(atau
translokasi
hiponatremi),
hiponatremia
isotonik,
dan
ekstraseluler
yang
tidak
mengandung
sodium
(contoh:
manitol)
Keteranga
n gambar 1. Ilustrasi kompartemen cairan intrasel dan ekstrasel pada keadaan normal
dan saat terjadi hiponatremia
Asupan air yang berlebihan dapat menyebabkan hiponatremia dengan
meluapnya kapasitas eksresi air yang normal (contoh: polidipsi primer) (tabel 1).
Namun demikian, pasien psikiatri dengan asupan cairan berlebih memiliki
konsentrasi arginin vasopressin dalam plasma yang tidak tersupresi sepenuhnya dan
urinnya tidak berdilusi maksimal sehingga berkontribusi terhadap retensi cairan.
Bagan (B). Pada sindrom dengan sekresi hormon antidiuretik yang tidak
sesuai, volume cairan ekstrasel dan cairan intrasel bertambah (walaupun
terjadi sedikit kehilangan komponen potassium dan sodium yang terjadi di
awal sindrom, tidak diperlihatkan)
MANIFESTASI KLINIS
Seperti pada hipernatremia, manifestasi hiponatremia hipotonis sangat
berhubungan dengan gangguan pada sistem saraf pusat dan lebih perlu diwaspadai
ketika penurunan konsentrasi sodium serum yang besar dan dalam kurun waktu
singkat (contohnya bila terjadi dalam periode beberapa jam). Nyeri kepala, mual,
muntah, keram otot, letargi, rasa lelah, disorientasi, dan refleks depresi sebaiknya
diobservasi. Kebanyakan pasien dengan konsentrasi sodium serum mencapai 125
mmol/liter tidak memperlihatkan gejala, sedangkan pada kadar yang lebih rendah
dapat memberikan gejala khususnya pada pasien dengan gejala yang berkembang
dalam waktu yang singkat. Komplikasi berat dan akut hiponatremia dapat berupa
kejang, koma, kerusakan otak permanen, henti nafas, herniasi batang otak, hingga
kematian. Komplikasi ini biasanya terjadi akibat retensi air yang berlebihan pada
pasien yang pada dasarnya telah mengalami euvolemia (contohnya pada pasien yang
sedang menjalani masa pemulihan setelah mendapatkan tindakan pembedahan atau
yang menderita polidipsi primer); wanita yang menstruasi nampaknya menjadi faktor
resiko.
Hiponatremia hipotonis menyebabkan air masuk menembus otak menyebabkan
edema serebral (gambar 2). Akibat cranium disekitarnya yang membatasi ekspansi
otak, terjadilah peningkatan tekanan intrakranial, yang beresiko menyebabkan cedera
otak. Untunglah cairan akan meninggalkan jaringan otak dalam waktu beberapa jam,
sehingga menginduksi perbaikan edema serebral. Proses adaptasi otak ini berlaku
pada kondisi hiponatremia yang sifatnya asimptomatik bahkan pada hiponatremia
yang berat yang terjadi secara lambat. Walaupun demikian, penyesuaian otak juga
merupakan sumber resiko demyelinisasi osmotik. Walaupun jarang terjadi,
demyelinisasi osmotic merupakan keadaan serius dan dapat terjadi pada hari pertama
hingga beberapa hari setelah penatalaksanaan agresif hiponatremia dengan cara
apapun, termasuk melalui pembatasan pemasukan air. Mengerutnya jaringan otak
mencetuskan demyelinisasi neuron pons dan ekstrapons yang dapat memberikan
disfungsi neurologis, seperti kuadriplegia, pseudobulbar palsy, kejang-kejang, koma,
hingga kematian. Kegagalan hepar, menipisnya kadar potassium, dan malnutrisi
meningkatkan resiko terjadinya komplikasi ini.
PENATALAKSANAAN
tingkat awal koreksi dapat berupa 1 hingga 2 mmol/jam dalam beberapa jam untuk
pasien yang memperlihatkan gejala yang berat. Bila gejala berat tersebut tidak
memberikan respon sesuai dengan target yang ditentukan, disarankan batas target
dinaikkan secara hati-hati akibat resiko dari keadaan hipotonis berpotensi untuk
menyebabkan demyelinisasi osmotik.
Indikasi penghentian koreksi cepat yang direkomendasikan pada hiponatremia
dengan gejala (terkait metode yang digunakan) adalah manifestasi puncak yang
mengancam nyawa, gejala yang sedang, atau konsentrasi sodium serum yang dicapai
berada di bawah 100 mmol/liter. Pengobatan jangka panjang hiponatremia (akan
dijelaskan berikut) sebaiknya dimulai. Walaupun tingkat koreksi yang cepat aman
untuk ditoleransi pada kebanyakan pasien dengan gejala akut hiponatremia, belum
terdapat bukti pasti melalui pendekatan yang bermanfaat. Selain itu, sulit mengetahui
dengan pasti durasi hiponatremia.
Bagaimana cara pemeriksa menentukan tingkat pemberian infus dengan
pilihan larutan yang akan diberikan? Untuk menghitung ini akan sangat bermanfaat
dengan mengaplikasikan persamaan 1 pada tabel 2, yang merupakan persamaan yang
juga digunakan dalam tatalaksana hipernatremia, yang memproyeksikan perubahan
sodium serum yang diperoleh dengan retensi 1 liter cairan infus. Pembagian
perubahan target sodium serum dalam periode penatalaksanaan berdasarkan output
yang dihasilkan pada persamaan ini, menentukan volume cairan infus/kecepatan infus
yang dibutuhkan. Tabel 2 juga memperlihatkan konsentrasi sodium serum yang
umumnya digunakan pada cairan infus, fraksi distribusinya di cairan ekstrasel, dan
perkiraan klinis total cairan tubuh. Tidak lagi direkomendasikan penggunaan
persamaan konvensional dalam koreksi hiponatremia berikut :
Kebutuhan sodium = TBW x (target konsentrasi sodium-konsentrasi sodium saat ini)
hipertonis tidak lagi dilanjutkan namun dilakukan monitor ketat keadaan klinis pasien
dan kadar Na serum berikutnya.
Hiponatremia pada keadaan dengan euvolemia.
Seorang lelaki 58 tahun memiliki karsinoma paru datang dengan kebingungan
yang berat dan letargi. Secara klinis, pasien nampak euvolemik dengan BB 60 kg.
kadar Na serum 106 mmol/l, K 3,9 mmol/l, dan osmolalitas serum 220 mOsm/kg air,
Urea serum 5 mg/dl (1,8 mmol/l), Kadar kreatinin 0,5 mg/dl (44,2 mcmol/L), dan
osmolalitas urin 600 mOsm/kg air. Dokter memberikan diagnose awal sindrom yang
terinduksi oleh tumor yang menyebabkan ketidaksesuaian sekresi hormon antidiuretik
dengan dasar adanya hiponatremia hipotonis dan urin yang terkonsentrasi pada pasien
euvolemik, tidak adanya riwayat penggunaan obat antidiuretik, dan tidak adanya
gejala yang mengarah pada hipotiroidisme atau hipoadrenalisme. Penatalaksanaan
meliputi pembatasan air, pemberian infus larutan NaCl 3% dan furosemid 20 mg/iv.
Estimasi total cairan tubuh sekitar 36 liter (0,60 x 60).
Berdasarkan persamaan 1 tabel 2, retensi 1 liter NaCl 3% diestimasi dapat
meningkatkan kadar Na serum 10,9 mmol/l ([513-108]:[36+1] = 10,9). Tujuan awal
adalah meningkatkan kadar Na serum 5 mmol/L dalam 12 jam berikutnya. Oleh
karena itu kebutuhan 0,46 L NaCl 3% perlu diberikan (5:10,9) atau dibutuhkan 38
ml/jam .
12 jam setelah pemberian, kadar Na menjadi 114 mmol/L. Pasien
memperlihatkan letargi ringan namun mudah untuk dibangunkan. Cairan garam
hipertonis dihentikan pemberiannya namun retriksi cairan dan monitoring ketat
dilanjutkan. Tujuan uatama berikutnya adalah untuk meningkatkan kadar Na 2
mmol/ldalam 12 jam berikutnya. 20 jam setelah pemberian, konsentrasi Na serum
115 mmol/L dan pasien dalam keadaan sadar. Perlu diberikan penatalaksanaaan
hiponatremia jangka panjang.
Hiponatremia pada keadaan hipovolemik
Na
serum
2,8
mmol/l
([154+30]-106:[27+1]=2,8).
Dengan
hipertermia kronik akan sangat terbantu dengan pengenalan awal obat oral yang
antagonis terhadap pengaruh vasopressin arginin dan reseptor V2.
Hiponatremia hipotonis
Ukuran koreksi pada keadaan hiponatremia hipotonis lebih menggarisbawahi
tatalaksana penyakit dasar dibandingkan keadaan hiponatremia itu sendiri. Pemberian
insulin merupakan dasar tatalaksana untuk diabetes yang tidak terkontrol, namun
kekurangan air, Natrium, Kalium juga harus dikoreksi. Furosemid lebih mempercepat
masa pemulihan pasien yang mengalami hiponatremia akibat terlalu banyak
mengabsorbsi cairan irigan; jika fungsi ginjal terganggu, hemodialisa merupakan
penanganan yang lebih dipilih.
Kesalahan umum dalam tatalaksana
Walaupun pembatasan asupan air akan memperbaiki semua keadaan
hiponatremia, hal ini bukanlah terapi yang paling optimal untuk setiap kasus.
Hiponatremia yang dikaitkan dengan sangat menurunnya volume cairan ekstraseluler
(tabel 1) membutuhkan koreksi terutama pada defisit sodium. Di lain pihak, cairan
isotonis tidak tepat diberikan untuk koreksi sindrom gangguan sekresi ADH; bila
diberikan, akan memberikan sedikit peningkatan kadar sodium serum dan hanya
sementara, dan garam larutan infus dieksresikan pada urin yang terkonsentrasi yang
selanjutnya akan menyebabkan retensi cairan dan perburukan hiponatremia.
Walaupun ketidakjelasan diagnosis dapat terjadi sehingga pemberian larutan garam
terbatas, pemantauan yang baik dan teliti perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi
diagnosis dan menghindari perburukan yang mungkin terjadi. Kewaspadaan yang
besar dibutuhkan untuk mengenal dan mendiagnosa hipotiroidisme dan insufisiensi
adrenal, karena kedua gangguan ini cenderung tampak seperti kasus sindrom
gangguan sekresi ADH. Adanya hiperkalemia sebaiknya memperingatkan dokter
kemungkinan untuk terjadi insufisiensi ginjal.
Pasien dengan hiponatremia tanpa gejala yang persisten membutuhkan
langkah penatalaksanaan yang perlahan, sedangkan pasien hiponatremia dengan