudepts

Typic Humudepts

Typic Humudepts

F1

Typic Humudepts

Typic Humudepts

Typic Humudepts

F2

Lithic Humudepts

Typic Humudepts

Typic Humudepts

G1

Typic Humudepts

Typic Humudepts

Typic Humudepts

G2

Typic Humudepts

Typic Humudepts

Typic Humudepts

H1

Typic Humudepts

Typic Humudepts

Typic Humudepts

H2

Typic Humudepts

Typic Humudepts

Typic Humudepts

I1

Typic Humudepts

Typic Humudepts

Typic Humudepts

I2

Typic Humudepts

Typic Humudepts

Typic Humudepts

J1

Pachic Humudepts

Typic Humudepts

Typic Humudepts

J2

Typic Humudepts

Typic Humudepts

Lithic Humudepts

K1

Typic Humudepts

Pachic Humudepts

Typic Humudepts

K2

Typic Humudepts

Typic Dystrudept

Typic Humudepts

Berdasarkan hasil fieldwork yang telah dilakukan didapatkan hasil


keseluruhan titik pengamatan dengan jumlah 66 titik. Pada 66 titik tersebut telah
ditemukan sub grup yaitu Pachic Humudepts, Typic Dystrudepts, Typic
Humudepts, Typic Hapludalf, Lithic Humudepts. Dari 66 titik titik tersebut

28

ditemukan beberapa poligon dengan masing masing SPT yang berbeda. Adapun
SPT yang ditemukan diantaranya Pada SPT 1 didapatkan konsosiasi Typic
Humudepts. Pada SPT 2 didapatkan kompleks Typic Humudepts, Typic
Dystrudepts, dan Typic Hapludalf. Pada SPT 3 didapatkan kompleks Typic
Dystrudepts, Typic Humudepts, dan Pachic Humudepts. Pada SPT 4 didapatkan
konsosiasi Typic Dystrudepts. Selain itu juga didapatkan konsosiasi Pachic
Humudepts pada SPT 5.
Pada SPT 6 didapatkan konsosiasi Lithic Humudepts. Sedangkan pada
SPT 7 didapatkan kompleks Typic Humudepts dan Typic Dystrudepts. Pada SPT 8
didapatkan kompleks Typic Humudepts, Typic Dystrudepts, dan Pachic
Humudepts. Terdapat pula kompleks Typic Dystrudepts dan Typic Humudepts
pada SPT 9. Sedangkan pada SPT 10 didapatkan asosiasi Typic Humudepts dan
Pachic Humudepts. Pada SPT 11 didapatkan kompleks Typic Humudepts, Typic
Dystrudepts, Lithic Humudepts, dan Pachic Humudepts

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1

Morfologi Tanah (Data Bor di cara kerja ada kok di pembahasan ga


ada)

4.1.1 Morfologi Titik 1


Tabel 5. Morfologi Tanah Titik 1
Kode
Simbol Horizon
Kedalaman (cm)
Warna

1
Ap
0-23
10 YR 2/1 (Hitam)

2
Bw1
23-50
10 YR 3/2 (Coklat

29

Kelas Tekstur

Lempung Berdebu

Kehitaman)
Lempung Berdebu

Struktur
Konsistensi

Gumpal membulat
Gembur
Agak Plastis,
Tidak Lekat
Sedikit
Sedikit
Sedikit
6

Gumpal Bersudut
Agak Teguh
Agak Plastis,
Agak Lekat
Sedikit
Sedikit
Sedikit
5

Pori
pH

Lembab
Basah
Halus
Sedang
Kasar

Berdasarkan hasil pengamatan tanah yang dilakukan di UB Forest, diketahui


bahwa pada titik 1 ditemukan 2 horizon yaitu Ap dan Bw1. Horizon pertama
dikatakan horizon Ap karena telah megalami pengolahan tanah dimana lahan
tersebut telah ditanami tanaman talas dan memiliki warna tanah hitam yang
menandai adanya kandungan bahan organik yang tinggi. Menurut pernyataan
Abdullah (1991), bahwa horizon A merupakan horison mineral berbahan organik
tanah tinggi menyebabkan warna gelap atau hitam. Simbol tambahan p berarti
tanah tersebut telah terganggu atau telah mengalami pengolahan. Kedalaman
horizon Ap ini 0-23 cm dan memiliki warna hitam atau 10 YR 2/1. Kelas tekstur
pada horizon ini adalah lempung berdebu dengan struktur tanahnya gumpal
membulat. Hasil pengamatan konsistensi pada horizon pertama memiliki
konsistensi gembur pada keadaan lembab karena tidak membutuhkan tenaga
ketika menekan agregat tanah, dan tanah bergumpal apabila digenggam.
Sedangkan untuk konsistensi basah yaitu agak plastis dan tidak lekat. Dikatakan
agak plastis karena tanah dapat dibuat gulungan namun mudah patah ketika dibuat
cincin dan dikatakan tidak lekat karena tidak ada tanah yang melekat pada salah
satu jari. Horizon ini memiliki pori halus sedikit, pori sedang sedikit, dan pori
kasar sedikit. Nilai pH tanahnya 6 yang menunjukkan tanah pada horizon ini
subur. Hal ini diduga karena adanya material yang dikeluarkan gunung berapi
pada letusan terdahulu yang mengandung bahan mineral seperti Besi (Fe),
Aluminium (Al), dan Silika (Si) yang baik bagi tanah setelah melapuk sehingga
dapat membantu dalam menyuburkan tanaman. Sesuai pernyataan Fiantis (2006),
terdapat empat mineral utama yang terkandung di dalam abu vulkanik,
diantaranya: Besi (Fe), Aluminium (Al), Magnesium (Mg), Silika (Si). Ke empat
mineral tersebut adalah zat hara yang dapat membantu menyuburkan tanaman.
Kandungan unsur Fe, Al, Mg dan Si pada abu vulkanik merupakan beberapa unsur

30

logam yang mempengaruhi kondisi kesuburan tanah dan sangat baik untuk
perkembangan tanaman pertanian di sekitar gunug berapi selama kadar masingmasing unsur yang ada pada abu vulkanik masih berada dalam batas aman, maka
abu vulkanik tidak bersifat racun bagi tanaman.
Horizon kedua dikatakan Bw1 karena telah terjadi perubahan warna dari
hitam menjadi coklat kehitaman dan adanya perkembangan struktur tanah.
Menurut USDA (1998), bahwa simbol penciri w ini digunakan bersama simbol
genetik B untuk menunjukkan adanya perkembangan warna atau perkembangan
struktur, atau perkembangan keduanya yang tidak secara jelas atau hanya sedikit
memperlihatkan akumulasi bahan secara aluvial. Horizon ini memiliki kedalaman
tanah 23-50 cm dan warna tanah coklat kehitaman atau 10 YR 3/2. Horizon ini
memiliki kelas tekstur lempung berdebu dan struktur tanahnya gumpal bersudut.
Horizon kedua memiliki konsistensi yaitu agak teguh pada keadaan lembab
sedangkan untuk konsistensi basah yaitu agak plastis dan agak lekat. Dikatakan
agak plastis karena tanah dapat dibuat gulungan namun mudah retak ketika dibuat
cincin dan dikatakan agak lekat karena ada tanah yang melekat pada salah satu
jari. Menurut Darmawijaya (1997), tanah basah yang memiliki plastisitas agak
plastis dicirikan dengan dapat dibentuknya gulungan-gulungan kecil yang dapat
diubah bentuknya. Sedangkan kelekatan tanah agak lekat dicirikan dengan adanya
sedikit gaya adhesi pada jari yang mudah dilepas lagi. Horizon kedua ini memiliki
pori halus sedikit, pori sedang sedikit, dan pori kasar sedikit. Nilai pH tanah 5
yang menunjukkan tanah bersifat asam. Hal ini diduga karena tanah pada horizon
ini terkena abu vulkanik yang mengandung mineral seperti Besi (Fe), Aluminium
(Al), dan Silika (Si) sehingga tanah pada horizon ini bersifat asam. Menurut
Fiantis (2006), tanah yang terkena abu vulkanik akan memiliki kadar keasaman
(pH) tanah sebesar 5 5,5.
Tabel 6. Deskripsi Horizon Titik 1
Horizon

Deskripsi
Horizon Ap; dengan kedalaman 0-23 cm; 10 YR 2/1 hitam;
Lempung berdebu; Gumpal membulat; Gembur; Tidak lekat,
Agak Plastis; Pori mikro sedikit; Pori meso sedikit; Pori makro
sedikit; Akar halus tidak ada; Akar sedang sedikit ; Akar kasar
sedikit; Baur.
Horizon Bw1; dengan kedalaman23-50 cm; 10 YR 3/2 coklat
kehitaman; Lempung berdebu; Gumpal bersudut; Agak teguh;
Agak Lekat, Agak Plastis; Pori mikro sedikit; Pori meso

31

sedikit; Pori makro sedikit; Akar halus tidak ada; Akar sedang
sedikit; Akar kasar sedikit; Jelas.

4.1.2 Morfologi Titik 2


Tabel 7. Morfologi Tanah Titik 2
Kode

Simbol Horizon

Ap

Bw1

Bw2

Kedalaman (cm)

0-19

19-33

Warna

10 YR 2/1
(Hitam)

10 YR 3/3
(Coklat Tua)

33-50
10 YR 3/6
(Coklat Tua
Kekuningan)

Kelas Tekstur

Lempung
Berdebu

Lempung
Berliat

Liat Berdebu

Struktur

Gumpal
Membulat

Gumpal
Bersudut

Gumpal
Bersudut

Gembur
Tidak Lekat,
Agak Plastis
Sedikit
Sedikit
Sedikit
6

Agak Teguh
Agak Lekat,
Agak Plastis
Sedikit
Sedikit
Sedikit
5

Agak Teguh
Agak Lekat,
Agak Plastis
Sedikit
Sedikit
Sedikit
5

Lembab
Konsistensi

Pori
pH

Basah
Halus
Sedang
Kasar

Titik pengamatan ke-2 dilakukan pada lokasi yang memiliki titik koordinat
UTM 0676835, 9133675, dan berada pada elevasi 1062 mdpl dengan vegetasi
utama kopi. Pada titik pengamatan ke-2 terdapat tiga horizon. Horizon pertama
memiliki kedalaman 0-19 cm yang dinamakan horizon Ap. Dinamakan horizon
Ap dikarenakan lapisan tanah atas pada titik pengamatan ke-2 telah mengalami
pengolahan tanah untuk budidaya tanaman kopi. Horizon Ap yang ditemukan
pada titik pengamatan ke-2 memiliki warna hitam atau 10 YR 2/1. Warna tanah
merupakan petunjuk untuk beberapa sifat tanah. Warna hitam menunjukkan
adanya kandungan bahan organik yang tinggi. Seperti yang dinyatakan oleh
Hardjowigeno (1993), bahwa tanah-tanah hitam di Indonesia mengandung banyak
bahan organik. Pernyataan dari Hardjowigeno dapat dijadikan dasar untuk
hipotesis awal bahwa pada tanah lapisan atas di titik pengamatan ke-2 memiliki
kandungan bahan organik tinggi. Pengamatan selanjutnya pada horizon Ap di titik
pengamatan ke-2 adalah tekstur dan struktur tanah. Kelas tekstur horizon Ap
adalah lempung berdebu dan struktur gumpal membulat dengan ukuran struktur

32

tanah 20-50 mm. Menurut Hanafiah (2007), tanah dengan tekstur lempung
berdebu termasuk dalam jenis tanah bertekstur sedang. Horizon Ap pada titik ke-2
memiliki konsistesi lembab gembur dengan konsistensi basah tidak lekat dan agak
plastis. Konsistensi lembab dikatakan gembur karena saat diremas tanah mudah
hancur akan tetapi dapat membentuk gumpalan saat digenggam. Sedangkan pada
konsistensi basah dikatakan tidak lekat dan agak plastis karena saat ditekan
dengan dua ibu jari tidak ada tanah yang masih menempel dan tanah dapat
dibentuk gulungan tetapi patah saat dibentuk cincin. Hal tersebut sesuai pendapat
Rayes (2006), bahwa pada keadaan lembab, konsistensi tanah gembur dicirikan
jika diremas, hancur, jika digenggam bergumpal. Sedangkan konsistensi tanah
agak plastis dan tidak lekat dicirikan dengan tidak menempel di jari dan dapat
dibentuk gelintir tapi mudah berubah bentuk. Pori yang dapat diamati diantaranya
pori halus sedikit, pori sedang sedikit, dan pori kasar sedikit. Horizon Ap
memiliki pH sebesar 6.
Horizon kedua memiliki kedalaman 19-33 cm yang dinamakan horizon
Bw1. Sesuai yang telah dijelaskan pada pengamatan di titik 1 bahwa simbol
tambahan w menunjukkan adanya perubahan warna dan struktur dari horizon
sebelumnya. Horizon Bw1 di titik pengamatan ke-2 memiliki warna coklat tua
atau 10 YR 3/3. Kemudian kelas tekstur yang dimiliki ialah lempung berliat dan
strukturnya gumpal bersudut yang berukuran 20-50 mm. Horizon Bw1 pada titik
pengamatan ke-2 memiliki konsistesi lembab agak teguh dengan konsistensi
basah agak lekat dan agak plastis. Perbedaan konsistensi lembab antara horizon
Ap dengan horizon Bw1 dikarenakan saat pengamatan tanah tidak mudah hancur
dengan sedikit tenaga. Akan tetapi dibutuhkan tekanan yang sedikit lebih kuat
agar agregat tanah dapat dihancurkan. Pori yang dapat diamati pada horizon Bw1
diantaranya pori halus sedikit, pori sedang sedikit, dan pori kasar sedikit. Horizon
Bw1 memiliki pH sebesar 5.
Horizon ketiga memiliki kedalaman 33-53 cm yang dinamakan horizon
Bw2. Horizon Bw2 memiliki warna coklat tua kekuningan atau 10 YR 3/6.
Kemudian kelas tekstur yang dimiliki ialah liat berdebu dan strukturnya gumpal
bersudut yang berukuran 20-50 mm. Horizon Bw2 pada titik pengamatan ke-2
memiliki konsistesi lembab agak teguh dengan konsistensi basah agak lekat dan
agak plastis. Pori yang dapat diamati pada horizon Bw2 diantaranya pori halus

33

sedikit, pori sedang sedikit, dan pori kasar sedikit. Horizon Bw2 memiliki pH
sebesar 5. Tanah yang ditemukan pada titik-2 umumnya memiliki pH antara 5-6.
Menurut Mukhlis (2007), tanah-tanah yang telah diolah untuk kegiatan budidaya
memiliki pH antara 4 sampai 8. Sedangkan untuk pH yang lebih masam
ditemukan pada tanah gambut atau tanah dengan kandungan alumunium atau
belerang yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan kondisi tanah di titik pengamatan
ke-2 yang memiliki pH 5-6 karena telah mengalami pengolahan tanah untuk
kegiatan budidaya tanaman.
Tabel 8. Deskripsi Horizon Titik 2
Horizon
1

Deskripsi
Horizon Ap; dengan kedalaman 0-19 cm; 10 YR 2/1 hitam;
Lempung berdebu; Gumpal membulat; Gembur; Tidak lekat,
Agak Plastis; Pori mikro sedikit; Pori meso sedikit; Pori
makro sedikit; Akar halus biasa; Akar sedang tidak ada ;
Akar kasar sedikit; Nyata.
Horizon Bw1; dengan kedalaman19-33 cm; 10 YR 3/3coklat
tua; Lempung berliat; Gumpal bersudut; Agak teguh; Agak
Lekat, Agak Plastis; Pori mikro sedikit; Pori meso sedikit;
Pori makro sedikit; Akar halus biasa; Akar sedang tidak ada;
Akar kasar sedikit; Baur.
Horizon Bw2; dengan kedalaman 33-53 cm; 10 YR
3/6coklat tua kekuningan; Liat berdebu; Gumpal bersudut;
Agak teguh; Agak Lekat, Agak Plastis; Pori mikro sedikit;
Pori meso sedikit; Pori makro sedikit; Akar halus biasa;
Akar sedang tidak ada; Akar kasar sedikit; Baur.

4.1.3 Morfologi Titik 3


Tabel 9. Morfologi Tanah Titik 3
Kode

Simbol Horizon

Kedalaman (cm)

0-50
10 YR 2/2
(hitam kecoklatan)
Lempung Liat Berdebu

Warna
Kelas Tekstur
Struktur
Konsistensi

Lembab

Gumpal Membulat
Gembur

34

Basah
Halus
Sedang
Kasar

Pori

Tidak Lekat, Agak Plastis


Sedikit
Sedikit
Sedikit

pH

6
Berdasarkan hasil pengamatan tanah pada titik 3, pengamatan berada pada

koordinat TM 0676884, 9133673, dan berada pada elevasi 1064 mdpl dengan
vegetasi kopi. Pada titik 3 hanya ditemukan 1 horizon yaitu A yang memiliki
kedalaman 0-50 cm. Horizon A ini memiliki warna hitam kecoklatan atau disebut
10 YR 2/2, seperti yang dikatakan Hardjowigeno

(2007) bahwa horizon A

merupakan horizon di permukaan tanah yang terdiri dari campuran bahan organik
dan bahan mineral berwarna lebih gelap daripada horison di bawahnya. Pada
horizon ini juga memiliki kelas tekstur lempung liat berdebu yang berarti
memiliki rasa licin yang jelas, dapat membentuk bola teguh dan gulungan yang
mengkilat serta dapat melekat. Dari hasil pengamatan, struktur yang didapatkan
adalah gumpal membulat. Menurut Quirk (1987) dalam Handayani dan
Sunarminto (2002), terdapat pengelompokan struktur tanah, yaitu struktur tanah
berbutir (granular/gumpal membulat), umumnya terdapat pada horizon A. Horizon
A ini juga memiliki konsistensi lembab gembur dengan konsistensi basah Tidak
lekat dan agak plastis. Pori yang di amati baik halus, sedang, dan kasar di
dapatkan hasil yang sama yaitu sedikit. Horizon A memiliki pH sebesar 6.

Tabel 10. Deskripsi Horizon Titik 3


Horizon

4.2

Deskripsi
Horizon A; dengan kedalaman 0-50 cm; 10 YR 2/2 hitam
kecoklatan; Lempung liat berdebu; Gumpal membulat;
Gembur; Tidak lekat, Agak Plastis; Pori mikro sedikit; Pori
meso sedikit; Pori makro sedikit; Akar halus tidak ada; Akar
sedang sedikit ; Akar kasar tidak ada.

Klasifikasi Tanah

4.2.1 Epipedon dan Endopedon


Tabel 11. Epipedon dan Endopedon

35

Titik

Epipedon

B1.1

Umbrik

Endopedon
Kambik

B1.2

Umbrik

Kambik

B1.3

Umbrik

Kambik

A. Titik B1.1
Berdasarkan pengamatan dan klasifikasi tanah menurut USDA (2014), maka
didapatkan hasil bahwa tanah pada titik dapat diklasifikasikan dalam epipedon
umbrik. Hal tersebut diperkuat dengan data yang menunjukkan masuknya syaratsyarat tanah titik B1.1 dalam epipedon umbrik. Warna tanah pada titik B1.1
adalah 10 YR 2/1 (hitam) yang sesuai dengan syarat epipedon umbrik yaitu
memiliki nilai value dan chroma kurang dari atau sama dengan 3 pada keadaan
lembab. Dilihat dari kedalaman tanah, horizon pertama pada titik B1.1 memiliki
kedalaman 23 cm sehingga sudah memenuhi syarat untuk masuk dalam epipedon
umbrik. Adapun nilai pH-nya adalah 6. Hal ini menunjukkan bahwa kejenuhan
basanya <50% karena nilai pH 6 tergolong asam. Nilai kejenuhan basa tersebut
memenuhi syarat dari epipedon umbrik yaitu memiliki kejenuhan basa (NH4OAc)
<50%.
Berdasarkan pengamatan dan klasifikasi tanah menurut USDA (2014), maka
didapatkan hasil bahwa tanah pada titik B1.1 dapat diklasifikasikan dalam
endopedon kambik. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri tanah tersebut yang
memenuhi syarat dari endopedon kambik. Warna tanah endopedon adalah 10 YR
3/2 (coklat tua), dimana baik nilai value dan chromanya kurang dari atau sama
dengan 3 (lembab) yang merupakan jenis endopedon kambik. Kedalaman tanah
adalah 23-50 cm dimana nilainya telah melebihi 15 cm. Tekstur tanah lempung
berdebu yang termasuk pada tekstur halus juga termasuk dalam karakteristik tanah
kambik. Serta letak endopedon bukan pada horizon Ap melainkan pada horizon B.
Menurut Rahayu dkk. (2014), tanah dikategorikan ke dalam endopedon kambik
karena telah mengalami perkembangan struktur tanah.
B. Titik B1.2
Berdasarkan pengamatan dan klasifikasi tanah menurut USDA (2014), maka
didapatkan hasil bahwa tanah pada titik dapat diklasifikasikan dalam epipedon
umbrik. Hal ini dikarenakan tanah yang diamati pada titik B1.2 memiliki ciri-ciri

36

yang memenuhi syarat tanah jenis umbrik. Kedalaman tanah pada titik ini yaitu 19
cm yang mana telah memenuhi karakteristik tanah umbrik yaitu memiliki
kedalaman 18 cm, dan warna tanah 10 YR 2/1 (hitam) dimana nilai dari warna
ini juga memenuhi karakteristik dari umbrik karena baik nilai value maupun
chroma 3. Adapun nilai pH-nya adalah 6. Hal ini menunjukkan bahwa kejenuhan
basanya <50% karena nilai pH 6 tergolong asam. Nilai kejenuhan basa tersebut
memenuhi syarat dari epipedon umbrik yaitu memiliki kejenuhan basa (NH4OAc)
<50%.
Berdasarkan pengamatan dan klasifikasi tanah menurut USDA (2014), maka
didapatkan hasil bahwa tanah pada titik B1.2 dapat diklasifikasikan dalam
endopedon kambik. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri tanah tersebut yang
memenuhi syarat dari endopedon kambik. Warna tanah endopedon adalah 10 YR
3/3 (coklat tua), dimana baik nilai value dan chromanya kurang dari atau sama
dengan 3 (lembab) yang merupakan jenis endopedon kambik. Kedalaman tanah
adalah 19-33 cm dimana nilainya telah melebihi 15 cm. Tekstur tanah lempung
berliat yang termasuk pada tekstur halus juga termasuk dalam karakteristik tanah
kambik. Serta letak endopedon bukan pada horizon Ap melainkan pada horizon B.
C. Titik B1.3
Berdasarkan pengamatan dan klasifikasi tanah menurut USDA (2014), maka
didapatkan hasil bahwa tanah pada titik dapat diklasifikasikan dalam epipedon
umbrik.Hal ini dikarenakan tanah yang diamati pada titik B1.3 memiliki ciri-ciri
yang memenuhi syarat tanah jenis umbrik. Kedalaman tanah pada titik ini yaitu 50
cm yang mana telah memenuhi karakteristik tanah umbrik yaitu memiliki
kedalaman 18 cm, dan warna tanah 10 YR 2/2 (hitam) dimana nilai dari warna
ini juga memenuhi karakteristik dari umbrik karena baik nilai value maupun
chroma 3. Adapun nilai pH-nya adalah 6. Hal ini menunjukkan bahwa kejenuhan
basanya <50% karena nilai pH 6 tergolong asam. Nilai kejenuhan basa tersebut
memenuhi syarat dari epipedon umbrik yaitu memiliki kejenuhan basa (NH4OAc)
<50%.
Berdasarkan pengamatan dan klasifikasi tanah menurut USDA (2014), maka
didapatkan hasil bahwa tanah pada titik B1.3 dapat diklasifikasikan dalam
endopedon kambik. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri tanah tersebut yang
memenuhi syarat dari endopedon kambik. Warna tanah endopedon adalah 10 YR

37

3/3 (coklat tua), dimana baik nilai value dan chromanya kurang dari atau sama
dengan 3 (lembab) yang merupakan jenis endopedon kambik. Kedalaman tanah
adalah 50-130 cm dimana nilainya telah melebihi 15 cm. Tekstur tanah lempung
liat berdebu yang termasuk pada tekstur halus juga termasuk dalam karakteristik
tanah kambik. Serta letak endopedon bukan pada horizon Ap melainkan pada
horizon B.
4.2.2 Ordo Subgrup
Tabel 12. Klasifikasi Ordo-Subgrup
Kelompok

B1

Titik

Ordo

Subordo

Grup

B1.1

Inceptisols

Udepts

Humudepts

B1.2

Inceptisols

Udepts

Humudepts

B1.3

Inceptisols

Udepts

Humudepts

Subgrup
Typic
Humudepts
Typic
Humudepts
Pachic
Humudepts

A. Titik B1.1
Berdasarkan pengamatan dan klasifikasi tanah menurut USDA (2014),
didapatkan hasil bahwa tanah pada titik B1.1 termasuk kedalam ordo Inceptisols.
Hal tersebut dikarenakan tanah pada titik B1.1 telah memenuhi ciri-ciri ordo
Inceptisols yaitu memiliki epipedon umbrik dan endopedon kambik. Hal ini juga
sesuai dengan ciri-ciri tanah inceptisols menurut Hardjowigeno (1993), yang
mengatakan bahwa Inceptisols adalah tanah yang memiliki epipedon okrik dan
horizon albik tetapi juga memiliki beberapa sifat penciri lain misalnya horizon
kambik, serta banyak ditemukan pada ekosistem hutan. Dalam bukunya
Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis dijelaskan pula bahwa Inceptisols merupakan
tanah immature atau belum matang dan perkembangan profilnya masih lemah
dibanding tanah yang matang.Di samping itu, tanah Inceptisols juga memiliki
tekstur yang bervariasi antara lempung dan lempung berdebu (Siregar, 2016).
Menurut USDA (2014), subordo Udepts adalah Inceptisols lain yang
memiliki ciri-ciri rezim lengas udik.Penentuan subordo ini selain berdasarkan
rezim lengasnya tetapi juga dari vegetasi. Vegetasi yang ditemukan dilapangan
adalah pohon mahoni, hal ini sesuai dengan ciri-ciri subordo udepts yaitu vegetasi
kebanyakan adalah hutan campuran kayu-keras. Berdasarkan ciri-ciri diatas, pada
titik B1.1 ini termasuk ke dalam subordo Udepts.

38

Berdasarkan subordo Udepts yang dimiliki tanah pada titik B1.1, tanah
tersebut termasuk kedalam great grup Humudepts dikarenakan memiliki epipedon
umbrik atau molik. Sedangkan untuk subgrup pada titik B1.1 termasuk kedalam
subgrup Typic Humudepts dikarenakan tidak memiliki ciri-ciri Humudepts yang
lain (USDA, 2014).
B. Titik B1.2
Berdasarkan pengamatan dan klasifikasi tanah menurut USDA (2014),
didapatkan hasil bahwa tanah pada titik B1.2 termasuk kedalam ordo Inceptisols.
Hal ini juga sesuai dengan ciri-ciri tanah Inceptisols menurut Hardjowigeno
(1993), yang mengatakan bahwa Inceptisols adalah tanah yang memiliki epipedon
Okrik dan horizon Albik tetapi juga memiliki beberapa sifat penciri lain misalnya
horizon Kambik, serta banyak ditemukan pada ekosistem hutan. Dalam bukunya
Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis dijelaskan pula bahwa Inceptisols merupakan
tanah immature atau belum matang dan perkembangan profilnya masih lemah
dibanding tanah yang matang.Di samping itu, tanah Inceptisols juga memiliki
tekstur yang bervariasi antara lempung dan lempung berdebu (Siregar, 2016).
Menurut USDA (2014),subordo Udepts adalah Inceptisols lain yang
memiliki ciri-ciri rezim lengas udik. Penentuan subordo ini selain berdasarkan
rezim lengasnya tetapi juga dari vegetasi. Vegetasi yang ditemukan dilapangan
adalah pohon mahoni dan kopi, hal ini sesuai dengan ciri-ciri subordo Udepts
yaitu vegetasi kebanyakan adalah hutan campuran kayu-keras. Berdasarkan ciriciri diatas, pada titik B1.2 ini termasuk ke dalam subordo Udepts.
Berdasarkan subordo Udepts yang dimiliki tanah pada titik B1.2, tanah
tersebut termasuk dalam great grup Humudepts dikarenakan memiliki epipedon
umbrik atau molik. Sedangkan untuk subgrup pada titik B1.1 termasuk kedalam
subgrup Typic Humudepts dikarenakan tidak memiliki ciri-ciri Humudepts yang
lain (USDA, 2014).
C. Titik B1.3
Berdasarkan pengamatan dan klasifikasi tanah menurut USDA (2014),
didapatkan hasil bahwa tanah pada titik B1.3 termasuk kedalam ordo Inceptisols.
Hal ini dikarenakan titik tersebut memenuhi ciri-ciri ordo Inceptisols menurut
USDA (2014), yaitu terdapat Horizon Kambik dan memiliki Epipedon
Umbrik.Hal ini juga sesuai dengan ciri-ciri tanah Inceptisols menurut
Hardjowigeno (1993), yang mengatakan bahwa Inceptisols adalah tanah yang

39

memiliki epipedon okrik dan horizon albik tetapi juga memiliki beberapa sifat
penciri lain misalnya horizon kambik, serta banyak di temukan pada ekosistem
hutan. Dalam bukunya Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis dijelaskan pula bahwa
Inceptisols merupakan tanah immature atau belum matang dan perkembangan
profilnya masih lemah dibanding tanah yang matang.Di samping itu, tanah
Inceptisols juga memiliki tekstur yang bervariasi antara lempung dan lempung
berdebu (Siregar, 2016).
Menurut USDA (2014), Udepts merupakan subordo dari tanah Inceptisols
(Other Inceptisols), dimana subordo ini memiliki ciri-ciri rezim lengas udik.
Penentuan subordo ini selain berdasarkan rezim lengasnya tetapi juga dari
vegetasi. Vegetasi yang ditemukan dilapangan pada sekitar titik pengamatan
adalah pohon mahoni dan kopi, hal ini sesuai dengan ciri-ciri subordoUdepts yaitu
vegetasi kebanyakan adalah hutan campuran kayu-keras. Berdasarkan ciri-ciri
diatas, pada titik B1.3 ini termasuk ke dalam subordo Udepts.
Berdasarkan subordo Udepts yang dimiliki tanah pada titik B1.3, tanah
tersebut termasuk dalam great grup Humudepts dikarenakan memiliki epipedon
umbrik atau molik. Sedangkan untuk subgrup pada titik B1.3 termasuk kedalam
subgrup Pachic Humudepts dikarenakan memiliki ciri-ciri Humudepts dengan
epipedon umbrik atau molik hingga kedalaman 50 cm (USDA, 2014).

4.2

Kemampuan Lahan

4.3.1 Kemampuan Lahan Titik 1


Tabel 13. Kemampuan Lahan Titik 1
Faktor penghambat / pembatas
1. Lereng
2. Kepekaan erosi
3. Tingkat erosi
4. Kedalaman tanah
5. Tekstur lapisan atas
6. Tekstur lapisan bawah
7. Permeabilitas
8. Drainase
9. Kerikil/ Batuan
10. Bahaya banjir

Keterangan
20 %
Permukaan, Rendah
Ringan
Dalam
Lempung Berdebu
Lempung Berdebu
Lambat
Agak baik
Tidak ada
Tidak ada

Kelompok
D
KE2
e1
k0
t3
t1
P1
d2
b0
O0

Kelas
IV
I
II
I
I
I
V
II
I
I
40

11. Garam/ salinitas


Kelas Kemampuan Lahan

Vs

Dari data pengamatan kemampuan lahan di atas didapatkan bahwa lahan


pada titik 1 berada pada kelas V, dengan faktor pembatas pada lahan tersebut ialah
s yaitu pembatas perkembangan akar tanaman. Pada titik 1 ditemukan tanaman
talas dan mahoni. Dilihat dari tanaman yang terdapat pada titik1, lahan tersebut
digunakan sebagai hutan produksi. Menurut Rayes (2007) bahwa tanah pada kelas
V dapat digunakan untuk padang rumput, padang penggembalaan, hutan produksi
ataupun suaka-alam. Maka dari itu lahan pada titik 1 memang dapat
diperuntukkan sebagai hutan produksi. Pada kelas V tanah tersebut menyulitkan
pengolahan tanah untuk tanaman semusim. Selain itu, pada umumnya terletak
pada topografi yang datar, tetapi tergenang air sehingga sering sekali dilanda oleh
banjir. Berdasarkan literatur tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa
penggunaan lahan pada tanah di titik 1 yaitu hutan produksi telah sesuai dengan
kemampuan dari tanah tersebut yaitu pada kelas V.

4.3.2 Kemampuan Lahan Titik 2


Tabel 14. Kemampuan Lahan Titik 2
Faktor penghambat / pembatas
1.
Lereng
2.
Kepekaan erosi
3.
Tingkat erosi
4.
Kedalaman tanah
5.
Tekstur lapisan atas
6.
Tekstur lapisan bawah
7.
Permeabilitas
8.
Drainase
9.
Kerikil/ Batuan
10.
Bahaya banjir

Keterangan
20 %
Permukaan, Rendah
Ringan
Dalam
Lempung Berdebu
Lempung Berliat
Lambat
Agak baik
Tidak ada
Tidak ada

Kelompok
D
KE2
e1
k0
t3
t2
P1
d2
b0
O0

Kelas
IV
I
II
I
I
I
V
II
I
I

41

11.

Garam/ salinitas
Kelas Kemampuan Lahan

Vs

Dari data pengamatan kemampuan lahan di atas didapatkan bahwa lahan


pada titik 2 berada pada kelas V, dengan faktor pembatas pada lahan tersebut ialah
s yaitu pembatas perkembangan akar tanaman. Pada titik 2 ditemukan tanaman
kopi. Dilihat dari tanaman yang terdapat pada titik 2, lahan tersebut digunakan
sebagai hutan produksi. Menurut USDA via artikel dokumen.tips ( 2014 ) , Tanah
kelas V tidak sesuai ditanami dengan tanaman semusim., tetapi lebih sesuai untuk
di tanami dengan vegetasi permanen seperti tanaman kehutanan.
Tanah kelas V umumnya terletak pada topografi yang datar, tetapi tergenang
air sehingga sering sekali dilanda oleh banjir. Tanah kelas V juga dapat di indikasi
dengan tanah yang terlalu banyak batuan di atas permukaan tanah atau lahan.
Berdasarkan literatur tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan
lahan pada tanah di titik 2 yaitu hutan produksi khususnya untuk tanaman kopi
telah sesuai dengan kemampuan dari tanah tersebut yaitu pada kelas.

4.3.3 Kemampuan Lahan Titik 3


Tabel 15. Kemampuan Lahan Titik 3
Faktor penghambat /pembatas
1. Lereng
2. Kepekaan erosi
3. Tingkat erosi
4. Kedalaman tanah
5. Tekstur lapisan atas
6. Tekstur lapisan bawah
7. Permeabilitas
8. Drainase
9. Kerikil/ Batuan
10. Bahaya banjir
11. Garam/ salinitas

Keterangan
40 %
Permukaan, Sedang
Sedang
Dalam
Lempung Berdebu
Lempung Berdebu
Agak Cepat
Cepat
Tidak ada
Tidak ada
Kelas kemampuan lahan

Kelompok Kelas
E
VI
KE3
II
e2
III
k0
I
t2
I
t2
I
P4
III
d4
IV
b0
I
O0
I
VIe

42

Dari data pengamatan kemampuan lahan di atas didapatkan bahwa lahan


pada titik 3 berada pada kelas VI, dengan faktor pembatas pada lahan tersebut
ialah e yaitu pembatas perkembangan akar tanaman. Pada titik 3 ditemukan
tanaman sengon dan kopi dengan kondisi kelerengan yang agak curam. Menurut
Rayes (2007) bahwa tanah pada kelas VI dapat digunakan dan terbatas untuk
untuk padang rumput, padang penggembalaan, hutan produksi ataupun suakaalam. Maka dari itu lahan pada titik 3 memang dapat diperuntukkan sebagai hutan
produksi. Pada kelas VI tanah tersebut memiliki faktor penghambat berupa,
bahaya erosi yang berat, lereng curam, lahan yang berbatu, zona perakaran
dangkal, kelebihan air ataupun kebanjiran, kapasitas menahan air rendah serta
salinitas tinggi dan iklim yang tidak mendukung. Pada tanah kelas VI terletak
pada lereng yang agak curam, sehingga jika ingin
pengembalaan dan hutan produksi,

di gunakan untuk

harus di kelola dengan baik untuk

menghindari erosi. Berdasarkan literatur tersebut maka dapat diambil kesimpulan


bahwa penggunaan lahan pada tanah di titik 3 yaitu hutan produksi telah sesuai
dengan kemampuan dari tanah tersebut yaitu pada kelas VI.

4.4

Kesesuaian Lahan

4.4.1 Kesesuaian Lahan Aktual


a) Kesesuaian Lahan Aktual Tanaman Talas di Titik 1
Tabel 16. Kesesuaian Lahan Aktual Talas Titik 1
Persyaratan
Penggunaan

Kelas kesesuaian Lahan


S1

Temperatur (tc)
Rata-rata
25-32
tahunan (0C)
Ketersediaan air (wa)
Bulan Kering
23
(<75)
Curah hujan
(mm/ tahun)
2000
3000
Kelembaban

45 - 80

DATA

AKTUAL

<20

23,5

S2

1 2 bulan

>4000

1595

S3

<30

77,5

S1

S2

S3

>32;
22-25

20-22

35

56

1750
2000
3000
3500
35 45

1500
1750
3500
4000
>90 ;

43

nisbi (%)
LGP (hari)
Media perakaran (rc)
Drainase
Baik,
tanah
agak
terham
bat
Tekstur
Agak
halus,
sedang
Kedalaman
>75
efektif (cm)
Gambut
Kematangan
Saprik
+
Ketebalan
<60
(cm)
Retensi hara (nr)
KTK tanah
>16
pH tanah
5,5
6,5
C-Organik
(%)
Kejenuhan
basa (%)
Toksisitas (xc)
Persyaratan
Penggunaan

30 - 35
-

Agak
cepat,
sedang

Terham
bat

Sangat
terhambat,
cepat

Sedang

Halus,
agak
kasar

Agak
halus

Kasar

Lempung
berdebu

S1

50-75
Saprik,
hemik
+
60
140
16
5,0 5,5
6,5 7,5

S2

25-50

<25

170

S1

Hemik,
fibrik +

Fibrik

140
200

>200

S1

<5,0
>7,5

>0,8

0,8

35

<35

DATA

AKTUAL

S1
Salinitas
<2
(mmhos/cm)
Sodisitas (xn)
Alkalinitas
<25
(%)
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman
>100
sulfide (cm)
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%)
<3
Bahaya erosi
Sanga
t
rendah
Penyiapan lahan (lp)
Batuan
permukaan
<3
(%)

Kelas kesesuaian Lahan


S2

S3

2-3

3-4

>4

25-35

35-45

>45

75-100

40-75

<40

3-8
Rendah

sedang

8-15

>15

20

Berat

Sangat
berat

Ringan

S2

15-40

>40

Tidak
ada

S1

3-15

44

Singkapan
<2
batuan (%)
Bahaya banjir (fh)
Genangan
F0
ORDO
KELAS
SUB KELAS

2-10
F1

10-25
F2

>25

Tidak
ada

S1

>F2
N
N
N eh

Dari hasil pengamatan tanaman talas di titik satu, didapatkan data


kesesuaian lahan seperti tabel diatas. Syarat kesesuaian lahan untuk tanaman talas
pada lahan tersebut pada umumnya sudah sesuai, namun hanya ada sedikit
pembatas yang menyebabkan kelas sesuaian lahan menjadi bernilai N atau tidak
sesuai. Bisa dilihat pada tabel diatas bahwa kelembaban, tekstur tanah, kedalaman
efektif, pH tanah, Batuan permukaan dan Singkapan batuan pada lahan tersebut
sangat sesuai dan sangat menunjang pertumbuhan tanaman talas pada lahan
tersebut, hal ini karena faktor-faktor tersebut berada pada nilai kesesuaian lahan
S1. Untuk data suhu, drainase tanah, dan bahaya erosi menunjukan nilai keseuaian
lahan S2, sedangkan data curah hujan menunjukan nilai S3 pada kesesuaian lahan
talas. Hal ini berarti lahan tersebut masih cukup sesuai dalam menunjang
pertumbuhan tanaman talas di daerah tersebut.
Satu faktor yang menjadi pembatas utama dalam budidaya tanaman talas di
daerah tersebut adalah dengan adanya kelerengan sebesar 20%. Tanaman talas
sesuai jika ditanam di lahan dengan kelerengan dibawah 15% agar hasil produksi
lebih optimal. Kelerengan yang lebih dari 15% ini menyebabkan terjadinya
bahaya erosi pada lahan. Dimana jika terjadi erosi maka tentunya akan
menyebabkan kerugian bagi kegiatan budidaya talas pada lahan tersebut.
Meskipun kelas kesesuaian lahan tanaman talas pada lahan tersebut tergolong N
atau tidak sesuai, namun pada kenyataannya tanaman talas masih bisa
mengahasilkan produktivitas yang tinggi karena syarat tumbuh selain kelerengan
tergolong sesuai dalam menunjang pertumbuhan tanaman talas, selain itu pula
lahan tersebut masih tergolong dalam lahan di hutan sehingga bahaya erosinya
masih sedikit.
b) Kesuaian Lahan Aktual Tanaman Mahoni di Titik 1
Tabel 17. Kesesuaian Lahan Aktual Mahoni Titik 1
Persyaratan
Penggunaan

Kelas kesesuaian Lahan

DATA

AKTUAL

45

S1
Temperatur (tc)
Rata-rata
25-30
tahunan (0C)
Ketersediaan air (wa)
Bulan Kering
<3
(<75)
Curah hujan
2000
(mm/ tahun)

3000
Kelembaban
45
nisbi (%)
80
LGP (hari)
Media perakaran (rc)
Drainase tanah Baik

Tekstur

Kedalaman
efektif (cm)
Gambut
Kematangan
Persyaratan
Penggunaan
Ketebalan (cm)

S2

S3

>30;
21-<25

Td

Td

23,5

S1

>3 4

Td

>3000
3500
1750
<2000

1500
<1750
>3500
4000
>90 ;
30 - 35
-

Td

1595

S3

<30

77,5

S1

35 45
Agak
cepat,
sedang

L,
SCl,
SiL,
CL,
SiCL

SL, SC,
SiC, C

>150

100-150

Saprik

Cepat,
Agak
terhamb
at
LS,
StrC,
Liat
masiv

Terham
bat

Sedang

Td

Lempun
g
berdebu
(SL)

75 <100
Hemik

<60

Retensi hara (nr)


KTK tanah
>16
pH tanah
5,5
7,0
C-Organik (%)
>0,8
Kejenuhan
35
basa (%)
Toksisitas (xc)
Salinitas
<2
(mmhos/cm)
Sodisitas (xn)
Alkalinitas (%)
<25
Bahaya sulfidik (xs)

S2

50 <75

150

S1

HemikFibrik

DATA

AKTUAL

>200

Kelas kesesuaian Lahan


S1

S2

S2
60
140

S3
140 200

16
5,0 <5,5
<7,0 7,5
0,8

4,5 <5,0
>7,5
8,0
-

S1

<35

2-3

3-4

>4

25-35

35-45

>45

46

Kedalaman
>100
sulfide (cm)
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%)
<8
Bahaya erosi
Sanga
t
Ringa
n
Penyiapan lahan (lp)
Batuan
<3
permukaan (%)
Singkapan
<2
batuan (%)
Bahaya banjir (fh)
Genangan
F0
ORDO
KELAS
SUB KELAS

75-100

40-75

<40

8-15

>15-30

>30-50

20

S3

Ringan

Sedang

Berat

Ringan

S2

3-15

15-40

>40

2-10

10-25

>25

F1

F2

>F2

Tidak
ada
Tidak
ada
-

S1
S1
S
S3
S3 wa,eh

Berdasarkan data yang diperoleh diatas, dapat diketahui bahwa faktor


pembatas dalam kesesuaian lahan tanaman mahoni adalah curah hujan sebesar
1595 mm/th dan kelerengan yang bernilai 20% sehingga masuk kedalam kelas S3.
Sebenarnya, faktor yang masuk kedalam S3 tersebut merupakan faktor yang
sangat berpengaruh dalam kesesuaian lahan mahoni.Temperatur merupakan faktor
penghambat yang bersifat permanen dikarenakan karateristik tersebut sangat sulit
utuk diperbaiki. Faktor yang menjadi penghambat utama yaitu, curah hujan.
Curah hujan merupakan faktor pembatas permanen yang sulit untuk diperbaiki.
Walaupun sekarang ini sudah bisa dibuat hujan buatan dengan memanfaatkan
teknologi, akan tetapi biaya yang diperlukan untuk hala tersebut sangatlah besar,
sehingga masih tidak mungkin untuk diterapkan.
c) Kesesuaian lahan aktual tanaman kopi di titik 2
Tabel 18. Kesesuaian Lahan Aktual Kopi Titik 2
Persyaratan
Penggunaan

Kelas kesesuaian Lahan


S1

Temperatur (tc)
Rata-rata
22
tahunan (0C)
25
Ketersediaan air (wa)
Bulan Kering
23
(<75)

DATA

AKTUAL

< 19

23,5

S1

12
bulan

S2

S3

25-28

19-22 ;
28-32

3-5

56

47

Curah hujan
(mm/ tahun)

Kelembaban
45
nisbi (%)
80
LGP (hari)
Media perakaran (rc)
Drainase tanah Baik

Tekstur

Kedalaman
efektif (cm)
Gambut
Kematangan
Ketebalan (cm)

1750
2000
3000
3500

2000

3000

Halus,
agak
halus,
sedan
g

35 - 45
Agak
baik

1500
1750
3500
4000
>90 ;
30 35
Agak
terhamb
at, agak
cepat
Agak
kasar

<30

77,5

S1

Terham
bat,
sangat
terhamb
at, cepat
Kasar,
sangat
halus

Lambat
N

<50

93

S2

Fibrik

>200

Td

S1

1-2

>2

75
125

<75

16 50

>50

25

S3

Berat

Sangat
berat

Ringan

S2

50 75

Saprik
+

Saprik,
hemik +

<60

60 - 140

Hemik,
fibrik +
140
200

C-Organik (%)
>0,8
Kejenuhan
>20
20
basa (%)
Toksisitas (xc)
Salinitas
<1
(mmhos/cm)
Sodisitas (xn)
Alkalinitas (%)
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman
125 >175
sulfide (cm)
175
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%)
<8
8 - 16
Bahaya erosi
Sanga
Rendah
t
- sedang
rendah
Penyiapan lahan (lp)

S3

S1

75 - 100

16
6,5
7,0
5,0
5,5
0,8

1595
>4000

Lempun
g
berdebu

>100

Retensi hara (nr)


KTK tanah
>16
pH tanah
5,5
6,5

<1500

>7,0
<5,0

48

Batuan
<5
permukaan (%)
Singkapan
<5
batuan (%)
Bahaya banjir (fh)
Genangan
F0
ORDO
KELAS
SUB KELAS

5-15

15-40

>40

5 - 15

15 25

>25

F0

F1

Tidak
ada
Tidak
ada

S1
S1

>F1
N
N
N rc

Berdasarkan hasil pengamatan pada titik 2 diperoleh data kesesuaian lahan


dimana ada 6 indikator yang masuk kedalam S1. Ordo S melambangkan
kesesuaian antara sumber daya alam yang ada dipadukan dengan pemanfaatan
yang tepat, seperti komoditas kopi yang tidak memberikan resiko terhadap
kerusakan. Ordo S menunjukkan keuntungan lebih besar dari masukan yang
diberikan. Indikator yang sangat sesuai ialah rata-rata suhu tahunan, kelembaban,
tekstur tanah, pH, batuan permukaan, dan singkapan permukaan. Faktor
penghambat dari komoditas kopi tersebut ialah keadaan lereng, yang
menunjukkan angka kelerengan sebesar 25%. Hal ini menunjukkan bahwa lahan
mempunyai faktor pembatas agak berat untuk mempertahakan pengelolaan yang
secara berlanjut sehingga dikategorikan kedalam S2 yakni cukup sesuai.
Menurut Rusdiana (2012), bahwa wilayah yang bersifat lereng kurang
menunjang untuk keberlangsungan pertumbuhan tanaman kopi agar dapat berdiri
tegak karena bentuk perakaran pohon kopi robusta tunjang dan mendatar. Apabila
keadaan tanah tersebut termasuk kategori lereng, hal ini akan menyulitkan dalam
penyerapan unsur hara dan metabolisme tanaman.
Tanaman kopi, pada peta zonasi juga tersebar di wilyah SPL 1, SPL 2, SPL
3, SPL 4, SPL 5, dan juga di SPL 7. Kesesuaian lahan aktual tanaman kopi pada
pedon tipikal yang terdapat pada SPL 1 memiliki kelas kesesuaian lahan S3
dengan faktor pembatas berupa curah hujan (wa) dan kelerengan (eh). Kelas S3,
mwnunjukkan bahwa kondisi tanaman kopi pada wilayah SPL 1 sesuaian marjinal
atau sesuai namun poduktifitas nya lebih rendah dibanding dengan produktivitas
optimalnya.
Pada SPL 2, kesesuaian lahan aktual tanaman kopi adalah N eh. Kelas N
eh menunjukkan bahwa tanaman kopi pada SPL 2 adalah tidak sesuai yang
disebabkan oleh faktor pembatas kelerengan.

49

Tanaman kopi pada SPL 3 memiliki kelas kesesuaian lahan N, dengan


faktor pembatas kelerengan sehinggan kelas kesesuaianya N, eh. Kesesuaian lahan
aktual ini menunjukkan bahwa tanaman kopi tidaksesuai dibudidayakan di
wilayan SPL 3.
SPL 4 tanaman kopi memilikii kesesuaian lahan aktual yaitu pada ordo S
dengan sub ordo S3 dan faktor pembatas berupa curah hujan. Kelas kesesuaian
lahan aktual tanaman kopi pada SPL 4 adalah S3 wa. Kelas tersebut, menunjukkan
bahwa tanaman kopi pada SPL 4 sesuai marjinal.
SPL 5 tanaman kopi memiliki kesesuaian lahan yaitu N dengan faktor
pembatas berupa kelerengan sehingga kelas kesesuaianya adalah N eh. Kelas
kesesuaian N (Not Suitable) menunjukkan bahwa tanaman kopi memang tidak
sesuai untuk dibudidayakan di wilayah SPL 5.
Kesesuaian lahan aktual kopi di SPL 7 adalah pada ordo N dengan faktor
pembatas berupa kelerengan yang tergolong curam, sehingga kelas kesesuaian
lahan aktual tanaman kopi di SPL 7 adalah N eh. Dengan kelas kesesuaian lahan
N eh, menunjukkan bahwa tanaman kopi memang tidak sesuai untuk
dibudidayakan di SPL 7, kecuali terdapat perbaikan pada wilayah tersebut sesuai
dengan persyaratan tumbuh tanaman kopi.

d) Kesesuaian Lahan Aktual Tanaman Talas di Titik 2


Tabel 19. Kesesuaian Lahan Aktual Talas Titik 2
Persyaratan
Penggunaan

Kelas kesesuaian Lahan


S1

Temperatur (tc)
Rata-rata
25-32
tahunan (0C)
Ketersedian air (wa)
Bulan Kering
23
(<75)
Curah hujan
(mm/ tahun)
2000 3000
Kelembaban
nisbi (%)

45 80

S2

S3

DAT
A

>32;
22-25

20-22

<20

23,5

S2

35

56

12
bulan

1750
2000
3000
3500

1500
1750
3500
4000
>90 ;
30 35

>4000

1595

S3

<30

77,5

S1

35 45

AKTUAL

50

LGP (hari)
Media perakaran (rc)
Drainase
Baik,
tanah
agak
terha
mbat
Tekstur
Agak
halus,
sedan
g
Kedalaman
>75
efektif (cm)
Gambut
Kematangan
Saprik
+
Ketebalan
<60
(cm)
Retensi hara (nr)
KTK tanah
>16
pH tanah
5,5
6,5
C-Organik
>0,8
(%)
Kejenuhan
35
basa (%)
Toksisitas (xc)
Salinitas
<2
Sodisitas (xn)
Alkalinitas
<25
(%)
Persyaratan
Penggunaan

S1
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman
>100
sulfide (cm)
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%)
<3
Bahaya erosi
Sanga
t
renda
h
Penyiapan lahan (lp)
Batuan
permukaan
<3
(%)
Singkapan
<2
batuan (%)
Bahaya banjir (fh)

Agak
cepat,
sedang

Terham
bat

Sangat
Lam
terhamb bat
at, cepat

Halus,
agak
kasar

Agak
halus

Kasar

S3

Lem
pung
berd
ebu

S1

<25

170

S1

Fibrik

>200

50-75

25-50

Saprik,
hemik +
60
140

Hemik,
fibrik +
140
200

16
5,0 - 5,5
6,5 - 7,5

<5,0
>7,5

S1

0,8

<35

2-3

3-4

>4

25-35

35-45

>45

Kelas kesesuaian Lahan

DATA

AKTUAL

<40

8-15

>15

25

Rendah

sedang

Berat

Sangat
berat

Ringa
n

S2

3-15

15-40

>40

Tidak
ada

S1

2-10

10-25

>25

Tidak
ada

S1

S2

S3

75-100

40-75

3-8

51

Genangan
ORDO
KELAS
SUB KELAS

F0

F0

F1

>F1
N
N
N eh

Berdasarkan hasil pengamatan tanaman talas di titik 2, syarat kesesuaian


lahan untuk tanaman talas pada lahan tersebut umumnya sudah sesuai, namun
akan lebih sesuai jika tanaman talas ditanam pada titik 1. Faktor pembatas pada
titik 2 yaitu kelerengan dengan nilai N. Dapat dilihat bahwa kelembaban, tekstur
tanah, kedalaman efektif, pH tanah, batuan permukaan, dan singkapan batuan
pada lahan tersebut sangat sesuai dan sangat menunjang pertumbuhan tanaman
talas pada lahan tersebut, hal ini karena faktor-faktor tersebut berada pada nilai
kesesuaian lahan S1. Untuk data suhu dan bahaya erosi menunjukan nilai
keseuaian lahan S2, sedangkan untuk data curah hujan menunjukan nilai S3 untuk
kesesuaian lahan talas pada lahan tersebut. Hal ini berarti lahan tersebut masih
cukup sesuai dalam menunjang pertumbuhan tanaman talas. Faktor drainase tanah
pada lahan tersebut dikategorikan kurang sesuai untuk budidaya tanaman talas, hal
ini karena drainase tanah masuk ke dalam kelas S3 dalam kesesuaian lahan
tanaman talas didaerah tersebut.
Faktor pembatas dalam budidaya tanaman talas pada titik 2 adalah adanya
lereng sebesar 25%. Tanaman talas sesuai jika di tanam dilahan dengan
kelerengan dibawah 15% agar hasil produksi lebih optimal. Kelerengan yang
lebih dari 15% ini menyebabkan terjadinya bahaya erosi pada lahan. Dimana jika
terjadi erosi maka tentunya akan menyebabkan kerugian bagi kegiatan budidaya
talas pada lahan tersebut. Meskipun kelas kesesuaian lahan tanaman talas pada
lahan tersebut tergolong N atau tidak sesuai, namun pada kenyataannya tanaman
talas masih bisa mengahasilkan produktivitas yang tinggi karena syarat tumbuh
selain kelerengan tergolong sesuai dalam menunjang pertumbuhan tanaman talas,
selain itu pula lahan tersebut masih tergolong dalam lahan di hutan sehingga
bahaya erosinya masih sedikit.
Pada SPL 6, kesesuaian lahan aktual tanaman talas adalah pada kelas S3 nr.
Kelas kesesuaian lahan aktual ini menunjukkan bahwa tanaman talas yang
dibudidayakan pada SPL ini sesuai marjinal. Faktor penghambat pada SPL ini
adalah pH tanah.

52

SPL 8, kesesuaian lahan aktual tanaman talas adalah S3 eh. Kelas ini
menunjukkan bahwa tanaman talas masih sesuai dibudidayakan di wilayah SPL 3
namun sesuai marjinal. Faktor pembatas pada kesesuaian lahan aktual tersebut
adalah faktor kelerengan.
Kesesuaian lahan aktual tanaman talas di SPL 9 adalah kelas S3 nr. Kelas
kesesuaian tersebut menunjukkan bahwa tanaman talas di wilayah SPL 9 sesuai
marjinal untuk tanaman talas dengan faktor pembatas adalah pH tanah.
Keseuaian lahan aktual komoditas talas di SPL 10 S2 wa,eh. Hal ini
menunjukkan bahwa kegiatan budidaya tanaman talas di SPL 10 adalah agak
sesuai. Yang menjadi faktor pembatas kesesuaian lahan tanaman talas pada SPL
10 adalah curah hujan (wa) dan kelerengan (eh).
Pada SPL 11 kesesuaian aktual tanaman talas adalah termasuk kedalam
kelas S3 tc, wa, eh. Pada kelas ini menunjukkan bahwa tanaman talas yang
dibudiadayakan di wilayah SPL tersebut adalah sesuai marjinal dengan faktor
pembatas berupa temperatur (tc), curah hujan (wa) dan kelerengan (eh).

e) Kesesuaian lahan Aktual tanaman Sengon di titik 3


Tabel 20. Kesesuaian Lahan Aktual Sengon Titik 3
Persyaratan
Penggunaan

Kelas kesesuaian Lahan

S1
Temperatur (tc)
Rata-rata
20
0
tahunan ( C)
28
Ketersediaan air (wa)
Lama bulan
<6,5
Kering (bln)
Curah hujan
(mm/ tahun)
1500 2000

DATA

AKTUAL

S2

S3

18-20
28-30

16-18
30-38

< 16
>38

23,5

S1

6,5-7,5

7,5-8,5

>8,5

900
1500
2000
2500

600
900
2500
3000

1595

S1

<600
>3000

Media perakaran (rc)

53

Drainase
tanah
Tekstur
Bahan Kasar
(%)
Kedalaman
efektif (cm)
Gambut
Kematangan

Baik
sampa
i agak
baik
H, ah,
s, ak
<15

Agak
cepat

Terham
bat,
cepat

Sangat
Cepat
terhamb
at, cepat

H, ah, s,
ak
15-35

Halus

35-55

>55

>75

50 75

40 - 50

<50

170

S1

Saprik
+

Saprik,
hemik +

Hemik,
fibrik +

Fibrik

140-200

200-400

>400

60 - 140

140
200

>200

16
5,5-7,0
7,0-7,5

>5,5
>7,5

S1

0,4

35-50

<35

4-6

6-8

>8

DATA

AKTUAL

<40

>30

40

Sangat
berat

Ringan

S2

>40

Tidak
ada

S1

Sisipan/pengk
<140
ayaan
Ketebalan
<60
(cm)
Retensi hara (nr)
KTK tanah
>16
pH tanah
5,87,0
C-Organik
>0,4
(%)
Kejenuhan
>50
basa (%)
Toksisitas (xc)
Salinitas
<4
(mmhos/cm)
Sodisitas (xn)
Alkalinitas
(%)
Persyaratan
Penggunaan

S2
-

Kelas kesesuaian Lahan


S1

S2

S3

Bahaya sulfidik (xs)


Kedalaman
>100 75 - 100 40 - 755
sulfide (cm)
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%)
<8
8 - 16
16 - 30
Bahaya erosi
Sanga
Ringan t
Berat
sedang
ringan
Penyiapan lahan (lp)
Batuan
permukaan
(%)

S1

<5

5-15

15-40

54

Singkapan
<5
batuan (%)
Bahaya banjir (fh)
Genangan
F0

5 - 15
F1

15 - 25
F2

>25
>F3

Tidak
ada

S1

Tidak
ada

S1

ORDO
KELAS
SUB KELAS

N
N
N eh

Kesesuaian lahan aktual untuk tanaman sengon (Albizia chinensis) di titik 3


adalah termasuk kedalam ordo N yang artinya tidak sesuai (not suitable), untuk
kelas kesesuaina adalah kelas N atau tidak sesuai untuk kegiatan budidaya karena
memiliki faktor pembatas berupa kelerengan sebesar 40%, sehingga sub kelas
kesesuian lahanya adalah N eh. Menurut Djaenudin et al. (2000) tanaman
2Sengon akan tumbuh baik pada kelerengan <8% dengan bahaya erosi yang
sangat rendah. Penanaman Sengon pada areal yang bertopogafi miring atau
bergelombang menurut Atmosuseno (1999), perlu memperhatikan faktor terpaan
angin kencang. Pada daerah-daerah seperti punggung dan lembah bukit, angin
akan bertiup lebih kencang dibandingkan dengan areal yang datar. Sehingga
diperlukan upaya perlindungan khusus yaitu dengan penanaman secara campuran
(heterogen) dengan pohon jenis lain. Pohon pelindung yang dipilih sebaiknya
lebih tahan terhadap angin kencang, memiliki perakaran yang lebih kuat, berdaun
konifer dan bertajuk tidak rapat.

f)

Kesesuaian lahan Aktual tanaman Kopi di titik 3

Tabel 21. Kesesuaian Lahan Aktual Kopi Titik 3


Persyaratan
Penggunaan

S1
Temperatur (tc)
Rata-rata
22
tahunan (0C)
25
Ketersediaan air (wa)
Bulan Kering
23
(<75)
Curah hujan
2000
(mm/ tahun)

3000

Kelas kesesuaian Lahan

DATA

AKTUAL

S2

S3

25-28

19-22 ;
28-32

< 19

23,5

S1

3-5

56

12
bulan

1750
2000
3000
3500

1500
1750
3500
4000

<1500
>4000

1595

S3

55

Kelembaban
45
nisbi (%)
80
LGP (hari)
Media Perakaran (rc)
Drainase
Baik
tanah

Tekstur

Kedalaman
efektif (cm)
Gambut
Kematangan

Halus,
agak
halus,
sedan
g

Persyaratan
Penggunaan

Agak
baik

>90 ;
30 35
Agak
terhamb
at, agak
cepat
Agak
kasar

>100

75 - 100

50 75

Saprik
+

Saprik,
hemik +

Hemik,
fibrik +
140
200

Ketebalan
<60
(cm)
Retensi hara (nr)
KTK tanah
>16
pH tanah
5,5
6,5
C-Organik
(%)
Kejenuhan
basa (%)

35 - 45

60 - 140
16
6,5
7,0
5,0
5,5

<30

77,5

S1

Terham Cepat
bat,
sangat
terhamb
at, cepat
Kasar,
Lempung
sangat
berdebu
halus

S1

<50

170

S1

Fibrik

>200

Td

S1

>7,0
<5,0

>0,8

0,8

>20

20

DATA

AKTUAL

Kelas kesesuaian Lahan


S1

Toksisitan (xc)
Salinitas
<1
(mmhos/cm)
Sodisitas (xn)
Alkalinitas
(%)
Bahaya Sulfidix (xs)
Kedalaman
>175
sulfide (cm)
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%)
<8
Bahaya erosi
Sanga
t

S2

S3

1-2

>2

125 175

75
125

<75

8 - 16
Rendah
- sedang

16 50
Berat

>50
Sangat
berat

40
Berat

N
S3

56

rendah
Penyiapan lahan (lp)
Batuan
permukaan
<5
(%)
Singkapan
<5
batuan (%)
Bahaya Banjir (fh)
Genangan
F0
ORDO
KELAS
SUB KELAS

5-15

15-40

>40

Tidak ada

S1

5 - 15

15 25

>25

Tidak ada

S1

F0

F1

>F1
N
N
N rc, eh

Pada lahan pengamatan yang dilakukan pada titik tiga, didapatkan bahwa
kondisi tanah pada titik tiga termasuk dalam ordo sesuai. Jadi, lahan tersebut bisa
dijadikan sebagai lahan produksi. Factor penghambat yang memiliki nilai tinggi
yakni kelerengan pada lahan tersebut memiliki nilai sebesar 40%. Hal ini berarti
bahwa nilai tersebut termasuk ordo N yakni tidak sesuai. Menurut Djaebudin et,
al. (2000), tanaman kopi akan tumbuh dengan baik pada kelerengan <8%.

4.4.2 Kesesuaian Lahan Potensial


a) Kesesuaian lahan Potensial tanaman talas di titik 1
Tabel 22. Kesesuaian Lahan Potensian Talas Titik 1
Persyaratan
Penggunaan

Kelas kesesuaian Lahan


S1

Temperatur (tc)
Rata-rata
25-32
tahunan (0C)
Ketersediaan air (wa)
Bulan Kering
23
(<75)
Curah hujan
2000 -

S2

S3

>32;
22-25

20-22

<20

35

56

1750

1500

12
bulan
>4000

DATA

AKTUAL

POTENSIAL

23,5

S2

S2

1595

S3

S3
57

(mm/ tahun)

2000
3000
3500

3000
Kelembaban
45 nisbi (%)
80
LGP (hari)
Media perakaran (rc)
Drainase
Baik,
tanah
agak
terha
mbat
Tekstur

Kedalaman
efektif (cm)

35 - 45
-

Agak
halus,
sedan
g

1750
3500
4000
>90 ;
30 - 35
-

<30

77,5

S1

S1

S2

S1

Lempun
g
berdebu

S1

S1

Agak
cepat,
sedang

Terham
bat

Sangat
Sedang
terhamb
at, cepat

Halus,
agak
kasar

Agak
halus

Kasar

>75

50-75

25-50

<25

170

S1

S1

Saprik
+

Saprik,
hemik +

Hemik,
fibrik +

Fibrik

60 - 140

140
200

>200

<5,0
>7,5

S1

S1

Gambut
Kematangan

Ketebalan
<60
(cm)
Retensi hara (nr)
KTK tanah

>16

pH tanah

5,5
6,5

16
5,0 - 5,5
6,5 - 7,5

>0,8

0,8

35

<35

DATA

AKTUAL

POTENSIAL

C-Organik
(%)
Kejenuhan
basa (%)
Persyaratan
Penggunaan
Toksisitas (xc)
Salinitas
(mmhos/cm)

Kelas kesesuaian Lahan


S1

S2

S3

<2

2-3

3-4

>4

25-35

35-45

>45

75-100

40-75

<40

Sodisitas (xn)
Alkalinitas
<25
(%)
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman
>100
sulfide (cm)
Bahaya erosi (eh)

58

Lereng (%)
Bahaya erosi

<3
3-8
Sanga
Rendah
t
- sedang
rendah
Penyiapan lahan (lp)
Batuan
permukaan
<3
(%)
Singkapan
<2
batuan (%)
Bahaya banjir (fh)
Genangan
F0
ORDO
KELAS
SUB KELAS

8-15

>15

20

Berat

Sangat
berat

Ringan

S2

S1

3-15

15-40

>40

Tidak
ada

S1

S1

2-10

10-25

>25

Tidak
ada

S1

S1

F0

F1

>F1
N
N
N eh

N
N
N eh

Berdasarkan hasil pengamatan kelas kesesuaian lahan tanaman talas di titik


1 bahwa faktor kelas kesesuaian lahan yang masih bisa diperbaiki agar dapat
sesuai dengan syarat tumbuh tanaman talas yaitu faktor drainase tanah dan bahaya
erosi. Faktor kelerengan dapat diperbaiki dengan pembuatan terasering, namun
karena kondisi lahan merupakan lahan hutan dan masih tergolong alami, maka
pembuatan terasering tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan menimbulkan
kerusakan terhadap kondisi hutan.
Faktor bahaya erosi bisa diusahakan dengan perbaikan drainase tanah dan
penanaman tanaman atau pohon yang memiliki akar kuat, sehingga air lebih
terserap ke dalam tanah dan dapat mengurangi bahaya erosi. Drainase tanah bisa
diusahakan dengan perbaikan tekstur dan porositas tanah yang dilakukan dengan
pemberian bahan organik melalui pupuk organik dan penanaman tanaman yang
memiliki akar yang kuat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stevenson (1982),
bahwa pemberian bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik tanah yaitu tekstur
tanah dan porositas tanah. Dengan memperbaiki porositas tanah maka akan
meningkatan kemampuan tanah dalam menahan air. Porositas itu sendiri
merupakan ukuran yang menunjukan perbandingan pori tanah yang dapat terisi
oleh udara dan air. Pori tanah sendiri terbagi menjadi pori mikro yang biasa
dikenal sebagai pori kapiler, pori meso sebagai pori drainase lambat, dan pori
makro dengan pori drainase cepat.
Pada SPL 6, kesesuaian lahan aktual tanaman talas adalah pada kelas S3 nr.
Kelas ini meenunjukkan sesuai marjinal sehingga perlu dilakukn perbaikan pada
faktor pembatasnya. Setelah dilakukan perbaiakan terhadap faktor pembatas pH
59

tanah menyebabkan kenaikan kelas kesesuaian lahan sehingga kelas kesesuaian


lahan potensial pada tanaman talas di wilayah SPL 3 adalah S2 nr, eh, wa.
SPL 8, kesesuaian lahan aktual tanaman talas adalah S3 eh. Faktor pembatas
pada kelas kesesuaian lahan tesebut adalah kelerengan. Kelerengan dapat
diperbaiki sehingga bisa terjadi kenaikan kelsa kesesuaian yang semula S3 dapat
berubah atau naik menjadi kelas S2. Kelas kesesuian lahn potensial pada tanaman
talas di SPL 8, adalah S2 eh.
Pada SPL 9, kesesuaian lahan aktual adalah S3 nr. Pada faktor pembatas pH
tanah masih bisa diperbaiki sehingga bisa menaikkan kelas kesesuaian talas di
SPL 9. Setelah dilakukan perbaikan pad faktor penghambat pH tanah, kelas
kesesuaian lahan potensial tanaman talas di SPL 9 menjadi S2 tc, rc, nr, eh.
Pada SPL 10 kesesuaian lahan aktual tanaman talas adalah S2 wa, eh. Pada
wilayah SPL ini tidak dilakukan kegiatan perbaikan pada faktor pembatas berupa
keleengan dan curah hujan. Dikarenakan tidak ada perubahan maka kesesuaian
lahan potensialnya adalah S2 wa, eh.
Pada SPL 11 kesesuaian lahan aktual tanaman talas adalah S3 tc, wa, eh,
sehingga menunjukkan bahwa tanaman talas di SPL tersebut seseuai marjinal
dengan faktor pembatas berupa temperatur (tc), curah hujan (wa), dan kelerengan
(eh). Faktor pembatas yang dapat diperbaiki pada SPL 11 ini adalah temperatur
dan kelerengan. Sehingga kelas kesesuian lahan potensial di SPL 11 menjadi S3
eh.

b) Kesesuaian Lahan Potensial Tanaman Mahoni di Titik 1


Tabel 23. Kesesuaian Lahan Potensial Mahoni Titik 1
Persyaratan
Penggunaan

Kelas kesesuaian Lahan


S1

S2

S3

25-30

>30;
21-<25

DATA

AKTUAL

23,5

S1

POTENSIAL

Temperatur (tc)
Rata-rata
tahunan (0C)

S1

Ketersediaan air (wa)

60

Bulan Kering
(<75)
Curah hujan
(mm/ tahun)

Kelembaban
nisbi (%)
LGP (hari)

<3

>3 4

>3000
3500

1500
<1750

1750
<2000

>3500
4000

45 - 80

35 45

2000 3000

1595

S3

>90 ;
30 35

<30

77,5

S1

S3

S1
-

Media perakaran (rc)


Drainase
tanah
Tekstur

Kedalaman
efektif (cm)

Baik

Cepat,
Terha
Agak
mbat
terhamba
t
L, SCl, SL, SC, LS, StrC,
SiL,
SiC, C Liat
CL,
masiv
SiCL
>150

Agak
cepat,
sedang

100150

75 <100

Sedang
S2

S1

Lempun
g
berdebu(
SL)

S2

S1

50 <75

150

S1

S1

Hemi
kFibrik

>200

Gambut
Kematangan
Ketebalan
(cm)
Persyaratan
Penggunaan

<60

60
140

Hemik
140
200

S1

Kelas kesesuaian Lahan

DATA

AKTUAL

POTENSIAL

S2

S3

16
5,0 <5,5
<7,0 7,5

4,5 <5,0
>7,5
8,0

S1

>0,8

0,8

35

<35

Retensi hara (nr)


KTK tanah
>16
pH tanah
5,5
7,0
C-Organik
(%)
Kejenuhan
basa (%)
Toksisitas (xc)

Saprik

S1
-

61

Salinitas
(mmhos/cm)

<2

2-3

3-4

>4

Sodisitas (xn)
Alkalinitas
<25
(%)
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman
>100
sulfide (cm)
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%)
<8
Bahaya erosi

Sangat
Ringan
Penyiapan lahan (lp)
Batuan
permukaan
<3
(%)
Singkapan
<2
batuan (%)
Bahaya banjir (fh)
Genangan
F0
ORDO
KELAS
SUB KELAS

25-35

35-45

75-100

40-75

8-15

>15-30

>3050

20

S3

Ringan

Sedang

Berat

Ringan

S2

3-15

15-40

>40

Tidak
ada

S1

>25

Tidak
ada

S1

2-10
F1

10-25
F2

>45

<40

>F2

S3
S2

S1

S
S3
S3 wa, eh

S1
S
S3
S3 wa, eh

Berdasarkan data potensial diatas, pada tanaman mahoni di titik 1 dapat


dilihat bahwa faktor kesesuaian lahan yang bisa dioptimalkan atau diperbaki pada
titik 1 adalah drainase dan bahaya erosi. Drainase tanah dapat diperbaiki dengan
perbaikan tekstur dan porositas tanah yang dilakukan dengan pemberian bahan
organik melalui pupuk organik dan penanaman tanaman yang memiliki akar yang
kuat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stevenson (1982), bahwa pemberian bahan
organik dapat memperbaiki sifat fisik tanah yaitu tekstur tanah dan porositas
tanah. Dengan memperbaiki porositas tanah maka akan meningkatan kemampuan
tanah dalam menahan air. Porositas itu sendiri merupakan ukuran yang
menunjukan perbandingan pori tanah yang dapat terisi oleh udara dan air.
c) Kesesuaian Lahan Potensial Tanaman Talas di titik 2
Tabel 24. Kesesuaian Lahan Potensial Talas Titik 2
Persyaratan
Penggunaan

Kelas kesesuaian Lahan


S1

S2

S3

DATA

AKTUAL

POTENSIAL

N
62

Temperatur (tc)
Rata-rata
25-32
tahunan (0C)
Ketersediaan air (wa)
Bulan Kering
23
(<75)
Curah hujan
(mm/ tahun)
2000 3000
Kelembaban
45 - 80
nisbi (%)
LGP (hari)
Media perakaran (rc)
Drainase
Baik,
tanah
agak
terham
bat
Tekstur

Kedalaman
efektif (cm)

Agak
halus,
sedang

Persyaratan
Penggunaan

<20

23,5

S2

S2

3-5

56

12
bulan

1750
2000
3000
3500

1500
1750
3500
4000
>90 ;
30 35
-

>4000

1595

S3

S3

<30

77,5

S1

S1

S3

S2

Lempun
g
berdebu
(Agak
halus)

S1

S1

35 - 45
Agak
cepat,
sedang

Terhamb
at

Halus,
agak
kasar

Agak
halus

Sanga
t
terha
mbat,
cepat
Kasar

Lambat

50-75

25-50

<25

170

S1

S1

Saprik+

Saprik,
hemik
+

Hemik,
fibrik +

Fibrik

<60

60 140

140
200

>200

DATA

AKTUAL

POTENSIAL

Kelas kesesuaian Lahan


S1

Retensi hara (nr)


KTK tanah
>16
pH tanah
5,5
6,5
C-Organik
(%)
Kejenuhan
basa (%)
Toksisitas (xc)
Salinitas

20-22

>75

Gambut
Kematangan
Ketebalan
(cm)

>32;
22-25

S2

S3

16
5,0 5,5
6,5 7,5

S1

S1

<5,0
>7,5

>0,8

0,8

35

<35

<2

2-3

3-4

>4

63

(mmhos/cm)
Sodisitas (xn)
Alkalinitas
<25
(%)
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman
>100
sulfide (cm)
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%)
<3
Bahaya erosi
Sangat
rendah

25-35

35-45

>45

75-100

40-75

<40

3-8
Rendah
sedang

8-15

>15

25

Berat

Sanga
t berat

Ringan

S2

S1

3-15

15-40

>40

Tidak
ada

S1

S1

2-10

10-25

>25

Tidak
ada

S1

S1

Penyiapan lahan (lp)


Batuan
permukaan
<3
(%)
Singkapan
<2
batuan (%)
Bahaya banjir (fh)
Genangan
F0
ORDO
KELAS
SUB KELAS

F0

F1

>F1
N
N
N eh

N
N
N eh

Berdasarkan hasil pengamatan kelas kesesuaian lahan tanaman talas di


titik dua, bisa dilihat bahwa faktor kelas kesesuaian lahan yang masih bisa
diusahakan agar lebih sesuai dengan syarat tumbuh tanaman talas yaitu faktor
drainase tanah dan bahaya erosi. Sebenarnya faktor kelerengan juga bisa
diusahakan misal dengan pembuatan terasering, namun karena melihat kondisi
nyata bahwa lahan tersebut merupakan lahan hutan dan masih tergolong alami,
maka pembuatan terasering tidak dianjurkan karena khawatir akan menimbulkan
kerusakan terhadap kondisi hutan.
Faktor bahaya erosi bisa diusahankan dengan perbaikan drainase tanah dan
penenanaman tanaman atau pohon yang memiliki akar kuat, sehingga air lebih
terserap ke dalam tanah dan dapat mengurangi bahaya erosi. Sedangkan drainase
tanah bisa diusahakan dengan perbaikan tekstur dan porositas tanah yang bisa
dilakukan dengan pemberian bahan organik melalui pupuk organik dan
penanaman tanaman yang memiliki banyak akar serta akar yang kuat pula. Hal ini
sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa pemberian bahan organik dapat
memperbaiki sifat fisik tanah yaitu tekstur tanah dan porositas tanah. Dengan
memperbaiki porositas tanah maka akan meningkatan kemampuan tanah dalam

64

menahan air (Stevenson, 1982). Porositas itu sendiri merupakan ukuran yang
menunjukan perbandingan pori tanah yang dapat terisi oleh udara dan air. Pori
tanah sendiri terbagi menjadi pori mikro yang biasa dikenal sebagai pori kapiler,
pori meso sebagai pori drainase lambat, dan pori makro dengan pori drainase
cepat.
d) Kesesuaian Lahan Tanaman Kopi di Titik 2
Tabel 25. Kesesuaian Lahan Potensial Kopi Titik 2
Persyaratan
Penggunaan

Kelas kesesuaian Lahan


S1

Temperatur (tc)
Rata-rata
22
tahunan (0C)
25
Ketersediaan air (wa)
Bulan Kering
23
(<75)
Curah hujan
2000
(mm/ tahun)

3000
Kelembaban
45
nisbi (%)
80
LGP (hari)
Media perakaran (rc)
Drainase
Baik
tanah

Persyaratan
Penggunaan
Tekstur

Kedalaman
efektif (cm)
Gambut
Kematangan

DATA

S3

-;25-28

19-22 ;
28-32

< 19

23

S1

S1

3-5

56

12
bulan

1750
2000
3000
3500

1500
1750
3500
4000
>90 ;
30 35
-

>4000

1595

S3

S3

<30

79,75

S1

S1

S2

35 - 45
Agak
baik

Terham
bat,
sangat
terhamb
at, cepat
Kelas kesesuaian Lahan
S1
S2
S3
N
Halus, Agak
Kasar,
agak
kasar
sangat
halus,
halus
sedang
>100

75 100

Saprik
+

Saprik,
hemik +

Ketebalan
<60
(cm)
Retensi hara (nr)
KTK tanah
>16

AKTUAL POTENSIAL

S2

60 - 140
16

Agak
terhamb
at, agak
cepat

50 75
Hemik,
fibrik +
140
200
-

Lambat

DATA

AKTUAL POTENSIAL

Lempun
g
berdebu

S1

S1

<50

93

S2

S1

Fibrik

>200

65

pH tanah
5,5
6,5

6,5
7,0
5,0
5,5

>7,0
Td

S1

S1

25

S3

S3

Ringan

S2

S1

Tidak
ada

S1

S1

Tidak
ada

S1

S1

<5,0

C-Organik
>0,8
0,8
(%)
Kejenuhan
>20
20
basa (%)
Toksisitas (xc)
Salinitas
<1
1-2
>2
(mmhos/cm)
Sodisitas (xn)
Alkalinitas
(%)
Bahaya sulfidik (xs)
Kedalaman
125
>175
75 - 125
<75
sulfide (cm)
175
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%)
<8
8 - 16
16 - 50
>50
Bahaya erosi
Sanga
Rendah
Sangat
t
Berat
- sedang
berat
rendah
Penyiapan lahan (lp)
Batuan
permukaan
<5
5-15
15-40
>40
(%)
Singkapan
<5
5 - 15
15 - 25
>25
batuan (%)
Bahaya banjir (fh)
Genangan
F0
F0
F1
>F1
ORDO
KELAS
SUB KELAS

N
N
N rc

S
S2
S2 oa, rc, eh

Pengamatan yang dilakukan pada titik dua yakni terdapat komoditas kopi.
Kesesuaian lahan potensial merupakan kesesuaian yang diterapkan pada suatu
lahan setelah melihat dari kekurangan yang ada. Pada komoditas kopi yang berada
pada titik dua ini memiliki tingkat drainase tanah lambat, kedalaman efektif hanya
93cm dan bahaya erosi yang disebabkan dari adanya lereng dengan nilai
kelerengan 25%. Nilai tersebut termasuk kedalam keals S3 dimana kondisi
tersebut sesuai dengan marginal. Untuk meningkatkan kesesuaian lahan kopi pada
titik 2 tersebut diperlukan kesesuaian lahan potensial dengan melakukan perbaikaperbaikan yang sekiranya pertlu dilakukan. Hal ini didukung dengan adanya
literature yang menyatakan bahwa Menurut Suprihartono (2003) karakteristik
kedalaman tanah yang dangkal, atau ditemukannya lapisan padas atau pada keras
66

pada kedalaman tertentu bisa dilakukan metode pengapuran, penambahan bahan


organik dan pembongkaran tanah efektif pada saat pengolahan. Pemanfaatan
dalam penambahan bahan organik tersebut berguna untuk menambah kandungan
unsure-unsur hara dan C-Organik sehingga berdampak pada perbaikan drainase
untuk terjaminnya kelancaran hidup tanaman.
Dalam mengatasi faktor pembatas kelerengan tanaman kopi pada titik 2
yang berada pada kelerengan 25% dapat dilakukan dengan pembangunan teras.
Sesuai dengan pernyataan Atmosuseno (1999) yang menyatakan bahwa
penanaman sengon di areal yang berlereng pada lahannya dapat dilakukan
perbaikan dengan teknik konservasi pembuatan teras. Teras dapat dibuat beberapa
jenis antara lain teras kredit untuk kemiringan 3-10%, teras bangku untuk
kemiringan 10-30% dan teras pematang/guludan (Countour Terrace) untuk
kemiringan antara 30-50%. Jadi bentuk teras yang cocok diterapkan pada wilayah
tersebut ialah jenis teras bangku yakni pada range nilai 10 30%. Akan tetapi,
kondisi lahan pada titik 2 merupakan lahan hutan dan masih tergolong alami,
maka pembuatan terasering dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan terhadap
hutan.
Tanaman kopi, pada peta zonasi juga tersebar di wilyah SPL 1, SPL 2, SPL
3, SPL 4, SPL 5, dan juga di SPL 7. Kesesuaian lahan aktual tanaman kopi pada
SPL 1 adalah pada kelas S3 wa, eh. Perbaikan yang dilakukan pada wilayah SPL 1
ini adalah pada faktor pemabatas kelerengan dengan menggunakan terasering,
akan tetapi tidak terdapat perbaikan pada kelas faktor pembatas curah hujan.
Kesesuaian lahan potensial tanaman kopi di SPL 1 adalah S3 wa.
Pada SPL 2 kesesuaian lahan aktual tanaman kopi adalah N eh. Kelas
tersebut menunjukkan bahwa tanamn kopi memang tidak sesuai untuk
dibudidayakan di SPL 2. Faktor pembatas kelerengan pada SPL tersebut tidak
dilakukan pebaikan sehingga kesesuaian lahan potensial yang ada di SPL 2 tentap
N eh.
Tanaman kopi pada SPL 3 memiliki kelas kesesuaian lahan aktual N eh,
yang berrti bahawa tanamn kopi di wilah tersebut tidak sesuai dengan faktor
pembatas berupa kelerengan. Pada faktor pembatas kelerengan di SPL 3 dapat
dilakukan perbaikan sehingga kelas keseuaian lahan potensial tanaman kopi pada
SPL 3 menjadi S3 eh. Kelas kesesuaian lahan potensial S3 eh mnunujukkan

67

bahwa setelah dilakukan perbaikan tanaman kopi di SPL 3 yang semula tidak
sesuai berubah menjadi sesuai marjinal.
SPL 4 memiliki kesesuaian lahan aktual tanaman kopi pada SPL 4adalah S3
wa. Pada SPL 4, faktor pembatas berupa curah hujan tidak bisa dilakukan
perbaikan sehingga kelas kesesuain lahan potensial tidak berubah dari kesesuaian
lahn aktualnya. Kesesuaian lahan potensial kopi pada SPL 4 adalah S3 wa.
SPL 5 tanaman kopi memiliki kesesuaian lahan yaitu N dengan faktor
pembatas berupa kelerengan sehingga kelas kesesuaianya potensialnya adalah
adalah N eh. Mengingat kondisi lahan yang berupa hutan dan mempertimbangkan
efisiensi secara ekonomi, maka pada SPL 5 faktor pembats kelereng dilakukan
perbaikan, sehingga kelas kesesuian lahan potensial tanamn kopi pada SPL 5 tidak
berubah dari kesesuaian lahan potensialnya. Kesesuaian lahan potensial tanaman
kopi pada SPL 5 adalah N eh.
Kesesuaian lahan aktual kopi di SPL 7 N eh. Pada SPL 7 fakto pembats
keerengan tidak dilakukan perbaikan terhadap faktor pembatas kelerengan
sehingga kelas keseuaian lahan potensial tanaman kopi pada SPL 3 tidak berubah
dari kesesuaian lahan aktualnya. Kesesuaian lahan potensial di SPL 3 adalah N eh.

e)

Kesesuaian Lahan Potensial Tanaman Sengon di Titik 3

Tabel 26. Kesesuaian Lahan Potensial Sengon Titik 3


Persyaratan
Penggunaan

Kelas kesesuaian Lahan


S1

DATA

AKTUAL POTENSIAL

S2

S3

18-20
28-30

16-18
30-38

< 16
>38

23,5

S1

S1

<6,5

6,5-7,5

7,5-8,5

>8,5

1500 2000

900
1500

600
900

<600
>3000

1595

S1

S1

Temperatur (tc)
Rata-rata
20
tahunan (0C)
28
Ketersediaan air (wa)
Lama bulan
Kering (bln)
Curah hujan
(mm/ tahun)

68

2000
2500

2500 3000

Media perakaran (rc)


Drainase
tanah
Tekstur
Bahan Kasar
(%)
Kedalaman
efektif (cm)
Gambut
Kematangan

Baik
sampa
i agak
baik
H, ah,
s, ak
<15

Agak
cepat

Terham
bat,
cepat

Sangat
Cepat
terhamb
at, cepat

H, ah, s,
ak
15-35

Halus

35-55

>55

>75

50 75

40 - 50

<50

Saprik
+

Saprik,
hemik +

Hemik,
fibrik +

140-200

S1

S1

S2

S2

170

S1

S1

Fibrik

200-400

>400

60 - 140

140 200

>200

>16

16

5,87,0

5,5-7,0

>5,5

7,0-7,5

>7,5

S1

S1

>0,4

0,4

>50

35-50

<35

<4

4-6

6-8

>8

DATA

AKTUAL

POTENSIAL

Sisipan/pengk
<140
ayaan
Ketebalan
<60
(cm)
Retensi hara (nr)
KTK tanah
pH tanah

C-Organik
(%)
Kejenuhan
basa (%)
Toksisitas (xc)
Salinitas
(mmhos/cm)
Sodisitas (xn)
Alkalinitas
(%)
Persyaratan
Penggunaan

Bahaya sulfidik (xs)


Kedalaman
>100
sulfide (cm)
Bahaya erosi (eh)

Kelas kesesuaian Lahan

75 - 100

40 - 755

<40

69

Lereng (%)
Bahaya erosi

<8
8 16
Sanga
Ringan t
sedang
ringan
Penyiapan lahan (lp)
Batuan
permukaan
<5
(%)
Singkapan
<5
batuan (%)
Bahaya banjir (fh)
Genangan
F0

16 - 30

>30

40

berat

Sangat
berat

Ringan

S2

S1

5-15

15-40

>40

Tidak
ada

S1

S1

5 - 15

15 - 25

>25

Tidak
ada

S1

S1

F1

F2

>F3

Tidak
ada

ORDO
KELAS
SUB KELAS

S1

S1

N
N
N eh

N
N
N eh

Menurut Rayes (2007), kesesuaian lahan potensial merupakan keadaan


kesesuaina lahan setelah diadakan usaha-usaha perbaikan terhadap faktor
pembatas yang ada pada kesesuaian lahan aktual. Kesesuaian lahan potensial
untuk tanaman sengon (Albizia chinensis), pada titik 3 adalah pada ordo N yang
artinya tanaman tidak sesuai untuk dibudidayakan di lahan tersebut.
Tidak terjadi peningkatan keseuaian lahan pada titik 3 untuk tanaman
sengon. Perbaikan yang dapat dilakukan untuk keseuain lahan potensial adalah
pada faktor pembatas berupa erosi. Menurut Kustantini (2014), perbaikan bahaya
erosi dapat dilakukan dengan mengguakan tiga metode yaitu metode vegetatif,
metode mekanis dan metode kimia. Metode vegetatif adalah pemanfaatan
tanaman ataupun sisa-sisatanamn sebagi pelindung tanah terhadap erosi. Metode
mekanik dengan cara pngolahan lahan misalnya saja dengan menggunakan sistem
terasering. Metode kia dapat dilakukan dengan menggunakan soil conditioner atau
bahan pemantap tanah yang dalam hal ini memperbaiki struktur tanah sehingga
tanah akan tetap resisten terhadap erosi. Walaupun sudah dilakukan perbaikan
bahaya erosi akan tetapi kelas keseuaian potensial tetap dikelas N atau tidak
sesuai.

f)

Kesesuaian Lahan Potensial Tanaman Kopi di Titik 3

Tabel 27. Kesesuaian Lahan Potensial Kopi Titik 3


70

Kelas kesesuaian Lahan

Persyaratan
Penggunaan

DATA

S1
Temperatur (tc)
Rata-rata
22
tahunan (0C)
25
Ketersediaan air (wa)
Bulan Kering
23
(<75)
Curah hujan
2000
(mm/ tahun)

3000
Kelembaban
45
nisbi (%)
80
LGP (hari)
Media Perakaran (rc)
Drainase
Baik
tanah

Tekstur

Kedalaman
efektif (cm)
Gambut
Kematangan

Halus,
agak
halus,
sedan
g

C-Organik
(%)
Kejenuhan
basa (%)
Toksisitan (xc)
Salinitas
(mmhos/cm)
Sodisitas (xn)
Alkalinitas

S2

S3

25-28

19-22 ;
28-32

< 19

23,5

S1

S1

3-5

56

12
bulan

1750
2000
3000
3500

1500
1750
3500
4000
>90 ;
30 35
-

<1500
>4000

1595

S3

S3

<30

77,5

S1

S1

Lempun
g
berdebu

S1

S1

<50

170

S1

S1

Fibrik

>200

Td

S1

S1

35 - 45
Agak
baik

Agak
terhamb
at, agak
cepat
Agak
kasar

>100

75 - 100

50 75

Saprik
+

Saprik,
hemik +

Hemik,
fibrik +
140
200

Ketebalan
<60
(cm)
Retensi hara (nr)
KTK tanah
>16
pH tanah
5,5
6,5

AKTUAL POTENSIAL

60 - 140
16
6,5
7,0
5,0
5,5

Terham
bat,
sangat
terhamb
at, cepat
Kasar,
sangat
halus

Cepat

>7,0
<5,0

>0,8

0,8

>20

20

<1

1-2

>2

71

(%)
Bahaya Sulfidix (xs)
Kedalaman
125 >175
sulfide (cm)
175
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%)
<8
8 - 16
Bahaya erosi
Sanga
Rendah
t
- sedang
rendah
Penyiapan lahan (lp)
Batuan
permukaan
<5
(%)
Singkapan
<5
batuan (%)
Bahaya Banjir (fh)
Genangan
F0
ORDO
KELAS
SUB KELAS

75
125

<75

16 50

>50

40

Berat

Sangat
berat

Berat

S3

S2

5-15

15-40

>40

Tidak
ada

S1

S1

5 - 15

15 25

>25

Tidak
ada

S1

S1

F0

F1

>F1
N
N
N , rc, eh

N
N
N rc eh

Berdasarkan hasil pengamatan pada titik 3, terdapat faktor pembatas yaitu


drainase dan kelerengan. Kelerengan pada titik 3 sebesar 40%. Hal ini
menunjukkan kelas kesesuaian lahan pada tanaman kopi adalah N (tidak sesuai).
Menurut Djaenudin et.al, (2000), tanaman kopi akan tumbuh dengan baik pada
kelerengan <8%. Sedangkan untuk drainase pada titk 3 aadalah cepat. Hal ini
menunjukkan kelas kesesuaian lahan pada tanaman kopi adalah N (tidak sesuai).
Menurut Djaenudin (2000), tanaman kopi akan tumbuh dengan baik pada drainase
yang baik.
Lahan pada titik 3 merupakan hutan produksi sehingga tidak perlu adanya
perbaikan pada faktor pembatas kelerengan dan drainase. Hal ini karena
tidakefisien secara ekonomi dan juga dapat merusak ekosistem yang ada. Sesuai
dengan pernyataan Atmosuseno (1999), bahwa perbaikan pada kelerengan suatu
lahan dapat dilakukan upaya perbaikan namun tidak mengubah status kelerengan.
Kelerengan

pada

hutan

apabila

dilakukan

pembuatan

terasering

akan

menimbulkan kerusakan pada lahan hutan.

4.4.3 Rekomendasi
a. Titik pedon tipikal 1 (A. 2.1 )

72

Pada titik pedon tipikal yang pertama yaitu titik A. 2.1, kami
merekomendasikan tanaman kopi. Hal yang menjadi pertimbangan kami
dalam memilih kopi sebagai tanaman yang direkomendasikan karena kopi
hanya memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor pembatas wa
(curah hujan). Sedangkan, talas memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan
faktor pembatas eh (kelerengan).Meskipun kelerengan dapat diperbaiki
dengan membuat terasering, namun dalam kasus ini, posisi pengamatan
berada di hutan produksi dengan tanaman kayu yang ada di dalamnya,
sehingga

memperbaiki

kelerengan

dengan

terasering

sangat

kecil

kemungkinannya.Selain biaya yang dikeluarkan besar dalam pembuatan


terasering, penyebab lainnya juga dikarenakan adanya tanaman berkayu
seperti sengon, mahoni sebagai peneduh di titik pengamatan tersebut.Sangat
tidak memungkinkan bila harus menebang pohon terlebih dahulu baru
membuat terasering.
b. Titik pedon tipikal 2 (E. 1. 3)
Pada titik pedon tipikal yang kedua yaitu titik E. 1.3, kami
merekomendasikan tanaman kopi.Hal yang menjadi pertimbangan kami
dalam memilih kopi sebagai tanaman yang direkomendasikan karena kopi
memiliki akar yangkuat dalam menahan air dalam mengatasi kemungkinan
erosi karena lereng yang terlalu curam.Meskipun kopi dan talas sama-sama
memiliki kelas kesesuaian lahan N dengan faktor pembatas berupa eh
(kelerengan), namun menurt pendapat kami titik pedon tipikal E. 1.3 lebih
cocok jika ditanami kopi daripada talas.
c. Titik pedon tipikal 3 (C. 2. 2)
Pada titik pedon tipikal yang ketiga yaitu titik C. 2.2, kami
merekomendasikan tanaman kopi.Hal yang menjadi pertimbangan kami
dalam memilih kopi sebagai tanaman yang direkomendasikan karena hanya
memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor pembatas eh
(kelerengan). Sedangkan, talas memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan
faktor pembatas wa (curah hujan) dan eh (kelerengan).
d. Titik pedon tipikal 4 (D. 1. 2)
Pada titik pedon tipikal yang keempat yaitu titik D. 1.2, kami
merekomendasikan tanaman kopi. Hal yang menjadi pertimbangan kami
dalam memilih kopi sebagai tanaman yang direkomendasikan karena kopi
hanya memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor pembatas wa

73

(curah hujan). Sedangkan, talas memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan


faktor pembatas eh (kelerengan).Meskipun kelerengan dapat diperbaiki
dengan membuat terasering, namun dalam kasus ini, posisi pengamatan
berada di hutan produksi dengan tanaman kayu yang ada di dalamnya,
sehingga

memperbaiki

kelerengan

dengan

terasering

sangat

kecil

kemungkinannya.Selain biaya yang dikeluarkan besar dalam pembuatan


terasering, penyebab lainnya juga dikarenakan adanya tanaman berkayu
seperti sengon, mahoni sebagai peneduh di titik pengamatan tersebut.Sangat
tidak memungkinkan bila harus menebang pohon terlebih dahulu baru
membuat terasering.
e. Titik pedon tipikal 5 (B. 1. 3)
Pada titik pedon tipikal yang kelima yaitu titik B. 1.3, kami
merekomendasikan tanaman kopi.Hal yang menjadi pertimbangan kami
dalam memilih kopi sebagai tanaman yang direkomendasikan karena kopi
hanya memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor pembatas eh
(kelerengan).Sedangkan, talas memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan
faktor pembatas oa (drainase) dan eh (kelerengan). Berdasarkan hal diatas,
semakin sedikit faktor pembatas, semakin mendekati sesuai, sehingga kami
merekomendasikan kopi.
f. Titik pedon tipikal 6 (F. 2. 1)
Pada titik pedon tipikal yang keenam yaitu titik F. 2.1, kami
merekomendasikan tanaman talas.Hal yang menjadi pertimbangan kami
dalam memilih talas sebagai tanaman yang direkomendasikan karena talas
memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor pembatas nr (pH) pH
dapat diperbaiki dengan penambahan bahan kapur, sedangkan pada kopi
memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor pembatas eh
(kelerengan).Berdasarkan

pernyataan

diatas,

semakin

sedikit

faktor

pembatas semakin mendekati sesuai, selain itu faktor pembatas nr (pH) pada
titik tersebut dapat diperbaiki, sehingga kami merekomendasikan talas.
g. Titik pedon tipikal 7 (E. 1. 1)
Pada titik pedon tipikal yang ketujuh yaitu titik E. 1. 1, kami
,merekomendasikan tanaman kopi. Hal yang menjadi pertimbangan kami
dalam memilih kopi sebagai tanaman yang direkomendasikan karena kopi
memiliki akar yang kuat dalam menahan air dalam mengatasi kemungkinan
erosi karena lereng yang terlalu curam.Meskipun kopi dan talas sama-sama

74

memiliki kelas kesesuaian lahan N dengan faktor pembatas berupa eh


(kelerengan), namun menurut pendapat kami titik pedon tipikal E. 1.3 lebih
cocok jika ditanami kopi daripada talas.
h. Titik pedon tipikal 8 (F. 1. 3)
Pada titik pedon tipikal yang kedelapan yaitu titik F. 1.3, kami
merekomendasikan tanaman talas.Hal yang menjadi pertimbangan kami
dalam memilih talas sebagai tanaman yang direkomendasikan karena talas
memiliki kelas kesesuaian lahan S2 dengan faktor pembatas eh
(kelerengan).Sedangkan, talas memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan
faktor pembatas oa (drainase).Kelas kesesuaian lahan yang paling rendah,
semakin mendekati sesuai, sehingga kami merekomendasikan talas sebagai
tanaman yang cocok.
i. Titik pedon tipikal 9 (A. 1. 3)
Tanaman yang dapat direkomendasikan pada titik pedon tipikal 9
tepatnya pada titik A. 1. 3 adalah tanaman talas. Tanaman talas memiliki
kelas kesesuaian lahan S2 dengan faktor pembatas nr (retensi hara) dan eh
(kelerengan) Sedangkan,tanaman kopi memiliki kelas kesesuaian lahan S2
dengan faktor pembatas tc (temperatur), rc (media perakaran), nr (retensi
hara), dan eh (kelerengan). Dari nilai kelas kesesuaian tanaman talas dan
kopi dapat diketahui bahwa tanaman talas dan kopi memiliki kelas
kesesuaian lahan yang sama. Meskipun memiliki nilai kesesuaian yang
sama, namun tanaman talas memiliki jumlah faktor pembatas yang lebih
sedikit daripada tanaman kopi. Oleh karena itu, tanaman talas lebih sesuai
ditanam di titik F. 1. 1.
j. Titik pedon tipikal 10 (F. 1. 1)
Tanaman yang dapat direkomendasikan pada titik pedon tipikal 10
tepatnya pada titik F. 1. 1 adalah tanaman talas. Tanaman talas memiliki
kelas kesesuaian lahan S2 dengan faktor pembatas eh (kelerengan).
Sedangkan tanaman kopi memiliki kelas kesesuaian lahan S2 dengan faktor
pembatas wa (curah hujan) dan eh (kelerengan). Dari nilai kelas kesesuaian
tanaman talas dan kopi dapat diketahui bahwa tanaman talas dan kopi
memiliki kelas kesesuaian lahan yang sama. Meskipun memiliki nilai
kesesuaian yang sama, namun tanaman talas memiliki jumlah faktor
pembatas yang lebih sedikit daripada tanaman kopi.

Oleh karena itu,

tanaman talas lebih sesuai ditanam di titik F. 1. 1.


k. Titik pedon tipikal 11 (H. 1. 3)

75

Tanaman yang dapat direkomendasikan pada titik pedon tipikal 11


tepatnya pada titik A. 2. 1 adalah tanaman talas. Hal yang menjadi
pertimbangan dalam memilih talas sebagai tanaman rekomendasi karena
talas memiliki kelas kesesuaian lahan yang lebih ringan daripada tanaman
kopi. Tanaman kopi memiliki kelas kesesuaian lahan S3 dengan faktor
pembatas wa (curah hujan). Sedangkan, talas memiliki kelas kesesuaian
lahan S2 dengan faktor pembatas tc (temperatur), oa (drainase), rc (media
perakaran), dan eh (kelerengan). Dari nilai kelas kesesuaian tanaman kopi
dan talas dapat diketahui bahwa tanaman talas lebih sesuai ditanam di titik
A. 2. 1.

4.5 Analisis Usahatani


4.5.1 Analisis Usahatani Talas di Titik 1
A. Lahan Petani
Tabel 28. Kepemilikan Lahan Petani 1
No

Jumlah
Lahan

Tipe Lahan

Luas
(m2)

Lokasi

Status

Tadah Hujan

2 Ha

Dalam lahan
Perhutani

Milik sendiri

B. Produksi (Output)
Tabel 29. Penerimaan Petani 1

No

Uraian

Umur
Tanaman

Jumlah
Fisik

Harga per
satuan (Rp)

Total
Penerimaan
(Rp)

Dijual
Sekaligus

1 Tahun

5.000 kg

Rp. 1.800

9.000.000

76

Persentase : Dijual 100%( tebasan)


C. Sarana Produksi
Pengamatan usahatani pada lahan hutan produksi yang berada dalam
wilayah UB Forest dilakukan dengan melakukan wawancara kepada petani
terkait. Petani yang menjadi objek wawancara bernama Bapak Waisan. Sarana
produksi pada usahatani talas Bapak Waisan hanya benih talas saja. Benih talas
didapatkan Bapak Waisan dengan cara memanfaatkan benih talas yang telah
tersedia di kawasan hutan dalam wilayah UB Forest. Menurut Bapak Waisan,
benih talas mudah dicari dan bisa diambil dengan bebas dari hutan. Sehingga
Bapak Waisan tidak perlu lagi mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli
benih talas. Dalam usahatani talasnya Bapak Waisan tidak menggunakan input
lain seperti pupuk maupun pestisida. Bapak Waisan beranggapan bahwa tanaman
talasnya tidak perlu dipupuk dan diberi pestisida. Disamping harganya yang
cukup mahal, perlakuan manual sudah cukup untuk merawat tanaman
budidayanya. Pak Wasian juga tidak mengeluarkan biaya pengairan karena
lahannya bersifat tadah hujan.Oleh karena itu untuk biaya sarana produksinya
adalah Rp 0,-.
D. Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga
Kegiatan usaha tani Pak Waisan banyak menggunakan tenaga kerja dalam
keluarga seperti persiapan lahan, penanaman, penyiangan dan pasca panen. Hal ini
dikarenakan, apabila tenaga kerja dalam keluarga beliau tidak mengeluarkan biaya
untuk upah tenaga kerja bantuan tenaga dalam keluarga. Bapak Waisan
berpendapat bahwa tenaga kerja dalam keluarga tidak perlu diberikan upah karena
hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab seluruh anggota keluarga untuk
merawat lahan budidaya bersama-sama. Sedangkan untuk sisa pengerjaan
kegiatan usaha tani seperti persiapan lahan, penanaman dan pasca panen beliau
menggunakan tenaga kerja di luar keluarga.
E. Biaya Tenaga Kerja Diluar Keluarga
Tabel 30. Biaya Tenaga Kerja Diluar Keluarga Petani 1

77

No.

Uraian

Jumlah
Hari

Jumlah
Jam Kerja

Jumlah
Orang
P
2
2
2

1
2
3
4
5
6
7
10

Pengolahan Lahan
Penanaman
Penyiraman
Penyiangan
Pemupukan
a. Pupuk Dasar
b. Pupuk Kandang
Semprot Pestisida

3
5
-

5
5
-

L
3
3
-

11

Panen

TOTAL

Total Biaya
Rp 309.375
Rp 515.625
Rp Rp Rp Rp Rp RpRp 293.750
Rp 1.118.750

Upah kerja Laki- laki yaitu Rp.35.000 /8jam


Upah kerja Perempuan yaitu Rp.30.000 /8jam

F. Biaya Tetap
Tabel 31. Biaya Tetap Petani 1
No. Uraian

Jumlah
Harga/satuan
Satuan
Total (Rp)
Fisik
(Rp)

1
2

0
0

Biaya Sewa Lahan


Biaya Pajak

0
0

0
0

G. Biaya Penyusutan Peralatan


Tabel 32. Biaya Penyusutan Petani 1

78

Uraian

Jumlah Harga
Unit
awal (Rp)

Perkiraan
HargaAkhir lama
(Rp)
pemakaian
(tahun)

a. Cangkul

45.500

25.000

10

6.150

c. Garu

17.500

500

10

1.700

d. Sekop

43.000

20.000

10

2.700

e. Sabit

18.500

5.000

10

2.700
13.250

Total

Total (Rp)

H. Hasil Usaha Tani


Perhitungan hasil usaha tani
TR = 5.000 kg x Rp 1.800
= Rp 9.000.000
1. Perhitungan Keuntungan
Titik 1
Keuntungan = total pendapatan total pengeluaran

= TR- TC

= Rp 9.000.000 ( Rp 13.250+ Rp 1.118.750)

= Rp 9.000.000 - 1.132.000

= Rp 7.868.000

2. BEP Unit
Titik 1
BEPunit=
BEPunit =

=1.647 kg

Dari hasil penghitungan BEP unit pada titik 1, diperoleh bahwa usaha
tani pak Waisan akan memperoleh titik impas setelah terjual sebanyak
1.647 kg.
3. BEP Rupiah
79

Titik 1 (Profil)
BEPrupiah =

BEPrupiah =

= Rp 15.125,57

Dari perhitungan BEP rupiah pada titik 1 akan didapat titik impas jika
telah mendapat penerimaan sebesar Rp 15.125,57.
4. R/C Ratio
R/C Ratio = TR/TC
Titik 1
R/C Ratio = TR/TC
R/C Ratio = 9.000.000/1.132.000
R/C Ratio = 7,95
Dari perhitungan R/C ratio pada titik 1 dapat diintepretasikan
bahwa usahatani pada titik 1 layak secara finansial. Hal ini ditunjukkan
dengan hasil perhitungan R/C ratio yang lebih dari 1 yaitu 7,95.

4.5.2 Analisis Usahatani Tanaman Kopi di titik 2


A. Lahan Petani
Tabel 33. Kepemilikan Lahan Petani 2
No

Jumlah
Lahan

Tipe
Lahan

Luas
(Ha)

Lokasi

Status

Tadah
Hujan

1 Ha

Dalam Lahan
Perhutani

Milik Perhutani

Lahan milik Bu Kastuni merupakan lahan tadah hujan karena hanya


memanfaatkan hujan sebagai sumber air untuk budidayanya. Lahan yang dimiliki

80

seluas 1 Ha digunakan untuk budidaya tanaman kopi dan talas. Lokasi lahan
terdapat di dalam lahan perhutani yang kepemilikannya merupakan milik
perhutani.
B. Produksi (Output)
Tabel 34. Penerimaan Petani 2
No
1

Uraian

Umur
Tanaman

50%
4 Tahun
diberikan
kepada
pihak
perhutani
50% dijual
langsung

Jumlah
Fisik
3 kwintal

Harga Per
Satuan
Rp. 4000

Total
Penerimaan
Rp.1.200.000

C. Sarana Produksi
Bu Kastuni menggunakan bibit kopi jenis Bistak dan Jawa untuk
dibudidayakan. Bu Kastuni membeli bibit tersebut di toko bibit dekat rumahnya.
Bibit yang dibeli Bu Kastuni sebanyak 300 bibit kopi yang merupakan campuran
jenis bibit Bistak dan Jawa. Harga bibit kopi sebesar Rp.1000 per bibitnya. Selain
bibit Bu Kastuni menggunakan pupuk sebagai sarana produksinya. Pupuk yang
digunakan adalah pupuk kandang, pupuk urea, dan pupuk ZA. Pupuk yang
digunakan Bu Kastuni didapat dengan membeli ke toko penjual pupuk. Harga
pupuk kandang sebesar Rp. 10.000 per karungnya. Sedangkan harga pupuk Urea
dan ZA sebesar Rp. 250.000 per kwintalnya. Bu Kastuni menggunakan pupuk
kandang sebanyak 20 karung dan pupuk Urea serta ZA sebanyak 2 kwintal.
D. Tenaga Kerja Dalam Keluarga
Dalam kegiatan usahatani yang dilakukan oleh Bu Kastuni banyak
menggunakan tenaga kerja keluarga, yakni anak dari Bu Kastuni. Menurut Bu
Kastuni usahatani yang dilakukan masih tergolong mudah dan tidak memerlukan
banyak buruh tani dalam mengerjakan usahataninya. Namun dalam kegiatan
usahatani yang membutuhkan tenaga kerja banyak seperti saat panen Bu Kastuni
tetap menggunakan tenaga kerja diluar keluarga untuk mengerjakannya.
E. Biaya Usahatani
Tahun ke-1
81

Tabel 35. Biaya Variabel Petani 2 Tahun ke-1


No

Uraian

Satuan

Harga

Total

1.

Bibit Kopi

300

1000

300.000

2.

Pupuk
Kandang

20 (karung)

10.0000

200.000

3.

Pupuk
Anorganik

2 kw

250.000

500.000

Tabel 36. Biaya Tenaga Kerja Petani 2 Tahun ke-1


Kegiatan

Jumlah
orang

Pria

Penanaman

Wanita

Penyiangan

Peupukan

Jumlah
hari

Jumlah
jam/hari

HOK

Upah/H
OK

Total

0.5

30.000

15.000

0
. 25.000
5

12.500

0
. 25.000
5

12.500

4
1

Total

40.000

Tabel 37. Biaya Penyusutan Alat Petani 2 Tahun ke-1


Jumlah

Harga
awal

Harga
akhir

Tahun
ekonomis

Biaya/tahun

Cangkul

75.000

10.000

10

6.500

Sabit

35.000

5.000

10

3.000

Nama alat

Total

9.500
Total biaya tahun 1
Rp. 1.049.500
82

Tahun ke-2
Tabel 38. Biaya Variabel Petani 2 Tahun ke-2
No
1.

Uraian
Pupuk
Anorganik

Harga
100000

Total
100.000

Tabel 39. Biaya Tenaga Kerja Petani 2 Tahun ke-2


Kegiatan
Wani Penyiangan
ta
Pemupukan

Jumlah
orang
2

Jumlah
hari
2

Jumlah
jam/hari
1

HOK

Upah/HOK

Total

0.5

25.000

12.500

0.5

25.000

12.500

Total

25.000

Tabel 40. Biaya Penyusutan Alat Petani 2 Tahun ke-2


Nama
alat
Cangkul

Jumlah

Harga
akhir
10.000

Tahun ekonomis Biaya/tahun

Harga
awal
75.000

10

6.500

Sabit

35.000

5.000

10

3.000

Total

9.500
Total biaya Tahun ke 2
Rp. 134.500

Tahun 3
Tabel 41. Biaya Variabel Petani 2 Tahun ke-3
No

Uraian

Harga

Total

1.

Pupuk
Anorganik

100000

100.000

Tabel 42. Biaya Tenaga Kerja Petani 2 Tahun ke-3


Kegiatan

Jumlah
orang

Wanita Penyiangan 2

Jumlah
hari

Jumlah
jam/hari

HOK Upah/HOK Total

0.5

25.000

12.500

83

Pemupukan 2

0.5

25.000

Total

12.500
25.000

Tabel 43. Biaya Penyusutan Alat Petani 2 Tahun ke-3


Nama alat

Jumlah

Harga
awal

Harga
akhir

Tahun
ekonomis

Biaya/tahun

Cangkul

75.000

10.000

10

6.500

Sabit

35.000

5.000

10

3.000

Total

9.500

Total biaya Tahun ke 3


Rp. 134.500

Tahun 4
Tabel 44. Biaya Variabel Petani 2 Tahun ke-4
No

Uraian

1.

Pupuk
Anorganik

Harga

Total
100000 100.000

Tabel 45. Biaya Tenaga Kerja Petani 2 Tahun ke-4


Kegiatan

Jumlah
orang

Jumlah
hari

Jumlah
jam/har
i

HOK

Upah/HOK

Total

Pria

Panen

6 1.5

30.000

45.000

Wan
ita

Penyiangan

1 0.5

25.000

12.500

Pemu
pukan

1 0.5

25.000

12.500

Panen

6 0.75

25.000

18.750

Total

88.750
84

Tabel 46. Biaya Penyusutan Alat Petani 2 Tahun ke-3


Nama
Alat

Jumlah
(Unit)

Harga Awal
(Rp)

Harga akhir
(Rp)

Tahun
ekonomis
(tahun)

Biaya/tahun
(Rp)

Cangkul

75.000

10.000

10

6.500

Sabit

35.000

5.000

10

3.000

Total

9.500
Total biaya tahun ke 4
Rp. 198.250

Tabel 47. Analisis Usahatani Tanaman Tahunan Kopi

Tahun
1
2
3
4
Total

Penerimaan Keuntungan
(Rp)
(Rp)

Biaya
(Rp)
1.049.500
134.500
134.500
198.250
1.516.750

0
0
0
1.200.000
1.200.000

-1.049.500
-134.500
-134.500
1.001.750
-316.750

Kumulatif
keuntungan
(Rp)

Discount
factor

-1.049.500
-1.184.000
-1.318.500
-316.750

0.94
0.88
0.83
0.78

PV Biaya
(Rp)
985.446
118.583
111.346
154.104
13.369.479

Pada table diatas menujukan bahwa analisis usaha tani tanaman kopi yang
diusahakan oleh petani pada titik 2. Biaya yang dikeluarkan oleh petani pada
tahun pertama adalah Rp. 1.049.500 biaya ini termasuk saprodu yang digunakan
pada saat pertama kali usaha dimualai, pada tahun ke- 2 dan ke-3 biaya yang
dikeluarkan sebesar Rp. 134.500 biaya ini adalah biaya perawatan kopi, dan pada
tahun ke- 4 biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 198.250 biaya ini termasuk biaya
tenaga kerja saat pemanenan kopi, jadi total biaya yang dikeluarkan oleh petani
sebesar Rp. 1.516.750 . Penerimaan yang diterima oleh petani hanya ada pada
tahun ke- 4 sebesar Rp. 1.200.000. Jadi petani mengalami kerugian sebesar Rp.
85

PV
Penerimaan
Rp
0
0
0
932.788
923.788

316750, karena pada tahun ke- 1 sampai ke-3 petani belum mendapatkan
penerimaan. Pada Tabel tersebut akan ditetapkan suku bunga yang berlaku adalah
6.5%
Dalam rangka mencari suatu ukuran menyeluruh tentang baik tidaknya
suatu usahatani dilakukan atau layak atau tidak layaknya suatu usahatani yang
dijalankan dapat dilihat dari beberapa indeks, indeks-indeks tersebut disebut
investment criteria atau kriteria investasi. Berikut ini adalah beberapa investment
criteria yang paling sering digunakan untuk mengetahui kelayakan suatu
usahatani:
1. NPV
Bt Ct
t
t 0 1 i
NPV = (1200000-1516750) / ( 1+0,065)4
NPV = Rp -246.217
Menurut Alexandri (2008), Net Prensent Value adalah selisih Present Value
n

NPV

dari keseluruhan Proceed dengan Present Value dari keseluruhan investasi. Nilai
NPV pada analisis usahatani tanaman kopi yang kami survey bernilai negative
yaitu Rp -246.217, hal ini menunjukkan bahwa usaha tani tanaman kopi ini belum
masuk dalam kategori layak. Menurut Rangkuti (2004) nilai NPV > 0 berarti
proyek tersebut dapat menciptakan cash inflow dengan presentase lebih besar
dibandingkan opportunity cost modal yang ditanamkan atau dikatakan usahatni
yang dilakukan layak. Nilai NPV = 0, proyek kemungkinan dapat diterima karena
cash flow yang akan diperoleh sama dengan opportunity cost dari modal yang
ditanamkan. Dan apablia nilai NPV < 0 usahatani yang kita lakukan tidak layak.
2. NET B/C
Net B/C Ratio = jumlah PV penerimaan / jumlah PV biaya
= 932787.7091/ 1369479
= 0.68
Benefit Cost Ratio adalah penilaian yang dilakukan untuk melihat tingkat
efisiensi penggunaan biaya berupa perbandingan jumlah nilai bersih sekarang
yang positif dengan jumlah nilai bersih sekarang yang negatif, atau dengan kata
lain Net B/C adalah perbandingan antara jumlah NPV positif dangan jumlah NPV
negatif dan ini menunjukkan gambaran berapa kali lipat benefit akan kita peroleh
dari cost yang kita keluarkan (Gray, 1997).
Kriteria yang dapat diperoleh dari penghitungan Net B/C antara lain:
Net B/C > 1, maka usahatani menguntungkan;
Net B/C = 1, maka usahatani tidak menguntungkan dan tidak merugikan;
Net B/C < 1, maka usahatani merugikan

86

Nilai B/C Ratio analisis usahatani tanaman kopi yang disurvey adalah 0.68 hal ini
menunjukkan bahwa usaha dinyatakan belum layak karena nilai B/C Ratio < 1.
3. IRR
IRR =

IRR = -10 %
IRR menunjukkan kemampuan suatu investasi atau usaha dalam
menghasilkan return atau tingkat keuntungan yang bisa dipakai. Kriteria yang
dipakai untuk menunjukkan bahwa suatu usaha layak dijalankan adalah jika nilai
IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku pada saat usahatani tersebut
diusahakan (Gittinger, 1993). Suatu proyek akan dipilih bila nilai IRR yang
dihasilkan lebih tinggi daripada tingkat suku bunga yang berlaku (IRR > social
discount rate). Bila IRR < social discount rate menunjukkan bahwa modal proyek
akan lebih menguntungkan bila didepositokan di bank dibandingkan bila
digunakan untuk menjalankan proyek.
Nilai IRR dalam survey usahatani tanaman kopi yang kami lakukan
menunjukkan angka sebesar -10 %. Angka ini lebih kecil dari suku bunga yang
berlaku. Sehingga hal ini menunjukan bahwa usaha tani yang diusahan oleh petani
masih belum layak.
Usaha tani tanaman kopi yang diusahakan oleh petani pada titik 2 ini
dikatakan tidak layak. Hal ini terjadi karena menurut Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia (Puslitkoka) usia ideal tanaman kopi yang produktif, yakni 5
tahun sampai 20 tahun. Sedangakan untuk analisis usaha tani tanaman tahunan
kopi ini baru berjalan 4 tahun dan baru 1 kali panen, maka usaha tani tanaman
tahunan tanaman kopi ini masih dikatakan tidak layak pada tahun ke- 4.
4.5.3 Analisis Usahatani Titik 3
Pada pengamatan titik 3 terdapat tanaman sengon dan tanaman kopi. Pada
lahan tanaman kopi masih termasuk milik petani di titik 2. Hal ini dikarenakan
pengamatan titik 3 dengan titik 2 memiliki jarak yang dekat. Namun pada titik 3
ini termasuk lahan perhutani yang bukan merupakan lahan budidaya milik petani
sehingga tidak dapat melakukan analisis usahatani. Titik 3 ini tidak dapat
digunakan sebagai lahan budidaya karena memiliki tingkat kelerengan sebesar 40
% yang berarti curam sehingga kurang sesuai sebagai lahan budidaya.

87

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pelaksanaan survei tanah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
analitik dengan penggunaan metode grid bebas. Prinsip pendekatan analitik adalah
metode survei fisiografi dengan bantuan interpretasi foto udara, metode ini
digunakan untuk menentukan titik pengamatan. Pengamatan hasil tanah untuk
menentukan karakteristik tanah mulai dari tekstur tanah, struktur tanah, warna
tanah, dan konsistensi tanah
Karakteristik tanah yang ditemukan di lokasi survey tanah yaitu memiliki
epipedon umbrik dan endopedon kambik. Ordo tanah Inceptisol, dengan sub ordo
udepts. Klasifiksi tanah di titik 1dan 2 adalah Typic Humudepts, sedangkan titik 3
Pachic Humudepts. Kelas kemampuan lahan titik 1 dan 2 adalah kelas Vs dan
pada titk 3 adalah VIs. Kesesuaian lahan aktual untuk tanaman talas di titik 1
adalah N eh dan potensialnya N eh, kesesuaian aktual mahoni titik 1 S3 wa eh,
potensialnya wa eh, kesesuaian lahan talas aktual di titik 2 Neh dan potensialnya
N eh, kesesuaian aktual kopi di titik 2 N rc, dan potensial nya S2 rc, oa, eh,
kesesuaian aktaul sengon dan kopi di titik 3 N eh, dan potensialnya N eh.
Analisis usahatani yang dilakukan pada titik 1 yang komoditasnya adalah
talas dikatakan layak karena R/C rasio lebih dari 1. Analisis kelayakan usahatani
tanaman tahunan kopi belum layak dengan indikator yaitu nilai NPV negatif, Net
B/C kurang dari 1, dan IRR menunjukkan nilai dibawah suku bunga bank. Pada
titk 3 tidak dilakukan analisi usahatani karena hanya terdapat tanaman hutan yang
dikelola oleh pihak Perhutani.
5.2 Saran

88

Kondisi lahan di lokasi survei yang terletak di Desa Ngenep, Kecamatan


Karang Ploso, Kabupaten Malang ini masih banyak yang harus diperbaiki, melihat
dari kelas kemampuan dan kesesuaian lahan yang masih memiliki faktor pembatas
yang berat. Selain itu dalam analisis usahatani pada beberapa komoditas juga
masih dikatakan belum layak. Dalam pengelolaan kegiatan usahatani juga harus
tetap memperhatikan ekosistem hutan agar kegiatan pertanian yang dilakukan
dapat berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, T.S., 1991. Survai Tanah dan Evaluasi Lahan. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Cooke R.U & Dornkamp J. 1974. Geomorphology in Environmental
Management, An Introduction. Oxford: Clarendon Press.
Darmawijaya, M. I. 1997. Klasifikasi Tanah. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Djaenuddin, et.al. 1994. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Pertanian dan
Tanaman Kehutanan. Bogor: Center of Soil and Agroclimate Research.
Fiantis, D., 2006. Laju Pelapukan Kimia Debu Vulkanis G. Talang dan
Pengaruhnya Terhadap Proses Pembentukan Mineral Liat Non-Kristalin.
Universitas Andalas, Padang.
Gray. 1997. Factors Influencing Voluntary Annual Report Disclosures by U.S,
U.K. and continental Europe Multinational Corporation. Journal of
International Business Study.
Hanafiah, K.A. 2007. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Handayani, S. dan B.H. Sunarminto. 2002. Kajian struktur tanah lapis olah: I.
pengaruh pembasahan dan pelarutan selektif terhadap agihan ukuran
agregat dan dispersitas agregat. Agrosains 16 :10-17.
Handayani, S. dan B.H. Sunarminto. 2002. Kajian struktur tanah lapis olah: I.
pengaruh pembasahan dan pelarutan selektif terhadap agihan ukuran
agregat dan dispersitas agregat. Agrosains 16 :10-17.

89

Hardjowigeno, S. 1986. Sumber daya fisik wilayah dan tata guna lahan: Histosol.
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hal. 86-94.
Hardjowigeno, S. 1993. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta: Akademika
Pressindo.
Hardjowigeno. 2007. Ilmu Tanah.Jakarta:Akademika Pressindo.
Hernanto, Bachtiar R. 1991. Ilmu Usahatani. Jakarta : Penebar Swadaya
Kadariah, dkk., 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: LP FE UI.
Kadarsan. 1993. Pengantar Ekonomi Pertanian Edisi III. LP3ES: Jakarta
Lobeck, A.K. 1939. Geomorphology, An Introduction to The Study of Landscape.
New York: Mc Graw-Hill Book Co., Inc.
Mukhlis. 2007. Analisis Tanah dan Tanaman. Medan: USU Press.
Mulyadi. 1992. Penentuan Harga Pokok dan Pengendalian Biaya, Edisi keempat.
Yogyakarta: PT. BPFE.
Mulyono, Asep. 2015.Deskripsi dan Klasifikasi Jenis Tanah di Wilayah
Sagalaherang, Subang. Pusat Penelitian Geoteknologi. Online:
(https://www.researchgate.net, Diakses pada: 19 November 2016).
Quirk, J.P. 1987. The physical and chemical basis for the management of soil
structure of Red Brown Earth soil. Dalam. Rengasamy, P. (ed.). Soil
Structure and Aggregate Stability. Conference Proceeding No. 12. April,
1987. Australia. Pp: 2-31
Rahayu, Ayyu, Sri Rahayu Utami, dan M. Luthfi Rayes. 2014. Karakteristik dan
Klasifikasi Tanah Pada Lahan Kering dan Lahan yang Disawahkan di
Kecamatan Perak Kabupaten Jombang. Jurnal Tanah dan Sumberdaya
Lahan Vol. 1 No. 2: 77-87.
Rayes, Moh. Luthfi. 2006. Deskripsi Profil Tanah di Lapangan. Malang: Unit
Penerbitan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Rayes, Mohtar Lutfi. 2007. Metode Inventarisasi Sumberdaya Lahan. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Siregar, HM. 2016. Karakteristik Tanah Inceptisols. Universitas Sumatera Utara.
Online: ( http://repository.usu.ac.id, diakses pada 19 November 2016.)
Sitorus, Santan R.P. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: PT Tarsito
Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press
Supriyono. 2000. Akuntansi Biaya, Buku 1, edisi dua. Yogyakarta: BPFE

90

Suratman Worosuprojo, Suharyadi, Suharyanto. 1993. Evaluasi Kemampuan


Lahan untuk Perencanaan Penggunaan Lahan dengan Metode GIS Di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: UGM
United States Department of Agriculture. 1998. Keys to Soil Taxonomy. USA:
NRCS.
United States Department of Agriculture. 2014. Keys to Soil Taxonomy. Edisi ke12. USA: NRCS.
Verstappen, H. Th. 1983. Applied Geomorphology. International Institute for
Aerial Survei and Earth Science (LT. C) Enschede, The Netherlands.
Web Resmi Desa Tumpakrejo. 2016. Wilayah Desa Ngenep. (Online) (http://desatumpakrejo.malangkab.go.id/news/detail/2721/wilayah-desatawangargo.html, diakses pada 30 Oktober 2016).

91

LAMPIRAN
Titik 1
Kode
Klasifikasi
Lokasi

Koordinat
Fisiografi
Ketinggian
Topografi
Drainase
Permeabilitas
Erosi
Vegetasi
Dominan
Spesifik
Bahan Induk
Horison
Rejim

: B.1.1
: Typic Humudepts
: Lereng Gunung Arjuna dalam wilayah UB
Forest, Dusun Tumpangrejo Desa Ngenep
Kecamatan Karangploso Kabupaten
Malang
: UTM 0676770, 9133634
: Lereng
: 1062 mdpl
: Kemiringan lereng 20%
: Drainase sedang; Aliran permukaan
lambat
: Cepat
: Permukaan;Bahaya erosi ringan
: Agroforestri
: Mahoni
: Talas
: Qvaw
: Epipedon Umbrik dan Endopedon
Kambik
: Suhu: Isohipertermik

Lengas: Udik
Deskripsi Oleh
: Wahyu Eko W, dkk.
Tanggal 05 November 2016

10 YR 2/1 hitam;
Lempung
berdebu;
Gumpal
membulat;
Gembur; Tidak lekat,
Agak
Plastis;
Pori
Ap
mikro sedikit; Pori
(0-23 cm)
meso
sedikit;
Pori
makro sedikit; Akar
halus tidak ada; Akar
sedang sedikit; Akar
kasar sedikit; Baur.
10 YR 3/2 coklat
kehitaman; Lempung
berdebu;
Gumpal
bersudut; Agak teguh;
Agak Lekat, Agak
Bw1
Plastis; Pori mikro
(23-50 cm) sedikit;
Pori
meso
sedikit; Pori makro
sedikit; Akar halus
tidak ada; Akar sedang
sedikit; Akar kasar
sedikit; Jelas.

92

Titik 2
Kode
Klasifikasi
Lokasi

Koordinat
Fisiografi
Ketinggian
Topografi
Drainase
Permeabilitas
Erosi
Vegetasi
Dominan
Spesifik
Bahan Induk
Horison
Rejim
Lengas: Udik
Deskripsi Oleh

: B 1.2
: Typic Humudepts
: Lereng Gunung Arjuna dalam wilayah
UB Forest, Dusun Tumpangrejo Desa
Ngenep Kecamatan Karangploso
Kabupaten
Malang
: UTM 0676835, 9133675
: Lereng
: 1062 mdpl
: Kemiringan lereng 25%
: Drainase lambat; Aliran permukaan
lambat
: Cepat
: Permukaan; Bahaya erosi ringan
: Hutan Produksi
: Mahoni
: Talas, Kopi
: Qvaw
: Epipedon Umbrik dan Endopedon
Kambik
: Suhu: Isohipertermik
: Wahyu Eko W, dkk.
Tanggal 05 November 2016

Ap
(0-19 cm)

Bw1
(19-33 cm)

Bw2
(33-53 cm)

10 YR 2/1 hitam; Lempung


berdebu; Gumpal membulat;
Gembur; Tidak lekat, Agak
Plastis; Pori mikro sedikit;
Pori meso sedikit; Pori makro
sedikit; Akar halus biasa;
Akar sedang tidak ada ; Akar
kasar sedikit; Nyata.
10 YR 3/3coklat tua;
Lempung berliat; Gumpal
bersudut; Agak teguh; Agak
Lekat, Agak Plastis; Pori
mikro sedikit; Pori meso
sedikit; Pori makro sedikit;
Akar halus biasa; Akar
sedang tidak ada; Akar kasar
sedikit; Baur.
10
YR
3/6coklat
tua
kekuningan; Liat berdebu;
Gumpal bersudut; Agak
teguh; Agak Lekat, Agak
Plastis; Pori mikro sedikit;
Pori meso sedikit; Pori makro
sedikit; Akar halus biasa;
Akar sedang tidak ada; Akar
kasar sedikit; Baur.

93

Titik 3
Kode
Klasifikasi
Lokasi

Koordinat
Fisiografi
Ketinggian
Topografi
Drainase
Permeabilitas
Erosi
Vegetasi
Dominan
Spesifik
Bahan Induk
Horison
Rejim
Deskripsi Oleh

: B 1.3
: Pachic Humudepts
: Lereng Gunung Arjuna dalam wilayah UB
Forest, Dusun Tumpangrejo Desa Ngenep
Kecamatan Karangploso Kabupaten
Malang
: UTM 0676884, 9133673
: Lereng
: 1064 mdpl
A
: Kemiringan lereng 40%
(0-50 cm)
: Drainase cepat; Aliran permukaan sangat
cepat
: Sangat cepat
: Permukaan; Bahaya erosi sedang
: Agroforestri
: Sengon
: Kopi
: Qvaw
: Epipedon Umbrik dan Endopedon Kambik
: Suhu: Isohipertermik
Lengas: Udik
: Wahyu Eko W, dkk.
Tanggal 05 November 2016

10 YR 2/2 hitam
kecoklatan;
Lempungliat berdebu;
Gumpal
membulat;
Gembur; Tidak lekat,
Agak
Plastis;
Pori
mikro sedikit; Pori
meso
sedikit;
Pori
makro sedikit; Akar
halus tidak ada; Akar
sedang sedikit; Akar
kasar tidak ada.

94

Anda mungkin juga menyukai