PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Etika situasi: hukum moral tidak dapt diterapkan dalam situasi konkret.
Individu memiliki kebebasan untuk memutuskannya, karena individu harus
menunjukan keautentikannya (dalam ekistensialisme manusia itu unuk dalam dirinya
sendiri sehingga ia tak dapat disamakn atau diseragamkan dengan orang lain) ,
keasliannya. Dengan demikian keputusan moral adalah otonomi individu karenanya
tidak ada hukum moral yang tetap dan kaku. Etika situasi melarang adanya ketaatan
buta pada hukum, doktrin atau peraturan moral tertentu. Sehingga dengan tegas etika
moral melawan etika peraturan. Suatu keputusan yang otonomi harus disesuakin
dengan situasi agr menghasilkan sebuah aksi yang positif bukannya suatu hukum
moral yang kaku dicari lalu ditempatkan dalam suatu situasi sehingga denga
angkuhnya mengatakan perbuatan ini benar dan yang lain salah. Berbohong untk
menyelamatkan nyawa seorang manusia bisa dilihatsebagai suatu tindakan
melanggar nilai moral karena berbohong itu dilarang (etika peraturan yang kadang
tampak dalam institusi-institusi keagamaan yang menghilangkan unsur rasionalitas
dala moralitas). Di sini etika situasi muncul sebagai reaksi terhadap keangkuhan
etika peraturan. Joseph Fletcher, sang penggagas utama etika situasi menyebutkan
bahwa etika situasi adalah etika yang hadir di antara legalisme dan antinomisme.
Legalisme tidak jauh berbeda dengan etika peraturan di mana legalisme
menggambarkan kekauan nilai moral. Sementara antinomisme adalah etika situasi
radikal yang menyangkal adanya nilai moral. Di sini etika situasi berdiri di antara
dua paham ini. Etika situasi tidak menolak nilai moral dan tidak terima begitu saja
suatu pemahaman moral. Etika situasi selalu kembali kepada situasi dan menjadikan
nilai-nilai moral sebagai penerang bagi pengambilan keputusan positif atau tidaknya
sebuah
aksi.
Dalam
etika
situasi
motralitas
menemukan
kembali
aspek
rasionalitasnya.
Menrut Joseph Fletcher, suatu keputusan moral dapat dipertanggungjawabkan
melalui ketiga unsur berikut ini, suatu tindakan harus dilihat dalam kaca mata cinta
kasih, kemudian dilaksanakan secara bijaksana dan harus terjadi pada waktu yang
tepat. Misalnya seorang bapa mengejar anaknya untuk dipenggal kepalanya. Si anak
berlari dan bersembunyi di rumahmu. Anda pada situasi seperti ini wajib berbohong
apabila berhadapan dengan si ayah tersebut, karena pilihan untuk jujur akan
membahayakan keselamtan si anak. Kasus seperti ini harus di lihat dalam kacamata
cinta kasih. Menipu atau berbohong karena alasan cinta kasih. Lalu dilakukan secara
bijaksana dan harus pada waktu yang tepat.
BAB II
PEMBAHASAN
bebas dari sudut pandang kaum etika situasi dapat saja disimpulkan prinsip-prinsip
umum dari apa pun yang menjadi hukum universal satu-satunya (agape = kasih untuk
orang kristiani, sesuatu yang lain bagi orang lain), tetapi bukan hukum-hukum atau
peraturan-peraturan. Kita tidak dapat memeras hal-hal universal dari sesuatu yang
universal.
Sebuah kartun dalam suatu majalah fundamentalis pernah memperlihatkan
Musa marah-marah, memegang papan batu dengan semua sepuluh perintah terpahat
(yang diberikan Allah sendiri kepadanya di Gunung Sinai), dan seorang pemahat
bersemangat yang mengatakan kepadanya, Aaron mengatakan barangkali Anda
akan mengizinkan kami meringkas sepuluh perintah itu menjadi bertindak secara
bertanggungjawab dalam cinta kasih kartun itu dimaksud sebagai sindiran terhadap
kaum etika situasi dan moralitas baru, tetapi humor legalistik didalamnya
(sebenarnya) hanya menyatakan persis apa yang (memang) diperjuangkan oleh etika
situasi. Dietrich Bonhoeffer dan teman-temannya mengatakan bahwa prinsip-prinsip
hanyalah sarana dalam tangan Allah, yang segera akan dibuang karena tak terpakai.
Etika situasi ini hanya mengakui satu norma moral yaitu cinta kasih sehingga
saya menilai buruk, karena segala sesuatu dapat dinilai benar dan baik dilihat
dari situasi dan cinta kasih.
Etika situasi ini juga bertengtangan dengan Alkitab, seperti: Janganlah kamu
berhutang apa-apa kepada siapa pun juga, kecuali saling mengasihi (Roma
13:8) dalam Etika Situasi ini tidak menjadikan perintah Yesus.
Etika situasi ini juga menekankan kasih. Tetapi kasih yang bertentangan
dengan kasih kristiani. Karena kasih dalam etika situasi ini mengabaikan
hukum-hukum lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa ETIKA SITUASI mengajak kita agar tidak sekedar menjiplak
norma-norma yang sudah ada untuk diterapkan begitu saja pada semua kasus, pantas
diterima. Namun melawan etika situasi harus dipertahankan bahwa terhadap normanorma umum ( sama seperti ada juga situasi umum, tidak setiap situasi serba lain);
norma-norma abstrak berlaku mutlak, sedangkan norma-norma umum konkret hanya
berlaku sebagai patokan yang pada umumnya perlu diikuti. Meskipun demikian
harus diakui bahwa norma-norma umum itu tidak pernah mencukupi utk memastikan
bagaimana seseorang harus bertindak dalam situasi konret. Argumen yang sama bisa
diterapkan juga melawan RELATIVISME MORAL KULTURAL yang melihat
masalah moral sebagai masalah kebiasaan faktual deskriptif saja, padahal dari das
Sein (kenyataannya) tidak dengan sendirinya berarti das Sollen (yang seharusnya).
Fakta bahwa ada korupsi yang sudah jadi kebiasaan, sama sekali tidak berarti bahwa
orang seharusnya (artinya:boleh) berbuat korupsi.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
http://budiutomo79.blogspot.com/2007/11/etika-dalam-pelayanan-publik.html
http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/07/konsep-etika-pelayanan-publik.html
http://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/studi-etika-pelayanan-publik/
http://staf.unp.ac.id/yusranrdy/index.php?
option=com_content&task=view&id=41&Itemid=2
http://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewujudkan-birokrasi-yangmengedepankan-etika-pelayanan-publik/
http://titinmaseng.blogspot.com/2009/05/etika-pelayanan-publik-di-indonesia.html
http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-Lemahnya-Etika-PelayananPublik,1