Anda di halaman 1dari 17

HIPONATREMIA

Horacio J. Adrogue dan Nicolaos E. Madias


PENDAHULUAN
Definisi hiponatremia yakni penurunan kadar konsentrasi sodium pada serum
dibawah 136 mmol per liter. Pada hipernatremia terjadi kondisi hipertonis sedangkan
pada hiponatremia dapat dikaitkan dengan rendah, normal, atau tingginya zat yang
terlarut dalam cairan tubuh. Osmolalitas yang baik atau kelarutan yang efektif
merupakan kontribusi dari osmolalitas zat terlarut seperti sodium dan glukosa yang
tidak dapat bergerak bebas melewati membran sel sehingga dengan demikian
menginduksi perpindahan air antar sel. Hiponatremia dilusional (akibat pengenceran)
merupakan bentuk gangguan yang paling sering ditemukan yang diakibatkan oleh
retensi cairan. Jika asupan air berlebih, kemampuan ginjal mengeksresikan air, hasil
zat-zat terlarut yang berdilusi, akan menyebabkan hipo-osmolalitas dan hipotonik
(gambar 1B, 1E, 1F, dan 1G). Hipotonisitas dapat menyebabkan edema serebral,
komplikasi yang berpotensial mengancam nyawa. Hiponatremia hipotonis dapat
dikaitkan dengan osmolalitas serum normal atau bahkan osmolalitas yang tinggi jika
sejumlah zat terlarut yang dapat menembus membran sel (contoh: urea atau ethanol)
tetap bertahan/tidak menembus membran (Gambar 1C). Pasien dengan hiponatremia
hipotonis yang memiliki osmolalitas serum yang normal atau tinggi merupakan
pasien yang memiliki resiko terjadi hipotinisitas, begitu pula pasien-pasien dengan
hiponatremia hipo-osmolar.
Yang termasuk dalam hiponatremia non-hipotonis yakni hiponatremia
hipertonik

(atau

translokasi

hiponatremi),

hiponatremia

isotonik,

dan

pseudohiponatremia. Hiponatremi translokasi merupakan akibat dari perpindahan air


dari dalam sel ke ekstrasel yang di gerakkan oleh molekul yang terikat di
kompartemen ekstraseluler (yang dapat terjadi pada keadaan hiperglikemi atau retensi
manitol hipertonis), osmolalitas serum meningkat, dan pada tonisitas yang mampu
menyebabkan dehidrasi sel. Retensi cairan isotonis dalam jumlah yang besar pada
ruangan

ekstraseluler

yang

tidak

mengandung

sodium

(contoh:

manitol)

menyebabkan hiponatremia isotonis/iso-osmolar namun tidak terdapat perpindahan


air transeluler. Pseudo-Hiponatremia adalah bentuk palsu hiponatremia isotonik yang
diidentifikasi ketika keadaan hipertrigliserid yang berat atau paraproteinemia
meningkatkan fase substansi padat dalam plasma dan konsentrasi sodium yang diukur
melalui nilai pengukuran oleh sinar fotometri. Adanya peningkatan pada pengukuran
langsung sodium serum dengan elektrode ion spesifik telah dilakukan namun
mengeleminasi artefak laboratorium ini.
Masalah klinis umum yakni hiponatremia sering terjadi pada pasien yang
dirawat di rumah sakit. Walaupun morbiditasnya sangat bervariasi dalam tingkat
keparahannya, komplikasi serius dapat muncul dari gangguan itu sendiri demikian
pula dari penatalaksanaan yang tidak sesuai. Pada artikel ini di fokuskan pada
pembahasan penatalaksanaan hiponatremia, yang menekankan pendekatan kuantitatif
dalam mengoreksinya.
ETIOLOGI
Hiponatermia hipotonis (dilusi hiponatremia) memperlihatkan berlebihnya air
yang terkait dengan penyimpanan sodium, yang dapat menurun, hingga normal, atau
meningkat (gambar 1). Retensi cairan merupakan cerminan gambaran kondisi yang
paling sering pada gangguan eksresi ginjal; dengan sebagian kecil kasus diakibatkan
oleh asupan cairan berlebih, dengan kapasitas eksresi normal atau mendekati normal
(Tabel 1).
Kondisi dengan gangguan eksresi ginjal dikategorikan berdasar karakteristik
dari volume cairan ekstraseluler serta merujuk pada hasil penilaian klinis (tabel 1).
Dengan pengecualian gagal ginjal, kondisi ini dikategorikan berdasarkan konsentrasi
arginin vasopressin dalam plasma yang tinggi walaupun terdapat kondisi hipotonis.
Sangat menurunnya jumlah potassium banyak menyertai gangguan ini dan
berkontribusi terhadap hiponatremia, sehingga konsentrasi sodium ditentukan
berdasarkan perbandingan jumlah sodium tubuh yang dapat bertukar (aktif
mengalami osmosis) dengan kadar potassium yang terkandung dalam seluruh cairan
di tubuh (gambar 1G). Pasien dengan hiponatremia yang diinduksi oleh thiazid dapat

memperlihatkan gambaran hipovolemia yang bervariasi atau tampak seperti


euvolemia, tergantung rentang kehilangan sodium dan derajat retensi cairan.

Keteranga
n gambar 1. Ilustrasi kompartemen cairan intrasel dan ekstrasel pada keadaan normal
dan saat terjadi hiponatremia
Asupan air yang berlebihan dapat menyebabkan hiponatremia dengan
meluapnya kapasitas eksresi air yang normal (contoh: polidipsi primer) (tabel 1).
Namun demikian, pasien psikiatri dengan asupan cairan berlebih memiliki
konsentrasi arginin vasopressin dalam plasma yang tidak tersupresi sepenuhnya dan
urinnya tidak berdilusi maksimal sehingga berkontribusi terhadap retensi cairan.

Bagan (A). Kompartemen cairan ekstrasel dan intrasel yang masing-masing


merupakan 40% dan 60% dari total cairan tubuh pada keadaan normal

Bagan (B). Pada sindrom dengan sekresi hormon antidiuretik yang tidak
sesuai, volume cairan ekstrasel dan cairan intrasel bertambah (walaupun
terjadi sedikit kehilangan komponen potassium dan sodium yang terjadi di
awal sindrom, tidak diperlihatkan)

Bagan (C). Retensi cairan dapat menyebabkan hiponatremia hipotonis tanpa


perkiraan hipo-osmolalitas pada pasien yang memiliki akumulasi zat terlarut
yang tidak bermanfaat, seperti urea.

Bagan (D). Perpindahan air dari kompartemen cairan intrasel ke


kompartemen ekstrasel yang digerakkan oleh zat terlarut yang berada di
ekstrasel menyebabkan hiponatremia hipertonis (hiponatremia translokasi).

Bagan (E). Menipisnya kadar sodium (dan retensi cairan sekunder)


umumnya menyusutkan volume cairan ekstrasel tetapi memperluas
kompartemen cairan intraseluler. Pada saat ini, penyimpanan air dapat
mencukupi untuk pengembalian volume cairan ekstraseluler ke batas
normal bahkan di atas batas normal.

Bagan (F). Hiponatremia hipotonis pada keadaan sodium yang tersimpan,


melibatkan perluasan kedua kompartemen namun lebih dominan perluasan
di kompartemen cairan ekstraseluler.

Bagan (G). Penambahan sodium dan kehilangan potassium yang dikaitkan


dengan gangguan eksresi air, yang juga dialami pada gangguan jantung
kongestif dengan terapi diuretik menyebabkan ekspansi kompartemen
cairan ekstraseluler tetapi penyusutan kompartemen cairan intraseluler.

Pada setiap bagan, lingkaran putih menandakan molekul sodium, lingkaran


hitam menandakan potassium.
Etiologi hiponatremia hipotonis.
Tabel 1. Gangguan kemampuan ginjal mengeksresikan air.
Penurunan volume cairan ekstraseluler

Volume normal cairan ekstraseluler

Kehilangan sodium pada ginjal


-Obat diuretik
-Diuresis osmotic (glukosa, urea, mannitol)
-Insufisiensi adrenal
-Nefropati yang membuang garam
-Bikarbonat-uria (asidosis tubulus ginjal,
ketidakseimbangan
tingkat
pengeluaran/muntah)
-Ketonuria
Kehilangan sodium ekstra renal
-Diare
-Kehilangan darah
-Muntah-muntah
-Keringat berlebih (contoh pada pelari maraton)
Adanya cairan asing di ruangan ketiga
-Obstruksi saluran cerna
-Peritonitis
-Peradangan pancreas
-Trauma otot
-Luka bakar

Penggunaan Diuresis agen tiazid


Hipotiroidisme
Insufisiensi adrenal
Sindrom gangguan sekresi hormon antidiuretik
Keganasan
- Tumor paru
- Tumor mediastinum
- Tumor ekstra toraks
Gangguan sistem saraf pusat
- Psikosis akut
- Penyakit inflamasi dan demyelinisasi
- Stroke
- Perdarahan
- Trauma
Penggunaan obat-obatan
- Desmopressin
- Oksitosin
- Penghambat prostaglandin sintesis
- Nikotin
- Fenothiazine
- Trisiklik
- Penghambat re-uptake serotonin
- Turunan opiate
- Chlorpropamide
- Clofibrate
- Karbamazepine
- Siklofosfamid
- Vincristine
Kondisi gangguan pulmonal
- Infeksi
- Kegagalan paru akut (acute respiratory failure)
- Ventilasi tekanan positif
Keadaan lain
- Keadaan paska operasi
- Nyeri
- Mual yang berat
- Infeksi oleh HIV

Tabel 2. Asupan cairan yang berlebih


-

Akibat asupan yang berlebihan


Polidipsi primer (sering terjadi reduksi ringan pada kapasitas ekresi cairan)
Pengenceran susu formula pada bayi
Cairan irigasi bebas sodium (yang biasa digunakan pada tindakan hysteroscopy, laparascopy,

atau reseksi prostat trans-uretral (TUR-P)


Asupan air yang besar akibat ketidaksengajaan (contoh pada saat pelajaran berenang)
Enema dengan penggunaan air yang banyak

Hiperglikemia merupakan penyebab translokasi hiponatremia yang paling


umum ditemukan (gambar 1D). Peningkatan konsentrasi glukosa serum 100
mg/desiliter (5,6 mmol/liter) menurunkan konsentrasi sodium serum sekitar 1,7
mmol/liter, dengan hasil akhir pencapaian osmolalitas serum sekitar 2,0 mOsm/kg
dalam air. Retensi akibat hipertonis manitol, yang terjadi pada pasien dengan
insufisiensi renal memiliki pengaruh yang sama. Pada kedua kondisi tersebut keadaan
hipertonis dapat diperburuk oleh diuresis osmotik. Hiponatremia sedang atau
hipernatremia dapat berkembang, akibat menurun drastisnya jumlah keseluruhan
kadar sodium dan potassium dalam serum yang dikeluarkan oleh urin.
Penyerapan yang besar pada cairan irigan yang tidak mengandung sodium
(seperti yang digunakan pada reseksi prostat trans-uretra) dapat menimbulkan gejala
hiponatremia hingga dalam kondisi yang berat. Memperhatikan komposisi cairan
irigan, hiponatremia yang diakibatkan dapat berupa hiponatremia hipotonis
(menggunakan irigan yang mengandung 1,5% Glisin atau 3% Sorbitol) atau
hiponatremia isotonis (menggunakan irigan yang mengandung 5% mannitol). Masih
belum diketahui dengan pasti apakah gejala yang didapatkan merupakan akibat
adanya zat terlarut irigan yang tersisa, pengaruh produksi metabolik zat terlarut dalam
irigan, keadaan hipotonis, atau rendahnya konsentrasi dosium itu sendiri.
Penyebab paling sering hiponatremia berat pada orang dewasa adalah akibat
penggunaan obat golongan thiazid, keadaan-keadaan setelah operasi, dan penyebab
lain Sindrom gangguan sekresi hormon antidiuretik, polidipsi pada pasien psikiatrik,
dan pada pasien yang telah menjalani TUR-P. Kehilangan cairan gastro-intestinal,
konsumsi jumlah air yang besar akibat ketidaksengajaan, atau mendapatkan terapi
enema dengan penggunaan banyak air merupakan penyebab utama hiponatremia pada
bayi-bayi dan anak-anak.

Keterangan Gambar 2. Pengaruh hiponatremia pada otak dan respon penyesuaian


Dalam beberapa menit dengan keadaan hipotonis, penambahan air menyebabkan
pembengkakan pada otak dan penurunan osmolalitas otak. Pemulihan sebagian volume otak
terjadi dalam beberapa jam sebagai akibat kehilangan elektrolit sel (adaptasi cepat).
Perbaikan hingga volume otak normal sempurna dalam beberapa hari sepanjang hilangnya
osmolitas organik pada sel otak (adaptasi lambat). Osmolalitas yang rendah pada otak tetap
terjadi walaupun volume otak telah normal. Koreksi hipotonis yang sesuai akan
mengembalikan osmolalitas menjadi normal tanpa adanya resiko kerusakan otak. Koreksi
yang berlebihan/agresif dapat menyebabkan kerusakan otak yang ireversibel.

MANIFESTASI KLINIS
Seperti pada hipernatremia, manifestasi hiponatremia hipotonis sangat
berhubungan dengan gangguan pada sistem saraf pusat dan lebih perlu diwaspadai
ketika penurunan konsentrasi sodium serum yang besar dan dalam kurun waktu

singkat (contohnya bila terjadi dalam periode beberapa jam). Nyeri kepala, mual,
muntah, keram otot, letargi, rasa lelah, disorientasi, dan refleks depresi sebaiknya
diobservasi. Kebanyakan pasien dengan konsentrasi sodium serum mencapai 125
mmol/liter tidak memperlihatkan gejala, sedangkan pada kadar yang lebih rendah
dapat memberikan gejala khususnya pada pasien dengan gejala yang berkembang
dalam waktu yang singkat. Komplikasi berat dan akut hiponatremia dapat berupa
kejang, koma, kerusakan otak permanen, henti nafas, herniasi batang otak, hingga
kematian. Komplikasi ini biasanya terjadi akibat retensi air yang berlebihan pada
pasien yang pada dasarnya telah mengalami euvolemia (contohnya pada pasien yang
sedang menjalani masa pemulihan setelah mendapatkan tindakan pembedahan atau
yang menderita polidipsi primer); wanita yang menstruasi nampaknya menjadi faktor
resiko.
Hiponatremia hipotonis menyebabkan air masuk menembus otak menyebabkan
edema serebral (gambar 2). Akibat cranium disekitarnya yang membatasi ekspansi
otak, terjadilah peningkatan tekanan intrakranial, yang beresiko menyebabkan cedera
otak. Untunglah cairan akan meninggalkan jaringan otak dalam waktu beberapa jam,
sehingga menginduksi perbaikan edema serebral. Proses adaptasi otak ini berlaku
pada kondisi hiponatremia yang sifatnya asimptomatik bahkan pada hiponatremia
yang berat yang terjadi secara lambat. Walaupun demikian, penyesuaian otak juga
merupakan sumber resiko demyelinisasi osmotik. Walaupun jarang terjadi,
demyelinisasi osmotic merupakan keadaan serius dan dapat terjadi pada hari pertama
hingga beberapa hari setelah penatalaksanaan agresif hiponatremia dengan cara
apapun, termasuk melalui pembatasan pemasukan air. Mengerutnya jaringan otak
mencetuskan demyelinisasi neuron pons dan ekstrapons yang dapat memberikan
disfungsi neurologis, seperti kuadriplegia, pseudobulbar palsy, kejang-kejang, koma,
hingga kematian. Kegagalan hepar, menipisnya kadar potassium, dan malnutrisi
meningkatkan resiko terjadinya komplikasi ini.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan yang optimal pada hiponatremia hipotonis membutuhkan


keseimbangan resiko keadaan hipotonis dengan terapi yang diberikan. Kehadiran
gejala-gejala dan tingkat keparahannya mempengaruhi langkah-langkah yang
diterapkan dalam koreksinya.
Hiponatremia hipotonis yang memberikan gejala klinis
Pasien dengan hiponatremia yang memperlihatkan gejala klinis dengan urin
terkonsentrasi (osmolalitas > 200 mOsml/kg air) dan kondisi klinis euvolemia atau
hipervolemia membutuhkan pemberian cairan garam (saline) intravena (tabel 2).
Pengobatan ini dapat memberikan koreksi hiponatremia yang cepat tetapi terkontrol.
Cairan garam hipertonis biasanya dikombinasikan dengan furosemid untuk
membatasi terinduksinya perluasan volume cairan ekstraseluler. Dikarenakan diuresis
yang terinduksi oleh furosemid seimbang dengan + satu setengah cairan garam, hal
ini membantu koreksi hiponatremia, begitupula kehilangan cairan oleh kulit dan
sistem respirasi, antisipasi akan kehilangan cairan tubuh ini akan mempengaruhi
langkah pemberian cairan garam hipertonis. Intake air bebas elektrolit tidak
diberikan. Sebagai tambahan larutan garam, terapi pengganti hormon sebaiknya
diberikan pada pasien dengan suspek hipotiroidisme atau insufisiensi adrenal setelah
sampel darah telah diperiksa untuk keperluan diagnostik. Di lain pihak, kebanyakan
pasien dengan hipovolemia dapat berhasil diobati dengan cairan isotonis. Pasien
dengan kejang-kejang mebutuhkan terapi obat antikonvulsan segera dan ventilasi
yang adekuat.
Pasien dengan hiponatremia bergejala dan urin yang encer (osmolalitas, < 200
mOsm/kg air) namun memiliki gejala serius yang lebih sedikit biasanya hanya
membutuhkan retriksi asupan air dan observasi ketat. Gejala berat (kejang dan koma)
membutuhkan pemberian infus cairan garam hipertonis.

Tidak terdapat kesepakatan penatalaksanaan yang paling optimal pada kondisi


hiponatremia bergejala. Walaupun demikian, koreksi sebaiknya menjadi langkah yang
penting untuk menurunkan menifestasi hipotonisitas namun tidak dalam waktu yang
singkat dan luas yang akan memberikan paparan resiko terjadi demyelinisasi osmotik.
Pertimbangan fisiologis mengindikasikan bahwa sedikit peningkatan relatif
konsentrasi sodium serum, hingga 5% seharusnya dapat mereduksi edema serebral
secara bermakna. Bahkan kejang yang diakibatkan oleh hiponatremia dapat
dihentikan dengan peningkatan cepat konsentrasi sodium serum dengan rata-rata 3
sampai 7 mmol/liter. Kasus demyelinisasi osmotik yang paling sering terjadi setelah
tingkat koreksi yang besar hingga 12 mmol/liter dalam sehari, namun kasus-kasus
yang jarang terjadi setelah koreksi dengan hanya 9 hingga 10 mmol/liter dalam 24
jam atau 19 mmol/liter dalam 48 jam. Setelah mendapatkan bukti-bukti yang ada dan
resiko nyata yang melampaui tanda batas, kami merekomendasikan tingkat kecepatan
koreksi yang tidak lebih dari 8 mmol/liter/hari pengobatan. Berdasarkan target ini,

tingkat awal koreksi dapat berupa 1 hingga 2 mmol/jam dalam beberapa jam untuk
pasien yang memperlihatkan gejala yang berat. Bila gejala berat tersebut tidak
memberikan respon sesuai dengan target yang ditentukan, disarankan batas target
dinaikkan secara hati-hati akibat resiko dari keadaan hipotonis berpotensi untuk
menyebabkan demyelinisasi osmotik.
Indikasi penghentian koreksi cepat yang direkomendasikan pada hiponatremia
dengan gejala (terkait metode yang digunakan) adalah manifestasi puncak yang
mengancam nyawa, gejala yang sedang, atau konsentrasi sodium serum yang dicapai
berada di bawah 100 mmol/liter. Pengobatan jangka panjang hiponatremia (akan
dijelaskan berikut) sebaiknya dimulai. Walaupun tingkat koreksi yang cepat aman
untuk ditoleransi pada kebanyakan pasien dengan gejala akut hiponatremia, belum
terdapat bukti pasti melalui pendekatan yang bermanfaat. Selain itu, sulit mengetahui
dengan pasti durasi hiponatremia.
Bagaimana cara pemeriksa menentukan tingkat pemberian infus dengan
pilihan larutan yang akan diberikan? Untuk menghitung ini akan sangat bermanfaat
dengan mengaplikasikan persamaan 1 pada tabel 2, yang merupakan persamaan yang
juga digunakan dalam tatalaksana hipernatremia, yang memproyeksikan perubahan
sodium serum yang diperoleh dengan retensi 1 liter cairan infus. Pembagian
perubahan target sodium serum dalam periode penatalaksanaan berdasarkan output
yang dihasilkan pada persamaan ini, menentukan volume cairan infus/kecepatan infus
yang dibutuhkan. Tabel 2 juga memperlihatkan konsentrasi sodium serum yang
umumnya digunakan pada cairan infus, fraksi distribusinya di cairan ekstrasel, dan
perkiraan klinis total cairan tubuh. Tidak lagi direkomendasikan penggunaan
persamaan konvensional dalam koreksi hiponatremia berikut :
Kebutuhan sodium = TBW x (target konsentrasi sodium-konsentrasi sodium saat ini)

Persamaan konvensional ini membutuhkan prosedur yang kompleks untuk


mengkonversi jumlah sodium yang dibutuhkan untuk meningkatkan konsentrasi
sodium pada kecepatan cairan infus yang digunakan.
Kasus-kasus di bawah ini memberikan ilustrasi bentuk beragam hiponatremia
dengan gejala dan penatalaksanaannya.

Hiponatremia pada keadaan setelah operasi


Wanita 32 tahun yang sebelumnya sehat mengalami kejang grand mal 2 hari
setelah menjalani apendektomi. Dia mendapatkan 20 mg diazepam dan 250 mg
fenitoin/iv dan menjalani intubasi laryngeal dengan ventilator mekanik. 3 liter
dekstrosa 5% telah dimasukkan dalam infus sehari setelah operasi dan pasien
selanjutnya meminum air yang tidak diketahui jumlahnya. Secara klinis pasien dalam
keadaan euvolemia dengan BB 46 kg, kesadaran stupor, memberikan respon terhadap
nyeri namun tidak pada perintah. Kadar Natrium 112 mmol/l, kadar Kalium 4,1
mmol/l, osmolalitas serum 228 mOsm/kg air. Hiponatremia hipotonis pada pasien ini
merupakan hasil retensi air yang diakibatkan oleh gangguan eksresi air yang
dikaitkan dengan kondisi paska operasi. Rencana pengobatan dengan menahan intake
cairan, pemberian infus NaCl 3%, dan pemberian furosemid 20 mg/iv. Estimasi
volume cairan tubuh keseluruhan adalah 23 liter (0,5 x 46).
Berdasarkan persamaan 1 tabel 2, diperkirakan retensi 1 liter NaCl 3% akan
meningkatkan konsentrasi Na di serum hingga 16,7 mmol/l ([513-112] : [23+1] =
16,7). Pada gejala yang serius, tujuan awal pengobatan yang dibutuhkan adalah
meningkatkan kadar Na hingga 3 mmol/l dalam 3 jam pertama; sehingga 0.18 liter
NaCl hipertonik (3:16,7) atau 60 ml per jam. Pencatatan teratur hasil konsentrasi
sodium setiap 2-3 jam perlu dilakukan agar pemberian jumlah cairan berikutnya dapat
disesuaikan. Walaupun pengukuran elektrolit urin kadang-kadang dapat membantu
penatalaksanaan, umumnya sudah tidak dilakukan dan tidak direkomendasikan
sebagai pemeriksaan rutin prosedur ini.
3 jam kemudian kadar Na serum menjadi 115 mmol/l. Kejang tidak lagi
dialami namun tingkat kesadaran masih belum berubah. Tujuan berikutnya adalah
meningkatkan kadar Na serum dengan menambahakn 3 mmol/l dalam periode 6 jam
dengan penggunaan larutan NaCl 3%; dengan kecepatan pemberian infus 30 ml/jam.
9 jam setelah pemberian kadar Na menjadi 119 mmol/l. tidak terdapat lagi aktivitas
kejang dan pasien mulai memberikan reaksi pada perintah. Pemberian cairan

hipertonis tidak lagi dilanjutkan namun dilakukan monitor ketat keadaan klinis pasien
dan kadar Na serum berikutnya.
Hiponatremia pada keadaan dengan euvolemia.
Seorang lelaki 58 tahun memiliki karsinoma paru datang dengan kebingungan
yang berat dan letargi. Secara klinis, pasien nampak euvolemik dengan BB 60 kg.
kadar Na serum 106 mmol/l, K 3,9 mmol/l, dan osmolalitas serum 220 mOsm/kg air,
Urea serum 5 mg/dl (1,8 mmol/l), Kadar kreatinin 0,5 mg/dl (44,2 mcmol/L), dan
osmolalitas urin 600 mOsm/kg air. Dokter memberikan diagnose awal sindrom yang
terinduksi oleh tumor yang menyebabkan ketidaksesuaian sekresi hormon antidiuretik
dengan dasar adanya hiponatremia hipotonis dan urin yang terkonsentrasi pada pasien
euvolemik, tidak adanya riwayat penggunaan obat antidiuretik, dan tidak adanya
gejala yang mengarah pada hipotiroidisme atau hipoadrenalisme. Penatalaksanaan
meliputi pembatasan air, pemberian infus larutan NaCl 3% dan furosemid 20 mg/iv.
Estimasi total cairan tubuh sekitar 36 liter (0,60 x 60).
Berdasarkan persamaan 1 tabel 2, retensi 1 liter NaCl 3% diestimasi dapat
meningkatkan kadar Na serum 10,9 mmol/l ([513-108]:[36+1] = 10,9). Tujuan awal
adalah meningkatkan kadar Na serum 5 mmol/L dalam 12 jam berikutnya. Oleh
karena itu kebutuhan 0,46 L NaCl 3% perlu diberikan (5:10,9) atau dibutuhkan 38
ml/jam .
12 jam setelah pemberian, kadar Na menjadi 114 mmol/L. Pasien
memperlihatkan letargi ringan namun mudah untuk dibangunkan. Cairan garam
hipertonis dihentikan pemberiannya namun retriksi cairan dan monitoring ketat
dilanjutkan. Tujuan uatama berikutnya adalah untuk meningkatkan kadar Na 2
mmol/ldalam 12 jam berikutnya. 20 jam setelah pemberian, konsentrasi Na serum
115 mmol/L dan pasien dalam keadaan sadar. Perlu diberikan penatalaksanaaan
hiponatremia jangka panjang.
Hiponatremia pada keadaan hipovolemik

Wanita, 68 tahun masuk ke RS dengan penurunan kesadaran yang progresif


dan pingsan, sebelumnya telah mendapatkan diet rendah garam dan 25 mg
hidroklorotiazid/hari karena memiliki riwayat hipertensi; pasien mengalami diare
sejak 3 hari yang lalu. Pasien tidak letargik namun memperlihatkan deficit neurologic
fokal. BB 60 kg, dengan tekanan darah pada posisi supine 96/56 mmHg, denyut nadi
110 kali/menit. Turgor kulit menurun dan vena jugularis rata. Kadar Na serum 106
mmol/L, K 2,2 mmol/L, dan kadar bikarbonat 26 mmol/L. Kadar urea /kg air mg/dl
(16,4 mmol/L), kreatinin 1,4 mg/dl (123,8 mcmol/L), osmolalitas 232 mOsm dan
osmolalitas urin 650 mOsm/kg air. Pasien didiagnosis hiponatremia hipotonis
diakibatkan oleh riwayat terapi dengan thiazid, kehilangan garam pada sistem
gastrointestinal, dan dikaitkan dengan berkurangnya kalium. Hidroklorothiazid dan
air dihentikan pemberiannya untuk sementara dan diberikan cairan infus dengan NaCl
0,9% dan infus yang mengandung 30 mmol KCl/l. estimasi total cairan tubuh adalah
27 liter (0,45x60).
Berdasarkan persamaan 1 tabel 2 (turunan sederhana persamaan 1),
diproyeksikan bahwa retensi 1 liter pemberian infus ini akan meningkatkan
konsentrasi

Na

serum

2,8

mmol/l

([154+30]-106:[27+1]=2,8).

Dengan

mempertimbangkan keadaan hemodinamik pasien, dokter memberikan pemberian


infus 1 liter/jam untuk 2 jam berikutnya. Pada akhir periode ini, TD menjadi 128/77
mmHg dengan status mental lebih baik, dan kadar Na menjadi 112 mmol/l, dan kadar
K 3,0 mmol/l. Begitu dikenali bahwa volume cairan ekstrasel telah kembali,
rangsangan non-osmotik untuk pelepasan arginin vasopresor akan berhenti, dengan
demikian perlu dibantu mempercepat eksresi urin agar koreksi hiponatremia lebih
cepat. Oleh karena itu cairan diganti dengan NaCl 0.45% dan mengandung 30 mmol
KCl/liter yang diberikan 100 ml/jam. Meskipun dengan estimasi pemberian 1 liter
cairan ini tidak akan memberikan efek kenaikan kadar Na serum ([77+30]-112:
[27+1]= - 0.2), produksi urin yang diantisipasi dengan kadar Na dan K rendah akan
lebih memperlihatkan tingkat koreksi hiponatremia pada saat pemberian infus
tersebut. 12 jam setelah pemberian, kondisi pasien semakin meningkat, kadar Na
menjadi 114 mmol/l, dan kadar K 3,2 mmol/l. Untuk memperlambat koreksi pada 12

jam berikutnya, pemberian cairan Dekstrose 5% yang mengandung 30 mmol KCL/l


dapat dimulai dengan tetap mengontrol produksi urin. Selanjutnya, penatalaksanaan
jangka panjang pada hiponatremia sebaiknya diteruskan.
Hiponatremia hipotonis tanpa gejala
Pada beberapa pasien dengan hiponatremia hipotonis, resiko utama
komplikasi akan terjadi pada fase koreksi. Hal ini benar terjadi pada pasien yang
berhenti meminum air dalam jumlah besar dan pasien yang sedang menjalani
perbaikan defek eksresi cairan (contoh: yang sedang mengembalikan kadar cairan
ekstrasel dan penghentian obat-obatan yang menyebabkan kondisi tersebut). Bila
diuresis yang berlebih terjadi dan tingkat koreksi secara spontan melebihi batas yang
direkomendasikan pada pasien hiponatremia dengan gejala, cairan hipotonis atau
desmopressin dapat diberikan.
Sebaliknya, tidak terdapat resiko yang berkaitan dengan hiponatremia tanpa
gejala yang disertai dengan edema atau sindrom permanen akibat sekeresi ADH yang
tidak sesuai karena telah terjadi defek dalam eksresi cairan. Pembatasan air
(<800ml/hari) merupakan batasan pada terapi jangka panjang, dengan tujuan
menginduksi keseimbangan negatif cairan. Pada kegagalan jantung yang berat,
optimalisasi hemodinamik dengan beberapa ukuran, termasuk penggunaan ACEinhibitor dapat meningkatkan eksresi cairan bebas elektrolit dan hiponatremia sedang.
Diuretik loop dapat mereduksi konsentrasi urin dan eksresi augmentasi cairan bebas
elektrolit yang selanjutnya memperbolehkan relaksasi dari pembatasan cairan. Pada
sindrom eksresi ADH yang tidak sesuai, tapi tidak dengan gangguan edematous
diuretik loop sebaiknya dikombinasikan dengan asupan sodium yang banyak (dalam
bentuk tablet garam atau diet), sebagai penanganan kehilangan cairan saat
augmentasi. Jika pengukuran gagal, 600 hingga 1200 mg demosiklin/hari dapat
membantu yang menginduksi diabetes insipidus nefrogenik. Pengawasan fungsi
ginjal dibutuhkan karena demosiklin bersifat nefrotoksik utamanya pada pasien
dengan sirosis. Selain itu, obat-obat ini memiliki resiko terjadinya hipernatremia pada
pasien-pasien yang tidak memiliki asupan air yang cukup. Penatalaksanaan

hipertermia kronik akan sangat terbantu dengan pengenalan awal obat oral yang
antagonis terhadap pengaruh vasopressin arginin dan reseptor V2.
Hiponatremia hipotonis
Ukuran koreksi pada keadaan hiponatremia hipotonis lebih menggarisbawahi
tatalaksana penyakit dasar dibandingkan keadaan hiponatremia itu sendiri. Pemberian
insulin merupakan dasar tatalaksana untuk diabetes yang tidak terkontrol, namun
kekurangan air, Natrium, Kalium juga harus dikoreksi. Furosemid lebih mempercepat
masa pemulihan pasien yang mengalami hiponatremia akibat terlalu banyak
mengabsorbsi cairan irigan; jika fungsi ginjal terganggu, hemodialisa merupakan
penanganan yang lebih dipilih.
Kesalahan umum dalam tatalaksana
Walaupun pembatasan asupan air akan memperbaiki semua keadaan
hiponatremia, hal ini bukanlah terapi yang paling optimal untuk setiap kasus.
Hiponatremia yang dikaitkan dengan sangat menurunnya volume cairan ekstraseluler
(tabel 1) membutuhkan koreksi terutama pada defisit sodium. Di lain pihak, cairan
isotonis tidak tepat diberikan untuk koreksi sindrom gangguan sekresi ADH; bila
diberikan, akan memberikan sedikit peningkatan kadar sodium serum dan hanya
sementara, dan garam larutan infus dieksresikan pada urin yang terkonsentrasi yang
selanjutnya akan menyebabkan retensi cairan dan perburukan hiponatremia.
Walaupun ketidakjelasan diagnosis dapat terjadi sehingga pemberian larutan garam
terbatas, pemantauan yang baik dan teliti perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi
diagnosis dan menghindari perburukan yang mungkin terjadi. Kewaspadaan yang
besar dibutuhkan untuk mengenal dan mendiagnosa hipotiroidisme dan insufisiensi
adrenal, karena kedua gangguan ini cenderung tampak seperti kasus sindrom
gangguan sekresi ADH. Adanya hiperkalemia sebaiknya memperingatkan dokter
kemungkinan untuk terjadi insufisiensi ginjal.
Pasien dengan hiponatremia tanpa gejala yang persisten membutuhkan
langkah penatalaksanaan yang perlahan, sedangkan pasien hiponatremia dengan

gejala harus mendapatkan penatalaksaan cepat namun terkontrol. Penggunaan cairan


garam hipertonis yang bijaksana dapat menyelamatkan kehidupan namun bila gagal
dalam mengikuti aturan pemberian dalam tatalaksananya, akan memperburuk bahkan
dapat memberikan konsekuensi kematian.
Keadaan hiponatremia yang dirawat di rumah sakit sebagian besar dapat
dihindari. Penurunan eksresi air dapat muncul pada saat awal masuk rumah sakit, atau
dapat lebih buruk dan berkembang selama perawatan di rumah sakit akibat pengaruh
beberapa agen antidiuretik (medikasi, kegagalan organ, dan kondisi paska operasi).
Meskipun demikian hiponatremia tidak akan berkembang lama bila asupan cairan
bebas elektrolit tidak melebihi kapasitas eksresi dan kehilangan cairan tubuh
(insensible water loss). Oleh karena itu cairan hipotonis perlu diberikan secara
berhati-hati pada pasien yang dirawat di rumah sakit..

Anda mungkin juga menyukai