Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN BESAR

PRAKTIKUM TEKNOLOGI PUPUK DAN PEMUPUKAN


Straw Star Fertilizer

Oleh:
Kelas I
Kelompok I 2

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2016
LAPORAN BESAR
PRAKTIKUM TEKNOLOGI PUPUK DAN PEMUPUKAN

Anggota Kelompok:

No Nama NIM
1 Sena Rizki Triyudanto* 155040201111283
2 Hidayatullah 155040201111091
3 Ajeng Iswantika Putri 155040201111096
4 Gonza Tricaya Nadeak 155040201111109
5 Ulfa Ruly Dianita 155040201111113
6 Novita Devianti 155040201111146
7 Mochammad Fahmi Susanto 155040201111158
8 Irwandi Panggabean 155040201111192
9 Desy Dwi Shinta Rosalina 155040201111233
10 Nur Laili Madarina 155040201111235
11 Bayu Muda Hasiholan Silalahi 155040201111244
12 Silva Monica 155040201111319
13 Yuantika Rahayu 155040207111053
14 Desinta Kumala Sari 155040207111113
15 Hendri Herianto 155040207111116
16 Bagas Prakoso Wilis 155040207111121
17 Sagita Ayu Nur Aulya 155040207111137
18 Reno Esperenso Asmaranta 155040207111138
19 Shaiba Rihhadatul 'Aisy 155040207111146
20 Retry Cavistin Keta 155040207111172
BAB I
PENDAHULUAN
1 Latar Belakang
Pupuk adalah material yang ditambahkan pada media tanam atau tanaman
untuk mencukupi kebutuhan hara yang diperlukan tanaman sehingga mampu
berproduki dengan baik. Material pupuk dapat berupa bahan organik atau non
organik (mineral). Pupuk berbeda dengan suplemen. Pupuk mengandung bahan
bakar yang diperlukan pertumbuhan tanaman, sementara suplemen seperti hormon
tumbuhan membantu kelancaran proses metabolisme.
Dalam pemberian pupuk perlu diperhatikan kebutuhan pupuk pada
tanaman tersebut agar tanaman tersebut dapat berkembang dengan baik dan saat
melakukan pemupukan tidak terjadi kesalahan dalam memberikan pupuk pada
tanaman, sehingga tanaman tidak mendapatkan terlalu sedikit atau terlalu banyak
zat makanan. Terlalu sedikit atau terlalu banyak zat makanan dapat berbahaya
bagi tanaman. Pupuk dapat diberikan lewat tanah ataupun disemprotkan dibagian
tanaman.
Kompos merupakan pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman dan
kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi atau pelapukan. Selama
ini sisa tanaman dan kotoran hewan tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan
sebagai pengganti pupuk buatan. Pada praktikum Teknologi Pupuk dan
Pemupukan kita mempelajari tentang pembuatan pupuk kompos dengan berbagai
bahan dan perlakuan yang berbeda-beda untuk mengetahui hasil pupuk kompos
yang terbaik.
2 Tujuan
a Untuk memahami proses pembuatan kompos.
b Untuk memahami pengaruh berbagai kombinasi bahan dan penggunaan
urea terhadap kualitas kompos (pH, kadar air, c-organik, N total dan suhu).
3 Manfaat
a Mampu memahami proses pembuatan kompos.
b Mampu menentukan komposisi bahan dan penggunaan urea untuk
menghasilkan kualitas kompos yang baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Pupuk
a) Pupuk adalah bahan-bahan organik ataupun anorganik yang diberikan pada
tanah untuk memperbaiki keadaan fisik tanah sekaligus melengkapi
substansi anorganik esensial bagi tanaman. (Santoso, 1996)
b) Pupuk adalah suatu bahan yang bersifat organik ataupun anorganik, bila
ditambahkan ke dalam tanah ataupun tanaman dapat menambah unsur hara
serta dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, atau
kesuburan tanah. (Hasibuan, 2006)
c) Fertilizer is any material of natural or synthetic origin (other than liming
materials) that is applied to soils or to plant tissues (usually leaves) to
supply one or more plant nutrients essential to the growth of plants.
(Miescher, 2008)
Pupuk adalah bahan dari alam atau sintetik (selain pengapuran bahan)
yang diterapkan pada tanah atau menanam jaringan (biasanya daun) untuk
memasok satu atau lebih nutrisi tanaman penting untuk pertumbuhan
tanaman..
d) Fertilizer is material use to atter the physical properties, chemical or
biological soil, so that become better for plant growth. (Kleger, 2006)
Pupuk adalah bahan yang digunakan untuk sifat fisik, kimia atau biologi
tanah, sehingga menjadi lebih baik bagi pertumbuhan tanaman.
2.2 Macam-Macam Pupuk
1 Berdasarkan Sumber Bahan Baku
Berdasarkan sumber bahan yang digunakan pupuk digolongkan menjadi
pupuk organik dan pupuk anorganik.
a Pupuk Anorganik
Pupuk anorganik adalah pupuk yang berasal dari bahan mineral yang
telah diubah melalui proses produksi sehingga menjadi senyawa kimia yang
mudah diserap tanaman. Bahan baku berasal dari bahan kimia
(sintetis) yang ditambahkan atau bisa dari bahan-bahan mineral yang ada
(Parnata, 2008).
Jenis Pupuk Anorganik:
a) Urea, merupakan pupuk anorganik yang biasa dipakai sebagai pupuk
dasar
b) Zwavelzure Ammonia (ZA), merupakan pupuk anorganik yang
berbentuk kristal, berwarna putih dan sedikit higroskopis
c) Kalium Klorida (KCl), merupakan pupuk yang berasal dari hasil
tambang
d) Pupuk Majemuk, atau NPK merupakan pupuk anorganik majemuk
yang paling banyak digunakan dll (Parnata, 2008).
b Pupuk Organik
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari makhluk hidup yang
telah mati. Pupuk ini berasal dari bagian darah, tulang, bulu, sisa tumbuhan,
kotoran hewan, daun yang berjatuhan, pohon atau tanaman yang tumbang
dan limbah rumah tangga. Bahan organik ini akan mengalami pembusukan
oleh mikroorganisme sehingga sifat fisiknya akan berbeda dari semula
(Parnata, 2008).
Menurut Suwahyono (2011), ada beberapa bahan yang dapat digunakan
sebagai sumber pupuk, yaitu:
a Residu Limbah Pertanian
Pemilihan residu limbah pertanian atau limbah hijauan untuk bahan
baku pupuk organik harus memperhatikan tingkat C/N rasionya. Dikatakan
oleh Johnson (2003) bahwa pada residu bahan organik limbah pertanian
dengan C/N rasio yang tinggi cenderung terjadi proses pengekangan
nitrogen dalam tanah saat proses dekomposisi. Sementara pada C/N rasio
yang rendah cenderung terjadi mineralisasi pada saat proses dekomposisi.
b Sampah Organik
Sampah organik dapat menyediakan bahan organik dengan berbagai
macam kandungan nutrisi. Namun, dalam penanganannya memerlukan
banyak tenaga kerja dan biaya. Hal ini tidak sepadan dengan perolehan
kandungan nutrisi yang relatif rendah. Komposisi sampah organik sangat
kompleks, bisa terdiri dari berbagai jenis sampah seperti urine, kotoran
hewan, dan sisa makanan, yang berasal dari berbagai sumber seperti halnya
sampah pasar.
Sampah organik biasanya hanya akan memberikan manfaat untuk
jangka panjang pada konservasi lahan. Sampah organik juga dapat
menimbulkan masalah yang berkaitan dengan berbagai jenis buangan
terikut, misalnya gulma dan peluruhan nitrogen ke dalam air tanah pada
kondisi lingkungan tertentu. Berkenaan dengan pemanfaatan sampah
organik sebagai sumber pupuk, dibutuhkan volume sangat besar dan
bervariasi pada setiap jenis tanaman.
c Limbah Lumpur
Limbah lumpur merupakan produk samping dari buangan rumah tangga
dan pengolahan air buangan industri. Seperti halnya sampah organik, limbah
lumpur komposisinya sangat kompleks dan bervariasi. Lumpur umumnya
terdekomposisi lebih lambat dibandingkan dengan limbah pertanian atau
kotoran hewan.
Pengaplikasian limbah lumpur pada permukaan tanah akan
menyebabkan unsur N di dalam limbah lumpur menguap sebagai amonium
(NH3) atau akan terjadi proses denitrifikasi, apalagi jika lumpur tersebut
sangat basah. Pemberian limbah lumpur dengan frekuensi yang sering pada
lahan budi daya dapat memberikan manfaat, yaitu tersedianya bahan organik
dan nitrogen pada tanah. Hal ini dapat diketahui jika dilakukan
pemeriksaan, yaitu adanya peningkatan kandungan senyawa organik yang
kompleks, walaupun proses dekomposisinya sangat lambat. Proses tersebut
membutuhkan daur waktu yang cukup lama dalam proses penyimpanan
bahan organik dan unsur-unsur hara seperti N, S, dan P.
Untuk pemanfaatan yang lebih efektif, limbah lumpur dapat diproses
terlebih dahulu dengan alat yang disebut digester dan perlu adanya
perlakuan tertentu agar dapat diperoleh bentuk padatan yang mengandung
5060% bahan organik dan kandungan 36% N, 1,4% P, dan 0,21% K,
di samping kandungan Ca, Mg dan unsur mikro lainnya.
d Limbah Hasil Laut
Limbah hasil laut seperti tulang ikan, ikan rucah, kulit udang dan
lobster, kulit kerang, landak laut, serta rumput laut mempunyai potensi
sebagai sumber bahan organik yang memiliki unsur-unsur hara tinggi dan
lengkap. Pupuk organik yang bersumber dari tepung ikan dapat
meningkatkan bobot kering tanaman tomat sampai 200%.
2 Berdasarkan Bentuk Fisik
Pupuk dibagi menjadi dua berdasarkan bentuk fisiknya, yaitu :
a Pupuk padat merupakan pupuk dalam bentuk remahan, butiran atau
kristal. Cara pengaplikasian dilakukan dengan cara ditaburkan merata
ke sekitar tanaman. Cara penaburan dapat memboroskan pupuk. Oleh
karena itu, sebaiknya dilakukan dengan cara larikan, yaitu pupuk
ditaburkan menurut larikan tanaman. Penaburan di larikan tanaman
biasanya bersamaan dengan saat penyiangan lahan setelah penaburan,
pupuk ditutup dengan tanah.

b Pupuk cair merupakan pupuk dalam bentuk konsentrat atau cairan.


Pupuk cair ini juga dapat dibuat dengan cara melarutkan pupuk padat.
Pupuk cair ini sangat menguntungkan bagi tanaman, karena pupuk yang
larut akan mudah diserap oleh akar. Namun cara ini memiliki
kelemahan bila dalam kondisi hujan.

2.3 Pupuk Kompos


Pengertian kompos menurut Murbandono (2007), yaitu:
a. Kompos merupakan bahan organik, seperti daun-daunan, jerami, alang-alang,
rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung, sulur, carang-carang serta
kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme
pengurai sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah.
Kompos mengandung hara-hara mineral yang esensial bagi tanaman. (Setyorini
et al., 2006)
b. Kompos adalah bahan-bahan organik (sampah organik) yang telah mengalami
proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme (bakteri
pembusuk) yang bekerja di dalamnya.
Fase fase pada proses pengomposan menurut Murbandono (2007) ada 4 yaitu:
a. Fase Mesofilik
Pada fase ini media mempunyai pH dan temperature sesuai dengan
bahan dan lingkungan yang ada yaitu pada pH kurang lebi 6 dan
temperature 180 C-220 C. sejalan dengan adanya aktivitas
mikroorganisme khususnya bakteri yang berasal dari bahan kompos itu
sendiri maka temperature mulai naik dan akan menghasilkan asam
organik. Hal ini dapat mengakibatkan menurunnya nilai pH.
b. Fase Termofilik
Pada fase ini kenaikan temperature hingga diatas 400 C. aktivitas
bakteri mesofilik terhenti kemudian diganti oleh kelompok bakteri
termofilik. Bersamaan dengan pergantian ini, akan dihasilkan amoniak dan
gas nitrogen sehingga nilai pH akan berubah menjadi basa. Aktivitas
mikroba termofilik, jamur termofilik akan mati akibat kenaikan
temperature diatas 600 C dan diganti oleh kelompok aktinimycetes dan
bakteri termofilik sampai batas temperature 850 C.
c. Fase Pendinginan
Setelah temperature maksimal telah tercapai hamper seluruh
kehidupan didalmnya mengalami kematian selanjutnya temperature akan
menurun kembali hingga akhirnya berkisar seperti pada temperature awal
yaitu 180 C-220 C.
d. Fase Masak
Pada fase ini hasil kompos siap untuk digunakan dan sudah aman dari
mikroorganisme. Beberapa mikroba yang berperan aktiv dalam proses
pengomposan adalah dari jenis mikroorganisme dan mikrofauna.
Mikroorganisme terdiri dari kelompok bakteri aktinomycetes, jamur,
microalgae, dan virus. Sedangkan dari kelompok mikrofauna terdiri dari
protozoa, nematode, cacing dan serangga
2.4 Pengertian Bahan Green dan Bahan Brown

Menurut Yuwono (2006) bahan baku kompos dapat di bagi menjadi 2 yaitu:

a. Bahan Baku Brown (mengandung unsur C carbon tinggi)

Terdiri dari: daun kering, rumput kering, serbuk gergaji, serutan kayu,
sekam padi, kertas, kulit jagung, jerami, tangkai sayuran.

b. Bahan Baku Green (mengandung unsur N nitrogen tinggi)


Terdiri dari: sayuran, buah2an, potongan rumput, daun segar, sampah
dapur, bubuk teh & kopi, kulit telur, pupuk kandang (feses ayam, itik, sapi
dan kambing). Bahan yang kaya unsur Carbon (C) : mempunyai fungsi
sebagai sumber energi makanan bagi mikroba, dan mempunyai tanda
sebagai berikut: kering, kasar, berserat, dan berwarna coklat. Bahan yang
kaya unsur Nitrogen (N) : dibutuhkan mikroba untuk tumbuh dan
berkembang dan mempunyai tanda sebagai berikut bahan nya masih ada
kadar airnya.

2.5 Bahan yang Digunakan Masing-Masing Kelompok Beserta Kelebihannya


a. Kelompok 1
a) Brown 100% (jerami padi sebanyak 40 kg)
b) Urea
c) EM4 10ml
d) Molase 60ml
e) Air 5000ml
b. Kelompok 2
a) Brown 100% (jerami padi sebanyak 40 kg)
b) EM4 10ml
c) Molase 60ml
d) Air 5000ml
Perbedaan dari bahan yang digunakan oleh masing-masing kelompok
adalah pemberian urea pada kelompok 1 sedangkan kelompok 2 tidak ada
pemberian urea. Pemberian urea itu sendiri bertujuan untuk membantu
mempercepat proses dekomposer.
2.6 Ciri-Ciri Kompos yang Sudah Matang
Kualitas kompos sangat ditentukan oleh tingkat kematangan kompos,
disamping kandungan logam beratnya. Bahan organik yang tidak terdekomposisi
secara sempurna akan menimbulkan efek yang merugikan pertumbuhan tanaman.
penambahan kompos yang belum matang ke dalam tanah dapat menyebabkan
terjadinya persaingan bahan nutrien antara tanaman dan mikroorganisme tanah.
Keadaan ini dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.
Secara umum menurut Djuarnani (2008) kompos yang sudah matang dapat
dicirikan dengan sifat sebagai berikut.
1. Berwarna cokelat tua hingga hitam dan remah.
2. Tidak larut dalam air, meskipun sebagian dari kompos bisa membentuk
suspensi.
3. Sangat larut dalam pelarut alkali, natrium pirifosfat, atau larutan amonium
oksalat dengan menghasilkan ekstrak berwarna gelap dan dapat
difraksinasi lebih lanjut menjadi zat humic, fulvic dan humin.
4. Rasio C/N sebesar 20-40, tergantung dari bahan baku dan derajat
humifikasi.
5. Memiliki kapasitas pemindahan kation dan absorpsi terhadap air yang
tinggi.
6. Jika digunakan pada tanah, kompos dapat memberikan efek
menguntungkan bagi tanah dan pertumbuhan tanaman. nilai pupuknya
ditentukan oleh kandungan nitrogen, fosfor, kalium, kalsium dan
magnesium.
7. Memiliki temperatur yang hampir sama dengan termperatur udara
8. Tidak mengandung asam lemak yang menguap
9. Tidak berbau.
2.7 Pengaruh Pemberian Urea Terhadap Proses Dekomposisi
Urea yang tidak diberikan pada bahan baku kompos
menyebabkan rasio C/N dari perlakuan ini lebih tinggi dari semua
perlakuan pengomposan. Hal ini tentu saja menyebabkan proses
pengomposan menjadi lebih lambat. Suhu dari kompos
mengalami fluktuasi dari minggu ke minggu. Dengan tidak
ditambahkannya urea, kompos tidak mengalami bau yang
berarti. Perubahan warna dari kompos cepat menjadi gelap.
(BPTP, 2007)
Menurut Hadisumitro (2011), ketidakadaan penambahan
sumber nitrogen ke dalam bahan baku kompos jerami
meyebabkan dekomposisi menjadi lebih lambat. Amrah (2008)
menyatakan bahwa penelitian terhadap pengomposan jerami
padi dengan penambahan pupuk anorganik berupa urea
mengakibatkan penurunan kandungan C karbon yang
mempercepat proses pendekomposisian.
BAB III
METODOLOGI
1 Waktu dan Tempat
1 Pembuatan Kompos
Pembuatan kompos dilakukan pada tanggal 11 Oktober 2106 pukul
13.00-14.40 di UPT. Kompos, Universitas Brawijaya, Malang.
2 Pengukuran Kadar C-Organik, N-Total, dan pH Kompos
Pengukuran kadar C-Organik, N-Total, dan pH Kompos dilakukan pada
tanggal 29 November 2016 pukul 13.00-14.40 WIB di Laboratorium
Kimia Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
3 Pembuatan Pupuk Granular dan Pupuk Cair
Pembuatan pupuk granular dan pupuk cair dilakukan pada tanggal 13
Desember 2016 pukul 13.00-14.45 di UPT Kompos, Universitas
Brawijaya, Malang.
2 Alat dan Bahan (+ Fungsi)
3.2.1 Alat
a. Kotak kayu : Sebagai wadah kompos
b. Gembor : Sebagai tempat air untuk menyiram jerami
c. Mesin penghancur : Sebagai alat untuk menghaluskan jerami
d. Timbangan : Untuk menimbang bahan
e. Termometer : Sebagai alat untuk mengukur suhu
f. Kamera : Untuk mendokumentasikan kegiatan
g. Alat tulis : Sebagai alat untuk mencatat hasil
3.2.2 Bahan
a. Pembuatan Kompos
a) Molase : Sebagai campuran EM4 dan sumber nutrisi
atau sebagai sumber makanan dan energi
bakteri EM4
b) EM4 : Sebagai bioaktivator saat pengomposan
c) Air : Untuk membasahi jerami
d) Jerami : Bahan utama pembuatan kompos
b. Pengukuran Kadar C-Organik
a) Pupuk kompos
b) Larutan K2Cr2O7: Untuk mengikat rntai karbon
c) Larutan H2SO4p pekat : Untuk memisahkan rantai karbon (diatas
96%)
d) Larutan H3PO4 85% : Untuk menghilangkan pengaruh Fe3+
e) Larutan FeSO4 : Untuk mentitrasi
c. Pengukuran Kadar N-total
a) Pupuk kompos
b) Aquades : Untuk menghentikan reaksi H2PO4
c) Larutan H2PO4 : Untuk membantu proses pembakaran
(diatas 96%)
d) NaOH 40% : Untuk campuran proses penyulingan
e) Asam borat : Untuk campuran proses penyulingan
d. Pengukuran Kadar pH Kompos
a) Pupuk kompos
b) Larutan Buffer : Untuk menetralkan pH meter
c) Aquades : Untuk campuran larutan
3 Cara Kerja
1 Pembuatan Kompos

Persiapan alat dan bahan

Menggrinding jerami/menghaluskan jerami

Menimbang bahan kompos sejumlah 40 kg Menyiapkan EM4 10 ml dan


molase 60 ml

Campur EM4+ Molase dengan air 5000ml

Bahan pupuk yang sudah disiapkan diratakan dilantai dan disiram dengan
campuran 3bahan (EM4,Molas,dan air)

Aduk hingga rata dan masukkan ke dalam peti kayu

Tempatkan ditempat yang teduh

Pengamatan (suhu dan kadar air tiap 3 hari sekali,warna dan pH setiap 1
minggu sekali)
2 Pengukuran Kadar Air, Analisis pH, C-Organik, dan N-Total
3.3.2.1 Pengukuran Kadar Air

Bahan kompos diambil sebanyak 20 g

Diambil sebanyak 3 ulangan (bagian bawah, tengah dan atas)

Dimasukkan ke dalam cawan petri

Cawan petri yang berisi bahan kompos dimasukkan ke dalam oven (suhu
105o) selama 24 jam

Bahan kompos yang sudah kering ditimbang dan dimasukkan ke dalam


lembar pengamatan
3.3.2.2 Analisis pH

Dua botol film disiapkan dan diberi kode A untuk larutan H2O dan B untuk
larutan KCl

Masing-masing kompos yang sudah kering udara ditimbang sebanyak 10 g


dan dimasukkan ke dalam masing-masing botol (film A dan B)

Pada botol film A ditambahkan aquadest sebanyak 25 ml sedangkan pada


botol film B ditambahkan larutan KCl sebanyak 25 ml

Dua botol film yang sudah ditambahkan larutan aquadest dan KCl
dimasukkan ke dalam mesin pengocok

Dikocok selama 15 menit (sambil menunggu pH meter dinyalakan)

Botol film yang sudah dikocok diambil dan didiamkan selama 5 menit

pH dari larutan kompos diukur dengan menggunakan pH meter

pH kompos dicatat
3.3.2.3 C-Organik

Contoh kompos halus (yang lolos melalui ayakan 0.5 mm) sebanyak 0.1 g
dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 500 ml

Larutan K2Cr2O7 1 N ditambahkan ke dalam erlenmeyer dan digoyang-


goyangkan

Campuran dibiarkan berdiam selama 20-30 menit

Larutan diencerkan dengan air sebanyak 200 ml

Ditambahkan H3PO4 85% sebanyak 10 ml dan 30 tetes penunjuk difenilamina

Larutan dititrasi dengan larutan fero

Apabila K2Cr2O7 yang dipakai lebih dari 8 dan 10 ml, perlakuan diulangi
dengan contoh yang lebih sedikit
3.3.2.4 N-Total
Contoh tanah ukuran 0.5 mm ditimbang sebanyak 0.5 g

Dimasukkan ke dalam labu kjeldahl

Ditambah 1 g campuran selen dan 5 ml H2SO4 pekat

Didestruksi pada suhu 300o C

Setelah sempurna didinginkan lalu diencerkan kira-kira dengan 50 ml H2O


murni

Hasil destruksi diencerkan menjadi lebih kurang 100 ml dan ditambahi


NaOH 40% sebanyak 100 ml lalu disulingkan

Sulingan ditampung dengan asam borat sebanyak 20 ml (sampai warna


penampung menjadi hijau dan volume sekitar 50 ml)

Dititrasi sampai titik akhir dengan H2SO4 0.01 N


3 Pembuatan Pupuk Granul Dan Pupuk Cair
3.3.3.1 Pupuk Granul

Siapkan Alat dan Bahan

Keringkan Bahan Baku dengan cara di jemur atau di keringkan dengan alat
pengering

Giling bahan dengan mesin giling, atau ditumbuk saja juga bisa. Kemudian
ayak bahan yang telah di giling tadi

Apabila diperlukan dapat pula ditambahkan beberapa bahan lain. Beberapa


bahan yang sering ditambahkan adalah pupuk anorganik untuk meningkatkan
kandungan hara N, P, K, atau hara mikro lainnya

Granul dapat dibuat dengan berbagai cara. Cara paling sederhana adalah
dengan menggunakan nampan. Caranya, bahan dimasukkan ke dalam
nampan, tambahakan air + perekat (jika perlu). Kemudian nampan digoyang-
goyang sampai terbentuk granul

Langkah berikutnya adalah pengemasan pupuk granul.


3.3.3.2 Pupuk Cair

Siapkan Alat dan Bahan

Siapkan tong plastik kedap udara sebagai media pembuatan pupuk

Potong atau rajang bahan-bahan organik yang akan dijadikan bahan baku,
masukkan kedalam tong dan tambahkan air, perbandingan 2:1

Larutkan bioaktivator seperti EM4 dan gula merah di air ,aduk hingga
merata. Kemudian tambahkan larutan tersebut ke dalam tong yang berisi
bahan baku pupuk.

Tutup tong dengan rapat, lalu masukan selang lewat tutup tong yang telah
diberi lubang. Rekatkan tempat selang masuk sehingga tidak ada celah udara.
Biarkan ujung selang yang lain masuk kedalam botol yang telah diberi air.

Pastikan benar-benar rapat, karena reaksinya akan berlangsung secara


anaerob. Fungsi selang adalah untuk menyetabilkan suhu

Tunggu hingga 7-10 hari. Untuk mengecek tingkat kematangan, buka


penutup tong cium bau adonan. Apabila wanginya seperti wangi tape, adonan
sudah matang.

Pisahkan antara cairan dengan ampasnya dengan cara menyaringnya.


Gunakan saringan kain.

Masukkan cairan yang telah melewati penyaringan pada botol plastik atau
kaca, tutup rapat. Dan pupuk siap di gunakan
4 Analisa Perlakuan + literature
3.4.1 Pembuatan Kompos
Dalam pembuatan kompos pertama yang perlu dipersiapkan yaitu
menyiapkan alat dan bahan seperti jerami dan mesin penghancur. Setelah
disiapkan, dimulailah menggerinding atau menghancurkan jerami sampai empat
kali pengulangan hingga tekstur jerami agak halus, hal ini bertujuan agar mudah
dan mempercepat dalam pendekomposisian. Sembari menunggu jerami
dihaluskan, dapat disiapkan EM4 sebanyak 10ml dan molase sebanyak 60ml.
EM4 digunakan untuk menguraikan bahan-bahan kompos. Menurut Parnata
(2008) Effective Mikroorganism (EM4) terdiri dari Lumbricus (bakteri asam
laktat) serta sedikit bakteri fotosintetik, Actinomycetes, Streptomyces sp dan ragi
ynag merupakan inokulum yang dapat meningkatkan keragaman mikroorganisme
tanah yang bermanfaat bagi kesuburan tanah dan tanaman serta untuk
meningkatkan kualitas dari pupuk.
Sedangkan Molase digunakan sebagai substrat EM4, dimana kandungan
yang terdapat didalamnya bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman karena mampu
mengubah beberapa nutrisi kimia menjadi bentuk yang mudah tersedia untuk
organisme tumbuhan (Djuarnani & Setiawan, 2008). Molase diencerkan terlebih
dahulu dengan air agar tidak terlalu pekat, sehingga EM4 dapat berkembang. Air
yang ditambahkan sebanyak 5000 ml. Lalu molase yang sudah diencerkan
dicampurkan dengan EM4. Setelah larutan (EM4, molase, air) tercampur,
tambahkan pada bahan pupuk. Pemberian EM4 dan molase harus merata,
sehingga saat pemberian pupuk harus diaduk. Setelah benar-benar tercampur,
masukkan pupuk kedalam peti kayu, dan ditempatkan di tempat yang teduh.
Selanjutnya dilakukan pengamatan suhu pupuk yang dilakukan setiap tiga hari
sekali.
3.3.2 Pengukuran Kadar Air, Analisis pH, C-organik, N-Total
3.3.2.1 Pengukuran Kadar Air
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, langkah pertama yaitu bahan
kompos diambil sebanyak 20 g, dan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali
yaitu bagian bawah, tengah, dan atas. Kemudian meletakkan kompos pada cawan
petri, lalu dimasukkan kedalam oven dengan suhu 105 o C selama 24 jam. Setelah
itu bahan kompos yang sudah kering dapat ditimbang dan dimasukkan dalam
lembar pengamatan.
Menurut Widarti et al., (2015) Kadar air akan sangat berpengaruh dalam
mempercepat terjadinya perubahan dan penguraiaan bahan-bahan organik yang
digunakan dalam pembuatan kompos.
Kadar air diukur setiap tiga hari sekali selama dua bulan. Kadar air diukur
menggunakan metode gravimetri. Sampel diambil sebanyak 5 gram, kemudian
berat awal ditimbang dan dilakukan pengeringan menggunakan oven dengan suhu
105C selama 24 jam. Berat kering kompos kemudian ditimbang dan kadar air
relatif diperoleh menggunakan rumus:

berat basahberat kering


Kadar air (%) = berat basah x 100%

(Setyorini et al., 2006)


3.3.2.2 Analisis pH
Sebelum menganalisis pH pupuk, siapkan 2 botol film. Satu botol film
diberi kode A untuk larutan H2O, dan satu botol diberi kode B untuk larutan KCl.
Kompos yang sudah kering udara selanjutnya ditimbang dengan berat 10 gram,
dan dimasukkan pada masing-masing botol (film A dan film B). Pada botol film
A, diberi tambahan aquades sebanyak 25 m. sedangkan pada botol film B diberi
tambahan larutan KCl sebanyak 25 ml. Selanjutnya 2 botol film tersebut
dimasukkan ke dalam mesin pengocok, dan kocok selama 15 menit. Saat botol
film dikocok, nyalakan pH meter. Setelah 15 menit, diamkan sebentar 2 botol film
tersebut selama 5 menit. Selanjutnya mengukur pH dari larutan kompos dengan
menggunakan pH meter, lalu mencatat hasil pH.
Menururt Widarti et al., (2015), keasaman atau pH dalam tumpukan
kompos juga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. pH yang optimum untuk
proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. Proses pengomposan sendiri
akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. pH
kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral.
3.3.2.3 Pengukuran C-Organik
Pada pengukuran C-Organik, dibutuhkan contoh kompos halus sebanyak 0,1
gram. Kompos halus tersebut sebelumnya telah diayak dengan ayakan 0,5 mm.
Selanjutnya kompos halus dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml. Larutan
K2Cr2O7 1 N sebanyak 10 ml ditambahkan ke dalam erlenmeyer, lalu digoyang-
goyangkan agar terjadi reaksi. Usahakan kompos tidak menempel pada dinding
sebelah atas labu agar tidak ikut bereaksi. Selanjutnya campuran tersebut dan
didiamkan selama 20-30 menit. Lalu larutan diencerkan dengan air sebanyak 200
ml dan ditambahkan H3PO4 85%, dan 30 tetes difenilamina. Kemudian larutan
tersebut di titrasi dengan larutan fero dengan buret. Pada proses titrasi terjadi
perubahan warna. Perubahan warna dari warna hijau gelap pada permulaan,
berubah menjadi biru kotor pada waktu titrasi berlangsung, dan pada titik warna
berubah menjadi hijau terang. Apabila lebih dari 8 dan 10 ml K 2Cr2O7 terpakai,
ulangi dengan mempergunakan contoh yang lebih sedikit.
Pengukuran kadar C-Organik total dilakukan sebelum penentuan C/N
dengan rentang satu minggu sekali selama masa pengomposan. Menurut Tobing
(2009) pengomposan bertujuan menurunkan rasio C/N tergantung jenis
tanamannya rasio C/N sisa tanaman yang masih segar umumnya tinggi sehingga
mendekati rasio C/N tanah. Dalam metabolisme hidup mikroorganisme mereka
memanfaatkan sekitar 30 bagian dari karbon untuk masing-masing bagian dari
nitrogen. Sekitar 20 bagian karbon di oksidasi menjadi CO 2 dan 10 bagian
digunakan untuk mensintesis protoplasma (Widarti et al., 2015). Rasio C/N adalah
perbandingan C (karbon) dan N (nitrogen). Kadar C-Organik total (%) dihitung
dalam formula sebagai berikut:

ppm kurva x 100/mg contoh x 100 ml/1.000 ml x fk

Keterangan: ppm kurva = nilai kadar contoh yang didapat dari kurva
hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi
blanko; 100 = nilai konversi ke %; fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 - %
kadar air) (Setyorini et al., 2006)
3.3.2.4 N-total
Untuk menghitung nilai N-total, hal pertama yang dilakukan yaitu
menimbang sampel sebanyak 0.5 gram kemudian dimasukan ke dalam labu
erlenmeyer. Menambahkan 1 gram campuran selen dan 5 ml H 2SO4 pekat
(berfungsi utntuk memisahkan rantai carbon dengan tanah) ke dalam erlenmeyer
dan mendestruksikan pada suhu 3000C. Lalu dinginkan dan diencerkan 50 ml H 2O
murni dan menambahkan 100 ml NaOH 40%. Setelah itu lakukan penyulingan.
Menampung hasil penyulingan dengan asam borat sebanyak 20 ml sampai warna
penampung berubah menjadi hijau dan volume sekitar 50 ml dan terakhir ditiritasi
sampai titik akhir dengan H2SO4 0.01N. Pengukuran kadar N organik total
dilakukan setiap satu minggu sekali selama masa pengomposan. Perhitungan
kadar N-Organik dengan rumus:

(Vc Vb) x N x bst N x 100/mg contoh x fk


(Vc Vb) x N x 14 x 100/500 x fk
(Vc - Vb) x N x 2,8 x fk

Keterangan: Vc, Vb = volume titer contoh dan blanko (ml); N = nilai


normalitas larutan baku H2SO4; 14 = nilai bobot setara nitrogen; 100 = nilai
konversi ke %; fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 % kadar air). Menurut
Widarti et al., (2015) kadar nitrogen dibutuhkan mikroorganisme untuk
memelihara dan pembentukan sel tubuh, dimana semakin banyak kandungan
nitrogen, maka akan semakin cepat bahan organik terurai, karena mikroorganisme
yang menguraikan bahan kompos memerlukan nitrogen untuk perkembangannya.
Komposisi Pengamatan Ke-
Bahan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
100% Brown + 27. 38. 36. 37. 34. 32. 30. 39. 33.
40
Urea 4 2 8 8 8 2 8 4 8
26. 28. 30. 34. 36. 36. 34. 32. 31. 31.
100% Brown 4 3 6 2 4 2 4 6 8 6
100% Green + 38. 36. 32. 29. 26.
27 39 34 28 27
Urea 8 8 2 6 6
35. 37. 38. 37. 38. 37. 36. 34.
27 40
100% Green 4 6 6 8 6 2 8 4
75% Brown +
27. 49. 46. 43. 36. 33. 30. 31. 28.
25% Green + 34
4 8 2 6 6 2 8 2 2
Urea
75% Brown + 46. 32. 36. 31. 32. 33. 29. 29. 27.
25
25% Green 4 4 2 4 8 6 8 8 8
25% Brown +
43. 32. 30. 33. 30. 27.
75% Green + 24 38 34 26
6 8 8 2 6 4
Urea
25% Brown + 24. 40. 43. 39. 35. 33. 30.
36 32 28
75% Green 7 7 1 6 9 6 4
50% Brown +
23. 34. 51. 51. 45. 34. 28. 30. 30. 27.
50%Green +
8 4 4 4 6 4 8 8 2 6
Urea
50% Brown + 25. 47. 43. 47. 46. 37. 35. 29. 27. 26.
50%Green 6 8 8 6 2 5 8 6 6 5
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1 Hasil
4.1.1 Suhu
Hasil pengamatan suhu yang diberi 10 perlakuan dapat dilihat bahwa
perlakuan yang baik yaitu perlakuan (50% brown+50% green + urea). Pada
perlakuan ini rata-rata suhu pada pengamatan ke-1 rata-rata suhu 23,8 oC.
Pengamatan ke-2 rata-rata suhu 34,4oC. Pengamatan ke-3 rata-rata suhu 51,4oC.
Pengamatan ke-4 rata-rata suhu 51,4oC. Pengamatan ke-5 rata-rata suhu 45,6oC.
Pengamatan ke -6 rata-rata suhu 34,4oC. Pengamatan ke-7 rata-rata suhu 28,8oC.
Pengamatan ke-8 rata-rata suhu 30,8oC. Pengamatan ke-9 rata-rata suhu 30,2oC.
Pengamatan ke-10 rata-rata suhu 27,6 oC.
Perlakuan ini yang baik karena dari rata-rata suhu dapat dilihat bahwa
perlakuan inilah yang sesuai dengan fase pengomposan. Fase mesofilik 1 dengan
suhu 10-40oC pada pengamatan ke-1 sampai pengamatan ke-2, pada fase ini hanya
berlangsung beberapa hari, karena peledakan bakteri dan jamur. Fase termofilik
dengan suhu >40oC pada pengamatan ke-3 sampai pengamatan ke-5, pada fase ini
dapat berlangsung beberapa hari karena terjadi pemecahan protein, lemak, dan
selulosa yang menyebabkan suhu semakin tinggi. Pada fase termofilik tidak boleh
mencapai suhu 60oC, karena pada suhu tersebut akan membunuh organisme yang
diperlukan untuk dekomposisi. Fase mesofilik 2 dengan suhu 10-40oC pada
pengamatan ke-6 sampai pengamatan ke6 sampai pengamatan ke-10, pada fase ini
bisa berlangsung beberapa minggu bahkan bulan karena pasokan bahan organic
secara perlahan rusak dan mengakibatkan suhu menurun.
Dapat disimpulkan bahwa pembuatan kompos pada perlakuan ini berjalan
dengan optimal. Perlakuan ini juga sangat cocok, karena perbandingan komposisi
yang sesuai yaitu 50% brown dan 50% green, sehingga dapat menghasilkan
kompos yang sesuai.
4.1.2 Analisis kompos
Dari praktikum yang telah dilakukan pada perlakuan 100% jerami
didapatkan hasil pH 7,57, kadar air 7,15%, C-organik 6,44, N total 1,02, C/N rasio
6,31. Berdasarkan perbedaan perlakuan dalam pembuatan pupuk kompos dengan
menggunakan bahan green dan brown dari 10 perlakuan memiliki kandungan
pH ,kadar air, C-organik, N total dan C/N rasio yang berbeda-beda. Dari hasil
tersebut dapat di ketahui bahwa nilai pH paling baik terdapat pada perlakuan
bahan (titonia, kotoran ayam 25% + jerami 75%) yaitu 7. Menurut (Sitepu, 2013)
bahwa selama proses dekomposisi terjadi mineralisasi nitrogen organik menjadi
nitrogen amonia yang menyebabkan nilai pH meningkat, sedangkan penurunan
pH disebabkan oleh produksi asam-asam organik yang meningkat.
Pada kadar air, perlakuan paling baik terdapat pada perlakuan green
(titonia, kotoran ayam 75% + jerami padi 25%) 57,6 % Menurut Tchobanoglous
(2002) kadar air memainkan peranan penting dalam metabolism mikroorganisme
dan tidak langsung dalam pasokan oksigen. Microorganisme hanya dapat
memanfaatkan molekul-molekul organik yang larut dalam air. Apabila kadar air
berkisar 40 hingga 60 persen uap air tersedia cukup. Jika kadar air turun di bawah
40 persen aktivitas bakteri akan melambat, dan berhenti seluruhnya dibawah 15
persen. Bila kadar air melebihi 60 persen maka nutrisi akan habis, volume udara
berkurang, bau akan dihasilkan dan dekomposisi diperlambat.
Jika dilihat dari C-Organik, kandungan C-organik terbaik terdapat pada
perlakuan (jerami padi 100% + urea) yaitu 19,04. Sedangkan hasil pada C/N rasio
diketahui bahwa, kandungan C/N rasio terbaik pada perlakuan titonia, kotoran
ayam 75% + jerami padi 25% yaitu 10,22. Menurut (Smith dan Peckenpaugh
1986; Kausar et al. 2010) Nilai C/N merupakan salah satu indikator yang
menandakan berjalannya proses dekomposisi dan menunjukkan tingkat
kematangan bahan organik. Selama proses dekomposisi bahan organik yang
berbeda-beda terjadi perubahan total kandungan C-organik. Pupuk organik yang
sudah matang memiliki nilai C/N kurang atau sama dengan 20 (Goyal et al.
2005). Atkinson et al. (1996) menambahkan bahwa perubahan C-organik
disebabkan oleh hilangnya karbon sebagai karbondioksida.
Nilai N total hasil terbaik pada perlakuan brown (jerami padi 100%+urea)
yaitu sebesar 7,16. Menurut Salbiah, dkk, (2012) bahwa semakin tinggi kompos
jerami yang diberikan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar N-total tanah.
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kompos jerami ke dalam tanah dapat
meningkatkan kadar N-total di dalam tanah. Nyakpa et al. (1988) mengemukakan
bahwa dekomposisi bahan organik akan menghasilkan senyawa yang
mengandung N, di antaranya amonium, nitrit, nitrat dan gas nitrogen.
2 Pembahasan
1 Pembahasan
Bahan yang digunakan untuk membuat kompos yaitu titonia, jerami dan
kotoran ayam. Menurut Kurnia et al (2001), bahan yang dapat digunakan sebagai
kompos dapat berupa limbah pertanian maupun non pertanian (limbah kota dan
limbah industri). Selain itu bahan yang dapat digunakan sebagai kompos dapat
diperoleh dari limbah peternakan dan juga dapat didapatkan dari tanaman yang
berada di sekitar. Pada praktikum ini, bahan dari limbah pertanian berupa jerami,
bahan dari limbah peternakan berupa kotoran ayam, dan bahan dari tanaman
berupa Titonia (Paitan).
Kotoran ayam mengandung N tiga kali lebih besar daripada pupuk
kandang. Kandungan unsur hara dalam kotoran ayam adalah yang paling tinggi,
karena bagian cair (urine) tercampur dengan bagian padat. Kandungan unsur hara
dalam pupuk kandang ditentukan oleh jenis makanan yang diberikan (Syamsu,
2013). Kotoran ayam baik digunakan sebagai bahan pembuatan kompos. Selain
bahan yang mudah di dapat dan kandungan unsur N yang tinggi, kotoran ayam
juga mengandung P2O5 dan K2O yang tinggi.
Tanaman liar seperti kembang telekan (Lantana camara), Paitan (Tithonia
diversifolia), Kirinyu (Cromolaena odorata), dan wedussan (Ageratum
conyzoides) dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif sumber atau bahan pupuk
hijau. Biomasa wedusan dan paitan yang memiliki kandungan P-total 0,57% dan
0,47% dapat dikelompokkan sebagai bahan organik berkualitas tinggi khususnya
sebagai sumber hara P. Kembang telekan juga mempunyai kecepatan mineralisasi
P yang lebih tinggi dibandingkan dengan gliriside (Pratikno et al., 2004). Pada
praktikum digunakan paitan sebagai bahan untuk pembuatan kompos, dengan
penambahan pupuk kompos dari tanaman paitan ini maka akan meningkatkan
kandungan P dalam tanah. Penggunaan tanaman sebagai kompos juga memiliki
kekurangan yaitu jika terdapat biji yang terikut maka akan berpotensi sebagai
gulma.
Jerami adalah bagian vegetatif tanaman padi (batang, daun, tangkai malai)
yang tidak dipungut saat tanaman padi dipanen. Kandungan hara jerami padi
tergantung pada kesuburan tanah, jumlah pupuk yang diberikan, kualitas dan
kuantitas air irigasi, dan iklim (Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian
2007). Jerami merupakan bahan organik yang tersedia dalam jumlah yang
signifikan bagi petani padi. Sekitar 40% N, 30-35% P, 80-85% K, dan 40-50% S
tetap dalam sisa bagian vegetatif tanaman. Jerami juga merupakan sumber hara
mikro penting seperti seng (Zn) dan silikon (Si). Pembenaman tunggul dan jerami
ke dalam tanah merupakan upaya mengembalikan sebagian besar hara yang telah
diserap tanaman dan membantu pelestarian cadangan hara tanah dalam jangka
panjang (Dobermann and Fairhurst 2002). Dalam pembuatan kompos jerami
memerlukan waktu yang sangat lama karena kandungan karbon pada jerami
tinggi. Bahan pembuatan kompos ini mudah untuk didapat, tetapi persaingan
untuk mendapatkan bahan ini susah karena jerami juga dapat digunakan sebagai
pakan ternak.
2 Pembahasan umum
Pada pembuatan pupuk yang telah dilakukan dengan perlakuan jerami
100%, yaitu mendapatkan hasil pH 7,57, kadar air 7,5%, C-organik 6,44, N total
1,02, C/N rasio 6,31. Dari data yang telah didapatkan dapat dilihat bahwa pupuk
dengan perlakuan jerami 100% sudah dapat diaplikasikan terhadap tanaman
karena pada perlakuan jerami 100% tersebut sudah memiliki standart mutu yang
telah memenuhi kebutuhan tanaman. Dari perlakuan selain jerami 100%, pada
perlakuan titonia, kotoran ayam 25% + jerami padi 75% memiliki kandungan pH
7, Kadar Air 67%, C-Organik 4,15, N-Total 1,49 dan C/N rasio 2,79 yang lebih
baik untuk diaplikasikan terhadap tanaman, karena pupuk yang menggunakan
bahan brown yaitu salah satu nya adalah jerami membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk terdekomposisi daripada pupuk berbahan baku green yaitu salah
satunya adalah titonia. Sesuai dengan peryataan Sidabutar (2006) bahwa
pemberian beberapa dosis kompos kotoran ayam mampu meningkatkan N di
dalam tanah karena bahan organik dari kompos kotoran ayam merupakan
makanan bagi mikroorganisme tanah yang sebagian terdapat mikroorganisme
pengikat N.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan

5.2. Saran
Dalam praktikum pembuatan kompos, ada tahapan-tahapan yang harus
dilakukan. Dari berbagai bahan. Perlunya pemeriksaan secara rutin, pengukuran
suhu dall. UPT kompos harus selalu dijaga kebersihannya. Walaupun tempat
pembuatan kompos identik denhan kotor, tapi kebersihan harus selalu dijaga demi
kenyamanan saat praktikum. Kebersihan itu harus dijaga bersama-sama bukan
hanya petugas UPT. Semua mahasiswa juga harus menjaga kebersihan.
Kedepannya lebih bisa maju dan semakin banyaknya ide-ide pembuatan kompos
untuk meningkatkan hasil dan kualitas tanaman. Dan lebih memajukan Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya dilevel Nasional dan seterusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amrah, Mudi Liani. 2008. Pengaruh Manajemen Jerami Terhadap Pertumbuhan
Dan Produksi Padi Sawah. IPB : Fakultas Pertanian.
Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Jerami Padi: Pengelolaan
dan Pemanfaatan. Bogor.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. 2007. Teknologi Pengomposan. Jakarta:
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Djuarnani & Setiawan. 2008. Cara Tepat Membuat Kompos. Agromedia Pustaka:
Jakarta
Dobermann A , Fairhurst. 2002. Rice Straw Management. Better Crops
International. 16.
Hadisumitro, L.M. 2011. Membuat Kompos edisi revisi. Jakarta: Penebar Swadaya
Hasibuan, B.E., 2006. Pupuk dan Pemupukan. Universitas Sumatera Utara,
Fakultas Pertanian. Medan
Kleger. 2006. Definition of Fertilizer. New York University Press :New York.
Kurnia, U., D. Setyorini, T. Prihatini, S. Rochayati, Sutono dan H. Suganda. 2001.
Perkembangan dan Penggunaan Pupuk Organik di Indonesia. Rapat
Koordinasi Penerapan Penggunaan Pupuk Berimbang dan Peningkatan
Penggunaan Pupuk Organik. Direktorat Pupuk dan Pestisida, Direktorat
Jendral Bina Sarana Pertanian, Jakarta, Nopember 2001.
Miescher. 2008. Plant Growth-Promoting Rhizobacteria Biological Control
Agent. P 255-274.
Murbandono, L. 2007. Membuat Kompos. Penebar Swadaya: Jakarta.
Parnata, A. S. 2008. Pupuk Organik Cair, Aplikasi Dan Manfaatnya. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Pratikno, H, E. Arisoesilaningsih, dan E.Handayanto. 2004. Pemanfaatan Biomasa
Tubuhan Liar di Lahan Berkapur DAS Brantas Untuk Meningkatkan
Ketersediaan P Tanah. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya: Malang
Santoso, Heronymus B. 2006. Jahe Gajah. Kanisius:Yogyakarta.
Setiadi. 2006. Bertanam Cabai. Jakarta: Niaga Swadaya
Settiawan, B. S. 2010. Membuat Pupuk Kandang Secara Cepat. Penebar Swadaya.
Jakarta
Setyorini, D., Saraswati, R., Anwar, Ea, K. 2006. Kompos . Pupuk Organik dan
Pupuk Hayati Organik fertilizer and Biofertilizer .Balai Besar Litbang
Sumber daya lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 313 hal.
Sidabutar RM. 2006. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Terhadap Produksi
Sawi (Brassica Juncea L) Dan Beberapa Sifat Kimia Tanah Andisol.
Departemen Ilmu Tanah USU. Medan.
Suwahyono, Untung. 2011. Petunjuk Praktis Penggunaan Pupuk Organik Secara
Efektif dan Efisien
Syamsu ida. 2013. Manfaat Penggunaan Pupuk Organik Untuk Kesuburan Tanah.
Universitas Boronowo: Tulungagung. (1) 1
Tobing, Esther. 2009. Studi Tentang Kandungan Nitrogen, Karbon (C) Organik
Dan C/N Dari Kompos Tumbuhan Kembang Bulan (Tithonia diversifolia)
Widiarti et al., 2015. Pengaruh Rasio C/N Bahan Baku Pada pembuatan Kompos
Dari Kubis Dan Kulit Pisang.
Yuwono, D. 2006. Kompos. Jakarta. Penebar Swadaya

Daftar Pustaka minimal dari 5 buku dan 5 jurnal, maks 10 tahun terakhir (2006)
LAMPIRAN
Lampiran 1: Data dan Perhitungan kadar air, C-Organik, N-Total (data kelompok)
Lampiran 2: Foto kegiatan pembuatan kompos dan analisis lab (data kelompok)

FORMAT PENULISAN
Font style Times New Roman
Font size 12
Margin kiri-atas-kanan-bawah (4:3:3:3)
Spasi 1,5 dan before-after 0

TAMBAHAN
Gunakan standar baku mutu kompos PP No. 8 tahun 2001
Pembagian kelas share data
1 N1, N2, O1, O2, Q1, Q2, C1, C2, H1, H2
2 I1, I2, J1, J2, T1, T2, G1, G2, M1, M2
3 P1, P2, A1, A2, D1, D2, B1, B2, F1, F2
4 L1, L2, E1, E2, K1, K2, R1, R2, S1, S2

TTD
Asisten TPP 2016

Anda mungkin juga menyukai